OLEH:
KELOMPOK 4
KELAS : 2.8
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2018
BAB 1
International law may be defined as that body of law which is composed for its
greater part of the principles and rules of conduct which states feel themselves bound
to observe,and therefore,do commonly observe in their relations with each other,and
which includes also:
The rules of law relating to individuals and non states so far as the rights or duties of
such individuals and non states entities are the concern of the international
community.
Meskipun mengakui bahwa hukum internasional saat ini tidak hanya mengatur
hubungan antarnegara, Tetapi John O’brien mengkemukakan bahwa hukum internasional
adalah sistem hukum yang terutama berkaitan dengan hubungan antarnegara. Apa yang
dikemukakan oleh Brien ini dapat dipahami mengingat sampai saat ini negara adalah subjek
yang paling utama. Adapun subjek subjek yang lain dapat dikatakan sebagai subjek derivatif
atau turunan dari negara. Negaralah yang mengkehendaki pengakuan mereka sebagai subjek
hukum internasional.
Istilah terakhir untuk hukum internasional yang juga cukup populer adalah hukum
transnasional (transnational law). Istilah ini digunakan oleh pakar yang tidak setuju pada
pembagian hukum internasional publik dan hukum perdata internasional.
Istilah transnasional karenanya sangat tepat menurut para pendukung istilah ini yaitu
prinsip-prinsip dan kaidah yang mengatur hubungan hukum antara subjek subjek hukum dan
bersifat lintas batas negara.
1. HI banyak dipraktikkan atau diterapkan oleh pejabat pejabat luar negeri, pegawai
asing, pengadilan nasional, dan organisasi-organisasi internasional,
2. Negara negara yang melanggar hukum internasional dalam praktik tidak mengatakan
bahwa mereka melanggar hukum karena HI tidak mengikat mereka,
3. Mayoritas negara mematuhi hukum internasional,
4. Adanya lembaga lembaga penyelesaian hukum,
5. Dalam praktik HI dapat diterima dan diadaptasikan kedalam hukum nasional negara-
negara.
D. Kekuatan Mengikat Hukum Internasional
Ada beberapa teori atau aliran yang mencoba dikemukakan. Pertama, teori atau aliran
hukum alam. Teori ini mengemukakan bahwa HI mengikat karena HI bagian dari hukum
alam yang diterapan masyarakat bangsa bangsa, dengan kata lain,dapat dikatakan bahwa
negara negara mau terikat pada HI karena hubungan-hubungan mereka diatur oleh hukum
yang lebih tinggi yaitu hukum alam. Hukum alam adalah hukum yang datang dari alam dan
diturunkan pada manusia lewat rasio atau akalnya.
Aliran yang kedua yang mencoba memberikan pemikiran adalah hukum positif.
Aliran ini mengkemukakan bahwa dasar kekuatan mengikatnya HI adalah kehendak negara.
Dan yang ketigayang juga memberi pemikiran dasar kekuatan mengikat HI adalah aliran
yang melakukan pendekatan sosiologis.
Disamping faktor kebutuhan, kekhawatiran akan kehilangan keuntungan atau
fasilitas-fasilitas dari negara lain juga kekhawatiran dikucilkan dari pergaulan internasional
juga memberi konstribusi kataatan masyarakat internasional pada hukum internasional.
Bodin menyatakan bahwa tidak daa kekuasaan yang lebih tinggi yang dapat
membatasi kekuasaan negara.menurut bodin yang dinamakan kedaulatan itu mengandung
satu satunya kekuasaan sebagai:
Dewasa ini pengertian kedaulatan menjadi lebih sempit daya berlakunya karena
hampir tidak ada lagi negara yang secara penuh menolak pembatasan terhadap kebeasan
negaranya demi kepentingan masyarakat internasional sepenuhnya.
1. kebutuhan dan kepentingan bersama akan menjamin kepastian hukum dan ketertiban
dalam melakukan hubungan internasional,
2. Biaya biaya politik dan ekonomi yang dibayar jika melanggar HI,
3. Sanksi sanksi yang dijatuhkan negara lain ,organisasi internasional dan pengadilan,
4. Faktor psikologis takut dikecam atau dikutuk oleh pihak lain bila melanggar HI.
Meskipun HI bisa bekerja, namun demikian ada beberapa faktor yang menjadikan HI
sebagai hukum yang lemah.bebrapa faktor dimaksudkan adalah:
Dewasa ini HI mengatur hampir semua aktivitas negara. Ada hukum tentang
penggunaan laut, udara, luar angkasa, dan antartika. Ada hukum yang mengatur jasa
telekumunikasi pos, pengangkutan barang dan penumpang juga keuangan.
Pertama sikap indonesia dimasa orde lama diawal kemerdekaan (1945-1966), masa
orde baru atau sering disebut sebagai masa pembangunan atau ditengah kemerdekaan (1966-
1998) atau era reformasi (19998-sekarang).
Posisi indonesia sebagai negara yang berstatus negara jajahan sangat memengaruhi
sikap indonesia terhadap HI. Pengalaman buruk suatu negara dimasa lalu dapat
mempengaruhi perilakunya yang tidak ingin mengalami perlakuan serupa dengan apa yang
telah dialaminya itu dimasa yang akan datang. Hal ini mengambil analogi dari apa yang
ditemukan terhadap manusia dimana pengalaman buruk seseorang dimasa lalu dapat
menimbulkan traumatik dan upaya keras untuk tidak mengalami hal serupa dimasa yang akan
datang, yang berpotensi memengaruhi perilaku hukumnya.
Di era orde baru, Indonesia lebih bersahabat terhadap hukum internasional. Di era ini
tercatat beberapa kali indonesia mengirimkan pasukan garuda sebagai pasukan perdamaian
PBB bergabung dengan negara negara lain dibeberapa wilayah konflik.
1. perjanjian internasional
2. Kebiasaan internasional
3. Prinsip prinsip umum hukum yang diakui oleh bangsa bangsa yang beradab
4. Putusan pengadilan dan doktrin atau karya hukum sebagai sumber hukum tambahan.
Ada beberapa catatan dan permasalahan penting berkaitan dengan pasal 38 statuta
mahkamah internasional. catatan pertama adaalah bahwa statuta MI tidaklah khusus
membahas mengenai sumber sumber HI. Pasal 38, sifatnya hanya merupakan petunjuk bagi
hakim untuk mempertimbangkan macam macam sumber hukum yang dapat digunakannya.
a. voluntary, tidak ada pihak yang dapat diikat oleh suatu treaty melalui salah satu cara
yang diakui HI (penandatanganan, peratifikasian, atau pengaksesan) tanpa
persetujuannya,
b. Pacta Sunt Servanda, perjanjian mengikat seperti undang undang bagi para pihaknya
c. Pucta Tertiis Nec Nocunt Nec Prosunt, perjanjian tidak memberikan hak dan
kewajiban pada pihak ketiga tanpa persetujuannya
d. Ketika seluruh pasal dalam suatu perjanjian merupakan kodifikasi hukum kebiasaan
internasional yang sudah ada berlaku maka seluruh isi perjanjian itu akan mengikat
pada seluruk masyarakat internasional, termasuk negara yang tidak meratifikasinya.
Negara tidak meratifikasi terikat bukan karena perjanjiannya, tetapi karena hukum
kebiasaan internasional,
e. Apabila suatu perjanjian merupakan campuran antara hukum kebiasaan yang sudah
berlaku dengan perkembangan yang baru (progressive development) maka:
1) negara peserta akan terikat pada seluruh pasal perjanjian,
2) Negara bukan peserta hanya terikat pada sis pasal yang merupakan kodifikasi
hukum kebiasaan yang sudah berlaku (existing costumary law),
3) Negara bukan pesertadapat pula terikat pada ketentuan yang merupakan
progressive devolpmement bilamana progressive devolepment tersebut
merupakan hukum kebiasaan baru(new costumary).
a. Hierarki Dalam Treaty
Treaty yang mengatur suatu hal yang serupa ada yang bilateral, regional, maupun
universal. Treaty tersebut tidak akan bermasalah bila isinya tidak saling bertentangan.
Adapun dalam HI persoalannya lebih kompleks karena pihak pihak dalam suatu
perjanjian belum tentu sama. Bila ada dua perjanjian yang datangnya berurutan, para
pihaknya sama, perjanjian yang akhir tidak mencabut perjanjian yang awal, bila ada aturan
yang bertentangan maka berlakulah prinsip lex posteriori derogat lex priori atau perjanjian
yang datang kemudian akan diutamakan daripada perjanjian yang lebih dulu.
Kapan suatu perjanjian mengikat dan kapan suatu perjanjanjian berlaku sangatlah
penting untuk dipahami. Pasal 24 (1) konvensi wina 1969 menentapkan bahwa berlakunya
suatu perjanjian internasional tergantung pada:
Untuk mengetahui kapan suatu perjanjianberlaku pada umunya dapat dilihat dibagian
klausula formal (klausula final) yang biasanya tertelatk di pasal pasal terakhir perjanjian atau
setelah pasal pasal substansial (dispositive provision) perjanjian internasional
tersebut.sebagai contoh misalnya:
Hukum kebiasaan menurut dixon adalah hukum yang berkembang dari praktik atau
kebiasaan negara negara. Hukum kebiasaan internasional (custumary) harus dibedakan
dengan hukum adat (usuge) atau kesopanan internasional (international community) ataupun
persahabatan (frienship).
Untuk dikatakan sebagai hukum kebiasaan harus memenuhi dua unsur secara
kumulatif.
1) Unsur Faktual
Yang dimaksud dengan syarat faktual disini adalah adanya praktik umum negara
negara (general),cberulang-ulang dan dalam jangka waktu yang lama.
Unsur praktik umum (general) tidaklah mensyaratkan harus semua negara tanpa
terkecuali (universal)melakukan praktik tersebut. Unsur praktik yang berulang-ulang
mensyaratkan kekonsistensian atau keseragaman dalam praktik.
Unsur jangka waktu (duration). ICJ tidak pernah memberikan petunjuk yang jelas
mengenai berapa jangka waktu yang diperlukan dalam praktik negara untuk menjadi hukum
kebiasan internasional.
Unsur factual adanya praktik negara yang umum, uniform dan consistent harus diikuti
adanya keyakinan pada negara negara tersebut bahwa apa yang mereka praktikan merupakan
suatu kewajiban atau hukum yang harus dipatuhi bukan hanya sekedar habitual saja.
Suatu hukum kebiasaan baru (new customary law) dapat menggantikan hukum
kebiasaan yang sudah ada (existing rule) bila ada cukup praktik negara yang bertentangan
dengan hukum kebiasaan yang sudah ada, yang didukung oleh opinio juris. Pada awalnya
praktik yang bertentangan memang akan dikatakan sebagai pelanggaran terhadap hukum
kebiasaan karena memang saat itu hukum kebiasaan yang ada belumlah berubah. Disini,
sangat pentingnya faktor opinio jurist, melalui putusan putusan pengadilan apa yang semula
dipandang sebagai pelanggaran dalam perkembangnya justru dianggap sebagai
perkembangan baru. Terhadap praktik yang bertentangan tersebut tentunya menandakan
bahwa masyarakat internasional belum bisa menerima adanya perubahan.
Prinsip prinsip hukum umum yang diakui oleh bangsa yang beradab pertama kali
diperkenalkan oleh statuta PCIJ dengan maksud untuk menghindari masalah non liquet dalam
suatu perkara yang dihadapkan pada hakim. Bila hakim itu menemukan perjanjian juga
hukum kebiasaan yang relevan dengan kasus yang dihadapinya hakim diarahkan untuk
menggunakan prinsip hukum umum ini.
Prinsip hukum umum merupakan prinsip prinsip hukum secara umum tidak hanya
terbatas pada huhkum internasional saja, tetapi mungkin prinsip dalam hukum perdata
,huhkum acara, hukum pidana, hukum lingkungan dan lain lain yang diterima dalam praktik
negara negara nasional.
Beberapa prinsip tersebut antara lain prinsip pacta sunt servanda, prinsip itikad baik
(good faith), prinsip res judicata, nullum delictum nulla poena legenali, nebis in idem,
rektroaktif, good governance, clean governance ,dan lain-lain.
Dimaksudnya prinsip hukum umum sebagai sumber hukum ketiga dalam statuta
membuktikan adanya penolakan terhadap doktrin positivisme yang berpendapat bahwa HI
terdiri semata-mata dari ketentuan yang merupakan kesepakatan negara-negara.
4. Putusan Pengadiilan(Yurisprudensi)
Sama seperti putusan pengadilan, karya hukum atau doktrin merupakan sumber
hukum tambahan atau subsider. Karya hukum tidaklah menciptakan hukum meskipun itu
tulisan dari Grotius, Bynkershoek, Vattel, Starke, Oppenheim, Hall, Hyde, Rousseau atau
pakar yang lain tetplah hanya opini, tidak mengikat dan bukanlah hukum.
Putusan organisasi tidak diketemukan dalam daftar sumber hukum pasal 38 (1) statuta
mahkamah internasional. Beberapa alasan yang dikemukakan anatara lain bahwa pada waktu
pembentukan piagam keberadaan dan peran organisasi internasional belum seperti saat ini.
Suatu sistem hukum biasanya membangun atau menetapkan suatu norma hierarki
berdasarkan suatu sumber hukum tertentu darimana norma itu berasal. Dalam sistem hukum
nasional misalnya adalah hal yang umum menempatkan nilai-nilai fundamental dalam status
konstitusi dan diutamakan dari aturan yang lain seperti undang-undang dan aturan
administrasi bilamana terjadi konflik. Aturan aturan administrasi harus sesuai dengan
mandate legislative. Hukum tertulis diutamakan dari yang tidak tertulis.
Pada dasarnya hierarki aturan dan kelembagaan juga sangat vital bagi sistem hukum
internasional. Beberapa pakar hukum bahkan menyatakan bahwa secara logika tidak ada
hierarki dalam hukum internasional mengingat sistem hukum ini berlandaskan prinsip
koordinatif, desentralisasi, juga persamaan kedudukan negara negara berdaulat. Lebih lanjut
dinyatakan pula bahwa semua aturan hukum internasional adalah sederajat (equivalent),
berlandaskan kehendak negara.
Meskipun brownlie mencatat bahwa tidaklah tepat untuk menyatakan adanya hierarki
berdasarkan urutan a sampai d dalam semua kasus.
Bahkan jika dibandingkan dengan adnya sebagai perjanjian bilateral yang mengatur
masalah yang sama (masalah ekstradisi) perjanjian multilateral tetap memiliki kelebihan
karena pada masing masing perjanjian bilateral sering kali memiliki bahasa atau istilah-istilah
khusus yang berbeda satu dengan yang lain tentang pengaturan hak dan kewajiban negara
dalam masalah ekstradisi tertentu.
Akhirnya, hukum kebiasaan yang hanya berlandaskan praktik akan senasib dengan
costumary innternational law yang terefleksikan melalui perjanjian bilateral.
Jus cogen adalah non derogable, peremptory law. Konsep jus cogen diduga telah ada
semenjak zaman romawi .pasca perang dunia kedua, pengadilan nurenberg dalam berbagai
putusannya menyatakan bahwa ”…..the individual has a legal oblligation to disregars
immoral superior orders in the name of a higher moral law”. Pengadilan nurenberg
selanjutnya menetapkan kembali hierarki norma hukum untuk mengatur konflik antar hukum
internasional dan hukum nasional yang pertama kali pernah diusulkan oleh aliran hukum
alam di abad ke-17-18. Sejak pengadilan nurenberg itulah hukum internasional mengakui
tegas adanya konsep jus cogens sebagai sumber utama (primary source) dari norma norma
hukum yang mengatur hubungan internasional.
Ulrich scheuner adalah salah satu diantara sekain banyak pakar hukum yang mencoba
memberikan definisi yang tepat mengenai defenisi jus cogens. Ulrich mengusulkan
keberadaan tiga kelompok yang berbeda dalam jus cogens.
Karakteristik utama dari jus cogens adalah sifat non derogable rights dalam norma
tersebut. Untuk menetapkan apakah ketentuan ketentuan yang ada dalam suatu perjanjian
merefleksikan jus cogens atau tidak bukanlah pekerjaan yang mudah mengingat perjanjian
lebih dikenal sebagai contracts of private law daripada suatu genuine normative instruments.
Perjanjian tidak menimbulkan hak dan kewajiban pada pihak ketiga tanpa persetujannya.
Namun demikian, dewasa ini konsep ini sudah mengalami pengikisan dengan munculnya
perjanjian perjanjian humaniter dan HAM, yang tidak mengizinkan suspesions or
denunciation. Dalam hukum internasional kontemporer proses pembubaran perjanjian
multilateral adalah legislative in objective hanya cara atau metodenya saja yang bersifat
kontraktual.
Suatu perbedaan penting harus ditarik antara kewajiban negara terhadap masyarakat
internasional secara keseluruhan dengan kewajiban negara terhadap negara yang lain dalam
hal perlindungan diplomatik.
BAB 3
HUBUNGAN HUKUM INTERNASIONAL DAN HUKUM NASIONAL
BAB 4
SUBJEK – SUBJEK HUKUM INTERNASIONAL
A. Pengertian Subjek Hukum Dalam Hukum Internasional
Subjek hukum internasional menurut Martin Dixon adalah a body or entity which is
capable of possessing and exercising rights and duties under international law. Subjek –
subjek HI tersebut harus memiliki kecakapan hukum internasional utama (the main
international law capacities) untuk mewujudkan kepribadian hukum internasionalnya
(international legal personality). Kecakapan hukum yang dimaksud adalah :
1. Mampu untuk menuntut hak – haknya di depan pengadilan internasional dan nasional
2. Menjadi subjek dari beberapa atau semua kewajiban yang diberikan oleh HI
3. Mampu membuat perjanjian internasional yang sah dan mengikat dalam hukum
internasional
4. Menikmati imunitas dari yurisdiksi pengadilan domestik
B. Macam – Macam Subjek Hukum Internasional
1. Negara
a. Karakteristik Negara
Negara adalah subjek hukum yang paling utama, terpenting dan memiliki
kewenangan terbesar sebagai subjek hukum internasional. Negara memiliki semua kecakapan
hukum.
Pasal 1 Konvensi Montevideo 1933 menyatakan bahwa karakteristik negara adalah
sebagai berikut :
1) Memiliki a defined territory
Suatu wilayah yang pasti (fixed territory) merupakan persyaratan mendasar adanya
suatu negara. Hukum internasional tidak mensyaratkan batas minimum maupun maksimum
wilayah suatu negara, sehingga ada negara dengan wilayah yang sangat sempit terkenal
dengan negara – negara mini, sebaliknya ada negara – negara dengan wilayah yang sangat
luas.
2) Memiliki a permanent population
Negara tidak akan exist tanpa penduduk. Persyaratan a permanent population
dimaksudkan untuk stable community. Tidak ada persyaratan jumlah minimum penduduk
yang harus dimiliki suatu negara. Persyaratan mengenai penduduk juga tidak dipengaruhi
oleh penduduk suatu negara yang nomaden.
Hukum internasional juga tidak mensyaratkan bahwa penduduk haruslah
homogeneous. Kriteria a permanent population merujuk pada kelompok individu yang hidup
di wilayah negara tertentu.
3) Memiliki pemerintahan (government)
Pemerintah yang dimaksud adalah pemerintah yang berdaulat, mampu menguasai
organ – organ pemerintahan secara efektif dan memelihara ketertiban dan stabilitas dalam
negeri yang bersangkutan. Pengertian berdaulat tidak dapat ditafsirkan bahwa pemerintah
yang bersangkutan tidak pernah diintervensi pihak mana pun dalam menentukan
kebijakannya. Semakin besar tingkat ketergantungan negara pada pihak asing maka semakin
besar potensi negara tersebut untuk diintervensi oleh mereka.
4) Memiliki kemampuan untuk melakukan hubungan internasional dengan negara lain
(capacity to enter into relations with other states)
Kemampuan untuk melakukan hubungan dengan negara lain merupakan manifestasi
dari kedaulatan. Suatu negara dikatakan merdeka (legal independence) jika wilayahnya tidak
berada di bawah otoritas berdaulat yang sah dari negara lain.
Kemampuan untuk melakukan hubungan dengan negara lain adalah kemampuan
dalam pengertian yuridis baik berdasarkan hukum nasional maupun internasional, bukan
kemampuan secara fisik.
b. Macam – Macam Bentuk Negara dan Kesatuan Bukan Negara
1. Negara Kesatuan
Negara kesatuan akan memberikan kekuasaan yang penuh pada pemerintah pusat
untuk melaksanakan kegiatan hubungan luar negeri.
Contoh negara : Indonesia, Perancis dll
2. Negara Federasi
Negara federasi merupakan gabungan dari sejumlah negara yang dinamakan negara
bagian yang sepakat untuk membagi wewenang antara pemerintah federal dengan negara
bagiannya. Meskipun memiliki konstitusi dan pemerintahan sendiri – sendiri, tetapi yang
dianggap subjek dalam HI hanyalah pemerintah federalnya saja, karena hanya pemerintah
federal yang mempunyai wewenang melakukan hubungan luar negeri.
Namun demikian, adakalanya negara federasi memberikan kelebihan pada beberapa
negara bagiannya.
3. Negara Konfederasi (Confederation)
Dalam konfederasi, dua atau lebih negara merdeka memutuskan bersatu untuk
meningkatkan kesejahteraan dan kepentingan bersama mereka. Pemerintah pusat hanya
memiliki kewenangan tertentu saja khususnya yang berkaitan dengan external affairs
sementara anggota (Component State) tetap memiliki kedaulatan yang penuh, kemerdekaan
dan kepribadian hukum internasional. Dalam praktik, karena strukturnya yang kurang jelas,
konfederasi lambat laun akan menjadi negara kesatuan (unitray state) atau federasi.
Contoh negara : Swiss (1291-1848), Netherland (1581-1795), US (1776-1788),
Jerman (1815-1866).
4. Negara – Negara Persemakmuran (Commonwealth Nations)
Commonwealth Nations (sebelumnya bernama The British Commonwealth of
Nations) merupakan persatuan negara – negara berdaulat yang memutuskan untuk
memelihara persahabatan dan kerja sama dengan Inggris serta mengakui kerajaan Inggris
sebagai simbol kepemimpinan dari asosiasi mereka. Asosiasi ini dibentuk dengan Statuta
Westminister 1932 yang menyatakan bahwa koloni –koloni Inggris akan memiliki
pemerintahan sendiri dan memiliki status khusus dengan Inggris.
Commonwealth bukanlah subjek HI. Ia tidak memiliki personalitas hukum
internasional.
Contoh negara : Republik Irlandia tahun 1948, Afrika Selatan tahun 1961, dan
Pakistan tahun 1972.
5. Negara Mikro
Negara mikro adalah suatu negara yang merdeka dan memiliki kedaulatan penuh.
Negara ini wilayah, penduduk dan sumber daya manusia serta sumber daya ekonominya
sangat kecil. Negara – negara ini dapat menjadi anggota PBB dengan fasilitas – fasilitas
tertentu, seperti : hak akses ke Mahkamah Internasional, ikut serta dalam komisi ekonomi
regional yang tepat juga dapat ikut serta dalam beberapa badan khusus tertentu atau
konferensi – konferensi diplomatik yang bertujuan membentuk konvensi – konvensi
internasional.
Contoh negara : Tongga, Nauru, Fiji, New Hibride (sekarang menjadi Republik
Vanuatu), Palau di Samudra Pasifik, Kepulauan Maladewa di Samudra Hindia dll.
6. Negara Netral (Netralized State)
Negara netral adalah negara yabg kemerdekaan dan integritas politik di wilayahnya
dijamin secara permanen dengan perjanjian kolektif negara – negara besar dengan syarat
negara yang dijamin tersebut tidak akan pernah menyerang negara lain kecuali untuk
membela diri, tidak akan pernah membuat traktat aliansi dan sebagainya yang dapat merusak
sikap ketidaknetralan atau ketidakmemihakannya atau menjerumuskannya dalam perang.
7. Negara Protektorat
Negara Protektorat adalah negara merdeka dan memiliki kedaulatan penuh. Negara ini
berada di bawah perlindungan negara lain yang lebih kuat berdasarkan suatu perjanjian
internasional.
Contoh negara : Tunisia dan Maroko pernah menjadi protektorat Prancis. Puerto Rico
protektorat AS.
8. Condominium
Suatu condominium timbul bila terhadap suatu wilayah tertentu dilaksanakan
penguasaan bersama oleh duaatau tiga negara.
Contoh negara : New Hybrida yang sekarang dikenal sebagai Republik Vanuatu,
sampai dengan 30 Juli 1980 dikuasai oleh Inggris dan Perancis, Wilayah Antartika dikuasai
oleh 12 negara diantaranya Inggris, AS, Australia, dan Italia.
9. Wilayah Perwalian (Trust)
Wilayah perwalian adalah wilayah yang pemerintahannya diawasi oleh Dewan
Perwalian PBB (Trusteeship Council) karena dipandang belum mampu memerintah sendiri.
Wilayah perwalian yang dibentuk berdasarkan Perjanjian San Fransisco setelah Perang Dunia
II meliputi :
1) Daerah – daerah mandat peninggalan Liga Bangsa – Bangsa
2) Daerah – daerah yang dipisahkan dari negara – negara yang kalah perang dalam PD II
3) Daerah dari suatu negara yang memang dengan sukarela diserahkan sendiri kepada
Dewan Perwalian
Contoh negara : Mariana Utara, Kepulauan Marshall, Micronesia, Palau, yang
merupakan wilayah perwalian AS tahun 1990-an, wilayah – wilayah tersebut menjadi negara
protektorat AS.
c. Hak dan Kewajiban Dasar Negara
Hak – hak dasar negara adalah sebagai berikut :
1) Hak atas Kemerdekaan dan Self Determination
Hak atas kemerdekaan dalam hukum internasional melahirkan apa yang dalam hukum
internasional disebut sebagai hak untuk menentukan nasib sendiri (self determination).
a) Self Determination era Liga Bangsa – Bangsa (LBB)
Gagasan adanya self determination mula – mula dikemukakan oleh Presiden Wilson
dalam pidatonya di depan Kongres Amerika Serikat pada 8 Januari 1918, yang kemudian
ditegaskan lagi dalam naskah Konvensi Liga Bangsa – Bangsa yang diusulkannya. Dengan
demikian, di era LBB, self determination right ditolak dengan tegas sebagai kaidah hukum
internasional hanya diakui sebagai konsep politik, bahkan dipandang dapat merusak dan
mengacaukan hubungan internasional.
b) Self Determination di era PBB
Beberapa pasal dalam Piagam PBB mencantumkan self determination baik secara
langsung maupun tidak langsung. Pasal yang secara langsung memuat self determination
right antara lain Pasal 1 (2) dan Pasal 55. Piagam mengartikan self determination sebagai hak
dari people untuk menciptakan keadaan – keadaan yang tertib (stability) dan kemakmuran
(well being), yang merupakan dasar bagi terciptanya perdamaian dan hubungan persahabatan
antarnegara.
Tonggak sejarah penting lainnya berkaitan dengan self determination right adalah
dikeluarkannya Resolusi 1514 (XV), Declaration on the Granting of the Independence to
Colonial Countries and Peoples 1960. Deklarasi ini memuat prinsip – prinsip penting dan
mendasar bagi pelaksanaan hak penentuan nasib sendiri serta kondisi – kondisi yang harus
segera dipenuhi oleh penguasa administrasi.
Resolusi tersebut mencantumkan alternatif pilihan bagi wilayah yang belum
berpemerintah sendiri untuk menentukan nasib masa depannya, yaitu :
i. Menjadi negara merdeka dan berdaulat
ii. Melakukan asosiasi bebas dengan negara mereka
iii. Berintegrasi dengan suatu negara merdeka
iv. Perubahan status politik apapun yang ditentukan rakyat
Pada tahun 1970 kembali MU PBB mengeluarkan resolusi yaitu resolusi Nomor 2625
(XXV), yaitu deklarasi tentang prinsip – prinsip hukum internasional mengenai hubungan
persahabatan dan kerja sama antarnegara. Di era PBB ini, self determination sudah mendapat
pengakuan sebagai legal right bukan sekedar suatu political phylosophy. Saat ini self
determination diakui sebagai satu prinsip yang penting dari hukum kebiasaan internasional
kontemporer.
Berbagai resolusi PBB maupun pendapat para pakar pada dasarnya sepakat bahwa
self determination right tidak dapat dipergunakan oleh all people, termasuk kelompok –
kelompok yang tidak puas atas kebijakan pemerintah pusatnya. Memiliki asal usul dan
sejarahnya konsep self determination right itu sendiri sebenarnya dimaksudkan untuk
dekolonisasi, dapat digunakan oleh bangsa – bangsa yang terjajah atau di bawah kolonisasi
bangsa lain.
c) Perkembangan Penafsiran Self Determination dalam Teori dan Praktik
Kelompok – kelompok etnis tertentu baik berasal dari dawrah kolonisasi (Gibraltar),
Alaska (federal), Scotlandia (negara kesatuan) semuanya mempunyai hak, dapat
dilaksanakan, dilindungi dan mengikat berdasarkan hukum internasional. Putusan EC
Arbitration Commission on Yugoslavia menunjukkan bahwa self determination right ada bagi
people di wilayah yang merupakan bagian dari suatu negara federal asalkan mereka dapat
memenuhi persyaratan faktual sebagai negara (statehood) sebagaimana yang disyaratkan
dalam Konvensi Montevideo.
Ada tujuh faktor yang menjadi motivasi maraknya tuntutan self determination untuk
memisahkan diri dari suatu negara. Faktor – faktor tersebut adalah faktor sejarah integrasi,
faktor bentuk negara sebelumnya, penerapan sistem negara federal, faktor kekuatan eksternal,
perbedaan agama, etnik dan sosio ekonomi, dan semakin sedikitnya generasi pertama
integrasi yang penuh dengan emosi nasionalisme. Dapat ditambahkan bahwa ketidakadilan
merupakan faktor yang paling banyak muncul ke permukaan atas gejala tuntutan self
determination dari suatu kelompok minoritas untuk memisahkan diri dari suatu negara.
Kelompok minoritas berdasarkan ras, bahasa, agama dan budaya berhak atas self
determination. Pengakuan atau penolakan tuntutan self determination tidaklah didasarkan
pada kondisi kolonial atau non kolonial, tetapi lebih didasarkan tercapainya tujuan nilai –
nilai harkat kemanusiaan (human dignity). Esensi dari self determination adalah human
dignity, human rights, dan otoritas bangsa (people).
Pelaksanaan tuntutan self determination harus memenuhi syarat “a free and genuine
expression of the will” dari kelompok yang bersangkutan. Hal ini tampak dari putusan
Mahkamah Internasional dalam Western Sahara Case. Putusan ini berlandaskan pada pasal
21 ayat (3) Deklarasi Universal hak asasi manusia yang mengatur tentang a will best
expressed in free and genuine elections. Di samping itu, juga dibutuhkan pengawasan
internasional yang tidak memihak dan efektif.
d) Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Tuntutan Self Determination
Pada dasarnya GAM memang memiliki dasar untuk menuntut pelaksanaan self
determination untuk memisahkan diri dari Indonesia. Hal ini dilandasi ketidakadilan dan
penderitaan yang dialami masyarakat Aceh selama rezim Orde Baru. Ada dua bentuk self
determination yaitu internal dan ekternal. Dengan demikian, self determination tidak selalu
harus berwujud pemisahan diri (separation) yang merupakan external self determination.
Perkembangan terakhir setelah pemerintah Indonesia melakukan Memorandum Of
Understanding dengan petinggi – petinggi GAM di Helsinki Finlandia, tampak bahwa self
determination bentuk pertama yaitu internal, dengan memberikan otonomi luas-lah yang
dipilih kedua belah pihak untuk menjawab tuntutan self determination di Aceh.
e) Organisasi Papua Merdeka dan Tuntutan Self Determination
Papua Barat (dulu Irian Barat kemudian menjadi Irian Jaya) telah
mendapat pengakuan dari PBB sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari
NKRI. Papua adalah satu - satunya provibsi di Indonesia yang kembali ke
pangkuan ibu pertiwi melalui "Persetujuan New York" yang ditandatangani
oleh Belanda dan Indonesia pada 15 Agustus 1962. Persetujuan ini dicatat
oleh Majelis Umum PBB berdasarkan Resolusinya pada 21 September
1962, No. 1752 (XVII).
Gagasan untuk mendirikan Organisasi Papua Merdeka (OPM) muncul
tahun 1963 dan 1964, yang kemudian secara resmi terbentuk pada awal
1965 di daerah Ayamaru. Terkait dengan tuntutan self determination di
Papua, sampai saat ini dukungan masyarakat internasional terhadap
integritas wilayah Indonesia bahwa Papua adalah wilayah yang sah dari
NKRI adalah masih lebih kuat daripada tuntutan self determination
kelompok tersebut.
2) Hak untuk Melaksanakan Yurisdiksi Terhadap Wilayah,
Orang dan Benda yang Berada di dalam Wilayahnya
Hak untuk melaksanakan yurisdiksi terhadap wilayah, orang dan
benda yang berada di dalam wilayahnya merupakan hak yang melekat
pada setiap negara merdeka sebagai konsekuensi dari kedaulatan yang
dimilikinya.
3) Hak untuk Mendapatkan Kedudukan Hukum yang Sama
dengan Negara - Negara Lain
Hak untuk mendapatkan kedudukan hukum yang sama dengan
negara lain merupakan konsekuensi dari prinsip persamaan kedaulatan
negara. Ketika negara itu melakukan pelanggaran hukum internasional
maka hukum harus ditegakkan, siapa pun negara itu.
4) Hak untuk Menjalankan Pertahanan Diri Sendiri atau
Kolektif (self Defence)
Sejak didirikannya PBB tahun 1945, penggunaan kekerasan
terhadap negara lain adalah dilarang. Hal ini dapat ditemukan
pengaturannya antara lain dalam Pasal 2 ayat (4) Piagam PBB. Semua
negara anggota PBB harus menahan diri untuk tidak menggunakan
kekerasan terhadap integritas wilayah dan kemerdekaan politik negara
lain, atau dengan cara lain yang tidak sesuai dengan tujuan Piagam PBB.
Larangan penggunaan kekerasan sebagaimana diatur Pasal 2 ayat
(4) tersebut tidaklah absolut. Hal ini dapat dilihat dari keberadaan Pasal
51 serta Bab VII Piagam PBB. Self defence hanya bisa dilakukan ketika
serangan militer dari pihak lain telah terjadi.
Dilihat dari cara metodenya, pengakuan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu
pengakuan secara tegas (express recognition) dan pengakuan secara diam-diam (implied
recognition). Pengakuan secara tegas dapat dilakukan dengan pernyataan pengakuan lewat
public statement, nota diplomatik, atau juga perjanjia bilateral yang isinya secara tegas
menyatakan pengakuan oleh satu pihak terhadap pihak yang lain.
1. Menjadi pihak pada suatu perjanjian multilateral di mana negara yang tidak diakui
(unrecognized state) telah lebih dulu menjadi pihak;
2. Tetap menjadi pihak ketika negara yang tidak diakui (unrecognized state) masuk
menjadi negara pihak pada suatu perjanjian multilateral;
3. Pertukaran misi perdagangan dengan negara yang tidak diakui (unrecognized state);
4. Melakukan tuntutan internasional atau membayar kompensasi pada negara yang tidak
diakui (unrecognized state);
5. Duduk satu meja dalam perundingan dengan negara yang tidak diakui (unrecognized
state);
6. Hadir dalam satu konferensi internasional dimana negara yang tidak diakui juga
terlibat sebagai peserta;
7. Penerimaan negara yang tidak diaku dalam suatu organisasi internasional berkaitan
dengan negara-negara yang menentang penerimaan tersebut.
Tidak bisa ditafsirkan langsung sebagai pemberian pengakuan secara diam-diam. Niat
dari negara yang memberi pengakuan harus dipertanyakan lebih dahulu apakah benar
tindakan yang dia lakukan berarti suatu pengakuan untuk pihak yang selama ini tidak
megakuinya.
Pengakuan terhadap negara baru adalah suatu pernyataan atau sikap dari suatu pihak
untuk mengakui eksistensi suatu entitas politik baru sebagai negara baru, subjek HI dengan
hak-hak dan kewajiban yang melekat padanya, dimana pengakuan itu berarti bahwa pihak
yang mengakui siap bersedia melakukan hubungan dengan pihak yang diakui.
Ada beberapa teori yang dikenal dalam pengakuan terhadap negara baru antara lain
Teori deklaratif, teori konstitutif, juga teori pengakuan kolektif.
Teori ini lahir dan berkembang sekitar permulaan abad XX. Tokoh-tokohnya antara
lain Jellinek, Cavaglieri, dan Strup. Menurut teori ini, lahirnya suatu negara hanyalah
merupakan suatu peristiwa fakta yang sama sekali lepas dari ketentuan-ketentuan hukum
internasional. Adapun pengakuan semata-mata merupakan tindakan formalitas, penegasan
atau penerimaan terhadap fakta yang sudah ada tersebut. Dengan demikian, pengakuan tidak
melahirkan negara baru. Teori ini sejalan dengan pasal 3 Konvensi Montevideo 1933 yang
menyatakan bahwa eksistensi politik suatu negara bebas dari pengakuan pihak lain.
a. Tidak mungkin menolak lahirnya suatu negara dengan memakai alasan hukum;
b. Lahirnya suatu negara bebas dari pengakuan, dalam hal ini pengakuan tidak ikut
campur dalam pembentukan negara.
Namun demikian dalam praktik tidak ada jaminan negara yang memiliki lengkap
atribut statehood langsung diterima sebagai subjek hukum internasional. Sebaliknya tidak
sahnya bahkan tidak lengkapnya atribut statehood tidak mencegah suatu entitas menjadi
negara baru. Dalam politik hukum internasional, negara tidak punya kewajiban untuk
mengakui suatu negara baru semata-mata karena atribut kenegaraan yang melekat padanya.
2. Teori Konstitutif
Teori ini muncul di abad ke-19 dan mendasarkan pada pandangan teori positivis.
Beberapa tokohnya antara lain Lauterpacht, Hans Kelsen, dan Vedross yang terkenal sebagai
kelompok Austria. Menurut teori ini suatu negara baru lahir bila telah diakui oleh negara lain.
Sekalipun entitas baru memiliki atribut formal dan kualifikasi statehood, tetapi tanpa
pengakuan entitas baru tersebut tidak dapat memperoleh international personality. Dengan
demikian, pengakuan melahirkan/menciptakan suatu negara baru, memiliki kekuatan
konstitutif.
Ada beberapa kelemahan berikut pertanyaan yang melekat pada penerapan teori
konstitutif, yaitu sebagai berikut:
a. Negara-negara baru yang tidak mendapat pengakuan akan menjadi entitas tanpa hak
dan kewajiban di bawah hukum internasional sampai memperoleh pengakuan.
b. Praktik negara menunjukkan bahwa pemberian pengakuan merupakan tindakan
politik untuk kepentingan negara yang memberi pengakuan semata. Hal yang patut
dipertanyakan di sini adalah mengapa status hukum suatu entity tergantung pada
tindakan politik negara lain.
c. Tidak ada kejelasan berkaitan dengan jumlah minimum negara yang memberikan
pengakuan yang diperlukan bagi suatu entitas baru untuk menjadi negara.
d. Tidak ada kejelasan berkaitan dengan parameter suatu entitas baru untuk menjadi
negara. Penilaian yang ada sangat subjektif berdasarkan pertimbangan kepentingan
politik pihak yang mengakui saja.
Ada beberapa akibat hukum yang dapat diterima negara bilamana yang bersangkutan
tidak mendapat pengakuan:
Akhir November 2012 Majelis Umum PBB menggelar siding permohonan status
Palestina sebagai negara yang diajukan Presiden Mahmoud Abbas. Hasil pemungutan suara
yang dilakukan 29 November 2012 menunjukkan 138 dari 193 negara anggota menyetujui, 9
menolak termasuk Amerika Serikat dan Inggris, dan 41 negara abstain. Status ini
meningkatkan status Palestina dari entitas peninjau menjadi negara peninjau sekalipun belum
diterima sebagai negara anggota resmi PBB. Dukungan masyarakat internasional terhadap
status negara peninjau ini dapat dikatakan sebagai pengakuan terhadap berdirinya negara
Palestina.
Dari sudut pandang hukum internasional merujuk pada Pasal 1 Konvensi Montevideo
1933, ada 3 hal yang membuat Palestina selama ini sulit memperoleh pengakuan sebagai
negara, yaitu:
a. Wilayah atau teritorialnya yang tidak jelas akibat pencaplokan yang dilakukan oleh
Israel.
b. Penduduk yang tidak menggambarkan warga negara yang utuh dan permanen.
c. Tidak adanya sistem pemerintahan yang lejitimit karena konflik internal antara
kelompok Fatah dan Hamas, dan kekuatan organisasi lainnya.
C. Pengakuan Terhadap Pemerintah Baru
Pengakuan Terhadap Pemerintah Baru berarti suatu sikap, pernyataan atau kebijakan
untuk menerima suatu pemerintah sebagai wakil yang sah dari suatu negara dan pihak yang
mengakui siap melakukan hubungan internasional dengannya. Bilamana pemerintah baru ini
ditolak kehadirannya oleh negara lain yang sebelumnya sudah melakukan hubungan
internasional dengan pemerintah sebelumnya, maka yang terjadi adalah negara yang menolak
mengakui pemerintah baru ini hanya menolak mengakui pemerintahnya saja, sementara
pengakuan terhadap negaranya tetap ada. Pengakuan terhadap suatu negara sekali diberikan
tidak akan pernah bisa dicabut lagi.
Apakah pengakuan merupakan syarat mutlak yang harus diperoleh oleh pemerintah
baru? Beberapa teori berikut mencoba untuk menjelaskannya.
Melihat banyaknya kudeta yang terjadi di negara-negara khususnya kawasan Amerika Latin,
Afrika, dan Asia, Thomas Jefferson mencoba untuk memberikan penilaian yang objektif
kriteria pemerintah yang lahir secara inkonstitusional untuk layak diakui. Parameter tersebut
adalah:
Ketika syarat di atas belum terpenuhi maka menurut Thomas Jefferson sebaiknya
pemerintah baru tersebut diakui secara de facto untuk kemudian ditingkatkan menjadi
pengakuan de jure ketika menurut keyakinan pihak yang akan mengakui syarat-syarat yang
ditentukan terpenuhi.
4. Teori Stimson
Menurut stimson pengakuan tidak perlu diberikan terhadap pemerintah baru yang
lahir dari kudeta. Teori ini di satu sisi memang bermaksud untuk mencegah terjadinya kudeta
di suatu negara karena akan menimbulkan instabilitas.
BAB 6
KEDAULATAN TERITORIAL
A. Wilayah Daratan
Wilayah merupakan atribut yang sangat penting bagi eksistensi suatu negara. Di atas
wilayahnya negara memiliki hak-hak untuk melaksanakan kedaulatan atas orang, benda juga
peristiwa atau perbuatan hukum yang terjadi di wilayahnya. Namun demikian, atas
wilayahnya negara wajib untuk tidak menggunakannya bagi tindakan-tindakan yang
membahayakan perdamaian dan keamanan internasional (Pasal 7 Draft Deklarasi PBB
tentang hak-hak dan kewajiban negara 1949). Dalam kaitannya dengan wilayah, negara wajib
untuk tidak mengakui wilayah-wilayah yang diperoleh dengan kekerasan (Pasal 12 Draft
Deklarasi PBB tentang hak-hak dan kewajiban negara 1949).
Disamping daratan awal dalam hukum internasional juga dikenal adanya wilayah
tambahan yang berdasarkan teori-teori hukum internasional klasik dapat diperoleh oleh suatu
negara dengan cara-cara sebagai berikut:
Di samping itu, banyak tidaknya tindakan yang dilakukan suatu negara untuk
mengklain dengan alas hak okupasi sangat ditentukan oleh hal-hal berikut:
Semakin kecil pulau, semakin jauh, terpencil dengan medan yang berat, juga semakin
sedikitnya Ia mempunyai kekayaan alam maka bisa dipastikan akan semakin sedikit tindakan
efektivitas yang dilakukan negara yang mengklaimnya.
Aneksasi adalah penggabungan suatu wilayah negara lain dengan kekerasan atau
paksaan ke dalam wilayah negara yang menganeksasi.
a. Kellog Briand Pact. 1928 yang melarang perang sebagai instrument kebijakan suatu
negara.
b. Pasal 2 (4) Piagam PBB, melarang tindakan mengancam atau menggunakan
kekerasan terhadap integritas wilayah atau kemerdekaan politik negara lain.
c. Deklarasi prinsip-prinsip hukum internasional tentang hubungan baik dan kerja sama
antarnegara 1974, wilayah suatu negara tidak bisa dijadikan objek perolehan oleh
negara lain dengan cara ancaman/penggunaan kekuatan. Tidak ada perolehan wilayah
dengan cara-cara itu akan diakui secara sah oleh internasional.
3. Akresi
Akresi merupakan cara peroleh wilayah baru dengan proses alam (geografis) terhadap
wilayah yang sudah ada di bawah kedaulatan suatu negara. Proses atau kejadian alam tersebut
dapat terjadi perlahan-lahan, bertahap seperti endapan-endapan lumpur yang membentuk
daratan, ataupun mendadak seperti pemindahan tanah.
4. Preskripsi
Perskripsi adalah perolehan wilayah oleh suatu negara akibat pelaksanaan secara
damai kedaulatan de facto dalam jangka waktu yang lama atas wilayah yang sebenarnya de
jure masuk wilayah negara lain. Perolehan tambahan wilayah dengan cara ini sebenarnya
mengadopsi dari ketentuan bezit dalam hukum perdata. Beberapa syarat bagi preskripsi
menurut Fauchille dan Johnson sebagaimana dikutip oleh Ian Brownlie adalah sebagai
berikut:
Cessie adalah cara perolehan tambahan wilayah melalui proses peralihan hak dari satu
negara ke negara lain. Cessie dapat dilakukan dengan sukarela maupun dengan kekerasan.
Dengan kekerasan pada umumnya akibat kalah perang pihak yang kalah dipaksa melalui
perjanjian internasional untuk menyerahkan sebagian wilayahnya kepada pihak pemenang.
Cessie dapat dilakukan antara lain dengan cara jual beli, tukar menukar, penyewaan, dan
penyerahan.
6. Referendum
Referendum atau pemungutan suara merupakan implementasi atau tindak lanjut dari
keberadaan hak menentukan nasib sendiri (self determination right) dalam hukum
internasional.
B. Wilayah Laut
Wilayah laut adalah laut beserta tanah yang ada di bawahnya. Tanah bawah laut terdiri dari
dasar laut dan tanah di bawah dasar laut. Wilayah laut terbagi atas wilayah yang dikuasai oleh
suatu negara (negara pantai) dengan laut yang tidak dikuasai oleh negara. Konvensi PBB
tentang Hukum Laut 1982 (UNCLOS 1982) melahirkan delapan zonasi pengaturan (Regime)
hukum laut, yaitu:
Adalah perairan yang berada pada sisi darat (dalam) garis pangkal. Di kawasan ini
negara memiliki kedaulatan penuh, sama seperti kedaulatan negara di daratan.
Adalah laut yang terletak pada sisi luar dari garis pangkal dan tidak melebihi dari 12
mil laut. Di kawasan ini kedaulatan negara penuh termasuk atas ruang udara di atasnya. Hak
lintas damai diakui bagi kapal-kapal asing yang melintas. Hak lintas damai menurut
Konvensi Hukum Laut 1982 adalah hak untuk melintas secepat-cepatnya tanpa berhenti dan
bersifat damai tidak mengganggu keamanan dan ketertiban negara pantai.
Hak lintai damai adalah hak bagi kapal asing sehingga merupakan kewajiban bagi
negara pantai untuk memberikannya.
Adalah laut yang terletak pada sisi luar dari garis pangkal dan tidak melebihi 24 mil
laut dari garis pangkal. Di zona ini kekuasaan negara terbatas untuk mencegah pelanggaran-
pelanggran terhadap atran bea cukai, fiscal, imigrasi, dan perikanan.
Meliputi dasar laut dan tanah dibawahnya dari area di bawah permukaan laut yang
terletak di luar laut territorial, sepanjang kelanjutan alamiah wilayah daratan hingga pinggrian
luar tepi kontinen, atau hingga suatu jarak 100 mil laut dari garis pangkal dari mana mencapai
jarak tersebut, hingga paling jauh 350 mil laut sampai dengan jarak 100 mil laut dari garis
kedalaman 2500 meter.
ZEE adalah suatu zona selebar tidak lebih dari 200 mil laut dari garis pangkal. Di
zona ini negara pantai memiliki hak-hak berdaulat yang eksklusif untuk keperluan eksplorasi
dan eksploitasi sumber kekayaan alam serta yurisdiksi tertentu terhadap:
Laut lepas tidak dapat diletakkan di bawah kedaulatan dikuasai oleh suatu negara
mana pun. Terhadap kawasan laut lepas berlaku berbagai prinsip kebebasan dalam batas-
batas hukum internasional, seperti kebebasan berlayar, penerbangan, memasang kabel dan
pipa, pembuatan pulau buatan serta instalasi lain, kebebasan menangkap ikan, juga penelitian
ilmiah.
Yaitu kawasan dasar laut yang tidak terletak di dalam yurisdiksi negara manapun.
Apabila di era sebelumnya di kawasan ini berlaku prinsip freedom exploitation tanpa ada
kewajiban memberikan kontribusi pada masyarakat internasional maka dengan diakuinya
prinsip common heritage of mankind, siapapun yang mengeksploitasi kawasan tersebut harus
memberikan kontribusi 1%-7% kepada masyarakat internasional yang dibayarkan melalui
badan otorita hukum laut internasional.
Pasal 2 PP Nomor 37 Tahun 2002 menetapkan bahwa kapal dan pesawat asing dapat
melaksanakan Hak Lintas melalui Alur Laut Kepulauan (ALK), untuk pelayaran atau
penerbangan dari satu bagian laut bebas atau ZEE ke bagian lain laut bebas atau ZEE
melintasi laut territorial dan perairan kepulauan Indonesia. PP Nomor 37 Tahun 2002
menetapkan 3 ALK:
1) ALK 1 : Untuk pelayaran dari Laut Cina Selatan ke Samudera Hindia atau
sebaliknya.
2) Untuk Pelayaran dari Laut Sulawesi ke Samudera Hindia atau sebaliknya.
3) ALK III, terbagi III A-E.
Wilayah laut Indonesia berbatasan dengan Malaysia, Papua New Guinea, Singapura,
dan Timor Leste. Pemerintah Indonesia memiliki beberapa dasar hukum untuk mengatur
perbatasan lautnya, beberapa diantaranya yaitu UU Nomor 1 tahun 1973 tentang Landas
Kontinen Indonesia, UU Nomor 5 Tahun 1983 tentang ZEE Indonesia, dan UU Nomor 17
Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea
(UNCLOS).
Tindakan tegas yang dilakukan pemerintah Indonesia dalam masalah ini adalah
menenggelamkan atau meledakkan atau membakar kapal-kapal pelaku illegal fishing.
Tindakan ini menuai pujian sekaligus kecaman.
Adapun Hukum Internasional dalam hal ini UNCLOS 1982 tidak mengatur secara
eksplisit mengenai tindakan yang dapat dilakukan terhadap Illegal fishing.
C. Wilayah Ruang Udara (Airspace), Dasar Hukum dan Permasalahan Indonesia
1. Di Ruang Udara Tidak Berlaku Hak Lintas Damai Bagi Pesawat Asing
Wilayah udara suatu negara adalah ruang udara yang ada di atas wilayah daratan,
wilayah laut pedalaman, laut territorial dan juga wilayah laut negara kepulauan. Kedaulatan
negara di ruang udaranya berdasarkan adagium Romawi adalah sampai ketinggian tidak
terbatas (cujus est solum eust ad coelom). Prinsip sampai ketinggian tidak terbatas ini sudah
tidak dapat dipertahankan lagi seiring dengan kemajuan teknologi seperti peluncuran dan
penempatan satelit di ruang angkasa. Peluncuran pesawat ruang angkasa yang melintasi ruang
udara suatu negara tidak pernah meminta izin dari negara yang bersangkutan demikian pula
penempatannya pada orbit tertentu. Namun demikian, sampai pada ketinggian berapa
kedaulatan negara atas ruang udaranya belum ada kesepakatan.
Pada pasal 1 Konvensi Paris 1919 yang dikuatkan oleh Konvensi Chicago 1944
menegaskan bahwa negara mempunyai kedaulatan yang penuh dan eksklusif atas ruang
udaranya. Negara memiliki yurisdiksi eksklusif dan kewenangan yang penuh untuk
mengontrol ruang udara di atas wilayahnya.
Pelanggaran wilayah kedaulatan Indonesia tidak hanya dilakukan pesawat sipil tetapi
juga pesawat militer. Pada tanggal 21 Mei 2013, pesawat militer AS jet Donier Do-328 110
buatan Fairchild Aircraft, Amerika Serikat, mendarat tanpa memiliki security clearance di
Bandara Sultan Iskandar Muda, Banda Aceh. Pesawat terbang militer AS itu terbang dari
Maladewa menuju Singapura namun terpaksa mendarat darurat karena kehabisan bahan
bakar. Pihak AS mengakui kesalahan ini dengan menyatakan bahwa awak pesawat Dornier
Do-328 semula menduga izin terbang di ruang udara Indonesia masih berlaku, tapi
kenyataannya telah kadaluwarsa.
Angkutan udara internasional adalah angkutan udara melalui ruang udara di atas
wilayah lebih dari satu negara. Negara dengan wilayah sangat luas seperti Indonesia bisa
mendapat banyak keuntungan dengan mengkomersialisasikan ruang udaranya. Semua
aktivitas di ruang udara suatu negara harus seizin negara kolong.
GATS merupakan salah satu lampiran yang dapat ditemukan dalam final act Uruguay
round 1994. Jasa angkutan udara diatur dalam salah satu sectoral annex yaitu annex on air
transport services, GATS tidak mengatur tentang traffic right, sehingga masalah ini tetap
diatur berdasarkan bilateral agreement antara negara kolong satu sama lain sebagaimana yang
diamanakan oleh Chicago Convention 1944.
Indonesia telah menjadi negara pihak pada Konvensi Chicago sejak tahun 1950.
Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, konvensi ini pada prinsipnya sangat menjunjung
tinggi kedaulatan negara atas wilayah ruang udaranya. Akan tetapi, menyadari risiko yang
besar dari transportasi udara dan untuk kepentingan bersama masyarakat internasional, dalam
beberapa hal konvensi membatasi kebebasan negara dalam mengatur lalu lintas transportasi
udara. Negara harus patuh pada jalur-jalur pernerbangan yang diatur dalam Enroute Charts
ICAO serta siapa yang diberi kewenangan untuk mengawasi dan mengatur lalu lintas
penerbangan di suatu kawasan melalui penetapan flight information region (FIR). Penetapan
FIR oleh ICAO berdasarkan pertimbangan beberapa faktor antara lain ketersediaan berbagai
fasilitas pendukung transportasi udara di masing-masing wilayah. Oleh karena itu pengaturan
lalu lintas udara tidaklah sangat berpatokan pada wilayah kedaulatan suatu negara semata.
Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) adalah konsekuensi dari diakuinya hak negara
kepulauan yang berhak menarik garis dasar lurus kepulauan dalam konvensi hukum laut
1982. Sebenarnya pemerintah telah menetapkan 3 ALKI lewat PP Nomor 37 Tahun 2002
tentang ALKI Indonesia. Namun demikian, pemerintah mengakui, setiap tahun ada saja
pelanggaran wilayah udara Indonesia di atas ALKI oleh pesawat asing. Salah satu kasus yang
cukup terkenal adalah maneuver pesawat tempur AS di atas ALKI Pulau Bawean yang sangat
membahayakan penerbangan sipil.
Prinsip-prinsip yang berlaku untuk ruang angkasa terjabarkan dalam Space Treaty
1967. Prinsip utama yang mengatur ruang angkasa antara lain Non appropriation principle
dan Freedom Exploitation Principle. Prinsipyang pertama atau non kepemilikan adalah
prinsip yang menyatakan bahwa ruang angkasa beserta benda-benda langit merupakan milik
bersama umat manusia (common heritage of mankind), tidak dapat diklaim atau diletakkan di
bawah kedaulatan suatu negara.
Adapun prinsip kedua adalah prinsip yang menyatakan bahwa ruang angkasa adalah
zona yang bebas untuk dieksploitasi oleh semua negara sepanjang untuk tujuan damai. Dalam
pengeksploitasian berlaku prinsip persamaan (Equity). Penjabaran lebih lanjut dari prinsip ini
adalah dikenalnya prinsip first come first served.
BAB 7
Ada tiga macam yurisdiksi yang dimuliki oleh Negara yang berdaulat menurut John
O’Brien, yaitu:
1. Kewenangan Negara untuak membuat ketentuan-ketentuan hukum terhadap orang,
benda, peristiwa maupun perbuatan di wilayah teritorialnya (legislative jurisdiction or
prescriptive jurisdiction)
2. Kewenangan Negara untuk memaksa berlakunya ketentuan-ketentuan hukum
nasionalnya (executive jurisdiction or enforcement jurisdiction)
3. Kewenangan pengandilan Negara untuk mengadili dan memberikan putusan hakim
(yudicial jurisdiction)
Kata Yurisdiksi (jurisdiction) berasal dari kata yurisdictio. Kata yurisdictio berasal
dari dua kata yaitu kata yuris dan diction. Yuris berarti kepunyaan hukum atau kepunyaan
menurut hukum. Adapun diction berarti ucapan , sabda , atau sebutan. Dengan demikian,
dilihat dari asal katanya tampak bahwa yurisdiksi dengan masalah hukum, kepunyaan
menurut hukum atau kewenangan menurut hukum.
a. Negara dimana kejahatan dilakukan adalah Negara yang ketertiban sosialnya paling
terganggu
b. Biasanya pelaku ditemukan di Negara dimana kejahatan dilakukan
c. Akan lebih mudah menemukan saksi dan bukti-bukti sehingga proses persidangan
dapat lebih efisien dan efektif
d. Seseorang WNA yang dating ke wilayah suatu Negara di anggap menyerahkan diri
pada system HN Negara tersebut, sehingga ketika ia melakukan pelanggaran HN di
Negara yang ia datangi maka ia harus tunduk pada hukum setempat meskipun apa
yang ia lakukan sah menurut system HN negaranya sendiri.
Ada beberapa pengecualian yang diatur dalam HI dimna Negara tidak dapat
menerapkan yurisdiksi teritorialnya, meskipun suatu peristiwa terjadi di wilayahnya.
Beberapa pengecualian yang di maksud adalah:
6. Prinsip Universal
7. Prinsip Perlindungan
Negara memiliki yurisdiksi terhadap orang yang melakukan kejahatn yang sangat
serius yang mengancam kepentingan vital Negara, keamanan, integritas dan kedaulatan serta
kepentingan vital ekonomi Negara.
Pertama tindak pidana yang dilakukan di dalam pesawat sipil saat penerbangan
(offences and certain other acts committed on board aircraft) misalnya pencurian atau
pembunuhan yang dilakukan di atas pesawat sipil yang sedang melakukan penerbangan.
Kedua adalah tindakan pidana yang dilakukan terhadap pesawat sipil misalnya
unlawful seizure of aircraft (hijacking).
Hijacking atau pembakan pesawat ini adalah tindakan melawan hukum, dengan
kekerasan dan ancaman, atau dengan cara intimidasi, merampas dan melakukan pengendalian
pesawat tindak ini dapat mencakup pula percobaan melakukan hijacking ataupun membantu
melakukan hijacking.
Ketiga adalah tindak kekerasan yang dilakukan terhadap orang di dalam pesawat yang
sedang melakukan penerbangan yang dapat berakibat membahayakan keselamatan pesawat
( unlawful acts against the safety of civil aviation).
Bebarapa instrument hukum internasional terkait tidak pidana penerbangan antara lain
sebagai berikut:
Bentuk-bentuk kerja sama masalah penerapan yurisdiksi yang dikenal dalm hukum
internasional.
1. Ekstradisi
perjanjian-perjanjian ekstradisi memuat prinsip-prinsip sebagai berikut:
Terkait dengan UU ekstradisi Indonesia. UU ini adalah produk tahun 1979 sehingga
sudah banyak ketidaksesuaian dengn perkembangan dan kebutuhan saat ini. Beberapa hal
yang menjadi dasar dibutuhkannya UU baru tentang ekstradisi antara lain:
a. Praktik ekstradisi yang tidak efisien dan lemahnya koordinasi antar lembaga yang
terlibat
b. Adanya peraturan perundang-undangan terkait yang lahir setelah tahun 1979
c. Adanya perjanjian ekstradisi yang dibuat Indonesia dengan Negara lain
d. Perkembangan hukum internasional di bidang ekstradisi khususnya menyangkut
perlindungan HAM
2. Pertukaran Tahanan
Pelaksanaan exchange of prisoner dilakukan dengan resiprokal dimana jumlah
tahanan yang dipertukarkan sama atau senilai, sepadan baik jumlah tahanan dan bobot
kejahatan yang dilakukan sama hukumannya
TSP adalah bentuk kerja sama internasional dimana narapidana sudah menjalani
hukumannya disuatu Negara, kemudian dipindahkan ke Negara asalnya untuk menjalani
hukumannya.
1) Final judgement
2) Term remaining to be served
3) Ties to the administering state
4) Consent of states
5) Consent of sentenced persons
6) HAM dari orang yang akan di transfer harus dilindungi
7) Mental health
8) Exercising discretion
9) Umulative effect
MLA adalah kerja sama bantuan timbal balik dalam masalah pidana. Bentuk kerja
sama internasional dalm MLA adalah saling memberikan bantuaan berkenaan dengan proses
penyelidikan, penuntutan,ataau pemeriksaan di sidang pengadilan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang- undangan neagara yang diminta.
BAB 8
Istilah hukum yang sering digunakan untuk menyebut kata tanggung jawab menurutr
peter salim, yaitu : accountability , liability , responsibility.
Menurut kamus besar bahasa Indonesia tanggung jawab dapat diartikan menanggung
segala sesuatu kerugian yang terjadi akibat perbuatannya atau perbuatan orang lain yang
bertindak untuk dan atas namanya.
Dalam hukum internasional dikenal adanya dua macam aturan, primary rules dan
secondary rules. Primary rules adalah serangkat aturan yang mendefinisikan hak dan
kewajiban Negara yang tertuang dalam bentuk traktat, hukum kebiasaan datu instrument
lainnya. Adapun secondary rules adalah seperangkat aturan yang mendefinisikan bagaimana
dan apa hukum apabila primary rules itu dilanggar oleh Negara. Secondary inilah yang
disebut hukumtanggung jawab Negara .
1. Adanya suatu kewajiban hukum internasional yang berlaku antara dua Negara
tertentu
2. Adanya suatu perbuatan atau kelalaian yang melanggar kewajiban hukum
internasional tersebut yang melahirkan tanggung jawab Negara
3. Adanya kerusakan atau kerugian sebagai akibat adanya tindakan yang melanggar
hukum atau kelalaian
Tindakkan berbuat atau tidak berbuat dari negara dapat merupakan internationally
wrongful acts yang mengandung dua unsur yaitu :
1. The claim is not brought in accordance with any applicable rule relating to the of
nationality of claims
2. The claim is one to which the rule exhaustion of local remedies applies and any
available and effective local remedy has not exhausted.
3. The injured state has validly waived the claim
4. The injured states is to be considered as having, by reason of its conduct, validly
acquiesced in the lapse of the claim.
BAB 9
Kata Suksesi Negara berasal dari kata State Succession atau Succession of State, yang
artinya adalah pergantian kedaulatan pada suatu wilayah. Pengertian kedaulatan yang
dimaksudkan di sini adalah pergantian dari predecessor state (negara yang digantikan)
kepada Succesor State (negara yang menggantikan) dalam hal kedaulatan (tanggung jawab)
atas suatu wilayah dalam hubungan internasional.
Suksesi negara harus dibedakan dengan suksesi pemerintah. Suksesi pemerintah tidak
akan dibahas dalam buku ini mengingat suksesi pemerintah lebih pada masalah dalam negeri
suatu negara. Manakala terjadi suksesi atau pergantian pemerintah hukum internasional hanya
menetapkan bahwa yang berlaku adalah prinsip kontinuitas negara.
1. Suksesi Universal
Pada bentuk ini tidak ada lagi international identity dari suatu negara (predecessor
state) karena seluruh wilayahnya hilang. Sebagai contoh dapat dikemukakan hilangnya Korea
pada tahun 1910 karena dianeksasi oleh Jepang, juga Kongo yang dianeksasi oleh Belgia.
Dalam kasus lain Columbia terpecah menjadi tiga negara merdeka yaitu Venezuela, Equador
serta New Granada pada tahun 1832.
2. Suksesi Parsial
Pada bentuk ini negara predecessornya masih eksis, tetapi sebagian wilayahnya
memisahkan diri menjadi negara merdeka ataupun bergabung dengan negara lain. Contoh
untuk bentuk sukses ini adalah hilagnya Timor-Timor dari wilayah NKRI membentuk negara
Timor Leste pada 1999. Negara Indonesia sebagai predecessor state masih tetap ada, yang
terjadi adalah bahwa Indonesia kehilangan sebagian wilayahnya.
Satu aspek terpenting dari suksesi negara adalah pengaruh pergantian kedaulatan
terhadap hak-hak dan kewajiban yang muncul dari suatu perjanjian. Perjanjian adalah
instrumen terpenting dalam pelaksanaan hubungan internasional. Secara umum ada upaya
untuk membedakan antara perjajian yang berkaitan dengan hak atas property dengan
kewajiban perjanjian yang lain yang mana bentuk kedua ini dibagi lagi atas perjanjian
mulltilateral, bilateral, perjanjian HAM juga perjanjian politik.
Konvensi Wina 1978 merupakan kodifikasi dari hukum kebiasaan internasional. Tidak
semua masalah suksesi negara dapat diselesaikan oleh konvensi ini mengingat konvensi tidak
berlaku surut, hanya mengikat pada kasus-kasus setelah konvensi dinyatakan berlaku.
Secara umum Pasal 17 juga 24 Konvensi Wina 1978 menetapkan bahwa perjanjian
tidak beralih pada suksesor kecuali ditentukan lain dalam devolution agreement. Ketentuan
ini sejalan dengan apa yang diatur oleh Pasal 34 Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian
Internasional yang terkenal dengan prinsip “Pacta tertiis nec nocunt nec procent” bahwa
Perjajian tidak menimbulkan hak dan kewajiban kepada pihak ke-3 tanpa persetujuannya.
Dengan demikian, doktrin Clean Slate yang diperjuangkan oleh kelompok newly independent
state pada dasarnya tidaklah bertentangan dengan hukum internasional. Negara baru bisa
melakukan pick and choose terhadap perjanjian yang dibuat oleh predecessornya.
Tidak dapat digaggu gugatnya perjajian perbatasan sebenarnya juga sudah dinyatakan
dalam Pasal 62 ayat (2) Konvensi Wina 1969 yang dikenal sebagai Rebus Sic Stantibus
Principle. Dengan prinsip tersebut apabila timul perubahan yang mendasar dalam kenyataan-
kenyataan yang ada pada perjajian itu diadakan, yang mengakibatkan tidak tercapainya tujuan
perjanjian, maka keadaan yang demikian dapat dijadikan sebagai alasan untuk mengakhiri
perjanjian atau menarik diri dari perjanjian tersebut. Memang sebagia besar penulis hukum
internasional mengakui adanya faktor perubahan keadaan yang mendasar dalam kaitannya
dengan dasar sebagai alasan tidak terikatnya suatu negara pada perjanjian internasional.
Namun demikian, penggunaan doktrin rebus sic stantibus harus memenuhi syarat-syarat
sebagai berikut:
Konvensi Wina 1969 juga memberikan pembatasan yang lain yaitu bahwa doktrin
Rebus Sic Stantibus tidak dapat digunakan terhadap perjanjian perbatasan wilayah serta bila
perubahan keadaan tersebut diakibatkan oleh suatu penyelenggaraan terhadap perjanjian itu
yang dilakukan oleh negara yang menuntut batalnya perjanjian tersebut. Selajutnya
ditegaskan pula bahwa doktrin rebus sic stantibus tidak dapat diberlakukan pada perjanjian-
perjanjian berikut:
1. Traktat-traktat yang secara langsung berkenaan dengan wilayah yang telah berganti
pemilik seperti, traktat-traktat yang menetapkan rezim perbatasan, servitude, atau
quasi servitude, misalnya hak melintas, atau traktat-traktat netralisasi atau
demiliterisasi wilayah terkait.
2. Konvensi-konvensi multilateral yang berkaitan dengan kesehatan, narkotika, hak-hak
manusia dan hal-hal serupa, yang dimaksudkan untuk berlaku, meskipun ada
perubahan-perubahan wilayah.
Di samping kedua pasal tersebut kuatnya keduduan perjanjian perbatasan tampak dari
berbagai putusan pengadilan baik nasional maupun internasional. Dalam Burkina Faso v Mail
Case Mahkamah Internasional menyataka bahwa. . . . there is no doubt that the obligation to
respect pre-existing international frontiers in the event of a state succession derives from a
general rule of international law whether or not the rule is expressed in the formula uti
possidetis.
Masuk kategori dispositive treaty juga selain perjanjian perbatasan wilayah adalah
Servitude Treaties yang diatur oleh Pasal 12 Konvensi Wina 1978. Perjanjian servitude . . is
arise when territory belonging to one state is, in some particular way, made to serve the
interests of territory belonging to another state. Contoh dari perjanjian ini antara lain right of
passage, Take water for irrigation, juga Delimiterized zone/free zone.
Secara yuridis, ada dua jenis aset pascasuksesi yakni, aset milik pemerintah dan aset
milik swasta. Aset milik swasta dapat dibagi lagi menjadi, aset milik warga negara secara
perseorangan, aset milik perusahaan swasta dan aset milik perusahaan negara atau di
Indonesia dikenal sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN). BUMN digolongkan dalam
status privat karena meski modalnya milik negara dalam operasionalnya ia tunduk pada
hukum perdata nasional (de jure gestiones). Negara tidak dapat menggunakan hak istimewa
dan kekebalan (de jure imperi) ketika misalnya sebuah BUMN diharuskan memenuhi suatu
kewajiban hukum oleh pihak pelanggannya/mitra kerjanya. Prinsip-prinsip suksesi negara
dalam kaitannya dengan public property atau state property ini dikembangkan oleh hukum
kebiasaan internasional yang selanjutnya dikodifikasikan dalam Konvensi Wina 1983 tentang
State Property, arsip dan utang.
Prinsip umum secara luas dalam hukum kebiasaan internasional adalah bahwa state
property akan beralih pada suksesor. Hal ini berarti tidak ada kewajiban hukum pihak
suksesor untuk mengembalikan ataupun membayar ganti rugi aset-aset milik pemerintah lama
(pre desesor). Hal ini diatur, baik dalam hukum konvensional maupun dalam hukum
kebiasaan internasional. Pasal 11 “Viena Convention on Seccession of States” menyatakan:
“....the passing of state property of the predecessor state to the successor state shall tahe
place without compensation” (pengalihan milik negara predesesor kepada negara suksesor
haruslah tanpa pembayaran ganti rugi).
Yang dimaksud dengan state property secara umum dikatakan bahwa state property adalah
property yang ada di bawah kepemilikan langsung atau tidak langsung dari lembaga-lembaga
eksekutif, legislatif, atau yudikatif negara berdasarkan hukum nasional negara prodecessor.
Prinsip ini kemudian diadopsi dalam Pasal 8 Konvensi Wina 1983 yang menyatakan “that
property shall be property rights and interests which at the date of the succession of states
were according to the internal law of predecessor state owned by that state”. Dalam praktik,
yang dimaksud dengan the date of the succession of state adalah hari kemerdekaan suksesor.
Meskipun demikian, dapat ditemukan banyak hari kemerdekaan yang mungkin berbeda-beda
dalam kasus disintegrasi negara seperti kasus Yugoslavia juga Uni Soviet.
Para ahli hukum internasional umumnya sependapat bahwa yang dimaksud state
property dapat berwujud gedung-gedung dan tanah milik negara, alat-alat transportasi milik
negara, dana-dana pemerintah yang tersimpan dalam bank, pelabuhan-pelabuhan dan
sebagainya. State property tersebut dapat dibedakan menjadi benda bergerak dan tidak
bergerak. Menyangkut benda tidak bergerak yang ada di wilayah yang beralih, prinsip umum
yang berlaku adalah bahwa property itu akan beralih pada suksesor. Hal ini didukung tidak
hanya oleh Konvensi Wina 1983, hukum kebiasaan juga pengutamakan tradisional terhadap
lex situs. Selanjutnya, jika benda tidak bergerak berada di luar wilayah yang beralih maka
dianggap tetap milik predecessor, seandainya negara ini tetap eksis, meskipun prinsip ini
dapat dimodifikasi. Tetapi, bila predecessornya tidak ada lagi maka praktik negara-negara
menunjukkan property tersebut aka dibagi di antara negara-negara suksesornya yang ada.
Privat property yang dimaksud dalam pembahasan ini menyangkut harta benda juga
hak-hak milik perseorangan atau perusahaan yag buka milik negara berdasarkan hukum
nasional predecessor. Dalam hal terjadi suksesi pada umumnya para ahli hukum internasional
sepakat bahwa privat property ini harus dihormati atau dilindungi oleh predecessor state serta
tidak dipengaruhi secara otomatis oleh suksesi negara yang terjadi. Dengan kata lain, dapat
dikatakan bahwa prinsip umum yang berlaku adalah sepanjang tidak ditentukan lain dalam
perjanjian peralihannya maka privat property tidak beralih pada suksesor. Dengan demikian,
bila suksesor ingin mengambil alih benda tersebut haruslah dengan memberikan kompensasi
pada pemiliknya, individu maupun perusahaan. Meskipun demikian, di dalam praktik sering
kali masalah yang timbul sangat kompleks sehingga tidak dengan begitu saja prinsip umum
itu dapat diberlakukan, dalam praktik ada beberapa prinsip yang diberlakukan terhadap privat
property, sebagai berikut:
1. Pada prinsipnya suksesor wajib untuk menghormati privat property yang telah
diperoleh di bawah hukum predecessor.
2. Kelanjutan hak-hak perseoragan tersebut berlaku selama perundang-undangan negara
suksesor tidak menyatakan lain, dalam hal menghapus atau menggantikannya.
3. Penghapusan atau perubahan terhadap privat property tersebut tidak boleh
bertentangan dengan atau melanggar kewajiban-kewajiban hukum internasionalnya,
khususnya mengenai perlindungan diplomatik.
4. Privat property yang bermacam-macam jenisnya memerlukan pemecahan sendiri-
sendiri yang berarti memerlukan perumusan tersendiri untuk setiap jenis privat
property.
Masih berkaitan dengan benruk suksesi negara dalam hal sebagian wilayah
predecessor memisahkan diri membentuk negara merdeka sendiri atau terjadi disintegrasi
sehingga terbentuk beberapa negara merdeka yang baru maka Pasal 40 dan 1 Konvensi
menetapkan untuk menggunakan prinsip pembagian yang adil euitable proportion dalam
menyelesaikan kewajiban utangnya. Pembagian yang adil ini pada umumnya dengan
menyesuaikan:
1. Jumlah penduduk;
2. Luas wilayah;
3. Kekayaan atau sumber daya alam yang dimiliki masing-masing wilayah;
4. Besarnya pajak pendapatan yang diperoleh masing-masing wilayah.
G. Akibat Hukum Suksesi Negara Terhadap Kewarganegaraan
Prinsip yang umum berlaku dalam masalah ini adalah bahwa suksesor dipandang
tidak berkewajiban untuk menerima tanggung jawab akibat tort atau delik yang dilakukan
oleh predecessor-nya, baik dalam kasus suksesi negara karena penaklukan (aneksasi) ataupun
berintegrasi secara sukarela.
Kasus terkenal berkaitan dengan masalah klaim ini adalah kasus Robert E. Brown
yang diputus oleh Anglo-American Pecuniary Claims Tribunal 1923.
Lepasnya Timor Timor sebagai provinsi Indonesia yang ke-2 menjadi negara baru
yang merdeka merupakan kasus suksesi negara di Indonesia yang juga sangat menarik untuk
dibahas. Sebagaimana diketahui hasil jejak pendapat 30 Agustus 1999 menunjukkan bahwa
78,5% warga Timor Timor menghendaki kemerdekaan. Dengan demikian, sejak 4 September
1999 Timor Timor bukan menjadi bagian wilayah Indonesia lagi. Sesuai Resolusi Dewan
Keamanan Nomor 1272 (1999) UNTAET (United Nations Transition Administration in east
Timor) memperoleh mandat dari PBB untuk memegang pemerintahan sementara di Timor
Timor. UNTAET atas nama PBB menyerahkan kedaulatan Timor Leste pada tanggal 26 Mei
2002 pukul 00.00 kepada bangsa Timor Leste yang diwakili oleh Presiden Xanana Gusmao.
Peristiwa ini menandakan terjadinya suksesi negara yang mengandung implikasi yuridis bagi
aset Indonesa yang berada di Timor Leste dalam posisi Ex post facto.
Dalam kaitannya dengan aset negara (public property) milik Indonesia yang ada di
Timor Timor saat terjadinya suksesi maka otomatis akan beralih pada negara baru itu tanpa
ada kewajiban untuk memberikan ganti rugi pada Indonesia. Berbeda halnya dengan aset
milik swasta asing yang ada di Timor Leste. Hukum internasional mengenal prinsip tanggung
jawab negara untuk melindungi setiap orang dan benda asing yang berada dalam wilayah
negara. Ini berarti pemerintahan Timor Leste mengemban kewajiban hukum untuk
melindungi/mengamankan aset swasta Indonesia yang berada di wilayah negara Timor Leste.
Pemerintah Timor Leste tidak dapat melakukan penyitaan (konfiskasi), tetapi dapat
melakukan pengambilalihan (nasionalisasi) disertai ganti rugi dengan prinsip memadai
(adequate), segera (pompt) dan efektif (effective).
BAB 10
Sedangkan konflik adalah istilah umum atau genus dari pertikaian (hostility) antara
pihak-pihak yang sering kali tidak fokus.
Dengan demikian, setiap sengketa adalah konflik, tetapi tidak semua konflik dapat
dikategorikan sebagai sengketa (dispute). Sedangkan antara Indonesia dengan Malaysia
menyangkut kepemilikan atas Pulau Sipadan Ligitan adalah sengketa (dispute), namun
demikian perseteruan antara Amerika dengan Iran sejak kejatuhan syah Iran adalah konflik
mengingat begitu kompleksnya permasalahan antara kedua negara. Demikian halnya problem
dengan Israel-Arab, menurut Merrils lebih tepat dikategorikan sebagai ”situation” atau
konflik menurut istilah John Collier. Hal ini dikarenakan kompleksnya permasalahan pihak-
pihak terkait, dan dalam situations itu umumnya terdapat banyak specific dispute.
Sengketa internasional adalah sengketa yang bukan secara ekslusif merupakan urusan
dalam negeri suatu negara. Sengketa internasional juga tidak hanya ekslusif menyangkut
hubungan antarnegara saja, mengingat subjek-subjek hukum internasional saat ini sudah
mengalami perluasan sedemikian rupa melibatka banyak aktor nonnegara.
1. Interpretation of a treaty
2. Any question of international law
3. The existance of any fact which, if established, would constitude a breach of an
international obligation
4. The nature or extent of the reparation to be made for the breach of an international
obligation
Terkait dengan sengketa international sangat menarik kiranya apa yang dikemukakan oleh
John Collier bahwa fungsi hukum penyelesaian sengketa internasional manakala terjadi
sengketa internasional adalah to manage, rather tah to supress or to resolve a dispute.
1. Secara Damai:
a. Jalur Politik:
1) Negosiasi
2) Mediasi
3) Jasa baik (good offices)
4) Inquiry
b. Jalur Hukum
1) Arvitrase
2) Pengadilan internasional
2. Secara Kekerasan
a. Perang
b. Non perang: pemutusan hubungan diplomatik, restorasi, blokade, embargo,
reprisal.
Pada dasarnya tidak ada kewajiban negara untuk memilih satu prosedur tertentu.
Tidak ada pula kewajiban untuk menggunakan prosedur sesuai urutan yang diberikan oleh
Pasal 33 Piagam PBB. Namun demikian, kewajiban pihak-pihak bersengketa adalah
menyelesaikan sengketanya secara damai. Kegagalan para pihak untuk memperoleh
penyelesaian secepat mungkin mewajibkan mereka untuk tetap melanjutkan mencari upaya
penyelesaian damai, berkonsultasi satu sama lain dengan cara-cara yang disepakati bersama.
Negara harus senantiasa menahan diri dari segala tindakan yang dapat membesarkan masalah,
mengancam perdamaian keamanan, serta mempersulit upaya penyelesaian damai. Kewajiban
ini tidak hanya untuk menggunakan cara-cara penyelesaian sengketa secara damai, tetapi juga
menjaga dan menahan diri dari rindaka-tindakan yang makin memperburuk situasi.
a. Retorsi
Adalah tindakan tidak bersahabat yang dilakukan oleh suatu negara terhadap
negara lian yang telah lebih dahulu melakukan tindakan yang tidak bersahabat.
Retorsi merupakan tindakan pembalasan terhadap negara lain yang telah melakukan
perbuatan tidak sopan atau tindakan tidak adil. Biasanya retorsi berupa tindakan yang
sama atau yang mirip dengan tindakan yang telah dilakukan oleh negara yang dikenai
retorsi. Dapat dicontohkan misalnya deportasi dibalas dengan deportasi atau
pernyataan persona non grata dibalas dengan pernyataan persona non grata.
Retorsi adalah tindakan sah yang dimaksudkan untuk merugikan negara yang
telah melakukan pelanggaran. Retorsi juga merupaka tindakan self help. Wujud retorsi
antara lain:
1) Pemutusan hubungan diplomatik;
2) Pencabutan hak-hak istimewa diplomatik;
3) Penarikan konsesi pajak atau tarif;
4) Penghentian bantuan ekonomi.
b. Reprisal
Atau pembalasan adalah salah satu istilah yang telah dikenal sejak lama.
Perkembangan selanjutnya, reprisal diartikan sebagai upaya pemaksa yang dilakukan
oleh suatu negara terhadap negara lain, dengan maksud untuk menyelesaikan sengketa
yang timbul karena negara yang dikenal reprisal telah melakukan tindakan yang ilegal
atau tidaka yang tidak bisa dibenarkan.
Dengan demikian, reprisal sebenarnya merupakan tindakan permusuhan yang
dilakukan oleh suatu negara terhadap negara lain sebagai upaya perlawanan untuk
memaksa negara lain tersebut menghentikan melakukan tindakan ilegalnya. Wujud
tindakan reprisal antara lain:
1) Pemboikotan barang
2) Embargo
3) Demonstrasi angkatan laut
4) Pengeboman
d. Embargo
Merupakan prosedur lain untuk memperoleh ganti rugi dari negara lain.
Embargo adalah larangan ekspor barang ke negara yang dikenai embargo. Selain itu
embargo dapat diterapkan sebagai sanksi bagi negara yang banyak melakukan
pelanggaran hukum internasional. Embargo lebih sedikit risikonya untuk meningkat
menjadi perang.
e. Perang
1) Legalitas perang sebelum dan pasca Piagam PBB 1945
Perang bertujuan untuk menaklukkan negara lawan sehingga negara yang
kalah tidak memiliki alternatif lain kecuali menerima syarat-syarat penyelesaian
yang ditentukan oleh negara pemeneng perang. Denga berakhirnya perang berarti
sengketa telah diselesaikan.
Dalam kasus driefontein Consolidated gold mines v Janson, dikatakan perang:
Apabila perselisihan antara negara-negara mencapai suatu titik di mana kedua
belah pihak berusaha untuk memaksa atau salah satu dari mereka melakukan
tindakan kekerasan, yang dipandang oleh pihak lain sebagai suatu pelanggaran
perdamaian, maka terjadi hubungan perang, di mana pihak-pihak yang bertempur
satu sama lain dapat menggunakan kekerasan sesuai dengan peraturan sampai
salah satu dari mereka menerima syarat-syarat sebagaimana yang dikehendaki
oleh musuhnya.
Pada awal perkembangan hukum internasional, penggunaan kekerasan (use of
force) oleh negara diatur oleh Just War Doctrine yang dikembangkan antara lain
oleh ST Augustine dan Grotius. Doktrin ini menyatakan bahwa perang adalah
ilegal kecuali jika dilakukan untuk suatu ‘just cause’. Kekerasan atau perang
diizinkan sebagai suatu cara untuk menjamin hak suatu negara manakala tidak ada
cara lain yang efektif. Perang adil pada masa itu adalah suatu peperangan dengan
menggunakan peralatan perang yang sederhana yang disertai dengan pernyataan
perang oleh suatu pihak dan pihak lain yang akan diserang bersiap-siap untuk
membela diri.
Menurut John O’Brien suatu perang harus dimulai oleh: adanya suatu
pernyataan formal tentang perang oleh kedua negara. Menurut St Augustine (354-
430), perang yang adil didefinisikan sebagai pembalasan dari orang yang tertindas
atau luka terhadap pihak yang salah yang menolak kepada pihak yang bersalah
dan untuk memulihkan situasi damai pada akhir pertikaian. Senada dengan itu,
Thomas van Aquinas menyebutkan bahwa perang sebagai sanksi atau hukuman
atas subjek atas kesalahan terhadap seorang pelaku yang semestinya dihukum.
2) Pengaturan perang dalam Hukum Humaniter Internasional
Jika perang sudah tidak bisa dihindari maka para pihak harus tunduk pada
aturan hukum humaniter. Istilah Hukum Humaniter Internasional (international
humanitarian law applicable in armed conflict) merupakan istilah yang relatif
baru dalam kepustakaan hukum internasional. Istilah ini merupakan
perkembangan dari istilah-istilah sebelumnya yang kurang disukai seperti hukum
perang (laws of war) dan hukum konflik bersenjata (laws of armed conflict).
Kedua istilah ini ternyata mengundang kengerian dan trauma yang mendalam
terhadap penderitaan-penderitaan yang timbul akibat Perang Dunia Pertama juga.
Suatu hal yang lebih penting untuk diatur oleh hukum internasional adalah
bagaimana hukum bisa mencegah unnesseray suffering yang timbul oleh perang.
Hukum humaniter hanya mengatur agar suatu perang dapat dilakukan dengan
lebih memerhatikan prinsip-prinsip kemanusiaan sebagaimana yang dikemukakan
oleh Mohammed Bedjaoui bahwa tujuan hukum humaiter adalah untuk
memanusiawikan perang.
Ada beberapa tujuan hukum humaniter yang dapat dijumpai dalam berbagai
kepustakaan, antara lain:
a) Memberikan perlindungan terhadap kombatan maupun penduduk sipil dari
penderitaan yang tidak perlu;
b) Menjamin HAM yang sangat fundamental bagi mereka yang jatuh ke tangan
musuh. Kombatan yang jatuh ke tangan musuh harus dilindungi dan dirawat
serta berhak diperlakukan sebagai tawanan perang;
c) Mencegah dilakukannya perang secara kejam tanpa mengenal batas.