Anda di halaman 1dari 13

TUGAS

MATA KULIAH: FILSAFAT ILMU HUKUM

Disusun oleh:
Nama: WIWIN TRIYUNARTI
NPM: 199030003

PROGRAM DOKTOR ILMU HUKUM


HUKUM PERDATA
UNIVERSITAS PASUNDAN
2019
Bagaimana menurut anda ttg ilmu hukum berkenaan dengan cara pandang besar
filsafat Ilmu yang mencakup ontologi, epistemologi dan aksiologi.?

Bicara tentang filsafat, akan kami mulai dari apa itu filsafat. Filsafat merupakan
sebuah studi yang membahas secara kritis dan skeptis tentang berbagai
fenomena yang ada dalam pemikiran dan kehidupan manusia, lalu dijabarkan
secara teoritis dan mendasar.

Melihat Purnadi Purbacaraka filasafat hukum sebagai perenungan dan


perumusan nilai-nilai, kecuali itu filsafat hukum juga mencakup penyerasian nilai-
nilai antara ketertibaban dengan ketentraman, antara kebendaan dengan
keahlakan, dan antara kelanggengan atau konservatisme dengan pembaharuan.

Sementara menurut Satjipto Rahardjo, bahwa filsafat itu mempersoalkan


pertayaan-pertanyaan yang bersifat dasar hukum, tentang dasar-dasar bagi
kekuatan mengikat dari hukum, merupakan contoh-contoh pertanyaan yang
mendasar itu.

Melihat 3 sumber diatas maka dapat disimpulkan bahawa filsafat merupakan


perenungan dari nilai-nilai dasar kehidupan yang didalam mencakup pandangan
dan Batasan-batasan antara nilai ketertiban,kebendaan dan kelanggengan untuk
mempunyai dampai secara positif.

Dalam Bahasa Inggris ilmu hukum disebut secara tepat sebagai jurisprudence.
Sedangan kata jurisprudence berasal dari dua kata latin, yaitu iuris yang berarti
hukum dan prudential yang artinya kebijaksanaan atau pengetahuan. Oleh
karena itu , jurisprudence berarti pengetahuan hukum.

Secara konseptual iomu hukum identic dengan ilmu-ilmu lainnya. Akan tetapi
jikalau konsep ilmu hukum dipandang sebagai konsep yang khas dan berbeda
dengan konsep-konsep ilmu lalam maka ilmu maka ilmu hukum menjadi suatu
ilmu yang khas dan khusus oleh karena penerapan metode ilmu-ilmu alam
dalam ilmu hukum menjadikan ilmu hukum dapat diklasifikasikan kedalam ilmu
social. Selain dari aspek tersebut dalam bangun yang lain maka kerap kali hukum
dikategorikan ke dalam ilmu humaniora atau ilmu-ilmu kemanusiaan. Asepek ini
terjadi oleh karena ilmu hukum bersifat manusiawi dimana sifat kemanusiaan
dari ilmu hukum terlihat dari metode penemuan hukum.

Lalu bagaimanakah imu hukum dilihati dari aspek ontology?


Pada dasarnya, menurut Jujus S Suriasumantri filsafat ilmu merupakan telaah
secara filsafat yang ingin menjawab beberapa pertanyaan mengenai hakikat
ilmu, seperti : obyek apa yang ditelaah, bagaimana wujud yang hakiki dari obyek
tersebu, bagaimana hubungan antara obyek tadi dengan daya tangkap manusia
(seperti berpikir, merasa dan mengindera) yang membuahkan pengetahuan.

Bidang telaah sebagaimana konteks diatas merupakan bidang ontology ilmu.


Apabila konteks tersebut dapat dikolerasikan dengan ilmu hukum maka bidang
ontology ilmu hukum pada hakikatnya akan menjawab pertanyaan apakah titik
tolak kajian substansial dari ilmu hukum.

Ternyata  dari cara pandang  Ontologi  maka  kajian substansial  Ilmu Hukum
terletak  pada “Kaidah-kaidah   Hukum“.   Tegasnya,   Ilmu   Hukum   tidak
mungkin dapat dipisahkan dari kaidah Hukum. Tetapi dalam korelasi demikian
ini persoalannya timbul dalam  posisi  dan situasi kaidah hukum yang bagaimana
menjadi perhatian dari Ilmu Hukum. Dalam konteks ,Sosiologi Hukum dan
Antropologi Hukum, maka mempelajari perilaku hukum sebagai kenyataan
hukum (Taatschachen Wissenchaft). Kedua bidang  Ilmu  Hukum  ini yaitu
sosiologi  Hukum  dan  Antropologi Hukum tidak dapat melepaskan diri dari
adanya kriteria bahwa perilaku atau kenyataan itu bersifat normative. Ciri kaidah
hukum nampak dengan adanya legitimasi dan sanksi. Pada dasarnya legitimasi
menjadikan bahwa suatu hal yang akan menjadi kaidah itu disahkan oleh
kewibawaan tertentu sedangkan sanksi menjadikan suatu hal yang akan menjadi
kaidah hukum itu bila dilanggar   menimbulkan adanya sanksi. Tanpa terbagi-
bagi  ke dalam bidang-bidang kajian, Ilmu Hukum dengan senirinya sudah
mengkaji nilai, kaidah dan perilaku.Sedangkan perbedaan antara satu kajian
dengan kajian lainnya adalah kadar, intensitas atau derajat diantara ketiga hal
itu. Acapkali yang dipentingkan adalah bidang  perilaku, terhadap nilai atau
kaidah seperti Sosiologi Hukum dan   Antropologi  Hukum misalnya lebih

menekankan  pengkajian  perilaku  hukum.  Akan tetapi yang perlu menjadi titik
tolak bidang kajian Ilmu Hukum adalah Kaidah Hukum yang berhubungan 
dengan nilai dan perilaku. Kaidah Hukum dapat ditentukan dalam dunia nyata
sebagai hukum yang hidup berupa perilaku hukum dan terbentuk karena
interaksi sesama manusia sehingga kaidah hukum menjadi fakta empiris.

Pada dasarnya, menurut J.J.H. Bruggink  perintah perilaku, yang mewujudkan isi
kaidah itu dapat menampilkan diri dalam berbagai wajah/sosok. Penggolongan
yang paling umum adalah :
a.   Perintah (Gebod) adalah kewajiban umum untuk melakukan sesuatu ;
b.  Larangan   (Verbod)  adalah  kewajiban   umum  untuk  tidak  melakukan
sesuatu ;
c.  Pembebasan  (Vrijstelling,  dispensasi)  adalah  pembolehan  (Verlof)  khusus
untuk tidak melakukan sesuatu yang secara umum diharuskan ; dan
d.  Izin (toestemming,  permisi) adalah pembolehan  khusus untuk melakukan
sesuatu yang secara umum dilarang.

bahwasanya pembentukan  hukum  yang hidup tidak lepas  dari  legitimasi


kewibawaanyang mengakibatkan adanya pertimbangan nilai.maka dapat
disimpulkan bahwa kaidah hukum tidak semata-mata terlihat berupa fakta
empiris tetapi juga berupa hal rasional. Hukum tidak bisa diindetikkan begitu saja
dengan fakta  empiris yang alamiah dan fisik serta dapat diserap dengan panca
indera. Hukum bersangkutan dengan manusia yang secara utuh bersosok
monodualistis antara jiwa dan badan, individu  dan  masyarakat. Kaidah hukum   
berintikan  keadilan. Adil  dan tidak adil merupakan pendapat mengenai nilai
secara pribadi.Kaidah hukum bersangkutan denganmartabat manusia (human
dignity), bagaimana manusia terlindungi dari kesewenang-wenangan, bebas dari
rasa takut dan lain-lain dan ini merupakan aspek personal dari hukum.
Sedangkan terhadap pernyataan bahwa kaidah hukum berlaku bagi siapapun dan
kapanpun, pedoman bagi anggota masyarakat  bertingkah  laku, dan  untuk
memperhatikan  kaidah hukum  tersebut  dibentuklah  pranata  hukum dan
lembaga  hukum,  adalah merupakan aspek sosial dari kaidah hukum.
Aspek personal dan aspek  sosial dari kaidah  hukum  itu sepertinyasaling
bertentangan satu  sama  lainnya  seperti  tidak  saling  mendukung. Usaha-usaha
untuk mempertemukan  antara keduanya dapat disebut usaha kultural. 
Tegasnya  bahwa  proses pembentukan dan penerapan kaidah hukum dimana
hubungan timbal balik aspek personal dan aspek sosial merupakan proses
berbudaya sehingga proses integrasi antara pribadi masyarakat dan kebudayaan
merupakan inti diatur dari kaidah hukum yang secara substansial titik tolak kajian
dari Ilmu Hukum.
Demikian   deskripsi   bagaimana   ilmu   hukum   dikaji   dari   aspek Ontologi
Ilmu.

Ilmu Hukum dilihat dari aspek epistemology


Bagaimanakah  Ilmu Hukum  apabila  dikaji  dari aspek  Epistemologi Ilmu? Akan
tetapi sebelum mengkajinya, penulis memandang perlu kiranya dibahas selintas
pengertian “Epistemologi”  ini.  Ditinjau  aspek  etimologi maka epistologi berasal
dari bahasa Yunani yang merupakan kata gabungan dari kata episteme dan logos,
Episteme artinya pengetahuan dan logos lazim dipakai   untuk   menunjukkan 
adanya pengetahuan  sistematik.   Sehingga secara mudah epistemologi dapat
diartikan sebagai pengetahuan sistematik mengenai pengetahuan.
 
Selanjutnya,  menurut  A.M.W.  Pranarka  menyebutkan,  bahwa menurut:
“Webster  Third  New  International   Dictionary   mengartikan   
epitemologisebagai “the  study  of  methol  and  grounds  of  knowledge,
especially  with reference to its limits and validity”.
Pada tempat yang sama secara singkat dikemukakan  bahwa  Runnes  didalam
“The  theory of knowledge”.
Dalam pada itu  Runnes didalam Dictionary  of  Philosophy  memberikan
keterangan  bahwa epistemology  merupakan the bronch of philosophy  which
investigates the origin, structure methode an validity of knowledge”.
Selain  itu  secara  terminologis,  maka  Epistemologi  dikenal  dengan
istilah “Gnoseologi”, kemudian dalam bahasa Jerman diterjemahkan
menjadi “Erkentnistheorie”. Di dalam bahasa Belanda dikenal
istilah “Kennisteer” ataupun “Kenttheorien”.
Dari apa yang diuraikan diatas maka ditinjau melalui aspek Ilmu Hukum secara
etimologi akan menjawab kebenaran dengan melalui metode Ilmu Hukum.
Pada dasarnya, apabila ilmu hukum sebagai ilmu maka bertujuan mencari
kebenaran. Menurut Theori Korespodensi kebenaran merupakan persesuaian,
antara pengetahuan dan obyeknya. Sehingga dengan demikian pengetahuan
terletak dalam dimensi mentalitas manusia, sedangkan obyek dalam dunia nyata.
Untuk menyatakan adanya hubungan inilah timbul pendapat antara faham
empiris dan rasionalisme. Menurut empirisme pengetahuan  adalah  segenap
pengalaman manusia,  sedangkan menurut faham rasionalisme maka
akallah/ratiolah yang dapat mengetahui obyek. Akan tetapi, terhadap hakekat
hukum tidak selalu berdasarkan empirisme/rasionalisme saja oleh karena  gejala
hukum bukan  saja berupa pengalaman manusia saja seperti perilaku hukum
akan tetapi diluar pengalaman manusia  seperti  nilai-nilai  hukum. Theori
Kebenaran korespodensi dan pramatiklah yang dapat dicapai ilmu hukum.
Maka untuk itu guna mencari keadilan yang benar digunakanlah sebuah metode.
Oleh karena itu, sebagai pengaruh adanya kebenaran empirisme dan
rasionalisme maka secara tradisional dibedakan dua metode ilmu yakin metode
deduksi dan metode  induksi Selanjutnya dalam perkembangannya timbul
metode yang berusaha menggabungkan deduksi dan induksi, yaitu
metode logiko - hipotetiko – verifikasi yang berdasarkan pandangan Karl R.
Popper muncul theori faksifikasi.Dalam metode ini maka suatu   masalah   
berusaha dipecahkan oleh pelbagai disiplin baik yang termasuk deduktif atau
induktif.
Istilah “ Logiko – hipotetiko“ menempatkan kaidah hukum  sebagai hal mentah
yang perlu dimasukkan ke dalam proses “Verifikasi” cenderung menjadi
justifikasi/pembenaran.
Dengan mengadakan verifikasi, maka sebab itu menurut Popper bukan verifikasi
yang  menjadi  kretarium  demarkasi antara ilmu dan bukan ilmu tetapi ialah
faksifikasi yakni kemampuan untuk menyangkal   kesalahan. 
Dengan   demikian  Popper  mengganti  verifikasi bersifat induktif dengan
falsifikasi deduktif.
Konkretnya,  metode  ilmu  Hukum  ditentukan  oleh  aspek  Ontologis dan
Axiologis dari hukum.  Konsep  mengenai  metode  dan  ilmu  sifatnya universal.
Artinya, untuk  bidang apa  saja atau untuk  jenis ilmu manapun adalah sama,
tetapi pengaruh dari obyek suatu ilmu tentu tidak dapat dihindarkan. Sebab itu
hakikat hukum dan fungsinya dalam praktek tak bisa dihindari pengaruh dalam
menentukan metode yang digunakan dalam ilmu hukum.
Sebagaimana  telah diuraikan dari aspek Ontologi maka fokus utama titik  kajian
substansial Ilmu Hukum adalah kaidah hukum.Tegasnya, eksistensi hukum 
ditentukan adanya kaidah hukum.Mungkin kaidah hukum mempunyai
nilai/perilaku, tetapi nilai/perilaku itu dapat saja bukan hukum. Ciri pokok dari
nilai dan perilaku sebagai hukum ialah sifat normatifnya. Sudah tentu kaidah
hukum berisi nilai-nilai dan perilaku manusia. Konkretnya, hukum itu merupakan
jalinan kesatuan antara kaidah, nilai  dan  perilaku.   
Nilai   merupakan   turunan   dari   ide   dan   perilaku merupakan turunan
realitas/fakta. 
Apabila kita mencita-citakan  suatu ilmu tentang hukum/ilmu  hukum maka
penentuan  metode Ilmu Hukum harus ditentukan prinsip intergralistis atau
berjalinan kesatuan antara kaidah, nilai dan perilaku. Pada kaidah hukum tersirat
antara nilai dan perilaku sehingga fokus sentral atau fundamental metode Ilmu
Hukum adalah analisis atas kaidah. Sedangkan analisis nilai dan perilaku hanya
bahan kajian sampingan dari analisis kaidah. Maka oleh karena itu secara ideal
dalam Ilmu Hukum dari visi epistemologis mempergunakan metode logika-
hipotetiko-verifikasi.
Kemudian ilmu hukum dilihat dari aksiologi
Menurut Jujun S Suriasumantri maka ditinjau dari aspek axiologi membahas dan
menjawab pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:
“Untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan ? Bagaimana kaitan
antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral ? Bagaimana
penentuan obyek  yang  ditelaah  berdasarkan  pilihan-pilihan moral ?
Bagaimana  kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi
metode ilmiah dengan norma-norma moral/referisonal ?”
Konkritnya,    dari   aspek    tersebut    Aksiologi    Ilmu   Hukum    akan
berkoleratif  terhadap kegunaan dari Ilmu Hukum itu sendiri. Sebagaimana
diketahui bersama bahwasanya  Ilmu Hukum bersifat dinamis dalam artian
mempunyai pengaruh dan fungsih yang khas dibanding dengan bidang- bidang
hukum yang lain.
Apabila    dijabarkan    secara    intens,   detail   dan   terperinci    maka
peran/pengaruh Ilmu  Hukum  tersebut  dari  aspek  Aksiologi  Ilmu  adalah
sebagai berikut :

Pertama,  dalam  proses  pembentukan  hukum  Ilmu  Hukum  melalui  hasil-


hasil penelitian, kajian teroritik dari para doktrina  sebagai bahan masukan yang
penting dalam rangka menjadi masukan untuk
menyusun   RUU (Rancangan   Undang-Undang)  sehingga diharapkan nantinya
Undang-Undang yang diterapkan dapat berfungsi   maksimal  karena   telah   
memenuhi   analisis,   filosofis, yuridis dan sosiologis;

Kedua,  dalam  praktek  hukum  lazim pada  proses  peradilan  oleh  hakim,


jaksa/Penuntut  Umum,  Penasehat  Hukum  dipergunakan pendapat  para 
doktrin untuk menyusun  putusan,  tuntutan  dan pembelaan. Dari aspek ini
merupakan perpaduan  antara  dunia teori dan dunia praktek;

Ketiga, Ilmu  hukum  juga  dapat  berpengaruh  untuk  pendidikan  hukum baik
yang bersifat formal dan informal serta untuk jangka panjang akan  berpengaruh
kepada  mutu  pendidikan  hukum  dan lulusannya dan;

Keempat, Bahwa  dengan  pesat  dan  majunya  Ilmu  Hukum  akan  menarik,


memacu  dan berpengaruh  kepada  perkembangan  bidang-bidang lainnya   
diluar  hukum. 
Peranan   Ilmu   Hukum   disini   nampak kepada bidang-bidang yang memerlukan
suatu kejelasan dan pengaturan   dimana   suatu   sistem   hukum  berusaha   
mengatur bidang yang bersifat progresif dan interventif;
 
Sedangkan fungsi Ilmu Hukum dari aspek Aksiologi Ilmu nampak dalam:
Pertama,  Bahwa  Ilmu hukum berusaha  mensistemasi  bahan-bahan  hukum
yang  terpisah-pisah secara komprehensif   dalam   suatu   buku hukum seperti:
Kondefikasi, Unifikasi dan lain-lain;
Kedua, Bahwa adanya  fungsi Ilmu Hukum yang mendeskripsikan pertimbangan-
pertimbangan dan diperlukan oleh bidang-bidang lain serta sehingga sebagai
pencerahan  guna mengatasi  kesulitan dan kebuntuan yang meluas dalam dunia
hukum khususnya terhadap Ilmu Hukum yang bersifat legalitas

Apakah Sain (Ilmu) itu berfihak ?


Sain (ilmu) itu sesungguhnya tidak pernah memihak baik kepada kebaikan
maupun kepada keburukan, artinya ilmu itu bermanfaat atau tidaknya akan
sangat tergantung kepada penggunaaan dan penggunannya. Ibarat pisau akan
sangat tergantung kepada pengguna dan penggunaannya, apakah akan dipakai
motong daging, sayuran atau membunuh orang tergantung pada orang yang
menggunakannya.
Jadi, ilmu itu netral ; sebab jika ilmu tidak netral (memiliki keterikatan) bisa jadi
ilmu pengetahuan tentang bedah jantung misalnya tidak akan bisa mengambil
model binatang yang hampir mirip dengan manusia untuk dibedah jantungnya,
akan tetapi harus langsung jantung manusia yang dibedah. Artinya akan
berhadapan dengan soal-soal kemanusiaan yang lebih besar. Demikian juga ilmu
hukum akan sangat tergantung kepada penggunanya (aparat penegak hukum)
apakah akan digunakan untuk mencapai tujuan hukum ataukah akan dijadikan
penghambat penerapan tujuan hukum dengan cara menggunakanya untuk
tujuan diluar tujuan hukum, begitu pula dalam pembuataannya apakah
diarahkan untuk pencapaian kemanusianaan pada derajat kemanusiaannya yang
tertinggi ataukah perumusan hukum itu diarahkan untuk kepentingan pragmatis
para pembentuknya.

Mungkinkah Hukum bisa dipakai sebagai sarana Kejahatan ? Bagaimana anda


bisa mengendalikannya dan dengan cara apa ?
Law as tool of crime, perbuatan jahat dengan hukum sebagai alatnya adalah
kejahatan yang sempurna, sulit dilacak, karena diselubungi oleh hukum dan
berada di dalam hukum (Nitibaskara, 2001). Bahwa adanya kejahatan yang
timbul ditengan masyarakat selalu dipikirkan dengan pemecahan dengan
membuat undang-undang baru.
Pada akhirnya, yang perlu dijaga adalah akal sehat publik dalam melihat dan
menilai sengkarut proses hukum yang sedang berjalan. Jangan sampai publik
melihat ini sebagai permainan hukum sehingga berpotensi menggerus
kepercayaan publik terhadap hukum (distrust) karena hukum telah dilihat
sebagai bagian dari kejahatan.

.
Model berfikir seperti apa untuk Mengetahui, Mengerti, Memahami dan
mengembangkan Ilmu Hukum ?

Secara sederhana ilmu hukum telah mengalami perjalanan yang cukup panjang
sebelum dikenal sebagai ilmu yang khas sebagaimana dipelajari dalam kelas-
kelas ilmiah selama ini. Secara umum, perjalanan atau perkembangan ilmu
hukum dapat ditarik benang merah historis ke dalam dua konsep, yakni konsep
hukum sebagai nilai dan konsep hukum sebagai peraturan.
Pemahaman hukum sebagai nilai, menurut Satjipto Rahardjo, menimbulkan
konsekuensi atas pilihan metode yang dipakai untuk melihat hukum. Metode
tersebut bersifat idealis yang senantiasa berusaha untuk menguji hukum yang
harus mewujudkan nilai(-nilai) tertentu. Metode itu membahas apa saja yang
menjadi tuntutan dari nilai(-nilai) dan apa yang seharusnya dilakukan hukum
untuk mewujudkannya
Hans Kelsen (1881-1973) suatu kali pernah melontarkan pertanyaan: hukum itu
apa? Untuk menghindari salah paham tentang arti hukum yang sebenarnya, ia
kemudian memisahkan hukum dari nilai-nilai dan segala unsur yang berperan
dalam pembentukan hukum seperti unsur-unsur psikologis, politis, sosiologis,
historis, dan etis. Hukum dilepaskan dari ide-ide dan isinya. Hukum dipahami
sebagai peraturan yang berlaku secara yuridis.
Perkembangan selanjutnya dari konsep hukum sebagai nilai yang cenderung
abstrak itu memang akhirnya berujung pada pemaknaan hukum sebagai sesuatu
yang konkret, yakni peraturan. Peraturan dibuat oleh pihak yang berkuasa, yang
secara sah memiliki kewenangan untuk memerintah dengan berpegang pada
peraturan-peraturan. Ada landasan rasional di sini, yakni bila pemerintah
mengeluarkan suatu peraturan berdasarkan perundang-undangan yang berlaku,
peraturan tersebut ditanggapi sebagai norma yang berlaku yuridis dan bersifat
mewajibkan. Seseorang bisa dikritik kelakuannya atau dituntut di pengadilan
karena telah melanggar peraturan-peraturan.

Benarkah bahwa Untuk mengerti, memahami dan mengembangkan Ilmu Hukum


(secara praktis-positivistik) yang terpenting adalah berfikir Rational (sebab
hukum itu di buat oleh dan untuk manusia); ubi societas ibi ius (dimana ada
masyarakat disitu ada hukum) artinya hukum dalam maknanya sebagai hukum
positip itu ada dan dibutuhkan sejak adanya manusia lebih dari satu orang
(masyarakat) untuk mengatur masing-masing hak dan kewajibanya agar
teciptanya keseimbangan (harmonis);
Kemukakan argumentasi saudara secara kritis & objektif ?

Ubi societas ibi ius” atau yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia “Dimana
ada masyarakat disitu ada hukum” adalah perkataan dari Marcus Tullius Cicero
seorang filsuf,ahli hukum, dan ahli politik kelahiran Roma. Perkataan Cicero
tersebut pun melintasi jaman, kalimat yang diutarakan Cicero lebih kurang 19
abad yang lalu masih berlaku hingga sekarang.

Teori ini mengungkapkan konsep filosofi Cicero yang menyatakan bahwa hukum
tidak dapat dipisahkan dari masyarakat. Kedamaian dan keadilan dari masyarakat
hanya bisa dicapai apabila tatanan hukum telah terbukti mendatangkan keadilan
dan dapat berfungsidengan efektif. Definisi masyarakat menurut Paul B. Horton &
C. Hunt masyarakat merupakan kumpulan manusia yang relatif mandiri, hidup
bersama-sama dalam waktu yang cukup lama, tinggal di suatu wilayah tertentu,
mempunyai kebudayaan sama serta melakukan sebagian besar kegiatan di dalam
kelompok / kumpulan manusia tersebut.

Sedangkan hukum adalah ketentuan-ketentuan yang menjadi peraturan hidup


suatu masyarakat yang bersifat kendalikan, mencegah, mengikat, memaksa.
Dinyatakan atau dianggap sebagai peraturan yang mengikat bagi sebagian atau
seluruh anggota masyarakat tertentu, dengan tujuan untuk mengadakan suatu
tata yang dikehendaki oleh penguasa tersebut.

Dengan kata lain Hukum merupakan serangkaian aturan yang berisi perintah
ataupun larangan yang sifatnya memaksa demi terciptanya suatu kondisi yang
aman, tertib, damai dan tentram,serta terdapat sanksi bagi siapapun yang
melanggarnya.

Hubungan antara masyarakat dengan hukum tidak bisa dipisahkan, karena


sejatinya hukum itu sendiri diciptakan untuk mengatur kehidupan masyarakat.
Maka dapat dibenarkan perkataan Cicero tersebut bahwa di mana ada
masyarakat di situ ada hukum.

Apabila ada seorang manusia yang hidup di suatu tempat yang tidak
berpenduduk, dan dia hidup sendiri di tempat itu, maka dapat dipastikan tidak
ada hukum di wilayah tersebut. Karena seseorang tadi bebas melakukan apapun
yang ia kehendaki.

Berbeda lagi ceritanya apabila ada seseorang lagi yang datang ke tempat
tersebut dan hidup bersama penghuni pertama. Masing-masing orang tersebut
jelas mempunyai kepentingan dan kehendak sendiri, dan tidak menutup
kemungkinan pula akan terjadi konflik antara kedua orang itu. Disinilah peran
hukum muncul, hukum akan mengatur bagaimana tata cara kehidupan mereka
agar terjadi keadilan dan kedamaian diantara masing-masing individu.

Kesimpulannya adalah hukum tidak dapat muncul/timbul jika hanya ada satu
orang saja. Harus ada 2 individu atau lebih (masyarakat) sehingga tercipta
hukum. Ketika hukum tercipta dan berjalan dengan baik maka hukum akan
menciptakan perlindungan bagi masyarakat yang berujung terwujudnya suatu
keadilan.

Lalu bagaimana jika secara Ideal-substansial untuk menggali, memahami


dan mengembangkan Ilmu hukum, cukupkah dengan hanya berfikir praktis-
positivistik ? Jika hanya berfikir sebatas itu, besar kemungkinan bahwa
pemaknaan hukumnya akan menjadi terasa kering, teknis dan bersifat
mekanistik-prosedural semata; Sedangkan tujuan hukum yang tertinggi harus
mampu meraih dan mewujudkan keadilan (artinya tidak hanya tercapainya
kepastian dan ketertiban sebagaimana sering terjadi saat ini), tentang ini maknai
irah-irah putusan pengadilan (vonis) yang selalu di dahului dengan kalimat “Demi
Keadilan Bersadarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” ; itu artinya, ada makna yang
mengharapkan para pembentuk dan pengabdi hukum untuk masuk pada wilayah
berfikir Logis (tidak semata rational dengan ukuran standar serangkaian pasal-
pasal pada peraturan perundang-undangan) sebab ada banyak hal nilai-nilai
dalam dinamika hidup dan kehidupan manusia yang tidak mampu dijangkau atau
tidak dapat diartikulasikan dalam bentuk hukum positif (tertulis) justeru karena
keterbatasan ratio manusia sendiri pada waktu dan tempat tertentu untuk dapat
“memahami sesuatu itu” secara lebih lengkap dan lebih sempurna.

Pandangan positivisme hukum memberikan landasan penelitian hukum normatif.


Secara garis besar pandangan positivisme hukum memaknai hakikat hukum
sebagai norma-norma positif dalam sistem peraturan perundang-undangan.
Terdapat tiga landasan pandangan positivisme hukum. Landasan pertama bahwa
hukum adalah perintah manusia yang memisahkan hukum dengan moral. Kedua
penelitian dilakukan terhadap hukum dipisahkan dari unsur-unsur di luar hukum
seperti sejarah, sosiologis dan politik. Ketiga sistem hukum adalah sistem logis
tertutup di mana keputusan yang benar dapat dideduksi dari aturan hukum yang
telah ditentukan dengan maksud logis semata. Kekuatan dari pandangan
positivisme hukum adalah argumentasi yang didasarkan pada penerapan
struktur norma positif ke dalam kasus-kasus konkret. Pola penalaran yang
dipergunakan adalah top to down dengan pola deduktif.

Pemikiran Austin dan Kelsen didorong oleh keinginan menjadikan hukum sebagai
ilmu hukum yang diakui oleh komunitas ilmiah. Oleh karenanya metoda yang
diarahkan menjadi ilmu dogmatika hukum yang mengedepankan pendekatan
ilmu-ilmu pasti dan hal ini sejalan dengan konsep berpikir penganut positivisme
hukum. Diskusi tentang hukum dalam perspektif positivisme hukum akan
menggiring ke arah hukum positif yang berarti hukum yang berlaku pada saat
dan wilayah tertentu. Oleh sebab itu, hukum positif sering diistilahkan dengan
sebutan ius contitutum. Hal ini juga menjadi kelemahan positivisme hukum yang
tidak dapat menjangkau pada aspek penegakan hukum. Postivisme hukum
menititikberatkan pada pembentukan hukum saja sebagaimana dalam pemikiran
Austin.

Jika demikian, apa yang harus dilakukan ?


Yang penting dalam hal melakukan penggalian apapun tentang hukum “harus
mengerti” tidak hanya (tidak boleh) berhenti pada ruang “mengetahui”;
Pengetahuan manusia itu sifatnya sangat terbatas dan rawan pengaruh dari
berbagai kepentingan; Mengerti lebih dekat pada petimbangan rasa dan rasio
(perasaan hukum) dan dengan demikian ada proses pengendapan nilai di
dalamnya. Mengerti, sangat boleh jadi ada unsur mengetahui di dalamnya akan
tetapi sebaliknya, mengetahui tidak berarti atau belum tentu mengandung unsur
mengerti.

kelemahan mendasar dalam memahami hukum adalah terletak pada


penggunaan ilmu hukum secara praktis, dengan menggunakan paradigma
peraturan (rule), dan dengannya mengenyampingkan paradigma
manusia (people). Menurut alm. Satjipto Rahardjo, bagi ilmu hukum progresif,
hukum adalah untuk manusia, sedang pada ilmu hukum praktis manusia adalah
lebih untuk hukum dan logika hukum. Oleh karena ilmu hukum progresif lebih
mengutamakan manusia, maka ilmu hukum progresif tidak bersikap submisif
atau tunduk begitu saja terhadap hukum yang ada melainkan bersikap kritis.
Tradisi berhukum dengan pendekatan filsafat positivistik-legalistik telah
membawa kita kepada kegagalan, mengaktualisasikan hukum tidak berada
dalam ruang dan waktu yang tepat.

Hukum tidak mampu menempatkan kepentingan dan kebutuhan manusia


sebagai tujuan utama dari hukum.Satjipto Rahardjo mengemukakan bahwa
penegakan hukum lebih dari sekedar menerapkan undang-undang dan
prosedur (black letter law), karena kualitas dan intensitas penegakan hukum
dapat berbeda-beda. Oleh karena itu diperlukan penegakan hukum yang mesu
budi, yaitu pengerahan seluruh potensi kejiwaan dalam diri, sehingga
menimbulkan penegakan hukum yang vigilante (pejuang) dalam arti
menjalankan hukum dengan kecerdasan spiritual.

Bagi hukum progresif, proses perubahan tidak lagi berpusat pada peraturan,
tetapi pada kreativitas pelaku hukum mengaktualisasikan hukum dalam ruang
dan waktu yang tepat.Para pelaku hukum progresif dapat melakukan perubahan
dengan melakukan pemaknaan yang kreatif terhadap peraturan yang ada, tanpa
harus menunggu perubahan peraturan (changing the law). Hukum progresif,
seperti juga interessenjurisprudenz tidak sekali-kali menafikan peraturan yang
ada sebagaimana dimungkinkan dalam aliran frei rechtslehre. Meski begitu, ia
tidak seperti legisme yang mematok peraturan sebagai harga mati atau analytical
jurisprudence yang hanya berkutat ada proses logis-formal. Hukum progresif
merangkul, baik peraturan maupun kenyataan/kebutuhan sosial sebagai dua hal
yang harus dipertimbangkan dalam setiap keputusan. Hukum progresif
maupun interessenjurisprudenz dan legal realisme, memiliki semangat dan
tujuan yang sama, yakni menempatkan kepentingan dan kebutuhan manusia
sebagai tujuan utama dari hukum.

Bagaimana cara menggalinya ?


Menggali ilmu hukum mula-mula harus di dekati dari sisi unsur “ nalar (menalar)”
yakni satu poses berfikir logis dengan cara mengikuti hukum logika tertentu;
kemudian diarahkan pada kegiatan “berfikir” hukum, yakni kegiatan untuk
menemukan Pengetahuan yang benar; Dalam terminologi Ilmu hukum ditempuh
dengan cara Pembentukan Hukum, Penemuan Hukum, Konstruksi hukum,
Sejarah Hukum, Perbandingan Hukum, Filsafat Hukum dan Metodologi Hukum,
dengan cara ini akan diketemukan asal mula hukum, tujuan hukum, kegunaan
hukum, fungsi hukum, harmonisasi hukum, sinkronisasi hukum dan interaksinya
dengan nilai-nilai non hukum untuk terciptanya kehidupan bersama **
tedie.sby@gmail.com

Anda mungkin juga menyukai