Anda di halaman 1dari 3

Bagian 1: Manusia dan Pengetahuan

Manusia, sebagai ciptaan Tuhan, memiliki dimensi jasmani dan rohani. Tubuh fisik adalah aspek
kasar, sementara rohani memberikan dimensi eksistensial dan moral. Roh memandu manusia dalam
pengalaman emosional dan spiritual, memungkinkan eksistensi moral dan sosial. Kehidupan
manusia dipahami dalam konteks otonomi dan ketergantungan pada Tuhan. Meskipun tergantung
pada Tuhan, manusia memiliki kebebasan untuk tumbuh dan bertindak otonom. Ini menunjukkan
kebebasan dalam keterbatasan. Perspektif filosofis tentang hubungan Tuhan-manusia memunculkan
pendekatan jabariah dan qadariah. Yang pertama menekankan predestinasi, sementara yang kedua
memperhatikan kebebasan manusia. Keduanya menyoroti kebebasan sebagai bagian dari rencana
Tuhan.
Manusia juga didefinisikan sebagai "animal rationale" oleh Aristoteles, menekankan kemampuan
berpikir sebagai ciri khasnya. Tuhan mendorong manusia untuk menggunakan akal dan
merenungkan ciptaan-Nya untuk memahami makna hidup. Manusia memiliki tanggung jawab untuk
menggunakan potensi berpikirnya sebagai khalifah di bumi. Firman Allah dalam Al-Qur'an
menguatkan pentingnya berpikir dalam mencapai pemahaman tentang makna kehidupan.
Pengalaman indrawi adalah salah satu cara memperoleh pengetahuan tentang dunia. Meskipun
subjektif, itu penting dalam membentuk pemahaman manusia. Ilmu pengetahuan menggunakan
metode ilmiah untuk memahami fenomena alam dan kehidupan manusia. Ilmu pengetahuan
memfasilitasi kemajuan dan kemudahan dalam hidup manusia, namun juga menimbulkan tantangan
moral dan sosial. Pertanyaan filosofis muncul tentang batasan objek yang dapat diteliti oleh ilmu
pengetahuan dan kebebasan ilmu pengetahuan dalam menentukan bidang penelitian.

Bagian 2: Filsafat, Hukum, dan Filsafat Hukum


Filsafat berasal dari kata Yunani yang berarti "cinta kebijaksanaan" atau "cinta akan kebenaran". Ini
melibatkan pengejaran pengetahuan secara sistematis untuk mencapai pemahaman mendalam
tentang realitas. Sedangkan hukum positif adalah hukum yang berlaku dalam suatu negara dan
ditegakkan oleh pemerintah. Ada perbedaan pandangan antara hukum positif dan prinsip-prinsip
keadilan yang lebih universal, namun keadilan tetap menjadi tujuan utama hukum. Keadilan sangat
penting dalam menentukan makna dan kekuatan hukum, dan hukum yang tidak adil kehilangan
legitimasi sebagai hukum yang sah.

Bagian 3: Sejarah Perkembangan Filsafat


Filsafat Timur memiliki sejarah panjang, melibatkan filsafat India, Cina, dan Islam. Filsafat India
menekankan alam semesta, sementara filsafat Cina mengutamakan harmoni dan kemanusiaan.
Filsafat Islam menggabungkan pemikiran Yunani dengan Islam, menekankan penafsiran rasional
terhadap masalah-masalah ketuhanan, alam, dan manusia.
Filsafat Yunani kuno melahirkan tokoh-tokoh seperti Sokrates, Plato, dan Aristoteles, yang
memberikan kontribusi penting dalam perkembangan pemikiran Barat. Zaman Modern menandai
pergeseran menuju rasionalitas dan pengalaman empiris sebagai sumber pengetahuan. Ini menandai
awal dari era pemikiran yang lebih bebas dan terbuka terhadap ide-ide baru dalam berbagai bidang
ilmu pengetahuan dan kehidupan manusia.
Bagian 4: Aliran-aliran filsafat hukum
Aliran-aliran filsafat hukum, seperti Hukum Alam dan Positivisme Hukum, memiliki peran penting
dalam pengembangan sistem hukum. Hukum Alam, yang berakar dari 2.500 tahun lalu, menekankan
pada keadilan universal dan abadi, sementara Positivisme Hukum, muncul pada abad ke-19,
mengedepankan pengalaman sebagai dasar pengetahuan manusia. Selain itu, terdapat aliran-aliran
lain seperti Pragmatisme, Realisme Amerika, Realisme Skandinavia, dan Freirechtslehre, yang
memberikan kontribusi unik dalam pemahaman hukum, dengan menyoroti peran hakim dan faktor-
faktor lain yang memengaruhi pembentukan hukum.
Selain itu, terdapat juga pembahasan mengenai realisme hukum, yang menekankan pentingnya
pemahaman hukum dari sudut pandang empiris dan pragmatis, serta menyoroti pengaruh sosial
terhadap hukum. Dalam realisme hukum, seperti yang ditekankan dalam Sociological Jurisprudence,
pentingnya memahami realitas sosial dan kebiasaan masyarakat menjadi fokus utama. Tokoh-tokoh
seperti Eugen Ehrlich dan Roscoe Pound memainkan peran penting dalam pengembangan
pandangan ini.
Dengan demikian, melalui berbagai aliran filsafat hukum dan pendekatan yang berbeda, manusia
terus mengembangkan pandangan dan praktik hukumnya dalam mencari keadilan dan kebenaran
yang lebih baik.

Bagian 5 Hukum dan Moral


Membahas hubungan antara hukum dan moral, terutama dengan penekanan pada pandangan
Immanuel Kant. Kant membedakan antara legalitas dan moralitas, di mana legalitas berkaitan
dengan kesesuaian tindakan dengan hukum atau norma lahiriah, sementara moralitas berkaitan
dengan kesesuaian tindakan dengan norma atau hukum batiniah yang dipandang sebagai kewajiban.
Namun, kritik terhadap pandangan Kant menyatakan bahwa pendekatannya terlalu ekstrem dan
tidak mempertimbangkan faktor-faktor lain yang memengaruhi perilaku manusia.
Selain itu, tulisan juga membahas pandangan Georg Wilhelm Friedrich Hegel tentang absolutisme
dan siapa yang memiliki keabsolutan. Ada juga diskusi tentang aliran positivisme, aliran Marxis, dan
eksistensialisme dalam konteks hubungan antara hukum dan moralitas. Lebih lanjut, tulisan
membahas perbedaan antara moralitas heteronom dan otonom menurut Kant, serta pandangan
Friedrich Nietzsche tentang moralitas tuan dan budak. Terakhir, ada pembahasan mengenai moral,
moralitas, dan etika, di mana moralitas dianggap sebagai sikap manusia terkait dengan hukum moral
yang didasarkan pada keputusan bebasnya, sedangkan etika dipandang sebagai disiplin rasional
yang berkaitan dengan adat istiadat atau kebiasaan.

Bagian 6: Kerangka Ilmiah Etika Profesi


Dalam kerangka ilmiah etika profesi, penting untuk mengingat bahwa pertanyaan mendasar
tentang etika penegak hukum muncul seiring dengan terungkapnya berbagai tantangan dan
kriminalitas dalam lembaga penegak hukum. Etika menjadi landasan penting dalam kehidupan
sehari-hari baik sebagai penegak hukum maupun warga masyarakat, karena itu memengaruhi
perilaku dan keputusan yang diambil. Studi tentang etika berasal dari bahasa Yunani "Ethos", yang
berarti adat istiadat, dan berkembang menjadi pemahaman tentang kebiasaan manusia dan nilai-
nilai kehidupan yang benar secara manusiawi. Dalam konteks ini, etika memainkan peran kunci
dalam mengarahkan perilaku manusia dan membentuk kerangka profesi dengan kode etik sebagai
panduan perilaku profesional.
Selanjutnya, dalam melihat kebenaran filosofis etika, ada tiga postulat utama yang mendukung
sistem etika: eksistensi Allah, kebebasan berkehendak, dan keabadian jiwa. Kehidupan manusia dan
etika saling terkait dalam berbagai aspek, baik dalam tingkah laku sehari-hari, pergaulan ilmiah,
maupun dalam konteks profesi. Etika berperan penting dalam membimbing perilaku profesional
dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya. Oleh karena itu, pemahaman yang baik tentang
etika menjadi sangat penting bagi individu dalam menjalani kehidupan bermasyarakat serta dalam
melaksanakan tugas-tugas profesi dengan integritas dan moralitas yang tinggi.

Bagian 7: Hukum dan Keadilan


Bagian ini membahas hubungan antara hukum dan keadilan dalam kehidupan manusia dan
masyarakat. Keadilan dianggap sebagai elemen kunci bagi kehidupan yang harmonis dan seimbang,
yang merentang dari hubungan dengan Tuhan hingga interaksi dengan sesama manusia dan
lingkungan. Kompleksitas dalam mencapai keadilan disoroti, di mana seringkali hukum dan keadilan
terpisah, meskipun keduanya seharusnya saling melengkapi. Para tokoh filsafat dari berbagai tradisi
juga dikutip untuk memberikan pandangan mereka tentang pentingnya keadilan dalam tatanan
sosial dan hukum. Lebih lanjut, ringkasan menyoroti pandangan tentang keadilan dalam Islam dan
Barat, memperhatikan berbagai dimensinya seperti keadilan sosial dan substansi hukum. Pengaruh
agama dan kesadaran moral juga diperdebatkan dalam konteks penentuan nilai-nilai keadilan dalam
hukum. Kesimpulannya, ringkasan menegaskan bahwa pemahaman tentang keadilan adalah kunci
untuk menciptakan masyarakat yang adil dan harmonis, baik dalam sistem hukum maupun dalam
praktik kehidupan sehari-hari.

Bagian 8: Hukum dan Kebenaran


Tulisan pada Bagian 8 membahas beberapa teori kebenaran dalam filsafat, khususnya fokus pada
teori pragmatisme. Menurut pandangan pragmatis, kebenaran ditentukan oleh konsekuensi praktis
suatu tindakan atau pernyataan, menggantikan konsep kebenaran mutlak dengan yang relatif dan
bergantung pada konteks serta tujuan tertentu. Selain itu, teks juga memperkenalkan beberapa teori
lain tentang kebenaran, termasuk teori-teori yang berfokus pada arti, sintaksis, non-diskrepsi, dan
logika yang berlebihan, yang masing-masing memiliki pendekatan yang berbeda dalam
mendefinisikan kebenaran. Lebih lanjut, hubungan antara hukum, ilmu, dan kebenaran juga dibahas,
dengan menggambarkan beragam metode dalam pencarian kebenaran, mulai dari penemuan
kebetulan, coba-coba, hingga penelitian ilmiah. Diskusi epistemologis menyoroti bahwa kebenaran
bersifat relatif dan bergantung pada sudut pandang dan konteks pengetahuan manusia. Dalam
konteks hukum, kebenaran yang tercermin dalam norma hukum juga cenderung fleksibel dan
responsif terhadap nilai-nilai yang diakui dalam masyarakat.
Oleh karena itu, pemahaman tentang kebenaran dalam konteks filsafat dan hukum menegaskan
kompleksitas dan fleksibilitas dalam menentukan apa yang dianggap benar atau salah dalam
berbagai situasi dan konteks yang berbeda.

REFERENSI:
Sukarno A, Muhadar, Maskun. (2017). Filsafat Hukum Teori & Praktek. Jakarta: Kencana.

Anda mungkin juga menyukai