HUKUM INTERNASIONAL
ARUM TARINA, S.H., LL.M.
PRODI HUKUM
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS PELITA BANGSA
SIFAT HAKIKAT HUKUM INTERNASIONAL
Dalam hukum internasional berlaku tertib hukum koordinatif dari sejumlah negara-negara
yang masing-masing merdeka dan berdaulat, hal ini berbeda dari hukum nasional
dengan tertib hukumnya bersifat subordinatif. Oleh karenanya dalam hukum internasional
tidak terdapat lembaga-lembaga yang dihubungkan dengan hukum dan
pelaksanaannya:
- dalam hukum internasional tidak terdapat kekuasaan eksekutif;
- dalam hukum internasional tidak terdapat lembaga legislatif;
- dalam hukum internasional tidak terdapat lembaga kehakiman (yudisial);
- dalam hukum internasional tidak terdapat lembaga kepolisian.
Lembaga-lembaga atau badan-badan di atas adalah lembaga-lembaga yang
diperlukan guna memaksakan berlakunya suatu ketentuan hukum.
TEORI-TEORI DASAR KEKUATAN MENGIKAT
HUKUM INTERNASIONAL
Pada kenyataannya hukum internasional tidak memiliki lembaga legislatif, eksekutif,
yudisial, maupun kepolisian tetapi pada kenyataannya pula hukum internasional itu
mengikat, maka timbul pertanyaan: mengapa hukum internasional itu mengikat? Apa
yang menjadi dasar mengikatnya hukum internasional?
Dalam hubungan ini telah timbul beberapa teori atau ajaran yang mencoba memberikan
landasan pemikiran tentang mengikatnya hukum internasional, yaitu:
(1) Mazhab atau Ajaran Hukum Alam;
(2) Mazhab atau Ajaran Hukum Positif; dan
(3) Mazhab Perancis.
(1) MAZHAB/AJARAN HUKUM ALAM.
Menurut Mazhab Hukum Alam, hukum internasional mengikat karena ia adalah bagian
dari “hukum alam” yang diterapkan dalam kehidupan bangsa-bangsa. Negara-negara
tunduk atau terikat kepada hukum internasional dalam hubungan antar mereka karena
hukum internasional itu merupakan bagian dari hukum yang lebih tinggi, yaitu “hukum
alam”. Tokoh-tokoh dari mazhab ini, antara lain, Hugo Grotius (Hugo de Groot), Emmeric
Vattel, dll.
Kontribusi terbesar mazhab hukum alam bagi hukum internasional adalah bahwa ia
memberikan dasar-dasar bagi pembentukan hukum yang ideal. Konsep hidup
bermasyarakat internasional merupakan keharusan yang diperintahkan oleh akal budi
(rasio) manusia, mazhab hukum alam sesungguhnya telah meletakkan dasar rasionalitas
bagi pentingnya hidup berdampingan secara tertib dan damai antar bangsa-bangsa di
dunia ini walaupun mereka memiliki asal-usul keturunan, pandangan hidup, dan nilai-nilai
yang berbeda-beda.
Meskipun demikian, mazhab ini juga mengandung kelemahan yaitu tidak jelasnya apa
yang dimaksud dengan “hukum alam” itu. Akibatnya, pengertian tentang hukum alam itu
menjadi sangat subjektif, bergantung pada penafsiran masing-masing orang atau ahli
yang menganjurkannya.
(2) MAZHAB HUKUM A. Mazhab atau Teori Kehendak Negara atau
POSITIF Teori Kedaulatan Negara;
Mazhab Kehendak Bersama Negara- negara ini juga mengandung kelemahan, yaitu:
1. mazhab ini tidak mampu memberikan penjelasan terhadap pertanyaan: kalaupun
negara-negara tidak dimungkinkan menarik persetujuan untuk terikat kepada hukum
internasional secara sendiri-sendiri, bagaimana jika negara-negara tersebut secara
bersama-sama menarik persetujuannya untuk tidak terikat pada hukum internasional?
Apakah dengan demikian berarti hukum internasional menjadi tidak ada lagi?
2. dengan mendasarkan kekuatan mengikat hukum internasional itu pada kehendak negara,
maka (seperti halnya pada Mazhab Kehendak Negara) mazhab ini pun sesungguhnya
hanya menganggap hukum internasional itu hanya sebagai hukum perjanjian antar
negara-negara. Pendapat ini, sebagaimana telah disinggung di atas, telah terbukti
sebagai pendapat yang tidak benar. Sebab hukum internasional bukan semata-mata
lahir dari perjanjian internasional.
c. Mazhab Wina
Mazhab wina tidak lagi meletakkan dasar mengikat hukum internasional itu pada kehendak
negara melainkan pada adanya norma atau kaidah hukum yang telah ada terlebih dahulu yang
terlepas dari kehendak atau tidak oleh negara-negara. Tokoh terkenal dari aliran ini adalah
Hans Kelsen. Menurut Kelsen, ada dan mengikatnya kaidah hukum internasional didasarkan oleh
ada dan mengikatnya kaidah hukum lain yang lebih tinggi, sampai pada suatu puncak piramida
kaidah-kaidah hukum yang dinamakan kaidah dasar (grundnorm) yang tidak lagi dapat
dijelaskan secara hukum melainkan harus diterima adanya sebagai hipotesa asal. Menurut Kelsen,
kaidah dasar dari hukum internasional itu adalah prinsip atau asas pacta sunt servanda.
Berdasarkan pasal-pasal tersebut tampak bahwa Indonesia menghendaki adanya proses transformasi
bagi hukum internasional (dalam hal ini perjanjian internasional) untuk dapat menjadi hukum nasional.
Untuk penerapan di Indonesia dapat pula membaca:
https://www.slideserve.com/ferris-lloyd/teori-ajaran-ttg-hubungan-h-i-dgn-h-
n-teori-dualisme-monisme-dan-primat-hi
Sekitar tahun 1958 Pemerintah Indonesia mengambil alih perusahaan-perusahaan Belanda. Berkaitan
dengan nasionalisasi ini, timbul gugatan perusahaan tembakau Belanda di Bremen (Jerman), ketika tembakau
dari perkebunan di Deli akan dilelang pada pasar tembakau di Bremen.
Duduk perkaranya bermula pada saat pengapalan tembakau dari bekas perusahaan Belanda yang
dinasionalisasi oleh Pemerintah Indonesia. Pemilik perusahaan yang dinasionalisasi tersebut mengklaim
tembakau tersebut sebagai miliknya. Kemudian, pihak Belanda menggugat pihak pemerintah Indonesia dan
Maskapai Tembakau Jerman-Indonesia. Menanggapi gugatan Belanda, Indonesia menyatakan bahwa
tindakan pengambilalihan dan nasionalisasi itu merupakan tindakan suatu negara yang berdaulat dalam
rangka perubahan struktur ekonomi bangsa Indonesia dari struktur ekonomi kolonial ke ekonomi nasional.
Pihak Indonesia dan Maskapai Tembakau Jerman-Indonesia digugat oleh pihak Belanda di Pengadilan
Bremen. Dalam putusannya secara tidak langsung membenarkan nasionalisasi perusahaan dan perkebunan
milik Belanda oleh pemerintah Indonesia. Pihak Belanda mengajukan banding atas putusan tersebut ke
Pengadilan Tinggi Bremen dan mendalilkan bahwa tindakan Indonesia dalam menasionalisasi bekas
perusahaan Belanda tidak sah karena ganti rugi yang ditawarkan tidak memenuhi apa yang oleh pihak
Belanda dianggap sebagai dalil hukum internasional yaitu bahwa ganti rugi itu harus prompt, effective dan
adequate. Menurut pihak tergugat nasionalisasi tersebut perlu dilakukan dalam rangka perubahan struktur
ekonomi tersebut. Dalil klasik prompt, effective dan adequate yang berlaku dalam hukum internasional
harus tunduk pada hukum nasional karena interpretasi prompt, effective dan adequate masing-masing
Negara berbeda disesuaikan dengan kemampuannya.
Kasus Mobil Nasional
Indonesia yang secara resmi bergabung dengan World Trade Organization dengan meratifikasi
konvensi WTO melalui Undang-Undang Nomor 7 tahun 1994 secara hukum terikat kepada
ketentuan-ketentuan General Agreements on Tariff and Trade.
Kasus ini diawali dengan dikeluarkannya instruksi Presiden Nomor 2 tahun 1996 mengenai Program
Mobil Nasional sebagai terobosan di sektor otomotif Indonesia. Inpres ini bertujuan untuk
tercapainya kemajuan dan kemandirian bangsa Indonesia dalam industri otomotif. Program Mobil
Nasional ini yang menunjuk PT Timor Putra Nusantara (TPN) sebagai perusahaan yang memproduksi
Mobnas. Namun dalam kenyataannya PT TPN belum dapat memproduksi mobil di dalam negeri,
maka dikeluarkanlah Keputusan Presiden Nomor 42 tahun 1996 yang mengizinkan PT TPN
mengimpor Mobnas yang kemudian diberi merek “Timor” dari Korea Selatan. Perusahaan tersebut
juga diberikan hak istimewa, yaitu bebas pajak barang mewah dan bebas bea masuk barang
impor. Hal ini mendatangkan reaksi dari beberapa pihak yaitu Jepang, Amerika Serikat dan
beberapa negara Eropa. Jepang melalui Wakil Menteri Perdagangan Internasional dan Industrinya
membawa masalah ini ke WTO. Jepang menilai bahwa kebijakan pemerintah tersebut sebagai
wujud diskriminasi dan oleh karena itu melanggar prinsip-prinsip perdagangan bebas.
Dalam penyelesaian kasus Mobil Nasional tersebut, WTO memutuskan bahwa Indonesia telah
melanggar prinsip-prinsip GATT yaitu National Treatment dan menilai kebijakan mobil nasional
tersebut tidak sesuai dengan spirit perdagangan bebas WTO, oleh karena itu WTO menjatuhkan
putusan kepada Indonesia untuk menghilangkan subsidi serta segala kemudahan yang diberikan
kepada PT. Timor Putra Nasional selaku produsen Mobil Timor. Keputusan ini menunjukkan
bahwa hukum nasional tunduk pada hukum internasional.
Kesimpulan:
1. Tertib hukum internasional berbeda dibandingkan dengan tertib hukum
nasional, tertib hukum internasional bersifat koordinatif sedangkan tertib
hukum nasional bersifat subordinatif. Tertib hukum koordinatif mengakui
bahwa masing- masing negara adalah merdeka dan berdaulat. Oleh
karena itu dalam kenyataannya, di dalam hukum internasional tidak
terdapat kekuasaan yang dapat diasosiasikan dengan hukum dan
pelaksanaannya.
2. Dalam memandang hubungan antara hukum internasional dan hukum
nasional, tidak terlepas dari perkembangan zaman. Saat ini, di mana
hubungan antar negara semakin berkembang pesat, hukum nasional tidak
mungkin dapat berada di atas hukum internasional. Hal yang paling
rasional adalah bahwa hukum nasional dapat berdiri sejajar dengan
hukum internasional.
TERIMA KASIH
Arum Tarina, S.H., LL.M.
0811106991 – arum.tarina@pelitabangsa.ac.id