PENDAHULUAN
BAB II
PEMBAHASAN
b. Pembentukan pengadilan yang bersih, jujur, objektif dan adil yang ditunjang oleh
suatu sistem pemantauan.
Sistem peradilan yang jujur, adil, objektif dengan sistem pengawasan yang holistic
hanya menjadi slogan-slogan kepentingan dari ideology rezim ekonomi dan politik belaka.
Peradilan yang jujur, adil dan objektif sekadar menjadi wacana yang hanya berkembang di
lingkungan kampus-kampus, sekolah- sekolah, akademi-akademi, yang seringkali juga terlalu
asik mansyuk dengan dunianya sendiri.
Sistem peradilan pidana pada hakekatnya merupakan suatu proses penegakan hukum
pidana. Oleh karena itu berhubungan erat sekali dengan perundang-undangan pidana itu
sendiri, baik hukum substantif maupun hukum acara pidana, karena perundang-undangan
pidana itu pada dasarnya merupakan penegakan hukum pidana ”in abstracto” yang akan
diwujudkan dalam penegakan hukum ”in concreto”. Pentingnya peranan perundang-undangan
pidana dalam sistem peradilan pidana, karena perundang-undangan tersebut memberikan
kekuasaan pada pengambil kebijakan dan memberikan dasar hukum atas kebijakan yang
diterapkan. Lembaga legislatif berpartisipasi dalam menyiapkan kebijakan dan memberikan
langkah hukum untuk memformulasikan kebijakan dan menerapkan program kebijakan yang
telah ditetapkan. Jadi, semua merupakan bagian dari politik hukum yang pada hakekatnya
berfungsi dalam tiga bentuk, yakni pembentukan hukum, penegakan hukum, dan pelaksanaan
kewenangan dan kompetensi.
Berkaitan dengan hal tersebut di atas, ada beberapa asas utama yang harus
diperhatikan dalam mengoperasionalisasikan hukum pidana, sebab individu harus benar-benar
merasa terjamin bahwa mekanisme sistem peradilan pidana tidak akan menyentuh mereka
tanpa landasan hukum tertulis, yang sudah ada terlebih dahulu (legality principle). Di samping
itu, atas dasar yang dibenarkan oleh undang-undang hukum acara pidana mengenai apa yang
dinamakan asas kegunaan (expediency principle) yang berpangkal tolak pada kepentingan
masyarakat yang dapat ditafsirkan sebagai kepentingan tertib hukum (interest of the legal
order). Atas dasar ini penuntutan memperoleh legitimasinya. Asas yang ketiga adalah asas
perioritas (priority principle) yang didasarkan pada semakin beratnya beban sistem peradilan
pidana. Hal ini bisa berkaitan dengan berbagai kategori yang sama. Perioritas ini dapat juga
berkaitan dengan pemilihan jenis-jenis pidana atau tindakan yang dapat diterapkan pada pelaku
tindak pidana.
Misalnya Indonesia dan Malaysia dua bangsa serumpun, tetapi dipisahkan dalam sistem
hukumnya oleh masing-masing penjajah, yaitu Belanda dan Inggris. Akibatnya, meskipun kita
telah mempunyai KUHAP hasil ciptaan bangsa Indonesia sendiri, namun sistem dan asasnya
tetap bertumpu pada sistem Eropa Kontinental (Belanda), sedangkan Malaysia, Brunei,
Singapura bertumpu kepada sistem Anglo Saxon.
Walaupun bertumpu pada sistem Belanda, hukum pidana Indonesia modern dapat
dipisahkan dalam dua kategori, yaitu hukum pidana acara dan hukum pidana materiil. Hukum
pidana acara dapat disebut dalam Bahasa Inggris sebagai “procedural law” dan hukum pidana
materiil sebagai “substantive law”. Kedua kategori tersebut dapat kita temui dalam Kitab
masing-masing yaitu, KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) dan KUHP
(Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) berturut-turut.
Apalagi, hasil wawancara yang dilakukan dengan dosen-dosen di Fakultas Hukum
Universitas Mataram (UNRAM) menyatakan bahwa keadaanya Rancangan Undang Undang
(RUU) yang sedang dibahas dan dipertimbangkan oleh anggota-anggota Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) pada tingkat nasional, akan tetapi RUU tersebut belum dapat disahkan. Menurut
M. Lubis:
“’The new draft laws’, atau RUU KUHP baru itu telah disesuaikan dengan pandangan hidup
bangsa Indonesia termasuk nilai-nilai agama, nilai adat dan lagi pula disesuaikan dengan
Pancasila.”
Namun RUU KUHP baru memunculkan beberapa hal yang sangat menarik terkait
dengan perubahan-perubahan yang dapat terjadi pada sistem hukum pidana dan patut
didiskusikan, kenyataannya adalah sampai sekarang RUU tersebut belum dilaksanakan.
Menurut keterangan dari beberapa sumber, RUU tersebut telah diajukan kepada DPR Jakarta
selama kurang lebih dua puluh tahun dan belum dapat disepakati apalagi disahkan.
Maka dari itu, untuk sementara KUHAP dan KUHP merupakan undang-undang yang
berlaku dan digunakan oleh lembaga lembaga penegak hukum untuk melaksanakan urusan
sehari-hari dalam menerapkan hukum pidana di Indonesia.
KUHAP (dibedakan dari KUHP), menentukan prosedur-prosedur yang harus dianut
oleh berbagai lembaga yang terlibat dalam sistem peradilan misalnya hakim, jaksa, polisi dan
lain-lainnya, sedangkan KUHP menentukan pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan
yang berlaku dan dapat diselidiki ataupun dituntut oleh lembaga-lembaga tersebut.
Sebagai contoh hendaklah kita membaca Pasal 340 dari KUHP tentang kejahatan terhadap
nyawa orang, sebagai berikut:
Barangsiapa dengan sengaja dan dengan direncanakan lebih dahulu menghilangkan nyawa
orang, karena bersalah melakukan pembunuhan berencana, dipidana dengan pidana mati atau
penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun
Dari Pasal tersebut dapat kita lihat bahwa isi KUHP adalah persyaratan dan ancaman
(sanksi) substantif yang dapat diterapkan oleh penegak hukum. Sebaliknya KUHAP
menentukan hal-hal yang terkait dengan prosedur; sebagai contoh Pasal 110 tentang peranan
polisi dan jaksa:
“Dalam hal penyidik telah selesai melakukan penyidikan, penyidik wajib segera menyerahkan
berkas perkara kepada penuntut umum”.
Dari hasil wawancara yang dilakukan dengan Bapak Dedy Koesnomo dari Kejaksaan
Tinggi, Propinsi Nusa Tenggara Barat dapat kita lihat bahwa dalam kenyataan, sebuah hasil
penyidikan dalam bentuk berkas dari pihak kepolisian didahului dengan sebuah Surat
Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan atau SPDP. Itulah langkah pertama dari kepolisian
untuk menjalankan sebuah perkara pidana. Berita Acara Pemeriksaan (BAP) adalah berkas
lengkap yang mengandung semua fakta dan bukti terkait dengan kasusnya. BAP tersebut akan
menyusul SPDP biasanya dalam waktu kurang lebih tiga minggu. Setelah diterima oleh pihak
kejaksaan, (untuk tindak pidana ringan biasanya pada tingkat kejaksaan negeri) barulah
kejaksaan dapat meneliti berkasnya dan menyatakan jika BAPnya lengkap dan patut
dilimpahkan kepada pengadilan, atau dikembalikan kepada kepolisian disertai petunjuk-
petunjuk supaya dapat diperbaiki dan diserahkan lagi.
Jika sebuah BAP telah diteliti oleh jaksa dan dinyatakan cukup bukti untuk
melimpahkan perkaranya kepada pengadilan maka pertanggungjawaban untuk kasus tersebut
beralih dari pihak kejaksaan kepada pihak kehakiman dan pengadilan.
Demikian pula keputusan Kejaksaan untuk menuntut atau tidak menuntut seseorang dimuka
pengadilan. Ini semua adalah bagian-bagian dari kegiatan dalam rangka penegakan hukum,
atau dalam suasana kriminologi disebut “crime control” suatu prinsip dalam penanggulangan
kejahatan ini ialah bahwa tindakan-tindakan itu harus sesuai dengan nilai-nilai yang hidup
dalam masyarakat.
Selanjutnya tampak pula, bahwa sistim peradilan pidana melibatkan penegakan hukum pidana,
baik hukum pidana substantif, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana, dalam
bentuk yang bersifat prefentif, represif maupun kuratif. Dengan demikian akan nampak
keterkaitan dan saling ketergantungan antar sub sistim peradilan pidana yakni lembaga
kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. Bahkan dapat ditambahkan di
sini Lembaga Penasehat Hukum dan Masyarakat.
BAB III
PENUTUP
Sistem Peradilan Pidana adalah sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi
kejahatan, dengan tujuan :
a.Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan;
b.Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas
bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana;
c.Mengusahakan mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak
mengulangi lagi kejahatannya.
Di Indonesia telah banyak pembagian sistem peradilan pidana yang sekarang semuanya
dibawah kekuasaan Mahkamah Agung. Tetapi dalam proses pelaksanaannya masih banyak
kekurangan-kekurangan yang penyebabkan peradilan di Indonesia tidak dapat memenuhi
kebutuhan pencari keadilan, masalah itu baik secara administratif maupun penyelewengan-
penyelewengan yang terjadi di lingkungan peradilan. Adapun upaya yang telah dilakukan saat
ini belum optimal untuk menyelesaikan masalah di lingkungan peradilan.
Terutama di Indonesia sendiri banyaknya pembagian yurudiksi di tengkat peradilan
menyebabkan banyaknya cela yang harus di tutup kembali guna mewujudkan peradilan yang
bersih dan adil. Dengan Tujuan tujuan tersebut diharapkan dapat meminimalisir terjadinya
kejahatan khususnya tindak pidana yang dapat membahayakan masyarakat.