Dosen Pengampu :
Sugiarto Pramono, SIP, MA, Ph.D
Disusun oleh :
Yora Berta Angelika
21102021074
BAB I
PENDAHULUAN
Hak Asasi Manusia (HAM) adalah salah satu istilah yang popular saat ini. Hampir
semua berkaitan dengan HAM, yang secara luas dianggap sebagai semacam ‘standard
kebenaran’. Antara lain yang mungkin paling dekat adalah ketika gubernur DKI Jakarta
Basuki Tjahja Purnama dinyatakan bersalah dalam sidang penodaan agama, PBB bahkan
berkomentar bahwa hal ini melanggar HAM dan Indonesia harus menghapus Pasal
Penistaan Agama. Ketika Aceh menerapkan Syariat Islam, maka ada teriakan-teriakan
yang sama dari para komunitas HAM.
Hukum internasional juga merupakan sesuatu yang sangat berdampak pada umat
manusia sekarang, apalagi di bawah rezim PBB. Sejak tahun 1945 ketika piagam PBB
pertama kali disusun, Hak Asasi Manusia pertama kali secara resmi diakui sebagai bagian
dari hukum internasional. Hukum internasional mengakui bahwa suatu negara memiliki
kedaulatan, dan ini kurang lebih mirip dengan hukum nasional yang mengakui bahwa
seorang manusia memiliki kebebasan.
Paper ini akan memaparkan hubungan antara Hak Asasi Manusia, Hukum Internasional,
serta kedaulatan negara.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hukum Inetrnasional
Hukum adalah kumpulan aturan yang menjadi konvensi di antara semua ulama,
tapi mereka berbeda dari mana kumpulan aturan itu berasal.
Menurut Austin, hukum yang benar harus merupakan perintah dari atasan politik
(atau pengusaha atau daulat) kepada bawahan politik (yang diperintah). Akibatnya,
hukum internasional yang mengatur hubungan antar negara masing-masingnya
memiliki kedaulatan, dan tidak ada kewajiban tertinggi di atasnya dan itu tidak
dianggap sebagai hukum oleh Austin.
Sangat penting untuk mengetahui sumber-sumber hukum dan sifatnya, karena dari
sanalah dapat diketahui apa saja yang berlaku di sebuah sistem. Secara tradisional,
Statuta Mahkamah Internasional menyebut sumber-sumber hukum Internasional pada
Pasal 38(1), pada intinya adalah sebagai berikut:
Perjanjian tersebut tidak melarang ‘reservasi’ baik umum maupun khusus, dan
Belum lagi ketika kita bicara soft law, yaitu instrument hukum yang formal tidak
mengikat, dan prinsipnya adalah di luar yang sudah dibahas. Contohnya adalah
resolusi General Assembly atau komisi HAM PBB, atau Draft Articles yang
dikeluarkan oleh the International Law Commission (ILC), dan lain sebagainya. Soft
Law ini walaupun tidak formal mengikat tapi bisa menjadi sumber hukum juga ketika
ia (a) mengkodifikasi atau menggerakkan hukum kebiasaan internasional, atau (b)
menafsirkan perjanjian internasional multilateral. Dengan demikian menjadi lebih
runyam.
Subjek hukum pada prinsipnya adalah setiap orang yang memiliki ‘personalitas
hukum’, yaitu kemampuan untuk menyandang hak dan kewajiban hukum. Dengan
demikian, dapat dipahami bahwa jika sesuatu tidak memiliki personalitas hukum
maka ia bukan subjek hukum sehingga ia tidak dapat dikenai hak dan kewajiban
menurut hukum.
Dalam hukum internasional, yang pertama kali diakui sebagai subjek hukum
adalah negara. Bahkan, pada suatu waktu dikatakan bahwa negara sendiri adalah satu-
satunya subjek hukum internasional. Sekarang dikenal subjek-subjek hukum
internasional lain, namun negara tetap menjadi aktor utama dalam hukum
internasional.
B. Kedaulatan
Di sinilah kita akan kembali kepada kritik Austin terhadap hukum internasional.
Jika hukum harus berasal dari daulat, sedangkan dalam hukum internasional tidak ada
yang berdaulat (dan justru berlaku prinsip persamaan kedaulatan semua negara adalah
setara),
Mungkin wacana lebih lanjut tentang kritik Austin terhadap hukum internasional
pantas untuk dibahas secara terpisah. Dalam perkembangannya, mazhab positivism
hukum mengakui hukum internasional sebagai hukum. Sementara itu, pentingnya
‘kedaulatan’ sebagai sumber hukum berperan dalam menjelaskan mengikatnya
sumber-sumber hukum internasional. Persetujuan (kesepakatan atau kerelaan) pun
menjadi sangat penting.
Kemudian, akan agak rumit ketika mulai masuk pada rezim PBB sebagai
organisasi internasional. Akan dibahas di bagian berikut ini.
Padahal jelas tidak ada hubungan subordinasi antara PBB dan negara-negara
anggotanya. Justru negara-negara itu sendiri yang perwakilannya ikut serta dalam
jalannya PBB sebagai organisasi internasional. Karena PBB bukan pemerintah dunia.
Hanya saja, rezim yang kemudian muncul jadi seakan-akan seperti sebuah rezim
hukum sendiri dan dalam banyak hal berfungsi sebagai tulang punggung dibuat dan
dijalankannya hukum internasional.
Yang paling ringan mungkin adalah ICJ, karena pihak-pihak yang mau berperkara
harus sama-sama sepakat dulu sebelum perkara bisa dibawa ke ICJ. Yang paling
ekstrim adalah Dewan Keamanan, yang sesuai Pasal 2(7) Piagam PBB dapat
melakukan tindakan-tindakan keras yang melangkahi kedaulatan termasuk, menurut
Pasal 41-42, langkah militer dan non-militer untuk mengatasi ancaman keamanan dan
agresi. Pasal 23 menyebut bahwa anggota Dewan Keamanan hanya 15 (termasuk 5
anggota permanen) jadi tidak dapat dikatakan mewakili seluruh negara anggota, tapi
Pasal 24-25 memberikan kepercayaan penuh pada Dewan Keamanan dan kewajiban
pada semua negara anggota untuk menurut. Organ PBB inilah yang paling diharapkan
untuk menyelesaikan konflik dunia, meskipun bahwa ada yang sangat salah dalam
bagaimana cara kerja Dewan Keamanan beroperasi.
Sebelum lahirnya PBB, HAM (atau bahkan pengakuan individu sebagai subyek)
adalah sebuah konsep yang umumnya tidak dikenal dalam hukum internasional,
melainkan dalam hukum domestic saja.
‘Hak’ sendiri memiliki pengertian sederhana, intinya sesuatu yang dimiliki atau
menjadi wewenang pribadi. Keistimewaan HAM atau human rights adalah terletak
pada ‘asasi’nya. Pandangan yang tampak mendominasi adalah yang bercorak mazhab
hukum alam, dengan mengatakan bahwa HAM adalah hak-hak yang inherent,
‘alamiyah’, dan ada pada manusia semata-mata karena ia adalah manusia.
Pasal 1(1) Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pun
didefinisikan sebagai: “…seperangkat hak yang melekat pada hakikatnya dan
keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan
anugerah-nya yang wajib di hormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara,
hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan
martabat manusia.”
The International Covenant on Civil and Political Rights (1966) atau ICCPR,
The International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (1966) atau
ICESCR,
The Conventions on the Rights of the Child (1990) atau CRC dan lain sebagainya.
Pada prinsipnya perjanjian adalah urusan antara yang berperjanjian saja. Jika ada
sengketa akibat pelaksanaan perjanjian tersebut, para pihak yang bersengketa bisa
menyelesaikan sengketanya dengan cara damai apa saja antara mereka dan kalau
mereka menghendaki boleh melibatkan pihak ketiga (negosiasi, arbitrase, dan lain
sebagainya). Akan tetapi, dalam konteks HAM ini konteksnya agak lebih rumit
mengingat bahwa hampir semua perjanjian internasional HAM telah diratifikasi
secara hampir universal oleh seluruh negara di dunia. Apalagi, hampir semua
perjanjian internasional ini di’broker’i oleh PBB.
Pada prinsipnya, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, suatu negara dianggap
berdaulat sampai ia mengikatkan diri pada suatu perjanjian internasional atau ikut
serta dalam (sehingga dapat dianggap menyetujui) suatu kebiasaan internasional.
Oleh karena itu, jika suatu negara telah meratifikasi Piagam Perserikatan Bangsa-
Bangsa dan menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa, pada umumnya setuju
untuk terikat oleh pengakuan umum hak asasi manusia dalam konteks hukum
internasional. Kemudian, ketika suatu negara telah meratifikasi perjanjian
internasional yang berkaitan dengan hak asasi manusia seperti ICCPR, ICESCR, CRC,
dan sebagainya, maka itu berarti telah setuju untuk terikat sehingga harus
menyesuaikan hukum nasionalnya.
Jika terjadi pelanggaran HAM yang begitu berat, dan dilakukan secara
sistematis/meluas, dalam terminologi hukum internasional disebut Crimes Against
Humanity (CAH) atau kejahatan terhadap kemanusiaan. Ada juga kejahatan genosida
atau genosida yang secara historis dan klasifikasinya sebenarnya termasuk dalam
CAH, namun kemudian dalam perkembangannya dikeluarkan ke dalam kategori
International Crime itu sendiri.
Secara teori, jika salah satu Kejahatan Internasional terjadi, ada yurisdiksi
universal yang pada dasarnya menyatakan bahwa negara mana pun dapat mengadili
tersangka (di mana pun kejahatan itu terjadi dan warga negara mana tersangkanya).
Namun, jika tersangka adalah kepala negara, hal ini akan berbenturan dengan konsep
kekebalan kepala negara yang merupakan perpanjangan dari kedaulatan negara yang
tidak dapat diadili di bawah hukum negara lain. Jadi preseden hukum internasional
menunjukkan bahwa kepala negara tidak boleh diadili di pengadilan negara lain,
tetapi di pengadilan internasional.
Di sinilah batas di mana negara lain tidak boleh melanggar kedaulatan, tetapi harus
melalui forum internasional. Ada unsur persetujuan yang kuat dalam pembatasan
kedaulatan, kecuali untuk kasus-kasus di mana pelakunya adalah warga negara yang
tidak meratifikasi tetapi melakukan kejahatan di negara yang meratifikasi atau
terutama jika Dewan Keamanan PBB memberikan 'fatwa' sesuai dengan Pasal 13B
Statuta Roma.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Di atas kertas, hukum internasional adalah sebuah sistem hukum yang tampak baik. Di
satu sisi ada janji bahwa semua negara memiliki persamaan kedaulatan, dan sama-sama
berkesempatan untuk berpartisipasi aktif dalam membentuk hukum. Bisa jadi dalam bentuk
membuat perjanjian yang disepakati bersama, bisa juga dalam wujud kebiasaan yang dijalani dan
diinginkan dengan juga bersama-sama, sehingga tidak ada pemaksaan kehendak pada siapapun.
Akan tetapi, ternyata kenyataannya begitu rumit dan tidak seideal yang dibayangkan.
Arah perkembangan hukum internasional dikonstruksi seakan-akan hanya ada satu saja versi
hukum internasional yang dianggap berlaku dan merupakan ‘konsensus’. Padahal, banyak yang
tidak dilibatkan dalam pembuatannya. Seakan-akan hanya ada satu cara untuk memperlakukan
manusia dengan baik dan merupakan ‘konsensus’, padahal begitu banyak cara yang tidak
dianggap.
Akhirnya ketika George W. Bush berkata “you are either with us or against us”, frasa
masyur tersebut bukan hanya benar untuk Amerika Serikat dan perang melawan terorisme saja.
Seakan-akan jika kita tidak mengikuti cara HAM internasional (versi barat), maka kita dianggap
tidak pro HAM dan pro kedzoliman dan ‘terbelakang’ dan ‘tidak beradab’. Maka, apakah salah
jika kita ‘diberadabkan’ (walau dengan cara yang lebih halus)? Sungguh sebuah pertanyaan yang
sangat berbau De Vitoria.
Tentu kita berharap adanya perbaikan dan barangkali memang ada perbaikan-perbaikan
yang telah terjadi. Di sinilah para akademisi hukum internasional dan pemimpin dunia harus
terus bergerak dengan bidangnya masing-masing untuk mengarahkan hukum internasional pada
umumnya dan hukum HAM pada khususnya untuk lebih fair dan inklusif melibatkan
keanekaragaman perspektif yang ada.
Daftar Pustaka
Muhammadin Fajri,( January 13, 2015) “Palestine Acceding to Rome Statute: Prospects,
Challenges,” The Jakarta Post, http://www.thejakartapost.com/news/2015/01/13/palestine-
acceding-rome-statute-prospects-challenges.html.
Muhammadin, Fajri.(2017) "Rezim Hak Asasi Manusia Dan Kedaulatan Negara Dalam Hukum
Internasional (The Regime of Human Rights and State Sovereignty in International
Law)." Available at SSRN 3041859