Anda di halaman 1dari 8

FILSAFAT HUKUM

Oleh:

ELSA KARINA BR GULTOM

237005026

Dosen Pengampu : Prof. Dr. Tan Kamello, S.H., M.S.

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
HUKUM EKONOMI SEMESTER I
2023

1
RANGKUMAN BUKU FILSAFAT HUKUM KONSEPSI DAN IMPLEMENTASI
Pengarang:
Dr. H. ABUSTAN, S.H., M.H.

BAB I PENDAHULUAN
Latar belakang timbulnya filsafat hukum adalah sebagai berikut; Pertama, adanya
ketegangan jiwa dalam pikiran, kebimbangan tentang kebenaran, tentang keadilan dari
hukum yang berlaku dan merasa tidak puas tentang hukum yang berlaku itu. Hukum yang
berlaku tidak sesuai dengan keadaan masyarakat dan mereka berusaha untuk mencari
hukum yang lebih adil dan lebih baik dari hukum yang berlaku. Kedua, adanya ketegangan-
ketegangan antara kepercayaan atau agama dengan hukum yang berlaku yang memiliki
weltanschauung den lebenschauung (pandangan dunia dan pandangan hidup) tertentu.
Mereka melihat suatu pertentangan peraturan-peraturan yang berlaku dengan peraturan
agama atau pandangan hidup yang mereka anut, sehingga timbullah suatu perang batin
dalam pikirannya maka berusaha untuk mengatasinya dari sini timbul beberapa aliran
filsafat hukum. Ketiga, filsafat hukum timbul disebabkan kesangsian tentang kebenaran dan
keadilan dari hukum yang berlaku terlepas dari sistem agama atau filsafat umum. Disini
yang dinilai adalah hukum positif. Apakah keberadaan hukum positif itu adalah hukum
yang adil, kesangsian-kesangsian ditujukan pada nilai-nilai peraturan tertentu yang berlaku
pada waktunya? Hal ini berarti bahwa “isi” peraturan yang ada pada waktu itu tidak
dianggap sebagai peraturan yang adil dan disangsikan kebenarannya.
Dari uraian tersebut, maka ahli pikir hukum mencari hakikat hukum. Mereka ingin
mengetahui yang ada di belakang hukum, mencari apa yang tersembunyi di dalam hukum,
menyelidiki kaidah-kaidah hukum sebagai pertimbangan nilai, dan memberi penjelasan
nilai-nilai postulat (dasar). Akhirnya, filsafat hukum pada hakikatnya adalah terkait “hati
nurani” manusia yang berpijak pada filsafat atau pandangan manusia mengenai tempatnya
di alam semesta di satu pihak dan di lain pihak pada pandangan manusia tentang bentuk
masyarakat yang terbaik. Hukum merupakan suatu “tanda tanya” jika dipikirkan secara
mendalam.
Suatu undang-undang jika terjadi karena kehendak semena-menda dari seorang
raja atau terjadi karena kehendak dari jumlah orang-orang yang kebetulan dari jumlah yang
terbanyak. Manusia merupakan bagian dari alam berkat rasionya telah disiapkan oleh
penciptanya suatu sistem pikir dan moral sehingga manusia dapat membedakan antara yang
baik dan buruk, kuat dan lembah yang merupakan bagian dari hukum alam. Pada manusia
sistem pikir dan moral yang membedakan manusia dengan makhluk ciptaan yang lain.
Manusia diberikan alternatif pilihan yang dapat mengungkapkan kehendak penciptanya
dalam bentuk hukum yang wajib ditaati atau menempuh jalan yang dipengaruhi oleh ruang,
waktu, dan tempat.
Hukum yang dibuat manusia itu yang dipengaruhi oleh ruang, waktu, dan tempat
disebut hukum positif. Jika hukum positif tidak dapat disesuaikan dengan hukum kodrat,

2
hukum positif itu kehilangan sifat hukumnya yang harus mengatur hidup bersama tertib dan
aman, saling menghormati satu sama lain, menjaga hak dan kewajiban tidak menyakiti
orang yang ada di sebelahnya. Kesemuanya itu adalah “ide” daripada akal budi ilahi yang
menciptakan segalanya dan membimbing kepada tujuan selaras dengan ketentuan yang
terdapat dalam wahyu-Nya sebagai tuntutan hidup manusia.

BAB II FILSAFAT, HUKUM, DAN FILSAFAT HUKUM


Filsafat dalam bahasa Yunani disebut philosophia berasal dari kata “philos” atau
“philia” dan “Sophos”. Philos diartikan sebagai cinta persahabatan, sedangkan Sophos
berarti hikmah, kebijaksanaan, pengetahuan, keterampilan, pengalaman praktis, dan
intelegensi. Oleh karena itu philosophia dapat diartikan sebagai cinta kebijaksanaan atau
kebenaran. Istilah philosophia dalam sejarah menjadi sesuatu yang diperdebatkan, ada yang
mengatakan bahwa philosophi diperkenalkan pertama kali oleh Heraklitos (540 – 580 SM)
dan ada yang mengatakan bahwa phytagoras yang memperkenalkan untuk pertama kali.
Namun, yang terpenting bahwa filsafat telah menjadi bagian dari peradaban dunia.
Immanuel Kant berpendapat bahwa filsafat adalah ilmu dasar segala pengetahuan
yang mencakup didalamnya empat persoalan, yakni apa yang dapat kita ketahui? (dijawab
oleh metafisika), apakah yang boleh kita kerjakan? (dijawab oleh etika / norma), sampai di
manakah pengharapan kita? (dijawab oleh agama), dan apakah yang dinamakan manusia?
(dijawab oleh antropologi). Ahli dari Indonesia, Hasbullah Bakri berpendapat bahwa
filsafat digambarkan sebagai jenis pengetahuan yang menyelidiki segala sesuatu dengan
mendalam tentang ketuhanan, alam semesta, dan manusia, sehingga dapat menghasilkan
pengetahuan tentang hakikatnya sejauh yang dapat dicapai akal manusia dan bagaimana
sikap manusia itu seharusnya setelah mencapai pengetahuan itu.
J. Van Kan menjelaskan hukum sebagai keseluruhan ketentuan kehidupan yang
bersifat memaksa, yang melindungi kepentingan-kepentingan orang dalam masyarakat.
Pendapat tersebut sejalan dengan pendapat Rudolf von Ihering yang menyatakan bahwa
hukum adalah keseluruhan norma yang memaksa dan berlaku dalam suatu negara. Hans
Kelsen mengartikan hukum adalah kesatuan norma-norma bagaimana orang harus
berperilaku. Oleh karena itu, merujuk pada uraian pengertian, baik yang mengemukakan
hukum dalam perspektif hukum alam, hukum positivis, dan hukum secara keseluruhan,
maka Purnadi Purbacaraka dan Soekanto berpendapat ada Sembilan arti hukum, yakni :
ilmu pengetahuan yang tersusun secara sistematis atas dasar kekuatan pemikiran, disiplin
yang merupakan suatu sistem ajaran tetang kenyataan atau gejala-gejala yang dihadapi,
norma yaitu pedoman atau patokan sikap tindak atau perikelakuan yang pantas atau
diharapkan, tata hukum yakni struktur dan proses perangkat norma-norma hukum yang
berlaku pada suatu waktu dan tempat tertentu secara tertulis, petugas yakni pribadi-pribadi
yang merupakan kalangan yang berhubungan erat dengan penegakan hukum, keputusan
pengawas yakni hasil proses diskresi, proses pemerintahan yakni proses hubungan timbal
balik antara unsur-unsur pokok dari sistem ketatanegaraan, sikap yakni tindak ajek atau

3
perikelakuan yang teraktur, dan jalinan nilai-nilai yakni jalinan dari konsepsi-konsepsi
abstrak tentang apa yang dianggap baik dan buruk.
Setelah diuraikan pengertian filsafat dan hukum, maka dilanjutkan dengan
menganalisis bagaimana filsafat dan hukum bersinergi untuk menghasilkan filsafat hukum.
Istilah filsafat hukum memiliki sinonim dengan legal philosophy, philosophy of law, atau
rechtfilosofie. Pengertian filsafat hukum terdiri dari berbagai pendapat, ada yang
mengatakan bahwa filsafat hukum adalah ilmu, filsafat teoretis, filsafat terapan dan filsafat
praktis, maupun sebagai subspecies dari filsafat etika, dan lain sebagainya. Secara
sederhana, filsafat hukum dapat dikatakan sebagai cabang filsafat yang mengatur tingkah
laku atau etika yang mempelajari hakikat hukum.
Kelsen mendekati filsafat hukum dengan menggunakan pendekatan teori hukum
murni, sedangkan Aristoteles menunjukkan bahwa filsafat hukum hadir sebagai sebuah
bentuk perlawanan terhadap ketidakmampuan ilmu hukum dalam membentuk dan
menegakkan kaidah dan putusan hukum sebagai suatu sistem yang logis dan konseptual.
Oleh karena itu, filsafat hukum merupakan alternatif yang dipandang tepat untuk
memperoleh solusi yang tepat terhadap permasalahan hukum.

BAB III HUKUM DAN MORAL

Dalam metafisika kesusilaan Kant (1979) ditemukan perbedaan antara legalitas


dan moralitas. Legalitas menurut Kant dipahami sebagai kesesuaian atau ketidaksesuaian
semata-mata suatu tindakan dengan hukum atau norma lahiriah belaka. Kesesuaian dan
ketidaksesuaian belumlah dianggap memiliki nilai-nilai moral, sebab nilai-nilai baru dapat
ditemukan dalam moralitas. Moralitas barulah dapat diukur ketika seseorang menaati
hukum secara lahiriah karena kesadaran bahwa hukum itu adalah kewajiban dan bukan
lantaran takut pada kuasa sang pemberi hukum.
Menurut Kant, seorang yang bertindak demi hukum moral berarti ia bertindak
berdasarkan kewajiban-kewajiban sebagai pengejawantahan dari kehendak baik, dan
karenanya tindakan itu baik secara moral. Moral berasal dari bahasa latin moralis mos,
moris yang diartikan sebagai adat, istiadat, kebiasaan, cara, tingkah laku, dan kelakuan.
Menurut Franz Magnis-Suseno, moral selalu mengacu kepada baik buruknya manusia
sebagai manusia. Norma-norma moral adalah tolok ukur untuk menentukan benar salahnya
sikap dan tindakan manusia dilihat dari segi buruknya sebagai manusia dan bukan sebagai
pelaku peran tertentu dan terbatas.
Di satu sisi moralitas berbeda dengan moral. Moralitas disebut juga ethos. Ethos
misalnya sikap moral dari satu nilai khusus. Moralitas tampak sebagai sesuatu yang tumbuh
seiring dengan kondisi hidup manusia. Sedangkan, etika sendiri dalam beberapa literatur
dan pendapat para filsuf disinonimkan dengan moralitas, bukan moral. Namun, Santayana
berpendapat bahwa pada dasarnya etika berbeda dengan moralitas, etika dianggap sebagai

4
suatu disiplin rasional, sedangkan moralitas berkaitan lebih erat dengan adat istiadat atau
kebiasaan.
Etika sebagi ilmu memiliki metode, yakni metode dan pendekatan kritis. Etika
tidak memberikan ajaran, melain memeriksa kebiasaan-kebiasaan nilai, norma, dan
pandangan moral secara kritis. Jika etika memiliki metode, maka tujuan etika adalah untuk
mendapatkan ideal yang sama bagi seluruh manusia di tempat mana pun juga dalam waktu
bila pun juga mengenai penilaian baik dan buruk.

BAB IV ANALISIS HISTORIS – YURIDIS DALAM PERSPEKTIF SEJARAH


HUKUM

Dilihat dari perspektif perkembangan peradaban di Eropa Barat, hukum


sesungguhnya telah dikembangkan sejak masa sebelum masehi, begitu juga dengan
perkembangan filsafat, yang berkembang dalam beberapa era, yakni:
a. Era abad pertengahan, adalah masa di mana peran agama mulai menguat di Dunia
Barat maupun di Dunia Timur. Dalam Dunia Barat, filsuf ang berpengaruh adalah St.
Agustinus dean Thomas Aquinas, yang dianggap telah menjembatani filsafat Yunani
dengan alam. Menurut St. Agustinus hukum alam merupakan hukum abadi yang ada
pada Tuhan. Prinsip tertinggi hukum alam adalah “jangan berbuat kepada orang lain
apa yang engkau tidak inginkan orang berbuat kepadamu”. Ajaran tersebut kemudian
mempengaruhi Thomas Aquinas yang mendefinisikan hukum alam sebagai hukum
yang berasal dari Tuhan dan mewujudkan diri dalam akal manusia (divine law). Dalam
era ini, raja sebagai pemimpin yang bersifat mutlak yang memegang tiga kekuasaan
secara bersama-sama, yaitu kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan
yudikatif.
b. Era Pencerahan atau Era Renaissance, adalah masa dimana konsepsi tentang hukum
alam mengalami penambahan bahwa dalam era ini mulai dipengaruhi oleh akal budi
dan rasio manusia atau berpusat pada manusia. Dalam era ini, tokoh-tokoh yang
berpengaruh adalah Grotius atau Hugo de Groot (1583-1645) dan Samuel Pufendorf.
Masa ini melahirkan pendekatan empiris dalam ilmu pengetahuan, karena yang
dipandang valid sebagai ilmu adalah ilmu-ilmu yang disusun berdasarkan fakta-fakta
yang dihimpun melalui observasi secara impersonal atau lepas dari nilai-nilai subjektif
dan hanya didasarkan pada akal (rasio) dan pengalaman. Pada masa-masa selanjutnya
kemudian lahirlah berbagai teori, antara lain teori hubungan individu dengan negara
yang dikemukakan oleh John Locke, teori ekonomi pasar besar oleh Adam Smith,
hingga pemikiran-pemikiran oleh J.J Rousseau dan Montesquieu yang berpengaruh
besar dalam mengubah tata pikir masyarakat negara.
c. Era Sistem Hukum Indonesia. Sistem hukum di Indonesia dibangun berdasarkan nilai-
nilai, norma-norma yang terus berkembang, dianut dan disepakati oleh bangsa
Indonesia. Nilai-nilai, norma-norma yang disepakati oleh bangsa Indonesia itu

5
tercermin dalam ideologi negara, yaitu Pancasila. Secara sosiologis, Indonesia masa
kini dikonsepsikan sebagai Indonesia yang ada pada ruang dan waktu era globallisasi
dan otonomi daerah, dimana atmosfer pasar bebas dan tuntutan kesejahteraan begitu
kuatnya serta Kerjasama antaranegara begitu dominannya. Secara kultural, batas-batas
antara era peradaban bangsa menjadi begitu longgar sehingga tumbuhnya kesadaran
tentang hak asasi manusia, demokrasi, persoalan gender, persoalan lingkungan hidup
menjadi mendunia. Hal-hal tersebut sesungguhnya didorong oleh apa yang disebut
mekanisme pasar bebas yang tumbuh dalam ideologi politik kapitalisme.

BAB V HUKUM DAN KEADILAN

Kadangkala keadilan hanya menjadi perdebatan dan diskusi kaum intelektual tiada
akhir; apa itu keadilan, bagaimana wujud keadilan, dimana itu keadilan dan kapan
seseorang memperoleh keadilan, dan masih banyak lagi pertanyaan terkait keadilan.
Keadilan harus diwujudkan agar mampu memaknai supremasi hukum, menghilangkan
imparsialitas hukum dan tetap pada entitas keadilan. Hukum dan keadilan sebenarnya
adalah dua elemen yang saling bertaut merupakan “conditio sine qua non” bagi yang
lainnya. Hukum adalah manifestasi eksternal keadilan dan keadilan adalah internal autentik
dan esensi roh wujud hukum, sehingga supremasi hukum adalah supremasi keadilan begitu
pula sebaliknya.
Hukum tidak akan mampu bertahan hidup apabila roh keadilan telah hilang. Akibat
distorsi pemikiran hukum dengan hilangnya integritas hukum menyebabkan hukum terasa
belum menjadi sarana produksi keadilan. Komponen aparat hukum seperti produsen
perundang-undangan ataupun penegak hukum belum mampu menjadi produsen keadilan.
Hal ini disebabkan produsen peraturan perundang-undangan tidak mampu menempatkan
keadilan sebagai roh perundang-undangan, maupun penegak hukum sendiri tidak memiliki
integritas moral yang tinggi.
Dalam alam pikiran kuno, filsuf Yunani (abad ke – 6 dan 5 SM) memandang
manusia adalah bagian dari alam semesta, sehingga keadilan timbul dari keteraturan hidup
bersama yang harus disesuaikan dengan keharusan alamiah. Kaum Sofis memandang
bahwa manusia sebagai satu-satunya sumber yang menentukan apa yang baik dan apa yang
adil. Plato (427-437 SM) menggambarkan keadilan pada jiwa manusia dengan
membandingkannya pada kehidupan manusia. Manusia menurut Plato hanya dapat
berkembang dan mencapai kebahagiaan melalui negara, manusia hanya dapat berkembang
dalam negara atau melalui negara, maka keutamaan yang tertinggi manusia adalah ketaatan
pada hukum negara, baik yang tertulis maupun tidak tertulis.
Aristoteles (384 – 322 SM) kemudian memberikan sumbangan cukup besar bagi
pemikiran tentang hukum dan keadilan, dengan menggolongkan keadilan ke dalam
keadilan distributif dan keadilan korektif. Keadilan distributif merupakan pembagian
barang-barang dan kehormatan kepada masing-masing orang sesuai dengan tempatnya

6
dalam masyarakat, sedangkan keadilan korektif memberikan ukuran untuk menjalankan
hukum sehari-hari. Segala sesuatu yang ditetapkan oleh undang-undang adalah adil, sebab
adil ialah apa yang dapat mendatangkan kebahagiaan dalam masyarakat. Lili Rasjidi
berpendapat bahwa hakikat hukum bertumpu pada ide keadilan dan kekuatan moral.
Sebagaimana Satjipto Rahardjo mengemukakan bahwa tanpa adanya moralitas maka
hukum akan kehilangan supremasinya dan ciri independent. Keadilan dan ketidakadilan
menurut hukum akan diukur dan dinilai oleh moralitas yang mengacu pada harkat dan
martabat manusia.
Selanjutnya, Sudikno Mertokusomo berpendapat bahwa hukum berasal dari
kehendak penguasa tertinggi dalam hal ini adalah pembentuk undang-undang. Undang-
undang dipandang cukup jelas dan lengkap yang berisi semua jawaban terhadap persoalan
hukum, sehingga hakim berkewajiban menerapkan aturan hukum pada peristiwa
konkretnya melalui metode penafsiran gramatikal dan substantif, setelah itu hakim
memberikan keadilan dengan menentukan hukum dalam menyelesaikan perkara tersebut.
Dalam proses pengambilan keputusan untuk mengakhiri suatu perkara, ada kemungkinan
hakim dihadapkan pada keadaan yang meragukan antara terbukti atau tidak. Demikian pula,
konflik antara kepastian hukum atau keadilan, antara kepastian hukum dengan
kemanfaatan. Dalam hal seperti ini, maka diperlukan keeranian dan sikap tegas para hakim
untuk menciptakan hukum yang adil.

BAB VI HUKUM DAN KEBENARAN

Hubungan hukum dan kebenaran dimulai dengan mendiskusikan ilmu dan


kebenaran ditinjau dari sudut epistemologis. Apabila ilmu dan kebenaran diuraikan dalam
pendekatan epistemologi, pertanyaan yang kemudian muncul adalah bagaimana
membangun konstruksi hukum dan kebenaran itu sendiri, khususnya dalam realitas
kehidupan. Kebenaran yang diuraikan sebagai sesuatu yang bersifat mutlak dan relative
akan menghadapi realitas kebenaran itu sendiri ketika dituangkan dalam bentuk aturan,
norma, dan/atau hukum.
Kebenaran mutlak yang sesungguhnya dipahami sebagai hukum yang juga mutlak
sifatnya tidak akan mudah diimplementasikan menjadi hukum dalam realitas yang
sesungguhnya. Artinya hukum yang mutlak sifatnya tidak dapat dituangkan dalam hukum
yang akan mengatur kehidupan masyarakat. Begitu pula kebenaran yang relatif sifatnya.
Pendekatan epistemologi yang digunakan untuk menguraikan keteraturan hukum dengan
suatu realitas yang akan diwujudkan dalam kaidah, norma, dan/atau hukum akan
mengalami hambatan dalam perwujudannya sebagai hukum.
Hal ini tentunya tidaklah mengherankan karena nilai kebenaran yang dikandung
atau yang dituangkan dalam suatu norma hukum (di dunia) sangatlah fleksibel dalam
merespons nilai kepentingan yang ada di sekelilingnya, sehingga kebenaran yang
dikandungnya adalah kebenaran relatif dan/atau ketidakbenaran.

7
8

Anda mungkin juga menyukai