Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH HUKUM INTERNASIONAL (SP)

“HAKEKAT DAN KEKUATAN MEGIKAT DARI HUKUM INTERNASIONAL”

DOSEN PENGAJAR :

HERWITASARI, S.H.,M.H

DISUSUN OLEH

NAMA : NAUFAL HUSAINI ANDRIYAN

NIM : 2017330050074

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS JAYABAYA JAKARTA

2019
A. PENGERTIAN DAN SIFAT HUKUM INTERNASIONAL

Pengertian Hukum Internasional :

1. Secara etimologi hukum internasional ini diartikan ialah sebagai berikut:


a. Hukum Antarnegara, merupakan suatu kumpulan peraturan yang didalamnya
mengatur hubungan antar negara.
b. Hukum Antarbangsa (Hukum Bangsa-bangsa), merupakan suatu kumpulan
peraturan yang mengatur hubungan pada antarbangsa.
2. Hugo De Groot (Grotius – Bapak Hukum Internasional di dalam bukunya yang berjudul
Jure Belli ac Pads (The Law of War and Peace)

Hukum Internasional merupakan suatu hukum dan juga hubungan internasional yang
didasarkan pada kemauan bebas serta juga persetujuan beberapa atau juga semua negara
yang ditunjuk. untuk kepentingan secara bersama di negara-negara yang menyatukan diri
didalamnya.

3. JG. Starke (An Introduction to Internasional Law)

Hukum Internasional merupakan suatu sekumpulan hukum yang sebagian besar itu terdiri
serta juga asas- asas dan karenanya ditaati dalam hubungan antar negara.

4. Cheney Hyde (International Law)

Hukum Internasional merupakan suatu peraturan-peraturan hukum mengenai pelaksanaan


fungsi lembaga-lembaga serta juga organisasi internasional, hubungan lembaga-lembaga
organisasi tersebut, serta juga hubungannya dengan negara-negara juga individu-individu.

5. Mochtar Kusumaatmadja

Hukum Internasional merupakan keseluruhan kaidah dan juga asas hukum yang mengatur
hubungan ataupun persoalan yang melintasi pada batas-batas negara, antar negara, antara
negara dengan subjek hukum lain bukan negara atau juga subjek hukum bukan negara satu
sama Iainnya.
6. John Austin

Hukum internasional ini hanya sebagai basa-basi (sopan-santun) dalam pergaulan


internasional serta juga bukan hukum dalam arti sebenamya. Hal tersebut karena tidak ada
kekuasaan yang berdaulat yang berada di atas negara-negara yang dapat mengikat serta juga
yang dapat memaksakan agar hukum internasional tersebut ditaati dan dipatuhi.

7. Sam Suhaedi

Hukum internasional adalah suatu himpunan aturan-aturan, norma-norma, serta juga asas
yang mengatur pergaulan hidup masyarakat internasional.

8. Wirjono Projodikoro

Hukum internasional merupakan suatu hukum yang mengatur perhubungan hukum diantara
berbagai bangsa di berbagai negara.

Sifat Hukum Internasional :

Hukum internasional adalah hukum yang sifatnya koordinatif, yakni dalam hubungan
internasional yang diatur hukum internasional dilandasi oleh persamaan kedudukan antara
anggota masyarakat bangsa-bangsa, tidak ada badan supranasional ataupunn pemerintah
dunia (world government) yang memiliki kewenangan membuat sekaligus memaksakan
berlakunya suatu aturan internasional.

Sifat dari hukum internasional berbeda dengan sifat hukum nasional menurut Prof.
Charles Rousseau, seorang pakar hukum internasional Universite de Paris, mengatakan
Sorbonne: alors que le droit interne est undroit de subordination, le droit internationalse
presente comme un droit decoordination.Yang berarti bila hukum nasional merupakan
hukum subordinasi, maka hukum internasional adalah hukum koordinasi. Subordinasi
maksudnya ada hubungan tinggi-rendah antara yang diperintah (rakyat) dan yang memerintah
(pemerintah). Sedangkan koordinasi maksudnya hubungan internasional yang diatur hukum
internasional dilandasi oleh kesamaan kedudukan antar subjek yang terlibat. Hukum
Internasional adalah hukum yang sesungguhnya (really law) hal tersebut dikemukakan oleh
Oppenheim, di mana hal tersebut dikemukakan berdasar kepada tiga syarat yakni, pertama,
adanya aturan hukum, adanya masyarakat, serta adanya jaminan pelaksanaan dari luar
(external power). Syarat pertama dan kedua sudah sangat jelas terlihat dalam pergaulan
internasional sehari-hari. Sedangkan syarat ketigat erefleksi dari sanksi-sanksi external dari
hukum internasional yakni dapat berwujud sebagai tuntutan permintaan maaf (statisfaction),
ganti rugi (compentation/pecuniary), serta pemulihan keadaan pada kondisi
semula(repartition).

B. KETENTUAN MENGIKAT HUKUM INTERNASIONAL

Kekuatan mengikat hukum internasional dibagi dalam dua aliran atau mashab hukum
terkemuka yaitu adalah aliran hukum alam dan aliran hukum positif.

Menurut aliran hukum alam ( natural law ), hukum itu berasal dari alam dan
diturunkan. Hukum di pandang memilki sifat Universal, abadi, tidak berubah ubah, sama di
mana mana, seperti halnya dengan alam itu sendiri yang juga universal, abadi dan tidak
berubah ubah, jadi di manapun juga sama saja. Aliran hukum alam, memandang hukum itu
demikian abstrak dan tinggi serta hanya mengakui satu macam hukum yang berlaku di
seluruh dunia, yakni hukum alam itu sendiri. Masyarakat atau manusia di pandang hanya
sebagai penerima yang pasif. Sekitar Abad Pertengahan, sesuai dengan situasi dan kondisi
pada masa itu, yakni berkembangnya pengaruh ajaran Ketuhanan, aliran hukum alam inipun
tidak luput dari pengaruh Ketuhanan sehingga menampakkan ciri ciri keagamaan / Ketuhanan
yang sangat kuat. Hukum alam tidak lagi di pandang berasal dari alam, melainkan berasal
dari Tuhan. Tuhanlah yang menurunkannya kepada manusia melalui alam. Hukum alam
berasal dan bersumber dari Tuhan.

Dengan kata lain, aliran hukum alam mulai di sekulerisasikan. Adapun orang yang
berhasil mensekulerisasikan adalah Hugo de Groot atau yang juga di kenal dengan nama
latinnya, Grotius, seorang jurist terkemuka berkebangsaan Belanda. Secara garis besarnya,
Grotius menyatakan, bahwa hukum alam tidak ada hubungannya dengan Tuhan. Adanya
hukum alam tidak tergantung pada ada atau tidaknya Tuhan. Andai kata Tuhan tidak ada,
hukum alam tetap ada. Dalam hubungannya dengan hukum internasional, para pengikut
aliran hukum alam memandang, bahwa hukum internasional hanyalah bagian dari hukum
alam, yakni hukum alam yang berlaku dalam masyarakat bangsa bangsa atau masyarakat
internasional. Oleh karena itu, hukum internasionalpun juga mempunyai sifat dan kekuatan
mengikat yang sama seperti hukum alam.
Aliran hukum positif tidak memandang hukum berasal dari alamataupun dari Tuhan,
melainkan hukum di buat oleh manusia atau masyarakat, tumbuh, hidup, berlaku dan
berkembang dalam masyarakat. Mengingat sistem sosial budaya antara kelompok
masyarakat yang satu dan yang lainnya berbeda beda dan berubah ubah dari waktu ke
waktu, sudah tentu pula hukum sebagai produk dan bagian dari kehidupan masyarakat itu
sendiri juga berbeda beda dan berubah ubah. Jadi tidak ada hukum yang abadi dan berlaku
universal atau yang tidak berubah ubah. Hukum itu berbeda beda sesuai dengan masyarakat
tempat berlakunya, dan verubah ubah sesuai dengan waktunya. Jadi ada faktor kehendak
negara ( state will ) yang menyebabkan masyarakat internasional, khususnya negara negara
untuk tunduk dan terikat pada hukum internasional.

C. KELEMAHAN DAN PERKEMBANGAN HUKUM INTERNASIONAL

Beberapa kelemahan dari hukum pidana Internasional


a. Tidak memiliki asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mandiri dan terpadu.
b. Tidak jelas sistem dan kerangka hukumnya.
c. Sangat dipengaruhi oleh faktor politik.
d. Perjanjian-perjanjian internasional mengenai kejahatan internasional tunduk pada
ratifikasi.
e. Tidak adanya aparat-aparat penegak hukum (internasional mandiri,baik pada level
legislatif, eksekutif maupun yudikatif.
f. Pengimplementasiannya lebih banyak diandalkan pada hukum (pidana) nasional
masing-masing negara.

A. Hukum pidana internasional tidak memiliki asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang
mandiri dan terpadu.
Hukum pidana Internasional tampak tidak memiliki asas2 dan kaidah2 hukum
tersendiri secara mandiri. Hal ini mengakibatkan hukum pidana internasional, baik
pembuatan kaidah2 hukumnya, pengimplementasian, maupun pemaksaan terhadap para
pelanggarnya di berbagai kawasan dunia ini tampak tidak konsisten. Dalam banyak kasus
kejahatan, penyelesaiannya sebagain besar masih mengandalkan pada hukum pidana
nasional negara-negara. Hanya sebagian kecil saja yang sudah mengandalkan pada hukm
internasional yang secara mandiri pada tataran internasional antara lain, melalui organisasi
internasional, seperti: Majelis Umum dan Dewan Keamanan PBB ataupun melalui Badan-
Badan peradilan kriminal internasional, seperti Mahkamah Militer Internasional di
Nuremberg 1945 dan Tokyo 1946, Mahamah kejahatan Perang dalam bekas kasus
Yugoslavia 1993 dan Rwanda 1994, serta Mahkamah pidana internasional.

B. Hukum Pidana Internasional itu tidak Jelas sistem dan Kerangka Hukumnya.

Dikalangan para ahli hukum pidana internasional tidak ada kesepakatan. Ini
menunjukkan bahwa ruang lingkup subjek hukum dari hukum pidana internasional itu sendiri
masih kontroversial, belum lagi asas-asas dan kaidah-kaidah hukumnya masih belum ada
kejelasan dan kesepakatan para ahli hukum pidana internasional. Namun tujuannya sudah ada
kepastian yakni pencegahan dan pemberantasan kejahatan internasional dengan mencari,
menangkap, menahan, mengusut, mengadili dan menjatuhkan putusan yang memiliki
kekuatan mengikat yang pasti terhadap pelaku yang bersalah. Dalam kondisi seperti ini tentu
akan sulit merumuskan dan menyusun kerangka dan sistem hukum dari hukum pidana
internasional tersebut.

C. Hukum Pidana Internasional sangat dipengaruhi oleh faktor politik.

Hukum pidana internasional terutama yang berbentuk perjanjian-perjanjian


internasional, baik dalam pembentukan,pengimplementasian, maupun proses pemaksaannya
terhadap pihak-pihak yang melanggarnya, baik pada tataran internasional maupun nasional
sangat dipengaruhi oleh faktor politik. Negara-negara akan berpartisipasi ataukah tidak
didalam suatu perundingan untuk merumuskan naskah suatu perjanjian internasional,
pertama-tama tentulah mendasarkan keputusannya pada pertimbangan-pertimbangan politik.
Bahkan bukan saja hukum pidana internasional saja yang dipengaruhi faktor politik, bidang-
bidang kehidupan lain pada umumnya juga tidak terlepas dari pengaruh politik.

D. Perjanjian-perjanjian Internasional Mengenai Kejahatan Internasional Tunduk Pada


Peratifikasian Oleh Negara-negara.

Sifat dan hakikat dari perjanjian-perjanjian internasional, terutama perjanjian-


perjanjian internasional yg substansiinya tergolong penting dan besar yg lazimnya disebut
law making treaty yang membutuhkan adanya peratifikasian atau pengikatan diri dari negara-
negara, barulah akan dimulai berlaku pda suatu wakttu tertentu, setelah terpenuhinya
sejumlah minimum tertentu negara-negara yang sudah meratifikasinya.

E. Tidak Adanya Aparat-aparat Penegak Hukum yang Mandiri (pada Tataran Internasional)
baik Legislatif, Eksekutif, maupun Yudikatif.

Ketiadaan aparat-aparat penegak hukum pidana internasional pada tataran


internasioanl, misalnya, badan penegak hukum dalam bidang pembuatan peraturan-peraturan
HPI (legislatif), pelaksanaan (eksekutuf, ataupun pemaksaannya (yudikatif) merupakan titik
lemah dari HPI. Meskipun badan-badan peradilan HPI yang bersifat ad hod yang memiliki
yuridiksi untuk mengadili pelaku-pelaku kejahatan kemanusiaan, genosida, agresi dan
kejahatan perang, namun pembentukannya pun tidak terlepas dari faktor politik. Meskipun
sekarang sudah ada atau berdiri Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal
Court) yg bersifat pemanen, peranannya hanya lah sebagai pelengkap atas yuridiksi nasional
negara-negara.

F. Pengimplementasiannya Lebih Banyak Diandalkan pada Hukum (Pidana) Nasonal


Negara-Negara.
Pengimplementasiannya Lebih Banyak Diandalkan pada Hukum (Pidana) Nasonal
Negara-Negara mengakibatkan si pelaku kejahatan relatif akan lebih sulit untuk
menghidarikan diri dari pertanggungjawaban pidana atas perbuatannya itu. Kesulitan bagi si
pelaku ini akan semakin berat lagi apabila semakin banyak negara-negara yg mengatur
kejahatan internasioanl tersebut di dalam hukum atau UU pidana nasionalnya.

Perkembangan Hukum Internasional

Sejarah Perkembangan Hukum Internasional dimulai sejak abad 6 SM di lingkungan


kebudayaan India Kuno di mana terdapat adat kebiasaan yang mengatur hubungan di antara
hubungan raja-raja yang dinamakan Desa Dharma. Hukum bangsa-bangsa pada zaman India
Kuno sudah mengenal ketentuan yang mengatur kedudukan dan hak istimewa diplomat atau
utusan raja yang dinamakan duta. Juga sudah terdapat ketentuan yang mengatur perjanjian,
hak dan kewajiban raja. Selain itu juga sudah ada ketentuan mengenai perlakuan tawanan
perang dan cara melakukan perang (The Conduct of War).

Permulaan hukum internasional dapat kita lacak kembali mulai dari wilayah
Mesopotamia pada sekitar tahun 2100 SM, dimana telah ditemukannya sebuah perjanjian
pada dasawarsa abad ke-20 yang ditandatangani oleh Ennamatum, pemimpin Lagash dan
pemimpin Umma. Perjanjian tersebut ditulis diatas batu yang didalamnya mempersoalkan
perbatasan antara kedua negara kota tersebut, yang dirumuskan dalam bahasa Sumeria.

Perkembangan hukum internasional kemudian berlanjut ke zaman Yunani Kuno di


mana dalam masyarakatnya sudah mengenal ketentuan mengenai arbitrasi dan diplomasi.
Selain itu, sumbangan yang paling berharga dari kebudayaan Yunani Kuno untuk Hukum
Internasional saat itu ialah konsep Hukum Alam yaitu hukum yang berlaku secara mutlak di
mana pun juga dan yang berasal dari rasio dan atau akal manusia.

Perkembangan hukum internasional kemudian berlanjut ke zaman Yunani Kuno di mana


dalam masyarakatnya sudah mengenal ketentuan mengenai arbitrasi dan diplomasi. Selain
itu, sumbangan yang paling berharga dari kebudayaan Yunani Kuno untuk Hukum
Internasional saat itu ialah konsep Hukum Alam yaitu hukum yang berlaku secara mutlak di
mana pun juga dan yang berasal dari rasio dan atau akal manusia.

D. TEORI-TEORI KEKUATAN MENGIKAT HUKUM INTERNASIONAL

Menurut dasar berlakunya Hukum Internasional, ada beberapa teori yang sesuai dengan
konstelasi perkembangan jaman saat ini.

A. Teori Hukum Alam/ Hukum Kodrat

Dalam teori hukum alam ini ciri keagamaan sangat kuat, namun setelah itu oleh Grotius
dilepaskan dari hubungannya dengan keagamaan. Disini hukum alam diartikan sebagia
hukum yang ideal yang didasarkan atas hakekat manusia sebagai mahluk yang berakal atau
satuan kaidah yang diilhamkan alam pada akal manusia. Kelemahan teori hukum Alam
adalah sangat samar dan tergantung pada pendapat subjektif dari yang bersangkutan
mengenai keadilan, kepentingan masyarakat Internasional dan konsep lain yang serupa.

B. Norma Hukum (Mazhab Wina)

Teori ini menjelaskan bahwa, pada dasarnya dasar mengikatnya hukum internasional
bukanlah merupakan kehendak negara melainkan berdasarkan pada norma hukum. Suatu
kaidah pada dasarnya didasarkan pada kaidah yang lebih tinggi diatasnya begitu pula
seterusnya. Dan segala sesuatunya dikembalikan kepada kaidah dasar, dan kaidah dasar yang
dianut oleh mazhab ini adlah asas “pacta sun servanda”. Kelemahan dari teori ini adalah tidak
dapat menjawab mengapa kaidah dasar itu sendiri mengikat. Ini mengakibatkan sistem yang
tadinya logis menjadi tergantung di awang-awang, karena tidak mungkin persoalan kekuatan
mengikatnya hukum internasional itu didasrkan pada suatu hipotesa.

C. Fait Social (Mazhab Perancis)

Mazhab Perancis ini mendasarkan mengikatnya suatu hukum termasuk hukum Internasional
pada faktor-faktor biologis, sosial dan sejarah kehidupan manusia yang oleh mereka diberi
nama “fakta-fakta internasional”(fait social). Jadi dasar kekuatan mengikatnya hukum
internasional terdapat dalam kenyataan sosial bahwa mengikatnya hukum itu mutlak perlu,
bagi dapat terpenuhinya kebutuhan manusia (bangsa) untuk bermasyarakat.

E. ANALISA ATAU JAWABAN

TEMPO Interaktif, Mazar-e-Sharif – Tujuh pekerja PBB tewas dibunuh di Mazar-e- Sharif,
Afganistan. Dua di antaranya dipenggal oleh demonstran yang protes pembakaran Al-Quran
di gereja Florida, Amerika Serikat.

Berdasarkan laporan harian The Telegraph, Sabtu (2/4), korban serangan paling keji kepada
pekerja PBB itu termasuk lima petugas keamanan dari Nepal, dan pekerja sipil dari
Norwegia, Swedia, dan Rumania. Dalam peristiwa itu, selain pekerja PBB, empat penduduk
lokal juga ikut terbunuh.

Pejabat PBB kepada Daily Telegraph menyatakan jumlah korban kemungkinan bertambah
hingga 20 orang. Dalam peristiwa itu, beredar kabar bahwa seorang Kepala Asisten Militer
PBB juga ikut terluka. Namun kabar ini belum dapat dipastikan. Penduduk setempat
menyatakan sekitar 2.000 orang demonstran menyerang penjaga keamanan PBB di luar
Unama. Demonstran merampas senjata mereka, lalu menggunakannya untuk menembaki
polisi.

Juru bicara Kepolisian menyatakan pendemo memenggal kepala dua penjaga keamanan dan
menembak penjaga lainnya. Mereka kemudian mendorong tembok anti-pelindung ledakan
untuk menjatuhkan menara keamanan lalu membakar gedung.

Para pendemo mulai berkumpul ketika sejumlah pemimpin agama di masjid di pusat kota
mendesak para jemaah meminta PBB mengambil langkah dalam peristiwa pembakaran Al-
Quran yang dilakukan pendeta Wayne Sapp di Gainesville Florida pada 20 Maret 2011 lalu.

Sekretaris Jenderal PBB Ban-Ki-Moon menyatakan tindakan para pendemo itu merupakan
perilaku yang memalukan dan pengecut. Sementara Presiden Amerika Serikat Barrack
Obama mengutuk tindakan itu.

THE TELEGRAPH| AQIDA SWAMURTI

( Tempo-Interaktif: Sabtu, 2 April 2011 | 11.21 WIB )

Analisisnya

Kasus diatas merupakan kasus hukum internasional karena menyangkut warga negara Nepal,
Norwegia, Swedia, dan Rumania yang notabene warga negara asing di Afghanistan dengan
pendemo yang merupakan warga negara Afghanistan itu sendiri.

Pertanyaan yang muncul adalah negara mana yang berhak mengadili perkara tersebut?

Untuk menentukan negara mana yang berhak mengadili suatu perkara internasional,
diciptakanlah asas-asas hukum yang menjelaskan negara yang berhak mengadili suatu
perkara internasional, salah satu asas tersebut adalah asas Yurisdiksi Negara.

1. Prinsip Teritorial :

Prinsip ini lahir dari pendapat bahwa sebuah negara memiliki kewenangan absolut terhadap
orang, benda dan kejadian-kejadian di dalam wilayahnya sehingga dapat menjalankan
yurisdiksinya terhadap siapa saja dalam semua jenis kasus hukum (kecuali dalam hal adanya
kekebalan yurisdiksi seperti yang berlaku kepada para diplomat asing).

2. Asas Nasionalitas :
Atau disebut juga “hubungan fundamental antara individu dengan negaranya”. Dalam hukum
internasional, hubungan antara individu sebagai warga negara dengan negara adalah sebuah
hal yang paling mendasar (fundamental). Sebuah negara dapat menjalankan yurisdiksi
kriminal dan privat terhadap warga negaranya meskipun yang bersangkutan sedang berada di
negara lain. Contoh, di Inggris dalam kasus Joyce v. Director of Public Prosecutions (1946)
dan Amerika Serikat dalam kasus Iran Hostages Crisis (1979-1980). Permasalahan akan
timbul dalam hal penentuan “kewarganegaraan” yang terkadang cukup rumit. Dalam
Nottebohm Case (1955) ICJ memutuskan bahwa dalam menentukan kewarganegaraan
seseorang, pengadilan harus memperhatikan ”genuine connection” yang menunjukkan
keterikatan seseorang dengan penduduk sebuah negara. Prinsip ini dikenal dengan effective
nationality atau dominant nationality.

3. Asas Personalitas Pasif :

Prinsip ini memberikan hak pelaksanaan yurisdiksi kepada sebuah negara untuk menghukum
kejahatan yang dilakukan di luar wilayahnya, oleh pelaku dari warga negara asing, yang
korbannya adalah warga negara dari negara tersebut. Beberapa ahli hukum internasional
menganggap pelaksanaan yurisdiksi ini tidak memiliki dasar yang kuat. Hal ini karena
membuat pelaku dari kejahatan ini untuk tunduk pada sistem hukum lain yang tidak harus
dipatuhinya. Oleh karena itu, beberapa ahli berpendapat bahwa penerapan prinsip ini hanya
terbatas pada kejahatan yang secara umum diakui oleh negera-negara dunia sebagai kejahatan
seperti pembunuhan dan pencurian.

Contoh kesulitan dari pelaksanaan Pasive Personality Principle ini adalah seperti tergambar
dalam peristiwa pembajakan kapal pesiar Achille Lauro (1985) oleh beberapa orang Palestina
yang berakhir diperairan Mesir.

4. Asas Protektif :

Atau biasa juga disebut sebagai yurisdiksi yang timbul berdasarkan adanya kepentingan
keamanan sebuah negara. Dalam banyak sistem hukum mengakui bahwa negara-negara
memiliki yurisdiksi terhadap kejahatan yang dilakukan oleh orang asing, diluar wilayahnya,
yang mengancam keamanan negara tersebut atau mengancam jalannya pemerintahan negara
tersebut. Contoh dari pelaksanaan prinsip ini adalah, kasus United States v. Archer (1943)
yang diputuskan bahwa hukum Amerika dapat menghukum warga negara asing yang
melakukan perjury terhadap diplomat Amerika di luar negeri. Contoh lain, Israel di tahun
1972 membuat peraturan perundangan yang memberikan yurisdiksi kepada pengadilan Israel
untuk mengadili setiap orang yang melakukan kejahatan di luar negeri yang mengancam
keamanan, ekonomi, transportasi atau komunikasi dari negara Israel.

5. Asas Universal :

Berbeda dengan prinsip-prinsip sebagaimana dibahas diatas, dimana harus ada “hubungan”
antara kejahatan yang dilakukan dengan negara pelaksana yurisdiksi – prinsip universal tidak
membutuhkan hubungan seperti itu. Prinsip ini didasarkan pada fakta bahwa sebuah negara
menjalankan yurisdiksinya karena seseorang berada dalam kekuasaannya (custody), karena
melakukan kejahatan berdasarkan hukum nasional negara lain ataupun kejahatan berdasarkan
hukum internasional. Bila seseorang tersebut melakukan kejahatan berdasarkan hukum
nasional negara lain, maka sebuah negara hanya dapat menjalankan yurisdiksinya bila negara
lain tersebut menolak untuk menjalankan yurisdiksinya. Pelaksanaan yurisdiksi terhadap
kejahatan berdasarkan hukum internasional lebih diterima oleh negara-negara dunia. Hal ini
karena beberapa kejahatan yang diatur dalam hukum internasional dapat mengganggu
masyarakat internasional secara luas.

Menurut saya asas yang paling tepat untuk kasus ini adalah Asas Teritorial, Karena seluruh
rangkaian kejadian kasus ini terjadi di Afganistan, pelaku kasus ini adalah demonstran yang
merupakan warganegara Afganistan, para korban menghembuskan nafas terakhir mereka di
Afganistan, kerugian paling signifikan dirasakan oleh Afganistan (meninggalnya 4 penduduk
lokal, hancurnya fasilitas umum, dan hangusnya gedung-gedung).

F. KESIMPULAN

Jadi, Dari keseluruhan pengertian /juga definisi diatas dapat disimpulkan bahwa,
Hukum internasional merupakan suatu perkumpulan hukum yang terdiri dari asas-asas ,
norma-norma dan peraturan- peraturan pada tingkah laku bangsa-bangsa dan negara-negara.
Pada umumnya setiap hukum nasional mengandung dimensi hubungan hukum internasional,
demikian juga hukum internasional memberi peluang berlakunya hukum nasional. Dalam
hukum internasional, di samping manusia sebagai subyek hukum, yang juga termasuk subyek
hukum adalah negara dan badan hukum suwasta.
G. REFRESI / SUMBER

(Sefriani, Hukum Internasional:Suatu Pengantar Edisi Kedua, Cetakan VI. Jakarta: Rajawali
Pers, 2016, hlm. 4.)

Read more: http://hitamandbiru.blogspot.com/2012/07/teori-teori-dasar-berlakunya-


hukum.html#ixzz5wVW6Dam3

T. May Rudy, 2006. Hukum Internasional 1. Yang Menerbitkan PT Refika Aditama : Bandung. Dan
Iwayan Parthiana, Pengantar Hukum Internasional, (Mandar Maju : 2003)

D. Carreau Th. Flory et P. Juliard, Droit International Economic Paris, Librairie Generale de Droit et de
Jurisprudence, (LGDJ), 3 Edition 1990, No. 103-108

Ekram Pawiroputro. 2008. Diktat Hukum Internasional. Yogyakarta: UNY Press

Read more: http://hitamandbiru.blogspot.com/2012/07/teori-teori-dasar-berlakunya-


hukum.html#ixzz5wViMGG20

Anda mungkin juga menyukai