Anda di halaman 1dari 4

3.

Jelaskan dengan menggunakan analisis anda sendiri apa yang dimaksud dengan
hukum internasional berdasarkan masing-masing teori!

Hukum Internasional berdasarkan teori-teorinya

Hukum Internasional pada kenyataannya tidak memiliki lembaga legislative, eksekutif,


yudikatif maupun kepolisian, sedangkan hukum internaisonal dianggap pula sebagai hukum yang
mengikat, oleh sebab itu timbul suatu pertanyaan : mengapa hukum internasional itu mengikat?
Dan apa yang menjadi dasar mengikatnya hukum internasional? Dalam hubungan ini maka
muncul beberapa teori atau ajaran yang mecoba memberikan landasan pemikiran tentang
mengikatnya hukum internasional, yaitu :

1. Teori Hukum Alam

Hukum alah diartikan sebagai hukum ideal yang didasarkan pada sifat hakikat manusia
sebagai makhluk berpikir, dan sebagai rangkaian kaidah yang memberikan inspirasi dari alam
kepada akal budi manusia.1 Pendukung pendapat ini adalah Grotius yang merupakan orang
pertama yang mengemas teori hukum alam dengan pola piker sekularitas yang sebelumnya
bersifat semi-teologis. Selanjutnya teori hukum alam dan kaitannya dengan kekuatan memaksa
kaidah hukum internasional mengalami perkembangan bertahap dan didukung oleh banyak
akademis.

Karena hukum alam memiliki karakter yang rasional dan idealistic, maka konsepsi
“hukum alam” telah menanamkan pengaruh besar yang memberikan sumbangan kepada
perkembangan hukum internsioanal. Meskipun konsep hukum alam kurang jelas, cenderung
merupakan doktrin yang subjektif dan kurang objektif, tetapi paling sedikit konsep hukum alam
telah menanamkan penghargaan terhadap hukum internasional serta memberikan landasan-
landasan moral dan etika yang tidak dapat diabaikan.

Namun disisi lain, teori hukum alam ini memiliki kelemahan utamanya adalah
keterasingannya dari realita-realita hubungan internasional yang tampak dalam hal kurangnya
penekanan atas praktek actual yang diikuti oleh negara-negara dalam hubungan timbal balik
mereka, meskipun sebagian besar kaidah hukum internasional berasal dari praktek seperti ini.
Meskipun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa banyak deklarasi internasional, aturan-aturan
tentang kejahatan perang dan tindak pidana internasional diklaim lahir dari teori hukum alam,
contohnya The Universal Declaration on Human Rights yang berlandaskan pada hak-hak
alamiah manusia. Declaration on the Rights and Duties og States yang mengatur hak dan
kewajiban negara dan secara alamiah setiap individu memiliki hak dan kewajiban tersebut.2

2. Teori Positivis
Teori positivisme, dibagi menjadi :

1
J.G. Starke, 2010, Pengantar Hukum Internasional, Jakarta: Sinar Grafika. 24
2
Ibid, hlm. 25
a. Teori Kehendak Negara/ Positivisme Klasik
Pendukung aliran ini berpendapat bahwa hukum internasional lahir dari sebuah
kehendak negara, dan kehendak itulah yang melahirkan sebuah hukum internasional.
Sebagaimana hukum nasional lahir atas kehendak rakyat, maka hukum internasional
juga lahir atas kehendak negara yang menyetujui kaidah-kaidah yang melandasi
hukum internasional tersebut. dalam teori positivisme klasik ini menyatakan bahwa
kehendak negara yang melahirkan hukum internasional adalah kehendak yang
mutlak, artinya negara berkehendak secara sukarela dalam menyetujui atau menolak
sebuah kaidah hukum internasional tanpa ada unsur keterpaksaan. Serta kehendak
negara yang melahirkan hukum internasional adalah kehendak dari negara-negara
yang secara bersama dan mempunyai kesamaan derajat satu sama lainnya, kehendak
tersebut kemudian melahirkan kekuatan memaksa dari kaidah yang disetujui.
b. Positivisme modern
Sedangkan pada teori positivisme modern lebih memandang kaidah hukum
internasional dari substansinya, menurut para pendukung teori ini hukum
internasional bukan semata-mata lahir dari kehendak, tetapi ada kaidah fundamental
yang mendasari kehendak tersebut, yaitu kehendak yang universal. Karena sebuah
kaidah hukum tidak dapat berdiri sendiri, tetapi saling mempengaruhi satu kaidah
lainnya.

Teori Positivisme meskipun memiliki pengaruh yang luas pada hukum internasional di
pertengahan abad-18, namun tidak terlepas dari kritik, khususnya teori positivisme klasik yang
memandang bahwa hukum internasional lahir dari kehendak sukarela negara. Pada prakteknya
sulit menyatukan teori tersebut dengan fakta, misalnya proses dekolonisasi negara-negara baru.
Negara-negara baru itu terikat oleh hukum internasional sejak saat kemerdekaannya tanpa
adanya tindakan persetujuan yang tegas dari negara yang bersangkutan, walau dapat
diputarbalikkan dengan alasan persetujuan yang implisit atau “diam-diam”.

3. Teori Objektivisme

Teori ini hampir sama dengan teori kehendak negara, namun perbedaannya adalah dalam
persetujuan negara untuk untuk pada hukum internasional menghendaki adanya suatu hukum
atau norma sebagai sesuatu yang telah ada terlebih dahulu dan teori ini berlaku terlepas dari
kehendak negara, artinya tidak adanya kehendak negara untuk tunduk pada hukum internasional,
namun lebih kepada kehendak untuk mengikuti hukum atau norma yang telah ada terlebih
dahulu.

4. Mazhab Wina

Menurut Mazhab Wina, bukan kehendak negara yang menjadi dasar kekuatan mengikat
dari hukum internasional, melainkan adanya suatu norma hukum. Artinya, kehendak negara
untuk tunduk pada hukum internasional menghendaki adanya suatu hukum atau norma sebagai
sesuatu yang telah ada terlebih dahulu, dan kemudian berlaku terlepas dari kehendak negara.

Kekuatan mengikat suatu kaidah hukum internasional didasarkan pada suatu kaidah yang
lebih tinggi yang nantinya akan berdasarkan lagi pada kaidah yang lebih tinggi pula, demikian
seterusnya. Ketika sampai pada kaidah yang tertinggi, maka disitulah letak suatu kaidah dasar
(grundnorm) yang merupakan puncak piramida kaidah hukum tersebut.

Hans Kelsen sebagai bapak Mazhab Wina mengemukakan bahwa asas Pacta Sunt
Servanda adalah suatu kaidah dasar (grundnorm) dan merupakan kekuatan dasar mengikatnya
hukum internasional. Kelemahan dari mazhab atau teori ini adalah bahwa memang sepintas
tampak bahwa konstruksi pemikiran mazhab ini terlihat logis dalam menjelaskan dasar
mengikatnya hukum internasional, namun disisi lain mazhab ini tidak dapat menjelaskan
mengapa kaidah dasar (grundnorm) itu sendiri mengikat. Lebih jauh lagi, dengan mengatakan
bahwa grundnorm itu sebagai persoalan di luar hukum atau tidak dapat dijelaskan secara hukum
maka berarti persoalan tentang dasar mengikatnya hukum internasional akhirnya dikembalikan
lagi kepada nilai-nilai kehidupan manusia di luar hukum yaitu rasa keadilan dan moral yang
berarti ini sama sajak dengan mengembalikan dasar mengikatnya

hukum internasional itu kepada hukum alam.

5. Mazhab Perancis (Fait Social)

Pada mazhab ini menjelaskan dasar mengikatnya hukum internasional itu berbeda dengan
kedua teori sebelumnya (teori hukum alam dan teori positivisme). Mazhab ini muncul di
Perancis, karena itu, mazhab ini dikenal sebagai mazhab Perancis. Pada intinya, mazhab ini
meletakkan dasar mengikatnya hukum internasional sebagaimana halnya bidang hukum lainnya,
yaitu pada faktor-faktor yang mereka namakan “fakta-fakta kemasyarakatan” (fait social), yaitu
berupa faktor biologis, sosial, dan sejarah kehidupan manusia. Artinya, dasar mengikatnya
hukum internasional itu dapat dikembalikan lagi kepada sifat alamiah manusia sebagai makhluk
sosial yang senantiasa memiliki hasrat untuk hidup dan bergabung dengan manusia lainnya serta
kebutuhan akan solidaritas.

Kebutuhan dan naluri sosial manusia sebagai individu itu juga dimiliki oleh negara-
negara atau bangsa-bangsa yang merupakan kumpulan manusia. Dengan kata lain, menurut
mazhab Perancis ini, dasar mengikatnya hukum internasional itu adalah sama halnya dengan
dasar mengikatnya setiap hukum, yaitu terdapat dalam kenyataan sosial yaitu pada kebutuhan
manusia untuk hidup bermasyarakat.3

6. Teori-Teori Kontemporer
a. Teori Restrukturisasi

3
Mochtar Kusumaatmadja & Etty R. Agoes, 2003, Pengantar Hukum Internasional, PT. Alumni, hlm.45-54
Philip Allot menginginkan adanya restrukturasi hukum internasional dengan
menempatkan individu sebagai pusat perhatian hukum internasional. Hal ini dapat dicapai
dengan melalui kekuatan berpikir manusia yang dalam kalimatnya ditulis sebagai berikut “kita
membuat dunia manusia, termasuk institusi manusia melalui kekuatan berpikir manusia. Apa
yang kami buat, dengan berpikir kami bisa membuat pemikiran yang baru.”

Sebagai konsekuensinya, konsep kedaulatan yang dinyatakan oleh Philip Allot ini
dinyatakan tidak lebih sebagai inkoherensi teoritis dan kekurangan dalam dimensi praktis hukum
internasional. Pendapat Allot ini ditujukan pada sifat hukum internasional yang mengeklusikan
individu dan sistem, sehingga tidak heran apabila hukum internasional, sebagaimana terlihat saat
ini, merupakan hukum yang melayani kepentingan pihak yang berkuasa ditingkat nasional
dinegara non-demokratis.

Dengan tuntutan akan terciptanya humanisasi hukum internasional melalui restrukturisasi


diharapkan hukum internasional akan menjadi lebih responsive terhadap persoalan-persoalan
kemanusiaan yang merupakan persoalan sebenarnya bagi komunitas internasional.

b. Teori Feminisme

Disisi lain munculnya pemikiran hukum internasional yang mengusung nama Feminisme
yang sebagai counter atas dominasi nilai-nilai maskulin yang selama ini mendominasi. Teori ini
merupakan suatu upaya dan kelompok feminist untuk melakukan sebuah terobosan atas sistem
yang selama ini telah terdistorsi oleh deskriminasi gender. Namun kelompok ini tidak berupaya
untuk mengganti suatu kebenaran dengan kebenaran lainnya.

Menurut Hilary Charlesworth, teori ini lebih difokuskan kepada upaya menyelidiki apa
yang menyebabkan berlangsungnya peran dominan atas suatu kelompok lelaki terhadap
kelompok lainnya yaitu kelompok perempuan. Pada intinya, kelompok feminis ini akan berupaya
supaya kejadian tersebut tidak terulang lagi.4

4
Alfa, “Teori-Teori Dalam Hukum Internasional”, http://www.sangkoeno.com/2016/03/teori-teori-dalam-hukum-
internasional.html?m-1 (diakses pada 13 September 2020, pukul 16.00)

Anda mungkin juga menyukai