Anda di halaman 1dari 76

TUGAS HUKUM INTERNASIONAL

RINGKASAN BUKU HUKUM INTERNASIONAL

“Hukum Internasional Suatu Pengantar” oleh Dr. Sefriani, S.H., M.Hum.

OLEH:

KELOMPOK 4

CINDY ISHLAHA (1710112124)

SANDRA PUTRI PRIMASARI (1710112141)

FISCHA AUDEA (1710112161)

VIKKANIA RAHMI ANDIKA P. (1710113026)

INDAH SRI REZEKI (1710113028)

KELAS : 2.8

DOSEN: Hj. MAGDARIZA, S.H., M.H.

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS ANDALAS

PADANG

2018
BAB 1

HAKIKAT HUKUM INTERNASIONAL

A. Istilah Dan Pengertian Hukum Internasional

Hukum internasional (international law) atau hukum internasional publik (public


international law) Merupakan istilah yang lebih populer digunakan saat ini dibandingkan
istilah hukum bangsa bangsa (law nations), hukum antarnegara (inter state law).dua istilah ini
ditinggalkan karena dianggap tidak sesuai dengan kebutuhan. Hukum internasional saat ini
tidak hanya mengatur hubungan antarbangsa atau antarnegara saja. Hubungan internasional
sudah berkembang pesat sedemikian rupa sehingga subjek subjek negara tidaklah terbatas
pada negara saja sebagaimana diawal perkembangan hukum internasional. Berbagai
organisasi internasonal individu, perusahaan internasional, vatican, belligerency, merupakan
contoh-contoh subjek nonnegara.

Defenisi hukum internasional diberikan secara lebih lengkap oleh Sheareer


sebagaimana dikutip oleh Starke dan Alina Kaczorowska:

International law may be defined as that body of law which is composed for its
greater part of the principles and rules of conduct which states feel themselves bound
to observe,and therefore,do commonly observe in their relations with each other,and
which includes also:

the rules of law relating to the funcitioning of international institutions or


organizations,their relation with states and individual and,

The rules of law relating to individuals and non states so far as the rights or duties of
such individuals and non states entities are the concern of the international
community.

Meskipun mengakui bahwa hukum internasional saat ini tidak hanya mengatur
hubungan antarnegara, Tetapi John O’brien mengkemukakan bahwa hukum internasional
adalah sistem hukum yang terutama berkaitan dengan hubungan antarnegara. Apa yang
dikemukakan oleh Brien ini dapat dipahami mengingat sampai saat ini negara adalah subjek
yang paling utama. Adapun subjek subjek yang lain dapat dikatakan sebagai subjek derivatif
atau turunan dari negara. Negaralah yang mengkehendaki pengakuan mereka sebagai subjek
hukum internasional.
Istilah terakhir untuk hukum internasional yang juga cukup populer adalah hukum
transnasional (transnational law). Istilah ini digunakan oleh pakar yang tidak setuju pada
pembagian hukum internasional publik dan hukum perdata internasional.

Istilah transnasional karenanya sangat tepat menurut para pendukung istilah ini yaitu
prinsip-prinsip dan kaidah yang mengatur hubungan hukum antara subjek subjek hukum dan
bersifat lintas batas negara.

B. Sifat Dan Perwujudan Hukum Internasional

Hukum internasional adalah hukum yang sifatnya koordinatif bukan subordinatif


seperti halnya dalam hukum nasional. Subordinatif maksudnya ada hubungan tinggi rendah
antara yang diperintah (rakyat) dengan yang memerintah (peenguasa/pemerintah).

Hubungan internasional yang diatur oleh hukum internasional dilandasi oleh


persamaan kedudukan antaranggota masyarakat bangsa bangsa. Hukum internasional
perwujudannya ada yang bilateral, trilateral, regional, multilateral, maupun universe. Hukum
internasional bilateral berarti bahwa aturan tersebut dibuat oleh negara dan hanya mengikat
pada kedua negara itu saja. Contoh adalah perjanjian ekstradisi Indonesia-Austarlia semua
negara berhak terlibat atau membuat perjanjian internasional baik yang bilateral, trilateral
bahkan sampai yang universal. Semua itu merupakan hukum internasional yang mengikat
bagi para pihaknya. Dengan demikian, jelaslah dalam hukum internasional memang tidak ada
badan legislatif formal semacam ditingkat nasional yang memiliki kewenangan membuat
semua aturan atau perundang undangan. Namun demikian, tidak adanya badan legislatif ini
tidak berarti kemudian tidak ada aturan atau hukum internasional yang dihasilkan.masyarakat
internasional sendirilah yang membuat aturan tersebut.

C. Hukum Internasional Sebagai Hukum Yang Sesungguhnya

Menurut Austin hukum internasional bukanlah hukum yang sesungguhnya karna


untuk dikatakan sebagai hukum menurut austin harus memenuhi dua unsur, yaitu badan
legislatif pembentuk aturan serta aturan tersebut dapat dipaksakan. Austin tidak menemukan
kedua unsur ini di dalam diri hukum internasional sehingga ia berkesimpulan bahwa hukum
internasional belum dapat dikatakan sebagai hukum, baru sekedar positif morality saja.
Menurut austin hukum identik dengan undang-undang, perintah dari penguasa (badan
legislatif).
Berbeda dengan Austin, Oppenheim mengatakan bahwa hukum Internasional adalah
hukum yang sesungguhnya. Karena memenuhi syarat sebagai hukum, yaitu adanya aturan
hukum. Syarat kedua adanya masyarakat internasional juga terpenuhi menurut Oppenheim.
masyarakat internasional tersebut adalah negara negara dalam lingkup bilateral, trilateral,
regional maupun universal. Adapun syarat ketiga adanya jaminan pelaksanaan juga terpenuhi
menurut Oppenheim. Jaminan dapat berupa sanksi yang dtang dari negara lain, organisasi
internasional, ataupun pengadilan internasional. Sanksi tersebut dapat berwujud tuntutan
permintaan maaf (satisfaction) ganti rugi (compensation) serta pemulihan keadaan pada
kondisi semula (repartition) disamping itu ada pula sanksi yang wujudnya kekerasan seperti
pemutusan hubungan diplomatik,embargo, pembalasan sampai ke perang.

Mayoritas masyarakat internasional mengakui adanya aturan hukum yang mengikat


mereka. Ketika irak menginvasi kuwait tahun 1990 masyarakat internasional menyatakan
bahwa tindakan tersebut unlawful bukan immoral atau unacceptable. Darimana kita ketahui
bahwa masyarakat internasional menerima adan mengakui HI sebagai hukum? Ada beberapa
bukti yang dapat dikemukakan menurut dixon:

1. HI banyak dipraktikkan atau diterapkan oleh pejabat pejabat luar negeri, pegawai
asing, pengadilan nasional, dan organisasi-organisasi internasional,
2. Negara negara yang melanggar hukum internasional dalam praktik tidak mengatakan
bahwa mereka melanggar hukum karena HI tidak mengikat mereka,
3. Mayoritas negara mematuhi hukum internasional,
4. Adanya lembaga lembaga penyelesaian hukum,
5. Dalam praktik HI dapat diterima dan diadaptasikan kedalam hukum nasional negara-
negara.
D. Kekuatan Mengikat Hukum Internasional

Ada beberapa teori atau aliran yang mencoba dikemukakan. Pertama, teori atau aliran
hukum alam. Teori ini mengemukakan bahwa HI mengikat karena HI bagian dari hukum
alam yang diterapan masyarakat bangsa bangsa, dengan kata lain,dapat dikatakan bahwa
negara negara mau terikat pada HI karena hubungan-hubungan mereka diatur oleh hukum
yang lebih tinggi yaitu hukum alam. Hukum alam adalah hukum yang datang dari alam dan
diturunkan pada manusia lewat rasio atau akalnya.

Aliran yang kedua yang mencoba memberikan pemikiran adalah hukum positif.
Aliran ini mengkemukakan bahwa dasar kekuatan mengikatnya HI adalah kehendak negara.
Dan yang ketigayang juga memberi pemikiran dasar kekuatan mengikat HI adalah aliran
yang melakukan pendekatan sosiologis.
Disamping faktor kebutuhan, kekhawatiran akan kehilangan keuntungan atau
fasilitas-fasilitas dari negara lain juga kekhawatiran dikucilkan dari pergaulan internasional
juga memberi konstribusi kataatan masyarakat internasional pada hukum internasional.

E. Hukum Internasional Dan Kedaulatan Negara

Kata kedaulatan merupakan terjemahan dari kata sovereignty(inggris),


sovereinete(prancis), atau sovranus(italia) semua kata asing bitu berasal dari bahasa latin
superanus, yaitu yang tertinggi,atau yang teratas. Berdasarkan pendapat jean bodin,
kedaulatan negara dipahami sebagai sesuatu yang tertinggi, yaitu kekuasaan mutlak dan
abadi, tidak terbatas dan tidak dapat dibagi-bagi. Bodin menganggap bahwa kedaulatan
sebagai atribut negara, sebagai sifat khas negara.

Bodin menyatakan bahwa tidak daa kekuasaan yang lebih tinggi yang dapat
membatasi kekuasaan negara.menurut bodin yang dinamakan kedaulatan itu mengandung
satu satunya kekuasaan sebagai:

1. asli, artinya tidak diturunkan dari kekuasaan lain


2. Tertinggi, artinya tidak ada kekuassan lain yang lebih tinggi yang dapat
membatasi kekuasaanya
3. Bersifat abadi dan kekal
4. Tidak dapat dibagi bagi karna hanya ada satu kekuasaan tertinggi saja
5. Tidak dapat dipindahkan atau diserahkan kepada sesuatu badan lain.

Disamping ajaran tentang kedaulatan negara dari bodin, membicarkan kedaulatan


negara dalam hukum internasional juga tidak dapat lepas dari konsep negara kebangsaan
dalam wesphalian system yang lahir dari perjanjian wespahlia 1648 yang mengenalkan
konsep nation state, dimana negara memiliki kedaulatan internal dan kedaulatan eksternal.
Secara internal, negara berdaulat dan memiliki kewenanagan ekslusif atas suatu wilayah
tertentu, bebas dari campur tangan pihak luar. Setiap bentuk intervensi suatu negara terhadap
negara lain dengan menggunakkan tindakan pemaksaan bahkan kekerasan pada situasi damai
dianggap sebagai pelanggaran terhadap konsep kedaulatan negara.

Dewasa ini pengertian kedaulatan menjadi lebih sempit daya berlakunya karena
hampir tidak ada lagi negara yang secara penuh menolak pembatasan terhadap kebeasan
negaranya demi kepentingan masyarakat internasional sepenuhnya.

F. Kelemahan Hukum Internasional


HI adalah hukum yang hidup. Ia tumbuh dan berkembang seiring dengan semakin
kompleksnya hubungan antara subjek subjek hukum internasional yang ada. Sebagaimana
yang dipaparkan diatas HI diakui oleh masyarakat internasional sebagai hukum yang
sesungguhnya dan dipatuhi sebagaimana layaknya suatu aturan hukum karena faktor faktor
berikut:

1. kebutuhan dan kepentingan bersama akan menjamin kepastian hukum dan ketertiban
dalam melakukan hubungan internasional,
2. Biaya biaya politik dan ekonomi yang dibayar jika melanggar HI,
3. Sanksi sanksi yang dijatuhkan negara lain ,organisasi internasional dan pengadilan,
4. Faktor psikologis takut dikecam atau dikutuk oleh pihak lain bila melanggar HI.

Meskipun HI bisa bekerja, namun demikian ada beberapa faktor yang menjadikan HI
sebagai hukum yang lemah.bebrapa faktor dimaksudkan adalah:

1. kurangnya institusi institusi formal pengak hukum,


2. tidak adanya polisi yang siap sedia mengawasi dan menindak pelangngar HI,
3. Meskipuun ada jaksa dan hakim dipengadilan internasional,namun mereka tidak
memiliki otoritas memaksa negara pelanggar secara langsung sebagaimana yang
umunya terjadi di pengadilan nasional,
4. Tidak adanya pengadilan internasional yang memiliki yurisdiksi wajib,
5. Tidak jelasnya aturan aturan HI yang ada (unclear) sehingga mendukung terjadinya
berbagai penafsiran dilapangan dan mengakibatkan kurangnya kepastian hukum.
G. Peran Dan Perkembangan Hukum Internasional

Dewasa ini HI mengatur hampir semua aktivitas negara. Ada hukum tentang
penggunaan laut, udara, luar angkasa, dan antartika. Ada hukum yang mengatur jasa
telekumunikasi pos, pengangkutan barang dan penumpang juga keuangan.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi perkembangan HI, pertama adalah


meningkatnya jumlah negara baru akibat proses dekolonisasi. Sebagian negara berkembang
yang lahir pasca perang dunia kedua, merasakan bahwa aturan HI lebih mengakomodasi
kepentingan negara maju. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa pada awalnya merupakan
hukum yang berlaku antar negara dieropa.

Faktor kedua yang mempengaruhi perkembangan HI adalah munculnya berbagai


organisasi internasional. Faktor ketiga adalah diakuinya individu sebagi subjek HI. Faktor
keempat adalah perkembangan teknologi dan komunikasi. Faktor kelima adalah muncul dan
makin berperannya aktor aktor non state dalam percaturan internasional khususnya NGO juga
perusahaan transnasional (TNC) yang memberi warna baru pada wajah hukum internasional.
Faktor keenam adalah era globalisasi dan faktor ketujuh adalah seiring dengan era globalisasi
diatas munculnya isu isu yang mengglobal seperti demokrasi, ham, lingkungan hidup,
terorisme yang banyak mempengaruhi perkembangan hukum internasional.

H. Hukum Internasional, Negara Maju, dan Negara Berkembang

Dalam konteks masyarakat internasional, hukum internasional juga sering digunakan


sebagai instrumen politik negara maju pada negara berkembang.

Beberapa pemanfaatan hukum internasional sebagai innstrumen politik menurut


hikmahanto adalah sebagai berikut:

1. Sebagai pengubah konsep,


2. Sebagai sarana intervensi urusan domestic,
3. Sebagai alat penekan,
4. Disisi lain hukum internasional juga bisa digunakan untuk menolak tekanan dari
pihak lain
I. Indonesia dan Hukum Internasional

Pertama sikap indonesia dimasa orde lama diawal kemerdekaan (1945-1966), masa
orde baru atau sering disebut sebagai masa pembangunan atau ditengah kemerdekaan (1966-
1998) atau era reformasi (19998-sekarang).

1. Sikap Indonesia Terhadap Hukum Internasional di Era Orde Lama (1945-1965)

Posisi indonesia sebagai negara yang berstatus negara jajahan sangat memengaruhi
sikap indonesia terhadap HI. Pengalaman buruk suatu negara dimasa lalu dapat
mempengaruhi perilakunya yang tidak ingin mengalami perlakuan serupa dengan apa yang
telah dialaminya itu dimasa yang akan datang. Hal ini mengambil analogi dari apa yang
ditemukan terhadap manusia dimana pengalaman buruk seseorang dimasa lalu dapat
menimbulkan traumatik dan upaya keras untuk tidak mengalami hal serupa dimasa yang akan
datang, yang berpotensi memengaruhi perilaku hukumnya.

2. Sikap Indonesia Terhadap Hukum Internasional di Era Orde Baru (1966-1968)

Di era orde baru, Indonesia lebih bersahabat terhadap hukum internasional. Di era ini
tercatat beberapa kali indonesia mengirimkan pasukan garuda sebagai pasukan perdamaian
PBB bergabung dengan negara negara lain dibeberapa wilayah konflik.

3. Sikap Indonesia Terhadap Hukum Internasional di Era Reeformasi (1998-


Sekarang)
Dibandingkan dengan dua era sebelumnya, di era reformasi sikap indonesia terhadap
hukum internasional jauh lebih bersahabat. Indonesia banyak melakukan perjanjian
kerjasama diberbagai bidang baik ekonomi, pertahanan keamanan, sosial maupun budaya.
BAB 2

SUMBER-SUMBER HUKUM INTERNASIONAL

A. Macam Macam Sumber Hukum Dalam Hukum Internasional

Pasal 38 statuta mahkamah internasional (MI) senantiasa dijadikan rujukan


pembahasan sumber sumber HI.menurut paragraf 1 pasal ini, dalam memutuskan sengketa
internasional yang diserahkan kepadanya, hakim MI dapat menggunakan:

1. perjanjian internasional
2. Kebiasaan internasional
3. Prinsip prinsip umum hukum yang diakui oleh bangsa bangsa yang beradab
4. Putusan pengadilan dan doktrin atau karya hukum sebagai sumber hukum tambahan.

Selanjutnya menurut ayat 2 pasal 38 hakim juga dapat memutuskan berdasar


keputusan dan kelayakan (at aque at bono) bilamana disetujui oleh para pihak.

Ada beberapa catatan dan permasalahan penting berkaitan dengan pasal 38 statuta
mahkamah internasional. catatan pertama adaalah bahwa statuta MI tidaklah khusus
membahas mengenai sumber sumber HI. Pasal 38, sifatnya hanya merupakan petunjuk bagi
hakim untuk mempertimbangkan macam macam sumber hukum yang dapat digunakannya.

1. Perjanjian Internasional (Treaties)

Perjanjian internasional menjadi instrumen utama pelaksanaan hubungan


internasional antarnegara.perjanjian internasonal juga berperan sebagai sarana untuk
meningkatkan kerja sama internasional, peran perjanjian internasional dewasa ini dapat
dikatakan menggantikan hukum kebiasaan internasional. Suatu kelebihan perjanjian
dibandingkan dengan hukum kebiasaan yaitu sifatnya yang tertulis, memudahkan dalam
pembuktian dibandingkan dengan hukum kebiasaan yang tidak tertulis sehingga terkadang
cukup sulit untuk menemukan atau membuktikannya.

Beberapa prinsip penting dalam hukum internasional adalah sebagai berikut:

a. voluntary, tidak ada pihak yang dapat diikat oleh suatu treaty melalui salah satu cara
yang diakui HI (penandatanganan, peratifikasian, atau pengaksesan) tanpa
persetujuannya,
b. Pacta Sunt Servanda, perjanjian mengikat seperti undang undang bagi para pihaknya
c. Pucta Tertiis Nec Nocunt Nec Prosunt, perjanjian tidak memberikan hak dan
kewajiban pada pihak ketiga tanpa persetujuannya
d. Ketika seluruh pasal dalam suatu perjanjian merupakan kodifikasi hukum kebiasaan
internasional yang sudah ada berlaku maka seluruh isi perjanjian itu akan mengikat
pada seluruk masyarakat internasional, termasuk negara yang tidak meratifikasinya.
Negara tidak meratifikasi terikat bukan karena perjanjiannya, tetapi karena hukum
kebiasaan internasional,
e. Apabila suatu perjanjian merupakan campuran antara hukum kebiasaan yang sudah
berlaku dengan perkembangan yang baru (progressive development) maka:
1) negara peserta akan terikat pada seluruh pasal perjanjian,
2) Negara bukan peserta hanya terikat pada sis pasal yang merupakan kodifikasi
hukum kebiasaan yang sudah berlaku (existing costumary law),
3) Negara bukan pesertadapat pula terikat pada ketentuan yang merupakan
progressive devolpmement bilamana progressive devolepment tersebut
merupakan hukum kebiasaan baru(new costumary).
a. Hierarki Dalam Treaty

Treaty yang mengatur suatu hal yang serupa ada yang bilateral, regional, maupun
universal. Treaty tersebut tidak akan bermasalah bila isinya tidak saling bertentangan.

Adapun dalam HI persoalannya lebih kompleks karena pihak pihak dalam suatu
perjanjian belum tentu sama. Bila ada dua perjanjian yang datangnya berurutan, para
pihaknya sama, perjanjian yang akhir tidak mencabut perjanjian yang awal, bila ada aturan
yang bertentangan maka berlakulah prinsip lex posteriori derogat lex priori atau perjanjian
yang datang kemudian akan diutamakan daripada perjanjian yang lebih dulu.

b. Berlaku (Entry Into Force) dan Mengikatnya (Bound) Perjanjian

Kapan suatu perjanjian mengikat dan kapan suatu perjanjanjian berlaku sangatlah
penting untuk dipahami. Pasal 24 (1) konvensi wina 1969 menentapkan bahwa berlakunya
suatu perjanjian internasional tergantung pada:

1) ketentuan perjanjian internasional itu sendiri


2) Atau apa yang telah disetujui oleh negara peserta

Untuk mengetahui kapan suatu perjanjianberlaku pada umunya dapat dilihat dibagian
klausula formal (klausula final) yang biasanya tertelatk di pasal pasal terakhir perjanjian atau
setelah pasal pasal substansial (dispositive provision) perjanjian internasional
tersebut.sebagai contoh misalnya:

1) perjanjian berlaku segera setelah penandatanganan;


2) Perjanjian berlaku 60 hari setelah penandatanganan;
3) Perjanjian berlaku setelah terkumpul 30 piagam ratifikasi;
4) Perjanjian berlaku 30 hari setelah terkumpul 60 piagam ratifikasi.

Adapun mengikatnya perjanjian tergantung pada tahap-tahap pembentukan perjanjian


itu. Untuk perjanjian yang tidak memrlukan ratifikasi maka penandatanganan menimbulkan
akibat hukum yaitu terikatnya negara penandatanganan pada perjanjian tersebut.

c. Perjanjian Internasional Di Indonesia

Undang undang tentang perjanjian internasional yaitu UU NOMOR 24 TAHUN 2000.

Perjanjian yang perlu diratifikasi oleh undang undang adalah:

1) Soal-soal politik/yang dapat mempengaruhi haluan politik luar negeri,


2) Ikatan ikatan ynag sifatnya mempengaruhi haluan politik luar negeri,
3) Soal-soal yang menurut UUD harus diatur dengan undang undang.

Terkait dengan pengesahan perjanjian internasional, pasal 10 UU nomor 24 tahun


2000 memberikan acuan bahwa pengesahan perjanjian internasional dengan undang undang
bila tentang:

1) Masalah politik, perdamaian, pertahanan dan keamanan negara;


2) Perubahan wilayah/penetapan batas wilayah negara RI;
3) Kedulatan/hak berdaulat negara;
4) HAM&lingkungan hidup;
5) Pinjaman/hibah luar negeri

2. Hukum Kebiasaan Internasional (International Costumary Law)

Hukum kebiasaan menurut dixon adalah hukum yang berkembang dari praktik atau
kebiasaan negara negara. Hukum kebiasaan internasional (custumary) harus dibedakan
dengan hukum adat (usuge) atau kesopanan internasional (international community) ataupun
persahabatan (frienship).

a. Unsur-unsur Hukum Kebiasaan Internasional

Untuk dikatakan sebagai hukum kebiasaan harus memenuhi dua unsur secara
kumulatif.

1) Unsur Faktual
Yang dimaksud dengan syarat faktual disini adalah adanya praktik umum negara
negara (general),cberulang-ulang dan dalam jangka waktu yang lama.

Unsur praktik umum (general) tidaklah mensyaratkan harus semua negara tanpa
terkecuali (universal)melakukan praktik tersebut. Unsur praktik yang berulang-ulang
mensyaratkan kekonsistensian atau keseragaman dalam praktik.

Unsur jangka waktu (duration). ICJ tidak pernah memberikan petunjuk yang jelas
mengenai berapa jangka waktu yang diperlukan dalam praktik negara untuk menjadi hukum
kebiasan internasional.

2) Unsur Psikologis (Psychological Element/Opinio Jurissive Necessitas)

Unsur factual adanya praktik negara yang umum, uniform dan consistent harus diikuti
adanya keyakinan pada negara negara tersebut bahwa apa yang mereka praktikan merupakan
suatu kewajiban atau hukum yang harus dipatuhi bukan hanya sekedar habitual saja.

b. Perubahan Hukum Kebiasaan Internasional

Suatu hukum kebiasaan baru (new customary law) dapat menggantikan hukum
kebiasaan yang sudah ada (existing rule) bila ada cukup praktik negara yang bertentangan
dengan hukum kebiasaan yang sudah ada, yang didukung oleh opinio juris. Pada awalnya
praktik yang bertentangan memang akan dikatakan sebagai pelanggaran terhadap hukum
kebiasaan karena memang saat itu hukum kebiasaan yang ada belumlah berubah. Disini,
sangat pentingnya faktor opinio jurist, melalui putusan putusan pengadilan apa yang semula
dipandang sebagai pelanggaran dalam perkembangnya justru dianggap sebagai
perkembangan baru. Terhadap praktik yang bertentangan tersebut tentunya menandakan
bahwa masyarakat internasional belum bisa menerima adanya perubahan.

c. Hubungan Antara Hukum Kebiasaan Dengan Perjanjian Internasional

Bilamana hukum kebiasaan dan perjanjian internasional menetapkan kewajiban


kewajiban hukum yang sama maka tidak akan menimbulkan banyak masalah.

Bila ada konflik antara hukum kebiasaan dengan treaty maka:

1) jika treaty datang kemudian dibandingkan hukum kebiasaan, sepanjang hukum


kebiasaannya bukan berstatus jus cogen maka treaty lah yang diutamakan;
2) Jika hukum kebiasaan yang bertentangan datang kemudian setelah treaty,
penyelesaiannya tidaklah jelas. Non peserta akan tunduk pada new customary;
3) Pasal 53 konvensi wina tentang hukum perjanjian menegaskan bahwa suatu treaty
adalah void bilamana bertentnangan dengan jus cogen atau peremptory norm of
general international law.
3. Prinsip Prinsip Hukum yang Diakui Oleh Bangsa Yang Beradab (General
Principles Recognized By Civilized Nations)

Prinsip prinsip hukum umum yang diakui oleh bangsa yang beradab pertama kali
diperkenalkan oleh statuta PCIJ dengan maksud untuk menghindari masalah non liquet dalam
suatu perkara yang dihadapkan pada hakim. Bila hakim itu menemukan perjanjian juga
hukum kebiasaan yang relevan dengan kasus yang dihadapinya hakim diarahkan untuk
menggunakan prinsip hukum umum ini.

Prinsip hukum umum merupakan prinsip prinsip hukum secara umum tidak hanya
terbatas pada huhkum internasional saja, tetapi mungkin prinsip dalam hukum perdata
,huhkum acara, hukum pidana, hukum lingkungan dan lain lain yang diterima dalam praktik
negara negara nasional.

Beberapa prinsip tersebut antara lain prinsip pacta sunt servanda, prinsip itikad baik
(good faith), prinsip res judicata, nullum delictum nulla poena legenali, nebis in idem,
rektroaktif, good governance, clean governance ,dan lain-lain.

Dimaksudnya prinsip hukum umum sebagai sumber hukum ketiga dalam statuta
membuktikan adanya penolakan terhadap doktrin positivisme yang berpendapat bahwa HI
terdiri semata-mata dari ketentuan yang merupakan kesepakatan negara-negara.

4. Putusan Pengadiilan(Yurisprudensi)

Putusan pengadilan dalam pasal 38 statuta MI disebutkan sebagai sumber hukum


tambahan (subsidiary) bagi sumber sumber hukum diatasnya, meskipun dikatakan sebagai
sumber hukum tambahan bukan berarti bahwa putusan pengadilan, baik putusan pengadilan
nasional maupun internasional, mempunyai kedudukan yang lebih rendah dari sumber
sumber hukum diatasnya. Putusan pengadilan dikatakan sebagi sumber hukum tambahan
karena sumber hukum ini tidak dapat berdiri sendiri sebagai dasar putusan yang diambil oleh
hakim.

Putusan pengadilan tidak menciptakan hukum. Putusan pengadilan hanya mengikat


para pihaknya dan hanya untuk kasus tertentu saja. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam
pasal 59 statuta MI yang menganut asas non precedence. Meskipun putusan pengadilan
bukanlah hukum dan dikatakan tidak mengikat, namun demikian putusan pengadilan yang
sama untuk kasus serupa dapat menimbulkan hukum kebiasaan internasional, sehingga dapat
digunakan oleh hakim ketika ia menggunakan hukum kebiasaan internasional sebahai dasar
putusannya.

5. Karya Hukum(Writing Publicist)

Sama seperti putusan pengadilan, karya hukum atau doktrin merupakan sumber
hukum tambahan atau subsider. Karya hukum tidaklah menciptakan hukum meskipun itu
tulisan dari Grotius, Bynkershoek, Vattel, Starke, Oppenheim, Hall, Hyde, Rousseau atau
pakar yang lain tetplah hanya opini, tidak mengikat dan bukanlah hukum.

6. Putusan Organisasi Internasional

Putusan organisasi tidak diketemukan dalam daftar sumber hukum pasal 38 (1) statuta
mahkamah internasional. Beberapa alasan yang dikemukakan anatara lain bahwa pada waktu
pembentukan piagam keberadaan dan peran organisasi internasional belum seperti saat ini.

B. Hierarki dalam Hukum Internasional


1. pentingnya keberadaan hierarki dalam hukum internasional

Suatu sistem hukum biasanya membangun atau menetapkan suatu norma hierarki
berdasarkan suatu sumber hukum tertentu darimana norma itu berasal. Dalam sistem hukum
nasional misalnya adalah hal yang umum menempatkan nilai-nilai fundamental dalam status
konstitusi dan diutamakan dari aturan yang lain seperti undang-undang dan aturan
administrasi bilamana terjadi konflik. Aturan aturan administrasi harus sesuai dengan
mandate legislative. Hukum tertulis diutamakan dari yang tidak tertulis.

Pada dasarnya hierarki aturan dan kelembagaan juga sangat vital bagi sistem hukum
internasional. Beberapa pakar hukum bahkan menyatakan bahwa secara logika tidak ada
hierarki dalam hukum internasional mengingat sistem hukum ini berlandaskan prinsip
koordinatif, desentralisasi, juga persamaan kedudukan negara negara berdaulat. Lebih lanjut
dinyatakan pula bahwa semua aturan hukum internasional adalah sederajat (equivalent),
berlandaskan kehendak negara.

2. Penerapan Hierarki Dalam Hukum Internasional

Sebagimana telah disinggung sebelumnya, pasal 38 statuta MI menetapkan bahwa


sumber sumber hukum yang dapat digunakan oleh mahkamah adalah:
a. international conventions, whether general or particular, establishing rules expressly
recognized by the contesting states;
b. International custom, as evidence of a general practice accepted as law;
c. The general principles of law recognized by civilized nations;
d. Judicial desicions and the teaching of the most highly qualified publicists of the
various nations, as subsidiary means for the determintion of rules of law.

Meskipun brownlie mencatat bahwa tidaklah tepat untuk menyatakan adanya hierarki
berdasarkan urutan a sampai d dalam semua kasus.

Bahkan jika dibandingkan dengan adnya sebagai perjanjian bilateral yang mengatur
masalah yang sama (masalah ekstradisi) perjanjian multilateral tetap memiliki kelebihan
karena pada masing masing perjanjian bilateral sering kali memiliki bahasa atau istilah-istilah
khusus yang berbeda satu dengan yang lain tentang pengaturan hak dan kewajiban negara
dalam masalah ekstradisi tertentu.

Akhirnya, hukum kebiasaan yang hanya berlandaskan praktik akan senasib dengan
costumary innternational law yang terefleksikan melalui perjanjian bilateral.

Selanjutnya ,dapat diterima pula bahwa perjanjian perjanjian multilateral tertentu


memiliki otoritas lebih besar daripada yang lain yang disebabkan kareana:

a. perjanjian itu merefleksikan conventional customary internasional law;


b. Perjanjian itu mengandung ketentuan yang melarang pengunduran diri
(withrawal) atau deregation;
c. Perjanjian tersebut mengandung ketentuan yang tidak mengizinkan reservasi.

Petunjuk adanya hierarki lainnya adalah banyaknya instrumen hukum internasional


yang secara eksplisit melakukan penetrasi atau menembus prinsip prinsip dari bidang
hhukum internasional yang lain.

3. Jus Cogen Debagai Norma Tertinggi dalam Hukum Internasional

Jus cogen adalah non derogable, peremptory law. Konsep jus cogen diduga telah ada
semenjak zaman romawi .pasca perang dunia kedua, pengadilan nurenberg dalam berbagai
putusannya menyatakan bahwa ”…..the individual has a legal oblligation to disregars
immoral superior orders in the name of a higher moral law”. Pengadilan nurenberg
selanjutnya menetapkan kembali hierarki norma hukum untuk mengatur konflik antar hukum
internasional dan hukum nasional yang pertama kali pernah diusulkan oleh aliran hukum
alam di abad ke-17-18. Sejak pengadilan nurenberg itulah hukum internasional mengakui
tegas adanya konsep jus cogens sebagai sumber utama (primary source) dari norma norma
hukum yang mengatur hubungan internasional.

Perkembangan selanjutnya pada tahun 1953 Hirsch Lauterpacht mencoba


mengenalkan konsep jus cogens dalam suatu konsep diskusi yang diselenggarakan oleh
komisi hukum internasional.

Ulrich scheuner adalah salah satu diantara sekain banyak pakar hukum yang mencoba
memberikan definisi yang tepat mengenai defenisi jus cogens. Ulrich mengusulkan
keberadaan tiga kelompok yang berbeda dalam jus cogens.

Kelompok pertama atas dasar pertimbangan adanya kepentingan maksimum negara


untuk melindungi fondasi hukum, perdamaian dan kemanusiaan sebagai standar minimum
hukum internasional. kelompok kedua terdiri dari prinsip dan aturan aturan hukum yang
penting untuk memelihara kerjasama perdamaian yang dalam hukum internasional bertujuan
melindungi kepentingan umum. kelompok ketiga mencakup norma imperative untuk
melindungi kemanusiaan terutama the most essential human rights, yakni melindungi harkat
martabat manusia, persamaan personal dan ras, hak untuk hidup, kebebasan personal.

Meskipun konsep modern jus cogens dikemukakan oleh hukum perjanjian.secara


umum dapat dikatakan jus cogens diterapkan untuk membatasi perjanjian.perjanjian yang
melanggar jus cogens adalah null and void.namun demikian,dalam praktik pelanggaran jus
cogens lebih sering muncul sebagai akibat dari tindakan sepihak negara.

4. Substansi dan Hierarki Norma Jus Cogens

Karakteristik utama dari jus cogens adalah sifat non derogable rights dalam norma
tersebut. Untuk menetapkan apakah ketentuan ketentuan yang ada dalam suatu perjanjian
merefleksikan jus cogens atau tidak bukanlah pekerjaan yang mudah mengingat perjanjian
lebih dikenal sebagai contracts of private law daripada suatu genuine normative instruments.
Perjanjian tidak menimbulkan hak dan kewajiban pada pihak ketiga tanpa persetujannya.
Namun demikian, dewasa ini konsep ini sudah mengalami pengikisan dengan munculnya
perjanjian perjanjian humaniter dan HAM, yang tidak mengizinkan suspesions or
denunciation. Dalam hukum internasional kontemporer proses pembubaran perjanjian
multilateral adalah legislative in objective hanya cara atau metodenya saja yang bersifat
kontraktual.

5. Obligation Erga Omnes


Meskipun sering dipandang sama dengan jus cogens, namun sesungguhnya,
kewajiban erga omnes berbeda dengan norma jus cogens norms dimana kewajiban norma
erga omnes dapat dicabut (derogable) dalam beberapa situasi. Dalam kasus barchelona
traction light case MI mengkemukakan bahwa seluruh norma jus cogens menimbulkan
kewajiban erga omnes.

Suatu perbedaan penting harus ditarik antara kewajiban negara terhadap masyarakat
internasional secara keseluruhan dengan kewajiban negara terhadap negara yang lain dalam
hal perlindungan diplomatik.

Obligations erga omnes memiliki otoritas lebih besar dibandingkan customary


international legal norms hanya mensyaratkan penerimaan dari negara negara.

Dalam praktik negara jarang mengekspresikan persetujuan atau keberatannya pada


hukum kebiasaan internasional.negara jarang menyatakan keberatannya karena adanya
prinsip resiproritas .jika negara menyatakan keberatannya, negara lain juga tidak akan terikat
pada hukum kebiasaan tersebut dalam hubungan dengan negara yang berkeberatan tersebut,
tetapi negara negara itu akan tetap memperoleh keuntungan dari norma hukum kebiasaan
diantara mereka sendiri. Secara umum dapat dikatakan bahwa hukum kebiasaan internasional
mewakili norma erga omnes, satu satunya perkecualian nyata terhadap prinsip umum ini
adalah jika negara membuat reservasi atau particular derogable provision dalam perjanjian
multilateral atau jika negara mengekspresikan keberatannya saat pembuatan perjanjian.

BAB 3
HUBUNGAN HUKUM INTERNASIONAL DAN HUKUM NASIONAL

A. Teori Monisme dan Dualisme


1. Teori Monisme
Menurut aliran ini antara HI dan HN merupakan dua kesatuan hukum dari sistem satu
sistem hukum yang lebih besar yaitu hukum pada umumnya.Karena terletak dalam sati sistem
hukum yang sama maka negara yang menganut aliran monisme menganggap hukum
internasional berlaku pula (terinkorporasi) di lingkungan hukum nasional, setaraf dengan
hukum nasional dengan mempertahankan sifat hukum internasional tersebut tanpa
mengubahnya sejauh isinya cocok untuk diterapkan pada hubungan – hubungan hukum
nasional. HI dapat diberlakukan langsung ke dalam HN tanpa perlu diubah dulu ke dalam
sistem HN.
Dalam perkembangannya aliran monisme terpecah menjadi dua :
a. Monisme primat HN , menurut aliran ini HI berasal dari HN.Contohnya adalah
hukum kebiasaan yang tumbuh dari praktik – praktik negara. Karena HI berasal atau
bersumber dari HN maka HN kedudukannya lebih tinggi dari HI, sehingga bila ada
konflik HN-lah yang diutamakan.
b. Monisme primat HI , menyatakan bahwa HN bersumber dari HI, jadi HI
kedudukannya lebih tinggi dari HN. HI harus diutamakan bila terjadi konflik HI-HN.
2. Teori Dualisme
Aliran ini mengemukakan bahwa antara HI-HN adalah dua sistem hukum yang sangat
berbeda satu dengan yang lain. Perbedaan yang dimaksud adalah :
a. Subjek, subjek HI negara – negara sedangkan subjek HN adalah individu
b. Sumber hukum, HI bersumberkan pada kehendak bersama negara adapun HN
bersumberkan pada kehendak negara
c. HN memiliki integritas yang lebih sempurna dibandingkan dengan HI
Perbedaan antara HI dan HN menurut Anzilotti dapat ditarik dari dua prinsip yang
fundamental. HN mendasarkan diri pada prinsip bahwa aturan negara (state legislation) harus
dipatuhi, sedangkan HI mendasarkan pada prinsip bahwa perjanjian antar negara harus
dihormati berdasarkan prinsip pacta sunt servanda.
B. Hukum Nasional (HN) di Depan Pengadilan Internasional
Praktik pengadilan menunjukkan bahwa :
1. Suatu negara tidak dapat menggunakan HN-nya yang bertentangan denagn HI sebagai
alasan untuk menjustifikasi pelanggaran HI yang dilakukan pada pihak lain.
2. Suatu negara tidak dapat menggunakan alasan ketiadaan HN-nya untuk menjustifikasi
pelanggaran HI yang dilakukan pada pihak lain.
3. Tanggung jawab internasional timbul hanya ketika negara gagal untuk memenuhi
kewajiban Internasional.
4. HN hanya dapat diajukan di depan pengadilan internasional sebagai bukti adanya
praktik hukum kebiasaan internasional.
5. HN dapat diajukan di depan pengadilan internasional sebagai bukti adanya praktik
hukum kebiasaan internasional.
6. HN dapat digunakan oleh Pengadilan Internasional dalam kasus – kasus ada pilihan
hukum oleh para pihak sebelumnya (choice of law).
7. Pengadilan internasional dapat memutuskan bahwa suatu HN tidak cukup memenuhi
kewajiban HI. Namun demikian pengadilan internasional tidak berhak menyatakan
bahwa HN suatu negara valid on invalid karena hal itu adalah urusan domestik negara
yang bersangkutan. Mungkin HN yang bertentangan dengan HI tersebut akan efektif
di lingkup nasionalnya tetapi tidak akan efektif di tataran internasional.
Di pengadilan internasional kedudukan HI superior dibandingkan dengan HN. HN
hanya dapat digunakan di depan pengadilan internasional sepanjang tidak bertentangan
dengan HI. Hal ini dikenal dengan teori oposabilitas.

C. Hukum Internasional di Depan Pengadilan Nasional


Status dan perlakuan terhadap HI berbeda – beda dalam praktik antara satu negara
dengan yang lain. Mayoritas negara memiliki konstitusi tertulis atau document sebagai
ketentuan yang fundamental bagaimana HI di depan pengadilan nasional mereka. Ada dua
doktrin yang banyak diikuti negara – negara :
a. Doktrin Inkorporasi (doctrine of incorporation)
Menyatakan bahwa HI akan berlaku otomatis menjadi bagian dari HN tanpa adopsi
sebelumnya. Adopsi diperlukan hanya ketika ada kebijakan yang menentukan lain. Perjannian
yang sudah ditandatangani atau diratifikasi akan mengikat langsung pada warga negara
setempat tanpa harus dibentuk HN-nya lebih dulu. Doktrin ini merupakan konsekuensi logis
dari teori monisme yang menyatakan bahwa HI dan HN merupakan bagian dari suatu sistem
hukum yang lebih besar.
b. Doktrin Transformasi (doctrine of transformation)
Menyatakan bahwa HI tidak menjadi HN kecuali atau sampai diimplementasikan
dalam HN lebih dulu. Pada dasarnya merupakan konsekuensi logis dari teori dualisme yang
memandang HI dan HN sebagai dua sistem hukum yang berbeda dan terpisah satu sama lain,
HI tidak dapat diterapkan di lingkup domestik kecuali jika sudah ditransformasikan dalam
sistem HN.
1. Praktik di Inggris
Dalam perkembangannya hukum kebiasaan internasional dapat diberlakukan di
pengadilan Inggris dengan syarat sebagai berikut :
a. Ketentuan tersebut tidak bertentangan dengan peraturan – peraturan Inggris, baik
peraturan yang telah ada lebih dulu maupun yang sesudahnya
b. Ketentuan – ketentuan hukum kebiasaan yang telah diterima dalam keputusan
pengadilan Inggris akan mengikat pengadilan – pengadilan sesudahnya. Meskipun
kemudian ketentuan – ketentuan hukum kebiasaan internasional itu berubah.
Praktik di Inggris berkaitan dengan hukum kebiasaan menunjukkan bahwa :
a. Hukum kebiasaan internasional akan diterapkan sebagai bagian dari hukum nasional
b. Hukum kebiasaan tersebut haruslah diformulasikan dengan kehati – hatian dan
didukung bukti – bukti
c. Tidak tunduk pada doktrin stare decisis
d. Hukum kebiasaan tidak akan pernah diterapkan bila bertentangan dengan HN yang
fundamental, baik HN itu lahir lebih dulu atau belakangan daripada hukum kebiasaan
internasional tersebut
Adapun berkaitan dengan sumber HI yang berasal dari perjanjian, praktik Inggris
membedakan perjanjian tersebut ke dalam dua golongan, yaitu perjanjian yang membutuhkan
persetujuan parlemen untuk bisa diterima menjadi bagian HN Inggris dan perjanjian yang
tidak memerlukan persetujuan parlemen. Perjanjian yang membutuhkan persetujuan
parlemen adalah perjanjian yang materinya dianggap cukup penting dan prinsip seperti
masalah batas – batas wilayah, HAM, hak – hak dan kewajiban warga negara serta keuangan.
Perjanjian – perjanjian ini tidak memberikan akibat hukum di depan pengadilan Inggris
sebelum diimplementasikan dalam HN. Perjanjian – perjanjian jenis ini disebut
unincorporated treaties.
Perjanjian yang bersifat teknis yang tidak begitu prinsip otomatis dapat menjadi
bagian dari HN Inggris dan disebut incorporated treaties.
2. Praktik di Amerika Serikat
HI menjadi bagian dari HN AS, dan bahwa hukum kebiasaan menempati kedudukan
penting di pengadilan nasional AS. Meskipun terhadap hukum kebiasaan berlaku doktrin
inkorporasi, hukum nasional akan diutamakan bilamana ada konflik dengan hukum
kebiasaan.
Berkaitan dengan perjanjian internasional, praktik AS membedakan perjanjian
internasional menjadi dua, yaitu
a. Perjanjian yang berlaku dengan sendirinya sebagai HN (self executing treaties)
Tidak memerlukan persetujuan parlemen (Kongres) Amerika Serikat untuk menjadi
bagian dari HN Amerika Serikat.
Contoh : Perjanjian yang berkaitan dengan soal – soal teknis administratif
b. Perjanjian yang tidak berlaku dengan sendirinya (non self executing treaties)
Membutuhkan persetujuan kongres.
Contoh : Perjanjian soal kewarganegaraan, HAM, garis batas wilayah, politik luar
negeri.
3. Praktik di Indonesia
UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang – undangan, sama
sekali tidak menyebutkan keberadaan hukum internasional. Sebagian pakar hukum
berkeyakinan Indonesia menganut dualism, sedangkan yang lain berkeyakinan Indonesia
menganut monism. Disamping itu, ada pula yang berpendapat Indonesia menerapkan kedua –
duanya baik monisme maupun dualisme.
a. Indonesia Menganut Teori Monisme
Beberapa kasus bisa dijadikan rujukan untuk menyatakan bahwa sesungguhnya
Indonesia menganut teori monisme.
Kasus pertama adalah putusan MA dalam perkara pidana hak asasi manusia dengan
terpidana Eurico Guterres, mantan Wakil Panglima Pasukan Pejuang Integrasi Timor Timor.
Dalam kasus ini MA merujuk langsung kepada perjanjian internasional tanpa tergantung
kepada peraturan perundang – undangan nasional.
Kasus kedua adalah di mana beberapa putusan MK Indonesia menggunakan
perjanjian – perjanjian internasional bidang HAM yang belum diratifikasi oleh Indonesia
seperti halnya Statuta Roma 1998 sebagai dasar pertimbangan dalam putusannya.
Kasus ketiga adalah putusan MA dalam kasus perbuatan melawan hukum longsor
Gunung Mandalawangi, Kecamatan Kadungora, Garut. Dalam kasus ini, Hakim MA
menggunakan prinsip precautionary principle (prinsip kehati-hatian), yang dimuat dalam
prinsip ke-15 UN Conference on Environtment and Development, di Rio de Jeneiro 1992.
Bukti lain adalah bahwa dalam praktik Indonesia menghormati dan mengakui
imunitas kepala negara asing meskipun sampai saat ini di Indonesia belum memiliki hukum
positif yang mengatur tentang hal tersebut. Imunitas ini berasal dari hukum kebiasaan
internasional.
Dalam praktik – praktik tersebut, tampak bahwa sesungguhnya dalam praktik
Indonesia, hukum kebiasaan internasional dapat diberlakukan otomatis sebagai bagian dari
hukum nasional tanpa harus menunggu dibuatkan baju hukum nasional ataupun menunggu
sampai berstatus sebagai jus cogens.
Dapat disimpulkan bahwa meskipun tidak ada ketentuan dalam hukum positif
Indonesia yang menyatakan bahwa Indonesia tunduk pada ketentuan HI namun dalam praktik
Indonesia tunduk pada ketentuan – ketentuan HI yang ada. Hal ini dibuktikan dengan apa
yang diterapkan dalam Undang – Undang Nomor 37 tahun 1999 tentang Hubungan Luar
Negeri:
b. Indonesia Menganut Dualisme
Praktik dualisme yang dilakukan Indonesia sering kali tidak konsisten. Bukti bahwa
Indonesia menganut dualisme adalah terkait MK yang dalam putusan tentang permohonan
Pengujian Undang – Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan
Penodaan Agama, cenderung menganut dualisme. Karena hakim menyatakan Article 18
International Convenant on Civil and Political Rights telah diadopsi langsung oleh Undang –
Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Hakim menganggap Undang –
Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia sebagai bentuk transformasi
International Convenant on Civil and Political Rights.
Praktik Indonesia terkait perjanjian internasional tidak jauh berbeda dengan praktik di
negara – negara lain. Pasal 10 UU No. 24 Tahun 2000 menyebutkan perjanjian internasional
menyangkut :
1) Masalah politik, perdamaian dan hankam
2) Perubahan wilayah/penetapan batas wilayah RI
3) Kedaulatan/hak berdaulat negara
4) HAM dan lingkungan hidup
5) Pembentukan kaidah hukum baru
6) Pinjaman dan atau hibah luar negeri
Memerlukan persetujuan DPR untuk pengesahannya ke dalam HN mengingat
pengesahannya harus dalam bentuk Undang – Undang. Terlepas dari perdebatan yang terjadi
di antara ahli hukum tata negara, bagi hukum internasional sebenarnya sekali Indonesia
melakukan ratifikasi maka otomatis aturan tersebut telah mengikat pada Indonesia dengan
segala konsekuensi hukumnya.
D. HI dan HN Saling Memengaruhi dan Membutuhkan Satu Sama Lain
Menempatkan HI-HN tidak harus dalam perspektif hierarki satu dengan yang lainnya
seolah melihat HI-HN senantiasa berkonfrontasi atau bertentangan satu dengan yang lain.
Dalam praktik sesungguhnya antara HI dan HN saling membutuhkan dan memengaruhi satu
sama lain. Pertama, HI akan lebih efektif bila telah ditransformasikan ke dalam HN. Kedua,
HI akan menjembatani ketika HN tidak dapat diterapkan di wilayah negara lain. Adanya
keterbatasan yuridiksi negara dalam mengimplementasikan hukum nasionalnya menuntut
bantuan HI untuk mengatasinya, menjembatani penerapan HN di internasional.
Ketiga, HI akan mengharmonisasikan perbedaan – perbedaan dalam HN. Keempat, HI
banyak tumbuh dari praktik HN negara – negara. Kelima, meskipun negara – negara punya
prescription jurisdiction, kewenangan untuk membuat aturan perundang – undangan dalam
hukum nasionalnya, namun dalam praktik negara tidak bisa membuat aturan perundang –
undangan itu seenaknya sendiri tanpa melihat pada aturan hukum internasional yang sudah
ada.

BAB 4
SUBJEK – SUBJEK HUKUM INTERNASIONAL
A. Pengertian Subjek Hukum Dalam Hukum Internasional
Subjek hukum internasional menurut Martin Dixon adalah a body or entity which is
capable of possessing and exercising rights and duties under international law. Subjek –
subjek HI tersebut harus memiliki kecakapan hukum internasional utama (the main
international law capacities) untuk mewujudkan kepribadian hukum internasionalnya
(international legal personality). Kecakapan hukum yang dimaksud adalah :
1. Mampu untuk menuntut hak – haknya di depan pengadilan internasional dan nasional
2. Menjadi subjek dari beberapa atau semua kewajiban yang diberikan oleh HI
3. Mampu membuat perjanjian internasional yang sah dan mengikat dalam hukum
internasional
4. Menikmati imunitas dari yurisdiksi pengadilan domestik
B. Macam – Macam Subjek Hukum Internasional
1. Negara
a. Karakteristik Negara
Negara adalah subjek hukum yang paling utama, terpenting dan memiliki
kewenangan terbesar sebagai subjek hukum internasional. Negara memiliki semua kecakapan
hukum.
Pasal 1 Konvensi Montevideo 1933 menyatakan bahwa karakteristik negara adalah
sebagai berikut :
1) Memiliki a defined territory
Suatu wilayah yang pasti (fixed territory) merupakan persyaratan mendasar adanya
suatu negara. Hukum internasional tidak mensyaratkan batas minimum maupun maksimum
wilayah suatu negara, sehingga ada negara dengan wilayah yang sangat sempit terkenal
dengan negara – negara mini, sebaliknya ada negara – negara dengan wilayah yang sangat
luas.
2) Memiliki a permanent population
Negara tidak akan exist tanpa penduduk. Persyaratan a permanent population
dimaksudkan untuk stable community. Tidak ada persyaratan jumlah minimum penduduk
yang harus dimiliki suatu negara. Persyaratan mengenai penduduk juga tidak dipengaruhi
oleh penduduk suatu negara yang nomaden.
Hukum internasional juga tidak mensyaratkan bahwa penduduk haruslah
homogeneous. Kriteria a permanent population merujuk pada kelompok individu yang hidup
di wilayah negara tertentu.
3) Memiliki pemerintahan (government)
Pemerintah yang dimaksud adalah pemerintah yang berdaulat, mampu menguasai
organ – organ pemerintahan secara efektif dan memelihara ketertiban dan stabilitas dalam
negeri yang bersangkutan. Pengertian berdaulat tidak dapat ditafsirkan bahwa pemerintah
yang bersangkutan tidak pernah diintervensi pihak mana pun dalam menentukan
kebijakannya. Semakin besar tingkat ketergantungan negara pada pihak asing maka semakin
besar potensi negara tersebut untuk diintervensi oleh mereka.
4) Memiliki kemampuan untuk melakukan hubungan internasional dengan negara lain
(capacity to enter into relations with other states)
Kemampuan untuk melakukan hubungan dengan negara lain merupakan manifestasi
dari kedaulatan. Suatu negara dikatakan merdeka (legal independence) jika wilayahnya tidak
berada di bawah otoritas berdaulat yang sah dari negara lain.
Kemampuan untuk melakukan hubungan dengan negara lain adalah kemampuan
dalam pengertian yuridis baik berdasarkan hukum nasional maupun internasional, bukan
kemampuan secara fisik.
b. Macam – Macam Bentuk Negara dan Kesatuan Bukan Negara
1. Negara Kesatuan
Negara kesatuan akan memberikan kekuasaan yang penuh pada pemerintah pusat
untuk melaksanakan kegiatan hubungan luar negeri.
Contoh negara : Indonesia, Perancis dll
2. Negara Federasi
Negara federasi merupakan gabungan dari sejumlah negara yang dinamakan negara
bagian yang sepakat untuk membagi wewenang antara pemerintah federal dengan negara
bagiannya. Meskipun memiliki konstitusi dan pemerintahan sendiri – sendiri, tetapi yang
dianggap subjek dalam HI hanyalah pemerintah federalnya saja, karena hanya pemerintah
federal yang mempunyai wewenang melakukan hubungan luar negeri.
Namun demikian, adakalanya negara federasi memberikan kelebihan pada beberapa
negara bagiannya.
3. Negara Konfederasi (Confederation)
Dalam konfederasi, dua atau lebih negara merdeka memutuskan bersatu untuk
meningkatkan kesejahteraan dan kepentingan bersama mereka. Pemerintah pusat hanya
memiliki kewenangan tertentu saja khususnya yang berkaitan dengan external affairs
sementara anggota (Component State) tetap memiliki kedaulatan yang penuh, kemerdekaan
dan kepribadian hukum internasional. Dalam praktik, karena strukturnya yang kurang jelas,
konfederasi lambat laun akan menjadi negara kesatuan (unitray state) atau federasi.
Contoh negara : Swiss (1291-1848), Netherland (1581-1795), US (1776-1788),
Jerman (1815-1866).
4. Negara – Negara Persemakmuran (Commonwealth Nations)
Commonwealth Nations (sebelumnya bernama The British Commonwealth of
Nations) merupakan persatuan negara – negara berdaulat yang memutuskan untuk
memelihara persahabatan dan kerja sama dengan Inggris serta mengakui kerajaan Inggris
sebagai simbol kepemimpinan dari asosiasi mereka. Asosiasi ini dibentuk dengan Statuta
Westminister 1932 yang menyatakan bahwa koloni –koloni Inggris akan memiliki
pemerintahan sendiri dan memiliki status khusus dengan Inggris.
Commonwealth bukanlah subjek HI. Ia tidak memiliki personalitas hukum
internasional.
Contoh negara : Republik Irlandia tahun 1948, Afrika Selatan tahun 1961, dan
Pakistan tahun 1972.
5. Negara Mikro
Negara mikro adalah suatu negara yang merdeka dan memiliki kedaulatan penuh.
Negara ini wilayah, penduduk dan sumber daya manusia serta sumber daya ekonominya
sangat kecil. Negara – negara ini dapat menjadi anggota PBB dengan fasilitas – fasilitas
tertentu, seperti : hak akses ke Mahkamah Internasional, ikut serta dalam komisi ekonomi
regional yang tepat juga dapat ikut serta dalam beberapa badan khusus tertentu atau
konferensi – konferensi diplomatik yang bertujuan membentuk konvensi – konvensi
internasional.
Contoh negara : Tongga, Nauru, Fiji, New Hibride (sekarang menjadi Republik
Vanuatu), Palau di Samudra Pasifik, Kepulauan Maladewa di Samudra Hindia dll.
6. Negara Netral (Netralized State)
Negara netral adalah negara yabg kemerdekaan dan integritas politik di wilayahnya
dijamin secara permanen dengan perjanjian kolektif negara – negara besar dengan syarat
negara yang dijamin tersebut tidak akan pernah menyerang negara lain kecuali untuk
membela diri, tidak akan pernah membuat traktat aliansi dan sebagainya yang dapat merusak
sikap ketidaknetralan atau ketidakmemihakannya atau menjerumuskannya dalam perang.
7. Negara Protektorat
Negara Protektorat adalah negara merdeka dan memiliki kedaulatan penuh. Negara ini
berada di bawah perlindungan negara lain yang lebih kuat berdasarkan suatu perjanjian
internasional.
Contoh negara : Tunisia dan Maroko pernah menjadi protektorat Prancis. Puerto Rico
protektorat AS.
8. Condominium
Suatu condominium timbul bila terhadap suatu wilayah tertentu dilaksanakan
penguasaan bersama oleh duaatau tiga negara.
Contoh negara : New Hybrida yang sekarang dikenal sebagai Republik Vanuatu,
sampai dengan 30 Juli 1980 dikuasai oleh Inggris dan Perancis, Wilayah Antartika dikuasai
oleh 12 negara diantaranya Inggris, AS, Australia, dan Italia.
9. Wilayah Perwalian (Trust)
Wilayah perwalian adalah wilayah yang pemerintahannya diawasi oleh Dewan
Perwalian PBB (Trusteeship Council) karena dipandang belum mampu memerintah sendiri.
Wilayah perwalian yang dibentuk berdasarkan Perjanjian San Fransisco setelah Perang Dunia
II meliputi :
1) Daerah – daerah mandat peninggalan Liga Bangsa – Bangsa
2) Daerah – daerah yang dipisahkan dari negara – negara yang kalah perang dalam PD II
3) Daerah dari suatu negara yang memang dengan sukarela diserahkan sendiri kepada
Dewan Perwalian
Contoh negara : Mariana Utara, Kepulauan Marshall, Micronesia, Palau, yang
merupakan wilayah perwalian AS tahun 1990-an, wilayah – wilayah tersebut menjadi negara
protektorat AS.
c. Hak dan Kewajiban Dasar Negara
Hak – hak dasar negara adalah sebagai berikut :
1) Hak atas Kemerdekaan dan Self Determination
Hak atas kemerdekaan dalam hukum internasional melahirkan apa yang dalam hukum
internasional disebut sebagai hak untuk menentukan nasib sendiri (self determination).
a) Self Determination era Liga Bangsa – Bangsa (LBB)
Gagasan adanya self determination mula – mula dikemukakan oleh Presiden Wilson
dalam pidatonya di depan Kongres Amerika Serikat pada 8 Januari 1918, yang kemudian
ditegaskan lagi dalam naskah Konvensi Liga Bangsa – Bangsa yang diusulkannya. Dengan
demikian, di era LBB, self determination right ditolak dengan tegas sebagai kaidah hukum
internasional hanya diakui sebagai konsep politik, bahkan dipandang dapat merusak dan
mengacaukan hubungan internasional.
b) Self Determination di era PBB
Beberapa pasal dalam Piagam PBB mencantumkan self determination baik secara
langsung maupun tidak langsung. Pasal yang secara langsung memuat self determination
right antara lain Pasal 1 (2) dan Pasal 55. Piagam mengartikan self determination sebagai hak
dari people untuk menciptakan keadaan – keadaan yang tertib (stability) dan kemakmuran
(well being), yang merupakan dasar bagi terciptanya perdamaian dan hubungan persahabatan
antarnegara.
Tonggak sejarah penting lainnya berkaitan dengan self determination right adalah
dikeluarkannya Resolusi 1514 (XV), Declaration on the Granting of the Independence to
Colonial Countries and Peoples 1960. Deklarasi ini memuat prinsip – prinsip penting dan
mendasar bagi pelaksanaan hak penentuan nasib sendiri serta kondisi – kondisi yang harus
segera dipenuhi oleh penguasa administrasi.
Resolusi tersebut mencantumkan alternatif pilihan bagi wilayah yang belum
berpemerintah sendiri untuk menentukan nasib masa depannya, yaitu :
i. Menjadi negara merdeka dan berdaulat
ii. Melakukan asosiasi bebas dengan negara mereka
iii. Berintegrasi dengan suatu negara merdeka
iv. Perubahan status politik apapun yang ditentukan rakyat
Pada tahun 1970 kembali MU PBB mengeluarkan resolusi yaitu resolusi Nomor 2625
(XXV), yaitu deklarasi tentang prinsip – prinsip hukum internasional mengenai hubungan
persahabatan dan kerja sama antarnegara. Di era PBB ini, self determination sudah mendapat
pengakuan sebagai legal right bukan sekedar suatu political phylosophy. Saat ini self
determination diakui sebagai satu prinsip yang penting dari hukum kebiasaan internasional
kontemporer.
Berbagai resolusi PBB maupun pendapat para pakar pada dasarnya sepakat bahwa
self determination right tidak dapat dipergunakan oleh all people, termasuk kelompok –
kelompok yang tidak puas atas kebijakan pemerintah pusatnya. Memiliki asal usul dan
sejarahnya konsep self determination right itu sendiri sebenarnya dimaksudkan untuk
dekolonisasi, dapat digunakan oleh bangsa – bangsa yang terjajah atau di bawah kolonisasi
bangsa lain.
c) Perkembangan Penafsiran Self Determination dalam Teori dan Praktik
Kelompok – kelompok etnis tertentu baik berasal dari dawrah kolonisasi (Gibraltar),
Alaska (federal), Scotlandia (negara kesatuan) semuanya mempunyai hak, dapat
dilaksanakan, dilindungi dan mengikat berdasarkan hukum internasional. Putusan EC
Arbitration Commission on Yugoslavia menunjukkan bahwa self determination right ada bagi
people di wilayah yang merupakan bagian dari suatu negara federal asalkan mereka dapat
memenuhi persyaratan faktual sebagai negara (statehood) sebagaimana yang disyaratkan
dalam Konvensi Montevideo.
Ada tujuh faktor yang menjadi motivasi maraknya tuntutan self determination untuk
memisahkan diri dari suatu negara. Faktor – faktor tersebut adalah faktor sejarah integrasi,
faktor bentuk negara sebelumnya, penerapan sistem negara federal, faktor kekuatan eksternal,
perbedaan agama, etnik dan sosio ekonomi, dan semakin sedikitnya generasi pertama
integrasi yang penuh dengan emosi nasionalisme. Dapat ditambahkan bahwa ketidakadilan
merupakan faktor yang paling banyak muncul ke permukaan atas gejala tuntutan self
determination dari suatu kelompok minoritas untuk memisahkan diri dari suatu negara.
Kelompok minoritas berdasarkan ras, bahasa, agama dan budaya berhak atas self
determination. Pengakuan atau penolakan tuntutan self determination tidaklah didasarkan
pada kondisi kolonial atau non kolonial, tetapi lebih didasarkan tercapainya tujuan nilai –
nilai harkat kemanusiaan (human dignity). Esensi dari self determination adalah human
dignity, human rights, dan otoritas bangsa (people).
Pelaksanaan tuntutan self determination harus memenuhi syarat “a free and genuine
expression of the will” dari kelompok yang bersangkutan. Hal ini tampak dari putusan
Mahkamah Internasional dalam Western Sahara Case. Putusan ini berlandaskan pada pasal
21 ayat (3) Deklarasi Universal hak asasi manusia yang mengatur tentang a will best
expressed in free and genuine elections. Di samping itu, juga dibutuhkan pengawasan
internasional yang tidak memihak dan efektif.
d) Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Tuntutan Self Determination
Pada dasarnya GAM memang memiliki dasar untuk menuntut pelaksanaan self
determination untuk memisahkan diri dari Indonesia. Hal ini dilandasi ketidakadilan dan
penderitaan yang dialami masyarakat Aceh selama rezim Orde Baru. Ada dua bentuk self
determination yaitu internal dan ekternal. Dengan demikian, self determination tidak selalu
harus berwujud pemisahan diri (separation) yang merupakan external self determination.
Perkembangan terakhir setelah pemerintah Indonesia melakukan Memorandum Of
Understanding dengan petinggi – petinggi GAM di Helsinki Finlandia, tampak bahwa self
determination bentuk pertama yaitu internal, dengan memberikan otonomi luas-lah yang
dipilih kedua belah pihak untuk menjawab tuntutan self determination di Aceh.
e) Organisasi Papua Merdeka dan Tuntutan Self Determination
Papua Barat (dulu Irian Barat kemudian menjadi Irian Jaya) telah
mendapat pengakuan dari PBB sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari
NKRI. Papua adalah satu - satunya provibsi di Indonesia yang kembali ke
pangkuan ibu pertiwi melalui "Persetujuan New York" yang ditandatangani
oleh Belanda dan Indonesia pada 15 Agustus 1962. Persetujuan ini dicatat
oleh Majelis Umum PBB berdasarkan Resolusinya pada 21 September
1962, No. 1752 (XVII).
Gagasan untuk mendirikan Organisasi Papua Merdeka (OPM) muncul
tahun 1963 dan 1964, yang kemudian secara resmi terbentuk pada awal
1965 di daerah Ayamaru. Terkait dengan tuntutan self determination di
Papua, sampai saat ini dukungan masyarakat internasional terhadap
integritas wilayah Indonesia bahwa Papua adalah wilayah yang sah dari
NKRI adalah masih lebih kuat daripada tuntutan self determination
kelompok tersebut.
2) Hak untuk Melaksanakan Yurisdiksi Terhadap Wilayah,
Orang dan Benda yang Berada di dalam Wilayahnya
Hak untuk melaksanakan yurisdiksi terhadap wilayah, orang dan
benda yang berada di dalam wilayahnya merupakan hak yang melekat
pada setiap negara merdeka sebagai konsekuensi dari kedaulatan yang
dimilikinya.
3) Hak untuk Mendapatkan Kedudukan Hukum yang Sama
dengan Negara - Negara Lain
Hak untuk mendapatkan kedudukan hukum yang sama dengan
negara lain merupakan konsekuensi dari prinsip persamaan kedaulatan
negara. Ketika negara itu melakukan pelanggaran hukum internasional
maka hukum harus ditegakkan, siapa pun negara itu.
4) Hak untuk Menjalankan Pertahanan Diri Sendiri atau
Kolektif (self Defence)
Sejak didirikannya PBB tahun 1945, penggunaan kekerasan
terhadap negara lain adalah dilarang. Hal ini dapat ditemukan
pengaturannya antara lain dalam Pasal 2 ayat (4) Piagam PBB. Semua
negara anggota PBB harus menahan diri untuk tidak menggunakan
kekerasan terhadap integritas wilayah dan kemerdekaan politik negara
lain, atau dengan cara lain yang tidak sesuai dengan tujuan Piagam PBB.
Larangan penggunaan kekerasan sebagaimana diatur Pasal 2 ayat
(4) tersebut tidaklah absolut. Hal ini dapat dilihat dari keberadaan Pasal
51 serta Bab VII Piagam PBB. Self defence hanya bisa dilakukan ketika
serangan militer dari pihak lain telah terjadi.

d. Kewajiban-kewajiban Dasar Negara


Kewajiban - kewajiban yang dimaksud adalah sebagai berikut :
1) Kewajiban untuk tidak melakukan intervensi terhadap masalah -
masalah yang terjadi di negara lain
2) Kewajiban untuk tidak menggerakkan pergolakan sipil di negara
lain
3) Kewajiban untuk memperlakukan semua orang yang berada di
wilayahnya dengan memerhatikan HAM
4) Kewajiban untuk menjaga wilayahnya agar tidak membahayakan
perdamaian dan keamanan internasional
5) Kewajiban untuk menyelesaikan sengketa secara damai
6) Kewajiban untuk tidak menggunakan kekuatan atau ancaman
senjata
7) Kewajiban untuk tidak membantu terlaksananya penggunaan
kekuatan atau ancaman senjata
8) Kewajiban untuk tidak mengakui wilayah - wilayah yang diperoleh
melalui cara - cara kekerasan
9) Kewajiban untuk melaksanakan kewajiban internasional dengan
iktikad baik
10) Kewajiban untuk mengadakan hubungan dengan negara -
negara lain sesuai hukum internasional
Dalam hukum internasional dikenal beberapa bentuk intervensi yaitu :
1) Intervensi secara langsung
2) Intervensi secara tidak langsung
3) Intervensi intern
4) Intervensi ekstern
5) Intervensi punitive
Meskipun hukum internasional dilandasi prinsip nonintervensi,
namun tidaklan berarti bahwa ketentuan ini bersifat absolut. Ada
beberapa pengecualian dimana tindakan intervensi dapat dibenarkan
dalam hukum internasional. Beberapa pengecualian dimaksud adalah :
1) Intervensi atas permintaan negara yabg diintervensi
2) Intervensi kolektif atas dasar BAB VII piagam PBB
3) Intervensi untuk melindungi warganya yang ada di luar negeri
2. Organisasi (Publik) Internasional
Organisasi internasional adalah suatu organisasi yang dibentuk
dengan perjanjian internasional oleh dua negara atau lebih, berisi fungsi,
tujuan, kewenangan, asas, struktur organisasi. Organisasi internasional
diakui sebagai subjek HI yang berhak menyandang hak dan kewajiban
dalam HI barulah sejak keluarnya advisory opinion Mahkamah
Internasional dalam kasus Reparationd for injured suffered in the service
of the united nations 1949. Organisasi internasional merupakan
international person karena merupakan subjek hukum internasional dan
mempunyai legal personality yang artinya dapat memiliki hak dan
kewajiban dalam hukum internasional, dapat mengajukan klaim
internasional juga memiliki imunitas di wilayah negara anggotanya.
Belajar dari kasus reparation injury case, dapat disimpulkan bahwa
tidak semua organisasi internasional memiliki status sebagai subjek HI.
Menurut Lerroy Bennet, organisasi internasional yang diakui sebagai
subjek HI harus memenuhi karakteristik berikut :
a. Permanent organization to carry on a continuing set of functions
b. Voluntary membership
c. Basic instrument stating goals, stucture & method of operation
d. A broadly representative consultative conference organ
e. Permanent secretariat to carry on continuous functions
Dari kelima syarat tersebut dua syarat terpenting adalah :
a. Bahwa organisasi internasional itu dibentuk dengan suatu perjanjian
internasional oleh lebih dari 2 negara, apapun namanya dan tunduk
pada rezim HI
b. Memiliki sekretariat tetap
International legal capacity yang dimiliki organisasi internasional
antara lain :
a. Dapat membuat perjanjian internasional dengan sesama organisasi
internasional, negara atau subjek HI lainnya
b. Dapat memiliki property atas namanya sendiri
c. Dapat melakukan perbuatan - perbuatan hukum untuk dan atas
nama anggota – anggotanya
d. Dapat menuntut dan dituntut di pengadilan internasional
3. International Non Government Organization (INGO)
Sejak tahun 1945 bersama dengan organisasi - organisasi regional
jumlah dan kiprah INGO semakin besar. Convention on the Recognition of
the Legal Personality of INGO 1986 adalah contoh instrumen hukum yang
mencoba untuk menetapkan status hukum INGO. Konvensi ini dibentuk
dan ditandatangani oleh negara - negara anggota the Council of Europe
yang mengakui dan menyadari semakin besarnya peran INGO dalam
hubungan internasional. Pasal 1 Konvensi yang ditetapkan di Starsbourg
ini menetapkan bahwa persyaratan bagi INGO tersebut adalah :
1) Have a non profit aim of international utility
2) Have been established by an instrument governed by the internal
law of party
3) Carry on their activities with effect in at least two status and
4) Have their statutory office in the territory of a party and the central
management and control in the territory of that party or of another
party
4. Individu (Natural Person)
Kasus pertama menyangkut status individu sebagai subjek atau
bukan dalam hukum internasional menurut Alina Kaczorowska adalah
Case Concerning Competence of the Courts of Danzig, Advisory opinion
dari Permanent Court of International Justice tahun 1928. Individu
bertanggung jawab secara pribadi, dapat dituntut di pengadilan
internasional atas kejahatan perang yang dilakukannya tanpa dapat
berlindung dibalik negaranya. Individu dapat melakukan kejahatan
perang, perompakan, kejahatan terhadap kemanusiaan dan kedaulatan
asing, dan dia dapat memiliki kekayaan yang dilindungi oleh hukum
internasional, dia juga dapat menuntut kompensasi untuk tindakan -
tindakan tertentu.
Pengakuan hukum internasional terhadap individu sebagai subjek
hukum internasional terbatas pada dimungkinkannya individu dituntut di
dwpan pengadilan internasional untuk bertanggung jawab secara pribadi
atas namanya sendiri terhadap kejahatan - kejahatan internasional yang
telah dilakukannya.
Meskipun beberapa forum internasional telah memberikan hak pada
individu untuk akses langsung ke forum tersebut tanpa harus atas nama
negaranya, namun masih dalam ruang lingkup yang sangat terbatas.
5. Perusahaan Transnasional
Perusahaan transnasional adalah perusahaan yang didirikan di
suatu negara, tetapi beroperasi di berbagai negara. International
personality perusahaan transnasional hanya ada ketika hubungan
internasional yang dilakukannya diatur oleh hukum internasional. Hal yang
membedakan antara perlakuan antara perusahaan transnasional dengan
individu adalah bahwa individu dapat dituntut langsung di berbagai
pengadilan internasional baik ad hoc maupun permanent seperti
International Criminal Court (ICC) untuk kejahatan - kejahatan
internasional yang dilakukannya.
6. ICRC (International Committee on The Red Cross)
ICRC atau Palang Merah Internasional merupakan organisasi non
pemerintah yang anggotanya Palang Merah - Palang Merah nasional
negara negara dan berkedudukan di Swiss. Kedudukan non government
organization ini sebagai subjek hukum internasional tidak lepas dari peran
yang besar dalam memberikan pertolongan pada korban perang
khususnya di Perang Dunia 1 dan 2, serta memberi kontribusi yang besar
pada pembentukan Konvensi Konvensi Jenewa 1949 yang mengatur
tentang hukum perang atau hukum humaniter internasional. ICRC hanya
bergerak di bidang kemanusiaan.
7. Organisasi Pembebasan/Bangsa yang Memperjuangkan
Haknya (National Liberation Organization/Representative
Organization)
Bangsa yang memperjuangkan haknya adalah suatu bangsa yang
berjuang memperoleh kemerdekaan melawan negara asing yang
menjajah nya. Kemampuan kelompok tersebut untuk meyakinkan
masyarakat internasional mengenai keberadaan dan cita-cita yang
mereka perjuangkan sangat menentukan ada tidaknya atau besar
kecilnya dukungan masyarakat internasional pada kelompok mereka.
8. Belligerent
Apabila pemberontakan dalam suatu negara telah mengambil porsi
sedemikian rupa, sehingga negara-negara lain tidak mungkin lagi
menutup mata terhadap kejadian tersebut, terpaksa negara-negara lain
dengan sesuatu cara menunjukkan perhatian mereka dengan pengakuan
(recognition of insurgency) dan bukan dengan penghukuman. Pemberian
pengakuan sebagai pemberontak tidak memberikan status hukum yang
tegas terhadap mereka, namun diharapkan dengan pengakuan tersebut
pemerintah pusat akan memperlakukan mereka Sesuai dengan tuntutan
peri kemanusiaan.
Ada empat unsur yang harus dipenuhi kaum pemberontak untuk
mendapat pengakuan sebagai belligerent yaitu :
a. Terorganisir secara rapi dan teratur di bawah kepemimpinan yang
jelas
b. Harus menggunakan tanda pengenal yang jelas yang menunjukkan
identitas nya
c. Harus sudah menguasai secara efektif sebagian wilayah sehingga
wilayah tersebut benar-benar telah di bawah kekuasaannya
d. Harus mendapat dukungan dari rakyat di wilayah yang didudukinya.
Pengakuan terhadap belligerent sifatnya hanya sementara selama
peperangan berlangsung saja. Bila kelompok belligerent berhasil dalam
perjuangannya pengakuan terhadap mereka berubah menjadi pengakuan
terhadap pemerintah baru bila mereka berhasil menggulingkan
pemerintah yang sah, atau pengakuan terhadap negara baru bila mereka
berhasil memisahkan diri membentuk negara baru.
BAB 5

PENGAKUAN DALAM HUKUM INTERNASIONAL

A. Istilah, Definisi Serta Manfaat Pengakuan

Pada umumnya untuk dapat diterima sepenuhnya dalam masyarakat internasional,


suatu entitas baru apakah itu suatu negara baru, pemerintah baru, kelompok pemberontak
ataukah perolehan tambahan wilayah tertentu membutuhkan suatu pengakuan dari pihak lain.

Dilihat dari bentuknya, pengakuan dapat dibedakan menjadi:

1. Pengakuan terhadap negara baru;


2. Pengakuan terhadap pemerintah baru;
3. Pengakuan terhadap belligerency;
4. Pengakuan terhadap representative organization;
5. Pengakuan terhadap perolehan tambahan teritoral.

Dilihat dari cara metodenya, pengakuan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu
pengakuan secara tegas (express recognition) dan pengakuan secara diam-diam (implied
recognition). Pengakuan secara tegas dapat dilakukan dengan pernyataan pengakuan lewat
public statement, nota diplomatik, atau juga perjanjia bilateral yang isinya secara tegas
menyatakan pengakuan oleh satu pihak terhadap pihak yang lain.

Di dalam praktik internasional, pengakuan diam-diam yang justru lebih sering


dilakukan. Tindakan negara membuka hubungan diplomatik dengan suatu negara baru,
pemberian execuatur pada konsuler negara baru, kehadiran pimpinan suatu negara pada
upacara kemerdekaan suatu negara baru adalah contoh-contoh pengakuan diam-diam yang
dapat ditafsirkan secara jelas adanya pengakuan dari satu pihak pada pihak yang lain.

Namun demikian, tindakan berikut:

1. Menjadi pihak pada suatu perjanjian multilateral di mana negara yang tidak diakui
(unrecognized state) telah lebih dulu menjadi pihak;
2. Tetap menjadi pihak ketika negara yang tidak diakui (unrecognized state) masuk
menjadi negara pihak pada suatu perjanjian multilateral;
3. Pertukaran misi perdagangan dengan negara yang tidak diakui (unrecognized state);
4. Melakukan tuntutan internasional atau membayar kompensasi pada negara yang tidak
diakui (unrecognized state);
5. Duduk satu meja dalam perundingan dengan negara yang tidak diakui (unrecognized
state);
6. Hadir dalam satu konferensi internasional dimana negara yang tidak diakui juga
terlibat sebagai peserta;
7. Penerimaan negara yang tidak diaku dalam suatu organisasi internasional berkaitan
dengan negara-negara yang menentang penerimaan tersebut.

Tidak bisa ditafsirkan langsung sebagai pemberian pengakuan secara diam-diam. Niat
dari negara yang memberi pengakuan harus dipertanyakan lebih dahulu apakah benar
tindakan yang dia lakukan berarti suatu pengakuan untuk pihak yang selama ini tidak
megakuinya.

B. Pengakuan Terhadap Negara Baru

Pengakuan terhadap negara baru adalah suatu pernyataan atau sikap dari suatu pihak
untuk mengakui eksistensi suatu entitas politik baru sebagai negara baru, subjek HI dengan
hak-hak dan kewajiban yang melekat padanya, dimana pengakuan itu berarti bahwa pihak
yang mengakui siap bersedia melakukan hubungan dengan pihak yang diakui.

Ada beberapa teori yang dikenal dalam pengakuan terhadap negara baru antara lain
Teori deklaratif, teori konstitutif, juga teori pengakuan kolektif.

1. Teori Deklaratif/Evidenter (Declaratory Theory)

Teori ini lahir dan berkembang sekitar permulaan abad XX. Tokoh-tokohnya antara
lain Jellinek, Cavaglieri, dan Strup. Menurut teori ini, lahirnya suatu negara hanyalah
merupakan suatu peristiwa fakta yang sama sekali lepas dari ketentuan-ketentuan hukum
internasional. Adapun pengakuan semata-mata merupakan tindakan formalitas, penegasan
atau penerimaan terhadap fakta yang sudah ada tersebut. Dengan demikian, pengakuan tidak
melahirkan negara baru. Teori ini sejalan dengan pasal 3 Konvensi Montevideo 1933 yang
menyatakan bahwa eksistensi politik suatu negara bebas dari pengakuan pihak lain.

Kelemahan dari teori deklaratif menurut Alina Kaczorowska adalah menempatkan


pengakuan pada titik terendah atau empty formality. Bila lahirnya suatu negara hanya
merupakan peristiwa fakta, maka seharusnya akibat yang ditimbulkannya adalah sebagai
berikut:

a. Tidak mungkin menolak lahirnya suatu negara dengan memakai alasan hukum;
b. Lahirnya suatu negara bebas dari pengakuan, dalam hal ini pengakuan tidak ikut
campur dalam pembentukan negara.
Namun demikian dalam praktik tidak ada jaminan negara yang memiliki lengkap
atribut statehood langsung diterima sebagai subjek hukum internasional. Sebaliknya tidak
sahnya bahkan tidak lengkapnya atribut statehood tidak mencegah suatu entitas menjadi
negara baru. Dalam politik hukum internasional, negara tidak punya kewajiban untuk
mengakui suatu negara baru semata-mata karena atribut kenegaraan yang melekat padanya.

2. Teori Konstitutif

Teori ini muncul di abad ke-19 dan mendasarkan pada pandangan teori positivis.
Beberapa tokohnya antara lain Lauterpacht, Hans Kelsen, dan Vedross yang terkenal sebagai
kelompok Austria. Menurut teori ini suatu negara baru lahir bila telah diakui oleh negara lain.
Sekalipun entitas baru memiliki atribut formal dan kualifikasi statehood, tetapi tanpa
pengakuan entitas baru tersebut tidak dapat memperoleh international personality. Dengan
demikian, pengakuan melahirkan/menciptakan suatu negara baru, memiliki kekuatan
konstitutif.

Ada beberapa kelemahan berikut pertanyaan yang melekat pada penerapan teori
konstitutif, yaitu sebagai berikut:

a. Negara-negara baru yang tidak mendapat pengakuan akan menjadi entitas tanpa hak
dan kewajiban di bawah hukum internasional sampai memperoleh pengakuan.
b. Praktik negara menunjukkan bahwa pemberian pengakuan merupakan tindakan
politik untuk kepentingan negara yang memberi pengakuan semata. Hal yang patut
dipertanyakan di sini adalah mengapa status hukum suatu entity tergantung pada
tindakan politik negara lain.
c. Tidak ada kejelasan berkaitan dengan jumlah minimum negara yang memberikan
pengakuan yang diperlukan bagi suatu entitas baru untuk menjadi negara.
d. Tidak ada kejelasan berkaitan dengan parameter suatu entitas baru untuk menjadi
negara. Penilaian yang ada sangat subjektif berdasarkan pertimbangan kepentingan
politik pihak yang mengakui saja.

e. Dapat menciptakan instabilitas suatu negara.


3. Teori Pengakuan Kolektif
Kelahiran negara baru harus melewati lembaga pengakuan yang parameternya
ditentukan secara kolektif (oleh lembaga internasional tertentu) demikian pula pemberian
atau penolakannya juga diberikan secara kolektif (oleh lembaga internasional tertentu). Hal
ini untuk mencegah masing-masing negara bertindak sendiri-sendiri tanpa parameter hukum
yang jelas.
4. Akibat Hukum Tidak Mendapatkan Pengakuan Sebagai Negara Baru

Ada beberapa akibat hukum yang dapat diterima negara bilamana yang bersangkutan
tidak mendapat pengakuan:

a. Negara tidak dapat membuka perwakilan diplomatik di negara yang menolak


mengakui;
b. Hubungan diplomatik sulit untuk dilakukan;
c. Warga dari negara yang tidak diakui sulit untuk masuk ke wilayah negara yang tidak
mau mengakui;
d. Warga dari negara yang tidak diakui tidak dapat mengajukan tuntutan di depan
pengadilan nasional negara yang tidak mau mengakui.
5. Status Hukum Palestina

Akhir November 2012 Majelis Umum PBB menggelar siding permohonan status
Palestina sebagai negara yang diajukan Presiden Mahmoud Abbas. Hasil pemungutan suara
yang dilakukan 29 November 2012 menunjukkan 138 dari 193 negara anggota menyetujui, 9
menolak termasuk Amerika Serikat dan Inggris, dan 41 negara abstain. Status ini
meningkatkan status Palestina dari entitas peninjau menjadi negara peninjau sekalipun belum
diterima sebagai negara anggota resmi PBB. Dukungan masyarakat internasional terhadap
status negara peninjau ini dapat dikatakan sebagai pengakuan terhadap berdirinya negara
Palestina.

Dari sudut pandang hukum internasional merujuk pada Pasal 1 Konvensi Montevideo
1933, ada 3 hal yang membuat Palestina selama ini sulit memperoleh pengakuan sebagai
negara, yaitu:

a. Wilayah atau teritorialnya yang tidak jelas akibat pencaplokan yang dilakukan oleh
Israel.
b. Penduduk yang tidak menggambarkan warga negara yang utuh dan permanen.
c. Tidak adanya sistem pemerintahan yang lejitimit karena konflik internal antara
kelompok Fatah dan Hamas, dan kekuatan organisasi lainnya.
C. Pengakuan Terhadap Pemerintah Baru

Pengakuan Terhadap Pemerintah Baru berarti suatu sikap, pernyataan atau kebijakan
untuk menerima suatu pemerintah sebagai wakil yang sah dari suatu negara dan pihak yang
mengakui siap melakukan hubungan internasional dengannya. Bilamana pemerintah baru ini
ditolak kehadirannya oleh negara lain yang sebelumnya sudah melakukan hubungan
internasional dengan pemerintah sebelumnya, maka yang terjadi adalah negara yang menolak
mengakui pemerintah baru ini hanya menolak mengakui pemerintahnya saja, sementara
pengakuan terhadap negaranya tetap ada. Pengakuan terhadap suatu negara sekali diberikan
tidak akan pernah bisa dicabut lagi.

Apakah pengakuan merupakan syarat mutlak yang harus diperoleh oleh pemerintah
baru? Beberapa teori berikut mencoba untuk menjelaskannya.

1. Teori Legitimasi (Oppenheim-Lauterpacht)

Menurut teori ini pengakuan hanya suatu formalitas/kesopanan dalam hubungan


internasional. Dengan demikian, tidak memiliki kekuatan konstitutif. Pada hakikatnya teori
hanya bisa diterapkan dalam kasus-kasus pergantian pemerintah yang konstitusional.

2. Teori Defactoism (Thomas Jefferson)

Melihat banyaknya kudeta yang terjadi di negara-negara khususnya kawasan Amerika Latin,
Afrika, dan Asia, Thomas Jefferson mencoba untuk memberikan penilaian yang objektif
kriteria pemerintah yang lahir secara inkonstitusional untuk layak diakui. Parameter tersebut
adalah:

a. Menguasai secara efektif organ-organ pemerintahan yang ada;


b. Mendapat dukungan dari rakyat.

Ketika syarat di atas belum terpenuhi maka menurut Thomas Jefferson sebaiknya
pemerintah baru tersebut diakui secara de facto untuk kemudian ditingkatkan menjadi
pengakuan de jure ketika menurut keyakinan pihak yang akan mengakui syarat-syarat yang
ditentukan terpenuhi.

3. Teori Legitimasi Konstitutif (Tobar)

Menurut Tobar ketika terjadi pergantian pemerintah secara inkonstitusional sebaiknya


pengakuan diberikan setelah pemerintah baru mendapat legitimasi konstitusional dalam
hukum nasional negara setempat.

4. Teori Stimson

Menurut stimson pengakuan tidak perlu diberikan terhadap pemerintah baru yang
lahir dari kudeta. Teori ini di satu sisi memang bermaksud untuk mencegah terjadinya kudeta
di suatu negara karena akan menimbulkan instabilitas.

5. Teori Estrada (Non Recognition Doctrine)


Estrada menyatakan bahwa mengakui atau menolak mengakui pemerintah baru suatu
negara sama dengan intervensi terhadap urusan dalam negeri negara yang bersangkutan.

6. Akibat Hukum Pemerintah yang Tidak Memperoleh Pengakuan


a. Pemerintah yang tidak diakui tidak dapat mengajukan tuntutan di wilayah negara
yang tidak mengakuinya;
b. Pemerintah yang tidak diakui tidak dapat menuntut pencairan aset-aset negaranya
yang ada di wilayah negara yang tidak mengakui;
c. Perjanjian yang dibuat pemerintah lama dengan negara yang tidak mau mengakui
tidak dapat dilaksanakan.

BAB 6

KEDAULATAN TERITORIAL

A. Wilayah Daratan
Wilayah merupakan atribut yang sangat penting bagi eksistensi suatu negara. Di atas
wilayahnya negara memiliki hak-hak untuk melaksanakan kedaulatan atas orang, benda juga
peristiwa atau perbuatan hukum yang terjadi di wilayahnya. Namun demikian, atas
wilayahnya negara wajib untuk tidak menggunakannya bagi tindakan-tindakan yang
membahayakan perdamaian dan keamanan internasional (Pasal 7 Draft Deklarasi PBB
tentang hak-hak dan kewajiban negara 1949). Dalam kaitannya dengan wilayah, negara wajib
untuk tidak mengakui wilayah-wilayah yang diperoleh dengan kekerasan (Pasal 12 Draft
Deklarasi PBB tentang hak-hak dan kewajiban negara 1949).

Disamping kewajiban untuk tidak mengakui wilayah-wilayah yang diperoleh dengan


kekerasan, sangat penting bagi suatu negara untuk mengatur wilayahnya sendiri. Pengaturan
Wilayah Negara untuk Indonesia diatur dalam UU No. 43 Tahun 2008. Pengaturan Wilayah
Negara menurut UU No. 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara bertujuan:

1. Menjamin keutuhan Wilayah Negara, kedaulatan negara, dan ketertiban di Kawasan


Perbatasan demi kepentingan kesejahteraan segenap bangsa;
2. Menegakkan kedaulatan dan hak-hak berdaulat; dan
3. Mengatur pengelolaan dan pemanfaatan wilayah negara dan kawasa perbatasan,
termasuk pengawasan batas-batasnya.

Selanjutnya UU No. 43 Tahun 2008 juga menetapkan bahwa wilayah negara


Indonesia meliputi wilayah darat, wilayah peraiaran, dasar laut, dan tanah di bawahnya serta
ruang udara di atasnya, termasuk seluruh sumber kekayaan yang terkandung di dalamnya.

Disamping daratan awal dalam hukum internasional juga dikenal adanya wilayah
tambahan yang berdasarkan teori-teori hukum internasional klasik dapat diperoleh oleh suatu
negara dengan cara-cara sebagai berikut:

1. Okupasi atau Pendudukan

Merupakan perolehan/penegakan kedaulatan atas wilayah yang terra nullius yaitu


wilayah yang bukan dan sebelumnya belum pernah diletakkan di bawah kedaulatan suatu
negara. Unsur-unsur yang harus terpenuhi oleh tindakan okupasi adalah:

a. Adanya penemuan (discovery) terhadap wilayah terra nullius;


b. Adanya niat atau kehendak dari negara yang menemukan wilayah baru itu untuk
menjadikannya sebagai miliknya atau menempatkannya di bawah kedaulatannya;
c. Adanya niat tersebut harus diwujudkan dalam tindakan-tindakan yang efektif (prinsip
efeftivitas).
Unsur penemuan dapat dikatakan sebagai unsur yang objektif, sedangkan unsur niat
yang diwujudkan dengan tindakan-tindakan nyata merupakan unsur subjektif. Kedua syarat
tersebut harus dipenuhi secara kumulatif.

Di samping itu, banyak tidaknya tindakan yang dilakukan suatu negara untuk
mengklain dengan alas hak okupasi sangat ditentukan oleh hal-hal berikut:

a. Jauh tidaknya pulau yang diklaim dari negara yang bersangkutan;


b. Besar kecilnya pulau yang diklaim;
c. Banyak tidaknya kekayaan alam yang terdapat di pulau tersebut;
d. Sulit tidaknya medan yang harus ditempuh untuk mencapai pulau tersebut.

Semakin kecil pulau, semakin jauh, terpencil dengan medan yang berat, juga semakin
sedikitnya Ia mempunyai kekayaan alam maka bisa dipastikan akan semakin sedikit tindakan
efektivitas yang dilakukan negara yang mengklaimnya.

2. Aneksasi atau Penaklukan

Aneksasi adalah penggabungan suatu wilayah negara lain dengan kekerasan atau
paksaan ke dalam wilayah negara yang menganeksasi.

Aneksasi banyak terjadi di abad lampau sebelum adanya ketentuan hukum


internasional yang mengaturnya. Syarat atau unsur telah terjadinya perolehan wilayah dengan
aneksasi adalah bahwa wilayah benar-benar telah ditaklukan serta adanya pernyataan
kehendak secara formal oleh negara penakluk untuk menganeksasinya.

Dewasa ini ankesasi merupakan tindakan yang bertentangan dengan ketentuan-


ketentuan hukum internasional. Dapat disebutkan antara lain:

a. Kellog Briand Pact. 1928 yang melarang perang sebagai instrument kebijakan suatu
negara.
b. Pasal 2 (4) Piagam PBB, melarang tindakan mengancam atau menggunakan
kekerasan terhadap integritas wilayah atau kemerdekaan politik negara lain.
c. Deklarasi prinsip-prinsip hukum internasional tentang hubungan baik dan kerja sama
antarnegara 1974, wilayah suatu negara tidak bisa dijadikan objek perolehan oleh
negara lain dengan cara ancaman/penggunaan kekuatan. Tidak ada perolehan wilayah
dengan cara-cara itu akan diakui secara sah oleh internasional.
3. Akresi

Akresi merupakan cara peroleh wilayah baru dengan proses alam (geografis) terhadap
wilayah yang sudah ada di bawah kedaulatan suatu negara. Proses atau kejadian alam tersebut
dapat terjadi perlahan-lahan, bertahap seperti endapan-endapan lumpur yang membentuk
daratan, ataupun mendadak seperti pemindahan tanah.

4. Preskripsi

Perskripsi adalah perolehan wilayah oleh suatu negara akibat pelaksanaan secara
damai kedaulatan de facto dalam jangka waktu yang lama atas wilayah yang sebenarnya de
jure masuk wilayah negara lain. Perolehan tambahan wilayah dengan cara ini sebenarnya
mengadopsi dari ketentuan bezit dalam hukum perdata. Beberapa syarat bagi preskripsi
menurut Fauchille dan Johnson sebagaimana dikutip oleh Ian Brownlie adalah sebagai
berikut:

a. Kepemilikan tersebut harus dilaksanakan secara a titre de souverain, yaitu bahwa


pemilikan tersebut harus memperlihatkan suatu kewenangan/kekuasaan negara dan di
wilayah tersebut tidak ada negara lain yang mengklaimnya.
b. Kepemilikan tersebut harus berlangsung secara terus menerus dan damai, tidak ada
negara lain yang mengklaimnya.
c. Kepemilikan tersebut harus bersifat public yaitu harus diumumkan atau diketahui oleh
pihak lain.
5. Cessie

Cessie adalah cara perolehan tambahan wilayah melalui proses peralihan hak dari satu
negara ke negara lain. Cessie dapat dilakukan dengan sukarela maupun dengan kekerasan.
Dengan kekerasan pada umumnya akibat kalah perang pihak yang kalah dipaksa melalui
perjanjian internasional untuk menyerahkan sebagian wilayahnya kepada pihak pemenang.
Cessie dapat dilakukan antara lain dengan cara jual beli, tukar menukar, penyewaan, dan
penyerahan.

6. Referendum

Referendum atau pemungutan suara merupakan implementasi atau tindak lanjut dari
keberadaan hak menentukan nasib sendiri (self determination right) dalam hukum
internasional.

B. Wilayah Laut

Wilayah laut adalah laut beserta tanah yang ada di bawahnya. Tanah bawah laut terdiri dari
dasar laut dan tanah di bawah dasar laut. Wilayah laut terbagi atas wilayah yang dikuasai oleh
suatu negara (negara pantai) dengan laut yang tidak dikuasai oleh negara. Konvensi PBB
tentang Hukum Laut 1982 (UNCLOS 1982) melahirkan delapan zonasi pengaturan (Regime)
hukum laut, yaitu:

1. Perairan Pedalaman (Internal Waters)

Adalah perairan yang berada pada sisi darat (dalam) garis pangkal. Di kawasan ini
negara memiliki kedaulatan penuh, sama seperti kedaulatan negara di daratan.

2. Laut Teritorial (Territorial Waters)

Adalah laut yang terletak pada sisi luar dari garis pangkal dan tidak melebihi dari 12
mil laut. Di kawasan ini kedaulatan negara penuh termasuk atas ruang udara di atasnya. Hak
lintas damai diakui bagi kapal-kapal asing yang melintas. Hak lintas damai menurut
Konvensi Hukum Laut 1982 adalah hak untuk melintas secepat-cepatnya tanpa berhenti dan
bersifat damai tidak mengganggu keamanan dan ketertiban negara pantai.

Hak lintai damai adalah hak bagi kapal asing sehingga merupakan kewajiban bagi
negara pantai untuk memberikannya.

3. Zona Tambahan (Contingous Waters)

Adalah laut yang terletak pada sisi luar dari garis pangkal dan tidak melebihi 24 mil
laut dari garis pangkal. Di zona ini kekuasaan negara terbatas untuk mencegah pelanggaran-
pelanggran terhadap atran bea cukai, fiscal, imigrasi, dan perikanan.

4. Landas Kontinen (Continental Shelf)

Meliputi dasar laut dan tanah dibawahnya dari area di bawah permukaan laut yang
terletak di luar laut territorial, sepanjang kelanjutan alamiah wilayah daratan hingga pinggrian
luar tepi kontinen, atau hingga suatu jarak 100 mil laut dari garis pangkal dari mana mencapai
jarak tersebut, hingga paling jauh 350 mil laut sampai dengan jarak 100 mil laut dari garis
kedalaman 2500 meter.

5. Zona Ekonomi Eksklusif (Exclusive Economic Zone)

ZEE adalah suatu zona selebar tidak lebih dari 200 mil laut dari garis pangkal. Di
zona ini negara pantai memiliki hak-hak berdaulat yang eksklusif untuk keperluan eksplorasi
dan eksploitasi sumber kekayaan alam serta yurisdiksi tertentu terhadap:

a. Pembuatan dan pemakaian pulau buatan, instalasi dan bangunan;


b. Riset ilmiah kelautan;
c. Perlindungan dan pelestarian lingkungan laut.
6. Laut Lepas (High Seas)

Laut lepas tidak dapat diletakkan di bawah kedaulatan dikuasai oleh suatu negara
mana pun. Terhadap kawasan laut lepas berlaku berbagai prinsip kebebasan dalam batas-
batas hukum internasional, seperti kebebasan berlayar, penerbangan, memasang kabel dan
pipa, pembuatan pulau buatan serta instalasi lain, kebebasan menangkap ikan, juga penelitian
ilmiah.

7. Dasar Laut Samudera Dalam (Sea Bed Area)

Yaitu kawasan dasar laut yang tidak terletak di dalam yurisdiksi negara manapun.
Apabila di era sebelumnya di kawasan ini berlaku prinsip freedom exploitation tanpa ada
kewajiban memberikan kontribusi pada masyarakat internasional maka dengan diakuinya
prinsip common heritage of mankind, siapapun yang mengeksploitasi kawasan tersebut harus
memberikan kontribusi 1%-7% kepada masyarakat internasional yang dibayarkan melalui
badan otorita hukum laut internasional.

8. Wilayah Laut Indonesia dan Beberapa Permasalahan Hukumnya


a. Masalah Perbatasan Laut

Sebagai negara kepulauan Indonesia termasuk negara yang paling diuntungkan


dengan keberadaan UNCLOS. Indonesia memperoleh tambahan wilayah yang sangat
signifikan dengan diakuinya hak negara kepulauan untuk menarik garis dasar lurus kepulauan
menghubungkan titik-titik terluar dari pulau-pulau terluar. Perairan yang semya laut bebas
menjadi perairan kepulauan. Sebagai konsekuensi diperolehnya perairan kepulauan ini negara
kepulauan harus menetapkan dan mengumumkan alur laut kepulauannya bagi kapal asing. Di
alur laut kepulauan berlakulah hak lintas damai bagi kapal asing yang isinya sama dengan
yang berlaku di laut territorial.

Pasal 2 PP Nomor 37 Tahun 2002 menetapkan bahwa kapal dan pesawat asing dapat
melaksanakan Hak Lintas melalui Alur Laut Kepulauan (ALK), untuk pelayaran atau
penerbangan dari satu bagian laut bebas atau ZEE ke bagian lain laut bebas atau ZEE
melintasi laut territorial dan perairan kepulauan Indonesia. PP Nomor 37 Tahun 2002
menetapkan 3 ALK:

1) ALK 1 : Untuk pelayaran dari Laut Cina Selatan ke Samudera Hindia atau
sebaliknya.
2) Untuk Pelayaran dari Laut Sulawesi ke Samudera Hindia atau sebaliknya.
3) ALK III, terbagi III A-E.
Wilayah laut Indonesia berbatasan dengan Malaysia, Papua New Guinea, Singapura,
dan Timor Leste. Pemerintah Indonesia memiliki beberapa dasar hukum untuk mengatur
perbatasan lautnya, beberapa diantaranya yaitu UU Nomor 1 tahun 1973 tentang Landas
Kontinen Indonesia, UU Nomor 5 Tahun 1983 tentang ZEE Indonesia, dan UU Nomor 17
Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea
(UNCLOS).

Meskipun sudah cukup banyak perjanjian perbatasan dengan negara tetangga


sebagaimana dipaparkan di atas, namun tidak berarti Indonesia tidak memiliki masalah
perbatasan laut lagi. Tahun 2005 Malaysia melalui perusahaan minyaknya, Petronas,
memberikan hak eksplorasi kepada perusahaan Shell untuk melakukan eksplorasi di wilayah
perairan laut di sebelah timur Kalimantan Timur yang mereka beri nama blok ND6 (Y) dan
ND7 (Z). Indonesia yang telah lebih dahulu mengklaim wilayah itu sebagai kedaulatannya
tentu saja protes atas kebijakan Malaysia tersebut karena di blok yang dinamai Indonesia
sebagai Blok Ambalat dan Ambalat Timur tersebut, Indonesia sudah terlebih dahulu
melakukan eksplorasi minyak bumi dan gas (migas). Selama itu pula Malaysia tidak pernah
meributkannya sebagai cerminan dari pengakuan Malaysia bahwa wilayah itu adalah wilayah
Indonesia.

b. Masalah Illegal Fishing

Tindakan tegas yang dilakukan pemerintah Indonesia dalam masalah ini adalah
menenggelamkan atau meledakkan atau membakar kapal-kapal pelaku illegal fishing.
Tindakan ini menuai pujian sekaligus kecaman.

Berdasarkan hukum nasional tindakan penenggelaman memperoleh legitimasi


berdasarkan pasal 69 ayat (4) UU No. 45 Tahun 2009 tentang Perubahan UU 31/2004 tentang
Perikanan yang berbunyi:

“dalam hal melaksanakan fungsi pengawasan penyidik dan pengawas perikanan


dapat melakukan melakukan tindakan khusus berupa pembakaran dan atau
penenggelamanan kapal perikanan berbendera asing berdasarkan bukti permulaan
yang cukup.”
Unsur “bukti permulaan yang cukup” dalam pasal tersebut sangatlah sederhana,
sepanjang kapal tersebut berada di perairan Indonesia tanpa dokumen yang sah dan ada bukti
ikan yang mereka tangkap maka sudah bisa dilakukan penenggelaman.

Adapun Hukum Internasional dalam hal ini UNCLOS 1982 tidak mengatur secara
eksplisit mengenai tindakan yang dapat dilakukan terhadap Illegal fishing.
C. Wilayah Ruang Udara (Airspace), Dasar Hukum dan Permasalahan Indonesia
1. Di Ruang Udara Tidak Berlaku Hak Lintas Damai Bagi Pesawat Asing

Wilayah udara suatu negara adalah ruang udara yang ada di atas wilayah daratan,
wilayah laut pedalaman, laut territorial dan juga wilayah laut negara kepulauan. Kedaulatan
negara di ruang udaranya berdasarkan adagium Romawi adalah sampai ketinggian tidak
terbatas (cujus est solum eust ad coelom). Prinsip sampai ketinggian tidak terbatas ini sudah
tidak dapat dipertahankan lagi seiring dengan kemajuan teknologi seperti peluncuran dan
penempatan satelit di ruang angkasa. Peluncuran pesawat ruang angkasa yang melintasi ruang
udara suatu negara tidak pernah meminta izin dari negara yang bersangkutan demikian pula
penempatannya pada orbit tertentu. Namun demikian, sampai pada ketinggian berapa
kedaulatan negara atas ruang udaranya belum ada kesepakatan.

Pada pasal 1 Konvensi Paris 1919 yang dikuatkan oleh Konvensi Chicago 1944
menegaskan bahwa negara mempunyai kedaulatan yang penuh dan eksklusif atas ruang
udaranya. Negara memiliki yurisdiksi eksklusif dan kewenangan yang penuh untuk
mengontrol ruang udara di atas wilayahnya.

2. Kasus-Kasus Pelanggaran Ruang Udara Indonesia oleh Pesawat Udara Asing


Ditinjau dari HI dan HN Indonesia

Pelanggaran wilayah kedaulatan Indonesia tidak hanya dilakukan pesawat sipil tetapi
juga pesawat militer. Pada tanggal 21 Mei 2013, pesawat militer AS jet Donier Do-328 110
buatan Fairchild Aircraft, Amerika Serikat, mendarat tanpa memiliki security clearance di
Bandara Sultan Iskandar Muda, Banda Aceh. Pesawat terbang militer AS itu terbang dari
Maladewa menuju Singapura namun terpaksa mendarat darurat karena kehabisan bahan
bakar. Pihak AS mengakui kesalahan ini dengan menyatakan bahwa awak pesawat Dornier
Do-328 semula menduga izin terbang di ruang udara Indonesia masih berlaku, tapi
kenyataannya telah kadaluwarsa.

3. GATs, Perdagangan Jasa Angkutan Udara dan Kepentingan Indonesia

Pengaturan tentang jasa angkutan udara Internasional tunduk pada Chicago


Convention on Internasional Civil aviation 1944, Perjanjian bilateral antara negara kolong
satu sama lain juga GATS khususnya terkait jasa angkutan udara internasional.

Angkutan udara internasional adalah angkutan udara melalui ruang udara di atas
wilayah lebih dari satu negara. Negara dengan wilayah sangat luas seperti Indonesia bisa
mendapat banyak keuntungan dengan mengkomersialisasikan ruang udaranya. Semua
aktivitas di ruang udara suatu negara harus seizin negara kolong.

GATS merupakan salah satu lampiran yang dapat ditemukan dalam final act Uruguay
round 1994. Jasa angkutan udara diatur dalam salah satu sectoral annex yaitu annex on air
transport services, GATS tidak mengatur tentang traffic right, sehingga masalah ini tetap
diatur berdasarkan bilateral agreement antara negara kolong satu sama lain sebagaimana yang
diamanakan oleh Chicago Convention 1944.

4. Flight Information Region (FIR) dan Kedaulatan Indonesia

Indonesia telah menjadi negara pihak pada Konvensi Chicago sejak tahun 1950.
Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, konvensi ini pada prinsipnya sangat menjunjung
tinggi kedaulatan negara atas wilayah ruang udaranya. Akan tetapi, menyadari risiko yang
besar dari transportasi udara dan untuk kepentingan bersama masyarakat internasional, dalam
beberapa hal konvensi membatasi kebebasan negara dalam mengatur lalu lintas transportasi
udara. Negara harus patuh pada jalur-jalur pernerbangan yang diatur dalam Enroute Charts
ICAO serta siapa yang diberi kewenangan untuk mengawasi dan mengatur lalu lintas
penerbangan di suatu kawasan melalui penetapan flight information region (FIR). Penetapan
FIR oleh ICAO berdasarkan pertimbangan beberapa faktor antara lain ketersediaan berbagai
fasilitas pendukung transportasi udara di masing-masing wilayah. Oleh karena itu pengaturan
lalu lintas udara tidaklah sangat berpatokan pada wilayah kedaulatan suatu negara semata.

5. Ruang Udara di Atas ALKI

Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) adalah konsekuensi dari diakuinya hak negara
kepulauan yang berhak menarik garis dasar lurus kepulauan dalam konvensi hukum laut
1982. Sebenarnya pemerintah telah menetapkan 3 ALKI lewat PP Nomor 37 Tahun 2002
tentang ALKI Indonesia. Namun demikian, pemerintah mengakui, setiap tahun ada saja
pelanggaran wilayah udara Indonesia di atas ALKI oleh pesawat asing. Salah satu kasus yang
cukup terkenal adalah maneuver pesawat tempur AS di atas ALKI Pulau Bawean yang sangat
membahayakan penerbangan sipil.

6. Wilayah Ruang Angkasa (Outer Space)

Prinsip-prinsip yang berlaku untuk ruang angkasa terjabarkan dalam Space Treaty
1967. Prinsip utama yang mengatur ruang angkasa antara lain Non appropriation principle
dan Freedom Exploitation Principle. Prinsipyang pertama atau non kepemilikan adalah
prinsip yang menyatakan bahwa ruang angkasa beserta benda-benda langit merupakan milik
bersama umat manusia (common heritage of mankind), tidak dapat diklaim atau diletakkan di
bawah kedaulatan suatu negara.

Adapun prinsip kedua adalah prinsip yang menyatakan bahwa ruang angkasa adalah
zona yang bebas untuk dieksploitasi oleh semua negara sepanjang untuk tujuan damai. Dalam
pengeksploitasian berlaku prinsip persamaan (Equity). Penjabaran lebih lanjut dari prinsip ini
adalah dikenalnya prinsip first come first served.

BAB 7

YURISDIKSI NEGARA DALAM HUKUM INTERNASIONAL

A. Istilah dan pengertian yurisdiksi dalam HI

Sebagai implementasi dimulikinya kedaulatan, Negara berwenang untuk menetapkan


ketentuan-ketentuan hukum nasionalnya terhadap suatu peristiwa, kekayaan dan
perbuatannya. Kewenangan ini dikenal sebagai yurisdiksi dalam hukum internasional.

Ada tiga macam yurisdiksi yang dimuliki oleh Negara yang berdaulat menurut John
O’Brien, yaitu:
1. Kewenangan Negara untuak membuat ketentuan-ketentuan hukum terhadap orang,
benda, peristiwa maupun perbuatan di wilayah teritorialnya (legislative jurisdiction or
prescriptive jurisdiction)
2. Kewenangan Negara untuk memaksa berlakunya ketentuan-ketentuan hukum
nasionalnya (executive jurisdiction or enforcement jurisdiction)
3. Kewenangan pengandilan Negara untuk mengadili dan memberikan putusan hakim
(yudicial jurisdiction)

Contoh Enforcement jurisdiction adalah menangkap seseorang, menyita harta


kekayaan dan lain-lain. Contoh judistiwa tericalenfercement adalah persidangan yang
dilakukan dipengadilan suatu Negara berkaitan dengan orang, benda , maupun peristiwa
tertentu.

Martin Dixon dan Tien Saefullah menggabungkan keduanya dalam enforcement


jurisdiction. Menurut mereka kewenangan Negara untuk menetapkan ketentuan-ketentuan
hukum dikenal sebagai jurisdiction to prescribe, adapun kewenangan untuk menegakkan atau
menerapkan ketentuan hukum nasionalnya terhadap peristiwa , kekayaan dan perbuatan
dikenal sebagai jurisdiction to enforce.

Dixon menyimpulkan bahwa pelaksanaan prescriptive juricdiction tidak dibatasi


dalam hukum internasional. Adapun berkaitan dengan jurisdiction to enforce Negara tidak
dapat secara otomatis memaksakan ketentuan hukum yang telah dirumususkannya diluar
wilayahnya negaranya. Hal ini karena adanya prinsip oar in parem non habet imperium yang
melarang suatu Negara yang berdaulat melakukan tindakan kedaulatan di dalam wilayah
Negara lain. Dapat disimpulkan bahwa bila Negara memiliki kekuasaan penuh di bawah
hukum internasional to prescribe jurisdiction, namun pelaksanaan prescriptive jurisdiction
tersebut terbatas hanya wilayah teritorialnya saja.

Kata Yurisdiksi (jurisdiction) berasal dari kata yurisdictio. Kata yurisdictio berasal
dari dua kata yaitu kata yuris dan diction. Yuris berarti kepunyaan hukum atau kepunyaan
menurut hukum. Adapun diction berarti ucapan , sabda , atau sebutan. Dengan demikian,
dilihat dari asal katanya tampak bahwa yurisdiksi dengan masalah hukum, kepunyaan
menurut hukum atau kewenangan menurut hukum.

B. Prinsip-prinsip Yurisdiksi dalam HI


1. Prinsip Yurisdiksi Teritorial
Setiap Negara memiliki yurisdiksi terhadap kejahatan-kejahatan yang dilakukan di
dalam wilayah atau teritorialnya. Prinsip teritorial adalah prinsip tertua, terpopuler dan
terpenting dalam pembahasan yurisdiksi dalam HI.

Pengadilan Negara dimana suatu kejahatan dilakukan memiliki yurisdiksi terkuat


dengan pertimbangan:

a. Negara dimana kejahatan dilakukan adalah Negara yang ketertiban sosialnya paling
terganggu
b. Biasanya pelaku ditemukan di Negara dimana kejahatan dilakukan
c. Akan lebih mudah menemukan saksi dan bukti-bukti sehingga proses persidangan
dapat lebih efisien dan efektif
d. Seseorang WNA yang dating ke wilayah suatu Negara di anggap menyerahkan diri
pada system HN Negara tersebut, sehingga ketika ia melakukan pelanggaran HN di
Negara yang ia datangi maka ia harus tunduk pada hukum setempat meskipun apa
yang ia lakukan sah menurut system HN negaranya sendiri.

Ada beberapa pengecualian yang diatur dalam HI dimna Negara tidak dapat
menerapkan yurisdiksi teritorialnya, meskipun suatu peristiwa terjadi di wilayahnya.
Beberapa pengecualian yang di maksud adalah:

a. Terhadap pejabat diplomatic Negara asing


b. Terhadap Negara dan kepala Negara asing
c. Terhadap kapal publik Negara asing
d. Terhadap organisasi internasional
e. Terhadap pangkalan muliter Negara asing

2. Prinsip Teritorial Subjektif

Negara memiliki yurisdiksi terhadap seseorang yang melakukan kejahatan yang


dimulai dari wilayahnya, tetapi diakhiri atau menimbulkan kerugian dinegara lain.

3. Prinsip Teritorial Objektif

Negara memiliki yurisdiksi terhadap seseorang yang melakukan kejahatan yang


menimbulkan kerugian di wilayahnya meskipun perbuatan itu dimulai dari Negara lain.

4. Prinsip Nasional Aktif

Negara memiliki yurisdiksi terhadap warganya yang melakukan kejahatan diluar


negeri.

5. Prinsip Nasional Pasif


Negara memiliki yurisdiksi terhadap warganya yang menjadi korban kejahatn yang
dilakukan orang asing diluar negeri

6. Prinsip Universal

Setiap Negara memiliki yurisdiksi untuk mengadili pelaku kejahatn internasional


yang melakukan dimana pun tanpa memerhatikan kebangsaan pelaku maupun korban. Prinsip
ini adalah bahwa pelaku dianggap orang yang sangat kejam, musuh seluruh umat manusia,
jangan sampai ada tempat untuk pelaku meloloskan diri dari hukuman, sehingga tuntutan
yang dilakukan oleh suatu Negara terhadap Negara pelaku adalah atas nama seluruh
masyarakat internsional

7. Prinsip Perlindungan

Negara memiliki yurisdiksi terhadap orang yang melakukan kejahatn yang sangat
serius yang mengancam kepentingan vital Negara, keamanan, integritas dan kedaulatan serta
kepentingan vital ekonomi Negara.

C. Penerapan Yurisdiksi Ekstrateritorial

Hukum internasional memang tidak mengatur secara detail pembatasan-pembatasan


yurisdiksi suatu Negara, kecuali apa yang telah dikenal dalam prinsip-prinsip yurisdiksi
hukum internasional. Seandainya ada suatu Negara (Negara A) menyatakan bahwa penetapan
yurisdiksi dari negara B melanggar hukum internasional, maka Negara A harus membuktikan
dimna letak pelanggaran yang telah dilakukan Negara B.

Yurisdiksi ekstrateritorial mengundang controversial khususnya dari sudut pandang


yurisdiksi territorial karena tidak ada direct and immediate link between the initiation and
completion of the act sebagaimana ditemukan dalam kasus lotus yang menerapkan yurisdiksi
territorial objektif.

D. Yurisdiksi Negara terhadap Tindak Pidana Penerbangan

Tindak pidana penerbangan ini meliputi :

Pertama tindak pidana yang dilakukan di dalam pesawat sipil saat penerbangan
(offences and certain other acts committed on board aircraft) misalnya pencurian atau
pembunuhan yang dilakukan di atas pesawat sipil yang sedang melakukan penerbangan.
Kedua adalah tindakan pidana yang dilakukan terhadap pesawat sipil misalnya
unlawful seizure of aircraft (hijacking).

Hijacking atau pembakan pesawat ini adalah tindakan melawan hukum, dengan
kekerasan dan ancaman, atau dengan cara intimidasi, merampas dan melakukan pengendalian
pesawat tindak ini dapat mencakup pula percobaan melakukan hijacking ataupun membantu
melakukan hijacking.

Ketiga adalah tindak kekerasan yang dilakukan terhadap orang di dalam pesawat yang
sedang melakukan penerbangan yang dapat berakibat membahayakan keselamatan pesawat
( unlawful acts against the safety of civil aviation).

Yang termaksud tindak pidana ketiga ini adalah:


a. Merusak pesawat udara
b. Meletakkan atau menyebabkan ditempatkannya suatu alat atau suatu zat dalam
pesawat in service,yang dapat menimbulkan kerusakan dan membahayakan
keselamatan
c. Memusnahkan atau merusak fasilitas penerbangan
d. Memberikan informasi yang diketahui tidak bennar, sehingga membahayakan
keselamatan pesawat dalam penerbangan
e. Percobaan melakukan tindak pidana di atas pesawat yang sedang melakukan
penerbangan
f. seMembantu melakukan tindak pidana tersebut atau membantu melakukan
percobaan tindak pidana keempat adalah tindak kekerasan di bandara
internasional (unlawful acts of violence at airports serving internasional civil
aviation).

Bebarapa instrument hukum internasional terkait tidak pidana penerbangan antara lain
sebagai berikut:

1. konvensi Tokyo 1963,


2. konvensi den haag 1970,
3. konvensi montreal 1971,
4. protocol montreal, 1988.

E. Kerja Sama Antar Negara dalam Penerapan Yurisdiksi

Bentuk-bentuk kerja sama masalah penerapan yurisdiksi yang dikenal dalm hukum
internasional.

1. Ekstradisi
perjanjian-perjanjian ekstradisi memuat prinsip-prinsip sebagai berikut:

a. prinsip kejahatan ganda


b. prinsip kekhususan/spesialitas
c. prinsip tidak menyerahkan pelaku kejahatan politik
d. prinsip tidak menyerahkan WN sendiri
e. prinsip ne bis in idem
f. Prinsip kedaluwarsa

Prinsip diatas sudah terwadahi dalam instrument hukum internasional, yaitu UU


No.1/1979 tentang ekstradisi. Disamping hukum nasional yang bersumber pada hukum
internasional , saat ini PBB juga sudah mengeluarkan instrument khusus yang menjadi
panduan dalam pembuatan perjanjian ekstradisi yaitu model treaty on extradition.

Terkait dengan UU ekstradisi Indonesia. UU ini adalah produk tahun 1979 sehingga
sudah banyak ketidaksesuaian dengn perkembangan dan kebutuhan saat ini. Beberapa hal
yang menjadi dasar dibutuhkannya UU baru tentang ekstradisi antara lain:

a. Praktik ekstradisi yang tidak efisien dan lemahnya koordinasi antar lembaga yang
terlibat
b. Adanya peraturan perundang-undangan terkait yang lahir setelah tahun 1979
c. Adanya perjanjian ekstradisi yang dibuat Indonesia dengan Negara lain
d. Perkembangan hukum internasional di bidang ekstradisi khususnya menyangkut
perlindungan HAM

Praktik ekstradisi berdasarkan UU No.1/1979 dianggap kurang efisien karena


prosesnya panjang dan birokratis sebagaimana berikut ini:

a. Permintaan diajukan ke kementrian luar negeri


b. Kementrian luar negeri meneruskan ke kemenkumham
c. Apabila ada kekuranagan, kemenkumham mengembalikan ke Negara peminta melalui
kementrian luar negeri
d. Setelah dinyatakan lengkap kemenkumham meneruskan ke polri
e. Berita acara pemeriksaan oleh polri di serahkan kejaksaan
f. Apabila belum lengkap dikembalikan lagi ke polri-kemenkumham-kamlu-negara
peminta
g. Setelah kejaksan menyatakan lengkap perkara dilimpahakn ke pengadilan
h. Setelah pengadilan mengeluarkan penetapan,kejaksaan menyampaikan ke
kemenkumham
i. Setelah menerima pertimbanagn dari kejaksaan , polri, dan kemlu, kemenkumham
penetapan pengadilan menyampaikan peresiden melalui sektretariat Negara untuk
memproses pesetujuan

2. Pertukaran Tahanan
Pelaksanaan exchange of prisoner dilakukan dengan resiprokal dimana jumlah
tahanan yang dipertukarkan sama atau senilai, sepadan baik jumlah tahanan dan bobot
kejahatan yang dilakukan sama hukumannya

3. Transfer Of Sentenced persons

TSP adalah bentuk kerja sama internasional dimana narapidana sudah menjalani
hukumannya disuatu Negara, kemudian dipindahkan ke Negara asalnya untuk menjalani
hukumannya.

Pada umumnya perjanjian TSP memuat persyaratan yaitu :

1) Final judgement
2) Term remaining to be served
3) Ties to the administering state
4) Consent of states
5) Consent of sentenced persons
6) HAM dari orang yang akan di transfer harus dilindungi
7) Mental health
8) Exercising discretion
9) Umulative effect

4. Mutual Legal Assistance In Criminal Matters

MLA adalah kerja sama bantuan timbal balik dalam masalah pidana. Bentuk kerja
sama internasional dalm MLA adalah saling memberikan bantuaan berkenaan dengan proses
penyelidikan, penuntutan,ataau pemeriksaan di sidang pengadilan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang- undangan neagara yang diminta.

BAB 8

TANGGUNG JAWAB NEGARA DALAM HUKUM INTERNASIONAL

A. Istilah dan Definisi Tanggung Jawab

Istilah hukum yang sering digunakan untuk menyebut kata tanggung jawab menurutr
peter salim, yaitu : accountability , liability , responsibility.

Menurut kamus besar bahasa Indonesia tanggung jawab dapat diartikan menanggung
segala sesuatu kerugian yang terjadi akibat perbuatannya atau perbuatan orang lain yang
bertindak untuk dan atas namanya.

Dalam hukum keperdataan , prinsip tanggung jawab dibedakan menjadi:


1. Prinsip tanggung jawab berdasarkan adanya unsure kesalahan
2. Prinsip tanggung jawab berdasarkan praduga
3. Prinsip tanggung jawab mutlak

B. Munculnya Pertanggungjawaban Negara dalam Hukum Internasional

Pertanggungjawaban Negara dalam hukum internasional pada dasarnya


dilatarbelakangi pemikiran bahwa tidak ada satu pun Negara yang dapat menikmati hak-
haknya tanpa menghormati hak-hak Negara lain. Setiap pelanggaran terhadap hak Negara
lain menyebabkan Negara tersebut wajib untuk memperbaikinya atau dengan kata lain
mempertanggungjawabkannya.

Dalam hukum internasional dikenal adanya dua macam aturan, primary rules dan
secondary rules. Primary rules adalah serangkat aturan yang mendefinisikan hak dan
kewajiban Negara yang tertuang dalam bentuk traktat, hukum kebiasaan datu instrument
lainnya. Adapun secondary rules adalah seperangkat aturan yang mendefinisikan bagaimana
dan apa hukum apabila primary rules itu dilanggar oleh Negara. Secondary inilah yang
disebut hukumtanggung jawab Negara .

Karakteristik timbulnya tanggung jawab Negara seperti halnya:

1. Adanya suatu kewajiban hukum internasional yang berlaku antara dua Negara
tertentu
2. Adanya suatu perbuatan atau kelalaian yang melanggar kewajiban hukum
internasional tersebut yang melahirkan tanggung jawab Negara
3. Adanya kerusakan atau kerugian sebagai akibat adanya tindakan yang melanggar
hukum atau kelalaian

C. Elemen Tanggung Jawab Negara Menurut Draft ILC 2001

Tindakkan berbuat atau tidak berbuat dari negara dapat merupakan internationally
wrongful acts yang mengandung dua unsur yaitu :

1. Dapat dilimpahkan pada negara berdasarkan hukum internasional


2. Merupakan pelanggaran kewajiban terhadap hukum internasional

D. Pemohon Tanggung Jawab Negara dalam draf ILC 2001

Tanggung jawab negara tidak dapat diminta apabila:

1. The claim is not brought in accordance with any applicable rule relating to the of
nationality of claims
2. The claim is one to which the rule exhaustion of local remedies applies and any
available and effective local remedy has not exhausted.
3. The injured state has validly waived the claim
4. The injured states is to be considered as having, by reason of its conduct, validly
acquiesced in the lapse of the claim.

E. Macam-macam Tanggung Jawab Negara dalam Hukum Internasional


1. Terhadap orang asing dan property milik asing
2. Terhadap uatang publik
3. Terhadap aktivitas ruang angkasa

F. Pengecualian Diri dari Tuntutan Pertanggungjawaban


1. Penetapan sanksi atas dasar HI
2. Keadaan memaksa
3. State necessity
G. Exhaustion Of Local Remedies

Hukum internasional menetapkn bahwa sebelum diajukannya klaim atau tuntutan ke


pengadilan internasional, langkah-langkah penyelesaian sengketa yang disediakan negara
yang dituntut haruslah ditempuh lebih dahulu. Hal ini bertujuan untuk member kesempatan
pada neara tergugat memperbaiki kesalahannya menurut system hukum nasionalnya lebih
dahulu dan untuk memperbaiki tuntutan tuntutan internasional.

BAB 9

SUKSESI NEGARA DALAM HUKUM INTERNASIONAL


A. Bentuk-bentuk Suksesi Negara

Kata Suksesi Negara berasal dari kata State Succession atau Succession of State, yang
artinya adalah pergantian kedaulatan pada suatu wilayah. Pengertian kedaulatan yang
dimaksudkan di sini adalah pergantian dari predecessor state (negara yang digantikan)
kepada Succesor State (negara yang menggantikan) dalam hal kedaulatan (tanggung jawab)
atas suatu wilayah dalam hubungan internasional.

Suksesi negara harus dibedakan dengan suksesi pemerintah. Suksesi pemerintah tidak
akan dibahas dalam buku ini mengingat suksesi pemerintah lebih pada masalah dalam negeri
suatu negara. Manakala terjadi suksesi atau pergantian pemerintah hukum internasional hanya
menetapkan bahwa yang berlaku adalah prinsip kontinuitas negara.

Dalam praktik, suksesi negara dapat dibedakan menjadi dua yaitu:

1. Suksesi Universal

Pada bentuk ini tidak ada lagi international identity dari suatu negara (predecessor
state) karena seluruh wilayahnya hilang. Sebagai contoh dapat dikemukakan hilangnya Korea
pada tahun 1910 karena dianeksasi oleh Jepang, juga Kongo yang dianeksasi oleh Belgia.
Dalam kasus lain Columbia terpecah menjadi tiga negara merdeka yaitu Venezuela, Equador
serta New Granada pada tahun 1832.

2. Suksesi Parsial

Pada bentuk ini negara predecessornya masih eksis, tetapi sebagian wilayahnya
memisahkan diri menjadi negara merdeka ataupun bergabung dengan negara lain. Contoh
untuk bentuk sukses ini adalah hilagnya Timor-Timor dari wilayah NKRI membentuk negara
Timor Leste pada 1999. Negara Indonesia sebagai predecessor state masih tetap ada, yang
terjadi adalah bahwa Indonesia kehilangan sebagian wilayahnya.

B. Akibat Hukum Suksesi Negara Terhadap Perjanjian Internasional

Satu aspek terpenting dari suksesi negara adalah pengaruh pergantian kedaulatan
terhadap hak-hak dan kewajiban yang muncul dari suatu perjanjian. Perjanjian adalah
instrumen terpenting dalam pelaksanaan hubungan internasional. Secara umum ada upaya
untuk membedakan antara perjajian yang berkaitan dengan hak atas property dengan
kewajiban perjanjian yang lain yang mana bentuk kedua ini dibagi lagi atas perjanjian
mulltilateral, bilateral, perjanjian HAM juga perjanjian politik.

Konvensi Wina 1978 merupakan kodifikasi dari hukum kebiasaan internasional. Tidak
semua masalah suksesi negara dapat diselesaikan oleh konvensi ini mengingat konvensi tidak
berlaku surut, hanya mengikat pada kasus-kasus setelah konvensi dinyatakan berlaku.

Secara umum Pasal 17 juga 24 Konvensi Wina 1978 menetapkan bahwa perjanjian
tidak beralih pada suksesor kecuali ditentukan lain dalam devolution agreement. Ketentuan
ini sejalan dengan apa yang diatur oleh Pasal 34 Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian
Internasional yang terkenal dengan prinsip “Pacta tertiis nec nocunt nec procent” bahwa
Perjajian tidak menimbulkan hak dan kewajiban kepada pihak ke-3 tanpa persetujuannya.
Dengan demikian, doktrin Clean Slate yang diperjuangkan oleh kelompok newly independent
state pada dasarnya tidaklah bertentangan dengan hukum internasional. Negara baru bisa
melakukan pick and choose terhadap perjanjian yang dibuat oleh predecessornya.

Tidak dapat digaggu gugatnya perjajian perbatasan sebenarnya juga sudah dinyatakan
dalam Pasal 62 ayat (2) Konvensi Wina 1969 yang dikenal sebagai Rebus Sic Stantibus
Principle. Dengan prinsip tersebut apabila timul perubahan yang mendasar dalam kenyataan-
kenyataan yang ada pada perjajian itu diadakan, yang mengakibatkan tidak tercapainya tujuan
perjanjian, maka keadaan yang demikian dapat dijadikan sebagai alasan untuk mengakhiri
perjanjian atau menarik diri dari perjanjian tersebut. Memang sebagia besar penulis hukum
internasional mengakui adanya faktor perubahan keadaan yang mendasar dalam kaitannya
dengan dasar sebagai alasan tidak terikatnya suatu negara pada perjanjian internasional.
Namun demikian, penggunaan doktrin rebus sic stantibus harus memenuhi syarat-syarat
sebagai berikut:

1. Perubahan suatu keadaa tidak ada pada waktu pembentukan perjanjian.


2. Perubahan tersebut adalah perihal suatu keadaan yang fundamental bagi perjanjian
tersebut.
3. Perubahan tersebut tidak dapat diramalkan sebelumnya oleh para pihak.
4. Keadaan yang berubah merupakan dasar yang penting atas nama diberikan
persetujuan terikatnya (consent) negara peserta.
5. Akibat perubahan tersebut haruslah radikal, sehingga mengubah luas lingkup
kewajiban yang harus dilaksanakan menurut perjanjian itu.

Konvensi Wina 1969 juga memberikan pembatasan yang lain yaitu bahwa doktrin
Rebus Sic Stantibus tidak dapat digunakan terhadap perjanjian perbatasan wilayah serta bila
perubahan keadaan tersebut diakibatkan oleh suatu penyelenggaraan terhadap perjanjian itu
yang dilakukan oleh negara yang menuntut batalnya perjanjian tersebut. Selajutnya
ditegaskan pula bahwa doktrin rebus sic stantibus tidak dapat diberlakukan pada perjanjian-
perjanjian berikut:

1. Traktat-traktat yang secara langsung berkenaan dengan wilayah yang telah berganti
pemilik seperti, traktat-traktat yang menetapkan rezim perbatasan, servitude, atau
quasi servitude, misalnya hak melintas, atau traktat-traktat netralisasi atau
demiliterisasi wilayah terkait.
2. Konvensi-konvensi multilateral yang berkaitan dengan kesehatan, narkotika, hak-hak
manusia dan hal-hal serupa, yang dimaksudkan untuk berlaku, meskipun ada
perubahan-perubahan wilayah.

Di samping kedua pasal tersebut kuatnya keduduan perjanjian perbatasan tampak dari
berbagai putusan pengadilan baik nasional maupun internasional. Dalam Burkina Faso v Mail
Case Mahkamah Internasional menyataka bahwa. . . . there is no doubt that the obligation to
respect pre-existing international frontiers in the event of a state succession derives from a
general rule of international law whether or not the rule is expressed in the formula uti
possidetis.

Masuk kategori dispositive treaty juga selain perjanjian perbatasan wilayah adalah
Servitude Treaties yang diatur oleh Pasal 12 Konvensi Wina 1978. Perjanjian servitude . . is
arise when territory belonging to one state is, in some particular way, made to serve the
interests of territory belonging to another state. Contoh dari perjanjian ini antara lain right of
passage, Take water for irrigation, juga Delimiterized zone/free zone.

Di samping perjanjian dispositive yang mencakup perjanjian perbatasan dan servitude


dewasa ini suksesi negara sering dikaitkan dengan perjanjian yang berkaitan dengan HAM
internasional. Sering dikatakan bahwa perjanjian HAM berbeda dengan perjajian-perjanjian
lain. Hal ini dikerenakan perjanjian HAM tidak mengatur masalah hubungan anatar negara,
tetapi mengatur masalah jaminan diterapkannya standar minimum perlindungan terhadap
manusia di suatu wilayah. Dengan demikian, bila negara dipandang harus senantiasa terikat
pada perjanjian maka negara suksesor juga harus dianggap terikat pada perjanjian HAM yang
akan menjamin perlindungan HAM penduduk di wilayah yang beralih tersebut.

C. Akibat Hukum Suksesi Negara Terhadap Public Property Rights

Secara yuridis, ada dua jenis aset pascasuksesi yakni, aset milik pemerintah dan aset
milik swasta. Aset milik swasta dapat dibagi lagi menjadi, aset milik warga negara secara
perseorangan, aset milik perusahaan swasta dan aset milik perusahaan negara atau di
Indonesia dikenal sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN). BUMN digolongkan dalam
status privat karena meski modalnya milik negara dalam operasionalnya ia tunduk pada
hukum perdata nasional (de jure gestiones). Negara tidak dapat menggunakan hak istimewa
dan kekebalan (de jure imperi) ketika misalnya sebuah BUMN diharuskan memenuhi suatu
kewajiban hukum oleh pihak pelanggannya/mitra kerjanya. Prinsip-prinsip suksesi negara
dalam kaitannya dengan public property atau state property ini dikembangkan oleh hukum
kebiasaan internasional yang selanjutnya dikodifikasikan dalam Konvensi Wina 1983 tentang
State Property, arsip dan utang.

Prinsip umum secara luas dalam hukum kebiasaan internasional adalah bahwa state
property akan beralih pada suksesor. Hal ini berarti tidak ada kewajiban hukum pihak
suksesor untuk mengembalikan ataupun membayar ganti rugi aset-aset milik pemerintah lama
(pre desesor). Hal ini diatur, baik dalam hukum konvensional maupun dalam hukum
kebiasaan internasional. Pasal 11 “Viena Convention on Seccession of States” menyatakan:
“....the passing of state property of the predecessor state to the successor state shall tahe
place without compensation” (pengalihan milik negara predesesor kepada negara suksesor
haruslah tanpa pembayaran ganti rugi).

Yang dimaksud dengan state property secara umum dikatakan bahwa state property adalah
property yang ada di bawah kepemilikan langsung atau tidak langsung dari lembaga-lembaga
eksekutif, legislatif, atau yudikatif negara berdasarkan hukum nasional negara prodecessor.
Prinsip ini kemudian diadopsi dalam Pasal 8 Konvensi Wina 1983 yang menyatakan “that
property shall be property rights and interests which at the date of the succession of states
were according to the internal law of predecessor state owned by that state”. Dalam praktik,
yang dimaksud dengan the date of the succession of state adalah hari kemerdekaan suksesor.
Meskipun demikian, dapat ditemukan banyak hari kemerdekaan yang mungkin berbeda-beda
dalam kasus disintegrasi negara seperti kasus Yugoslavia juga Uni Soviet.

Para ahli hukum internasional umumnya sependapat bahwa yang dimaksud state
property dapat berwujud gedung-gedung dan tanah milik negara, alat-alat transportasi milik
negara, dana-dana pemerintah yang tersimpan dalam bank, pelabuhan-pelabuhan dan
sebagainya. State property tersebut dapat dibedakan menjadi benda bergerak dan tidak
bergerak. Menyangkut benda tidak bergerak yang ada di wilayah yang beralih, prinsip umum
yang berlaku adalah bahwa property itu akan beralih pada suksesor. Hal ini didukung tidak
hanya oleh Konvensi Wina 1983, hukum kebiasaan juga pengutamakan tradisional terhadap
lex situs. Selanjutnya, jika benda tidak bergerak berada di luar wilayah yang beralih maka
dianggap tetap milik predecessor, seandainya negara ini tetap eksis, meskipun prinsip ini
dapat dimodifikasi. Tetapi, bila predecessornya tidak ada lagi maka praktik negara-negara
menunjukkan property tersebut aka dibagi di antara negara-negara suksesornya yang ada.

D. Akibat Hukum Suksesi Negara Terhadap Privat Property

Privat property yang dimaksud dalam pembahasan ini menyangkut harta benda juga
hak-hak milik perseorangan atau perusahaan yag buka milik negara berdasarkan hukum
nasional predecessor. Dalam hal terjadi suksesi pada umumnya para ahli hukum internasional
sepakat bahwa privat property ini harus dihormati atau dilindungi oleh predecessor state serta
tidak dipengaruhi secara otomatis oleh suksesi negara yang terjadi. Dengan kata lain, dapat
dikatakan bahwa prinsip umum yang berlaku adalah sepanjang tidak ditentukan lain dalam
perjanjian peralihannya maka privat property tidak beralih pada suksesor. Dengan demikian,
bila suksesor ingin mengambil alih benda tersebut haruslah dengan memberikan kompensasi
pada pemiliknya, individu maupun perusahaan. Meskipun demikian, di dalam praktik sering
kali masalah yang timbul sangat kompleks sehingga tidak dengan begitu saja prinsip umum
itu dapat diberlakukan, dalam praktik ada beberapa prinsip yang diberlakukan terhadap privat
property, sebagai berikut:

1. Pada prinsipnya suksesor wajib untuk menghormati privat property yang telah
diperoleh di bawah hukum predecessor.
2. Kelanjutan hak-hak perseoragan tersebut berlaku selama perundang-undangan negara
suksesor tidak menyatakan lain, dalam hal menghapus atau menggantikannya.
3. Penghapusan atau perubahan terhadap privat property tersebut tidak boleh
bertentangan dengan atau melanggar kewajiban-kewajiban hukum internasionalnya,
khususnya mengenai perlindungan diplomatik.
4. Privat property yang bermacam-macam jenisnya memerlukan pemecahan sendiri-
sendiri yang berarti memerlukan perumusan tersendiri untuk setiap jenis privat
property.

E. Akibat Hukum Suksesi Negara Terhadap Arsip Negara

Yang dimaksud dengan State Archives adalah Document, numismatic collection,


iconographic document, photographs & films, all objects of historical value, archelogical
objects. Prinsip umum yang berlaku untuk arsip yang berkaitan dengan wilayah yang akan
beralih pada suksesornya. Pasal 21 Konvensi Wina 1983 menetapkan bahwa arsip dari negara
predecessor beralih pada suksesor pada saat terjadinya suksesi. Dalam hal tidak ada
perjanjian maka beralihnya arsip tersebut tanpa konpensasi. Selanjutnya dalam Konvensi
Wina 1983 juga mewajibkan predecessor membantu proses penemuan dan pengembalikan
arsip-arsip yang berkaitan dengan wilayah bekas jajahannya dalam kaitannya dengan newli
independent state case.

F. Akibat Hukum Suksesi Negara Terhadap Utang Negara (Public Debt)

Utang negara menurut Konvensi Wina 1983 adalah financial obligation of


predecessor state arisng in conformity with international law adalah sangat sulit memperoleh
keseragaman penyelesaian masalah utang negara dalam tiap-tiap kasus suksesi negara.

Dalam upayanya menciptakan keseragaman demi kepastian hukum, Konvensi Wina


1983 melalui Pasaln 36-nya menyatakan bahwa suksesi negara tidak mempengaruhi hak dan
kewajiban kreditor. Pada umumnya utang negara dapat dibagi menjadi utang pemerintah
pusat dan pemerintah daerah (local debt) dan penyelesaian utang dilakukan melalui
perjanjian khusus dalam perjanjian peralihan. Dalam kondisi tidak ada perjanjian khusus da
predecessor masih eksis, praktik negara menunjukkan bahwa predecessor tetap bertanggung
jawab. Adapun menyangkut utang daerah (local debt) dan daerah itu melepaskan diri maka
suksesor wajib membayar utang tersebut.

Masih berkaitan dengan benruk suksesi negara dalam hal sebagian wilayah
predecessor memisahkan diri membentuk negara merdeka sendiri atau terjadi disintegrasi
sehingga terbentuk beberapa negara merdeka yang baru maka Pasal 40 dan 1 Konvensi
menetapkan untuk menggunakan prinsip pembagian yang adil euitable proportion dalam
menyelesaikan kewajiban utangnya. Pembagian yang adil ini pada umumnya dengan
menyesuaikan:

1. Jumlah penduduk;
2. Luas wilayah;
3. Kekayaan atau sumber daya alam yang dimiliki masing-masing wilayah;
4. Besarnya pajak pendapatan yang diperoleh masing-masing wilayah.
G. Akibat Hukum Suksesi Negara Terhadap Kewarganegaraan

Dalam praktik adalah hak negara untuk mengatur masalah kewarganegaraannya.


Beberapa penulis hukum internasional termasuk Brownlie menegaskan bahwa
kewargaegaraan akan berubah ketika terjadi peralihan kedaulatan atau suksesi negara. Untuk
memperkuat praktik setelah perjanjian Versailess 1919 menunjukkan negara-negara yang
baru terbentuk mendasarkan kewarganegaraan berdasarkan pada tempat kelahiran juga
tempat tinggal sehari-hari (habitual resident) kecuali ada penolakan untuk itu. Dengan
demikian, warga dari predecessor yang tinggal di wilayah suksesor dapat memperoleh
kewarganegaraan suksesor sepanjang mereka tidak menyatakan penolakannya.

H. Akibat Hukum Suksesi Negara Terhadap Keanggotaan pada Organisasi


Internasional

Masalah keanggotaan suatu negara di organisasi internasioanl maupun regional


ditentukan oleh konstitusi masing-masing organisasi. Piagam PBB misalnya tidak mengatur
pengunduran diri. PBB juga menetapkan bahwa keanggotaan suatu negara di PBB tidak aka
terhenti hanya karena terjadinya perubahan dan penggantian konstitusi atau perbatasan.
Adapun terhadap negara baru makan negara ini harus mengikuti aturan yang berlaku untuk
negara baru yaitu mendaftarkan diri sebagai anggota baru kecuali telah ada izin sesuai
ketentuan yang terdapat pada piagam.

I. Akibat Hukum Sukses Negara Terhadap Claims in Tort dan Delict

Prinsip yang umum berlaku dalam masalah ini adalah bahwa suksesor dipandang
tidak berkewajiban untuk menerima tanggung jawab akibat tort atau delik yang dilakukan
oleh predecessor-nya, baik dalam kasus suksesi negara karena penaklukan (aneksasi) ataupun
berintegrasi secara sukarela.

Pendapat-pendapat pakar hukum internasional mendukung prinsip tersebut. Briggs


misalnya menyataka bahwa.

No principle of international law establishes the liability of a State which annexes


territory for the delict of the replaced States, whether the replacement took place
through conuest or through voluntary absorbtion.

Selanjutnya Schwarzenberger menulis bahwa...Cessionary States are under no


obligation to assume any responsibility for tortiouss acts omission of the ceding State....
Prinsip tidak beralihnya kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan tort atau delik ini
menurut Charles de Visscher berasal dari prinsip hukum tentang sifat personal dari kesalahan
(fault).

Kasus terkenal berkaitan dengan masalah klaim ini adalah kasus Robert E. Brown
yang diputus oleh Anglo-American Pecuniary Claims Tribunal 1923.

J. Suksesi Negara di Indonesia


Beberapa kali Indonesa menghadapi peristiwa suksesi negara. Suksesi negara yang
pertama adalah kemerdekaan Indonesia dari pemerintah Kolonial Belanda, sehingga
Indonesia dapat tergabung dalam kelompok newly independent state menurut bahasa
Konvensi Wina 1978 dan 1983 tentag suksesi negara. Suksesi kedua adalah diserahkannya
Irian Barat oleh Belanda pada Indonesia melalui proses referendum di bawah pengawasan
PBB yang menjadikan wilayah itu menjadi privinsi ke-26 pada tahun 1963 dan yang ketiga
adalah lepasnya Timor Timor sebagai provinsi ke-27 membentuk negara baru yang merdeka
yaitu Timor Leste pada tahun 1999.

Lepasnya Timor Timor sebagai provinsi Indonesia yang ke-2 menjadi negara baru
yang merdeka merupakan kasus suksesi negara di Indonesia yang juga sangat menarik untuk
dibahas. Sebagaimana diketahui hasil jejak pendapat 30 Agustus 1999 menunjukkan bahwa
78,5% warga Timor Timor menghendaki kemerdekaan. Dengan demikian, sejak 4 September
1999 Timor Timor bukan menjadi bagian wilayah Indonesia lagi. Sesuai Resolusi Dewan
Keamanan Nomor 1272 (1999) UNTAET (United Nations Transition Administration in east
Timor) memperoleh mandat dari PBB untuk memegang pemerintahan sementara di Timor
Timor. UNTAET atas nama PBB menyerahkan kedaulatan Timor Leste pada tanggal 26 Mei
2002 pukul 00.00 kepada bangsa Timor Leste yang diwakili oleh Presiden Xanana Gusmao.
Peristiwa ini menandakan terjadinya suksesi negara yang mengandung implikasi yuridis bagi
aset Indonesa yang berada di Timor Leste dalam posisi Ex post facto.

Dalam kaitannya dengan aset negara (public property) milik Indonesia yang ada di
Timor Timor saat terjadinya suksesi maka otomatis akan beralih pada negara baru itu tanpa
ada kewajiban untuk memberikan ganti rugi pada Indonesia. Berbeda halnya dengan aset
milik swasta asing yang ada di Timor Leste. Hukum internasional mengenal prinsip tanggung
jawab negara untuk melindungi setiap orang dan benda asing yang berada dalam wilayah
negara. Ini berarti pemerintahan Timor Leste mengemban kewajiban hukum untuk
melindungi/mengamankan aset swasta Indonesia yang berada di wilayah negara Timor Leste.
Pemerintah Timor Leste tidak dapat melakukan penyitaan (konfiskasi), tetapi dapat
melakukan pengambilalihan (nasionalisasi) disertai ganti rugi dengan prinsip memadai
(adequate), segera (pompt) dan efektif (effective).
BAB 10

PENYELESAIAN SENGKETA DALAM HUKUM INTERNASIONAL

A. Pengertian Sengketa Internasional

Sengketa (dispute) menurut Merrills adalah ketidak sepahaman mengenai sesuatu.


Adapun John Collier & Vaughan Lowe membedakan antara sengketa (dispute) dengan
konflik (conflict). Sengketa (dispute) adalah

A spesific disagreement corcerning a metter of fac, law or policy in ehich a claim or


assertion of one party is met with refusal, counter claim or denail by another.

Sedangkan konflik adalah istilah umum atau genus dari pertikaian (hostility) antara
pihak-pihak yang sering kali tidak fokus.

Dengan demikian, setiap sengketa adalah konflik, tetapi tidak semua konflik dapat
dikategorikan sebagai sengketa (dispute). Sedangkan antara Indonesia dengan Malaysia
menyangkut kepemilikan atas Pulau Sipadan Ligitan adalah sengketa (dispute), namun
demikian perseteruan antara Amerika dengan Iran sejak kejatuhan syah Iran adalah konflik
mengingat begitu kompleksnya permasalahan antara kedua negara. Demikian halnya problem
dengan Israel-Arab, menurut Merrils lebih tepat dikategorikan sebagai ”situation” atau
konflik menurut istilah John Collier. Hal ini dikarenakan kompleksnya permasalahan pihak-
pihak terkait, dan dalam situations itu umumnya terdapat banyak specific dispute.

Sengketa internasional adalah sengketa yang bukan secara ekslusif merupakan urusan
dalam negeri suatu negara. Sengketa internasional juga tidak hanya ekslusif menyangkut
hubungan antarnegara saja, mengingat subjek-subjek hukum internasional saat ini sudah
mengalami perluasan sedemikian rupa melibatka banyak aktor nonnegara.

Permasalahan yang disengketakan dalam suatu sengketa internasional dapat


menyangkut banyak hal. Sengketa di European Union menyangkut kebutuhan integrasi
politik yang lebih kuat adalah sengketa menyangkut kebijakan. Sengketa perbatasan wilayah
adalah sengketa tentang legal right. Di sisi lain sengketa juga dapat menyangkut fakta. Di
mana posisi kapal Negara A ketika diintersepsi oleh negara B adalah salah satu contoh
sengketa mengenai fakta.

Menyangkut substansi sengketa itu, beberapa pakar mencoba untuk memisahkan


antara sengketa hukum (legal dispute) dengan sengketa politik (political dispute).
Selanjutnya Pasal 36 ayat (2) Statuta Mahkamah mengatakan bahwa sengketa hukum
yang dapat dibawa ke Mahkamah menyangkut hal-hal:

1. Interpretation of a treaty
2. Any question of international law
3. The existance of any fact which, if established, would constitude a breach of an
international obligation
4. The nature or extent of the reparation to be made for the breach of an international
obligation

Terkait dengan sengketa international sangat menarik kiranya apa yang dikemukakan oleh
John Collier bahwa fungsi hukum penyelesaian sengketa internasional manakala terjadi
sengketa internasional adalah to manage, rather tah to supress or to resolve a dispute.

B. Cara-cara Penyelesaian Sengketa dalam hukum Internasional

Secara garis besar penyelesaian sengketa dalam hukum internasional dapat


digambarkan sebagai berikut:

1. Secara Damai:
a. Jalur Politik:
1) Negosiasi
2) Mediasi
3) Jasa baik (good offices)
4) Inquiry
b. Jalur Hukum
1) Arvitrase
2) Pengadilan internasional
2. Secara Kekerasan
a. Perang
b. Non perang: pemutusan hubungan diplomatik, restorasi, blokade, embargo,
reprisal.

Berikut Penjelasan Mengenai Cara-cara diatas:

1. Penyelesaian Sengketa Secara Damai

Pada dasarnya tidak ada kewajiban negara untuk memilih satu prosedur tertentu.
Tidak ada pula kewajiban untuk menggunakan prosedur sesuai urutan yang diberikan oleh
Pasal 33 Piagam PBB. Namun demikian, kewajiban pihak-pihak bersengketa adalah
menyelesaikan sengketanya secara damai. Kegagalan para pihak untuk memperoleh
penyelesaian secepat mungkin mewajibkan mereka untuk tetap melanjutkan mencari upaya
penyelesaian damai, berkonsultasi satu sama lain dengan cara-cara yang disepakati bersama.
Negara harus senantiasa menahan diri dari segala tindakan yang dapat membesarkan masalah,
mengancam perdamaian keamanan, serta mempersulit upaya penyelesaian damai. Kewajiban
ini tidak hanya untuk menggunakan cara-cara penyelesaian sengketa secara damai, tetapi juga
menjaga dan menahan diri dari rindaka-tindakan yang makin memperburuk situasi.

a. Penyelesaian Jalur Politik


1) Negosiasi
Merupakan cara yang pertama kali dan paling banyak digunakan pihak-pihak
bersengketa dalam menyelesaikan sengketa internasional mereka. Hal ini
mengingat cara ini diakui sebagai cara yang paling simple dan mudah
dibandingkan cara-cara lain.
2) Jasa Baik (Good Offices)
Ketika negosiasi tidak menyelesaikan sengketa, pada umumnya pihak
bersengketa akan menggunakan jasa/keterlibatan pihak ketiga. Keterlibatan pihak
ketiga dalam good offices tidak lebih dari mengupayakan pertemua pihak-pihak
bersengketa untuk berunding, tanpa terlibat dalam perundingan itu sendiri. Pihak
ketiga disini sering disebut juga sebagai saluran tambahan komunikasi.
3) Mediasi
Dalam mediasi, mediator berperan aktif mendamaikan pihak-pihak
bersengketa, meliliki kewenangan-kewenangan tertentu memimpin jalannya
perundingan, juga mendistribusikan proposal masing-masing pihak bersengketa.
Mediator juga diharapkan bisa memberikan proposal untuk menyelesaikan
sengketa.
4) Pencari Fakta (Fact finding/Inquiry)
Fungsi dari inquiry adalah untuk memfasilitasi penyelesaian sengketa dengan
mencari kebenaran fakta, tidak memihak, melalui investigasi secara terus-menerus
sampai fakta yang disampaikan salah satu pihak dapat diterima oleh pihak yang
lain. Begara dan organisasi sering kali menggunakan inquiry.
Inquiry dapat dilaksanaka oleh suatu komisi yang permanen. Individu maupun
organisasi terpilih untuk memberikan expert opinion-nya.
Tugas komisi pencari fakta terbatas hanya untuk memberikan pernyataan
menyangkut kebenaran fakta, tidak berwenang memberikan suatu putusan
(award).
5) Konsiliasi (Conciliation)
Merupakan metode penyelesaian sengketa secara pilitik yang menggabungkan
cara-cara inquiry dengan mediasi. Dalam konsiliasi pihak ketiga melakukan
penyelesaian terhadap sengketa yang dipermasalahkan para pihak dan kemudian
memberikan rangkaian usulan formal penyelesaian sengketanya.
6) Penyelesaian Melalui PBB
Yang menggunakan jasa PB dapat dilakukan oleh Sekjen PBB, Majelis Umum
maupun Dewan Keamanan. Sekjen PBB sering kali diminta untuk menjadi
mediator atau memberikan jasa baik oleh pihak-pihak bersengketa. Hal ini
dikarenakan pada umumnya seorang Sekjen PBB diaggap netral, dan memiliki
kompetensi untuk membantu menyelesaikan sengketa oleh kedua belah phak
bersengketa.
7) Penyelesaian Melalui Organisasi Regional
Seharusnya dilakukan lebih dahulu oleh para pihak yang bersengketa sebelum
membawa sengketa tersebut ke forum yang lebih luas (internasional) atau dalam
hal ini Dewan Keamanan PBB. Hal ini dinyatakan dalam Pasal 52 Piagam PBB.
Selanjutnya Pasal 53 Piagam PBB secara tepat dapat memanfaatkan
penyelesaian regional atau badan-badan penegak hukum di bawah otoritasnya.
Namun demikian, tidak ada tindakan penegakan dapat diambil di bawah
mekanisme regional tanpa otoritas Dewan Keamanan.
Untuk ASEAN, berdasarkan Treaty of Amity and Cooperation in Southeast
Asia 1976, Negara-negara ASEAN sepakat untuk senantiasa mencegah dan
menyelesaikan sengketa yang dapat mengganggu perdamaian dan kehormatan
regional dengan itikad baik melalui perundingan-perundingan yang bersahabat.

b. Penyelesaian Sengketa Jalur Hukum


1) Melalui Jalur Arbitrase
Menurut Kamus Hukum Internasional adalah a procedure for the settlement of
disputes between states by a binding award on the basis of law an as a result of
fan undertaking voluntary accepted. Putusan arbitrase memberikan konstribusi
yang cukup signfikan bagi perkembangan hukum internasional.
Arbitrase dalam hukum nternasional memiliki banyak arti khusus. Pertama,
bahwa arbitrase adalah penyelesaian sengketa hukum. Arbitrase fokus pada
masalah hak dan kewajiban para pihak bersengketa berdasarkan hukum
internasional.
Kedua, ketentuan umum yang berlaku adalah bahwa putusan arbitrase bersifat
mengikat secara hukum. Sekalipun suatu negara berkomitmen terhadap arbitrase
maka dia memiliki kewajiban hukum untuk melaksanakan semua hasil putusan
arbitrase itu.
Ketiga, dalam proses arbitrase para pihak dapat memilih arbitratornya.
2) Melalui Pengadilan Internasional
Ada beberapa pengadilan internasional antara lain International Court of
Justice (ICJ), Permanent Court of International of Justice (PCIJ), International
Tribunal for The Law of The Sea, berbagai Ad hoc Tibunal, juga International
Criminal Court (ICC).
International Court of Justice (ICJ) sering dianggap sebagai cara utama
penyelesaian sengketa hukum antarnegara. Praktiknya hanya sekitar 4-5 perkara
yang diajukan ke lembaga ini per tahun. Yurisdiksi mahkamah sangat tergantung
pada kesediaan para pihak membawa kasusnya ke mahkamah.
Yang dimaksud dengan sengketa hukum adalah sengketa yang dapat diputus
dengan menerapkan prinsip-prinsip dan aturan-aturan hukum internasional ke
dalamnya. Bahwa banyak muatan politik, militer atau ekonomi dalam kasus
tersebut tidak dapat digunakan untuk menyatakan bahwa sengketa itu sengketa
hukum.
2. Penyelesaian Menggunakan Kekerasan

Sering disebut juga sebagai penyelesaian secara tidak damai.

a. Retorsi
Adalah tindakan tidak bersahabat yang dilakukan oleh suatu negara terhadap
negara lian yang telah lebih dahulu melakukan tindakan yang tidak bersahabat.
Retorsi merupakan tindakan pembalasan terhadap negara lain yang telah melakukan
perbuatan tidak sopan atau tindakan tidak adil. Biasanya retorsi berupa tindakan yang
sama atau yang mirip dengan tindakan yang telah dilakukan oleh negara yang dikenai
retorsi. Dapat dicontohkan misalnya deportasi dibalas dengan deportasi atau
pernyataan persona non grata dibalas dengan pernyataan persona non grata.
Retorsi adalah tindakan sah yang dimaksudkan untuk merugikan negara yang
telah melakukan pelanggaran. Retorsi juga merupaka tindakan self help. Wujud retorsi
antara lain:
1) Pemutusan hubungan diplomatik;
2) Pencabutan hak-hak istimewa diplomatik;
3) Penarikan konsesi pajak atau tarif;
4) Penghentian bantuan ekonomi.

b. Reprisal
Atau pembalasan adalah salah satu istilah yang telah dikenal sejak lama.
Perkembangan selanjutnya, reprisal diartikan sebagai upaya pemaksa yang dilakukan
oleh suatu negara terhadap negara lain, dengan maksud untuk menyelesaikan sengketa
yang timbul karena negara yang dikenal reprisal telah melakukan tindakan yang ilegal
atau tidaka yang tidak bisa dibenarkan.
Dengan demikian, reprisal sebenarnya merupakan tindakan permusuhan yang
dilakukan oleh suatu negara terhadap negara lain sebagai upaya perlawanan untuk
memaksa negara lain tersebut menghentikan melakukan tindakan ilegalnya. Wujud
tindakan reprisal antara lain:
1) Pemboikotan barang
2) Embargo
3) Demonstrasi angkatan laut
4) Pengeboman

c. Blokade Damai (Pacific Blocade)


Blokade damai adalah blocade yang dilakukan pada waktu damai untuk
memaksa negara yang diblokade agar memenuhi permintaan ganti rugi yang diderita
negara yang memblokade. Blokade damai sudah lebih dari reprisal, tetapi masih di
bawah perang.

d. Embargo
Merupakan prosedur lain untuk memperoleh ganti rugi dari negara lain.
Embargo adalah larangan ekspor barang ke negara yang dikenai embargo. Selain itu
embargo dapat diterapkan sebagai sanksi bagi negara yang banyak melakukan
pelanggaran hukum internasional. Embargo lebih sedikit risikonya untuk meningkat
menjadi perang.

e. Perang
1) Legalitas perang sebelum dan pasca Piagam PBB 1945
Perang bertujuan untuk menaklukkan negara lawan sehingga negara yang
kalah tidak memiliki alternatif lain kecuali menerima syarat-syarat penyelesaian
yang ditentukan oleh negara pemeneng perang. Denga berakhirnya perang berarti
sengketa telah diselesaikan.
Dalam kasus driefontein Consolidated gold mines v Janson, dikatakan perang:
Apabila perselisihan antara negara-negara mencapai suatu titik di mana kedua
belah pihak berusaha untuk memaksa atau salah satu dari mereka melakukan
tindakan kekerasan, yang dipandang oleh pihak lain sebagai suatu pelanggaran
perdamaian, maka terjadi hubungan perang, di mana pihak-pihak yang bertempur
satu sama lain dapat menggunakan kekerasan sesuai dengan peraturan sampai
salah satu dari mereka menerima syarat-syarat sebagaimana yang dikehendaki
oleh musuhnya.
Pada awal perkembangan hukum internasional, penggunaan kekerasan (use of
force) oleh negara diatur oleh Just War Doctrine yang dikembangkan antara lain
oleh ST Augustine dan Grotius. Doktrin ini menyatakan bahwa perang adalah
ilegal kecuali jika dilakukan untuk suatu ‘just cause’. Kekerasan atau perang
diizinkan sebagai suatu cara untuk menjamin hak suatu negara manakala tidak ada
cara lain yang efektif. Perang adil pada masa itu adalah suatu peperangan dengan
menggunakan peralatan perang yang sederhana yang disertai dengan pernyataan
perang oleh suatu pihak dan pihak lain yang akan diserang bersiap-siap untuk
membela diri.
Menurut John O’Brien suatu perang harus dimulai oleh: adanya suatu
pernyataan formal tentang perang oleh kedua negara. Menurut St Augustine (354-
430), perang yang adil didefinisikan sebagai pembalasan dari orang yang tertindas
atau luka terhadap pihak yang salah yang menolak kepada pihak yang bersalah
dan untuk memulihkan situasi damai pada akhir pertikaian. Senada dengan itu,
Thomas van Aquinas menyebutkan bahwa perang sebagai sanksi atau hukuman
atas subjek atas kesalahan terhadap seorang pelaku yang semestinya dihukum.
2) Pengaturan perang dalam Hukum Humaniter Internasional
Jika perang sudah tidak bisa dihindari maka para pihak harus tunduk pada
aturan hukum humaniter. Istilah Hukum Humaniter Internasional (international
humanitarian law applicable in armed conflict) merupakan istilah yang relatif
baru dalam kepustakaan hukum internasional. Istilah ini merupakan
perkembangan dari istilah-istilah sebelumnya yang kurang disukai seperti hukum
perang (laws of war) dan hukum konflik bersenjata (laws of armed conflict).
Kedua istilah ini ternyata mengundang kengerian dan trauma yang mendalam
terhadap penderitaan-penderitaan yang timbul akibat Perang Dunia Pertama juga.
Suatu hal yang lebih penting untuk diatur oleh hukum internasional adalah
bagaimana hukum bisa mencegah unnesseray suffering yang timbul oleh perang.
Hukum humaniter hanya mengatur agar suatu perang dapat dilakukan dengan
lebih memerhatikan prinsip-prinsip kemanusiaan sebagaimana yang dikemukakan
oleh Mohammed Bedjaoui bahwa tujuan hukum humaiter adalah untuk
memanusiawikan perang.
Ada beberapa tujuan hukum humaniter yang dapat dijumpai dalam berbagai
kepustakaan, antara lain:
a) Memberikan perlindungan terhadap kombatan maupun penduduk sipil dari
penderitaan yang tidak perlu;
b) Menjamin HAM yang sangat fundamental bagi mereka yang jatuh ke tangan
musuh. Kombatan yang jatuh ke tangan musuh harus dilindungi dan dirawat
serta berhak diperlakukan sebagai tawanan perang;
c) Mencegah dilakukannya perang secara kejam tanpa mengenal batas.

Dalam perkembangan hukum humaniter internasional membawa perubahan:

a) Perang internasional semakin berkurang jumlahnya, tetapi konflik bersenjata


internal atau non-internasional semakin sering terjadi;
b) Perang menjadi semakin singkat tetapi lebih bersifat merusak terkait dengan
penggunaan teknologi modern. Beberapa persenjataan seperti senjata nuklir
terlalu dahsyat untuk digunkan;
c) Perkembagan persenjataan modern tidak dapat berarti bahwa perang tidak lagi
hanya melibatkan anggota angkatan bersenjata, tetapi juga keseluruhan
penduduk yang hidup di wilayah di mana perang terjadi;
d) Hukum internasional modern mensyaratkan perlindungan HAM pada waktu
damai diberlakukan pula sebagai kebutuhan jaminan perlakuan yang
manusiawi saat konflik bersenjata terjadi.
3) Prinsip-prinsip utama dalam Hukum Humanditer Internasional
Hukum Humaniter Internasional dilandasi beberapa prinsip utama yaitu
prinsip kemanusiaan (humanity), kepentingan militer (military necessity), dan
prinsip proportionaly (keseimbangan/proporsional) juga prinsip pembedaan
(distinction principle). Dalam peperangan adalah sah tiap pihak menggunakan
kekerasan militer terhadap yang lain untuk tujuan kemenangan, menaklukkan
yang lain. Namun demikian, penggunaan kekerasan militer, alat dan metode
perang yang dapat digunakan untuk kemenangan itu tidaklah tak terbatas,
melainkan dibatasi oleh prinsip kemanusiaan (humanity) dan keseimbangan.
Dalam peperangan prinsip kemanusiaan tetap dikedepankan sehingga tidak
menimbulkan kekejaman yang luar batas kemannusiaan serta penderitaan yang tak
perlu. Prinsip kemanusiaan menegaskan bahwa hanya cara dan alat atau senjata
tertentu yang diizinkan untuk digunakan dalam perang demi mencapai tujuan
kepentingan militer. Ada 4 tipe ketentuan perang yang merupakann hubungan
antara prinsip kemanusiaan dengan kepentingan militer menurut Alina
Kaczorowska:
a) Ketentuan yang melarang tindakan yang tidak dapat dibenarkan oleh
kepentingan militer seperti tidak ada manfaat kepentingan militer apa pun dan
yang melanggar prinsp kemanusiaan, seperti tindakan sadis dan kejam,
membumi hanguskan harta benda dan lain-lain;
b) Ketentuan yang melarang suatu tindakan yang mungkin akan memperoleh
keuntungan dari segi taktik, tetapi melanggar prinsip kemanusaan seperti
penggunaan senjata biologi atau kimia;
c) Ketentuan yang mencoba mencari kompromi antara keduaya;
d) Ketentuan yang mengizinkan tindakan tertentu untuk kepentingan militer,
adapun pertimbangan kemanusaan hanya “sepanjang bisa dilakukan”, sebagai
contoh anturan Pasal 18 Konvensi IV Geneva Convention.
4) Konflik Bersenjata Internasional dan Konflik Bersenjata Non-Internasional
Saat ini lebih banyak dijumpai adalah konflik bersenjata non internasional
daripada konflik bersenjata internasional. Konflik bersenjata antara Indonesia-
Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Filipina-Kelompok Serapatis Moro, Srilangka-
Kelompok Macan Tamil, dan lain-lain adalah contoh banyaknya konflik
bersenjata non internasional, yang umumnya disebabkan oleh ketidakpuasan
kelompok-kelompok tertentu pada kebijakan-kebijakan pemerintah yang sah atau
pemerintah pusatnya.
Perbedaan utama antara konflik bersenjata non internasional dengan konflik
bersenjata internasional dapat dilihat dari status hukum para pihak yang
bersengketa. Dalam konflik bersenjata internasional, kedua pihak memiliki statu
hukum yang sama, karena keduanya adalah negara, atau paling tidak, salah satu
pihak dalam koflik tersebut adalah suatu entitas yang dianggap setara dengan
negara sesuai dengan persyaratan yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (4) juncto
Pasal 96 ayat (3) Protokol Tambahan 1 1977. Hukum internasional, dalam hal ini
hukum humaniter, dapat diterapkan pada konflik bersenjata internasional ini. Pasal
2 Konvensi Jenewa 1949 (Common articles) menetapkan bahwa ruag lingkup
penerapan Konvensi Jenewa adalah:
a. To all cases of declared war or of any other armed conflict which may arise
between two or more of the High Contracting Parties, even if the state of war
is not recognized by onr of them.
b. To all cases of partial or total occupation of the territory of a High
Contracting Party, even if the said occupation meets with no armed
resistance.
c. Altough one of the Powers in conflict may not be a party to the present
Convention, the Powers who are parties there to shall remain bound by it in
their mutuall relations.

Anda mungkin juga menyukai