Absori1, Achmadi2
1,2
Program Doktor Ilmu Hukum, Universitas Muhammadiyah Surakarta
Surakarta, Indonesia
1
absorisaroni@gmail.com, 2achmadiump@gmail.com
bukan lagi dikonsepkan sebagai asas-asas moral lingkup teori hukum dan Ketiga, pemurnian
metayuridis yang abstrak tentang hakikat keadilan, terhadap metodologi teori hukum.3
melainkan sesuatu yang telah menjalani positivisasi Pemurnian oleh aliran hukum positif inilah
sebagai lege ataulex guna menjamin kepastian yang hingga kini mengundang perdebatan untuk
hukum. melakukan pembaruan basis epistemologi ilmu
Menurut Hans Kelsen, hukum digambarkan hukum pada kalangan akademisi dan praktisi
sebagai domain steril (bebas nilai), terpisah dari hukum di Indonesia. Para pengikut hukum positif
etis dan moral. Bahkan dalam doktrin kelsenian, berasumsi bahwa tiada lain tidak dapat dikaji
ilmu hukum menampik keberadaan kontaminasi secara hukum (praktis maupun akademis) suatu
dari anasir-anasir unsur sosiologis, politik, kajian jika tidak memusatkan pada aliran hukum
ekonomis, historis, dan sebagainya. Pemikiran positif. Anasir-anasir pendekatan Filsafat hukum,
inilah yang disebutnya sebagai teori hukum Sosiologi hukum, Antropologi hukum, Sejarah
murni. Dalam ajaran ini, hukum menjadi suatu hukum dan sebagainya dianggap “tidak murni”
kategori keharusan (sollen category) melainkan ilmu hukum, bahkan diabaikan dalam kajian ilmu
bukan merupakan kategori faktual (sains hukum.
category). Hukum merupakan suatu keharusan, Aliran hukum positif ingin memurnikan ilmu
tidak perlu memikirkan secara kreatif tentang hukum dengan membersihkannya dari anasir-
hukum yang ideal (das sollen) melainkan hanya anasir non hukum yang kompleks menjadi sesuatu
menerapkan hukum positif (ius constitutum) yang sederhana, linier, mekanis, deterministik,
dalam mengatur tingkah laku manusia sebagai sehingga melemahkan daya antisipasi hukum
makhluk rasional. terhadap perkembangan masyarakat.4
Teori hukum murni merupakan jawaban yang Reduksionisme ini mengandung bahaya karena
diberikan Kelsen untuk menyelesaikan persoalan hukum yang multi aspek dan mempunyai kaitan
antinomi yurisprudensi.2 Kelsen, oleh karenanya dengan ilmu-ilmu seperti sosial, politik, budaya,
melakukan penolakan terhadap tesis moralitas ekonomi, dan yang lainnya. Reduksi terhadap
dan tesis keterpisahan dan sebagai gantinya sudut pandang ilmu menghasilkan pemahaman
mendasarkan pada (gabungan) antara tesis hukum yang menimbulkan ketimpangan-
normativitas (tanpa tesis moralitas) dan tesis ketimpangan pemikiran. Daya nalar hukum yang
keterpisahan (tanpa tesis reduktif). Melalui tesis- bersifat linier dan mekanis akan memiskinkan
tesis yang menjadi dasar dari teorinya ini, pengetahuan para akademisi hukum di Indonesia.
berupaya melakukan “purify” (pemurnian) dalam 3 Harapan akan terkorelasinya ilmu hukum dengan
bagian, Pertama, pemurnian terhadap objek teori ilmu yang lain, akan menjadi tantangan seluruh
hukum; Kedua, pemurnian tujuan dan ruang para pemikir ilmu hukum Indonesia.
3
Hans Kelsen, 2007, Pure Theory of Law:
Legality and Legitimacy, transitaed by Lars Vinx,
abad ke-19. Lihat, M.D.A. Freeman, Llyods’s,
New York: Oxford University Press, hlm. 7 dan
Introduction to Jurisprudence, London: Sweet &
11; bandingkan dengan Milijan Popovic, 2002,
Maxweel, 2001, hlm. 1384-1386. Lihat, Neil
“Methodological Models of The General Theory
MacCormick, Rhetoric and Rule of Law Theory of
of Law”, facta Universitates, series: Law and
Legal Reasoning, Oxford University Press, hlm.
Politics Journal, Vol. 1 No. 6, Tahun 2002, hlm.
256.
2 659-682.
Stanley L. Paulson, “The Neo-Kantian 4
Widodo Dwi Putro, Kritik Terhadap
Dimension of Kelsen’s Pure Theory of Law, Paradigma Positivisme, Yogyakarta, Genta
Oxford Journal of Legal Studies”, Vol. 12, No. 3, Publishing, 2011, hlm. 5.
Autumn 2005, hlm. 319.
Ilmu hukum tidak dapat berdiri sendiri harus menerima perintah, terutama yang
hinggadapat mentransplantasikan salah satu diberikan oleh hukum positif dan otoritas politik
paradigma sistematik yang otoriter. Disadari atau dan juga menerima norma-norma yang shahih
tidak Ilmu hukum hidup dan berkembang dari yang diberikan oleh penegak hukum yang
pola perilaku (pattern of behavior) dimasyarakat. kompeten, walaupun perintah-perintah itu
Pola perilaku ini melahirkan nilai-nilai hukum nampak tak adil.7
hasil dari interaksi subjektif yaitu disebut Berdasarkan deskripsi di atas,
dengan nilai moral. Oleh karenanya, dalam permasalahannya dari penulisan karya ilmiah ini
memahami nilai moral yang harus diperhatikan adalah untuk menawarkan bagaimanakah
adalah bahwa nilai moral harus terkoneksi erat transplantasi nilai moral dalam budaya untuk
dengan asas hukum positif dan peranan menggapai hukum berkeadilan, terutama yang
negara dalam mengaktualisasikan dalam kaidah terlihat dalam struktur hukum dari paradigma
hukum positif. sistematik Hans Kelsen ke hukum non-
Adat di indonesia menjadi istilah umum untuk sistematik dari Edward O. Wilson dan
menunjukkan yang keseluruhannya sering dielaborasi dengan hukum non sistematik atau
dibentuk oleh moralitas, kebiasaan, dan lembaga asimetris dari Charles Samford.
hukum kelompok etnis atau Adapun tujuan dan manfaat yang dapat diambil
territorial.5Keberadaan nilai yang “baik” dan yaitu mampu mendeskripsikan sebuah tawaran
“buruk” itu selalu ada dalam hubungan baru mengenai transplantasi nilai moral dalam
ketegangan. Namun, ketegangan atau budaya untuk menggapai hukum berkeadilan.
pertentangan ini merupakan hal yang seharusnya Pemahaman tentang keterkaitan antara budaya
ada, karena dari pertentangan ini menjelaskan dan sistem hukum selalu menjadi diskusi panjang
hal yang seharusnya ada dikarenakan dalam suatu pembentukan peraturan-peraturan
pertentangan ini diharapkan setiap manusia perundang-undangan. Untuk lebih memahami
dapat mencapai keseimbangan (harmoni) konteks kajian tersebut, selanjutnya
pandangan hidup dan kehidupan manusia,6 dan dikemukakan beberapa pengertian dan telaah
harapan ini seyogyanya terwujud dalam kaidah- yang berkaitan dengan topik kajian budaya
kaidah hukum positif. bangsa dan sistem hukum, diharapkan dapat
Manusia tidak membutakan matanya terhadap memberikan pemahaman telaah tentang
kenyataan bahwa dunia ini bukanlah yang terbaik. kajiantransplantasi nilai moral dalam budaya
Ia menghadapi kenyataan yang teguh, untuk menggapai hukum berkeadilan.
berdasarkan penalaran yang tidak lebih lemah 1. Budaya Bangsa
dari rasa sentimentilnya, serta cukup kuat Ada dua kelompok pandangan utama yang
untuk tidak tertipu oleh keinginan serta membahas makna kata budaya, kelompok
kepentingannya. Manusia menerima kehidupan pertama ialah M.M. Djojodigoeno (1958) dalam
dunia seperti adanya, dan berusaha bukunya Azas-Azas Sosiologi sebagaimana dikutip
menghadapinya dengan berani, meski penuh
kesedihan. Ini berarti orang
Koentjaraningrat,8 yang membedakan antara lembaga hukum lain, yang dulu pernah dianggap
budaya dan kebudayaan. Alasannya, kata orisinal milik hukum di negara tertentu, terbukti
kebudayaan berasal dari kata Sansakerta sesungguhnya berasal dari luar negeri.
buddhayah, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang Dengan demikian, transplantasi nilai moral
berarti budi atau akal. Dengan demikian dalam budaya untuk menggapai hukum
kebudayaan dapat diartiakan sebagai hal-hal yang berkeadilan dapat memungkinkan seseorang yuris
bersangkutan dengan akal.9 untuk melihat sistem hukum dinegerinya sendiri
2. Sistem Hukum
dari sudut pandang yang baru dengan jarak
Membicarakan sistem hukum berarti tertentu. Lewat perspektif baru ini, akan
membahas hukum secara sistematik yang telah diperoleh pemahaman yang lebih baik mengenai
diadopsi dari norma-norma dan diberlakukan di fungsi dan nilai-nilai fenomena hukum yang sudah
dalam negara. Studi hukum komparatif dikenal baik dalam hukum dinegerinya sendiri.
memberikan pemahaman yang lebih baik Pada bagian ini juga mengetengahkan pokok
mengenai sistem hukum di negara sendiri. 10 Boleh bahasan yang berkaitan dengan pemahaman
dikatakan, banyak peraturan hukum dan lembaga teoritik tentang kajiantransplantasi nilai moral
hukum yang diterima dimasyarakat berbudaya dalam budaya untuk menggapai hukum
sesungguhnya muncul secara kebetulan dalam berkeadilan.Pemahaman teoritik ini penting
sistem hukum di negeri tersebut atau karena dilakukan sebagai sarana untuk mendeskripsikan
faktor sejarah atau faktor geografi khusus, dan dan menjelaskan, serta memahami masalah
kemungkinan besar banyak sistem lain yang dapat secara lebih baik,12dengan demikian sangat
bertahan cukup baik tanpa peraturan-peraturan membantu untuk memahami segala sesuatu yang
serupa itu. Dalam sistem-sistem hukum yang lain diketahui secara intuitif.
itu, penyelesaian masalah-masalah yang sama
mungkin dilakukan dengan cara yang sama sekali
berbeda-beda, bahkan barangkali cara itu lebih
sederhana dan lebih baik.11 Peraturan hukum dan
12
Lebih lengkap Satjipto Rahardjo
8
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu
Antropologi, Aksara Baru, Jakarta, 1986, hlm. mengungkapkan bahwa dalam dunia ilmu, teori
181. menempati kedudukan yang penting. Ia
9
Ade Saptomo, Budaya Hukum dan Kearifan memberikan sarana kepada kita untuk bisa
Lokal “Sebuah Perspektif Perbandingan”, merangkum serta memahami masalah yang kita
Fakultas Hukum Universitas Pancasila Press, bicarakan secara lebih baik. Hal-hal yang semula
Lintangades, Jakarta, 2013, hlm. 1. tampak tersebar dan berdiri sendiri bisa disatukan
10
Lihat Constatinesco, Rechtsvergleichung, dan ditunjukkan kaitannya satu sama lain secara
vol. 2, hlm. 335-337; David dan Brierley, Major bermakna. Teori, dengan demikian memberikan
Legal System, hlm. 6-8. penjelasan dengan cara mengorgnisasikan dan
11
Kenyataan ini diungkapkan sebuah komite mensistematisasikan masalah yang
di dalam Association of American Law Schools: dibicarakannya, dalam Ilmu Hukum, Citra Adiya
“Setiap mahasiswa hukum harus diperkenalkan Bakti, Bandung, 1991, h. 253. Lihat juga Soerjono
dengan sebuah sistem hukum diluar sistem di Soekanto dan Ratih Lestarini, Fungsionalisme dan
negaranya sendiri. Dia harus memahami bahwa
Teori Konflik Dalam Perkembangan Sosiologi,
dalam solusi-solusi common law, tidak ada yang
Sinar Grafika, Jakarta, 1988, hlm. 10.
namanya ‘ditentukan oleh Tuhan’…” Lihat
A.A.L.S. Proceedings 178 (1960).
seseorang. Nilai moral bersifat subjektif terdapat pokok, yakni dalam arti formal yang menuntut
di alam metafisika, alamnya akal manusia dan bahwa hukum itu berlaku secara umum, dan
bergantung pada berhubungan antara seorang dalam arti materil, yang menuntut agar setiap
penganut dengan hal yang menjadi objek hukum itu harus sesuai dengan cita-cita keadilan
penilaiannya. Sedangkan pertimbangan nilai moral masyarakat.18 Namun apabila ditinjau dalam
yang objektif beranggapan bahwa nilai moral itu konteks yang lebih luas, pemikiran mengenai
terdapat di alam dunia dan harus digali dengan keadilan berkembang dengan pendekatan yang
berpikir radikal yang dintegrasikan bantuan panca berbeda-beda, karena perbincangan tentang
indera. Dianggap objektif sebab pada nilai itu keadilan yang tertuang dalam banyak literatur,
terdapat hierarki nilai, sampai pada nilai yang tidak mungkin tanpa melibatkan tema-tema moral,
baik atau tertinggi yang menentukan penataan politik, dan teori hukum yang ada. Oleh sebab
terstruktur. Nilai objektif ini adalah nilai-nilai itu, menjelaskan mengenai keadilan secara
fundamental yang mencerminkan universalitas tunggal hampir-hampir sulit untuk dilakukan.19
kondisi fisik, psikologis sosial, keperluan manusia Dalam membicarakan tentang kesadaran
dimana pun berada. nurani, rasa kebenaran. dan konsep-konsep yang
Mempertimbangkan segala implikasi berkaitan dengan amat longgar. “Melakukan apa
disertakannya peran ilmu pengetahuan dengan yang benar” bisa mengacu pada sejumlah motif
kebutuhan hukum dalam pembangunan nasional, yang berbeda-beda meskipun berkaitan. Salah satu
maka pada diri kita terpikul beban moral yang diantaranya bisa disebut sebagai civic-mindedness
utama, untuk tetap memelihara martabat (kesadaran akan kepentingan umum). Ini adalah
manusia Indonesia sebagai titik sentral yang pemahaman bahwa kita semestinya mematuhi
paling berkepentingan atas peningkatan kualitas sebuah peraturan, walaupun tidak ada
hidupnya yang terukur dalam konteks budaya kepentingan pribadi kita di sana, karena hal itu
bangsa dengan rasa keadilan sebagai eksistensi baik untuk orang lain atau bagi orang-orang
yang merdeka. secara keseluruhan. Menurut Lawrence Meil
Transplantasi nilai moral sangatlah penting Friedman, pandangannya terhadap sub-budaya
untuk ditambahkan dalam kaidah-kaidah hukum sebagai nilai moralitas adalah kehendak untuk
positif di Indonesia untuk menujuhukum yang mengikuti norma-norma, karena semua itu
berkeadilan. Spirit moral untuk perubahan demi adalah kehendak Tuhan, atau etika yang baik, atau
perbaikan, harus ditunjang dengan langkah-langkah kewajiban agama alih-alih karena hal itu berguna
strategis dan tepat.17 Yakinlah nilai moral sangat bagi kita atau bagi yang lainnya. Motif yang
pantang untuk melakukan pengkhianatan bisikan lainnya lagi adalah rasa keadilan (fairness),
hati nurani dan keyakinan tentang yang benar dan gagasan bahwa suatu peraturan atau perilaku layak
yang baik. untuk dipatuhi, didukung, atau dipegang karena
Pengertian keadilan memiliki sejarah pemikiran adanya kualitas formal.20 Frasa motif disini
yang panjang. Definisi keadilan merupakan bagian diartikan bahwa gagasan keadilan
dari tujuan penulisan ini untuk di deskripsikan.
Memang secara hakiki, dalam diskursus hukum,
sifat dari keadilan itu dapat dilihat dalam dua arti 18
Frans Magnis Suseno, Etika Politik:
Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan
Modern, Jakarta, Gramendia Pustaka Utama,
Bernard L.Tanya, “Hukum Progresif:
17
2003, hlm. 81.
Perspektif Moral dan Kritis” dalam 19
Raymond Wacks, Jurisprudence, London,
“Dekonstruksi dan Gerakan Pemikiran Hukum Blackstone Press Limited, 1987, hlm. 179.
Progresif”, Konsorsium Hukum Progresif 20
Lawrence Meil Friedman, Sistem Hukum:
Universitas Diponegoro, Yogyakarta, Thafa Perspektif Ilmu Sosial, Bandung, Nusa Media,
Media, 2013, hlm. 44. 2017, hlm. 140.
dalam suatu peraturan harus dapat menghidupkan teks tersebut dan berani.24 Namun,
mengintegrasikan nilai-nilai seluruh elemen yang dalam pemikiran positivisme hukum, teks
terdapat didalam perilaku kelompok-kelompok senantiasa merujuk pada aturan tertulis sebagai
masyarakat. proses pengkonkritan yang telah diatur dan
Dualisme dalam Positivisme Hukum paling ditetapkan oleh otoritas-otoritas tertinggi.
berpengaruh dalam tataran sistem hukum di Dalam paradigma sistematik, hukum tidak
Indonesia. Hans Kelsen misalnya, hukum positif dapat dengan mudah diklaim sebagai domain
dilihat dari bentuk (form) yang mempertahankan rasional-dogmatik dan statis, tetapi merupakan
normativitas dalam antinomi yurisprudensi untuk bagian dari domain yang senantiasa mengalami
mengatur tingkah laku manusia sebagai makhluk pengkikisan dan keretakan. Sehingga, setiap saat
hidup yang rasional. Hukum bisa saja tidak adil dan waktu akan muncul pembaharuan tatanan
namun tetap hukum. Menurutnya, suatu norma yang akan menggantikan tatanan lama dan usang.
hukum berlaku tidak karena ia mempunyai isi Edward O. Wilson dalam bukunya Consilience
tertentu, melainkan karena ia dibuat menurut cara The Unity of Knowledge sebagaimana
yang ditetapkan oleh (dalam apa) yang dianggap penjelasannya:25
oleh grundnorm.21Mengenai hukum dalam “Jika dunia ini berjalan sedemikian rupa
pengertian teks yang telah dipositifkan, sehingga akan merangsang Consilience
pemikiran Hans Kelsen diatas mencerminkan pengetahuan, saya yakin bahwa usaha-usaha
dua aspek, yaitu aspek idealisme dan aspek budaya akhirnya akan masuk ke dalam ilmu alam
materialisme.22 dan ilmu kemanusiaan, khususnya ilmu kesenian
Teks23 merupakan dunia makna, diperlukan kreatif. Dua bidang ini akan menjadi 2 (dua)
cara tertentu untuk memahaminya, sebagaimana cabang ilmu pada 21 abad nanti. Ilmu-ilmu sosial
dikatakan Bloom, setiap orang harus selalu akan terus terpecah ke dalam masing-masing
menggulati teks, dengan segala yang manusia disiplin ilmunya, dengan satu bagiannya menyatu
punya, dengan emosi, dengan rasa iri, rasa rindu, menjadi kesinambungan dengan biologi, dan satu
rasa cinta, rasa marah, pendek kata, harus bagian lainnya lagi menyatu dengan kemanusiaan
digunakan senjata yang dimiliki manusia untuk yang berkisar dari falsafah dan sejarah sampai
penalaran moral, agama, perbandingan dan
penafsirannya akan menyatu ke dalam ilmu-ilmu
21
Bernard Arief Sidharta, Hukum dan Logika, ini.
Bandung, Alumni, 2002, hlm. 10. Penjelasan Consilience ini memberikan sebuah
22
Anthon F. Susanto, Ilmu Hukum Non asumsi kepada kita mengenai konsep berpikir
Sistematis: Pondasi Filsafat Pengembangan yang berbeda tentang hukum dari sekedar
Hukum Di Indonesia, Yogyakarta, Genta
Publishing, 2010, hlm. 151.
23
Makna teks telah digunakan dalam wacana 24
Lihat lebih lengkap dalam bukunya
keilmuan secara luas, dalam tradisi Islam klasik, Hernowo, Main-main dengan Teks; Sembari
khususnya dalam bidang hukum Islam, kalam dan Mengasah Potensi Kecerdasan, Bandung, Kaifa,
sufisme, dimaknai sebagai “statemen ilahiah yang 2004. Lihat juga dalam Anthon F. Susanto, Ilmu
tidak membutuhkan interpretasi. Ibnu Arabi Hukum Non Sistematis: Pondasi Filsafat
mendefinisikan teks sebagai wahyu Allah yang Pengembangan Hukum Di Indonesia, Yogyakarta,
tidak memerlukan interpretasi apapun. Dalam Genta Publishing, 2010, hlm. 167.
dunia penafsiran Injil teks juga merujuk kepada 25
Edward O. Wilson, Consilience The Unity
wahyu yang tertuang dalam kitab suci. Dalam of Knowledge, (New York: Vintage Books, A
kajian semiotika atau komunikasi teks sering Division of Random House. Inc). 1st Ed on 1999,
dimaknai berkaitan dengan tanda atau symbol- hlm. 2.
simbol budaya tertentu.
menerima apa yang telah ada dan mapan, dengan yang menurutnya terdiri dari relasi kuasa (power
cara memilih gagasan yang baru dan relation) termasuk di dalamnya relasi otoritas
membandingkannya untuk dikaji.Consilience (authority relation), juga dampak sampingan yang
Wilson memposisikan ilmu biologi pada strata tidak diharapkan (unintended relation) dan dampak
tertinggi dari ilmu-ilmu lainnya. Demikian relasi nilai (value effect relation). Hal demikian,
menurutnya, ilmu-ilmu medis yang berbasis pada karena seringkali hubungan sosial itu
ilmu biologi memiliki consilience, sementara dipersepsikan secara berbeda, sehingga terjadi
hukum tidak memiliki consilience.Consilience polarisasi tingkah laku dalam interaksi sosial.27
hukum harus dapat menyatukan koneksi Komunikasi hukum asimetris memperlihatkan
rasionalitas manusia, falsafah, dan sejarah hingga hubungan antara hukum, individu dan
pada anasir-anasir penalaran moral dan agama, masyarakat, baik secara timbal-balik maupun
perbandingan dan penafsiran dengan konteks tindakan individu melalui relasi sosial,
ilmu-ilmu lainnya. rekonstruksi perintah- perintah normatif
Selanjutnya, Charles Sampford dalam bukunya terhadap individu tertentu, berkaitan pengaturan
yang berjudul The Disorder of Law: A Critique of terhadap tindakan reaktif yang dilakukannya
Legal Theory telah memperkenalkan teori hukum untuk mempermudah tindakan personal. Titik
yang bersandar pada chaos, asimetris, dan non- tolak hubungan asimetris dalam hukum ini
mekanistik dalam hukum. Menurutnya, teori adalah pancaroba persepsi terhadap teks-teks,
chaos dalam hukum merupakan kelanjutan dari undang-undang dan bahasa hukum yang
pemikiran kritis tentang hukum yang sebelumnya menghasilkan lingkup yang luas dan beragam
telah menjadi aliran hukum tersendiri, karena pandangan karena disadari bahwa bahasa yang
gagasan hukum yang asimetris ini dalam argument dibuat oleh pembentuk aturan umumnya sangat
yang relatif berbeda, ditemukan dalam pemikiran sulit dipahami oleh orang kebanyakan, bahkan
sosiologi hukum, khususnya sosiologi hukum dalam hal tertentu hal ini tidak memberikan
mikro, seperti teori konflik, teori simbolik pesan apapun.28
interaksionis, dekontruksionis dan lain-lain yang Dengan membaca realitas pengetahuan yang
mendasarkan konsepnya pada situasi ada pada saat ini terutama realitas yang berkenaan
ketidaktertiban, yang berlawanan dengan dengan kenyataan fisik suatu perkembangan
pandangan terhadap hukum yang bersifat dinamika budaya, sosial, agama dan lainnya.
asimetris.26 Consilience hukum selalu mencoba
Teori Sampford berusaha menolak teori mengkoneksikan gagasan dari seluruh disiplin ilmu
sistem dalam hukum yang menganggap dengan fakta-fakta realitas obyektif. Jika dikaitkan
masyarakat selalu berada dalam kondisi stabil antara hukum dan moral memang memiliki
dan tertib, ia memperkenalkan cara pandang perbedaan, hukum sebagai instrument aturan dan
lain dalam memperoleh kebenaran alternatif, kontrol sosial. Sedangkan moral merupakan
selain model kebenaran yang dominan selama bagian dari nilai baik dan buruk dari suatu sifat
ini. Teori Sampford bergerak dari kenyataan, atau watak manusia yang bersifat subyektif. Akan
basis sosial dan hukum yang penuh dengan tetapi, hukum dan moral itu memiliki hubungan
hubungan yang bersifat asimetris. Hal ini yang sangat erat, karena sebenarnya hukum itu
merupakan asumsi dasar dalam mengkonstruksi merupakan bagian tuntutan moral yang dialami
teori hukum Sampford manusia dalam hidupnya. Oleh karenanya, dalam
membentuk peraturan-peraturan baik itu undang-
undang maupun peraturan lainnya secara tertulis
Absori, Kelik Wardiono dan Saeful
26