Menurut HUGO DE GROOT (GROTIUS) dalam bukunya DE JURE BELLIAC PACIS (Perihal
perang dan damai) menyatakan bahwa hokum dan hubungan Internasional di dasarkan pada
kemauan bebas atau hokum alam dan persetujuan beberapa atau semua negara. ini ditunjukan
demi kepentingan bersama dari mereka yang menyatukan diri didalamnya.
Pandangan SAM SUHAEDI adalah; hokum internasional merupakan aturan, norma dan asas yang
mengatur pergaulan hidup dalam masyarakat.
Pandangan J. G. STARKE, hukum internasional adalah sekumpulan hukum yang sebagian besar terdiri
dari azas-azas dan karena itu biasanya ditaati dalam hubungan antar negara.
Pandangan WIRJONO PRODJODIKORO hokum internasional ialah; hokum yang mengatur perhubungan
hokum antara berbagai bangsa di berbagai negara.
Pandangan Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, SH.,LL.M, hukum internasional adalah keseluruhan
kaidah-kaidah dan azas-azas yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintas batas-batas
negara. Antara lain
Negara dan negara
Negara dengan subyek hokum lain bukan negara atau
Subyek hokum bukan negara satu sama lain.
Hukum Internasional mencakup dua hal yaitu : Hukum Perdata Internasional dan hukum Publik
Internasional
Kedua hukum internasional ini memiliki persamaan dan perbedaan sebagai berikut :
Persamaannya : keduanya mengatur hubungan antara persoalan-persoalan yang
melintasi
batas-batas negara
Perbedaannya : kalau Hukum Perdata Internasional menyangkut hubungan atau
persoalan antar warganegara atau antar bangsa secara internasional. Sedangkan Hukum
Publik Internasional menyangkut hubungan atau persoalan internasional antar negara.
Menurut HACKWORTH, mengatakan hokum internasional adalah merupakan sekumpulan
aturan yang mengatur hubungan diantara negara-negara.
Menurut BRIERLY, mengatakan bahwa hokum internasional adalah merupakan sekumpulan
dan asas untuk beruat sesuatu yang mengikat negara-negara beradab di dalam hubungan
mereka dengan negara lain.
Menurut SCHWARZNBERRGER dalam bukunya A MANUAL OF INTERNASIONAL LAW,
berpendapat bahwa hubungan internasional sebagian bessar ditentukan oleh kekuatankekuatan politik. hokum internasional hanya bertugas untuk merumuskan semua hasil yang
sudah dicapai oleh negara-negara dalam perjuangan politik internasionalnya, ia membagi
hokum internasional sebagi berikut
1. LAW OF POWER. Disini yang terpenting dalam hokum internasional adalah; kekuasaan
hokum internasional hanya sekedar alat untuk merumuskan kekuasaan dari suatu negara
yang telah dapat mencapai tujuan dengan memaksa negara lain untuk tuduk kepadanya.
2. LAW OF RECIPRO CITY. disini hukum internasional memberikan perumusan bagi setiap
negara di seluruh dunia dalam PBB bahwa setiap negara, baik kecil maupun besar
memiliki suara yang sama. Biasanya LAW OF RECIPRO CITY dipakai oleh negara-negara
yang dikenal lemah sebagai tempat berlindung terhadap ancaman-ancaman dari negaranegara besar.
3. LAW OF COORDINATION disini hokum internasional merumuskan kerja sama antar negara
untuk menyelenggarakan kepentingan-kepentingan bersama dalam bidang ilmiah,
kebudayaan, kesehatan dan sebaginya.
Berdasarkan berbagai pendapat para ahli hokum Internasional diatas dapat disimpulkan
bahwa HUKUM INTERNASIONAL sekumpulan asas, kebiasaan internasional, dan aturan hokum
yang bersifat umum yang dihormati dan dipatuhi srta adanya kewajiban yang mengikat
terhadap negara-negara didunia dan lembaga atau organisasi internasional didalam hubungan
mereka dengan yang lain dalam pergaulan masyarakat internasional.
Dengan kata lain HUKUM INTERNASIONAL adalah keseluruhan hokum yang sebagian besar
terdiri dari prinsip dan kaidah-kaidah yang mengikat negara-negara tersebut, yang
menunjukkan ketaatan dan ketundukannya pada hokum-hukum internasional tersebut dengan
berperilaku sesuai dengan prinsip-prinsip atau kaidah-kaidah dasar terswebut.
ASAL MULA HUKUM INTERNASIONAL
Bangsa Romawi mengenal hokum internasional sejak tahun 89 SM
Yang dikenall dengan nama IUS CIVILE (hokum sipil) dan IUS GENTIUM (hokum antar bangsa)
IUS GENTIUM berkembang menjadi IUS INTER GENTIUM ialah; hokum yang merupakan bagian dari
hokum Romawi yang diterapkan bagi KAULA NEGARA (orang asing) yang bukan orang ROMAWI yaitu
orang jajahan.
Contoh di Indonesia pada penjajahan belanda ada kaula Belanda yaitu orang-orang asing dibawah
kekuasaan Belanda separti India, cina, Arab.
HUKUM MENURUT BAHASAANYA
1. Jerman =
VOLKERN RECHT.
2. Perancis =
DROIT DES GENS
3. Inggris
=
LOW OF NATION atau INTERNATOINAL LOW.
4. Belanda =
Pemberontak dan Pihak dalam Sengketa, dapat dijadikan subyek hukum internasional karena
dapat menentukan nasibnya sendiri, memiliki hak secara bebas memilih sistem ekonomi, politik,
sosial sendiri dan dapat menguasai sumber daya alam di wilayah yang didudukinya.
5.
Mahkamah Internasional
Mahkamah Internasional atau Peradilan Internasional dapat mengadili semua perselisihan yang
terjadi antar negara baik anggota maupun bukan anggota PBB. Dalam penyelesaian ini,
mengusahakan jalan damai yang selaras dengan asas-asas keadilan dan hukum internasional
Mahkamah Internasional beranggotakan 15 orang hakim yang berasal dari 15 negara anggota
PBB yang dipilih dalam Sidang Majelis Umum PBB dengan masa kerja 9 tahun. Dua hakim
merangkap ketua dan wakil ketua MI. Mahkamah memilih ketua dan wakil ketua untuk masa
jabatan tiga tahun dan dapat dipilih kembali. Adapun bahasa resmi yang dipergunakan selama
persidangan adalah bahasa Perancis dan Inggris. Namun atas permintaan salah satu dari fihak
yang bersengketa dapat meminta, Mahkamah Internasional dapat mengijinkan penggunaan bahasa
lain.
Mahkamah Internasional memiliki YURIDIKSI yaitu kewenangan yang dimiliki oleh MI yang
bersumberkan pada hukum internasional untuk mementukan dan menegakkan sebuah aturan
hukum. Yuridiksi ini antara lain meliputi;
1. Perjanjian khusus yaitu para pihak yang bersengketa menyerahkan perjanjian khusus yang
berisi subyek sengketa dan pihak yang bersengketa. contoh kasus Ligitan dan Sipadan
antara Indonesia Malaysia.
2. Pendudukan diri dalam perjanjian internasional mengharuskan peserta perjanjian untuk tunduk
kepada yuridiksi MI apabila terjadi sengketa diantara para peserta perjanjian.
3. Pernyataan penundukan diri negara peserta statuta mahkamah internasional, negara yang
menjadi anggota statuta yang akan berbicara di MI menyatakan diri tunduk pada MI, mereka
tidak perlu membuat perjanjian khusus terlebih dahulu.
4. Keputusan MI mengenai YURIDIKSINYA; yaitu apabila ada sengketa mengenai yuridiksi MI,
maka sengketa tersebut diselesaikan dengan keputusan MI sendiri.
5. Penafsiran Putusan berdasarkan pasal 60 statuta MI, yang mengharuskan MI untuk
memberikan penafsiran jika diminta oleh salah satu ataupun kkedua belah pihak yang berbicara.
Permintaan dapat dilakukan dalam bentuk perjanjian khusus antara pihak yang bersengketa
ataupun permintaan dari salah satu pihak yang bersengketa.
6. Perbaikan putusan pendudukan dari pada yuridiksi MI dilakukan melalui pengajuan permintaan,
dengan syarat adanya fakta baru yang belum diketahui MI ketika putusan tersebut dibuat.
tanggal 1 Juli 2005 Statuta MPI telah diterima dan diratifikasi oleh 99 negara, yang
berkedudukan di Den Haag Belanda.
Pada awalnya MPI terdiri dari 18 orang hakim yang bertugas selama 9 tahun tanpa dapat dipilih
kembali.
Mahkamah internasional memiliki kewenangan dalam menegakkan aturan hukum intarnasional
yaitu memutuskan perkara terbatas terhadap pelaku kejahatan berat oleh warga negara dari
negara yang telah meratifikasi statute mahkamah.
Berdsarkan pasal 5 - 8 Statuta Mahkamah menentukan 4 jenis kejahatan berat internasional;
a. kejahatan GENOKSIDA (The Crime of Genocide) yaitu tindakan jahat yang berupa untuk
memusnakan keseluruhan atau sebagaian dari suatu bangsa, etnis, ras ataupun kelompok
keagamaan tertentu.
b. kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity) yaitu tindakan penyerangan
yang luas atau sistematis terhadap populasi penduduk sipil tertentu.
c. kejahatan perang (war crimes ) yaitu;
1. tindakan yang berkaitan dengan kejahatan perang, khususnya apabila dilakukan sebagai
bagian dari suatu rencana atau kebijakan atau sebagai bagian suatu pelaksanaan
secara besar-besaran dari kejahatan tersebut.
2. Semua tindakan terhadap manusia atau hak miliknya yang bbertentangan dengan
konvensi Jenewa (misalnya pembunuhan berencana, penyiksaan, eksperimen biologis,
menghancurkan harta benda dll ).
3. Kejahatan serius yang melanggar hukum konflik bersenjata internasional (misalnya
menyerang obyek-obyek sipil, bukan obyek militer, membombordir secara membabi buta
suatu desa atau penghuni bangunan-bangunan tertentu yang bukan obyekmiliter.)
d. Kejahatan agresi (the Crime of aggression), yaitu tindak kejahatan yang berkaitan dengan
ancaman terhadap perdamaian
Perundingan yang diadakan dalam rangka perjanjian Bilateral disebut Talk. Perjanjian
Multilateral disebut Diplomatic Conference, sedangkan perundingan yang tidak resmi
disebut Corridor Talk
Tahap Penandatanganan (Signature)
Lazimnya penandatanganan dilakukan oleh para Menteri Luar Negeri atau Kepala Pemeritahan
Untuk perundingan yang bersifat multilateral penandatanganan teks perjanjian sudah dianggap sah
jika 2/3 suara peserta yang hadir memberikan suara, kecuali ada ketentuan lain. Walaupun
demikian perjanjian belum bisa dilaksanakan sebelum ada ratifikasi oleh masing-asing negara
Tahap Pengesahan (Ratification)
Suatu negara mengikatkan diri pada suatu perjanjian dengan syarat apabila telah disahkan oleh
badan yang berwenang di negaranya, seperti di Indonesia berdasarkan pasal 11 ayat 1 UUD 1945
yang menyebutkan Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang, perdamaian dan
membuat perjanjian dengan negara lain. Lebih lanjut dari pelaksanaan pasal 11 UUD 1945
dituangkan kedalam UU. No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.
Perjanjian yang baru pada tahap penandatanganan, perjanjian tersebut masih bersifat sementara
dan masih harus dikuatkan dengan pengesahan atau penguatan. Ini dinamakan Ratifikasi
Ratifikasi Perjanjian Internasional dapat dibedakan sebagai berikut:
a. Ratifikasi oleh badan ekskutif
Sistem ini biasanya dilakukan oleh raja-raja absolut atau pemerintahan yang otoriter
b. Ratifikasi oleh badan legeslatif ( Sistem ini jarang digunakan )
c. Ratifikasi Campuran (DPR Pemerintah)
Sistem ini paling banyak dilakukan karena peranan legeslatif dan ekskutif sama-sama menentukan
dalam proses ratifikasi suatu perjanjian
Setelah perjanjian internasional diratifikasi atau disahkan oleh negara-negara yang mengadakan
perjanjian, maka secara otomatis negara yang mengikat perjanjian tersebut terikat dengan isi
perjanjiannya dan selanjutnya perjanjian itu meningkat statusnya menjadi hukum internasional dan
kepada setiap negara yang mengadakan hukum internasional, menjadikan hukum internasional
berlaku di negaranya sehingga hukum internasional tersebut menjadi hukum nasional, yang harus
ditaati oleh seluruh warga negara dari negara yang bersangkutan
B. Sengketa internasional
1. Sebab-sebab sengketa internasional
Kalau kita perhatikan timbulnya sengketa internasional, karena adanya pelanggaran terhadap
kebebasan atau kemerdekaan dari suatu negara oleh negara lain yang menyebabkan terganggunya
ketenangan atau kedamaian negara tersebut.
Sebab-sebab sengketa internasional tersebut dapat berupa :
1. pelanggaran batas wilayah berupa penyusupan, mata-mata, lintas batas, pelanggaran zone
batas teritorial hukum laut internasional dan lintas batas kedaulatan udara,
2.
c. Konsiliasi dalam arti luas berarti menyelesaikan sengketa secara damai melalui bantuan
negara-negara lain atau badan penyelidikan yang tidak memihak disebut juga komite penasihat.
Konsiliasi dalam arti sempit berarti pengajuan persengketaan kepada komisi atau komite
untuk membuat laporan dengan usulan-usulan penyelesaian yang tidak mengikat
d. Penyelesaian yang diadakan di bawah pimpinan PBB.
Penyelesaian ini diatur dalam Pasal 2 Piagam PBB. Para anggota PBB berjanji untuk
menyelesaikan persengketaan-persengketaan mereka tanpa melalui kekerasan atau perang.
Tanggung jawab diserahkan kepada Majelis Umum dan Dewan Keamanan PBB. Dewan
Keamanan memiliki kekuasaan yang lebih luas. Dewan Keamanan bertindak dalam beberapa
hal yaitu menyelesaikan persengketaan yang membahayakan perdamaian dan keamanan
internasional, peristiwa yang mengancam perdamaian, melanggar perdamaian atau tindakan
penyerangan atau agresi
C. Mahkamah Internasional
1.
2.
10