OLEH
Banyak pendapat yang tidak menerima pendapat Austin, diantara mereka mengatakan
bahwa banyak kelemahan dari pendapat Austin. Diantara sanggahan tersebut:
Pertama, jika hukum harus ditetapkan oleh penguasa politik yang berdaulat, maka ini
tidak dapat dikenakan pada kebiasaan internasional, yang berlaku sebagai hukum,
meskipun tidak ditetapkan. Sebagai contoh misalnya mengenai laut wilayah. Ini dalam
proses perkembangannya tidak ditetapkan oleh penguasa politik yang berdaulat, tetapi
hanya merupakan suatu kebiasaan, yang diawali oleh klaim suatu negara terhadap wilayah
laut, yang kemudian klaim itu diikuti oleh negaranegara lain. Dan kenyataannya hal itu
ditaati di dalam pergaulan internasional. Contoh yang lainnya adalah Hukum Adat. Di
Indonesia, yang namanya Hukum Adat ini tidak pernah ditetapkan oleh penguasa politik
yang berdaulat. Tetapi ternyata masyarakat adat mentaati ketentuan ketentuan Hukum
Adat tersebut. Selain itu mengenai hukum adat ini juga tidak ada penguasa politik yang
dapat memaksakan berlakunya, tetapi kenyataannya hukum adat juga ditaati.
Kedua, Austin tidak dapat membedakan efektivitas hukum dan sifat hukum. Hukum
Internasional mempunyai sifat hukum, tanpa harus ditentukan oleh badan-badan
sebagaimana hukum nasional. Perlu diperhatikan bahwa dengan adanya lembaga-lembaga
tersebut (eksekutif, legislatif, dll.) memang akan membuat hukum dapat ditegakkan secara
efektif, tetapi tidak berarti bahwa tidak adanya badan-badan tersebut maka Hukum
Internasional tidak bersifat hukum atau dengan kata lain, dengan tidak adanya badan-
badan tersebut pertanda bahwa hukum internasional belum efektif, tetapi bukan berarti
bahwa hukum internasional itu tidak ada.
Ketiga, Hans Kelsen mengatakan, hal ini bertentangan dengan teori Austin, bahwa Hukum
Internasional adalah hukum. karena Hukum Internasional mempunyai sanksi seperti
pembalasan (reprisals), perang atau penggunaan kekerasan sebagai akibat adanya tindakan
yang salah menurut hukum internasional. Fitmaurice, menguatkan bahwa Hukum
Internasional adalah hukum, dengan mengatakan bahwa kewenangan dasar Hukum
Internasional sama dengan kewenangan negara sebagai anggota masyarakat internasional,
mengakui Hukum Internasional sebagai norma yang mengikat, dan mengakui sebagai
suatu sistem secara ipso facto (oleh kenyataan itu sendiri) mengikat mereka sebagai
anggota masyarakat internasional terlepas dari kemauan sendiri-sendiri dari negara.
Keempat, teori John Austin tersebut tentu saja sudah tidak relevan lagi dengan
perkembangan global saat ini. Perkembangan konflik internasional hingga perdagangan
internasional telah menuntut lahirnya Badan-badan Internasional dari mulai Perserikatan
Bangsa-bangsa (PBB), Mahkamah Internasional, World Bank, IMF, WTO, ICRC, dan
lain-lain yang memainkan peran baik sebagai eksekutif, legislatif, maupun yudikatif dalam
skala Internasional.
Sebagai contoh apabila kita membandingkan WTO (World Trade Organization) dengan
APEC (Asia-Pacific Economic Cooperation adalah adalah forum kerja sama antara 21
negara di lingkar Samudera Pasifik). WTO adalah organisasi perdagangan internasional
yang legally binding (mengikat secara hukum) sementara APEC tidak. WTO juga
memiliki prinsip dalam pengambilan keputusan yaitu single undertaking yakni atas dasar
mufakat atau konsensus. (Hukum WTO dapat diperdalam pada mata kuliah hukum
ekonomi internasional)
Berdasarkan kedua contoh peran WTO tersebut kita dapat menyimpulkan bahwa di dalam
WTO sebagai salah satu Badan Internasional berlaku sifat koordinatif yakni dimana
sesama anggota WTO memiliki kedudukan yang sejajar baik Negara maju maupun Negara
berkembang, dan sifat sub ordinatif dimana semua perjanjian WTO mengikat bagi
anggotanya dan wajib dilaksanakan. Apabila ada anggota Negara WTO yang lalai dan
melanggar perjanjian serta prinsip WTO, maka akan berpotensi digugat oleh Negara
Anggota WTO lainnya di Dispute Settlement Body (DSB) WTO.
Dengan demikian, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini, semakin
menguatkan eksistensi hukum internasional sebagai hukum dalam pergaulan/ hubungan
internasional. Kita tidak bisa mendasari kaidah hukum seperti yang dikonsepkan oleh
Austin bahwa yang disebut dengan hukum hanyalah perintah yang berasal dari penguasa
yang berdaulat atau perintah dari pihak yang menguasai kepada pihak yang dikuasai.
Suatu kaidah tentunya dapat disebut sebagai kaidah hukum apabila kaidah itu memenuhi
rasa keadilan dan sesuai dengan kesadaran masyarakat. Jadi saat ini eksistensi hukum
internasional sebagai suatu hukum sudah tidak perlu diragukan lagi, karena masyarakat
internasional telah menerima dan mentaati hukum internasional sebagai hukum. Sudah
terdapat beberapa bukti yang menunjukkan bahwasannya hukum internasional telah
diterima sebagai hukum.
Martin Dixon menyatakan bahwa meskipun hukum internasional sangat kurang institusi-
institusi formal seperti negara, hakikat hukum internasional adalah tetap hukum yang
sesungguhnya bukan hanya sekedar moral. Mayoritas masyarakat internasional mengakui
adanya aturan hukum yang mengikat mereka dalam pergaulan internasional.
Oppenheim dan Brierly mengemukakan bahwa hukum internasional adalah hukum yang
sesungguhnya (really law) namun terbatas pada negara sebagai satu-satunya pelaku
hukum dan tidak memasukkan subjek-subjek hukum lainnya. Ada tiga syarat yang harus
dipenuhi untuk dikatakan Hukum Internasional sebagai hukum, yaitu: 1) adanya
aturan hukum, 2) adanya masyarakat dan, 3) adanya pelaksanaan jaminan dari luar
(external power) atas aturan tersebut. Meskipun menyatakan bahwa hukum
internasional adalah hukum yang sesungguhnya bukan hanya sekedar moral, Oppenheim
mengakui bahwa hukum internasional adalah hukum yang lemah (weak law). Hukum
internasional lemah dalam hal penegakan hukumnya bukan validitasnya.
Melanjutkan ketiga syarat yang disampaikan oleh Oppenheim di atas bahwa hukum
internasional disebut sebagai hukum dengan terpenuhhinya tiga persyaratan tersebut.
Syarat pertama, dapat dengan mudah ditemukan yaitu dengan banyaknya aturan hukum
internasional dalam kehidupan kita sehari-hari, seperti Konvensi Hukum Laut PBB 1982,
Perjanjian internasional tentang bulan dan benda-benda langit lainnya (space treaty 1967),
Konvensi mengenai hubungan diplomatik dan konsuler, berbagai konvensi internasional
tentang HAM, tentang perdagangan internasional, tentang lingkungan internasional,
tentang perang, dan lain-lain. Dapat dikatakan sulit kita menemukan aspek kehidupan
yang belum diatur oleh hukum internasional.
Syarat ketiga, adanya pelaksanaan jaminan dari luar (external power) atas aturan tersebut.
Jaminan pelaksanaan dapat berupa sanksi yang datang dari negara lain, organisasi atau
pengadilan internasional. Sanksi tersebut dapat berwujud tuntutan permintaan maaf
(satisfaction), ganti rugi (compensation/pecuniary), serta pemulihan keadaan pada kondisi
semula (repartition). Disamping itu, ada sanksi yang wujudnya kekerasan seperti
pemutusan hubungan diplomatik, embargo.
Sehingga dari paparan di atas, tidak perlu diragukan lagi bahwa Hukum Internasional
adalah hukum yang sesungguhnya. Masyarakat internasional menerima Hukum
Internasional sebagai hukum bukan sekedar kaidah moral belaka. Bilamana Hukum
Internasional merupakan kaidah moral belaka, maka tidak akan ada external power atau
kekuatan pemaksa dari luar. Dalam kaidah moral (positive morality) kekuatan pemaksa
datang dari kesadaran subjek hukum itu sendiri (interrnal power), yakni hati nurani dari
kesadaran dirinya sendiri. Masalah pengakuan hukum yang lemah harus dipisahkan
dengan masalah eksistensi Hukum Internasional itu sendiri. Eksistensi Hukum
Internasional tidak tergantung pada banyak sedikitnya pelanggaran, ada tidaknya lembaga-
lembaga tertentu juga ada tidaknya sanksi, tetapi lebih ditentukan oleh sikap pelaku
hukum dalam masyarakat internasional itu sendiri.