Anda di halaman 1dari 7

HUKUM INTERNASIONAL

OLEH

SYAMSUL MUJTAHIDIN, SH., MH.

EKSISTENSI HUKUM INTERNASIONAL

A. STATUS HUKUM INTERNASIONAL


Tidak seperti sistem hukum nasional yang mempunyai aparatur operasional yang memiliki
lembaga-lembaga formal seperti badan legislatif, polisi, jaksa, kepala-kepala pemerintahan
baik di pusat maupun daerah (eksekutif) serta pengadilan yang memiliki yurisdiksi wajib
kepada penduduknya. Sistem hukum internasional tidak memiliki semuanya itu. Hukum
internasional tidak memiliki badan legislatif pembuat aturan hukum, tidak memiliki polisi,
jaksa, kepala pemerintahan sebagai eksekutif bahkan juga tidak memiliki pengadilan yang
memiliki yurisdiksi wajib terhadap negara yang melakukan pelanggaran hukum
internasional. Menurut Martin Dixon Hukum internasional sangatlah kekurangan
institusi-institusi formal.
Dengan demikian tidaklah mengherankan bila banyak pihak yang meragukan eksistensi
hukum internasional. Hukum internasional dikatakan bukan sebagai hukum yang
sesungguhnya. Menurut John Austin, hukum internasional hanya layak untuk
dikategorikan sebagai positive morality saja karena tidak memiliki badan legislatif dan
sanksinya tidak bisa dipaksakan. Banyak pihak mengamini pendapat ini, seperti Thomas
Hobbes, Baruch de Spinoza, Samuel von Pufendorf dan Jeremy Bentham.
Sebagai catatan: John Austin merupakan filosofis Inggris abad ke-19, ia tokoh aliran
positivisme analitis. Ia memiliki murid bernama Hans Kelsen yang menganut aliran
Positivisme Murni (pure of positivism). Menurut Austin, hukum diartikan sebagai
kumpulan ketentuan yang mengatur tingkah laku orang yang ditetapkan dan dipaksakan
oleh penguasa politik yang berdaulat. Setiap hukum atau peraturan adalah perintah. Setiap
hukum positif atau setiap hukum secara sederhana disusun oleh individu atau badan/
lembaga yang memiliki kewenangan kepada orang atau masyarakat didalam sebuah
Negara yang berwenang atas mereka.
Austin melihat bahwa hukum internasional tidak memiliki seperangkat yang diperlukan
untuk memaksakan berlakunya hukum internasional, sebagaimana hukum nasional.
Sehingga ia melihat hukum internasional bukanlah hukum, dengan alasan kuatnya
mengatakan:
1. Hukum internasional tidak memiliki kekuasaan eksekutif yang kuat.
2. Hukum internasional bersifat koordinasi, tidak subordinasi.
3. Hukum internasional tidak memiliki lembaga legislatif, yudikatif, dan polisional.
4. Hukum internasional tidak bisa memaksakan kehendak masyarakat internasional.

Banyak pendapat yang tidak menerima pendapat Austin, diantara mereka mengatakan
bahwa banyak kelemahan dari pendapat Austin. Diantara sanggahan tersebut:

Pertama, jika hukum harus ditetapkan oleh penguasa politik yang berdaulat, maka ini
tidak dapat dikenakan pada kebiasaan internasional, yang berlaku sebagai hukum,
meskipun tidak ditetapkan. Sebagai contoh misalnya mengenai laut wilayah. Ini dalam
proses perkembangannya tidak ditetapkan oleh penguasa politik yang berdaulat, tetapi
hanya merupakan suatu kebiasaan, yang diawali oleh klaim suatu negara terhadap wilayah
laut, yang kemudian klaim itu diikuti oleh negaranegara lain. Dan kenyataannya hal itu
ditaati di dalam pergaulan internasional. Contoh yang lainnya adalah Hukum Adat. Di
Indonesia, yang namanya Hukum Adat ini tidak pernah ditetapkan oleh penguasa politik
yang berdaulat. Tetapi ternyata masyarakat adat mentaati ketentuan ketentuan Hukum
Adat tersebut. Selain itu mengenai hukum adat ini juga tidak ada penguasa politik yang
dapat memaksakan berlakunya, tetapi kenyataannya hukum adat juga ditaati.

Kedua, Austin tidak dapat membedakan efektivitas hukum dan sifat hukum. Hukum
Internasional mempunyai sifat hukum, tanpa harus ditentukan oleh badan-badan
sebagaimana hukum nasional. Perlu diperhatikan bahwa dengan adanya lembaga-lembaga
tersebut (eksekutif, legislatif, dll.) memang akan membuat hukum dapat ditegakkan secara
efektif, tetapi tidak berarti bahwa tidak adanya badan-badan tersebut maka Hukum
Internasional tidak bersifat hukum atau dengan kata lain, dengan tidak adanya badan-
badan tersebut pertanda bahwa hukum internasional belum efektif, tetapi bukan berarti
bahwa hukum internasional itu tidak ada.

Ketiga, Hans Kelsen mengatakan, hal ini bertentangan dengan teori Austin, bahwa Hukum
Internasional adalah hukum. karena Hukum Internasional mempunyai sanksi seperti
pembalasan (reprisals), perang atau penggunaan kekerasan sebagai akibat adanya tindakan
yang salah menurut hukum internasional. Fitmaurice, menguatkan bahwa Hukum
Internasional adalah hukum, dengan mengatakan bahwa kewenangan dasar Hukum
Internasional sama dengan kewenangan negara sebagai anggota masyarakat internasional,
mengakui Hukum Internasional sebagai norma yang mengikat, dan mengakui sebagai
suatu sistem secara ipso facto (oleh kenyataan itu sendiri) mengikat mereka sebagai
anggota masyarakat internasional terlepas dari kemauan sendiri-sendiri dari negara.

Keempat, teori John Austin tersebut tentu saja sudah tidak relevan lagi dengan
perkembangan global saat ini. Perkembangan konflik internasional hingga perdagangan
internasional telah menuntut lahirnya Badan-badan Internasional dari mulai Perserikatan
Bangsa-bangsa (PBB), Mahkamah Internasional, World Bank, IMF, WTO, ICRC, dan
lain-lain yang memainkan peran baik sebagai eksekutif, legislatif, maupun yudikatif dalam
skala Internasional.

Sebagai contoh apabila kita membandingkan WTO (World Trade Organization) dengan
APEC (Asia-Pacific Economic Cooperation adalah adalah forum kerja sama antara 21
negara di lingkar Samudera Pasifik). WTO adalah organisasi perdagangan internasional
yang legally binding (mengikat secara hukum) sementara APEC tidak. WTO juga
memiliki prinsip dalam pengambilan keputusan yaitu single undertaking yakni atas dasar
mufakat atau konsensus. (Hukum WTO dapat diperdalam pada mata kuliah hukum
ekonomi internasional)

Berdasarkan kedua contoh peran WTO tersebut kita dapat menyimpulkan bahwa di dalam
WTO sebagai salah satu Badan Internasional berlaku sifat koordinatif yakni dimana
sesama anggota WTO memiliki kedudukan yang sejajar baik Negara maju maupun Negara
berkembang, dan sifat sub ordinatif dimana semua perjanjian WTO mengikat bagi
anggotanya dan wajib dilaksanakan. Apabila ada anggota Negara WTO yang lalai dan
melanggar perjanjian serta prinsip WTO, maka akan berpotensi digugat oleh Negara
Anggota WTO lainnya di Dispute Settlement Body (DSB) WTO.

Sebagai catatan: memang pada realitas menunjukkan banyaknya pelanggaran hukum


internasional yang dilakukan oleh Amerika Serikat, juga Israel tidak pernah ada sanksi.
Pendapat saya dalam konteks ini, memang banyak pelanggaran yang dilakukan oleh
Amerika Serikat dan Israel baik dalam konteks politik internasional dan hukum
internasional. Tetapi lebih banyak juga sanksi atau penegakan hukum internasional yang
diberikan atau disanksikan kepada AS dan Israel, akan tetapi itu tidak terlalu di ekspos
oleh media. Misalnya banyak negara yang sudah memberikan sanksi kepada AS dan Israel
atas tindakanya, yaitu dengan cara memutuskan hubungan diplomatik, pelarangan dan
pembatasan impor dan ekspor, boikot, pelarangan kunjungan orang (turism) dan lain-lain.

Dengan demikian, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini, semakin
menguatkan eksistensi hukum internasional sebagai hukum dalam pergaulan/ hubungan
internasional. Kita tidak bisa mendasari kaidah hukum seperti yang dikonsepkan oleh
Austin bahwa yang disebut dengan hukum hanyalah perintah yang berasal dari penguasa
yang berdaulat atau perintah dari pihak yang menguasai kepada pihak yang dikuasai.
Suatu kaidah tentunya dapat disebut sebagai kaidah hukum apabila kaidah itu memenuhi
rasa keadilan dan sesuai dengan kesadaran masyarakat. Jadi saat ini eksistensi hukum
internasional sebagai suatu hukum sudah tidak perlu diragukan lagi, karena masyarakat
internasional telah menerima dan mentaati hukum internasional sebagai hukum. Sudah
terdapat beberapa bukti yang menunjukkan bahwasannya hukum internasional telah
diterima sebagai hukum.

Martin Dixon menyatakan bahwa meskipun hukum internasional sangat kurang institusi-
institusi formal seperti negara, hakikat hukum internasional adalah tetap hukum yang
sesungguhnya bukan hanya sekedar moral. Mayoritas masyarakat internasional mengakui
adanya aturan hukum yang mengikat mereka dalam pergaulan internasional.

Oppenheim dan Brierly mengemukakan bahwa hukum internasional adalah hukum yang
sesungguhnya (really law) namun terbatas pada negara sebagai satu-satunya pelaku
hukum dan tidak memasukkan subjek-subjek hukum lainnya. Ada tiga syarat yang harus
dipenuhi untuk dikatakan Hukum Internasional sebagai hukum, yaitu: 1) adanya
aturan hukum, 2) adanya masyarakat dan, 3) adanya pelaksanaan jaminan dari luar
(external power) atas aturan tersebut. Meskipun menyatakan bahwa hukum
internasional adalah hukum yang sesungguhnya bukan hanya sekedar moral, Oppenheim
mengakui bahwa hukum internasional adalah hukum yang lemah (weak law). Hukum
internasional lemah dalam hal penegakan hukumnya bukan validitasnya.

Melanjutkan ketiga syarat yang disampaikan oleh Oppenheim di atas bahwa hukum
internasional disebut sebagai hukum dengan terpenuhhinya tiga persyaratan tersebut.
Syarat pertama, dapat dengan mudah ditemukan yaitu dengan banyaknya aturan hukum
internasional dalam kehidupan kita sehari-hari, seperti Konvensi Hukum Laut PBB 1982,
Perjanjian internasional tentang bulan dan benda-benda langit lainnya (space treaty 1967),
Konvensi mengenai hubungan diplomatik dan konsuler, berbagai konvensi internasional
tentang HAM, tentang perdagangan internasional, tentang lingkungan internasional,
tentang perang, dan lain-lain. Dapat dikatakan sulit kita menemukan aspek kehidupan
yang belum diatur oleh hukum internasional.

Syarat kedua, adanya masyarakat internasional juga terpenuhi menurut Oppenheim.


Mayoritas masyarakat internasional mengakui adanya aturan hukum yang mengikat
mereka baik antar negara atau melalui PBB.

Syarat ketiga, adanya pelaksanaan jaminan dari luar (external power) atas aturan tersebut.
Jaminan pelaksanaan dapat berupa sanksi yang datang dari negara lain, organisasi atau
pengadilan internasional. Sanksi tersebut dapat berwujud tuntutan permintaan maaf
(satisfaction), ganti rugi (compensation/pecuniary), serta pemulihan keadaan pada kondisi
semula (repartition). Disamping itu, ada sanksi yang wujudnya kekerasan seperti
pemutusan hubungan diplomatik, embargo.

Sehingga dari paparan di atas, tidak perlu diragukan lagi bahwa Hukum Internasional
adalah hukum yang sesungguhnya. Masyarakat internasional menerima Hukum
Internasional sebagai hukum bukan sekedar kaidah moral belaka. Bilamana Hukum
Internasional merupakan kaidah moral belaka, maka tidak akan ada external power atau
kekuatan pemaksa dari luar. Dalam kaidah moral (positive morality) kekuatan pemaksa
datang dari kesadaran subjek hukum itu sendiri (interrnal power), yakni hati nurani dari
kesadaran dirinya sendiri. Masalah pengakuan hukum yang lemah harus dipisahkan
dengan masalah eksistensi Hukum Internasional itu sendiri. Eksistensi Hukum
Internasional tidak tergantung pada banyak sedikitnya pelanggaran, ada tidaknya lembaga-
lembaga tertentu juga ada tidaknya sanksi, tetapi lebih ditentukan oleh sikap pelaku
hukum dalam masyarakat internasional itu sendiri.

B. TEORI MENGKITANYA HUKUM INTERNASIONAL


Diterimanya Hukum Internasional sebagai hukum, tentunya negara dan subyek hukum
yang lain merasa terikat atau menghormati hukum internasional tersebut. Negara mentaati
atau mematuhi hukum internasional untuk mengatur hubungan dan guna mencapai
kepentingan mereka. Artinya mereka membutuhkan hukum internasional untuk mengatur
dan menjaga hubungan internasional. Persoalannya adalah dari manakah hukum
internasional mempunyai kekuatan mengikat?.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut terdapat beberapa teori atau ajaran yang memberikan
landasan pemikiran tentang mengikatnya hukum internasional:
1. Mazhab/ Ajaran Hukum Alam
Hukum alam adalah aliran pemikiran semi teologis, selalu merujuk pada hukum yang
lebih tinggi yang datangnya dari Tuhan. Hukum internasional (jus gentium) dipandang
sebagai bagian dari hukum alam, datangnya dari Tuhan sehingga berlaku untuk seluruh
manusia. Hukum Internasional mengikat karena hukum ini merupakan bagian dari
hukum alam yang diterapkan pada masyarakat bangsa-bangsa. Dengan kata lain dapat
dikatakan bahwa negara-negara mau terikat pada HI karena hubungan-hubungan
mereka diatur oleh hukum yang lebih tinggi yaitu hukum alam. Hukum alam adalah
hukum yang datang dari alam dan diturunkan pada manusia lewat ratio atau akalnya.
Gaius, pakar di era Romawi kuno menyebutkan jus gentium sebagai ‘law commom to
all men’. Dengan demikian hukum internasional bersifat universal.
Hukum alam diartikan sebagai hukum yang ideal, yang didasarkan atas hakikat
manusia sebagai mahluk yang berakal atau hukum alam diartikan kesatuan kaidah-
kaidah yang di ilhamkan alam pada akal manusia.
Ketaatan masyarakat internasional pada hukum alam memang sudah seharusnya karena
itu datang dari Tuhan. Perjanjian internasional mengikat dan harus ditaati misalnya,
karena suatu janji berarti sumpah (oath) mengandung sakramen, menjadi yurisdiksi dari
gereja. Hukum menurut aliran ini tidak diciptakan melainkan ditemukan di alam.
Banyak deklarasi internasional, aturan-aturan tentang kejahatan perang dan tindak
pidana internasional diklaim lahir dari teori hukum alam, contohnya The Universal
Declaration on Human Rights yang berlandaskan atas hak-hak alamiah manusia,
Declaration on the Rights and Duties of States yang mengatur hak dan kewajiban
Negara dan secara alamiah setiap individu memiliki hak dan kewajiban tersebut.
2. Mazhab/ Aliran Positivis.
Aliran ini membagi batas antara hukum internasional dan nasional, sehingga muncullah
aliran dualisme dan monisme. Hukum internasional dipandang sebagai kesepakatan
antara banyak pemegang kedaulatan atau negara. Hukum berkembang melalui praktek
kebiasaan negara-negara yang melahirkan kewajiban hukum (legal obligation) yang
disebut opinio jurissive necessitas. Negara sebagai pemegang kedaulatan adalah aktor
utama dalam hubungan internasional.
Menurut aliran ini hukum tidak lahir atau ditemukan di alam melainkan dibuat oleh
manusia (man-made law). John Austin salah seorang tokoh terkenal aliran positif
menyatakan bahwa hukum internasional bukanlah hukum yang sesungguhnya. Hal ini
karena tidak seperti hukum domestik, pelaksanaan hukum internasional tidak dapat
dipaksan oleh pihak yang berdaulat. Kewajiban hukum internasional hanya memiliki
kekuatan mengikat secara moral saja. Faktor-faktor yang mendorong negara taat pada
hukum internasional adalah adanya berbagai kekawatiran yang muncul dari dalam
negara itu sendiri seperti kekawatiran dipandang sebagai anggota masyarakat bangsa-
bangsa yang tidak baik, kekhawatiran dipandang sebagai menjadi provokator untuk
kasus-kasus kejahatan-kejahatan internasional serta kekhawatiran munculnya perusuh-
perusuh juga kekhawatiran ancaman gangguan terhadap ketertiban dunia.
Kekuatan mengikat hukum internasional pada hakikatnya didasarkan pada kehendak
negara itu sendiri untuk tunduk pada hukum internasional. Teori ini bertolak dari teori
kedaulatan negara, yang menyatakan bahwa: “oleh karena negara adalah pemegang
kedaulatan, maka negara adalah juga sumber dari segala hukum. Hukum internasional
itu mengikat negara-negara karena negara-negara itu atas kehendak atau kemauannya
sendirilah tunduk atau mengikatkan diri kepada hukum internasional”. Teori ini
disebut Teori Kehendak Negara.
Ada 4 kelompok yang menyumbangkan pemikiriannya tentang ketaatan negara pada
Hukum Internasional, yang intinya menurut mereka bahwa dasar kekuatan mengikatnya
hukum internasional adalah kehendak negara itu sendiri. Emapat kelompok pemikiran
tersebut yaitu: Pertama, kelompok Austinian Positivistic Realistic, yang
mengemukakan bahwa negara tidak pernah taat pada hukum internasional karena
hukum internasional bukan hukum yang sesungguhnya (really law). Kedua, kelompok
Hobbessian Utilitarian, Rationalistic-nya mengakui bahwa ketaatan akan muncul
hanya bilamana negara punya kepentingan (self interest) dengan aturan dan
pemberlakuannya. Ketiga kelompok Liberal Kantian, yang mengemukakan bahwa
umumnya negara akan taat pada HI karena dipandu oleh sense of moral dan ethical
obligation yang berasal dari pemikiran hukum alam dan keadilan. Kelompok ke-4 yang
tokoh utamanya Bentham, mengemukakan bahwa insentif bagi negara untuk taat juga
dorongan negara-negara lain menyebabkan negara menjadi taat pada hukum
internasional.
Tokoh Positivis lain yaitu Triepel, mengembangkan teori kehendak negara menjadi
“common consent theory”. Menurut Triepel, hukum internasional itu mengikat bagi
negara-negara bukan karena kehendak mereka satu persatu untuk terikat, melainkan
karena adanya suatu kehendak bersama, yang lebih tinggi dari kehendak masing-
masing negara untuk tunduk pada hukum internasional. Negara dalam menyatakan
kehendak untuk terikat pada aturan-aturan hukum internasional itu dapat dilakukan
secara terang-teranagan (yaitu dengan perjanjian internasional) maupun secara diam-
diam (terhadap hukum kebiasaan).
Tokoh lain positivis yang menyumbangkan pemikiran tentang terikatnya negara pada
hukum internasional adalah Hans Kelsen yang dikenal dengan teori jenjang piramida
terbalik dan juga terkenal sebagai bapak Mazhab Wiena. Menurut Hans Kelsen,
kekuatan mengikat suatu kaidah hukum internasional didasarkan pada suatu kaidah
yang lebih tinggi, yang pada gilirannya didasarkan pada kaidah yang lebih tinggi lagi
dan demikian seterusnya, sampailah pada puncaknya piramidal kaidah yaitu kaidah
dasar (grundnorm) dimana kaidah dasar itu tidak dapat dideduksi sehingga harus
dianggap sebagai ‘hipotesa permulaan’. Menurutnya grundnorm dari hukum
internaasional adalah pacta sunt servanda.
3. Mazhab/ Aliran Sosiologis
Menurut aliran sosiologis, masyarakat bangsa-bangsa selaku makhluk sosial selalu
membutuhkan interaksi satu dengan yang lain untuk memenuhi kebutuhannya.
Betapapun majunya suatu negara tidak akan dapat hidup sendiri. Dalam berinteraksi
tersebut masyarakat internasional membutuhkan aturan hukum untuk memberi
kepastian hukum pada apa yang mereka lakukan. Pada akhirnya dari aturan tersebut
masyarakat internasional akan merasakan ketertiban, keteraturan, keadilan, dan
kedamaian. Demikianlah menurut aliran ini dasar kekuatan mengikatnya HI adalah
kepentingan dan kebutuhan bersama akan ketertiban dan kepastian hukum dalam
melaksanakan hubungan internasional. Kebutuhan ini menjadikan masyarakat
internasional mau tunduk dan mengikatkan diri pada HI. Faktor kebutuhan lebih
penting daripada faktor ada tidaknya aparat penegak hukum, ada tidaknya lembaga-
lembaga formal serta ada tidaknya sanksi.
Tokoh aliran ini diantaranya: Leon Duguit, Fauchile, Schelle, Gerald Fitzmaurice,
Chayes dan Thoman Franck.

Anda mungkin juga menyukai