Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

Sistem peradilan pidana merupakan suatu jaringan (network) peradilan yang


menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum pidana materil, hukum
pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana. Namun demikian kelembagaan substansial
ini harus dilihat dalam kerangka atau konteks sosial. Sifatnya yang terlalu formal apabila
dilandasi hanya untuk kepentingan kepastian hukum saja akan membawa bencana berupa
ketidakadilan. Dengan demikian demi apa yang dikatakan sebagai precise justice, maka
ukuran-ukuran yang bersifat materiil, yang nyata-nyata dilandasi oleh asas-asas keadilan yang
bersifat umum benar-benar harus diperhatikan dalam penegakan hukum.Proses Hukum Yang
Adil ( Layak ). Di dalam pelaksanaan peradilan pidana, ada satu istilah hukum yang dapat
merangkum cita-cita peradilan pidana, yaitu “due process of law” yang dalam bahasa Indonesia
dapat diterjemahkan menjadi proses hukum yang adil atau layak Secara keliru arti dari proses
hukum yang adil dan layak ini seringkali hanya dikaitkan dengan penerapan aturan-aturan
hukum acara pidana suatu Negara pada seorang tersangka atau terdakwa. Padahal arti dari due
process of law ini lebih luas dari sekedar penerapan hukum atau perundang-undangan secara
formil. Pemahaman tentang proses hukum yang adil dan layak mengandung pula sikap batin
penghormatan terhadap hak-hak yang dipunyai warga masyarakat meskipun ia menjadi pelaku
kejahatan. Namun kedudukannya sebagai manusia memungkinkan dia untuk mendapatkan
hak-haknya tanpa diskriminasi

BAB II
PEMBAHASAN

a. Pelaksanaan proses pengadilan yang lebih sederhana, cepat dan murah


Asas peradilan yang paling mendasar dari pelaksanaan dan pelayanan administrasi
peradilan yang mengarah pada prinsip dan asas efektif dan efisien adalah asas sederhana, cepat
dan murah.
Sederhana dapat dimaknai sebagai proses yang tidak bertele-tele, tidak berbelit-belit,
tidak berliku-liku, tidak rumit, jelas, lugas, tidak interpretable, mudah dipahami, mudah
dilakukan, mudah dilaksanakan, mudah diterapkan, sistematis, konkrit baik dalam sudut
pandang pencarian keadilan, maupun dalam sudut pandang penegakan hukum yang
mempunyai tingkat kualifikasi yang sangat beragam.
Cepat harus dimaknai sebagai upaya strategis menjadi sistem peradilan sebagai institusi
yang dapat menjamin terwujudnya/ tercapainya keadilan dalam penegakan hukum secara cepat
oleh pencari keadilan.
Murah mengandung makna bahwa pencari keadilan melalui lembaga peradilan adalah
tidak sekedar orang mempunyai harapan akan jaminan keadilan di dalamnya, tetapi harus ada
jaminan bahwa keadilan tidak mahal, keadilan tidak dapat dimaterialisasikan, keadialan
mempunyai sifat mandiri dan bebas dari nilai-nilai lain yang dapat mengkaburkan nilai
keadilan itu sendiri, keadilan dapat diperjualbelikan, keadilan bukan merupakan komoditas,
keadilan bukan merupakan kata dengan sejuta pesimisme utopis, keadilan tidak dapat
dikualifikasikan dalam bentuk dan jenis apapun, keadilan adalah kebutuhan dasar bagi manusia
yang hidup secara universal.

b. Pembentukan pengadilan yang bersih, jujur, objektif dan adil yang ditunjang oleh
suatu sistem pemantauan.
Sistem peradilan yang jujur, adil, objektif dengan sistem pengawasan yang holistic
hanya menjadi slogan-slogan kepentingan dari ideology rezim ekonomi dan politik belaka.
Peradilan yang jujur, adil dan objektif sekadar menjadi wacana yang hanya berkembang di
lingkungan kampus-kampus, sekolah- sekolah, akademi-akademi, yang seringkali juga terlalu
asik mansyuk dengan dunianya sendiri.

c. Penyelesaikan penimbunan perkara dan kelambatan proses perkara di Mahkamah


Agung
Permasalahan yang penting yang berkaitan dengan asas cepat dan prinsip administrasi
peradilan adalah masalah penimbunan perkara dan kelambatan proses perkara di Mahkamah
Agung.
Untuk mengatasi permasalahan-permasalahan tersebut memang membutuhkan upaya dan
strategis yang sistematis, sustainable, komprehensif dari semua items tersebut. Tetapi upaya
administratif seperti pembatasan pengajuan banding/ kasasi dan mempercepat proses
pengadilan, adalah pilihan yang memang bukan satu-satunya, tetapi dapat dipandang sebagai
langkah terobosan hukum acara pidana yang ada. Pengaturan mengenai pembatasan perkara
banding dan kasasi, harus tidak boleh menimbulkan kesan pembatasan terhadap hak untuk
mendapatkan keadilan dalam penegakan hukum secara formil, tetapi juga tidak boleh
menimbulkan pembatasan perwujudan perkara banding dan kasasi.
Secara komprehensif, ide pembatasan perkara banding dan kasasi juga mempunyai
konsekuensi logis terhadap kebutuhan akan reformasi struktural dalam lembaga peradilan yang
sekarang ada, reformasi hukum acara menjadu panduan dasarnya, politik hukum yang
mendasari paradigma bangunan sistem peradilan yang akan dibentuk, kemampuan dan potensi
sumber daya manusianya.

2. Gambaran tentang sistem peradilan pidana atau criminal justice system


1. Dalam Black Law Dictionary, Criminal Justice System diartikan sebagai ”the network of
court and tribunals which deal with criminal law and it’s enforcement”. Pengertian ini lebih
menekankan pada suatu pemahaman baik mengenai jaringan di dalam lembaga peradilan
maupun pada fungsi dari jaringan untuk menegakan hukum pidana. Jadi, tekanannya bukan
semata-mata pada adanya penegakan hukum oleh peradilan pidana, melainkan lebih jauh lagi
dalam melaksanakan fungsi penegakan hukum tersebut dengan membangun suatu jaringan.
2. Remington dan Ohlin, Criminal Justice System dapat diartikan sebagai pemakaian
pendekatan sistem terhadap mekanisme administrasi peradilan pidana, dan peradilan pidana
sebagai suatu sistem merupakan hasil interaksi antara peraturan perundang-undangan, praktik
adminisrasi dan sikap atau tingkah laku sosial. Pengertian sistem itu sendiri mengandung
implikasi suatu proses interaksi yang dipersiapkan secara rasional dan dengan cara efisien
untuk memberikan hasil tertentu dengan segala keterbatasannya.
3. Mardjono Reksodipoetro, Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System) merupakan
sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi kejahatan.
4. Menurut Muladi, sistem peradilan pidana merupakan jaringan (network) peradilan yang
menggunakan hukum pidana materiel, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan
pidana. Akan tetapi, menurut Muladi kelembagaan ini harus dilihat dalam konteks sosial. Sifat
yang terlalu berlebihan jika dilandasi hanya untuk kepentingan kepastian hukum saja akan
membawa bencana berupa ketidakadilan.
Berbagai pandangan mengenai sistem peradilan pidana atau criminal justice system di
atas memiliki dimensi yang berbeda dengan sudut pandang yang berbeda pula. Criminal Justice
System atau yang dalam bahasa Indonesia dikenal dengan istilah Sistem Peradilan Pidana
merupakan suatu bentuk yang unik dan berbeda dengan sistem sosial lainnya. Perbedaan dapat
dilihat dari keberadaannya untuk memproduksi segala sesuatu yang bersifat unwelfare (dapat
berupa perampasan kemerdekaan, stigmatisasi, perampasan harta benda atau menghilangkan
nyawa manusia) dalam skala yang besar guna mencapai tujuan yang sifatnya welfare
(rehabilitasi pelaku, pengendalian dan penekanan tindak pidana).

Sistem peradilan pidana pada hakekatnya merupakan suatu proses penegakan hukum
pidana. Oleh karena itu berhubungan erat sekali dengan perundang-undangan pidana itu
sendiri, baik hukum substantif maupun hukum acara pidana, karena perundang-undangan
pidana itu pada dasarnya merupakan penegakan hukum pidana ”in abstracto” yang akan
diwujudkan dalam penegakan hukum ”in concreto”. Pentingnya peranan perundang-undangan
pidana dalam sistem peradilan pidana, karena perundang-undangan tersebut memberikan
kekuasaan pada pengambil kebijakan dan memberikan dasar hukum atas kebijakan yang
diterapkan. Lembaga legislatif berpartisipasi dalam menyiapkan kebijakan dan memberikan
langkah hukum untuk memformulasikan kebijakan dan menerapkan program kebijakan yang
telah ditetapkan. Jadi, semua merupakan bagian dari politik hukum yang pada hakekatnya
berfungsi dalam tiga bentuk, yakni pembentukan hukum, penegakan hukum, dan pelaksanaan
kewenangan dan kompetensi.

Berkaitan dengan hal tersebut di atas, ada beberapa asas utama yang harus
diperhatikan dalam mengoperasionalisasikan hukum pidana, sebab individu harus benar-benar
merasa terjamin bahwa mekanisme sistem peradilan pidana tidak akan menyentuh mereka
tanpa landasan hukum tertulis, yang sudah ada terlebih dahulu (legality principle). Di samping
itu, atas dasar yang dibenarkan oleh undang-undang hukum acara pidana mengenai apa yang
dinamakan asas kegunaan (expediency principle) yang berpangkal tolak pada kepentingan
masyarakat yang dapat ditafsirkan sebagai kepentingan tertib hukum (interest of the legal
order). Atas dasar ini penuntutan memperoleh legitimasinya. Asas yang ketiga adalah asas
perioritas (priority principle) yang didasarkan pada semakin beratnya beban sistem peradilan
pidana. Hal ini bisa berkaitan dengan berbagai kategori yang sama. Perioritas ini dapat juga
berkaitan dengan pemilihan jenis-jenis pidana atau tindakan yang dapat diterapkan pada pelaku
tindak pidana.

Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia

Sistem peradilan Indonesia berdasarkan sistem-sistem, undang-undang dan lembaga-


lembaga yang diwarisi dari negara Belanda yang pernah menjajah bangsa Indonesia selama
kurang lebih tiga ratus tahun.

Seperti dikatakan oleh Andi Hamzah

Misalnya Indonesia dan Malaysia dua bangsa serumpun, tetapi dipisahkan dalam sistem
hukumnya oleh masing-masing penjajah, yaitu Belanda dan Inggris. Akibatnya, meskipun kita
telah mempunyai KUHAP hasil ciptaan bangsa Indonesia sendiri, namun sistem dan asasnya
tetap bertumpu pada sistem Eropa Kontinental (Belanda), sedangkan Malaysia, Brunei,
Singapura bertumpu kepada sistem Anglo Saxon.

Walaupun bertumpu pada sistem Belanda, hukum pidana Indonesia modern dapat
dipisahkan dalam dua kategori, yaitu hukum pidana acara dan hukum pidana materiil. Hukum
pidana acara dapat disebut dalam Bahasa Inggris sebagai “procedural law” dan hukum pidana
materiil sebagai “substantive law”. Kedua kategori tersebut dapat kita temui dalam Kitab
masing-masing yaitu, KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) dan KUHP
(Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) berturut-turut.
Apalagi, hasil wawancara yang dilakukan dengan dosen-dosen di Fakultas Hukum
Universitas Mataram (UNRAM) menyatakan bahwa keadaanya Rancangan Undang Undang
(RUU) yang sedang dibahas dan dipertimbangkan oleh anggota-anggota Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) pada tingkat nasional, akan tetapi RUU tersebut belum dapat disahkan. Menurut
M. Lubis:

“’The new draft laws’, atau RUU KUHP baru itu telah disesuaikan dengan pandangan hidup
bangsa Indonesia termasuk nilai-nilai agama, nilai adat dan lagi pula disesuaikan dengan
Pancasila.”
Namun RUU KUHP baru memunculkan beberapa hal yang sangat menarik terkait
dengan perubahan-perubahan yang dapat terjadi pada sistem hukum pidana dan patut
didiskusikan, kenyataannya adalah sampai sekarang RUU tersebut belum dilaksanakan.
Menurut keterangan dari beberapa sumber, RUU tersebut telah diajukan kepada DPR Jakarta
selama kurang lebih dua puluh tahun dan belum dapat disepakati apalagi disahkan.
Maka dari itu, untuk sementara KUHAP dan KUHP merupakan undang-undang yang
berlaku dan digunakan oleh lembaga lembaga penegak hukum untuk melaksanakan urusan
sehari-hari dalam menerapkan hukum pidana di Indonesia.
KUHAP (dibedakan dari KUHP), menentukan prosedur-prosedur yang harus dianut
oleh berbagai lembaga yang terlibat dalam sistem peradilan misalnya hakim, jaksa, polisi dan
lain-lainnya, sedangkan KUHP menentukan pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan
yang berlaku dan dapat diselidiki ataupun dituntut oleh lembaga-lembaga tersebut.

Sebagai contoh hendaklah kita membaca Pasal 340 dari KUHP tentang kejahatan terhadap
nyawa orang, sebagai berikut:

Barangsiapa dengan sengaja dan dengan direncanakan lebih dahulu menghilangkan nyawa
orang, karena bersalah melakukan pembunuhan berencana, dipidana dengan pidana mati atau
penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun

Dari Pasal tersebut dapat kita lihat bahwa isi KUHP adalah persyaratan dan ancaman
(sanksi) substantif yang dapat diterapkan oleh penegak hukum. Sebaliknya KUHAP
menentukan hal-hal yang terkait dengan prosedur; sebagai contoh Pasal 110 tentang peranan
polisi dan jaksa:

“Dalam hal penyidik telah selesai melakukan penyidikan, penyidik wajib segera menyerahkan
berkas perkara kepada penuntut umum”.

Dari hasil wawancara yang dilakukan dengan Bapak Dedy Koesnomo dari Kejaksaan
Tinggi, Propinsi Nusa Tenggara Barat dapat kita lihat bahwa dalam kenyataan, sebuah hasil
penyidikan dalam bentuk berkas dari pihak kepolisian didahului dengan sebuah Surat
Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan atau SPDP. Itulah langkah pertama dari kepolisian
untuk menjalankan sebuah perkara pidana. Berita Acara Pemeriksaan (BAP) adalah berkas
lengkap yang mengandung semua fakta dan bukti terkait dengan kasusnya. BAP tersebut akan
menyusul SPDP biasanya dalam waktu kurang lebih tiga minggu. Setelah diterima oleh pihak
kejaksaan, (untuk tindak pidana ringan biasanya pada tingkat kejaksaan negeri) barulah
kejaksaan dapat meneliti berkasnya dan menyatakan jika BAPnya lengkap dan patut
dilimpahkan kepada pengadilan, atau dikembalikan kepada kepolisian disertai petunjuk-
petunjuk supaya dapat diperbaiki dan diserahkan lagi.

Jika sebuah BAP telah diteliti oleh jaksa dan dinyatakan cukup bukti untuk
melimpahkan perkaranya kepada pengadilan maka pertanggungjawaban untuk kasus tersebut
beralih dari pihak kejaksaan kepada pihak kehakiman dan pengadilan.

Tujuan Sistem Peradilan Pidana di Indonesia


Sistem Peradilan Pidana adalah sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi
kejahatan, dengan tujuan :
a.Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan;
b.Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas
bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana;
c.Mengusahakan mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak
mengulangi lagi kejahatannya.

v Sistem peradilan Pidana Dalam Peraturan Perundangan di Indonesia


Ketentuan mengenai proses beracara untuk kasus-kasus pidana di Indonesia harus mengacu
pada ketentuan umumnya yakni KUHAP, disamping juga terdapat ketentuan hukum pidana
formil selain yang telah diatur dalam KUHAP tersebut, yang tersebar dalam Undang-Undang
di luar KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana).

v Sistem Peradilan diwakili dalam 4 yuridiksi


Di Indonesia terdapat 4 macam sistem peradilan yang di akui terdapat dalam pasal 10 ayat
2 UU No. 4/ 2004, yaitu :
1. Lingkungan peradilan umum
2. Lingkungan peradilan agama
3. Lingkungan peradilan militer, dan
4. Lingkungan peradilan tata usaha negara
Dalam sistem peradilan pidana pelaksanaan dan penyelenggaan penegakan hukum
pidana melibatkan badan-badan yang masing-masing memiliki fungsi sendiri-sendiri. Badan-
badan tersebut yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. Dalam
kerangka kerja sitematik ini tindakan badan yang satu akan berpengaruh pada badan yang
lainnya.

Berkaitan dengan hal tersebut, Sudarto mengatakan: Instansi-instansi tersebut masing-


masing menetapkan hukum dalam bidang dan wewenangnya. Pandangan penyelenggaran tata
hukum pidana demikian itu disebut model kemudi (stuur model). Jadi kalau polisi misalnya
hanya memberi marah pada orang yang melanggar peraturan lalu lintas dan tidak membuat
proses verbal dan meneruskan perkaranya ke Kejaksaan, itu sebenarnya merupakan suatu
keputusan penetapan hukum.

Demikian pula keputusan Kejaksaan untuk menuntut atau tidak menuntut seseorang dimuka
pengadilan. Ini semua adalah bagian-bagian dari kegiatan dalam rangka penegakan hukum,
atau dalam suasana kriminologi disebut “crime control” suatu prinsip dalam penanggulangan
kejahatan ini ialah bahwa tindakan-tindakan itu harus sesuai dengan nilai-nilai yang hidup
dalam masyarakat.
Selanjutnya tampak pula, bahwa sistim peradilan pidana melibatkan penegakan hukum pidana,
baik hukum pidana substantif, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana, dalam
bentuk yang bersifat prefentif, represif maupun kuratif. Dengan demikian akan nampak
keterkaitan dan saling ketergantungan antar sub sistim peradilan pidana yakni lembaga
kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. Bahkan dapat ditambahkan di
sini Lembaga Penasehat Hukum dan Masyarakat.

Sistem peradilan pidana merupakan suatu jaringan (network) peradilan yang


menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum pidana materil, hukum
pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana. Namun demikian kelembagaan substansial
ini harus dilihat dalam kerangka atau konteks sosial. Sifatnya yang terlalu formal apabila
dilandasi hanya untuk kepentingan kepastian hukum saja akan membawa bencana berupa
ketidakadilan. Dengan demikian demi apa yang dikatakan sebagai precise justice, maka
ukuran-ukuran yang bersifat materiil, yang nyata-nyata dilandasi oleh asas-asas keadilan yang
bersifat umum benar-benar harus diperhatikan dalam penegakan hukum.
Proses Hukum yang adil (layak).
Di dalam pelaksanaan peradilan pidana, ada satu istilah hukum yang dapat merangkum
cita-cita peradilan pidana, yaitu “due process of law” yang dalam bahasa Indonesia dapat
diterjemahkan menjadi proses hukum yang adil atau layak
Secara keliru arti dari proses hukum yang adil dan layak ini seringkali hanya dikaitkan dengan
penerapan aturan-aturan hukum acara pidana suatu Negara pada seorang tersangka atau
terdakwa. Padahal arti dari due process of law ini lebih luas dari sekedar penerapan hukum atau
perundang-undangan secara formil.
Pemahaman tentang proses hukum yang adil dan layak mengandung pula sikap batin
penghormatan terhadap hak-hak yang dipunyai warga masyarakat meskipun ia menjadi pelaku
kejahatan. Namun kedudukannya sebagai manusia memungkinkan dia untuk mendapatkan
hak-haknya tanpa diskriminasi.

BAB III
PENUTUP

Sistem Peradilan Pidana adalah sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi
kejahatan, dengan tujuan :
a.Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan;
b.Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas
bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana;
c.Mengusahakan mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak
mengulangi lagi kejahatannya.

Di Indonesia telah banyak pembagian sistem peradilan pidana yang sekarang semuanya
dibawah kekuasaan Mahkamah Agung. Tetapi dalam proses pelaksanaannya masih banyak
kekurangan-kekurangan yang penyebabkan peradilan di Indonesia tidak dapat memenuhi
kebutuhan pencari keadilan, masalah itu baik secara administratif maupun penyelewengan-
penyelewengan yang terjadi di lingkungan peradilan. Adapun upaya yang telah dilakukan saat
ini belum optimal untuk menyelesaikan masalah di lingkungan peradilan.
Terutama di Indonesia sendiri banyaknya pembagian yurudiksi di tengkat peradilan
menyebabkan banyaknya cela yang harus di tutup kembali guna mewujudkan peradilan yang
bersih dan adil. Dengan Tujuan tujuan tersebut diharapkan dapat meminimalisir terjadinya
kejahatan khususnya tindak pidana yang dapat membahayakan masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai