Disusun Oleh:
FAKULTAS HUKUM
2022
A. PENDAHULUAN
Ilmu hukum adalah ilmu yang mempelajari hukum itu sendiri atau
objeknya adalah hukum. Berbicara mengenai ilmu hukum, tidak akan
terlepas dengan adanya teori-teori hukum. Teori-teori hukum merupakan
upaya atau sebuah respon terhadap krisis-krisis sosial-politik yang terjadi di
tengah masyarakat. Teori-teori hukum mengemukakan sebuah pemikiran
atau cara untuk keluar dari krisis dan menjangkau tantanan kehidupan
bersama yang lebih baik. Seperti telah dikemukakan lebih dulu, dalam teori
tentang hukum orang mencoba untuk mengemukakan suatu konstruksi
permikiran dengan bertolak dari postulat-postuliat serta premis-premis
tertentu untuk melalui suatu metode tertentu, mendekati atau menerangkan
suatu objek atau masalah yang berkenaan dengan hukum.
Dalam kajian filsafat hukum, dikenal beberapa aliran tentang hukum
diantaranya: (a) Aliran hukum alam; (b) Aliran hukum positif; (c) Aliran
hukum murni; (d) Mazhab sejarah; (e) Aliran sosiological jurisprudence; (f)
Aliran Realisme hukum. Dalam makalah ini kami akan mencoba
memaparkan teori tentang Mazhab sejarah, Mazhab positivisme, dan
Mazhab hukum murni.
B. ISI
1. Mazhab Historis
Mazhab Sejarah dipelopori oleh seorang ahli hukum bangsa Jerman
Friedrich Karl von Savigny (1779-1861). Menurut Savigny di dunia ini
terdapat beragam bangsa dimana tiap bangsa memiliki volksgeist atau jiwa
bangsanya masing-masing. Aneka ragam jiwa bangsa tersebut dapat dilihat
melalui berbagai ragam bahasa, adat istiadat dan organisasi sosial
masyarakat yang dimiliki oleh tiap bangsa. Perbedaan jiwa bangsa tersebut
juga menimbulkan perbedaan pandangan tentang keadilan. Dalam
pandangan von Savigny, hukum tidaklah berada demi dirinya sendiri.
Artinya, dia terjadi dan berada karena dikehendaki. Hakikat hukum lahir
terutama karena manusia yang membutuhkan hukum dalam hidupnya (yang
seharusnya lebih banyak dikendalikan oleh akalnya dan sedikit sekali oleh
nalurinya). Pernyataan itu rnenjadi tonggak dari teori historis tentang
hukum. Von Savigny malah menekankan bahwa hukum tidak hanya tumbuh
dari 'norma-norma pra-hukum` saja, melainkan mengikuti pertumbuhan dari
etik sosial. Akibatnya, hukum sebagaimana dia menampilkan diri dalam
pranata-pranata yang dipraktekkan oleh masyarakat, sebenarnya merupakan
refleksi dari jiwa masyarakat tersebut. Dalam kerangka itulah von Savigny
menolak kodifikasi untuk Jerman, karena efeknya yang menghambat
perkembangan hukum. Dalam pandangannya, kodifikasi adalah sesuatu
yang tidak memiliki dinamik historis untuk dapat tumbuh sinambung
bersama rakyat.
Savigny memiliki pandangan yang bertolak belakang dengan Aliran
Hukum Alam yang memandang bahwa hukum bersifat universal dan abadi.
Ia berpendapat bahwa hukum mengalami perubahan sesuai dengan keadaan
masyarakat dari masa ke masa, sehingga tidak mungkin ada hukum yang
bisa berlaku untuk semua bangsa. Pendapat Savigny juga bertolak belakang
dengan Positivisme Hukum. Menurutnya hukum timbul bukan karena
perintah penguasa atau karena kebiasaan, tetapi karena perasaan keadilan
yang terletak di dalam jiwa bangsa. Hukum tidak dibuat, tetapi tumbuh dan
berkembang bersama masyarakat.
Ada beberapa catatan yang perlu kita ketahui mengenai pemikiran
Savigny:
1. Jangan sampai kepentingan golongan masyarakat tertentu dianggap
sebagai jiwa bangsa dari seluruh masyarakat.
2. Tidak selamanya peraturan perundang-undangan timbul begitu saja.
Misalnya ketentuan mengenai serikat kerja di Inggris yang terwujud
melalui perjuangan keras.
3. Jangan sampai peran hakim dan ahli hukum lainnya tidak mendapat
perhatian. Meskipun jiwa bangsa dapat menjadi bahan kasarnya,
harus ada yang menyusunnya untuk diproses menjadi bentuk hukum.
4. Pada banyak kasus peniruan memainkan peranan yang lebih besar.
Misalnya banyak bangsa yang secara sadar mengambil alih hukum
Romawi dan mendapat pengaruh dari hukum Prancis.
2. Mazhab Positivisme
Positivisme adalah suatu aliran filsafat yang mula-mula
diperkenalkan oleh Saint-Simon (1760-1825) dari Prancis dan kemudian
dikembangkan lebih jauh oleh dan memperoleh formatnya yang
berpengaruh dari Auguste Comte (1798-1857), juga dari Prancis.
Positivisme adalah aliran pemikiran yang bekerja berdasarkan empirisme,
dalam upaya untuk merespons keterbatasan yang diperlihatkan oleh filsafat
spekulatif seperti yang menonjol lewat aliran Idealisme Jerman klasik
(terutama Immanuel Kant). Auguste Comte adalah pemikir yang mula-mula
mengembangkaan aliran pemikiran positivisme sebagai sosiologi. Comte
terkenal karena teorinya yang mengatakan bahwa kemajuan masyarakat
manusia berlangsung menurut 'Hukum Tiga Stadium'. Dalam stadium
teologis, alam semesta diterangkan secara supra natural. Berikutnya, dalam
stadium filsafat semua hal ada (F: letre, D: das Sein) diterangkan dengan
kekuatan akal dan gagasan. Baru dalam stadium positif pemaduan aneka
gejala itu dimungkinkaan dalam bentuk hukum. Karena itulah, sementara
kalangan pemikir di bidang hukum melihat relevansi dari positivisme yang
dikembangkan oleh Comte itu. Dalam bukunya Cours de la philosophie
positive (F: Kursus Filsafat Positif, 1842) Comte membangun urutan
epistemologis atau urutan perkembangan ilmu pengetahuan sebagai berikut:
matematik astronomi -> fisika -> ilmu kimia -> biologi -> sosiologi.
Menurut Comte, para 'insinyur sosial' akan mampu menenteramkan
masyarakat dengan membangun suatu agama kemanusiaan yang
menjadikan dirinya sendiri sebagai pusat orientasi.
Anehnya, para pemikir hukum di Jeman-lah yang menaruh perhatian
terhadap kemungkinan kegunaan dari positivisme di bidang hukum. Mula-
mula Rudolf von Jhering (1818-1892) menempatkan diri berhadapan
dengan ‘kaum historis’ seperti yang dirintis oleh von Savigny. Tetapi,
adalah lebih-lebih bukunya Der Zweck im Recht (D: Kegunaan dalam
Hukum, 1877/1883) yang menghebohkan, karena di dalamnya dia
menegaskan pandangannya yang positivistik: Negara adalah satu-satunya
sumber hukum. Konsekuensi logis dari pernyataan itu adalah bahwa di luar
negara tidak terdapat hukum, dan itu adalah konsekuensi yang tidak terlalu
akseptabel karena bisa menjurus ke absolutisme. Salah satu bahaya besar
dari pandangan itu adalah penempatan negara pada posisi yang absolut lagi
sambil mengesampingkan proses kemasyarakatan yang bisa saia
berlangsung di luar bidang politik. Langkah besar lain yang dilakukan oleh
von Jhering adalah menapak dari könsep Begriffsjurisprudenz
(yurisprudensi pengertian) menuju konsep Interessenjurisprudenz
(yurisprudensi kepentingan). Konsep ini memandang berbagai kepentingan
hidup manusia (kebutuhan hidup, peranan, pengharapan, dan sebagainya)
sebagai faktor-faktor yang menjadi penyebab dari terjadinya hukum.
Argumentasi dari von Jhering dilanjutkan kemudian oleh Eugen
Ehrlich (1862-1922). Program pokok dari positivisme di bidang hukum
adalah usaha untuk mengembalikan hukum kepada kenyataan eksistensial
(D: Seinstatsachen). Dalam kerangka seperti itu, setiap perilaku yang
dilakukan berulang kali akan dianggap sebagai hukum, sedangkan apa yang
dianggap normal akan menjadi norma. Itulah sebabnya mengapa Ehrlich
menganggap ilmu hukum yang sebenarnya sebagai bagian dari sosiologi.
Ada bahaya yang cukup jelas dalam positivisme dari Ehrlich. Karena
masyarakat dapat kalah dalam melawan oligarkhi yang korup tetapi solid,
orang dapat menjadi semakin apatis terhadap korupsi dan kolusi sedemikian
rupa, sehingga korupsi dan kolusi dianggap sebagai perilaku yang normal
belaka semata-mata karena sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-
hari. Apakah karena itu korupsi dan kolusi lalu pantas dijadikan norma
juga? Interesse sesat seperti inilah yang ditentang oleh Jürgen Habermas dan
Niklas Luhmann. Luhmann misalnya mengajukan argumentasi bahwa
hanya karena kenyataan bahwa hukum itu telah dilanggar tidaklah
mengakibatkan bahwa hukum itu bukanlah hukum. Di Amerika positivisme
yuridis didukung oleh, O.W. Holmes (terutama melalui bukunya The Path
of the Law, sedangkan di Inggris oleh J.B. Watson (yang terkenal karena
aliran "Behaviorism").
Secara sederhana positivisme hukum menganut dua prinsip dasar,
yakni: Pertama, hanya undang-undang yang disebut hukum, di luar undang-
undang tidak ada hukum. Kedua, negara atau otoritas merupakan satu-
satunya sumber hukum. Implikasi dari dua prinsip ini adalah bahwa setiap
undang-undang yang telah ditetapkan oleh otoritas yang sah harus dianggap
hukum yang harus dipatuhi, apapun isi dari hukum tersebut.
Konsekuensinya, hukum akan menjadi alat legitimasi dari pemegang
kekuasaan dalam menjalankan dan mempertahankan kekuasaannya. Hal ini
pernah berlaku pada masa pemerintahan Nazi di bawah kepemimpinan
Hitler di Jerman, Musolini di Italia, dan lain-lain. Apapun bentuk hukum
yang lahir setelah ditetapkan dalam bentuk undangundang dan disahkan
oleh negara, maka ia dianggap sah dan harus dipatuhi oleh rakyat.
Oleh karena itu, positivisme hukum hanya memiliki satu kelebihan,
dengan banyak kelemahan. Kelebihannya adalah adanya jaminan kepastian
hukum dan masyarakat dengan mudah mengetahui apa yang boleh dan apa
yang tidak boleh dilakukan. Negara atau pemerintah akan bertindak dengan
tegas sesuai dengan apa yang telah ditetapkan dalam undang-undang,
sehingga tugas hakim relatif lebih mudah, karena tidak perlu
mempertimbangkan nilai-nilai keadilan dan kebenaran, tetapi hanya sekedar
menerapkan ketentuan undangundang terhadap kasus konkrit. Adapun
kelemehannya adalah:
1. Hukum sering dijadikan alat bagi penguasa, untuk mempertegas dan
melanggengkan kekuasaannya. Karena itu, tidak jarang terjadi
hukum yang semestinya menjamin perlindungan bagi masyarakat,
malah menindas rakyat.
2. Undang-undang bersifat kaku terhadap perkembangan zaman.
Seperti diketahui, perkembangan masyarakat itu berjalan cukup
cepat dan kadang-kadang tidak dapat diduga sebelumnya. Karena
itu, undang-undang sering tidak mampu mengikuti perkembangan
yang pesat tersebut.
3. Undang-undang sebagai hukum tertulis tidak mampu
mengakomodasi semua persoalan kemasyarakatan. Karena,
mustahil undang-undang mencantumkan semua persoalan politik,
budaya, ekonomi, sosial dan lain-lain.
Oleh karena adanya beberapa kelemahan ini, maka mau tidak mau
harus mengakui keberadaan hukum tidak tertulis. Menurut Bagir Manan,
hukum tak tertulis ini mempunyai peranan sebagai berikut:
1. Merupakan instrumen yang melengkapi dan mengisi berbagai
kekosongan hukum dari suatu peraturan perundang-undangan.
2. Merupakan instrumen yang memberikan dinamika atas peraturan
perundang-undangan.
3. Merupakan instrumen relaksasi atau koreksi atas peraturan
perundang-undangan agar lebih sesuai dengan tuntutan
perkembangan, rasa keadilan dan kebenaran yang hidup dalam
masyarakat
C. PENUTUP
Penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa mazhab historis
pertama kali dikembangkan oleh Von Savigny yang menekankan bahwa
“hukum tidak hanya tumbuh dari norma-norma pra hukum saja melainkan
meliputi pertumbuhan dari etik sosial”. Sehingga sebenarnya hukum
merupakan refleksi dari jiwa masyarakat tersebut. “Hukum karena itu
tumbuh terus bersama rakyat, berkembang bersamanya, kemudian akhirnya
sirna bersama rakyat”. Pendapatnya lalu dikembangkan oleh muridnya yaitu
Georg Friederich Puchta yang menerangkan bahwa “kaidah-kaidah hukum
ditarik secara deduktif dari pengertian pengertian dasar”. Ajarannya
dikembangkan lebih jauh oleh George Beseller lalu dikembangkan lagi oleh
Otto Gierke dimana ia berpendapat bahwa “hukum itu terjadi dan hidup
bersama rakyat”.
Sedangkan pada masa positivis pertama kali dikembangkan oleh
Saint-Simon lalu dikembangkan lebih jauh oleh Auguste Comte di mana
menurutnya para “Insinyur sosial akan mampu menentramkan masyarakat
dengan membangun suatu agama kemanusiaan yang menjadikan dirinya
sendiri sebagai pusat orientasi”. Lalu pendapatnya dikembangkan oleh
Rudolf Von Jhering dimana ia berpendapat bahwa “hukum adalah
pengertian pokok dari kaidah-kaidah yang memaksa dalam suatu negara
sehingga negara adalah satu-satunya sumber hukum”. Lalu argumentasi
Von Jhering dilanjutkan oleh Eugen Erhlich di mana menurutnya “setiap
perilaku yang dilakukan berulang kali akan dianggap sebagai hukum
sedangkan apa yang dianggap normal akan menjadi norma”. Lalu di
Amerika positivisme yuridis didukung oleh pendapat dari O.W Holmes
dalam bukunya ‘The Path Of The Law’ sedangkan di Inggris oleh J.B.
Watson yang terkenal karena aliran behaviorisme.
Dalam mazhab hukum murni dikenal dengan nama Neokantianisme
dengan tokoh Rudolf Stammler, Gustav Radbruch dan Hans Kelsen di mana
pada teori ini kembali mempersoalkan pemisahan antara Das sollen dan Das
Sein. Menurut Hans Kelsen dalam bukunya ajaran hukum murni dia
berusaha untuk “membersihkan hukum dari anasir-anasir politik dan
kekuasaan” karena itu Kelsen berusaha untuk mengembalikan seluruh
kompleks hukum kepada suatu kaidah dasar yang disebutnya Grundnorm
diatas Grundnorm itulah dibangun Stufenbau yaitu struktur hukum dan
peraturan-peraturan untuk melaksanakan gagasan keadilan yang dikandung
oleh Grundnorm. Grundnorm merupakan salah satu konsep sentral dalam
ajaran Kelsen disebut demikian karena sebagai norma dasar validitasnya
tidak perlu dan tidak bisa dipertanyakan lebih jauh.
DAFTAR PUSTAKA