HUKUM
I. Pendahuluan
1. Latar Belakang
Dalam dunia keilmuan, teori menempati posisi yang sangat vital. Tidak
heran jika para ahli yang mencoba membedah hukum selalu berusaha
memvalidasi argumennya dengan mencantumkan teori tertentu untuk
memberikan justifikasi bahwa apa yang dijelaskannya sudah memenuhi
standar teoritis1. Teori paling tidak bisa menjadi sarana untuk bisa memahami
satu persoalan dengan lebih sistematis dan lebih baik. Namun demikian, teori
juga tidak bisa lepas dari unsur subyektifitas, apalagi jika berbicara tentang
suatu hal yang dimensinya konfleks seperti hukum. Oleh karena itu, muncul
berbagai aliran atau mazhab yang mencoba memahami hukum dalam
perspektif yang berbeda sesuai dengan aliran masing-masing2.
Banyaknya aliran/mazhab hukum membawa implikasi terhadap beragam cara
pemaknaan terhadap hukum3. Persis seperti ketika para ahli mencoba
memberikan arti hukum, sering dianalogikan dengan beberapa orang buta
yang meneliti gajah dari depan, akan memberikan definisi bahwa gajah itu
berbentuk panjang dan bulat, hal ini diketahui karena orang pertama tadi
mendapatkan belalainya. Tetapi pengertian ini akan berbeda dengan orang
buta kedua yang memberikan pengertian dari samping, begitu juga pengertian
orang buta ketiga yang memberikan pengertian dari hasil penelitiannya dari
arah belakang gajah.
Sama seperti diatas, teori hukum pun berkembang seluas pengertian hukum itu
sendiri. Pengertiannya pasti akan berbeda dan sangat tergantung dari sudut
mana kita melihatnya. Sebagai contoh, aliran historis melihat bahwa hukum
itu tidak dibentuk atau dibuat oleh pihak yag berkuasa akan tetapi hukum itu
ditemukan dan merupakan produk dari budaya yang hidup ditengan-tengah
masyarakat4. Oleh karenanya, beramgkat dari pandangan tersebut hampir
1 Otje Salman dan Antoni F. Susanto, Teori Hukum : mengingat, Mengumpulkan dan Menemukan
Kembali, ( Bandung, Refika Aditama, 2007),hlm. 45
3 Ada adugium menarik yang biasa digunakan oleh ahli hukum untuk menjustifakisi perbedaan
pendapat yang sering terjadi diantara mereka. Adagium itu berbunyi Bila sepuluh orang pakar
hukum berkumpul dan membicarakan batasan pengertian mengenai hukum, maka akan keluar
sebelas batasan pengertian
dapat dipasikan setiap aliran akan membawa pengaruh yang sangat signifikan
dalam pengembangan hukum suatu negara.
Jika ditelusuri belakang, istilah ilmu hukum historis biasanya diasosiasikan
oleh satu gerakan khusus dalam pemikiran hukum yang tokoh utamanya
adalah Friedrich Carl von Montesque dalam bukunya Lesprit des lois dan
kedua pengaruh faham nasionalisme yang mulai timbul pada awal abad ke 195.
Untuk selanjutknya, tulisan ini akan mencoba memaparkan tentang usaha
membangun pengembanan (pembaharuan) hukum yang sesuai dengan
karakter bangsa Indonesia. Hal ini menjadi sangat penting mengingat
perkembangan pemikiran hukum di Indonesia selama ini, banyak dipengaruhi
oleh tradisi hukum Eropa Kontinental atau civil law yang masuk melalui
kolonial Belanda dan berkembang dibawah bayang-bayang paradigma
positivisme yang menjadi paradigma mainstream di tanah asalnya Eropa
Kontinental. Paradigma ini pada dasarnya berasal dari filsafat positivisme
yang dikembangkan di bidang hukum. Paradigma positivisme memandang
hukum sebagai hasil positivisasi dari norma-norma yang telah dirundingkan
diantara warga masyarakat, sebagai sistem aturan yang bersifat otonom dan
netral6.
2. Permasalahan
Mengingat pembangunan hukum (teori hukum) di indonesia masih
dalam tahap pencarian bentuk melalui shared gagasan maka masih
terbuka ruang dialog untuk menemukan model hukum seperti apa yang
sepatutnya di terapkan di Indonesia. Untuk itu, dari uraian diatas
permasalahan yang akan dikaji dalam tulisan ini adalah Bagaimana
Pengaruh Pemikiran Mazhab Sejarah Terutama dalam rangka
pembaharuan hukum di Indonesia
II. Pembahasan
4 H. L. Syafruddin, , hasil diskusi pada kuliah Sejarah dan Politik Hukum Program
Magister Ilmu Hukum Universitas Mataram 2008
5 W. Friedmann, Legal Teori, alih bahsa Mohammad Arifin, Teori dan Filsafat
Hukum : Idealisme Filosofis dan Problem Keadilan, cet. I (Jakarta, CV. Rajawali,
1990), hlm. 60
11 Tokoh utama aliran utilitarianisme ini adalah Jeremy Bentham, John Stuart Mill
dan Von Jhering. Aliran ini, terutama Bentham mendasarkan filsafatnya pada
asas kemanfaatan. Menurutnya setiap tindakan manusia pada hakekatnya
bertujuan untuk mendatangkan kebahagiaan dan mengurangi penderitaan.
Berangkat dari cara berpikir seperti ini maka ukuran baik buruknya suatu
perbuatan tergantung dari seberapa besar kebahagiaan yang didatangkan oleh
perbuatan tadi. Demikian juga dengan hukum, perundang-undangan yang baik
harus mampu menjamin terpenuhinya kebahagian.
14 Salah seorang ahli sosiologi hukum Ehrlich berkebangsaan Austria yang juga
merupakan murid dari Savigny digolongkan sebagai salah satu tokoh mazhab
sociological jurisprudence, di anggap memiliki pandangan yang sama dengan
Savigny dikarenakan telah memperkenalkan konsep living law, namun demikian
tidak ada ahli hukum yang berani menyimpulkan bahwa pemikiran Ehrlich
memang dipengaruhi oleh gagasan Savigny. Sama seperti Savigny, Ehrlich tidak
melihat hukum sebagai suatu aturan yang berada di luar anggota-anggota
masyarakat, melainkan diwujudkan dan diungkapkan dalam kelakuan mereka
sendiri. Hukum lahir dari rahim kesadaran masyarakat akan kebutuhannya
(opinio necessitates). Lihat Rikardo Simarmata Socio-legal Studies dan Gerakan
Pembaharuan Hukum, Law, Society & Development, Volume I Desember 2006-
Maret 2007
15 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung, Citra Aditya Bakti, 1991), hlm. 277.
bandingkan dengan Teo Huijbers, Op.Cit., hlm 118
19 Lili Rasjidi, Op.Cit., hlm. 64. Lihat juga Frans Rengka, Reformasi Hukum dan
Reformasi Pendidikan Hukum, dalam
http://www.indomedia.com/poskup/9805/26/OPINI/26pini1.htm
24 Lili Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat Hukum, cet. VII (Bandung, Citra Aditya Bakti,
1996) hlm. 69. Lihat juga Lili Rasjidi, Teori dan Filsafat Hukum, Op.Cit., hlm. 65
25 Ibid, hlm 65
Pokok-pokok ajaran madzab historis yang diuraikan Savigny
dan beberapa pengikutnya dapat disimpulkan sebagai berikut26:
1. Hukum ditemukan tidak dibuat27. Pertumbuhan hukum pada
dasarnya adalah proses yang tidak disadari dan organis;oleh
karena itu perundang-undangan adalah kurang penting
dibandingkan dengan adat kebiasaan.
2. Karena hukum berkembang dari hubungan-hubungan
hukum yang mudah dipahami dalam masyarakat primitif ke
hukum yang lebih kompleks dalam peradaban modern
kesadaran umum tidak dapat lebih lama lagi menonjolkan
dirinya secara langsung, tetapi disajikan oleh para ahli
hukum yang merumuskan prinsip-prinsip hukum secara
teknis. Tetapi ahli hukum tetap merupakan suatu organ dari
kesadaran umum terikat pada tugas untuk memberi bentuk
pada apa yang ia temukan sebagai bahan mentah
(Kesadaran umum ini tampaknya oleh Scholten disebut
sebagai kesadaran hukum). Perundang-undangan menyusul
pada tingkat akhir; oleh karena ahli hukum sebagai pembuat
undang-undang relatif lebih penting daripada pembuat
undang-undang.
3. Undang-undang tidak dapat berlaku atau diterapkan secara
universal. Setiap masyarakat mengembangkan
kebiasaannya sendiri karena mempunyai bahasa adat-
istiadat dan konstitusi yang khas. Savigny menekankan
bahwa bahasa dan hukum adalah sejajar juga tidak dapat
diterapkan pada masyarakat lain dan daerah-daerah lain.
Volkgeist dapat dilihat dalam hukumnya oleh karena itu
sangat penting untuk mengikuti evolusi volkgeist melalui
penelitian hukum sepanjang sejarah.
Jika pokok-pokok ajaran mazhab historis tersebut digambarkan dalam
suatu matriks maka akan nampak sebagai berikut28:
Kesadaran hukum
berkembang dan
dipengaruhi oleh
berbagai faktor yaitu:
Kesadaran hukum itu agama, ekonomi,
bukan merupakan politik dsb
pertimbangan
2. Hakekat rasional, melainkan
aktualisasi dari faktor
budaya
Kredibilitas ahli
hukum dijamin jika ia
tetap merupakan
organ dari kesadaran
hukum, yang
senantiasa terikat
Ahli hukum untuk memberi
merupakan tokoh bentuk
sentral untuk (memformulasikan
memformulasikan dari apa yang ia
kesadaran hukum temukan)
yang tidak selamanya
tanpak secara
3. Penemu kongkrit
Setiap masyarakat
memiliki kesadaran
hukum kebiasaannya
sendiri, yang berbeda
dengan masyarakat la
Undang-undang
Wilayah (hukum) tidak dapat
4. berlaku berlaku universal
29 W. Friedmann, Op.Cit., hlm. 67. salah satu aspek penting dari kehidupan
modern adalah munculnya disiplin sosial baru yang dalam abad 19 secara umum
menggeser semangat individualisme. Penyebabnya bermacam-macam dan
penguraiannya lebih merupakan masalah sosial daripada masalah hukum
31 Ibid
33 Perlu diingat bahwa munculnya teori baru, tidak serta merta akan
menghilangkan pengaruh teori yang ada sebelumnya. Fenomena ini dijelaskan
oleh Lakatos sebagai kerumitan asumsi-asumsi yang membentuk bagian lain dari
struktur teori. Dalam program riset Lakatosian ada semacam sabuk pengaman
yang melindungi inti pemikiran dari sebuah teori, itu sebabnya satu teori (hasil
pemikiran) tidak akan musnah dan hilang begitu saja ketika teori lain muncul.
Kemunculan satu teori disusul teori lainnya merupakan keragaman (kekayaan)
dalam sebuah program riset. Otje Salman, Op.Cit., hlm. 3
35 Lili Rasjidi, Filsafat Hukum Apakah Hukum Itu, Cet. 5 (Bandung, Remaja
Rosdakarya, 1996), hlm. 71
Di Indonesia pengaruh ajaran madzab sejarah sangat dirasakan,
yakni dengan lahirnya cabang ilmu hukum baru yang dikenal sebagai
hukum adat, yang dipelopori oleh Van Vollenhoven, Ter Haar serta
tokoh-tokoh hukum adat lainnya. Demikian juga bagi para ahli
sosiologi, saran Savigny memperteguh keyakinan mereka bahwa
antara sistem hukum dan sistem sosial lainnya terdapat hubungan
timbal balik yang saling mempengaruhi. Keyakinan semacam itu akan
menghasilkan suatu produk hukum yang akan memiliki daya berlaku
sosiologis.
Mochtar Kusumaatmadja mengatakan bahwa bagi Indonesia,
pemikiran dan sikap madzab ini terhadap hukum telah memainkan
peranan yang penting dalam mempertahankan ( preservation)
hukum adat sebagai pencerminan dari nilai-nilai kebudayaan (asli)
penduduk pribumi dan mencegah terjadinya pembaratan
(westernisasi) yang terlalu cepat, kalau tidak hendak dikatakan
berhasil mencegahnya samasekali, kecuali bagi sebagian kecil
golongan pribumi36.
Dalam konteks kekinian, lahirnya gerakan pemikiran hukum
yang mengarah pada pengoptimalisasian fungsi lembaga mediasi
yang ada dilevel masyarakat grass root secara tidak langsung dapat
dikatakan sebagai pengaruh tidak langsung mazhab sejarah bagi
pemikiran hukum di Indonesia. Di Nusa Tenggara Barat gerakan ini
mulai diawali di desa Lebah Sempaga dan Desa Bagu yang telah
membuat Balai Mediasi Desa yang sudah mengarah kepada
penggalian budaya dan kebiasaan masyarakat.
Akan tetapi pemikiran hukum madzab ini juga mengandung
beberapa kelemahan yakni37:
1. tidak diberikannya tempat bagi ketentuan yang sifatnya
tertulis (peraturan perundang-undangan);
2. konsepsinya tentang kesadaran hukum sifatnya sangat
abstrak serta konsepsinya tentang jiwa rakyat tidak
memuaskan banyak pihak;
3. inkonsistensi sikap mengenai hukum yang terbaik bagi
suatu bangsa.
39 Ibid
40 Ibid
III. Penutup
A. Kesimpulan
1) Ada dua faktor utama lahirnya mazhab sejarah yaitu ajaran Montesqueu
dalam bukunya L esprit des Lois dan pengaruh faham nasionalisme
yang mulai timbul pada awal abad ke 19. Di sisi lain lahirnya mazhab ini
juga memberikan aksi terhadap dua hal yang pada awal kemunculannya
merupakan moment strategis bagi perkembangan mazhab ini selanjutnya
yaitu 1) Rasionalisme dari abad 18 dengan kepercayaan terhadap hukum
alam, kekuasaan akal dan prinsip-prinsip pertama yang semuanya
dikombinasikan untuk meletakkan suatu teori hukum dengan cara deduksi
dan tanpa memandang fakta historis, cirri khas nasional, dan kondisi
sosial; 2)Kepercayaan dan semangat revolusi Prancis dengan
pemberontakannya terhadap tradisi, kepercayaan pada akal dan kekuasaan
kehendak manusia atas keadaan-keadaan zamannya.
2) Di Indonesia pengaruh ajaran madzab sejarah sangat dirasakan, yakni
dengan lahirnya cabang ilmu hukum baru yang dikenal sebagai hukum
adat, yang dipelopori oleh Van Vollenhoven, Ter Haar serta tokoh-tokoh
hukum adat lainnya. Demikian juga bagi para ahli sosiologi, saran Savigny
memperteguh keyakinan mereka bahwa antara sistem hukum dan sistem
sosial lainnya terdapat hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi.
Keyakinan semacam itu akan menghasilkan suatu produk hukum yang
akan memiliki daya berlaku sosiologis. bagi Indonesia, pemikiran dan
sikap madzab ini terhadap hukum telah memainkan peranan yang penting
dalam mempertahankan ( preservation) hukum adat sebagai
pencerminan dari nilai-nilai kebudayaan (asli) penduduk pribumi dan
mencegah terjadinya pembaratan (westernisasi) yang terlalu cepat, kalau
Daftar Pustaka
Salman, Otje & Antoni F. Susanto, Teori Hukum : Mengingat, Mengumpulkan dan
Menemukan Kembali, (Bandung, Refika Aditama, 2007)
Friedmann, W. Legal Theory, alih bahsa Mohammad Arifin, Teori dan Filsafat Hukum :
Idealisme Filosofis dan Problem Keadilan, cet. I (Jakarta, CV. Rajawali, 1990)
Rasjidi, Lili. Dasar-dasar Filsafat Hukum, (Bandung, Citra Aditya Bakti, 1996),
____________ Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum, (Bandung Citra Aditya Bakti, 2007),
____________ Filsafat Hukum Apakah Hukum Itu, Cet. 5 (Bandung, Remaja Rosdakarya,
1996)
Huijbers, Theo. Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, (Bandung, Kanisius, 1982),
Zulkarnain, Kritik Terhadap Pemikiran Hukum Madzab Sejarah, Digitized by USU digital
library, 2003
Shidarta, Posmodernisme dan Ilmu Hukum, Makalah disampaikan pada acara seminar
tentang Posmodernisme dan Dampaknya terhadap Ilmu Pengetahuan dan
peluncuran buku memperingati 70 Tahun Prof. Dr. Ir. Dali Santun Naga, MMSI di
Kampus Universitas Tarumanagara, 17 Februari 2005.
Simarmata, Rikardo. Socio-legal Studies dan Gerakan Pembaharuan Hukum, Law, Society
& Development, Volume I Desember 2006-Maret 2007
* Makalah ini merupakan tugas kelompok dalam mata kuliah Teori Hukum pada program
Magister Ilmu Hukum Universitas Mataram, yang diasuh oleh Dr. Anag Husni,
makalah dipresentasikan pada tanggal 31 Maret 2008
[1] Otje Salman dan Antoni F. Susanto, Teori Hukum : Mengingat, Mengumpulkan dan
Menemukan Kembali, (Bandung, Refika Aditama, 2007), hlm. 45
[3] Ada adugium menarik yang biasa digunakan oleh ahli hukum untuk menjustifakisi
perbedaan pendapat yang sering terjadi diantara mereka. Adagium itu berbunyi Bila
sepuluh orang pakar hukum berkumpul dan membicarakan batasan pengertian
mengenai hukum, maka akan keluar sebelas batasan pengertian
[4] H. L. Syafruddin, , hasil diskusi pada kuliah Sejarah dan Politik Hukum Program
Magister Ilmu Hukum Universitas Mataram 2008
[5] W. Friedmann, Legal Teori, alih bahsa Mohammad Arifin, Teori dan Filsafat Hukum :
Idealisme Filosofis dan Problem Keadilan, cet. I (Jakarta, CV. Rajawali, 1990), hlm.
60
[7] Sebelum abad kesembilan belas, pada masa jayanya aliran hukum alam manusia
dianggap tidak bisa membuat perubahan terhadap kondisi sosialnya terutama
dibidang hukum. Menurut Fransisco Suarez Tuhan adalah pencipta hukum alam
yang berlaku di semua tempat dan waktu, manusia berdasarkan risionya hanya
menjalankan apa yang sudah ditentukan oleh Tuhan dan dengan demikian manusia
tidak bisa merubah apa yang sudah menjadi kehendak Tuhan. Lili Rasjidi, Dasar-
dasar Filsafat Hukum, (Bandung, Citra Aditya Bakti, 1996), hlm. 52
[8] Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, (Bandung, Kanisius, 1982),
hlm. 103
[9] Zulkarnain, Kritik Terhadap Pemikiran Hukum Madzab Sejarah, Digitized by USU
digital library, 2003, hlm. 1
[11] Tokoh utama aliran utilitarianisme ini adalah Jeremy Bentham, John Stuart Mill dan
Von Jhering. Aliran ini, terutama Bentham mendasarkan filsafatnya pada asas
kemanfaatan. Menurutnya setiap tindakan manusia pada hakekatnya bertujuan untuk
mendatangkan kebahagiaan dan mengurangi penderitaan. Berangkat dari cara
berpikir seperti ini maka ukuran baik buruknya suatu perbuatan tergantung dari
seberapa besar kebahagiaan yang didatangkan oleh perbuatan tadi. Demikian juga
dengan hukum, perundang-undangan yang baik harus mampu menjamin
terpenuhinya kebahagian.
[13] Otje Salman Op.Cit. hlm 2. bandingkan dengan Shidarta, Posmodernisme dan Ilmu
Hukum, Makalah disampaikan pada acara seminar tentang Posmodernisme dan
Dampaknya terhadap Ilmu Pengetahuan dan peluncuran buku memperingati 70
Tahun Prof. Dr. Ir. Dali Santun Naga, MMSI di Kampus Universitas Tarumanagara,
17 Februari 2005. hlm. 3
[14] Salah seorang ahli sosiologi hukum Ehrlich berkebangsaan Austria yang juga
merupakan murid dari Savigny digolongkan sebagai salah satu tokoh mazhab
sociological jurisprudence, di anggap memiliki pandangan yang sama dengan
Savigny dikarenakan telah memperkenalkan konsep living law, namun demikian
tidak ada ahli hukum yang berani menyimpulkan bahwa pemikiran Ehrlich memang
dipengaruhi oleh gagasan Savigny. Sama seperti Savigny, Ehrlich tidak melihat
hukum sebagai suatu aturan yang berada di luar anggota-anggota masyarakat,
melainkan diwujudkan dan diungkapkan dalam kelakuan mereka sendiri. Hukum
lahir dari rahim kesadaran masyarakat akan kebutuhannya (opinio necessitates).
Lihat Rikardo Simarmata Socio-legal Studies dan Gerakan Pembaharuan Hukum,
Law, Society & Development, Volume I Desember 2006-Maret 2007
[15] Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung, Citra Aditya Bakti, 1991), hlm. 277.
bandingkan dengan Teo Huijbers, Op.Cit., hlm 118
[16] Zulkarnaen, Op.Cit., hlm. 2
[18] Lili Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum, (Bandung Citra Aditya Bakti,
2007), hlm. 64-65.
[19] Lili Rasjidi, Op.Cit., hlm. 64. Lihat juga Frans Rengka, Reformasi Hukum dan
Reformasi Pendidikan Hukum, dalam
http://www.indomedia.com/poskup/9805/26/OPINI/26pini1.htm
[21] Gagasan Montesquieu tentang sistem hukum merupakan hasil dari kompleksitas
berbagai faktor empiris dalam kehidupan manusia. Ketika Montesquieu membahas
penyebab suatu negara mempunyai perangkat hukum atau struktur sosial dan politik
tertentu, dikatakan bahwa hal itu dikarenakan oleh 2 faktor penyebab utama yang
membentuk watak masyarakat yaitu faktor fisik dan faktor moral. Montesque
melihat adanya dua kekuatan yang bekerja dalam individu secara biologis; kekuatan
egoistis yang mendorong manusia untuk menuntut hak-haknya, dan kekuatan moral
yang membuatnya sebagai anggota dari kelompok sosial yang terikat pada berbagai
kewajiban disamping adanya hak-hak. W. Friedmann, Op.Cit., hlm. 64
[24] Lili Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat Hukum, cet. VII (Bandung, Citra Aditya Bakti, 1996)
hlm. 69. Lihat juga Lili Rasjidi, Teori dan Filsafat Hukum, Op.Cit., hlm. 65
[27] Implikasi dari ajaran Savigni ini adalah penolakannya terhadap pengagungan akal
seseorang. Cara pandang ini yang membedakan kaum realis dengan aliran historis.
Kaum realis lebih mengedepankan prediksi waktu yang akan datang sedangkan
aliran historis dianggap telah melakukan kesalahan karena terlalu mengagung-
agungkan masa lampau. Ketidak percayaan terhadap pembuatan undang-undang
terutama yang terkodifikasi menunjukkan adanya pandangan yang skeptis terhadap
kemauan manusia dan meragukan keberhasilan manusia untuk menguasai dunianya.
Satjipto Rahardjo, Op.Cit., hlm. 279
[29] W. Friedmann, Op.Cit., hlm. 67. salah satu aspek penting dari kehidupan modern
adalah munculnya disiplin sosial baru yang dalam abad 19 secara umum menggeser
semangat individualisme. Penyebabnya bermacam-macam dan penguraiannya lebih
merupakan masalah sosial daripada masalah hukum
[30] Satjipto Rahardjo, Op.Cit., hlm. 280
[31] Ibid
[33] Perlu diingat bahwa munculnya teori baru, tidak serta merta akan menghilangkan
pengaruh teori yang ada sebelumnya. Fenomena ini dijelaskan oleh Lakatos sebagai
kerumitan asumsi-asumsi yang membentuk bagian lain dari struktur teori. Dalam
program riset Lakatosian ada semacam sabuk pengaman yang melindungi inti
pemikiran dari sebuah teori, itu sebabnya satu teori (hasil pemikiran) tidak akan
musnah dan hilang begitu saja ketika teori lain muncul. Kemunculan satu teori
disusul teori lainnya merupakan keragaman (kekayaan) dalam sebuah program riset.
Otje Salman, Op.Cit., hlm. 3
[35] Lili Rasjidi, Filsafat Hukum Apakah Hukum Itu, Cet. 5 (Bandung, Remaja Rosdakarya,
1996), hlm. 71
[39] Ibid
[40] Ibid