Disusun oleh:
Nama: WIWIN TRIYUNARTI
NPM: 199030003
Bicara tentang filsafat, akan kami mulai dari apa itu filsafat. Filsafat merupakan
sebuah studi yang membahas secara kritis dan skeptis tentang berbagai
fenomena yang ada dalam pemikiran dan kehidupan manusia, lalu dijabarkan
secara teoritis dan mendasar.
Dalam Bahasa Inggris ilmu hukum disebut secara tepat sebagai jurisprudence.
Sedangan kata jurisprudence berasal dari dua kata latin, yaitu iuris yang berarti
hukum dan prudential yang artinya kebijaksanaan atau pengetahuan. Oleh
karena itu , jurisprudence berarti pengetahuan hukum.
Secara konseptual iomu hukum identic dengan ilmu-ilmu lainnya. Akan tetapi
jikalau konsep ilmu hukum dipandang sebagai konsep yang khas dan berbeda
dengan konsep-konsep ilmu lalam maka ilmu maka ilmu hukum menjadi suatu
ilmu yang khas dan khusus oleh karena penerapan metode ilmu-ilmu alam
dalam ilmu hukum menjadikan ilmu hukum dapat diklasifikasikan kedalam ilmu
social. Selain dari aspek tersebut dalam bangun yang lain maka kerap kali hukum
dikategorikan ke dalam ilmu humaniora atau ilmu-ilmu kemanusiaan. Asepek ini
terjadi oleh karena ilmu hukum bersifat manusiawi dimana sifat kemanusiaan
dari ilmu hukum terlihat dari metode penemuan hukum.
Ternyata dari cara pandang Ontologi maka kajian substansial Ilmu Hukum
terletak pada “Kaidah-kaidah Hukum“. Tegasnya, Ilmu Hukum tidak
mungkin dapat dipisahkan dari kaidah Hukum. Tetapi dalam korelasi demikian
ini persoalannya timbul dalam posisi dan situasi kaidah hukum yang bagaimana
menjadi perhatian dari Ilmu Hukum. Dalam konteks ,Sosiologi Hukum dan
Antropologi Hukum, maka mempelajari perilaku hukum sebagai kenyataan
hukum (Taatschachen Wissenchaft). Kedua bidang Ilmu Hukum ini yaitu
sosiologi Hukum dan Antropologi Hukum tidak dapat melepaskan diri dari
adanya kriteria bahwa perilaku atau kenyataan itu bersifat normative. Ciri kaidah
hukum nampak dengan adanya legitimasi dan sanksi. Pada dasarnya legitimasi
menjadikan bahwa suatu hal yang akan menjadi kaidah itu disahkan oleh
kewibawaan tertentu sedangkan sanksi menjadikan suatu hal yang akan menjadi
kaidah hukum itu bila dilanggar menimbulkan adanya sanksi. Tanpa terbagi-
bagi ke dalam bidang-bidang kajian, Ilmu Hukum dengan senirinya sudah
mengkaji nilai, kaidah dan perilaku.Sedangkan perbedaan antara satu kajian
dengan kajian lainnya adalah kadar, intensitas atau derajat diantara ketiga hal
itu. Acapkali yang dipentingkan adalah bidang perilaku, terhadap nilai atau
kaidah seperti Sosiologi Hukum dan Antropologi Hukum misalnya lebih
menekankan pengkajian perilaku hukum. Akan tetapi yang perlu menjadi titik
tolak bidang kajian Ilmu Hukum adalah Kaidah Hukum yang berhubungan
dengan nilai dan perilaku. Kaidah Hukum dapat ditentukan dalam dunia nyata
sebagai hukum yang hidup berupa perilaku hukum dan terbentuk karena
interaksi sesama manusia sehingga kaidah hukum menjadi fakta empiris.
Pada dasarnya, menurut J.J.H. Bruggink perintah perilaku, yang mewujudkan isi
kaidah itu dapat menampilkan diri dalam berbagai wajah/sosok. Penggolongan
yang paling umum adalah :
a. Perintah (Gebod) adalah kewajiban umum untuk melakukan sesuatu ;
b. Larangan (Verbod) adalah kewajiban umum untuk tidak melakukan
sesuatu ;
c. Pembebasan (Vrijstelling, dispensasi) adalah pembolehan (Verlof) khusus
untuk tidak melakukan sesuatu yang secara umum diharuskan ; dan
d. Izin (toestemming, permisi) adalah pembolehan khusus untuk melakukan
sesuatu yang secara umum dilarang.
Ketiga, Ilmu hukum juga dapat berpengaruh untuk pendidikan hukum baik
yang bersifat formal dan informal serta untuk jangka panjang akan berpengaruh
kepada mutu pendidikan hukum dan lulusannya dan;
.
Model berfikir seperti apa untuk Mengetahui, Mengerti, Memahami dan
mengembangkan Ilmu Hukum ?
Secara sederhana ilmu hukum telah mengalami perjalanan yang cukup panjang
sebelum dikenal sebagai ilmu yang khas sebagaimana dipelajari dalam kelas-
kelas ilmiah selama ini. Secara umum, perjalanan atau perkembangan ilmu
hukum dapat ditarik benang merah historis ke dalam dua konsep, yakni konsep
hukum sebagai nilai dan konsep hukum sebagai peraturan.
Pemahaman hukum sebagai nilai, menurut Satjipto Rahardjo, menimbulkan
konsekuensi atas pilihan metode yang dipakai untuk melihat hukum. Metode
tersebut bersifat idealis yang senantiasa berusaha untuk menguji hukum yang
harus mewujudkan nilai(-nilai) tertentu. Metode itu membahas apa saja yang
menjadi tuntutan dari nilai(-nilai) dan apa yang seharusnya dilakukan hukum
untuk mewujudkannya
Hans Kelsen (1881-1973) suatu kali pernah melontarkan pertanyaan: hukum itu
apa? Untuk menghindari salah paham tentang arti hukum yang sebenarnya, ia
kemudian memisahkan hukum dari nilai-nilai dan segala unsur yang berperan
dalam pembentukan hukum seperti unsur-unsur psikologis, politis, sosiologis,
historis, dan etis. Hukum dilepaskan dari ide-ide dan isinya. Hukum dipahami
sebagai peraturan yang berlaku secara yuridis.
Perkembangan selanjutnya dari konsep hukum sebagai nilai yang cenderung
abstrak itu memang akhirnya berujung pada pemaknaan hukum sebagai sesuatu
yang konkret, yakni peraturan. Peraturan dibuat oleh pihak yang berkuasa, yang
secara sah memiliki kewenangan untuk memerintah dengan berpegang pada
peraturan-peraturan. Ada landasan rasional di sini, yakni bila pemerintah
mengeluarkan suatu peraturan berdasarkan perundang-undangan yang berlaku,
peraturan tersebut ditanggapi sebagai norma yang berlaku yuridis dan bersifat
mewajibkan. Seseorang bisa dikritik kelakuannya atau dituntut di pengadilan
karena telah melanggar peraturan-peraturan.
Ubi societas ibi ius” atau yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia “Dimana
ada masyarakat disitu ada hukum” adalah perkataan dari Marcus Tullius Cicero
seorang filsuf,ahli hukum, dan ahli politik kelahiran Roma. Perkataan Cicero
tersebut pun melintasi jaman, kalimat yang diutarakan Cicero lebih kurang 19
abad yang lalu masih berlaku hingga sekarang.
Teori ini mengungkapkan konsep filosofi Cicero yang menyatakan bahwa hukum
tidak dapat dipisahkan dari masyarakat. Kedamaian dan keadilan dari masyarakat
hanya bisa dicapai apabila tatanan hukum telah terbukti mendatangkan keadilan
dan dapat berfungsidengan efektif. Definisi masyarakat menurut Paul B. Horton &
C. Hunt masyarakat merupakan kumpulan manusia yang relatif mandiri, hidup
bersama-sama dalam waktu yang cukup lama, tinggal di suatu wilayah tertentu,
mempunyai kebudayaan sama serta melakukan sebagian besar kegiatan di dalam
kelompok / kumpulan manusia tersebut.
Dengan kata lain Hukum merupakan serangkaian aturan yang berisi perintah
ataupun larangan yang sifatnya memaksa demi terciptanya suatu kondisi yang
aman, tertib, damai dan tentram,serta terdapat sanksi bagi siapapun yang
melanggarnya.
Apabila ada seorang manusia yang hidup di suatu tempat yang tidak
berpenduduk, dan dia hidup sendiri di tempat itu, maka dapat dipastikan tidak
ada hukum di wilayah tersebut. Karena seseorang tadi bebas melakukan apapun
yang ia kehendaki.
Berbeda lagi ceritanya apabila ada seseorang lagi yang datang ke tempat
tersebut dan hidup bersama penghuni pertama. Masing-masing orang tersebut
jelas mempunyai kepentingan dan kehendak sendiri, dan tidak menutup
kemungkinan pula akan terjadi konflik antara kedua orang itu. Disinilah peran
hukum muncul, hukum akan mengatur bagaimana tata cara kehidupan mereka
agar terjadi keadilan dan kedamaian diantara masing-masing individu.
Kesimpulannya adalah hukum tidak dapat muncul/timbul jika hanya ada satu
orang saja. Harus ada 2 individu atau lebih (masyarakat) sehingga tercipta
hukum. Ketika hukum tercipta dan berjalan dengan baik maka hukum akan
menciptakan perlindungan bagi masyarakat yang berujung terwujudnya suatu
keadilan.
Pemikiran Austin dan Kelsen didorong oleh keinginan menjadikan hukum sebagai
ilmu hukum yang diakui oleh komunitas ilmiah. Oleh karenanya metoda yang
diarahkan menjadi ilmu dogmatika hukum yang mengedepankan pendekatan
ilmu-ilmu pasti dan hal ini sejalan dengan konsep berpikir penganut positivisme
hukum. Diskusi tentang hukum dalam perspektif positivisme hukum akan
menggiring ke arah hukum positif yang berarti hukum yang berlaku pada saat
dan wilayah tertentu. Oleh sebab itu, hukum positif sering diistilahkan dengan
sebutan ius contitutum. Hal ini juga menjadi kelemahan positivisme hukum yang
tidak dapat menjangkau pada aspek penegakan hukum. Postivisme hukum
menititikberatkan pada pembentukan hukum saja sebagaimana dalam pemikiran
Austin.
Bagi hukum progresif, proses perubahan tidak lagi berpusat pada peraturan,
tetapi pada kreativitas pelaku hukum mengaktualisasikan hukum dalam ruang
dan waktu yang tepat.Para pelaku hukum progresif dapat melakukan perubahan
dengan melakukan pemaknaan yang kreatif terhadap peraturan yang ada, tanpa
harus menunggu perubahan peraturan (changing the law). Hukum progresif,
seperti juga interessenjurisprudenz tidak sekali-kali menafikan peraturan yang
ada sebagaimana dimungkinkan dalam aliran frei rechtslehre. Meski begitu, ia
tidak seperti legisme yang mematok peraturan sebagai harga mati atau analytical
jurisprudence yang hanya berkutat ada proses logis-formal. Hukum progresif
merangkul, baik peraturan maupun kenyataan/kebutuhan sosial sebagai dua hal
yang harus dipertimbangkan dalam setiap keputusan. Hukum progresif
maupun interessenjurisprudenz dan legal realisme, memiliki semangat dan
tujuan yang sama, yakni menempatkan kepentingan dan kebutuhan manusia
sebagai tujuan utama dari hukum.