Anda di halaman 1dari 18

FILSAFAT HUKUM

Kls.A; Materi 3; Senin; 25 September 2023


Jam 10.30 s / d 12.10

HUKUM DAN FILSAFAT HUKUM DALAM TEORI DAN PRAKTIK

A. Hukum dan Filsafat Hukum 1


Hukum dalam lingkup ilmu pengetahuan telah menjadi perdebatan di kalangan para
sarjana hukum, hal tersebut telah membawa para sarjana hukum membagi ilmu hukum
sebagai bagian dari ilmu sosial. Sebagai langkah awal dari usaha menjawab pertanyaan
tentang apa itu hukum; Maka kita harus benahi dulu pengertian ilmu hukum. Dalam
bahasa Inggris ilmu hukum dikenal dengan kata “legal science” hal ini sangat keliru jika
diartikan secara etimologis, legal dalam bahasa Inggris berakar dari kata lex (latin) dapat
diartikan sebagai undang-undang. Law dalam bahasa inggris terdapat dua pengertian
yang berbeda, yang pertama merupakan sekumpulan preskripsi mengenai apa yang
seharusnya dilakukan dalam mencapai keadilan dan yang kedua, merupakan aturan
perilaku yang ditujukan untuk menciptakan ketertiban masyarakat. 2
Disini dapat dilihat bahwa ilmu hukum itu suatu bidang ilmu yang berdiri sendiri
yang kemudian dapat berintegral dengan ilmu-ilmu lain sebagai suatu terapan dalam ilmu
pengetahuan yang lain. Sebagai ilmu yang berdiri sendiri maka obyek penelitian dari ilmu
hukum adalah hukum itu sendiri, mengingat kajian hukum bukan sebagai suatu kajian
yang empiris, maka oleh Gijssels dan van Hoecke mengatakan ilmu hukum
(jurisprudence) adalah merupakan suatu ilmu pengetahuan yang secara sistematis dan
teroganisasikan tentang gejala hukum, struktur kekuasaan, norma-norma, hak-hak dan
kewajiban. 3
Ilmu hukum memandang hukum dari dua aspek; yaitu hukum sebagai sistem nilai
dan hukum sebagai aturan sosial. Dalam mempelajari hukum adalah memahami kondisi
intrinsik aturan hukum. Hal inilah yang membedakan ilmu hukum dengan disiplin lain
yang mempunyai kajian hukum disiplin-disiplin lain tersebut memandang hukum dari
luar. Studi-studi sosial tentang hukum menmpatkan hukum sebagai gejala sosial.

1
Sukarno Aburaera; Muhadar; Maskun; Filsafat Hukum Teori Dan Praktik;Prenada media Grup;
Jakarta, 2015, hlm. 25.
2
Cf. Rescoe pound, law finding through experience and reason, lectures, university of georgia press,
athens. 1960. P.1.
3
Jan Gijssels and Mark van Hoecke, What is Rechtsteorie?., Kluwer, Rechtwetenschappen,
Antwerrpen, 1982, p. 9.

1
Sedangkan studi-studi yang bersifat evaluatif menghubungkan hukum dengan etika dan
moralitas.
Ilmu hukum modern mengawali langkahnya ditengah-tengah dominasi para pakar
dibidang hukum yang mengkajinya sebagai suatu bentuk dari perkembangan masyarakat
sehingga dasar-dasar dari ilmu pengetahuan hukum terabaikan hal inilah yang menjadi
obyek kajian, karena sekarang banyak sarjana hukum menganggap kajian hukum berada
pada tatanan kajian peraturan perundang-undangan (legislative law) bukan pada
tatanan jurisprudensi, hal tersebut dikarenakan masuk kajian empirik kedalam ilmu
hukum sebagai dasar kajian.
Berdasarkan pergerakan-pergerakan masyarakat dan perkembangan ilmu
pengetahuan maka teknologi terus mengalami perubahan secara cepat, oleh karena itu
hukum harus bisa beradaptasi dengan perkembangan tersebut, maka dengan sendirinya
hukum sebagai suatu bidang ilmu dapat memberikan panduan bagi seorang sarjana
hukum yang kini terbawa dan masuk dalam ranah ilmu hukum yang terintegral dengan
ilmu-ilmu lainnya. Hal ini banyak membawa para sarjana hukum berfikir lebih praksis
dan bukan lagi berfikir sebagai ilmuwan hukum.
B. Kebenaran Hukum Dan Filsafat Hukum Dalam Teori
Memahami kebenaran hukum dari sisi filsafat hukum, harus diawali dengan
memahami pengertian dan tujuan hukum itu sendiri. Hukum secara sederhana dapat
diartikan sebagai sekumpulan aturan, kaedah yang berasal dari nilai-nilai yang
kemudian menjelma menjadi norma. Kehadiran hukum sangat dibutuhkan dalam
menciptakan ketertiban di dalam kehidupan sosial manusia tersebut, itulah yang menjadi
salah satu tujuan hukum. Dikenal tiga teori dalam menentukan kriteria kebenaran. Teori
korespondensi, teori koherensi atau konsistensi, dan teori pragmatis. Kesimpulan,
kebenaran hukum perspektif filsafat hukum, kembali kepada paradigma/ teori apa yang
digunakan. Keyakinan atau kepercayaan hukum apa yang dianut oleh seseorang akan
membawanya kepada jawaban akan kebenaran hukum yang ia percayai. Maka untuk
menuntun seseorang kepada kebenaran hukum yang sesungguhnya, dibutuhkan ilmu.
Sehingga kebenaran hukum yang dicapai adalah kebenaran yang mutlak/ absolut.
Berkaitan dengan kebenaran sesuatu, tidak terlepas dari pengertian dan fungsi dari
sesuatu yang akan dicari kebenarannya itu.4 Demikian hal nya berbicara tentang
kebenaran hukum, maka tidak terlepas dari pengertian dan fungsi dari hukum itu.

4
Inu Kencana Syafi’I ; Filsafat Kehidupan (Prakata), Bumi Aksara, Jakarta 2005, hlm.59

2
Pengertian hukum menurut Soedikno Mertokusumo adalah keseluruhan kumpulan
peraturan-peraturan atau kaedah- kaedah dalam suatu kehidupan bersama. 5 Hukum
secara umum juga dapat diartikan sebagai keseluruhan peraturan tentang tingkah laku
yang berlaku dalam suatu kehidupan bersama, yang dapat dipaksakan pelaksanaannya
dengan adanya sanksi.
Montesquieu dalam bukunya The Spirit of Laws, menyampaikan hukum secara
umum dapat diartikan sebagai hubungan pasti yang berasal dari sifat dasar segala
sesuatu. Dalam pengertian ini berarti bahwa semua wujud memiliki hukumnya. 6 Tuhan
memiliki hukumnya, dunia material memiliki hukumnya, binatang memiliki hukumnya,
manusiapun memiliki hukumnya sendiri. Dalam kaitannya dengan yang akan dibahas
tentunya pengertian yang disampaikan oleh Montesquieu akan dibatasi dalam
pengertian hukum yang dimiliki oleh manusia.
Kendati hingga saat ini belum ada pengertian yang baku akan defenisi hukum yang
sempurna, namun hukum secara sederhana dapat diartikan sebagai sekumpulan aturan,
kaedah yang berasal dari nilai-nilai yang kemudian menjelma menjadi norma. Nilai-
nilai yang terkandung dalam hukum, tentunya sudah sesuai dengan nilai moral dan etika
yang ada dan diakui keberadaannya di dalam kehidupan manusia. Sejauh ini dengan
melihat secara singkat pengertian dan penjelasan di atas, sementara disimpulkan bahwa
hukum tentunya berasal dari nilai- nilai yang dianggap benar di dalam kehidupan
manusia. Pada dasar nya disini kita hendak membahas kebenaran hukum, ditinjau dari
perspektif filsafat hukum. Maka sebelum mengkaji kebenaran hukum, tentunya harus
dipahami apa yang menjadi tujuan hukum.
C. Tujuan Hukum
Tujuan diciptakannya hukum, menurut Soetandyo Wignjosoebroto mengatakan
bahwa apabila hukum sudah dikonsepkan sebagai institusi atau gejala sosial yang
empiris yang termanifestasi dalam tindakan/ aksi serta interaksi warga masyarakat
dalam kehidupan sehari-hari, maka hukum bertujuan untuk mengatur kehidupan manusia
dalam masyarakat. 7 Selanjutnya ditegaskan oleh Satjipto Rahardjo bahwa hukum ada
untuk manusia, hukum itu tidak ada untuk hukum itu sendiri. Hukum adalah suatu

5
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 2003, hlm.40.
6
Montesquieu, The Spirit of Laws : Dasar-Dasar Ilmu Hukum dan Ilmu Politik, Nusamedia,
Bandung, 2007, hlm. 88.
7
Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum (Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya), ELSAM,
Jakarta, 2002, hlm.116

3
institusi yang bertujuan mengantarkan manusia kepada kehidupan yang adil, sejahtera
dan membuat manusia bahagia. 8 Dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya,
seseorang manusia membutuhkan manusia lainnya. Manusia tidak dapat hidup sendiri
(manusia makhluk sosial). 9 Bahwa kehadiran hukum sangat dibutuhkan dalam
menciptakan ketertiban di dalam kehidupan sosial manusia tersebut. Hal ini dimaksud
untuk menghindari terjadinya konflik antara manusia yang satu dengan manusia lainnya.
Sedikit mengenai konflik, konflik itu muncul, pada saat manusia berinteraksi
dengan manusia lainnya didalam kehidupan bermasyarakat (sosial), Manusia
mempunyai kepentingan yang berbeda-beda, maka dalam memenuhi kepentingannya,
manusia rentan menimbulkan pertentangan dengan manusia lainnya (conflict of interest)
yang berujung pada kehancuran. Oleh sebab itu, diperlukan hukum yang mengatur agar
tercipta ketertiban. Kembali pada tujuan hukum, dalam pembahasan mengenai tujuan
hukum, Thomas Aquinas mengemukakan 4 (empat) macam hukum yaitu: (1).Lex
eternal; (2).lex naturalis; (3).lex divina dan (4).lex humana.10
Lex eterna merupakan suatu aturan yang menguasai alam semesta melalui
kehendak Allah sesuai dengan kebijaksanaanNya. Semua makhluk berada dalam
kerangka tujuan lex eterna dan manusia mempunyai suatu tujuan tertentu karena
manusia merupakan makhluk rasional.
Lex naturalis, menurut Thomas Aquinas, tidak terlepas dari partisipasi makhluk
rasional dalam lex eternal, Lex naturalis inilah yang akan mengarahkan aktivitas
manusia melalui aturan-aturan dasar dalam hidupnya. Masih menurut Thomas Aquinas,
lex divina yaitu pedoman- pedoman dari Allah untuk mengarahkan bagaimana
seyogianya manusia bertindak. Terakhir, lex humana adalah aturan-aturan yang berasal
dari pemerintah atau aturan- aturan yang dibuat oleh manusia.
Aturan-aturan ini dibuat dengan menggunakan kekuatan nalar yang dimiliki oleh
manusia. Dari pembagian hukum yang dikemukakan Aquinas, terlihat bahwa tujuan
hidup manusia menurut Aquinas, bukan hanya untuk mencapai kebahagiaan duniawi
belaka, melainkan untuk mendapatkan kebahagiaan kekal sebagai tujuan bersifat
supernatural. Secara sederhana Aquinas hendak mengatakan bahwa hukum bertujuan
untuk mengantarkan manusia kepada kebahagiaan kekal.

8
Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif : Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Genta Publishing,
Yogyakarta, 2010, hlm. 33
9
Aabied, Hakikat Manusia, Nusantara Sentosa, Jakarta, 2012, hlm. 112.
10
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Prenada Media Grup, 2010, hlm.104

4
Namun apakah sesederhana itu dalam memahami arti dan fungsi hukum itu
sendiri. Apakah nantinya pengertian dan fungsi hukum yang telah disampaikan di atas
tidak terjebak pada pengertian dan fungsi yang dogmatik semata. Pertanyaan ini yang
kemudian akan dijawab secara filosofis oleh Filsafat Hukum, dan pada bagian ini akan
menghantarkan kita menjawab “Kebenaran Hukum Ditinjau dari Filsafat Hukum”, Apa
yang dimaksud dengan filsafat hukum, memang tidak mudah untuk mendefenisikan
apa itu filsafat hukum. 11
D. Filsafat Hukum
Theo Huijbers mengatakan bahwa pokok persoalan filsafat hukum bukanlah quid
iuris, melainkan quid ius. Sebagai quid iuris hukum berorientasi pada dan sebagai hukum
positif, yaitu hukum yang berlaku dan sedang berlaku saja. Sedangkan quid ius, hukum
berorientasi sebagai sesuatu yang substantif dan esensial, inilah yang kemudian coba
di telaah filsafat hukum.12
H.L.A. Hart, berpendapat bahwa filsafat hukum adalah karya pikir bersama antara
filsafat moral, filsafat politik, dan bahasa. Sebagai hasil karya filsafat moral, filsafat
hukum membahas konsep-konsep hukum tentang rasa bersalah, kesalahan, niat, dan
tanggung jawab yang merupakan issue sentral dalam hukum terutama ketika hukum
menekankan konsep- konsep di atas dalam pikiran dan perbuatan. 13
Mempelajari filsafat hukum tentunya akan membawa seseorang pada apa yang
dimaksud mengenai hukum itu, dengan sebenar-benarnya dan sedalam-dalamnya. Plato
dalam tulisannya Andre Ata Ujan, menyampaikan bahwa seorang filsuf (orang yang
ahli filsafat), tidak pernah berhenti mencari dan menemukan kebenaran (searching for
truth) dan membangun keadilan (to built justice). 14
Bahkan kebenaran dan keadilan, hasil pemikiran para filsuf sebelumnya, juga
tidak luput dari sikap kritik filsafat mereka, sebab dalam filsafat tidak ada kebenaran
yang final. Demikian halnya dengan filsafat hukum, filsafat hukum harus berupaya
mencari dan menemukan hakekat hukum secara radikal (sampai ke akar-akarnya), secara
sistematis, rasional, dan metodis. Filsafat hukum berupaya untuk menemukan jawaban
terdalam dari sebuah objek formalnya, yaitu hukum.

11
Dominikus Rato, Filsafat Hukum (Mencari, Menemukan dan Memahami Hukum), LaksBang
Justitita, Surabaya, 2011, hlm. 2.
12
Theo Huijbers, Filsafat Hukum, Kanisius, Yogyakarta, 1995, hlm. 76.
13
H.L.A.Hart., Hukum, Kebebasan, dan Moralitas, Genta Publising, Yogyakarta, 2009, hlm. 10.
14
Andre Ata Ujan, Filsafat Hukum, Membangun Hukum Membela Keadilan, Kanisius,
Yogyakarta, 2009, hlm. 17

5
Darji Darmodiharjo dan Shidarta, mengungkapkan bahwa filsafat hukum adalah
filsafat tingkah laku dan etika, yang mempelajari hakekat hukum secara filosofis.
Hukum dikaji secara mendalam sampai kepada inti atau dasarnya yang disebut dengan
hakekat. 15
J.J.H. Bruggink dalam bukunya Otje Salman dan Anton F. Susanto, mengatakan
bahwa filsafat hukum adalah induk dari semua disiplin yuridik. Karena filsafat hukum
membahas masalah-masalah yang paling fundamental yang timbul dalam hukum. 16
Ditambahkannya, oleh karena kefundamentalannya masalah-masalah hukum yang
hendak dibahas itu, sehingga oleh manusia tidak terpecahkan. Oleh karena masalahnya
melampaui kemampuan berpikir manusia. Filsafat hukum akan merupakan kegiatan
yang tidak pernah berakhir, karena mencoba memberikan jawaban pada pertanyaan-
pertanyaan abadi. Pertanyaan itu tentunya adalah pertanyaan yang terhadapnya, hanya
dapat diberikan jawaban yang menimbulkan banyak pertanyaan baru.
Maka dalam menjawab pertanyaan bagaimana kebenaran hukum perspektif filsafat
hukum ini nantinya, mungkin akan membawa kita pada wilayah yang semakin
menimbulkan pertanyaan- pertanyaan baru tentang hukum. Kita semakin tidak akan
berhenti dan puas pada jawaban atas pertanyaan kebenaran hukum dalam perspektif
filsafat hukum. Bahkan jawaban akan pertanyaan tentang kebenaran inilah yang
kemudian nantinya, akan membawa kita berjalan jauh, menyusuri pengertian mengenai
hukum yang sedalam-dalamnya sampai ke akar- akarnya. Itulah filsafat, maka untuk
itu pengertian kebenaran juga harus dipahami.
E. Pengertian Kebenaran
Maksud dari hidup ini adalah untuk mencari kebenaran, tentang kebenaran ini,
Plato pernah berkata: “Apakah kebenaran itu? lalu pada waktu yang tak bersamaan,
bahkan jauh belakangan Bradley menjawab; “Kebenaran itu adalah kenyataan”, tetapi
bukanlah kenyataan (das sollen) itu tidak selalu yang seharusnya (das sein) yang
terjadi.
Kenyataan yang terjadi bisa saja berbentuk ketidakbenaran (keburukan). Jadi ada
2 pengertian kebenaran, yaitu kebenaran yang berarti nyata-nyata terjadi di satu pihak,
dan kebenaran dalam arti lawan dari keburukan (ketidakbenaran) Dalam bahasan ini,

15
Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-pokok Filsafat (Apa dan Bagaimana Filsafat
Hukum Indonesia), Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2004, hlm. 11.
16
Otje Salman dan Anton F. Susanto, Teori Hukum(Mengingat, Mengumpulkan dan
Membuka Kembali), Refika Aditama, Bandung, 2004, hlm. 64.

6
makna ”kebenaran” dibatasi dalam makna ”kebenaran hukum”. Apa yang dewasa ini
kita pegang sebagai kebenaran hukum, mungkin suatu saat akan hanya pendekatan
kasar saja dari suatu kebenaran yang lebih sejati lagi dan demikian seterusnya.
Hal ini tidak bisa dilepaskan dengan keberadaan manusia yang transenden,
dengan kata lain, keresahan mencari kebenaran hukum berkaitan erat dengan hasrat
yang ada dalam diri manusia yang selalu ingin mencari kebenaran yang sesungguhnya.
Dari sini terdapat petunjuk mengenai kebenaran yang trasenden, artinya tidak berhenti
dari kebenaran hukum itu saja, namun terdapat kebenaran diluar jangkauan manusia.
Utamanya untuk mencari kebenaran hukum secara filosofis.
Dikenal ada beberapa teori dalam menentukan kriteria kebenaran. Teori
korespondensi (yakni persamaan dengan fakta), teori koherensi atau konsistensi, dan teori
17
pragmatis. Pertama, teori korespondensi adalah paling diterima secara luas oleh
kelompok realis. Menurut teori ini, kebenaran adalah kesetiaan kepada realita obyektif
(fidelity to objective reality). Kebenaran adalah persesuaian antara pernyataan tentang
fakta dan fakta itu sendiri, atau antara pertimbangan (judgement) dan situasi dimana
pertimbangan itu berusaha untuk melukiskan, karena kebenaran mempunyai hubungan
erat dengan pernyataan atau pemberitaan yang kita lakukan tentang sesuatu. 18
Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa berdasarkan teori korespondensi suatu
pernyataan adalah benar jika materi hukum yang dikandung pernyataan itu
berkorespondensi (berhubungan) dengan obyek yang dituju atau diatur oleh hukum
tersebut. Misalnya “jika seorang melakukan pencurian maka orang tersebut akan
dihukum, agar menimbulkan efek jera sehingga orang lain tidak melakukan pencurian
lagi dan kehidupan menjadi tertib”.
Materi hukum itu adalah benar, sebab sebagaimana kita ketahui bahwa hukum
ada dan berfungsi untuk mengatur tingkah laku manusia, agar tidak saling
menghacurkan sebagaimana dikemukakan Thomas Hobbes: homo homini lupus
(manusia adalah serigala bagi yang lain). Sehingga dengan adanya hukum tercipta suatu
ketertiban dan kedamaian yang menuju pada kesejahteraan manusia itu sendiri.
Sekiranya ada orang lain yang mengatakan bahwa “pencuri itu tidak dapat dihukum,
meskipun telah terbukti” maka tentu saja, pernyataan itu adalah tidak benar. Sebab di

17
Titus, Harold H., dkk., Living Issues in Philosophy, Terj. H. M. Rasyidi Persoalan-
Persoalan Filsafat, ulan Bintang, Jakarta, 2007, hlm.105.
18
Jujun S. Sumiasumantri, Filsafat Ilmu,Sebuah Pengantar Populer, Pustaka Sinar Harapan,
Jakarta, 2000, hlm. 25.

7
dalam hukum diatur mengenai apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh
dilakukan.
Pencurian merupakan perbuatan yang tidak boleh dilakukan atau dilarang oleh
hukum. Oleh sebab itu, seorang pencuri yang telah terbukti melakukan pencurian harus
dihukum agar timbul efek jera dan menciptakan ketertiban di dalam kehidupan
masyarakat. Dalam hal ini maka secara faktual “setiap orang yang bersalah dapat
dihukum, dengan berdasarkan pembuktian, guna menciptakan kedamaian dan ketertiban
di dalam kehidupan manusia”.
Menurut teori koresponden, ada atau tidaknya keyakinan tidak mempunyai
hubungan langsung terhadap kebenaran atau kekeliruan. Kekeliruan itu tergantung
kepada kondisi yang sudah ditetapkan atau diingkari. Jika sesuatu pertimbangan sesuai
dengan fakta, maka pertimbangan ini benar, jika tidak, maka pertimbangan itu salah.
Dalam wilayah kebenaran hukum berdasarkan teori korespondensi, kesesuaian putusan
hakim dengan kebenaran fakta-fakta hukum sangat diutamakan. Kebenaran legalitas,
artinya penerapan hukum terhadap sebuah perkara didasarkan pada fakta-fakta hukum
yang terdapat pada peristiwa yang terjadi. Teori kebenaran korespondensi
mengutamakan kepastian hukum (asas legalitas).
Teori yang kedua tentang kebenaran adalah teori koherensi. Berdasarkan teori ini
suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan itu bersifat koheren atau konsisten
dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar, artinya p ertimbangan
adalah benar jika pertimbangan itu bersifat konsisten dengan pertimbangan lain yang
telah diterima kebenarannya, yaitu yang koheren menurut logika, misalnya, bila kita
menganggap bahwa “semua manusia pasti akan mati” adalah suatu pernyataan yang
benar, maka pernyataan bahwa “si Budi adalah seorang manusia dan si Budi pasti
akan mati” adalah benar pula, sebab pernyataan kedua adalah konsisten dengan
pernyataan yang pertama.
Kelompok idealis, seperti Plato juga filsuf-filsuf modern seperti Hegel, Bradley
dan Royce memperluas prinsip koherensi ini. Dengan begitu maka tiap-tiap
pertimbangan yang benar dan tiap- tiap sistem kebenaran yang parsial bersifat terus
menerus dengan keseluruhan realitas dan memperolah arti dari keseluruhan tersebut.
Meskipun demikian perlu lebih dinyatakan dengan referensi kepada konsistensi faktual,
yakni persetujuan antara suatu perkembangan dan suatu situasi lingkungan tertentu
terhadap teori kebenaran ini.
Dikaitkan dengan kebenaran hukum, teori koherensi diimplementasikan dalam

8
tataran ius constituendum, (ide-ide hukum) yang kesesuaian dengan realitas perilaku
masyarakat. Kebenaran hukum yang hendak dipenuhi dalam hal ini adalah aspek
keadilan yang diutamakan. Rasa keadilan untuk setiap orang atau kelompok sangat
variatif, oleh sebab itu menggunakan teori ini secara mutlak untuk mengungkapkan
kebenaran hukum, rasanya tidak mungkin. Karena apa yang dirasakan adil, belum tentu
sesuai dengan kepastian dan kemanfaatan hukum.
Teori yang ketiga, yakni teori pragmatik. Dicetuskan oleh Charles S. Peirce dalam
sebuah makalah berjudul “How to Make Ideals Clear”. Teori ini kemudian
dikembangkan oleh beberapa ahli filsafat yang kebanyakan adalah berkebangsaan
Amerika yang menyebabkan filsafat ini sering dikaitkan dengan filsafat Amerika.
Ahli-ahli filsafat ini di antaranya adalah William James, John Dewey, George Hobart
Mead, dan C.I. Lewis.
Pragmatisme menantang segala otoritanianisme, intelektualisme dan rasionalisme.
Bagi mereka yang menganut pragmatisme, ujian terhadap kebenaran adalah manfaat
(utility), kemungkinan dikerjakan (workability) atau akibat yang memuaskan. Sehingga
dapat dikatakan bahwa pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang
benar ialah apa yang membuktikan dirinya sebagai benar dengan perantaraan akibat-
akibatnya yang bermanfaat secara praktis. Pegangan pragmatis adalah logika
pengamatan dimana kebenaran itu membawa manfaat bagi hidup praktis. dalam
kehidupan manusia. 19
Dikaitkan dengan kebenaran hukum, menggunakan teori pragmatis maka
kebenaran hukum berhubungan dengan kemanfaatan hukum. Oleh karena itu, dalam
perspektif kebenaran pragmatis tidak berorientasi pada sebuah proses atau suatu
peristiwa hukum tetapi hasil dari proses atau peristiwa hukum itu. Sesuatu dikatakan
benar apabila mempunyai manfaat bagi kehidupan umat manusia. Apa yang dirasakan
bermanfaat itulah hukum yang sebenarnya. Lagi-lagi ini tidak bisa digunakan secara
mutlak dalam mencari dan mengungkapkan kebenaran hukum.
F. Kebenaran Hukum Persepektif Filsafat Hukum
Kembali pada apa yang sedang dibahas mengenai kebenaran hukum perspektif
filsafat hukum, apabila ketiga teori kebenaran itu dikaitkan dengan kebenaran hukum,
maka akan sulit untuk menentukan kriteria kebenaran apa yang digunakan dalam
menentukan kebenaran hukum.

19
Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat II, Kanisius, Yogyakarta, 1990, hlm 30.

9
Para filsuf dengan berbagai alur pemikiran tidak dapat bersatu dalam menentukan
kriteria kebenaran apa yang digunakan dalam menentukan kebenaran hukum. Namun
paradigma seseoranglah yang menentukan sesuatu itu benar, karena kebenaran itu
bersifat subjektif dan tentatif. 20
Kebenaran yang dianut seseorang menuntunnya untuk mencari dan menemukan
serta meyakinkan dia tentang sesuatu yang benar itu. Berbicara mengenai apakah hukum
itu benar ada, dari mana datangnya hukum, untuk apa ada hukum, siapa yang berwenang
membuat hukum, mengapa orang tunduk pada hukum, pertanyaan- pertanyaan ini
yang akan membawa orang berpikir tentang hukum secara khusus dan mendalam
tentang hakekat hukum. Jawaban atas pertanyaan di atas bukan saja membawa orang
pada satu pengertian tentang hakekat hukum, melainkan membawa pada berbagai
pemikiran, keyakinan atau kepercayaan tentang hal-hal mengenai hukum.
Jawaban atas pertanyaan di atas dapat membawa pada keyakinan, pedoman atau
orientasi berpikir tentang hukum. Sehingga kemudian membentuk paradigma, dan
paradigma ini menjadi pegangan, pedoman, panduan: berpikir, berkata dan berbuat atau
orientasi dasar untuk mengembangkan keyakinan dan kepercayaan tentang hukum. Lalu,
jika kemudian kebenaran hukum dilihat dari pengertian dan fungsi hukum itu sendiri,
maka dapat disimpulkan. Pertama, apakah benar hukum itu merupakan sekumpulan
peraturan-peraturan atau kaedah- kaedah dalam suatu kehidupan bersama, maka benar
hukum merupakan kumpulan aturan. Kedua, apakah benar fungsi hukum itu adalah
untuk mengatur kehidupan manusia maka jawabannya benar. Kendati memang harus
ditegaskan bahwa hukum itu ada untuk manusia bukan manusia ada untuk hukum.
Menjawab pertanyaan bagaimana kebenaran hukum perspektif filsafat hukum,
maka menggunakan ketiga teori kebenaran yang ada, yakni kebenaran koherensi,
korespondensi, pragmatis. Jawaban sederhana yang disampaikan oleh penulis,
kebenaran hukum persepektif filsafat hukum, tentunya kembali kepada paradigma apa
yang digunakan. Keyakinan atau kepercayaan hukum apa yang dianut oleh seseorang
akan membawanya kepada jawaban akan kebenaran hukum yang ia percayai.
Kebenaran yang dianut seseorang menuntunnya untuk mencari dan menemukan
serta meyakinkan dia tentang sesuatu yang benar itu. Oleh karena itu diperlukan ilmu
untuk membawa manusia menuju kebenaran absolut. Menurut Sudjito, ilmu merupakan
institusi pencarian kebenaran. Ilmu bila dikejar terus akan mentok pada keimanan.

20
Op.Cit: Dominikus Rato, hlm.12

10
Antara iman dan ilmu tidak ada pemisah. Ilmu tanpa iman sama dengan omong
kosong. Iman merupakan dasar ilmu. Oleh karena itu, maka untuk menuntun seseorang
kepada kebenaran hukum yang sebenarnya diperlukan ilmu, sehingga kebenaran hukum
yang dicapai adalah kebenaran yang mutlak/ absolut.

DAFTAR PUSTAKA

Aabied, Hakikat Manusia, Nusantara Sentosa, Jakarta, 2012.


Andre Ata Ujan, Filsafat Hukum, Membangun Hukum Membela Keadilan, Kanisius,
Yogyakarta, 2009.
Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-pokok Filsafat (Apa dan Bagaimana Filsafat
Hukum Indonesia), Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2004.
Dominikus Rato, Filsafat Hukum (Mencari, Menemukan dan Memahami Hukum),
LaksBang Justitita, Surabaya, 2011.
Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat II, Kanisius, Yogyakarta, 1990.
H.L.A.Hart., Hukum, Kebebasan, dan Moralitas, Genta Publising, Yogyakarta, 2009.
Inu Kencana Syafi’i, Filsafat Kehidupan (Prakata),Bumi Aksara, Jakarta 2005.
Jujun S. Sumiasumantri, Filsafat Ilmu,Sebuah Pengantar Populer, Pustaka Sinar
Harapan, Jakarta, 2000.
Montesquieu, The Spirit of Laws : Dasar-Dasar Ilmu Hukum dan Ilmu Politik,
Nusamedia, Bandung, 2007.
Otje Salman dan Anton F. Susanto, Teori Hukum(Mengingat, Mengumpulkan dan
Membuka Kembali), Refika Aditama, Bandung, 2004.
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Prenada Media Grup, 2010.
Titus, Harold H., dkk., Living Issues in Philosophy, Terj. H. M. Rasyidi Persoalan-
Persoalan Filsafat, ulan Bintang, Jakarta, 2007.
Theo Huijbers, Filsafat Hukum, Kanisius, Yogyakarta, 1995.
Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif : Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Genta
Publishing, Yogyakarta, 2010.
Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum (Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya),
ELSAM, Jakarta, 2002.
Sudjito bin Atmoredjo, Sari Kuliah : Filsafat Ilmu Hukum, Program S3 Ilmu Hukum,
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum : Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta,
2003.

Internet :
Mawardi, Kebenaran Dalam Perspektif Filsafat Ilmu.
http://mawardiumm.wordpress.c om/2008/06/02/kebenaran- dalam-perspektif-filsafat-
ilmu/ diakses pada 06 Oktober 2013
Yanluamohdar, Kebenaran Hukum Dalam Perspektif Pengetahuan Hukum,
http://yanluamohdar2010.blogsp ot.com/2013/05/kebenaran- dalam-perpektif
pengetahuan.html/ diakses pada 08 Oktober 2013

11
TUGAS MANDIRI

1. Buat resume dari Materi Filsafat Hukum dari halm 1 s / d hlm. 10


2. Jelaskan pernyataan ini” “Sebagai Sarjana Hukum hukum saya harus bisa
beradaptasi dengan perkembangan dan mengikuti pergerakan-pergerakan
masyarakat dan perkembangan ilmu pengetahuan serta teknologi yang terus
mengalami perubahan secara cepat”.
3. Pada halaman 5 materi ini ada pernyataan bahwa “Filsafat tidak ada kebenaran
yang final. Demikian halnya dengan filsafat hukum, filsafat hukum harus
berupaya mencari dan menemukan hakekat hukum secara radikal (sampai ke akar-
akarnya)”, Jelaskan pernyataan ini.
4. Dalam memaknai kebenaran hukum dalam masyarakat, kenyataan (das sollen) itu
tidak selalu terjadi sebagaimana apa yang di angankan (das sein) Jelaskan
pernyataan ini.
5. Kemukakan pendapat mu tentang “Kebenaran Hukum dalam Persepektif Filsafat
Hukum.”

Catatan:
1. Tugas Mandiri di buat ... dikumpulkan paling lambat tanggal 2 Oktober 2023
2. Bila tidak tepat waktu dianggap tidak bekerja;
3. Dibuat dalam bentuk tulisan tangan diatas kertas Folio
4. Di kirim ke ....... email...... nurlely.darwis@gmail.com
5. Teknis pengiriman tugas jangan di email melintang.... harus tegak agar biasa
terbaca...

12
13
14
15
16
Jelaskan perbedaan antara filsafat hukum dengan teori hukum. 21
Filsafat hukum adalah ilmu yang mempelajari hukum secara filosofis. Maka obyek
filsafat hukum adalah hukum. Filsafat hukum tidak dimasukkan sebagai cabang ilmu
hukum, tetapi sebagai bagian dari teori hukum (legal theory) atau disiplin hukum.
Teori hukum dengan demikian tidak sama dengan filsafat hukum karena yang satu
mencakupi yang lainnya. Satjipto Raharjo (1986:224-225) menyatakan, teori hukum
boleh disebut sebagai kelanjutan dari usaha mempelajari hukum positif, setidak-tidaknya
dalam urutan yang demikian itulah kita mengkonstruksikan kehadiran teori hukum secara
jelas.
Teori hukum memang berbicara tentang banyak hal, yang dapat masuk ke dalam
lapangan politik hukum, filsafat hukum atau kombinasi dari ketiga bidang tersebut.
Karena itu, teori hukum dapat saja membicarakan sesuatu yang bersifat universal dan
tidak menutup kemungkinan membicarakan mengenai hal-hal yang sangat khas menurut
tempat dan waktu tertentu.
Selain itu perbedaan Filsafat Hukum dan Teori Hukum yaitu : Filsafat Hukum
menekankan pembahasan sebagian besar dari sudut studi filsafat dan oleh karena itu
menekankan penelitian dan penyelidikan dari sudut tradisi filsafat. Sedangkan Teori
Hukum cenderung kepada bentuk operasional berdasarkan legal academy, yang
cenderung mengkonsentrasikan diri kepada rasionalisasi dan legitimasi dari legal doctrine
seperti perbuatan melawan hukum dan kontrak. Tentu dalam pembahasan filsafat hukum
nanti tidak dapat dihindarkan membicarakan Teori Hukum yang bersumber dari Filsafat
Hukum.
Analisis Filsafat Hukum (Legal Philosophy) pada permulaannya lebih berat kepada
filsafat umum dan teori politik, sementara Teori Hukum (Legal Theory) modern lebih
membahas dalam kerangka ungkapan dan sistem berfikir dari Sarjana Hukum itu sendiri.

21
https://elandaharviyata.wordpress.com/2013/02/17/jelaskan-perbedaan-antara-filsafat-hukum-
dengan-teori-hukum/ September 2020

17
Teori hukum bersumber dari para pemikir hukum, sedangkan hukum bersumber dari
undang-undang atau putusan-putusan pengadilan. Filsafat Hukum berisi unsur filsafat
dan teori politik. Sumber utama dari Filsafat Hukum (Legal Philosophy) adalah karya-
karya dari pemikir hukum. W. Friedman mengatakan : “Semua sistem Teori Hukum
(Legal Theory) harus mengandung unsur-unsur filsafat, refleksi manusia dalam posisinya
di alam semesta dan mendapatkan warna dan isinya yang spesifik dari teori politik, idenya
datang dari bagaimana bentuk yang terbaik dalam masyarakat.”

18

Anda mungkin juga menyukai