BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Seringkali kita bersama menyaksikan fenomena-fenomena nyata yang
terjadi di masyarakat yang cukup mengganggu rasa keadilan kita sebagai insan
manusia. Yakni fenomena-fenomena dalam ruang pengembanan hukum baik
mulai dari pembentukan hingga penegakannya, namun yang ternyata justru dirasa
mencederai rasa keadilan kita bersama, rasa keadilan rakyat.
Dalam sektor pembentukan hukum, seringkali kita menemui suatu
substansi aturan hukum baik berupa undang-undang, peraturan pemerintah,
perpres, hingga perda yang tidak mencerminkan aspirasi rakyat, bahkan justru
secara substantif dirasa merugikan kepentingan rakyat. Demikian juga dalam
sektor penegakan hukum, sudah tak terhitung putusan pengadilan yang justru
dinilai banyak kalangan justru mencederai rasa keadilan masyarakat.
Dari gambaran di atas, ada hal yang perlu dikemukakan, bahwa secara
legal formal mungkin tidak ada yang salah dalam proses pembentukan maupun
penegakan hukum. Suatu undang-undang, apapun materi dan isinya, apakah
menggambarkan aspirasi rakyat atau tidak, selama itu dibentuk dan ditetapkan
oleh lembaga yang berwenang maka dapat dikatakan telah sah menjadi hukum
positif. Begitu pula dengan proses penegakan hukum, apapun isi putusan
pengadilan selama hakim dalam memutuskannya berkeyakinan telah mendasarkan
diri pada hukum positif yang ada maka dapat dikatakan telah sah secara hukum.
Permasalahannya, jika apa yang terjadi dalam gambaran-gambaran
pengembanan hukum sebagaimana di atas dapat dikatakan telah legal atau sah
secara hukumnya, maka pertanyaannya mengapa segala proses pengembanan
hukum baik dari pembentukan maupun penegakannya yang telah dapat dikatakan
sah dan legal secara hukum tersebut masih belum dapat memenuhi rasa keadilan
masyarakat? Mengapa Hukum Indonesia masih belum memenuhi tuntutan rasio,
hati nurani, perasaan, dan rasa keadilan kita bersama sebagai masyarakat?
Mengapa hukum menjadi tidak linier dengan tuntutan keadilan? Dimanakah letak
kesalahannya, tuntutan masyarakat atau hukumnya itu sendiri?
Adanya pertanyaan-pertanyaan substantif terhadap realitas Hukum
Indonesia, yang jelas menunjukkan adanya perbedaan atau gap antara apa yang
kita bersama sebagai masyarakat tuntutkan atau harapkan dalam substansi Hukum
Indonesia dengan fakta substantif obyektif dalam realitas Hukum Indonesia itu
sendiri. Jika lebih dikongkritisasi, telah terjadi suatu legal gap atau perbedaan
kesadaran tentang hukum antara apa yang ada dalam ide atau benak kesadaran
masyarakat dengan apa yang dituangkan dalam substansi hukum positif yang ada.
1.2.Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian Hukum Positif Indonesia?
2. Apa sajakah yang menjadi komponen substansi hukum?
3. Terdiri dari hukum apa saja substansi hukum positif Indonesia?
1.3.Maksud dan Tujuan
1. Mengetahui pengertian hukum positif Indonesia
2. Mengenal lebih dalam mengenai komponen substansi hukum
3. Mengetahui lebih jauh mengenai substansi hukum positif Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hukum Positif Indonesia
Hukum Positif adalah kumpulan asas dan kaidah hukum tertulis yang pada
saat ini sedang berlaku dan mengikat secara umum atau khusus dan ditegakkan
oleh atau melalui pemerintah atau pengadilan dalam negara Indonesia. Hukum di
Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum hukum Eropa, hukum Agama
dan hukum Adat. Sebagian besar sistem yang dianut, baik perdata maupun pidana,
berbasis pada hukum Eropa kontinental, khususnya dari Belanda karena aspek
sejarah masa lalu Indonesia yang merupakan wilayah jajahan dengan sebutan
Hindia Belanda (Nederlandsch-Indie). Hukum Agama, karena sebagian besar
masyarakat Indonesia menganut Islam, maka dominasi hukum atau Syari'at Islam
lebih banyak terutama di bidang perkawinan, kekeluargaan dan warisan. Selain
itu, di Indonesia juga berlaku sistem hukum Adat yang diserap dalam perundangundangan atau yurisprudensi, yang merupakan penerusan dari aturan-aturan
setempat dari masyarakat dan budaya-budaya yang ada di wilayah Nusantara.
Tiap-tiap bangsa memiliki hukumnya sendiri, seperti terhadap bahasa
dikenal tata bahasa, demikian juga terhadap hukum dikenal juga tata hukum. Tiaptiap bangsa mempunyai tata hukumnya sendiri.
Hukum merupakan positivasi nilai moral yang berkaitan dengan
kebenaran, keadilan, kesamaan derajat, kebebasan, tanggung jawab, dan hati
nurani manusia. Hukum sebagai positivasi nilai moral adalah legitimasi karena
adil bagi semua orang. Salah satu kesimpulan dari studi yang dilakukan oleh
lembaga-lembaga dunia, seperti Booz-Allen & Hamilton, McKinsey dan Bank
Dunia terhadap kinerja perekonomian Indonesia adalah rendahnya praktik Good
Corporate Governance (GCG). Secara umum, GCG sendiri berarti suatu proses
dan struktur yang digunakan untuk mengarahkan dan mengelola bisnis dan
akuntabilitas perusahaan dengan tujuan utama mempertinggi nilai saham dalam
jangka panjang dengan tetap memperhatikan kepentingan stakeholders lain. Dari
pengertian tersebut, selanjutnya dapat dijelaskan bahwa GCG tidak lain adalah
permasalahan mengenai proses pengelolaan perusahaan, yang secara konseptual
mencakup diaplikasikannya prinsip-prinsip transparancy, accountability, fairness
dan responsibility.
Pada saat baru lahir ditahun 1945, negara bayi bernama Indonesia
mengunifikasi serta mengkodifikasi hukum positif buatan Belanda yang
diberlakukan bagi masyarakat di Hindia Belanda yang terdiri dari berbagai etnik
saat itu bangsa Eropa, bangsa Cina, dan bangsa Timur Jauh bukan Cina yaitu
bangsa Arab dan India serta masyarakat pribumi/inlander bangsa Nusantara. Dasar
dari peraturan Belanda tersebut sebenarnya adalah hukum buatan VOC (Verenige
Oost Indische Companie), yang merupakan multinational company pertama di
Nusantara. Perusahaan dagang multinasional milik kolonial Belanda yang
dibentuk oleh 14 warga Belanda bagi manajemen penjajahan dinegara jajahan di
Asia Tenggara ditengah kemelut ekonomi dalam negeri Kerajaan Belanda yang
terjerat hutang yang besar pasca perang dengan negara-negara tetangganya dan
menuju kebangkrutan. Hukum khusus yang mereka buat tersebut sesungguhnya
memang khusus untuk diberlakukan bagi para inlander/masyarakat jajahan
Belanda di Hindia Belanda. Artinya kita sekarang sedang terjajah oleh bangsanya
sendiri. Sehingga tidak mengherankan sikap krusial pilihan hukum para penegak
hukum Indonesia sampai hari ini masih memprihatinkan. Hukum harus
ditegakkan dan keadilan harus dijujurkan vivat justitia vereat mudus (walaupun
langit akan runtuh hukum harus tetap ditegakkan).
B. Komponen Substansi Hukum
Substansi hukum adalah peraturan-peraturan yang dipakai oleh para pelaku
hukum pada waktu melaksanakan perbuatan-perbuatan serta hubungan-hubungan
hukum. Contoh: pada saat pedagang melaksanakan perjanjian antar sesamanya,
pada saat itu ia mendasarkan hubungannya pada peraturan perdagangan, dan
inilah yang disebut dengan substansi hukum. Komponen dalam substansi hukum
itu sendiri, diantaranya:
1. Sistem Hukum Adat dan Hukum Perdata
Hukum Adat
Hukum Adat merupakan hukum tidak tertulis yang dibentuk dan dipelihara
oleh masyarakat hukum adat tanpa campur tangan dari penguasa, yang dilengkapi
dengan sanksi sebagai upaya pemaksa. Hukum adat merupakan hukum yang
bersifat lokal, dan karena dibentuk oleh masyarakat hukum adat yang tata
susunannya sangat tergantung pada faktor pembentuknya, mengakibatkan hukum
adat menjadi plural dan berbeda diantara tiap daerah dan tiap masyarakat.
Sesuai dengan faktor genealogis maka ada 3 masyarakat hukum adat, yaitu
masyarakat matrilineal, patrilineal dan parental. Sedangkan berdasar pada faktor
teritorial terbentuk 3 macam masyarakat, yaitu: persekutuan desa, persekutuan
daerah dan perserikatan kampung.
Hukum Perdata
Hukum perdata adalah ketentuan-ketentuan yang mengatur dan membatasi
tingkah laku manusia dalam memenuhi kepentingan (kebutuhannya).[1] Hukum
perdata disebut pula hukum privat atau hukum sipil sebagai lawan dari hukum
publik. Jika hukum publik mengatur hal-hal yang berkaitan dengan negara serta
kepentingan umum (misalnya politik dan pemilu (hukum tata negara), kegiatan
pemerintahan sehari-hari (hukum administrasi atau tata usaha negara), kejahatan
(hukum pidana), maka hukum perdata mengatur hubungan antara penduduk atau
warga negara sehari-hari, seperti misalnya kedewasaan seseorang, perkawinan,
perceraian, kematian, pewarisan, harta benda, kegiatan usaha dan tindakantindakan yang bersifat perdata lainnya.
Ada beberapa sistem hukum yang berlaku di dunia dan perbedaan sistem
hukum tersebut juga mempengaruhi bidang hukum perdata, antara lain sistem
hukum Anglo-Saxon (yaitu sistem hukum yang berlaku di Kerajaan Inggris Raya
dan negara-negara persemakmuran atau negara-negara yang terpengaruh oleh
Inggris, misalnya Amerika Serikat), sistem hukum Eropa kontinental, sistem
hukum komunis, sistem hukum Islam dan sistem-sistem hukum lainnya. Hukum
perdata di Indonesia didasarkan pada hukum perdata di Belanda, khususnya
hukum perdata Belanda pada masa penjajahan.
Wikisource memiliki naskah sumber yang berkaitan dengan The Civil
Code. Bahkan Kitab Undang-undang Hukum Perdata (dikenal KUHPer) yang
berlaku di Indonesia tidak lain adalah terjemahan yang kurang tepat dari
Burgerlijk Wetboek (atau dikenal dengan BW) yang berlaku di kerajaan Belanda
dan diberlakukan di Indonesia (dan wilayah jajahan Belanda) berdasarkan azas
konkordansi. Untuk Indonesia yang saat itu masih bernama Hindia Belanda, BW
diberlakukan mulai 1859. Hukum perdata Belanda sendiri diadopsi dari hukum
perdata yang berlaku di Perancis dengan beberapa penyesuaian. Kitab undangundang hukum perdata (disingkat KUHPer) terdiri dari empat bagian, yaitu: Buku
I tentang Orang, Buku II tentang Benda, Buku III tentang Perikatan, Buku IV
tentang Pembuktian dan Daluwarsa.
2. Sistem Hukum Acara Perdata Indonesia
Dalam rangka menegakan hukum perdata materil diperlukan hukum
perdata formil (hukum acara perdata), yakni aturan hukum yang mengatur
bagaimana menegakkan hukum perdata materil dengan perantaraan hakim di
pengadilan sejak pemajuan gugatan sampai pada pelaksanaan putusan. Asas-asas
yang perlu diperhatikan dalam bercara perdata, antara lain: Hakim bersifat
menunggu; Hakim bersikap pasif; Sidang terbuka untuk umum; mendengar kedua
belah pihak; beracara itu dikenakan biaya, terikatnya hakim pada alat bukti; dan
putusan hakim harus disertai alasan-alasan. Beracara perdata itu melalui 3 (tiga)
tahap, yaitu pendahuluan, penentuan, dan pelaksanaan.
3. Sistem Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana Indonesia
Berdasarkan isinya, hukum dapat dibagi menjadi 2, yaitu hukum privat
dan hukum publik (C.S.T Kansil). Hukum privat adalah hukum yang mengatur
hubungan orang perorang, sedangkan hukum publik adalah hukum yang mengatur
hubungan antara negara dengan warga negaranya. Hukum pidana merupakan
bagian dari hukum publik yang mengatur hubungan antara negara dengan warga
negara. Hukum Pidana dalam pengertian sempit hanya mencakup hukum pidana
materiil saja, sedangkan Hukum Pidana dalam arti luas mencakup hukum pidana
materil dan hukum pidana formil atau Hukum Acara Pidana.
Hukum Pidana materil diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP), sedang Hukum Acara Pidana diatur dalam UU No. 8 Tahun 1981 tentang
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan peraturan perundangundangan lainnya. Hukum Acara Pidana atau hukum formil merupakan ketentuan
tentang tata cara proses perkara pidana sejak adanya sangkaan seseorang telah
a.
alat-alat negaranya saja. Menurut hukum tata negara, seorang warga negara pun
mempunyai wewenang dan kewajiban serta pelindungan terhadap hak asasinya.
Dengan pemahaman tersebut, dapat diartikan bahwa hukum tata negara
adalah seluruh peraturan perundang-undangan yang bersifat legal formal maupun
nonformal yang mengatur penyelenggaraan negara kaitannya dengan bentuk
negara, asas-asas hukum negara, sistem pemerintahan, kekuasaan pemerintah,
pembagian kekuasaan, peralihan kepemimpinan suatu negara, pemilihan umum,
prinsip-prinsip demokrasi, ideologi negara, hak dan kewajiban pemerintah dan
masyarakat, serta semua hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan negara
lainnya.
Negara jika dipandang sebagai tatanan hukum, memiliki legalitas
normative yang membentuk suatu kekuasaan politik tersangkut dengan semua
unsur ketatanegaraan, misalnya unsur hukum positif, unsur penegak hukum, unsur
warga negara, unsur wilayah, unsur kedaulatan rakyat, pergantian kepemimpinan
atau pemerintahan suatu negara, dan sebagainya yang menempatkan negara
sebagai kerangka acuan kehidupan manusia di dalamnya.
b.
Dari definisi negara di atas, ruang lingkup hukum tata negara adalah
sebagai berikut:[3]
1. Wilayah suatu negara,
2. Sistem penyelenggaraan pemerintahan suatu negara,
3. Konstitusi dan peraturan perundang-undangan suatu negara,
4. Sistem pembagian atau pemisahan kekuasaan,
5. Tugas dan fungsi kekuasaan mekanisme peralihan kekuasaan yang ada dalam suatu
negara,
6. Lembaga-lembaga negara beserta kekuasaan dan batasan-batasannya,
7. Prinsip-prinsip bernegara kaitannya dengan bentuk negara,
8. Kedudukan masyarakat dalam negara,
9. Demokrasi dan penerapannya dalam sistem penyelenggaraan negara,
10. Asas hukum tata negara,
11. Sejarah ketatanegaraan Indonesia.
c.
4. Peraturan Pemerintah
5. Keputusan Presiden
6. Peraturan Pelaksana Lainnya
7. Convention (Konvensi Ketatanegaraan)
8. Traktat
2.
a.
cara
bagaimana
alat-alat
perlengkapan
negara
itu
melakukan
Hadjon[6],
dengan
sturen
dan
pemerintahan
tidaklah
sekedar
melaksanakan
undang-undang.
bersamaan
dengan
diselenggarakannya
kekuasaan
Negara
dan
hukum
materiil
adalah
faktor-faktor
masyarakat
yang
mempengaruhi pembentukan hukum (pengaruh terhadap pembuatan undangundang, pengaruh terhadap keputusan hakim, dan sebagainya, atau factor yang
diikuti memengaruhi materi (isi) dari aturan-aturan hukum, atau tempat darimana
hukum itu diambil. Sumber hukum materi ini merupakan factor yang membantu
pembentukan hukum. Sumber hukum materil terdiri dari :
Peraturan perundang-undangan
Yurisprudensi
Doktrin.
BAB III
PENUTUP
3.1.Kesimpulan
Hukum positif itu identik dengan hukum tertulis, yang menjadi hukum
negara. Tujuannya adalah menciptakan kepastian hukum di Indonesia,
sebagaimana didalam UUD 1945 naskah asli yang menyatakan bahwa Indonesia
adalah negara berdasarkan hukum/rechtstaat.
Dalam Substansi Hukum Positif Indonesia HTN dan HAN mempunyai
hubungan erat. HAN meliputi semua aturan hukum yang bersifat teknis (negara
dalam keadaan bergerak), sedang HTN meliputi semua aturan hukum yang
bersifat fundamental (negara dalam keadaan diam/tidak bergerak).
Hukum Tata Negara adalah negara dalam keadaan diam (Strats in rust),
dimana Hukum Tata Negara membentuk alat-alat perlengkapan Negara dan
memberikan kepadanya wewenang serta membagi-bagikan tugas pekerjaan
3.2.Saran
1. Terciptanya hukum positif yang tertulis di Indonesia diharapkan dapat
menciptakan pula kepastian hukum. karena di Indonesia sendiri setidaknya
berlaku/mengadopsi tiga sistem hukum, yaitu, Hukum Agama, Hukum Adat, dan
Hukum Eropa Kontinental yang menjadi basis hukum nasional Indonesia dan itu
membuat hukum di Indonesia mendekati hukum yang dipandang baik secara
sistem hukumnya.
2. Unifikasi hukum diharapkan bisa menciptakan kepastian hukum dan kepastian
hukum tersebut diharapkan menciptakan keteraturan di masyarakat dan negara,
khususnya yaitu Negara Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
1.
Buku