Anda di halaman 1dari 12

Beberapa Teori Mengenai Hakikat Hukum: Mahzhab Historis, Mahzhab

Positivis, Mahzhab Hukum Murni

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Filsafat Hukum Kelas F

Dosen Pengampu : Dr. Rehnalemken Ginting, S.H.,M.H.

Disusun Oleh:

Jovita Shafa Maharani (E0019219)

Lukas Chandra Gunawan (E0019241)

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

2022
A. PENDAHULUAN
Ilmu hukum adalah ilmu yang mempelajari hukum itu sendiri atau
objeknya adalah hukum. Berbicara mengenai ilmu hukum, tidak akan
terlepas dengan adanya teori-teori hukum. Teori-teori hukum merupakan
upaya atau sebuah respon terhadap krisis-krisis sosial-politik yang terjadi di
tengah masyarakat. Teori-teori hukum mengemukakan sebuah pemikiran
atau cara untuk keluar dari krisis dan menjangkau tantanan kehidupan
bersama yang lebih baik. Seperti telah dikemukakan lebih dulu, dalam teori
tentang hukum orang mencoba untuk mengemukakan suatu konstruksi
permikiran dengan bertolak dari postulat-postuliat serta premis-premis
tertentu untuk melalui suatu metode tertentu, mendekati atau menerangkan
suatu objek atau masalah yang berkenaan dengan hukum.
Dalam kajian filsafat hukum, dikenal beberapa aliran tentang hukum
diantaranya: (a) Aliran hukum alam; (b) Aliran hukum positif; (c) Aliran
hukum murni; (d) Mazhab sejarah; (e) Aliran sosiological jurisprudence; (f)
Aliran Realisme hukum. Dalam makalah ini kami akan mencoba
memaparkan teori tentang Mazhab sejarah, Mazhab positivisme, dan
Mazhab hukum murni.

B. ISI
1. Mazhab Historis
Mazhab Sejarah dipelopori oleh seorang ahli hukum bangsa Jerman
Friedrich Karl von Savigny (1779-1861). Menurut Savigny di dunia ini
terdapat beragam bangsa dimana tiap bangsa memiliki volksgeist atau jiwa
bangsanya masing-masing. Aneka ragam jiwa bangsa tersebut dapat dilihat
melalui berbagai ragam bahasa, adat istiadat dan organisasi sosial
masyarakat yang dimiliki oleh tiap bangsa. Perbedaan jiwa bangsa tersebut
juga menimbulkan perbedaan pandangan tentang keadilan. Dalam
pandangan von Savigny, hukum tidaklah berada demi dirinya sendiri.
Artinya, dia terjadi dan berada karena dikehendaki. Hakikat hukum lahir
terutama karena manusia yang membutuhkan hukum dalam hidupnya (yang
seharusnya lebih banyak dikendalikan oleh akalnya dan sedikit sekali oleh
nalurinya). Pernyataan itu rnenjadi tonggak dari teori historis tentang
hukum. Von Savigny malah menekankan bahwa hukum tidak hanya tumbuh
dari 'norma-norma pra-hukum` saja, melainkan mengikuti pertumbuhan dari
etik sosial. Akibatnya, hukum sebagaimana dia menampilkan diri dalam
pranata-pranata yang dipraktekkan oleh masyarakat, sebenarnya merupakan
refleksi dari jiwa masyarakat tersebut. Dalam kerangka itulah von Savigny
menolak kodifikasi untuk Jerman, karena efeknya yang menghambat
perkembangan hukum. Dalam pandangannya, kodifikasi adalah sesuatu
yang tidak memiliki dinamik historis untuk dapat tumbuh sinambung
bersama rakyat.
Savigny memiliki pandangan yang bertolak belakang dengan Aliran
Hukum Alam yang memandang bahwa hukum bersifat universal dan abadi.
Ia berpendapat bahwa hukum mengalami perubahan sesuai dengan keadaan
masyarakat dari masa ke masa, sehingga tidak mungkin ada hukum yang
bisa berlaku untuk semua bangsa. Pendapat Savigny juga bertolak belakang
dengan Positivisme Hukum. Menurutnya hukum timbul bukan karena
perintah penguasa atau karena kebiasaan, tetapi karena perasaan keadilan
yang terletak di dalam jiwa bangsa. Hukum tidak dibuat, tetapi tumbuh dan
berkembang bersama masyarakat.
Ada beberapa catatan yang perlu kita ketahui mengenai pemikiran
Savigny:
1. Jangan sampai kepentingan golongan masyarakat tertentu dianggap
sebagai jiwa bangsa dari seluruh masyarakat.
2. Tidak selamanya peraturan perundang-undangan timbul begitu saja.
Misalnya ketentuan mengenai serikat kerja di Inggris yang terwujud
melalui perjuangan keras.
3. Jangan sampai peran hakim dan ahli hukum lainnya tidak mendapat
perhatian. Meskipun jiwa bangsa dapat menjadi bahan kasarnya,
harus ada yang menyusunnya untuk diproses menjadi bentuk hukum.
4. Pada banyak kasus peniruan memainkan peranan yang lebih besar.
Misalnya banyak bangsa yang secara sadar mengambil alih hukum
Romawi dan mendapat pengaruh dari hukum Prancis.

Seorang murid dari von Savigny yang terkemuka adalah Georg


Friedrich Puchta (1798-1846) yang meletakkan dasar bagi ajaran
Begriffsjurisprudenz yang banyak dibahas itu. Ajaran Begriffsjurisprudenz
pada pokoknya menerangkan. bahwa kaidah-kaidah hukum ditarik secara
deduktif dari pengertian-pengertian dasar. Menurut Puchta hukum dapat
terbentuk:

1. Secara langsung berupa adat istiadat.


2. Melalui undang-undang.
3. Melalui ilmu hukum dalam bentuk karya para ahli hukum.

Puchta membagi pengertian bangsa menjadi dua jenis, yaitu bangsa


dalam pengertian etnis yang disebut bangsa alam dan bangsa dalam arti
nasional yang merupakan kesatuan organis yang membentuk sebuah negara.
Hukum yang sah dimiliki oleh bangsa dalam pengertian nasional (negara),
sedangkan bangsa alam hanya memiliki hukum sebagai keyakinan.
Keyakinan hukum yang hidup dalam jiwa bangsa harus disahkan melalui
kehendak umum masyarakat. Pengesahan hukum tersebut dilakukan dengan
cara membentuk undang-undang.
Pemikiran Puchta memiliki kesamaan dengan Teori Absolutisme
Negara dan Positivisme Yuridis. Puchta berpandangan bahwa pembentukan
hukum dalam suatu negara tidak membuka peluang bagi sumber hukum
selain kekuasaan negara, seperti hukum adat dan pemikiran ahli hukum.
Praktik hukum dalam adat istiadat bangsa hanya berlaku sebagai hukum
sesudah disahkan oleh negara, demikian pula dengan buah pemikiran para
ahli hukum memerlukan pengesahan oleh negara agar dapat berlaku sebagai
hukum. Di sisi yang lain, pihak yang berkuasa dalam negara tidak
membutuhkan dukungan apapun. Ia berhak untuk membentuk undang-
undang tanpa memerlukan bantuan para ahli hukum dan tidak perlu
menghiraukan apa yang dipraktikkan sebagai adat istiadat. Ajaran Puchta
dikembangkan lebih jauh oleh Georg Besseler (1809-1885), yang pada
gilirannya mempunyai murid Otto Gierke (1841-1921) yang menerbitkan
bukunya Das deutsche Genossenschaftsrecht (Hukum Koperasi Jerman,
1913). Otto Gierke terkenal karena pernyataan kuncinya yang mewakili
aliran historis: "Das. Recht wird und lebt mit dem Volke" (Hukum itu terjadi
dan hidup bersama rakyat). Seberapa jauh kebenaran dari pernyataan itu,
dapat kita nilai sendiri melalui pengalaman sehari-hari. Seperti yang terjadi
di zaman Orde lama maupun Orde Baru dan zaman Reformasi, boleh-boleh
saja Pemerintah dan DPR memberlakukan berbagai peraturan atau undang-
undang, tetapi semua itu cuma akan menjadi huruf mati, jika Begriff atau
konsep yang menjadi jiwa dari peraturan atau undang-undang itu ternyata
tidak berakar dalam pemahaman rakyat. Dalam kerangka Mazhab Historis,
Begriff itu justru lahir dari pemahaman rakyat mengenai apa yang benar atau
tidak benar, serta mengenai apa yang adil atau tidak adil.
Mazhab Historis bukannya tidak memiliki kelemahan, kendati dia
bisa bersandar pada adagium Romawi kuno yang berbunyi vox populi vox
Dei (pendapat rakyat adalah pendapat Tuhan), sehingga diasumsikan bahwa
pandangan rakyat itu selalu merupakan pandangan yang benar. Pandangan
yang hidup di kalangan rakyat serta perkembangan perilaku rakyat bisa saja
semakin hari semakin menyimpang dari akal sehat yang akan menghasilkan
anomali sosial dan pada akhirnya mengantarkan masyarakat/negara menuju
keruntuhan. Sejarah dunia bukannya kekurangan cerita mengenai negara-
negara yang runtuh atau bangsa-bangsa yang sirna. Itulah sebabnya,
mengapa dalam kerangka pikir Platon, rakyat juga perlu menjalani proses
pendidikan untuk bisa menuju kepada kehidupan yang lebih baik. Proses
pendidikan itu diselenggarakan oleh mereka yang telah mendekati
kebijaksanaan, sehingga sanggup berperanan sebagai pemimpin yang
bijaksana yang mampu menunjukkan wawasan masa depan yang lebih
baik.

2. Mazhab Positivisme
Positivisme adalah suatu aliran filsafat yang mula-mula
diperkenalkan oleh Saint-Simon (1760-1825) dari Prancis dan kemudian
dikembangkan lebih jauh oleh dan memperoleh formatnya yang
berpengaruh dari Auguste Comte (1798-1857), juga dari Prancis.
Positivisme adalah aliran pemikiran yang bekerja berdasarkan empirisme,
dalam upaya untuk merespons keterbatasan yang diperlihatkan oleh filsafat
spekulatif seperti yang menonjol lewat aliran Idealisme Jerman klasik
(terutama Immanuel Kant). Auguste Comte adalah pemikir yang mula-mula
mengembangkaan aliran pemikiran positivisme sebagai sosiologi. Comte
terkenal karena teorinya yang mengatakan bahwa kemajuan masyarakat
manusia berlangsung menurut 'Hukum Tiga Stadium'. Dalam stadium
teologis, alam semesta diterangkan secara supra natural. Berikutnya, dalam
stadium filsafat semua hal ada (F: letre, D: das Sein) diterangkan dengan
kekuatan akal dan gagasan. Baru dalam stadium positif pemaduan aneka
gejala itu dimungkinkaan dalam bentuk hukum. Karena itulah, sementara
kalangan pemikir di bidang hukum melihat relevansi dari positivisme yang
dikembangkan oleh Comte itu. Dalam bukunya Cours de la philosophie
positive (F: Kursus Filsafat Positif, 1842) Comte membangun urutan
epistemologis atau urutan perkembangan ilmu pengetahuan sebagai berikut:
matematik astronomi -> fisika -> ilmu kimia -> biologi -> sosiologi.
Menurut Comte, para 'insinyur sosial' akan mampu menenteramkan
masyarakat dengan membangun suatu agama kemanusiaan yang
menjadikan dirinya sendiri sebagai pusat orientasi.
Anehnya, para pemikir hukum di Jeman-lah yang menaruh perhatian
terhadap kemungkinan kegunaan dari positivisme di bidang hukum. Mula-
mula Rudolf von Jhering (1818-1892) menempatkan diri berhadapan
dengan ‘kaum historis’ seperti yang dirintis oleh von Savigny. Tetapi,
adalah lebih-lebih bukunya Der Zweck im Recht (D: Kegunaan dalam
Hukum, 1877/1883) yang menghebohkan, karena di dalamnya dia
menegaskan pandangannya yang positivistik: Negara adalah satu-satunya
sumber hukum. Konsekuensi logis dari pernyataan itu adalah bahwa di luar
negara tidak terdapat hukum, dan itu adalah konsekuensi yang tidak terlalu
akseptabel karena bisa menjurus ke absolutisme. Salah satu bahaya besar
dari pandangan itu adalah penempatan negara pada posisi yang absolut lagi
sambil mengesampingkan proses kemasyarakatan yang bisa saia
berlangsung di luar bidang politik. Langkah besar lain yang dilakukan oleh
von Jhering adalah menapak dari könsep Begriffsjurisprudenz
(yurisprudensi pengertian) menuju konsep Interessenjurisprudenz
(yurisprudensi kepentingan). Konsep ini memandang berbagai kepentingan
hidup manusia (kebutuhan hidup, peranan, pengharapan, dan sebagainya)
sebagai faktor-faktor yang menjadi penyebab dari terjadinya hukum.
Argumentasi dari von Jhering dilanjutkan kemudian oleh Eugen
Ehrlich (1862-1922). Program pokok dari positivisme di bidang hukum
adalah usaha untuk mengembalikan hukum kepada kenyataan eksistensial
(D: Seinstatsachen). Dalam kerangka seperti itu, setiap perilaku yang
dilakukan berulang kali akan dianggap sebagai hukum, sedangkan apa yang
dianggap normal akan menjadi norma. Itulah sebabnya mengapa Ehrlich
menganggap ilmu hukum yang sebenarnya sebagai bagian dari sosiologi.
Ada bahaya yang cukup jelas dalam positivisme dari Ehrlich. Karena
masyarakat dapat kalah dalam melawan oligarkhi yang korup tetapi solid,
orang dapat menjadi semakin apatis terhadap korupsi dan kolusi sedemikian
rupa, sehingga korupsi dan kolusi dianggap sebagai perilaku yang normal
belaka semata-mata karena sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-
hari. Apakah karena itu korupsi dan kolusi lalu pantas dijadikan norma
juga? Interesse sesat seperti inilah yang ditentang oleh Jürgen Habermas dan
Niklas Luhmann. Luhmann misalnya mengajukan argumentasi bahwa
hanya karena kenyataan bahwa hukum itu telah dilanggar tidaklah
mengakibatkan bahwa hukum itu bukanlah hukum. Di Amerika positivisme
yuridis didukung oleh, O.W. Holmes (terutama melalui bukunya The Path
of the Law, sedangkan di Inggris oleh J.B. Watson (yang terkenal karena
aliran "Behaviorism").
Secara sederhana positivisme hukum menganut dua prinsip dasar,
yakni: Pertama, hanya undang-undang yang disebut hukum, di luar undang-
undang tidak ada hukum. Kedua, negara atau otoritas merupakan satu-
satunya sumber hukum. Implikasi dari dua prinsip ini adalah bahwa setiap
undang-undang yang telah ditetapkan oleh otoritas yang sah harus dianggap
hukum yang harus dipatuhi, apapun isi dari hukum tersebut.
Konsekuensinya, hukum akan menjadi alat legitimasi dari pemegang
kekuasaan dalam menjalankan dan mempertahankan kekuasaannya. Hal ini
pernah berlaku pada masa pemerintahan Nazi di bawah kepemimpinan
Hitler di Jerman, Musolini di Italia, dan lain-lain. Apapun bentuk hukum
yang lahir setelah ditetapkan dalam bentuk undangundang dan disahkan
oleh negara, maka ia dianggap sah dan harus dipatuhi oleh rakyat.
Oleh karena itu, positivisme hukum hanya memiliki satu kelebihan,
dengan banyak kelemahan. Kelebihannya adalah adanya jaminan kepastian
hukum dan masyarakat dengan mudah mengetahui apa yang boleh dan apa
yang tidak boleh dilakukan. Negara atau pemerintah akan bertindak dengan
tegas sesuai dengan apa yang telah ditetapkan dalam undang-undang,
sehingga tugas hakim relatif lebih mudah, karena tidak perlu
mempertimbangkan nilai-nilai keadilan dan kebenaran, tetapi hanya sekedar
menerapkan ketentuan undangundang terhadap kasus konkrit. Adapun
kelemehannya adalah:
1. Hukum sering dijadikan alat bagi penguasa, untuk mempertegas dan
melanggengkan kekuasaannya. Karena itu, tidak jarang terjadi
hukum yang semestinya menjamin perlindungan bagi masyarakat,
malah menindas rakyat.
2. Undang-undang bersifat kaku terhadap perkembangan zaman.
Seperti diketahui, perkembangan masyarakat itu berjalan cukup
cepat dan kadang-kadang tidak dapat diduga sebelumnya. Karena
itu, undang-undang sering tidak mampu mengikuti perkembangan
yang pesat tersebut.
3. Undang-undang sebagai hukum tertulis tidak mampu
mengakomodasi semua persoalan kemasyarakatan. Karena,
mustahil undang-undang mencantumkan semua persoalan politik,
budaya, ekonomi, sosial dan lain-lain.
Oleh karena adanya beberapa kelemahan ini, maka mau tidak mau
harus mengakui keberadaan hukum tidak tertulis. Menurut Bagir Manan,
hukum tak tertulis ini mempunyai peranan sebagai berikut:
1. Merupakan instrumen yang melengkapi dan mengisi berbagai
kekosongan hukum dari suatu peraturan perundang-undangan.
2. Merupakan instrumen yang memberikan dinamika atas peraturan
perundang-undangan.
3. Merupakan instrumen relaksasi atau koreksi atas peraturan
perundang-undangan agar lebih sesuai dengan tuntutan
perkembangan, rasa keadilan dan kebenaran yang hidup dalam
masyarakat

3. Mazhab Hukum Murni


Ajaran hukum-murni dikenal juga dengan nama 'Neokantianisme'.
Disebut demikian, karena kaum Neokantianis seperti Rudolf Stammler,
Gustav Radbruch dan Hans Kelsen, kembali mempersoalkan pemisahan
antara das Sollen (yang harus) dan das Sein (yang ada). Itu adalah cerita
lama yang mulai dimunculkan oleh Platon dua milenium sebelumnya dan
dipersoalkan lagi oleh Immanuel Kant. Adalah terutama Hans Kelsen yang
melalui pengasingannya di Amerika Serikat selama Perang Dunia II telah
membangun pengaruh besar terhadap perkembangan teori hukum setelah
berakhirnya perang.
Politik dari Adolf Hitler memang amat merisaukan Kelsen yang
mantan hakim agung dan guru besar untuk hukum tata negara di Wina,
Austria. Kelsen menyaksikan bagaimana Hitler menjalankan suatu politik
hukum yang memanfaatkan hukum demi politik dan kekuasaan, dan
bukannya untuk menegakkan keadilan. Padahal, Sokrates sudah
mengajarkan bahwa kekuasaan adalah alat untuk menegakkan hukum, dan
bukan sebaliknya. Karena itu, dalam bukunya Reine Rechtslehre (Ajaran
Hukum Murni, 1960) dia berusaha untuk membersihkan hukum dari anasir-
anasir politik dan kekuasaan.
Menurut Kant konsep keadilan memang potensial ada dalam diri
setiap orang. Namun persoalannya adalah bahwa tidak setiap orang mampu
menyadari dan memahami potensi itu. Karena itu Kelsen berusaha untuk
mengembalikan seluruh kompleks hukum kepada suatu kaidah dasar yang
disebutnya Grundnorm. Dan di atas Grundnorm itulah dibangunnya
Sturenbau, yaitu struktur hukum dan peraturan-peraturan untuk
melaksanakan gagasan keadilan yang dikandung oleh Grundnom itu.
Dengan demikian Grundnorm merupakan salah satu konsep sentral
dalam ajaran Kelsen. Disebut demikian, karena sebagai norma dasar,
validitasnya tidak perlu dan tidak bisa dipertanyakan lebih jauh.
Persoalannya adalah, meskipun Grundnorm itu merupakan penentu nilai
keadilan yang tertinggi, dia tidak pernah dapat dinalari sampai tuntas. Dan
justru hal itu sudah disadari oleh Cicero 20 abad yang lalu ketika dia
mengatakan "Summum ius, Summa iniuria." Namun, Kelsen menolak
tuduhan bahwa dia hendak mendirikan positivisme hukum. Lebih tepat
adalah, dia hendak membangun hukum positif yang bersumber pada hukum
yang murni. Hukum positif itu sendiri bersifat dinamis. Karena itu teleologi
dan hermeneutik berperan bagi manusia sebagai metode untuk terus-
menerus menafsirkan dan merumuskan ulang hukum alam yang tidak
berubah itu. Hukum alam mencerminkan citra penciptaan alam semesta
sebagai konsepsi yang sempurna. Adalah keterbatasan manusia yang
memojokkannya untuk terus-menerus harus menemukan jalan guna
menempatkan diri dalam alam yang sempurna itu. Proses yang terus-
menerus ini berhubungan dengan Mazhab selanjutnya, yaitu Mazhab
Dialektis.

C. PENUTUP
Penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa mazhab historis
pertama kali dikembangkan oleh Von Savigny yang menekankan bahwa
“hukum tidak hanya tumbuh dari norma-norma pra hukum saja melainkan
meliputi pertumbuhan dari etik sosial”. Sehingga sebenarnya hukum
merupakan refleksi dari jiwa masyarakat tersebut. “Hukum karena itu
tumbuh terus bersama rakyat, berkembang bersamanya, kemudian akhirnya
sirna bersama rakyat”. Pendapatnya lalu dikembangkan oleh muridnya yaitu
Georg Friederich Puchta yang menerangkan bahwa “kaidah-kaidah hukum
ditarik secara deduktif dari pengertian pengertian dasar”. Ajarannya
dikembangkan lebih jauh oleh George Beseller lalu dikembangkan lagi oleh
Otto Gierke dimana ia berpendapat bahwa “hukum itu terjadi dan hidup
bersama rakyat”.
Sedangkan pada masa positivis pertama kali dikembangkan oleh
Saint-Simon lalu dikembangkan lebih jauh oleh Auguste Comte di mana
menurutnya para “Insinyur sosial akan mampu menentramkan masyarakat
dengan membangun suatu agama kemanusiaan yang menjadikan dirinya
sendiri sebagai pusat orientasi”. Lalu pendapatnya dikembangkan oleh
Rudolf Von Jhering dimana ia berpendapat bahwa “hukum adalah
pengertian pokok dari kaidah-kaidah yang memaksa dalam suatu negara
sehingga negara adalah satu-satunya sumber hukum”. Lalu argumentasi
Von Jhering dilanjutkan oleh Eugen Erhlich di mana menurutnya “setiap
perilaku yang dilakukan berulang kali akan dianggap sebagai hukum
sedangkan apa yang dianggap normal akan menjadi norma”. Lalu di
Amerika positivisme yuridis didukung oleh pendapat dari O.W Holmes
dalam bukunya ‘The Path Of The Law’ sedangkan di Inggris oleh J.B.
Watson yang terkenal karena aliran behaviorisme.
Dalam mazhab hukum murni dikenal dengan nama Neokantianisme
dengan tokoh Rudolf Stammler, Gustav Radbruch dan Hans Kelsen di mana
pada teori ini kembali mempersoalkan pemisahan antara Das sollen dan Das
Sein. Menurut Hans Kelsen dalam bukunya ajaran hukum murni dia
berusaha untuk “membersihkan hukum dari anasir-anasir politik dan
kekuasaan” karena itu Kelsen berusaha untuk mengembalikan seluruh
kompleks hukum kepada suatu kaidah dasar yang disebutnya Grundnorm
diatas Grundnorm itulah dibangun Stufenbau yaitu struktur hukum dan
peraturan-peraturan untuk melaksanakan gagasan keadilan yang dikandung
oleh Grundnorm. Grundnorm merupakan salah satu konsep sentral dalam
ajaran Kelsen disebut demikian karena sebagai norma dasar validitasnya
tidak perlu dan tidak bisa dipertanyakan lebih jauh.

DAFTAR PUSTAKA

Budiono Kusumohamidjojo. 2011. Filsafat Hukum, Problematik Ketertiban Yang


Adil. Bandung. Mandar Maju.
Najwan, Johni. "Implikasi Aliran Positivisme Terhadap Pemikiran Hukum."
INOVATIF| Jurnal Ilmu Hukum 2, no. 3 (2010).
Saiful Anam. 2013. "TEORI HUKUM MURNI DAN PERMASALAHANNYA”.
Diakses pada https://www.saplaw.top/teori-hukum-murni-dan-
permasalahannya/
Suharto, Bekti, and Menyoal Sudut Pandang. "Kritik Terhadap Epistemologi
Positivisme Hukum'." In Prosiding Seminar Nasional. 2015.
Wibowo T. Tunardy, M.Kn. 2021. "Mazhab Sejarah - Jurnal Hukum". Jurnal
Hukum. Diakses pada https://www.jurnalhukum.com/mazhab-sejarah/.

Anda mungkin juga menyukai