Anda di halaman 1dari 14

RESUME

REZIM HAK ASASI MANUSIA

DAN KEDAULATAN NEGARA DALAM HUKUM INTERNASIONAL

Disusun untuk Memenuhi Tugas Rezim Internasional

Dosen Pengampu :
Sugiarto Pramono, SIP, MA, Ph.D

Disusun oleh :
Yora Berta Angelika
21102021074

PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS WAHID HASYIM SEMARANG


2022/2023

BAB I

PENDAHULUAN

Hak Asasi Manusia (HAM) adalah salah satu istilah yang popular saat ini. Hampir
semua berkaitan dengan HAM, yang secara luas dianggap sebagai semacam ‘standard
kebenaran’. Antara lain yang mungkin paling dekat adalah ketika gubernur DKI Jakarta
Basuki Tjahja Purnama dinyatakan bersalah dalam sidang penodaan agama, PBB bahkan
berkomentar bahwa hal ini melanggar HAM dan Indonesia harus menghapus Pasal
Penistaan Agama. Ketika Aceh menerapkan Syariat Islam, maka ada teriakan-teriakan
yang sama dari para komunitas HAM.

HAM pun yang disebut-sebut untuk mereformasi berbagai hal, termasuk


normalisasi dan legalisasi LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual, Transgenders). Bahkan,
laporan yang disampaikan khusus di muka General Assembly United Nations (UN) tidak
segan mengatakan bahwa penyiksaan yang dilakukan menurut hukum agama adalah
bertentangan dengan HAM dan harus dihapuskan.

Hukum internasional juga merupakan sesuatu yang sangat berdampak pada umat
manusia sekarang, apalagi di bawah rezim PBB. Sejak tahun 1945 ketika piagam PBB
pertama kali disusun, Hak Asasi Manusia pertama kali secara resmi diakui sebagai bagian
dari hukum internasional. Hukum internasional mengakui bahwa suatu negara memiliki
kedaulatan, dan ini kurang lebih mirip dengan hukum nasional yang mengakui bahwa
seorang manusia memiliki kebebasan.

Paper ini akan memaparkan hubungan antara Hak Asasi Manusia, Hukum Internasional,
serta kedaulatan negara.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Hukum Inetrnasional

1. Tentang Hukum Internasional

Hukum adalah kumpulan aturan yang menjadi konvensi di antara semua ulama,
tapi mereka berbeda dari mana kumpulan aturan itu berasal.

Ada yang mengatakan bahwa ia haruslah berlandaskan moralitas dan keadilan


yang tidak dibuat oleh manusia melainkan secara alami yang sudah ada ‘dari sananya’,
sehingga manusia hanya menjalankannya dan jika hukum tidak sesuai keadilan maka
ia bukanlah hukum, dan inilah mazhab ‘hukum alam’. Dalam konteks hukum Islam,
fiqih haruslah merupakan aturan-aturan yang bersumber dari adillah tafsiliyah yang
berarti Al- Quran dan As-Sunnah. Mazhab positivism hukum melihat hukum terlepas
dari keadilan atau nilai-nilai lainnya, yang dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang
maka ia adalah hukum. Salah satu ahli mazhab positivis yaitu John Austin penting
untuk dicatat pendapatnya tentang hukum, karena dampaknya besar terhadap
pemahaman konteks hukum internasional. Hukum internasional dapat memiliki dua
pengertian, yang pertama adalah hukum perdata internasional atau hubungan antar
tata hukum serta yang kedua adalah hukum internasional public. Yang kedua ini
adalah yang menjadi bahasan kita.

Menurut Austin, hukum yang benar harus merupakan perintah dari atasan politik
(atau pengusaha atau daulat) kepada bawahan politik (yang diperintah). Akibatnya,
hukum internasional yang mengatur hubungan antar negara masing-masingnya
memiliki kedaulatan, dan tidak ada kewajiban tertinggi di atasnya dan itu tidak
dianggap sebagai hukum oleh Austin.

Banyak ahli hukum yang telah memperdebatkan pandangan Austin tentang


hukum internasional, tapi mazhab hukum positivis tampak menjadi tulang punggung
pada banyak sistem hukum modern. Mazhab yang mengutamakan kepentingan
khusus untuk menetapkan suatu aturan hukum akan menuntut lebih banyak
pengamatan terhadap sebuah sistem hukum yang tidak memiliki figure dan
pemerintah yang mengatur segalanya. Jika tidak ada sosok ‘daulat’, siapa yang akan
memberi perintah kepada penguasa yang ingin diatur oleh hukum internasional ini?
Pertanyaan inilah yang akan melandasi hubungan antara hukum internasional dan
kedaulatan nantinya.

2. Sumber-Sumber Hukum Internasional

Sangat penting untuk mengetahui sumber-sumber hukum dan sifatnya, karena dari
sanalah dapat diketahui apa saja yang berlaku di sebuah sistem. Secara tradisional,
Statuta Mahkamah Internasional menyebut sumber-sumber hukum Internasional pada
Pasal 38(1), pada intinya adalah sebagai berikut:

a. Sebuah perjanjian internasional, bagi para pihak-pihaknya


b. Kebiasaan internasional, yang secara umum diterima sebagai hukum
c. Prinsip-prinsip umum hukum yang dianut di negara-negara beradab
d. Keputusan hakim sebelumnya, juga dikenal sebagai hukum kasus
e. Karya para ahli hukum.
Perjanjian internasional disebut sebagai sumber hukum internasional yang paling
penting, dan bersifat mengikat para pihak dalam perjanjian tersebut. Perlu dicatat
bahwa dalam perjanjian internasional yang bersifat multilateral negara pihak bisa saja
melakukan ‘reservasi’, atau menilai terhadap pasal-pasal tertentu, dengan ketentuan
bahwa:

 Perjanjian tersebut tidak melarang ‘reservasi’ baik umum maupun khusus, dan

 Pasal yang hendak di’reservasi’, ketika dikecualikan tidak akan


mengakibatkan tidak terpenuhinya maksud dan tujuan umum dari perjanjian
tersebut.
Kebiasaan internasional juga merupakan sumber hukum mengikat, yang pada
dasarnya diketahui memiliki dua unsur yaitu praktek negara-negara dalam
berseragam atau praktik kenegaraan, dan suatu keyakinan akan sifat praktek tadi
sebagai suatu kewajiban hukum atau opinio juris sive necessitatis. Prinsip-prinsip
umum hukum juga mengikat, dan ia biasa digunakan untuk mengisi kekosongan jika
sumber-sumber hukum sebelumnya ada yang kurang. Umumnya digunakan untuk
memberikan penafsiran lebih lanjut dari sumber-sumber hukum yang mengikat tadi
tetapi ia sendiri (case law atau karya ahli hukum) tidak bersifat mengikat.

Penjelasan di atas merupakan penjelasan yang klasik, karena perkembangan


hukum internasional membawa kompleksitas yang lebih. Banyak kebiasaan
internasional yang bersifat multilateral yang mengkodifikasi hukum perjanjian
internasional, sehingga kemungkinan hukum kebiasaan tersebut dapat ditemukan di
dalam sebuah perjanjian internasional, atau bahkan muncul kebiasaan baru sebagai
akibat dari perjanjian internasional tersebut. Prinsip hukum pacta sunt servanda
(perjanjian harus dipatuhi) pun dikenal sebagai sebuah hukum kebiasaan dan telah
terkodifikasi di sebuah perjanjian internasional Pasal 26 Konvensi Wina tentang
Hukum Perjanjian Antar Negara1969. Putusan pengadilan juga dapat menjanjikan
perjanjian internasional serta ‘mengkodifikasi’ hukum kebiasaan internasional,
sehingga walaupun formal tidak mengikat tapi tetap saja menjadi rujukan.

Belum lagi ketika kita bicara soft law, yaitu instrument hukum yang formal tidak
mengikat, dan prinsipnya adalah di luar yang sudah dibahas. Contohnya adalah
resolusi General Assembly atau komisi HAM PBB, atau Draft Articles yang
dikeluarkan oleh the International Law Commission (ILC), dan lain sebagainya. Soft
Law ini walaupun tidak formal mengikat tapi bisa menjadi sumber hukum juga ketika
ia (a) mengkodifikasi atau menggerakkan hukum kebiasaan internasional, atau (b)
menafsirkan perjanjian internasional multilateral. Dengan demikian menjadi lebih
runyam.

3. Subjek Hukum Internasional

Subjek hukum pada prinsipnya adalah setiap orang yang memiliki ‘personalitas
hukum’, yaitu kemampuan untuk menyandang hak dan kewajiban hukum. Dengan
demikian, dapat dipahami bahwa jika sesuatu tidak memiliki personalitas hukum
maka ia bukan subjek hukum sehingga ia tidak dapat dikenai hak dan kewajiban
menurut hukum.

Dalam hukum internasional, yang pertama kali diakui sebagai subjek hukum
adalah negara. Bahkan, pada suatu waktu dikatakan bahwa negara sendiri adalah satu-
satunya subjek hukum internasional. Sekarang dikenal subjek-subjek hukum
internasional lain, namun negara tetap menjadi aktor utama dalam hukum
internasional.

Organisasi internasional merupakan subjek hukum internasional yang menarik,


dan yang akan menjadi focus utama adalah organisasi internasional public yang
beranggotakan negara-negara. Mereka memiliki personalitas hukum sendiri. Mereka
tidak memiliki personalitas hukum yang sama seperti negara, melainkan hanya sejauh
apa yang diatur oleh piagam-nya saja. PBB adalah salah satu dari sekian banyak
organisasi internasional, tapi jelas ia tampak merupakan organisasi internasional yang
paling berperan dalam dunia internasional.

Subjek hukum internasional berikutnya yang sangat penting adalah individu.


Setelah sekian lama negara dianggap satu-satunya subjek hukum internasional,
setidaknya Piagam PBB dan berbagai perjanjian internasional yang lahir setelahnya
(terutama sekali soal HAM) telah berbondong-bondong memberikan hak bagi
individu dan juga kewajiban. Seperti organisasi internasional, individu juga tidak
memiliki akses penuh terhadap hak dan kewajiban menurut hukum internasional
melainkan hanya sejauh yang diatur dalam hukum internasional itu saja.

Sebenarnya masih ada beberapa subjek hukum internasional lain, seperti


pemberontak, Tahta Suci, dan lain sebagainya, tapi untuk pembahasan ini mereka
kurang esensial.

B. Kedaulatan

1. Kedaulatan dan Hukum Internasional

Secara umum, kedaulatan dipahami sebagai kekuasaan tertinggi pada suatu


wilayah. Karena itulah, sebagai daulat ia memiliki kewenangan untuk membuat
hukum dan memerintah. Secara rasional, mudah disimpulkan bahwa jika sebuah
entitas dianggap memiliki kedaulatan maka ia pun tidak boleh dipaksa tunduk pada
hukum milik entitas lain. Dengan kata lain, ia harus independent dalam artian
merdeka, berdiri sendiri, tidak boleh diintervensi. Bahkan kedaulatan dan
kemerdekaan seringkali disebut sebagai sinonim. Hukum internasional pun mengatur
hal ini di dalam Piagam PBB, Pasal 2(4) dan 2(7).

Di sinilah kita akan kembali kepada kritik Austin terhadap hukum internasional.
Jika hukum harus berasal dari daulat, sedangkan dalam hukum internasional tidak ada
yang berdaulat (dan justru berlaku prinsip persamaan kedaulatan semua negara adalah
setara),

Mungkin wacana lebih lanjut tentang kritik Austin terhadap hukum internasional
pantas untuk dibahas secara terpisah. Dalam perkembangannya, mazhab positivism
hukum mengakui hukum internasional sebagai hukum. Sementara itu, pentingnya
‘kedaulatan’ sebagai sumber hukum berperan dalam menjelaskan mengikatnya
sumber-sumber hukum internasional. Persetujuan (kesepakatan atau kerelaan) pun
menjadi sangat penting.

Misalnya, perjanjian internasional terjadi ketika sebuah negara atas dasar


kedaulatannya sendiri memilih untuk mengikatkan dirinya kepada perjanjian tersebut.
Maka dari itu, jadilah perjanjian tadi sebuah hukum yang mengikat pada si negara.
Demikian pula dalam kebiasaan internasional, ketika sebuah negara memilih untuk
berpartisipasi dalam sebuah praktek dapat dianggap sebagai sebuah consent, sehingga
mazhab positivis pun dapat mengakui hukum kebiasaan internasional.

Kemudian, akan agak rumit ketika mulai masuk pada rezim PBB sebagai
organisasi internasional. Akan dibahas di bagian berikut ini.

2. Kedaulatan Dalam Rezim PBB

Munculnya PBB sebagai tulang punggung hukum dan hubungan internasional


modern (pasca Perang Dunia II) membawa banyak sekali perubahan. Bahkan, sampai
ada yang mengira PBB merupakan pemerintah dunia.
Begaimana tidak? Ia memiliki Majelis Umum yang berisi perwakilan semua
negara anggota, oleh sebagian orang ini tampak seperti parlemen (walaupun resolusi
Majelis Umum tidak mengikat, kecuali dalam kasus administrasi oragnisasi). Ia
memiliki Dewan Keamanan yang tampak seperti polisi, walaupun bagi banyak
kalangan performa-nya cenderung tampak ‘ajaib’. Ia juga memiliki Sekretaris
Jenderal yang bertindak selayaknya eksekutif dan International Mahkamah
Internasional yang merupakan organ peradilan. PBB juga memiliki komisi atau sub
komisi yang menangani hampir segala hal mulai soal pangan (Food and Agricultural
Organization), kesehatan (World Health Organization), sampai masalah pendidikan
(United Nations Education and Science Organization). Pengadilan pidana untuk
kejahatan-kejahatan paling serius yaitu the International Criminal Court (ICC)
memang secara structural bukan di bawah PBB. Tapi draft awal Rome Statute of the
International Criminal Court (1998, atau Rome Statute, yang merupakan instrument
pendirian ICC) dibuat oleh ILC yang di bawah Majelis Umum, dan dalam beberapa
hal Dewan Keamanan juga dapat intervensi.

Padahal jelas tidak ada hubungan subordinasi antara PBB dan negara-negara
anggotanya. Justru negara-negara itu sendiri yang perwakilannya ikut serta dalam
jalannya PBB sebagai organisasi internasional. Karena PBB bukan pemerintah dunia.
Hanya saja, rezim yang kemudian muncul jadi seakan-akan seperti sebuah rezim
hukum sendiri dan dalam banyak hal berfungsi sebagai tulang punggung dibuat dan
dijalankannya hukum internasional.

Piagam PBB sendiri, yang merupakan instrument dasar PBB, berbentuk


perjanjian internasional. Dengan demikian, kedaulatan tidak bisa lagi dijadikan dasar
untuk menolak kewajiban yang timbul dari Piagam PBB.

Yang paling ringan mungkin adalah ICJ, karena pihak-pihak yang mau berperkara
harus sama-sama sepakat dulu sebelum perkara bisa dibawa ke ICJ. Yang paling
ekstrim adalah Dewan Keamanan, yang sesuai Pasal 2(7) Piagam PBB dapat
melakukan tindakan-tindakan keras yang melangkahi kedaulatan termasuk, menurut
Pasal 41-42, langkah militer dan non-militer untuk mengatasi ancaman keamanan dan
agresi. Pasal 23 menyebut bahwa anggota Dewan Keamanan hanya 15 (termasuk 5
anggota permanen) jadi tidak dapat dikatakan mewakili seluruh negara anggota, tapi
Pasal 24-25 memberikan kepercayaan penuh pada Dewan Keamanan dan kewajiban
pada semua negara anggota untuk menurut. Organ PBB inilah yang paling diharapkan
untuk menyelesaikan konflik dunia, meskipun bahwa ada yang sangat salah dalam
bagaimana cara kerja Dewan Keamanan beroperasi.

C. Hak Asasi Manusia

1. Tentang Hak Asasi Manusia

Sebelum lahirnya PBB, HAM (atau bahkan pengakuan individu sebagai subyek)
adalah sebuah konsep yang umumnya tidak dikenal dalam hukum internasional,
melainkan dalam hukum domestic saja.

‘Hak’ sendiri memiliki pengertian sederhana, intinya sesuatu yang dimiliki atau
menjadi wewenang pribadi. Keistimewaan HAM atau human rights adalah terletak
pada ‘asasi’nya. Pandangan yang tampak mendominasi adalah yang bercorak mazhab
hukum alam, dengan mengatakan bahwa HAM adalah hak-hak yang inherent,
‘alamiyah’, dan ada pada manusia semata-mata karena ia adalah manusia.

Pasal 1(1) Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pun
didefinisikan sebagai: “…seperangkat hak yang melekat pada hakikatnya dan
keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan
anugerah-nya yang wajib di hormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara,
hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan
martabat manusia.”

Dalam konteks hukum internasional, kewajiban utama diberikan kepada negara


untuk memberikan perlindungan terhadap HAM bagi warganya. Ini disebut di
mukadimah Piagam PBB serta Pasal 1(3), mengingat konten-nya adalah pengakuan
dan janji memberi perlindungan terhadap HAM sedangkan Piagam PBB mengikat
bagi negara. Instrumen hukum HAM internasional kemudian juga membebankan
kewajiban pada negara.

2. Rezim Hukum HAM Internasional


Piagam PBB adalah instrument hukum internasional mengikat untuk
memperkenalkan konsep HAM ke dalam arus utama hukum internasional, sedangkan
uraian rinci tentang apa itu HAM pertama kali dilakukan di UDHR. Akan tetapi,
UDHR itu sendiri bukanlah instrument hukum yang mengikat. Ia hanyalah sebuah
soft law, berbentuk Resolusi PBB GA No. 217 (A/RES/217). Akan tetapi, dari
lahirnya UDHR lahir pula semangat dunia internasional (atau setidaknya sedikit
negara anggota PBB saat itu yaitu untuk mulai membangun rezim hukum HAM
internasional yang kemudian mem’bola salju’ menjadi beraneka ragam perjanjian
HAM internasional yang semuanya merujuk kepada UDHR di mukadimahnya.

Di antara perjanjian-perjanjian internasional ini beberapa yang utama sekali adalah:

 The International Covenant on Civil and Political Rights (1966) atau ICCPR,

 The International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (1966) atau
ICESCR,

 The Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination Against


Women (1979) atau CEDAW,

 The Conventions on the Rights of the Child (1990) atau CRC dan lain sebagainya.
Pada prinsipnya perjanjian adalah urusan antara yang berperjanjian saja. Jika ada
sengketa akibat pelaksanaan perjanjian tersebut, para pihak yang bersengketa bisa
menyelesaikan sengketanya dengan cara damai apa saja antara mereka dan kalau
mereka menghendaki boleh melibatkan pihak ketiga (negosiasi, arbitrase, dan lain
sebagainya). Akan tetapi, dalam konteks HAM ini konteksnya agak lebih rumit
mengingat bahwa hampir semua perjanjian internasional HAM telah diratifikasi
secara hampir universal oleh seluruh negara di dunia. Apalagi, hampir semua
perjanjian internasional ini di’broker’i oleh PBB.

Karena itu, masing-masing perjanjian internasional HAM ini kebanyakan


memiliki Komisi sendiri untuk mengawasi penerapan dan juga melakukan ‘penafsiran
otoritatif’ terhadap perjanjian yang bersangkutan. Misalnya, untuk ICESCR ada
Committee on Economic, Social, and Cultural Rights (CESCR). Selain itu, PBB
sendiri memiliki beberapa komite umum untuk mengawasi soal HAM ini, misalnya
Human Rights Council (HRC), dan Sekretaris Jendral PBB punya salah satu divisi
bernama The Office of the High Commissioner for Human Rights (OHCHR) yang
bertugas mengawasi dan mengkoordinasi kinerja dari semua komite dan komisi ini.

Di samping yang disebutkan di atas, sebetulnya ada beberapa perjanjian


internasional HAM yang berskala regional, misalnya Convention for the Protection of
Human Rights and Fundamental Freedoms (1950) di Uni Eropa dan The African
Charter on Human and Peoples' Rights (1989) di Uni Afrika. Ada juga yang
berbentuk soft law misalnya ASEAN Human Rights Declaration (2012) dan Cairo
Declaration on Human Rights in Islam (1990). Tujuan dari adanya instrumen regional
ini adalah untuk memenuhi kewajiban-kewajiban HAM internasional, tapi dengan
menyesuaikan dengan nilai-nilai regional yang ada.

3. Hukum HAM Internasional Absen Konteks

Pada prinsipnya, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, suatu negara dianggap
berdaulat sampai ia mengikatkan diri pada suatu perjanjian internasional atau ikut
serta dalam (sehingga dapat dianggap menyetujui) suatu kebiasaan internasional.

Oleh karena itu, jika suatu negara telah meratifikasi Piagam Perserikatan Bangsa-
Bangsa dan menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa, pada umumnya setuju
untuk terikat oleh pengakuan umum hak asasi manusia dalam konteks hukum
internasional. Kemudian, ketika suatu negara telah meratifikasi perjanjian
internasional yang berkaitan dengan hak asasi manusia seperti ICCPR, ICESCR, CRC,
dan sebagainya, maka itu berarti telah setuju untuk terikat sehingga harus
menyesuaikan hukum nasionalnya.

Pelanggaran juga akan ditangani secara proporsional dan ada mekanismenya.


Mungkin yang agak menarik adalah bahwa hukum hak asasi manusia internasional ini
bersifat revolusioner, dalam arti tidak mengatur hubungan satu negara dengan negara
lain tetapi mengatur bagaimana negara (sebagai penguasa) menjalankan
kedaulatannya. Oleh karena itu, pelanggaran umumnya akan diadili jika sesama
negara yang telah meratifikasi perjanjian HAM internasional (atau komite/komisi
HAM di PBB) mengeluh tentang bagaimana negara terlapor melakukan pelanggaran
HAM di negaranya sendiri. Hal ini dapat diselesaikan melalui rekomendasi dari
komite/komisi HAM (tetapi ini hanya soft law, ini adalah rekomendasi), atau jika ada
kesepakatan, dapat melalui ICJ yang akan memberikan keputusan yang mengikat bagi
para pihak.

Jika terjadi pelanggaran HAM yang begitu berat, dan dilakukan secara
sistematis/meluas, dalam terminologi hukum internasional disebut Crimes Against
Humanity (CAH) atau kejahatan terhadap kemanusiaan. Ada juga kejahatan genosida
atau genosida yang secara historis dan klasifikasinya sebenarnya termasuk dalam
CAH, namun kemudian dalam perkembangannya dikeluarkan ke dalam kategori
International Crime itu sendiri.

Secara teori, jika salah satu Kejahatan Internasional terjadi, ada yurisdiksi
universal yang pada dasarnya menyatakan bahwa negara mana pun dapat mengadili
tersangka (di mana pun kejahatan itu terjadi dan warga negara mana tersangkanya).
Namun, jika tersangka adalah kepala negara, hal ini akan berbenturan dengan konsep
kekebalan kepala negara yang merupakan perpanjangan dari kedaulatan negara yang
tidak dapat diadili di bawah hukum negara lain. Jadi preseden hukum internasional
menunjukkan bahwa kepala negara tidak boleh diadili di pengadilan negara lain,
tetapi di pengadilan internasional.
Di sinilah batas di mana negara lain tidak boleh melanggar kedaulatan, tetapi harus
melalui forum internasional. Ada unsur persetujuan yang kuat dalam pembatasan
kedaulatan, kecuali untuk kasus-kasus di mana pelakunya adalah warga negara yang
tidak meratifikasi tetapi melakukan kejahatan di negara yang meratifikasi atau
terutama jika Dewan Keamanan PBB memberikan 'fatwa' sesuai dengan Pasal 13B
Statuta Roma.
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Di atas kertas, hukum internasional adalah sebuah sistem hukum yang tampak baik. Di
satu sisi ada janji bahwa semua negara memiliki persamaan kedaulatan, dan sama-sama
berkesempatan untuk berpartisipasi aktif dalam membentuk hukum. Bisa jadi dalam bentuk
membuat perjanjian yang disepakati bersama, bisa juga dalam wujud kebiasaan yang dijalani dan
diinginkan dengan juga bersama-sama, sehingga tidak ada pemaksaan kehendak pada siapapun.

Akan tetapi, ternyata kenyataannya begitu rumit dan tidak seideal yang dibayangkan.
Arah perkembangan hukum internasional dikonstruksi seakan-akan hanya ada satu saja versi
hukum internasional yang dianggap berlaku dan merupakan ‘konsensus’. Padahal, banyak yang
tidak dilibatkan dalam pembuatannya. Seakan-akan hanya ada satu cara untuk memperlakukan
manusia dengan baik dan merupakan ‘konsensus’, padahal begitu banyak cara yang tidak
dianggap.

Akhirnya ketika George W. Bush berkata “you are either with us or against us”, frasa
masyur tersebut bukan hanya benar untuk Amerika Serikat dan perang melawan terorisme saja.
Seakan-akan jika kita tidak mengikuti cara HAM internasional (versi barat), maka kita dianggap
tidak pro HAM dan pro kedzoliman dan ‘terbelakang’ dan ‘tidak beradab’. Maka, apakah salah
jika kita ‘diberadabkan’ (walau dengan cara yang lebih halus)? Sungguh sebuah pertanyaan yang
sangat berbau De Vitoria.

Tentu kita berharap adanya perbaikan dan barangkali memang ada perbaikan-perbaikan
yang telah terjadi. Di sinilah para akademisi hukum internasional dan pemimpin dunia harus
terus bergerak dengan bidangnya masing-masing untuk mengarahkan hukum internasional pada
umumnya dan hukum HAM pada khususnya untuk lebih fair dan inklusif melibatkan
keanekaragaman perspektif yang ada.
Daftar Pustaka

Muhammadin Fajri,( January 13, 2015) “Palestine Acceding to Rome Statute: Prospects,
Challenges,” The Jakarta Post, http://www.thejakartapost.com/news/2015/01/13/palestine-
acceding-rome-statute-prospects-challenges.html.

CNN, November 6, 2001, “You Are Either with Us or against Us”


http://edition.cnn.com/2001/US/11/06/gen.attack.on.terror/

Muhammadin, Fajri.(2017) "Rezim Hak Asasi Manusia Dan Kedaulatan Negara Dalam Hukum
Internasional (The Regime of Human Rights and State Sovereignty in International
Law)." Available at SSRN 3041859

Anda mungkin juga menyukai