A. Pendahuluan
Beberapa ahli hukum mengatakan bahwa sistem hukum Indonesia saat ini sedang
menghadapi kesulitan. Undang-undang yang seharusnya membantu memperbaiki
masyarakat, ternyata tak lebih dari sekadar seperangkat peraturan tak berarti yang tak
mampu mengatasi persoalan kemasyarakatan. Legalitas terkadang hanya berfungsi untuk
membenarkan penerapan ketidakadilan sosial yang dilakukan pemerintah. Ringkasnya,
ada sejumlah kesenjangan yang ada antara penerapan undang-undang yang sebenarnya
dan aspirasi yang tertanam dalam konsepsi undang-undang tersebut.1
Subyektivitas juga terlihat pada unsur filosofis, terutama ketika membahas suatu
fenomena rumit seperti hukum. Oleh karena itu banyak bermunculan aliran-aliran atau
aliran-aliran ilmu hukum yang masing-masing alirannya berdasarkan sudut pandang para
penganutnya. Oleh karena itu, berkembangnya pandangan masing-masing penganut ilmu
hukum akan mempengaruhi pemahamannya terhadap cara membaca hukum itu sendiri.
Dua realitas yang harus dijawab oleh teori tentang hukum adalah hukum yang
bersifat alami (in concreto) dan hukum yang berada dalam ranah imajinatif akal manusia
(in abstracto).2 Kedua realitas ini tidak dapat saling bertanggung jawab; masing-masing
memiliki ciri atau idenya sendiri. Pola pikir yang ditunjukkan oleh karakter tersebut
Hukum yang kedua adalah memutuskan apa yang benar, tentunya dalam hubungannya
dengan situasi yang merentang waktu dan tempat. Filsafat hukum juga akan semakin
menjauh dari hukum kodrat atau filsafat hukum kodrat ke arah positivisme, empirisme,
dan kritik, yang pada akhirnya akan bermuara pada filsafat hukum modern. Agar hukum
dapat berfungsi secara adil dan konstruktif dalam masyarakat, maka pergeseran teori
1
Kenedi, J. (2017). Buku Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Sistem Penegakan Hukum Di Indonesia. Pustaka
Pelajar.
2
Salim, Perkembangan Teori Hukum dalam Ilmu Hukum, Jakarta, raja Grafindo Persada, 2009
1
hukum ini berupaya mengkonkretkan hukum dari nilai yang abstrak menjadi nilai yang
nyata atau konkrit.
Karena memudarnya kekuatan agama dan raja sebagai utusan Tuhan, kebangkitan
positivisme menandai dimulainya modernisme. Hal ini ditunjukkan dengan kematian
Raja Louis XVI yang mengerikan, yang dianggap sebagai raja absolut dan mewakili
rakyat hingga kaum burgher merasa tidak nyaman dengan tindakan raja. Pasca Revolusi
Perancis, banyak tuntutan sosial dan ekonomi yang dibebankan kepada masyarakat,
menyusul pembunuhan Galileo Galilei karena menentang heliosentrisme yang dianggap
mewakili kebenaran sceintivitas gereja yang pada akhirnya memunculkan gagasan
supremasi hukum (rechstaat), yang mewajibkan pegawai negeri untuk bertindak sesuai
dengan peraturan perundang-undangan. Hukum harus menjadi landasan tindakan, bukan
sekadar kekuasaan.3
Perkembangan teori hukum positivisme telah berlangsung selama beberapa abad
dan kini berdampak pada semua negara, termasuk Indonesia. 4 Positivisme hukum pada
awalnya divalidasi oleh John Austin dalam The Province of Jurisprudence (1832) sebagai
rumusan sistematis dan konseptual yang terdiri dari pernyataan afirmatif tentang hukum
bahwa:5
“hukum dalam tema yang paling generik dan menyeluruh diartikan sebagai aturan
yang diterbitkan untuk memberi pedoman perilaku kepada seseorang manusia
selaku makhluk intelegen dari seorang manusia lainnya (makhluk intelegen lain)
yang di tangannya ada kekuasaan (otoritas) terhadap makhluk intelegen pertama
itu”
Saint Simon dari Prancis(1760–1825) menciptakan istilah positivisme untuk
menggambarkan gerakan filosofis dan metodologi.6 Sebagaimana dikutip Michael Curtis,
Saint Simon menyatakan: Pendiri agama Kristen baru dan pemimpin agama baru gereja,
haruslah orang-orang yang paling mampu kontribusi upaya mereka terhadap peningkatan
kesejahteraan menjadi kelas hutan. Pimpinan Gereja Kristen hendaknya dipilih dari
orang-orang yang paling mampu mengarahkan upaya yang bertujuan untuk meningkatkan
kesejahteraan kelas yang paling banyak jumlahnya; dan para pendeta harus menaruh
3
Yudisial, K. (2012). Dialektika Pembaruan Sistem Hukum Indonesia.
4
Atmasasmita, R. (2012). Tiga paradigma hukum dalam pembangunan nasional. Jurnal Hukum Prioris,
5
L.B. Curson, Jurisprudence, Cet. 1, London : Cavendish Publishing, 1993, Hal. 93
6
Surya, A., Harefa, S., Sulaiman, S., Herniwati, H., Yustina, E. W., Utomo, S., ... & Banjarnahor, D. N. (2020). Teori
Hukum" Sejarah, Hakikat, Makna dan Hubungannya Dengan Moral"
2
perhatian terutama pada pengajaran kepada orang-orang yang menjadi mayoritas
penduduk.
August Comte, seorang sarjana Perancis dari tahun 1798 hingga 1857, juga
mengembangkan teori ini.7 Menurut August Comte, positivisme adalah pola pikir ilmiah
yang menolak dugaan apriori dan mendasarkan kesimpulannya pada bukti empiris. Itulah
tujuan filsafat. Aliran pemikiran ini mengklaim bahwa ini adalah kerangka filosofis yang
hanya mengakui fenomena yang dapat diamati dan fakta positif. Sesuai dengan nilai-nilai
Comte, ia mencoba menciptakan fisika sosial yang mengarah pada hukum sosial dan
reformasi sosial. Setelah menetapkan tujuan utama sosiologi, Auguste Comte secara
umum mengajukan anggapan berikut:8
1. Alam Semesta diatur oleh hukum-hukum alam yang tak terlihat (invisible
natural), sejalan dengan teori evolusi dan perkembangan alam pikiran atau
nilai-nilai sosial yang dominan
2. Proses evolusi berlangsung dalam tiga tahap: teologis, metafisis dan
positivistik.
3. Seluruh ilmu pengetahuan sebagai ilmu sosial dalam pengertian yang luas.
4. Sistem sosial terbagi atas dua bagian, yaitu statika sosial, yang
menyangkut sifat-sifat manusia, masyarakat dan hukum-hukum
keberadaan manusia sebagai makhluk sosial dan dinamika social atau
hukum-hukum perubahan sosial.
7
Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum, Gajah Mada University Press, 2009,
8
Irianto, S. (Ed.). (2011). Metode Penelitian Hukum: Konstelasi dan Refleksi. Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
3
beberapa orang bahkan berpikir mereka berada di tingkat yang lebih tinggi
daripada manusia biasa, kekuatan ini dianggap sebagai entitas dengan
kemauan dan kekuatan yang mirip dengan manusia. Tiga periode dapat
dibedakan dalam bidang teologi zaman itu sendiri. Pertama, benda-benda
itu sendiri dianggap memiliki jiwa pada tingkat paling dasar (Periode
Animisme). Kedua, manusia percaya pada dewa-dewa yang masing-
masing mendominasi bidang yang berbeda: dewa laut, dewa guntur, dewa
dunia bawah, dan sebagainya. Ketiga, Tingkat umat manusia yang lebih
tinggi meyakini bahwa hanya ada satu Tuhan yang menjadi raja segalanya
(Periode Monoteisme).
2. Dalam zaman metafisis, kuasa-kuasa adikodrati diganti dengan konsep-
konsep dan prinsip-prinsip abstrak seperti misalnya: “kodrat
“dan :penyebab”. Metafisika dijunjung tinggi pada masa ini.
3. Akhirnya dalam zaman positif sudah tidak lagi diusahakan untuk mencari
penyebab-penyebab yang terdapat di belakang fakta-fakta. Dalam zaman
tertinggi ini manusia membatasi pada fakta-fakta
Makalah ini akan memberikan penjelasan tentang teori hukum, yang mencakup
topik-topik seperti landasan filosofis positivisme dan konteks sejarah. Kajian ini
menawarkan analisis komprehensif terhadap filsafat hukum positivisme, sehingga
memberikan pemahaman dan wawasan yang lebih luas mengenai penerapan positivisme
terhadap terwujudnya keadilan dalam hukum. Hal ini akan berdampak pada cara pandang
yang masuk akal ketika menafsirkan undang-undang dengan berbagai cara. Daripada
diperdebatkan, perbedaan teori hukum seharusnya dikontraskan dan dijadikan alat
analisis untuk menyelesaikan permasalahan hukum dan mencapai hukum yang adil.
4
B. PEMBAHASAN
Hukum positivisme adalah aliran filsafat hukum menganggap teori hukum sebagai
ius yang telah dipositifisasi sebagai lege atau lex untuk menjamin kepastian antara yang
dianggap hukum dan yang tidak. Akibatnya, hukum dapat dianggap sebagai aturan yang
hanya berkaitan dengan hukum positif. Ilmuwan hukum tidak membahas apakah hukum
itu baik atau buruk, atau bagaimana hukum berfungsi dalam masyarakat.9
Teori hukum positivisme muncul di Eropa Kontinental pada abad ke-18 dan 19 dan
berkembang di Prancis.Menurut cabang filsafat hukum positivisme, hukum adalah
positivisme yuridis secara mutlak. Mereka membedakan hukum dari moral dan agama
serta antara hukum yang berlaku dan yang seharusnya, serta antara apa yang ada dan apa
yang harus ada, antara das sein dan das sollen.10 Banyak diskusi tentang positivisme
hukum sampai pada kesimpulan bahwa positivisme melihat hukum sebagai perintah
penguasa (law is command from the lawgivers). Menurut positivisme, hukum identik
dengan undang-undang. Dengan adanya hukum, penerapan hukum menjadi lebih mudah,
karena tidak ada hukum di luar hukum.11
Pokok-pokok pikiran dari ajaran filsafat positivisme dalam kajian ilmu sosial dan
alam, yaitu:12
a. Filsafat positivisme hanya mendasar pada kenyataan (realitas, fakta) dan bukti
terlebih dahulu
b. Positivisme tidak akan bersifat metafisik dan tidak menjelskan tentang esensi.
9
Hadat, H. (2020). Eksistensi Tri Hita Karana dalam Pembentukan Peraturan Hukum di Bali (Perspektif Filsafat
Ilmu). Jurnal Magister Hukum Udayana,
10
Safudin, E., Baihaqi, A., Syakirin, A., Imtihanah, A. H., Kususiyanah, A., Pahlevi, F. S., & Abdullah, F. (2022).
Memahami Teori Hukum: Percikan Pemikiran Ilmu Hukum Lintas Mazhab. Q Media.
11
Solikin, N. (2014). Pengantar Ilmu Hukum & Tata Hukum Indonesia.
12
Wiguna, M. O. C. (2023). IMPLIKASI FILSAFAT POSITIVISME TERHADAP ILMU HUKUM DAN PENEGAKANNYA. Unes
Journal of Swara Justisia,
5
c. Positivisme tidak lagi menjelaskan gejala-gejala alam sebagai ide abstrak. Gejala
alam diterangkan berbasis hubungan sebab akibat dan dari itu kemudian didaptkan
dalil-dalil atau hukum-hukum yang tidak tergantung ruang dan waktu.
d. Positivisme menempatkan fenomena yang dikaji sebagai obyek yang dapat
digeneralisasikan sehingga ke depan dapat diramalkan (diprediksi).
e. Positivisme meyakini bahwa suatu realitas (gejala) dapat direduksi menjadi unsur-
unsur yang saling terkait membentuk sistem yang dapat diamati.
Menurut Hart, prinsip yang dapat dimasukkan dalam filsafat positivisme hukum, yaitu:13
6
3) Pelaksanaan kedaulatan membutuhkan ketaatan. Ketaatan terhadap
kedaulatan negara itu berbeda-beda sesuai kebutuhan subyeknya.
4) Ada perbedaan antara ketaatan terhadap kedaulatan Negara dengan
ketaatan terhadap ancaman penodong misalnya. Hal tersebut
membedakan di antara keduanya adalah legitimasi (didasarkan pada
undang-undang) yang berlaku dan diakui secara sah. Pada ketaatan
terhadap kedaulatan negara, subjeknya merasakan a moral duty to
obey (ada kewajiban moral untuk mentaatinya).
15
Prayogi, A. (2021). Paradigma positivisme dan idealisme dalam ilmu sejarah: Tinjauan reflektif terhadap posisi
sejarah sebagai ilmu. Tamaddun: Jurnal Kebudayaan Dan Sastra Islam,
7
diputuskan melalui musyawarah mufakat.16 Jadi dalam aliran hukum positivisme, konsep
hukum juga mengadung nilai-nilai (values) yang terdapat dalam hukum positif
(perundang-undangan), hanya nilai itu telah dibahas dan ditetapkan ketika proses
pembuatan hukum positif. Setelah ditetapkan menjadi undang-undang, maka hukum
itulah yang berlaku secara mutlak, tidak boleh ditawar, lepas apakah hukum itu efektif
atau tidak, adil atau tidak.
16
Fadli, Z., Gunawan, T. A., Rihardi, S. A., Watkat, F. X., Widjanarto, H., Soleh, Y. P., ... & Utama, A. S. (2024).
Pengantar Ilmu Hukum. Get Press Indonesia.
17
Mappatunru, A. M. D. (2020). The Pure Theory of Law Dan Pengaruhnya Terhadap Pembentukan Hukum
Indonesia. Indonesian Journal of Criminal Law, 2(2)
8
Menurut Austin, kata kunci hukum adalah perintah yang diartikan sebagai perintah
umum dari entitas politik yang memiliki otoritas; entitas ini adalah otoritas politik yang
paling tinggi, juga dikenal sebagai otoritas politik yang paling tinggi, yang bertanggung
jawab untuk mengatur perilaku anggota masyarakat. Kekuasaan ini dapat dimiliki oleh
individu atau sekelompok individu. Persyaratannya:
Jadi sumber hukum menurut Austin, adalah penguasa teringgi yang de facto18 dipatuhi oleh
segenap anggota masyarakat sementara ia sendiri tidak tunduk pada siapa pun.
Menurut Austin, hukum harus dipahami sebagai perintah karena seharusnya tidak
memberi ruang untuk memilih apakah harus mematuhi atau tidak. Dia menegaskan bahwa
hukum harus dipahami sebagai perintah, terdiri dari dua elemen utama: hukum sebagai
keinginan penguasa untuk ditaati dan hukum memiliki kekuatan untuk membuat sesuatu
yang tidak menyenangkan atau bahkan membahayakan orang yang melanggarnya. 19 Semua
orang harus mematuhi perintah. Kegagalan untuk memenuhi tuntutan perintah akan
memiliki konsekuensi hukum. Austin mengungkapkan dua perbedaan hukum yang
signifikan, yaitu:20
1) Hukum Tuhan
Adalah hukum yang diciptakan Tuhan untuk makhluk ciptaan-Nya. Hukum
ini merupakan suatu moral hidup manusia dalam arti sejati.
2) Hukum manusia
Adalah hukum yang dibuat manusia untuk manusia. Hukum manusia ini
dibedakan menjadi 2 yaitu:21
18
Irwan, I., Perdana, F. W., Latuheru, P. M., Khairani, M., & Kartini, S. (2021). Pemikiran Tokoh Pakar Hukum Lima
Paradigma. Jurnal Indonesia Sosial Sains, 2(12),
19
Hart, H. L. A. (2019). Konsep hukum. Nusamedia.
20
Fahrazi, M. Perbandingan Konsep Hukum dalam Epistemologi Positivisme dan Materialisme. Melayunesia Law,
21
Tanjung, A. K. J., & Purwadi, H. (2019). Paradigma Hakim dalam Memutuskan Perkara Pidana di Indonesia. Jurnal
Hukum dan Pembangunan Ekonomi
9
1) Hukum yang sebenarnya (properly so called). Hukum ini sebagai
superior politik dalam melaksanakan hak-hak yang diberikan oleh
otoritas politik.
2) Hukum yang sebenarnya bukan hukum (improperly so called). Hal
ini mencakup hukum-hukum yang ada karena analogi, misalnya
aturan-aturan yang menyangkut keanggotaan seseorang dalam
kelompok tertentu.
b. Gustav Radbruch (1878-1949)
Gustav Radburch, seorang Jerman, berpendapat bahwa hukum harus
mengandung tiga nilai utama: nilai kemanfaatan (bersifat sosiologis), nilai
kepastian (bersifat yuridis), dan nilai keadilan (bersifat filosofis). Setiap undang-
undang harus dapat dikembalikan ke keabsahannya pada nilai dasar tersebut.
Gustav menganggap hukum sebagai paduan antara nilai-nilai yang harus
diterapkan dan kenyataan yang tidak boleh melanggar nilai-nilai tersebut; nilai
yang dimaksud adalah keadilan. Oleh karena itu, undang-undang harus menjadi
dasar pengupayaan keadilan. Dengan berjalannya waktu, prinsip kepastian itu
menjadi inti dari doktrin hukum peradilan.22
c. Hans Kelsen (1881-1973 M)
Hans Kelsen, seorang ahli hukum dan filsuf Austria, terkenal dengan teori
grundnorm, mengkonsepsikan bahwa hukum adalah sistem norma yang
didasarkan pada keharusan, di mana sistem norma ini penentuannya dilandaskan
pada moralitas atau nilai-nilai yang baik. Pertimbangan yang melandasi sebuah
norma bersifat metayuridis, dan belum menjadi hukum yang berlaku. Norma itu
akan menjadi hukum yang berlaku apabila dikehendaki oleh masyarakat dan
dituangkan dalam wujud tertulis, dikelurkan oleh negara dan memuat perintah. 23
Hans Kelsen, yang juga terkenal dengan Teori Hukum Murni (The Pure Theory
Of Law), mengatakan bahwa hukum ditaati bukan karena dianggap baik atau adil,
tetapi karena penguasa menulis dan menyetujuinya. Penjelasan tentang hakekat
hukum dan proses pembuatan hukum adalah fokus dari presentasi Hans Kelsen
22
Manullang, E. F. M. (2022). Misinterpretasi Ide Gustav Radbruch Mengenai Doktrin Filosofis Tentang Validitas
Dalam Pembentukan Undang-Undang. Undang: Jurnal Hukum
23
Kurniawan, B. (2021). Logika dan Penalaran Hukum.
10
pada tataran hukum murni. Oleh karena itu, ilmu hukum mempelajari perundang-
undangan, yang dibuat oleh pemerintah dan mengandung aturan dan sanksi yang
diterapkan jika mereka dilanggar.24
d. HLA Hart (1907-1992 M)
HLA Hart, (Britania) adalah tokoh positivisme hukum yang menkonsepsikan
hukum mengandung ajaran, yakni:
1) Sebagai perintah dari penguasa yang kemudian ditulis oleh negara sebagai
pemegang otoritas,
2) Persoalan nilai hukum baik atau buruk harus dipertimbangkan ketika hukum
itu dibuat,
3) Hukum positivisme mengandung sistem logika tertutup yang diberlakukan
secara deduktif pada kenyataan.
4) Hukum tidak harus ada kaitan dengan moral dan dibedakan dengan hukum
yang seharusnya diciptakan. Hart memisahkan antar das sein dan das sollen.
24
Irianto, S. (Ed.). (2011). Metode Penelitian Hukum: Konstelasi dan Refleksi. Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
11
Dalam pendekatan ini, keyakinan yang dicari adalah keyakinan yang sama dari
perspektif hukum. Aspek ontologis dari positivisme, menganggap norma positif dalam
sistem perundang-undangan suatu negara terlepas dari masalah moral. Selanjutnya,
positivisme memiliki aspek epistemologis yang dicari yaitu doktrin deduktif dan aspek
aksiologis yang dicari yaitu kepastian hukum. Berdasarkan pendapat Gustav Radbruch,
positivisme menganggap kepastian hukum sebagai hal yang paling penting, karena
kemanfaatan dan keadilan sudah dianggap selesai dan dapat dicapai melalui kepastian
hukum dalam bentuk peraturan perundangan. Positivisme menganggap hukum adalah
peraturan perundangan semata (lege) membuat hakim tidak dapat menggali lebih jauh
tentang hukum sehingga hakim dianggap la bouche de la loi (hakim sebagai corong
undang-undang).25
Hukum positivisme, hukum adalah undang-undang negara yang mengacu pada
asas kepastian hukum tanpa mempertimbangkan keadilan dan manfaatnya. Akibatnya,
hakim hanya dapat menerapkan undang-undang yang sudah ada. Sebaliknya, kepastian
hukum positivis jauh dari kenyataan sosial. Hal ini disebabkan oleh banyak fenomena
sosial yang kadang-kadang memiliki metode terbaru untuk melakukan hal-hal yang
melanggar hukum tetapi belum diatur oleh undang-undang. Beberapa faktor
mempengaruhi perilaku masyarakat yang melanggar hukum; salah satunya adalah
kemajuan teknologi yang cepat, yang memungkinkan masyarakat melakukan tindakan
yang melanggar norma masyarakat tetapi belum diatur oleh undang-undang.26
C. KESIMPULAN
1. Tentang positivisme: Teori hukum positivisme muncul di Eropa Kontinental pada
abad ke-18 dan 19 dan berkembang di Prancis.Menurut cabang filsafat hukum
positivisme, hukum adalah positivisme yuridis secara mutlak. Mereka membedakan
hukum dari moral dan agama serta antara hukum yang berlaku dan yang
seharusnya, serta antara apa yang ada dan apa yang harus ada. Banyak diskusi
tentang positivisme hukum sampai pada kesimpulan bahwa positivisme melihat
25
Annisa, A. D. N. R., Chichi, C. R. J., Inggrid, I. H. P., & Salwa, S. G. R. (2024). Aliran Positivisme dan Implikasinya
Terhadap Ilmu dan Penegakan Hukum. Das Sollen: Jurnal Kajian Kontemporer Hukum Dan Masyarakat
26
Novaldy, M., & Alfarizi, A. (2024). Penerapan Positivisme Hukum Terhadap Asas Keadilan Dalam Putusan
Pengadilan. Das Sollen: Jurnal Kajian Kontemporer Hukum Dan Masyarakat,
12
hukum sebagai perintah penguasa (hukum adalah perintah dari hakim). Menurut
positivisme, hukum identik dengan undang-undang. Dengan adanya hukum,
penerapan hukum menjadi lebih mudah, karena tidak ada hukum di luar hukum.
2. Tokoh dan pendapat teori positivism adalah John Austin (1790–1859) dari Inggris,
Gustav Radbruch (1878-1949) dari Jerman, Hans Kelsen (1881-1973 M) dari
Austria, HLA Hart, (1907-1992 M) dari Britania.
3. Mazhab positivisme terhadap penegakan hukum: hukum adalah undang-undang
negara yang mengacu pada asas kepastian hukum tanpa mempertimbangkan
keadilan dan manfaatnya. Akibatnya, hakim hanya dapat menerapkan undang-
undang yang sudah ada. Sebaliknya, kepastian hukum positivis jauh dari kenyataan
sosial. Hal ini disebabkan oleh banyak fenomena sosial yang kadang-kadang
memiliki metode terbaru untuk melakukan hal-hal yang melanggar hukum tetapi
belum diatur oleh undang-undang.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Ghofur Anshori, 2009, Filsafat Hukum, Gajah Mada University Press
Annisa, A. D. N. R., Chichi, C. R. J., Inggrid, I. H. P., & Salwa, S. G. R. 2024. Aliran
Positivisme dan Implikasinya Terhadap Ilmu dan Penegakan Hukum. Das Sollen:
Jurnal Kajian Kontemporer Hukum Dan Masyarakat
Atmasasmita, R. 2012. Tiga paradigma hukum dalam pembangunan nasional. Jurnal Hukum
Prioris,
Fadli, Z., Gunawan, T. A., Rihardi, S. A., Watkat, F. X., Widjanarto, H., Soleh, Y. P., ... &
Utama, A. S. 2024. Pengantar Ilmu Hukum. Get Press Indonesia.
Fahrazi, M. Perbandingan Konsep Hukum dalam Epistemologi Positivisme dan Materialisme.
Melayunesia LawKenedi, J. 2017. Buku Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy)
Dalam Sistem Penegakan Hukum Di Indonesia. Pustaka Pelajar.
Hadat, H. 2020. Eksistensi Tri Hita Karana dalam Pembentukan Peraturan Hukum di Bali
(Perspektif Filsafat Ilmu). Jurnal Magister Hukum Udayana,
Hart, H. L. A. 2019. Konsep hukum. Nusamedia.
13
Herlambang, P. H. 2019. Positivisme Dan Implikasinya Terhadap Ilmu Dan Penegakan Hukum.
Indonesian State Law Review (Islrev),
Irianto, S. (Ed.). 2011. Metode Penelitian Hukum: Konstelasi dan Refleksi. Yayasan Pustaka
Obor Indonesia.
Irwan, I., Perdana, F. W., Latuheru, P. M., Khairani, M., & Kartini, S. 2021. Pemikiran Tokoh
Pakar Hukum Lima Paradigma. Jurnal Indonesia Sosial Sains,
Islamiyati, I. 2018. Kritik Filsafat Hukum Positivisme Sebagai Upaya Mewujudkan Hukum
Yang Berkeadilan. Law, Development and Justice Review
Kurniawan, B. 2021. Logika dan Penalaran Hukum.
L.B. Curson, 1993, Jurisprudence, Cet. 1, London : Cavendish Publishing,
Manullang, E. F. M. 2022. Misinterpretasi Ide Gustav Radbruch Mengenai Doktrin Filosofis
Tentang Validitas Dalam Pembentukan Undang-Undang. Undang: Jurnal Hukum
Mappatunru, A. M. D. 2020. The Pure Theory of Law Dan Pengaruhnya Terhadap Pembentukan
Hukum Indonesia. Indonesian Journal of Criminal Law,
Novaldy, M., & Alfarizi, A. 2024. Penerapan Positivisme Hukum Terhadap Asas Keadilan
Dalam Putusan Pengadilan. Das Sollen: Jurnal Kajian Kontemporer Hukum Dan
Masyarakat
Prayogi, A. 2021. Paradigma positivisme dan idealisme dalam ilmu sejarah: Tinjauan reflektif
terhadap posisi sejarah sebagai ilmu. Tamaddun: Jurnal Kebudayaan Dan Sastra Islam,
Safudin, E., Baihaqi, A., Syakirin, A., Imtihanah, A. H., Kususiyanah, A., Pahlevi, F. S., &
Abdullah, F. 2022. Memahami Teori Hukum: Percikan Pemikiran Ilmu Hukum Lintas
Mazhab. Q Media.
Salim, 2009. Perkembangan Teori Hukum dalam Ilmu Hukum, Jakarta, raja Grafindo Persada,
Solikin, N. 2014. Pengantar Ilmu Hukum & Tata Hukum Indonesia.
Surya, A., Harefa, S., Sulaiman, S., Herniwati, H., Yustina, E. W., Utomo, S., ... & Banjarnahor,
D. N. 2020. Teori Hukum" Sejarah, Hakikat, Makna dan Hubungannya Dengan Moral".
Tanjung, A. K. J., & Purwadi, H. 2019. Paradigma Hakim dalam Memutuskan Perkara Pidana di
Indonesia. Jurnal Hukum dan Pembangunan Ekonomi
Wiguna, M. O. C. 2023. IMPLIKASI FILSAFAT POSITIVISME TERHADAP ILMU HUKUM
DAN PENEGAKANNYA. Unes Journal of Swara Justisia,
14
Yudisial, K. 2012. Dialektika Pembaruan Sistem Hukum Indonesia.
.
15