Oleh:
237005026
1
RANGKUMAN BUKU FILSAFAT HUKUM KONSEPSI DAN IMPLEMENTASI
Pengarang:
Dr. H. ABUSTAN, S.H., M.H.
BAB I PENDAHULUAN
Latar belakang timbulnya filsafat hukum adalah sebagai berikut; Pertama, adanya
ketegangan jiwa dalam pikiran, kebimbangan tentang kebenaran, tentang keadilan dari
hukum yang berlaku dan merasa tidak puas tentang hukum yang berlaku itu. Hukum yang
berlaku tidak sesuai dengan keadaan masyarakat dan mereka berusaha untuk mencari
hukum yang lebih adil dan lebih baik dari hukum yang berlaku. Kedua, adanya ketegangan-
ketegangan antara kepercayaan atau agama dengan hukum yang berlaku yang memiliki
weltanschauung den lebenschauung (pandangan dunia dan pandangan hidup) tertentu.
Mereka melihat suatu pertentangan peraturan-peraturan yang berlaku dengan peraturan
agama atau pandangan hidup yang mereka anut, sehingga timbullah suatu perang batin
dalam pikirannya maka berusaha untuk mengatasinya dari sini timbul beberapa aliran
filsafat hukum. Ketiga, filsafat hukum timbul disebabkan kesangsian tentang kebenaran dan
keadilan dari hukum yang berlaku terlepas dari sistem agama atau filsafat umum. Disini
yang dinilai adalah hukum positif. Apakah keberadaan hukum positif itu adalah hukum
yang adil, kesangsian-kesangsian ditujukan pada nilai-nilai peraturan tertentu yang berlaku
pada waktunya? Hal ini berarti bahwa “isi” peraturan yang ada pada waktu itu tidak
dianggap sebagai peraturan yang adil dan disangsikan kebenarannya.
Dari uraian tersebut, maka ahli pikir hukum mencari hakikat hukum. Mereka ingin
mengetahui yang ada di belakang hukum, mencari apa yang tersembunyi di dalam hukum,
menyelidiki kaidah-kaidah hukum sebagai pertimbangan nilai, dan memberi penjelasan
nilai-nilai postulat (dasar). Akhirnya, filsafat hukum pada hakikatnya adalah terkait “hati
nurani” manusia yang berpijak pada filsafat atau pandangan manusia mengenai tempatnya
di alam semesta di satu pihak dan di lain pihak pada pandangan manusia tentang bentuk
masyarakat yang terbaik. Hukum merupakan suatu “tanda tanya” jika dipikirkan secara
mendalam.
Suatu undang-undang jika terjadi karena kehendak semena-menda dari seorang
raja atau terjadi karena kehendak dari jumlah orang-orang yang kebetulan dari jumlah yang
terbanyak. Manusia merupakan bagian dari alam berkat rasionya telah disiapkan oleh
penciptanya suatu sistem pikir dan moral sehingga manusia dapat membedakan antara yang
baik dan buruk, kuat dan lembah yang merupakan bagian dari hukum alam. Pada manusia
sistem pikir dan moral yang membedakan manusia dengan makhluk ciptaan yang lain.
Manusia diberikan alternatif pilihan yang dapat mengungkapkan kehendak penciptanya
dalam bentuk hukum yang wajib ditaati atau menempuh jalan yang dipengaruhi oleh ruang,
waktu, dan tempat.
Hukum yang dibuat manusia itu yang dipengaruhi oleh ruang, waktu, dan tempat
disebut hukum positif. Jika hukum positif tidak dapat disesuaikan dengan hukum kodrat,
2
hukum positif itu kehilangan sifat hukumnya yang harus mengatur hidup bersama tertib dan
aman, saling menghormati satu sama lain, menjaga hak dan kewajiban tidak menyakiti
orang yang ada di sebelahnya. Kesemuanya itu adalah “ide” daripada akal budi ilahi yang
menciptakan segalanya dan membimbing kepada tujuan selaras dengan ketentuan yang
terdapat dalam wahyu-Nya sebagai tuntutan hidup manusia.
3
perikelakuan yang teraktur, dan jalinan nilai-nilai yakni jalinan dari konsepsi-konsepsi
abstrak tentang apa yang dianggap baik dan buruk.
Setelah diuraikan pengertian filsafat dan hukum, maka dilanjutkan dengan
menganalisis bagaimana filsafat dan hukum bersinergi untuk menghasilkan filsafat hukum.
Istilah filsafat hukum memiliki sinonim dengan legal philosophy, philosophy of law, atau
rechtfilosofie. Pengertian filsafat hukum terdiri dari berbagai pendapat, ada yang
mengatakan bahwa filsafat hukum adalah ilmu, filsafat teoretis, filsafat terapan dan filsafat
praktis, maupun sebagai subspecies dari filsafat etika, dan lain sebagainya. Secara
sederhana, filsafat hukum dapat dikatakan sebagai cabang filsafat yang mengatur tingkah
laku atau etika yang mempelajari hakikat hukum.
Kelsen mendekati filsafat hukum dengan menggunakan pendekatan teori hukum
murni, sedangkan Aristoteles menunjukkan bahwa filsafat hukum hadir sebagai sebuah
bentuk perlawanan terhadap ketidakmampuan ilmu hukum dalam membentuk dan
menegakkan kaidah dan putusan hukum sebagai suatu sistem yang logis dan konseptual.
Oleh karena itu, filsafat hukum merupakan alternatif yang dipandang tepat untuk
memperoleh solusi yang tepat terhadap permasalahan hukum.
4
suatu disiplin rasional, sedangkan moralitas berkaitan lebih erat dengan adat istiadat atau
kebiasaan.
Etika sebagi ilmu memiliki metode, yakni metode dan pendekatan kritis. Etika
tidak memberikan ajaran, melain memeriksa kebiasaan-kebiasaan nilai, norma, dan
pandangan moral secara kritis. Jika etika memiliki metode, maka tujuan etika adalah untuk
mendapatkan ideal yang sama bagi seluruh manusia di tempat mana pun juga dalam waktu
bila pun juga mengenai penilaian baik dan buruk.
5
tercermin dalam ideologi negara, yaitu Pancasila. Secara sosiologis, Indonesia masa
kini dikonsepsikan sebagai Indonesia yang ada pada ruang dan waktu era globallisasi
dan otonomi daerah, dimana atmosfer pasar bebas dan tuntutan kesejahteraan begitu
kuatnya serta Kerjasama antaranegara begitu dominannya. Secara kultural, batas-batas
antara era peradaban bangsa menjadi begitu longgar sehingga tumbuhnya kesadaran
tentang hak asasi manusia, demokrasi, persoalan gender, persoalan lingkungan hidup
menjadi mendunia. Hal-hal tersebut sesungguhnya didorong oleh apa yang disebut
mekanisme pasar bebas yang tumbuh dalam ideologi politik kapitalisme.
Kadangkala keadilan hanya menjadi perdebatan dan diskusi kaum intelektual tiada
akhir; apa itu keadilan, bagaimana wujud keadilan, dimana itu keadilan dan kapan
seseorang memperoleh keadilan, dan masih banyak lagi pertanyaan terkait keadilan.
Keadilan harus diwujudkan agar mampu memaknai supremasi hukum, menghilangkan
imparsialitas hukum dan tetap pada entitas keadilan. Hukum dan keadilan sebenarnya
adalah dua elemen yang saling bertaut merupakan “conditio sine qua non” bagi yang
lainnya. Hukum adalah manifestasi eksternal keadilan dan keadilan adalah internal autentik
dan esensi roh wujud hukum, sehingga supremasi hukum adalah supremasi keadilan begitu
pula sebaliknya.
Hukum tidak akan mampu bertahan hidup apabila roh keadilan telah hilang. Akibat
distorsi pemikiran hukum dengan hilangnya integritas hukum menyebabkan hukum terasa
belum menjadi sarana produksi keadilan. Komponen aparat hukum seperti produsen
perundang-undangan ataupun penegak hukum belum mampu menjadi produsen keadilan.
Hal ini disebabkan produsen peraturan perundang-undangan tidak mampu menempatkan
keadilan sebagai roh perundang-undangan, maupun penegak hukum sendiri tidak memiliki
integritas moral yang tinggi.
Dalam alam pikiran kuno, filsuf Yunani (abad ke – 6 dan 5 SM) memandang
manusia adalah bagian dari alam semesta, sehingga keadilan timbul dari keteraturan hidup
bersama yang harus disesuaikan dengan keharusan alamiah. Kaum Sofis memandang
bahwa manusia sebagai satu-satunya sumber yang menentukan apa yang baik dan apa yang
adil. Plato (427-437 SM) menggambarkan keadilan pada jiwa manusia dengan
membandingkannya pada kehidupan manusia. Manusia menurut Plato hanya dapat
berkembang dan mencapai kebahagiaan melalui negara, manusia hanya dapat berkembang
dalam negara atau melalui negara, maka keutamaan yang tertinggi manusia adalah ketaatan
pada hukum negara, baik yang tertulis maupun tidak tertulis.
Aristoteles (384 – 322 SM) kemudian memberikan sumbangan cukup besar bagi
pemikiran tentang hukum dan keadilan, dengan menggolongkan keadilan ke dalam
keadilan distributif dan keadilan korektif. Keadilan distributif merupakan pembagian
barang-barang dan kehormatan kepada masing-masing orang sesuai dengan tempatnya
6
dalam masyarakat, sedangkan keadilan korektif memberikan ukuran untuk menjalankan
hukum sehari-hari. Segala sesuatu yang ditetapkan oleh undang-undang adalah adil, sebab
adil ialah apa yang dapat mendatangkan kebahagiaan dalam masyarakat. Lili Rasjidi
berpendapat bahwa hakikat hukum bertumpu pada ide keadilan dan kekuatan moral.
Sebagaimana Satjipto Rahardjo mengemukakan bahwa tanpa adanya moralitas maka
hukum akan kehilangan supremasinya dan ciri independent. Keadilan dan ketidakadilan
menurut hukum akan diukur dan dinilai oleh moralitas yang mengacu pada harkat dan
martabat manusia.
Selanjutnya, Sudikno Mertokusomo berpendapat bahwa hukum berasal dari
kehendak penguasa tertinggi dalam hal ini adalah pembentuk undang-undang. Undang-
undang dipandang cukup jelas dan lengkap yang berisi semua jawaban terhadap persoalan
hukum, sehingga hakim berkewajiban menerapkan aturan hukum pada peristiwa
konkretnya melalui metode penafsiran gramatikal dan substantif, setelah itu hakim
memberikan keadilan dengan menentukan hukum dalam menyelesaikan perkara tersebut.
Dalam proses pengambilan keputusan untuk mengakhiri suatu perkara, ada kemungkinan
hakim dihadapkan pada keadaan yang meragukan antara terbukti atau tidak. Demikian pula,
konflik antara kepastian hukum atau keadilan, antara kepastian hukum dengan
kemanfaatan. Dalam hal seperti ini, maka diperlukan keeranian dan sikap tegas para hakim
untuk menciptakan hukum yang adil.
7
8