Latar Belakang
Filsafat lahir di Yunani pada abad keenam Sebelum Masehi (SM). Dalam bahasa
Yunani filsafat disebut philosophia yang berasal dari dua akar kata yakni “philos” atau
“philia” dan “sophos” atau “sophia”. “Philos” mempunyai arti cinta, persahabatan,
sedangkan “sophos” berarti hikmah, kebijaksanaan, pengetahuan, dan inteligensia.
Dengan demikian maka philosophia ini dapat diartikan sebagai cinta akan kebijaksanaan.
Pengertian filsafat secara umum hampir sama tetapi yang membedakan hanyalah dari
para filsuf yang memaparkan teori filsafat tersebut. Kemudian munculnya jaman filsafat
modern dengan perkembangan yang semakin berubah pula seiring perkembangan jaman.
Sehingga dari asal mula timbulnya filsafat yang dapat masuk kedalam setiap ilmu
pengetahuan maka tidak menuutup pula filsafat masuk kedalam bidang ilmu hukum
sehingga dalam perkembangannya ilmu filsafat menjadi diterapkan kedalam ilmu filsafat
hukum. Ilmu hukum sebagai sebuah cabang ilmu pengetahauan, tentu akan selalu
berkembang sesuai dengan pemikiranpemikiran para ahli hukum serta berdasarkan
keadaan-keadaan atau situasi dan kondisi di mana hukum itu berada dan diterapkan.
Maka, untuk mengetahui perkembangan ilmu hukum diperlukan refleksi dan relevansi
pemikiran-pemikiran dari aliran-aliran hukum itu melalui filsafat hukum.
Maka dari itu, filsafat hukum dan keadilan memiliki keterkaitan satu sama lain.
Hukum adalah sesuatu hal yang lekat dengan masyarakat dan negara. Nilai-nilai yang
terkandung dalam masyarakat merupakan muara dari materi hukum; sebagaimana nilai-
nilai tersebut terkandung tujuan dari negara yang salah satunya yaitu keadilan bagi
seluruh masyarakat (Husik, 1924). Sedangkan filsafat merupakan induk dari ilmu, maka
filsafat berperan dalam penemuan solusi dari berbagai permasalahan dengan rasional.
Jawaban mengenai persoalan nilai-nilai dasar kaidah hukum secara filosofis sebagai
upaya perwujudan dari tekad tercapainya keadilan adalah yang menjadi fokus utama dari
filsafat hukum.
Maka, peran dari filsafat hukum adalah untuk memposisikan keadilan yang ada
dalam kehidupan masyarakat sudah berada tepat pada posisi yang seharusnya. Sebab
seperti yang kita ketahui, realita yang terjadi di masyarakat khususnya dalam penegakan
hukum masih terdapat banyak hal yang sangat jauh dari makna keadilan yang
sebenarnya. Sering kali hukum tidak lagi memberikan rasa keadilan bagi banyak
orang.Oleh karena itu, sangat jelas diketahui bahwa hukum jika tidak ‘dibarengi’ dengan
keadilan akan menimbulkan kesewenang-wenangan. Hal tersebut bisa terjadi karena nilai
kebaikan yang paling utama adalah keadilan, nilai-nilai dari keadilan tersebut tidak dapat
digantikan oleh apapun itu. Filsafat sendiri memiliki peran sebagai jalan rasional yang
ditempuh untuk menemukan keadilan dalam hidup.
B. Permasalahan
1. Filsafat Hukum
H.L.A. Hart, berpendapat bahwa filsafat hukum adalah karya pikir bersama
antara filsafat moral, filsafat politik, dan bahasa. Sebagai hasil karya filsafat moral,
filsafat hukum membahas konsep-konsep hukum tentang rasa bersalah, kesalahan,
niat, dan tanggung jawab yang merupakan issuesentral dalam hukum terutama ketika
hukum menekankan konsep-konsep di atas dalam pikiran dan perbuatan. Mempelajari
filsafat hukum tentunya akan membawa seseorang pada apa yang dimaksud mengenai
hukum itu, dengan sebenar-benarnya dan sedalam-dalamnya. Plato dalam tulisannya
Andre Ata Ujan, menyampaikan bahwa seorang filsuf (orang yang ahli filsafat), tidak
pernah berhenti mencari dan menemukan kebenaran (searching for truth) dan
membangun keadilan (to built justice).
Bahkan kebenaran dan keadilan, hasil pemikiran para filsuf sebelumnya, pun
tidak luput dari sikap kritik filsafat mereka, sebab dalam filsafat tidak ada kebenaran
yang final. Demikian halnya dengan filsafat hukum, filsafat hukum harus berupaya
mencari dan menemukan hakekat hukum secara radikal (sampai ke akar-akarnya),
secara sistematis, rasional, dan metodis.Filsafat hukum berupaya untuk menemukan
jawaban terdalam dari sebuah objek formalnya, yaitu hukum.Darji Darmodiharjo dan
Shidarta, mengungkapkan bahwa filsafat hukum adalah filsafat tingkah laku dan etika,
yang mempelajari hakekat hukum secara filosofis. Hukum dikaji secara mendalam
sampai kepada inti atau dasarnya yang disebut dengan hakekat.
J.J.H. Bruggink dalam bukunya Otje Salman dan Anton F. Susanto, mengatakan
bahwa filsafat hukum adalah induk dari semua disiplin yuridik. Karena filsafat hukum
membahas masalah-masalah yang paling fundamental yang timbul dalam hukum.
Ditambahkannya, oleh karena kefundamentalannyamasalah-masalah hukum yang
hendak dibahas itu, sehingga oleh manusia tidak terpecahkan. Oleh karena
masalahnya melampaui kemampuan berpikir manusia. Filsafat hukum akan
merupakan kegiatan yang tidak pernah berakhir, karena mencoba memberikan
jawaban pada pertanyaan-pertanyaan abadi. Pertanyaan itu tentunya adalah
pertanyaan yang terhadapnya, hanya dapat diberikan jawaban yang menimbulkan
banyak pertanyaan baru.1
2. Teori Keadilan
Tentang rumusan keadilan ini ada dua pendapat yang dasar yang perlu
diperhatikan, sebagai berikut:
1
Beniharmoni Harefa, “Kebenaran Hukum Perspektif Filsafat Hukum”, Jurnal Komunikasi Hukum, Volume 2,
Nomor 1, 2016, hlm. 13-14.
a. Pandangan kaum awami (pendapat awam) yang pada dasarnya merumuskan bahwa
yang dimaksudkan dengan keadilan itu ialah keserasian antara penggunaan hak dan
pelaksanaan kewajiban selaras dengan dalil” neraca hukum “yakni “takaran hak
dan kewajiban”.
D. Pembahasan
2
Subhan Amin, “Keadilan Dalam Perspektif Filsafat Hukum Terhadap Masyarakat”, El-Afkar Vol. 8 Nomor I,
2019, Hlm. 2-3.
Dalam hubungannya dengan filsafat ilmu hukum, keadilan diwujudkan melalui
hukum sehingga dapat disimpulkan bahwa hukum yang mewujudkan keadilan itu mutlak
perlu dalam kehidupan bersama manusia. Tanpa hukum kehidupan manusia menjadi
kacau dan akan kehilangan kemungkinan untuk berkembang secara manusiawi. Tugas
filsafat hukum adalah memformulasi citacita politik dalam istilah-istilah keadilan dan
ketertiban hukum. Sebagaimana dikatakan oleh Radbruch: “Alle grossen politischen
Wandlungenwaren vor der Rechtspholosophie vorbereitet oder begleitet. Am anfang
standdie Rechtsphilosophie, am Ende die Revolution”. All great political changes were
prepared or accompanied by legal philosophy. In the beginning there was legal
philosophy at the end, there was revolution”.
Melihat dari uraian mengenai terminologi keadilan di atas jelaslah bahwa untuk
dapat melihat adanya gambaran keadilan terdapat ukuran tersendiri yang dapat
mengukurnya. Bersandar pada gambaran itulah maka penulis mengambil kesimpulan
bahwa keadilan dalam hukum terbagi pada 2 (dua) hal yakni keadilan menurut
perundang-undangan (legal justice) atau keadilan dalam praktek (practical justice).
Keadilan berdasarkan perundang-undangan didasarkan pada hukum yang tertulis dan ada
dalam teks perundangundangan.
Memaknai keadilan memang selalu berawal dari keadilan sebagaimana juga tujuan
hukum yang lain yaitu kepastian hukum dan kemanfaatan. Keadilan memang tidak
secara tersurat tertulis dalam teks tersebut tetapi pembuat undang-undang telah
memandang dalam pembuatan produk perundangundangannya didasarkan pada keadilan
yang merupakan bagian dari tujuan hukum itu sendiri, seperti ada dalam teori etis bahwa
tujuan hukum semata-mata untuk mewujudkan keadilan (justice), yang dimuat dalam
teori tujuan hukum klasik sedangkan dalam teori prioritas modern baku yang ada dalam
teori modern yaitu tujuan hukum mencakupi keadilan, kemanfaatan dan kepastian
hukum.
Keadilan dalam lingkup filsafat hukum juga di kategorikan dalam aspek keadilan
abstrak dan kepatutan titik kepatutan memberikan fleksibilitas dari suatu instrumen
hukum dengan memberikan perhatian khusus terhadap hal-hal yang dianggap benar
tentang suatu undang-undang. Sedangkan keadilan abstrak memberikan perspektif bahwa
hukum adalah sesuatu aturan yang berlaku secara umum dan dilakukan serta diterapkan
secara terpaksa untuk mengantisipasi berbagai tindakan kejam terhadap hak-hak
perseorangan maupun masyarakat secara komunitas. Namun, filsafat hukum mengalami
perkembangan sehingga muncul aliran filsafat hukum positivisme sebagaimana
memandang keadilan sebagai tujuan hukum (Paulson, 1994).Meskipun demikian,
aliran positivisme sering kali mengabaikan aspek tujuan hukum lainnya, yaitu
kepastian hukum. Hal tersebut sejalan dengan adagium "Summum jus, summa injuria,
summa lex" sebagaimana bermakna"hukum yang keras akan dapat melukai, kecuali
keadilan dapat menolongnya". Adagium tersebut dilatarbelakangi adanya
ketidakpercayaan dari penganut aliran positivisme atas makna keadilan sebenarnya
oleh karena keadilan yang tertinggi adalah ketidakadilan yang tertinggi pula.(Patterson,
2018)
Namun, argumen tersebut harus memenuhi dua syarat kumulatif. Pertama, pada
lingkungan masyarakat terjadi suatu kondisi ketidaksamaan jaminan atas maksimum dan
minimum bagi subjek hukum yang lemah. Maknanya, bilamana terdapat situasi
masyarakat sedemikian rupa, maka instrumen hukum wajib memberikan keuntungan
yang paling tinggi sebagaimana yang dapat dirasakan pula oleh orang-orang yang tidak
berdaya. Kedua, ketidakseimbangan ditentukan dari jabatan-jabatan publik sebagaimana
terbuka bagi semua orang sehingga setiap subjek hukum memiliki kans yang sama
untuk hidup dan menduduki jabatan publik tersebut.Perlu diketahui pula, salah satu
unsur atau elemen dari prinsip-prinsip keadilan adalah adanya kesamaan, oleh karena
hukum wajib menjadi bintang pemandu sekaligus penuntun setiap subjek hukum
guna mereka dapat mengambil peran yang tetap memperhatikan hak dan kewajiban
individu dan hak dan kewajiban orang lain.
Kedua, Rawls memandang bahwa ada urgensi mengenai teori keadilan sosial lebih
determinan daripada teori utilitarianisme; sebagaimana Rawls menyebutnya denga
istilah average utilitarianisme. Anggapannya, suatu lembaga sosial dapat dianggap
adil bilamana dimaksimalkan untuk memberikan kegunaan dan keuntunganbagi
masyarakat. Gagasan average utilitarianis mememberikan pandangan bahwa lembaga
sosial dapat termasuk dalam kategori melaksanakan aspek keadilan bilamana mereka
memaksimalkan aspek keuntungan rata-rata per kapita. Keuntungan yang dimaksud
adalah kepuasan masyarakat yang didapatkan melalui berbagai skema.Perlu diketahui
pula bahwa terdapat beberapa prinsip keadilan yang menjadi solusi bagi persoalan utama
dari keadilan itu sendiri.
Berbicara dalam konteks filsafat ilmu hukum, dalam semua aliran manapun, cara
berfikir apa pun yang dipakai, semua pemikiran tentang hukum secara sistematis
(berfilsafat tentang hukum), berlandaskan di satu pihak pada filsafat (pandangan manusia
tentang tempatnya di alam semesta) dan di lain pihak pada teori politik (pandangan
manusia tentang bentuk masyarakat yang terbaik). Pikiran tentang tujuan hukum
berdasar pada “konsepsi” (pandangan) manusia sebagai manusia yang berfikir (thinking
individual) dan sebagai makhluk berpolitik (political being). Dua aspek ini yang harus
diperhatikan dalam menjawab pertanyaan tentang filsafat ilmu hukum.3
Kembali pada apa yang sedang dibahas mengenai kebenaran hukum perspektif
filsafat hukum, apabila ketiga teori kebenaran itu dikaitkan dengan kebenaran hukum,
maka akan sulit untuk menentukan kriteria kebenaran apa yang digunakan dalam
menentukan kebenaran hukum. Para filsuf dengan berbagai alur pemikiran tidak dapat
bersatu dalam menentukan kriteria kebenaran apa yang digunakan dalam menentukan
kebenaran hukum. Namun paradigma seseoranglah yang menentukan sesuatu itu
benar, karena kebenaran itu bersifat subjektif dan tentative. Kebenaran yang dianut
seseorang menuntunnya untuk mencari dan menemukan serta meyakinkan dia tentang
sesuatu yang benar itu.
Kebenaran adalah kolaborasi dari dua bidang paradigma tersebut, seperti halnya
dua bidang tersebut diterapkan pada kacamata instrumen hukum pula. Lalu, apa faset
yang memenuhi das sollen dan das sein sebagaimana menjadi unsur dari instrumen
hukum? Faset tersebut adalah kebudayaan. Kebudayaan terletak di antara keduanya;
dan hukum merupakan elemen dari kebudayaan.
3
Totok Sugiarto, “Keadilan Dalam Pandangan Filsafat Hukum”, IUS Vol.02 No.01, 2015 , Hlm. 13-16.
hukum yang dibentuk didasarkan atas penilaian masyarakat.Bahkan, pada perspektif
utilitarianisme, hukum yang adil adalah hukum yang tidak hanya melihat aspek
negatifnya semata.Oleh sebab, sudut pandang ini memberikansuatu bentuk alternatif
bahwa ada upaya untuk melakukan verifikasi etis di dalam implementasi ketentuan-
ketentuan yang tercantum dalam perundang-undangan untuk melakukan justifikasi
hukuman. Memang, hukuman merupakan upaya yang dilakukan untuk memberikan
efek jera kepada seseorang yang melakukan perbuatan melawan hukum; bahkan hal
tersebut dapat dibenarkan secara moral.
Namun, hal tersebut bukan hanya disebabkan karena subjek hukum telah
melawan hukum, melainkan hukuman yang dijatuhkankepada subjek hokum tersebut
memiliki konsekuensi positif bagi terhukum, korban, dan orang-orang lain yang
berpotensi menjadi pelaku maupun korban atas peristiwayang sedang ditangani
tersebut. Hukum wajib memiliki keterkaitan yang konstruktif dan positifbagi manusia;
jika tidak, maka hukuman tersebut tidak memiliki makna dan tidak berguna. Terlebih,
arah dari visi hukum berdasarkan sudut pandang psikologis sebagaimana yang
menjadi prinsip utilitarianisme adalah untuk menjaga standar mengetahui sebab
dan akibat yang proporsional dan bermartabat. Hal ini didasarkan bahwa secara
naluriah, subjek hukum telah memiliki sudut pandang kesenangan dan
ketidaksenangan di dalam jiwanya sehingga segala sesuatu yang patut dilakukan
dan diperbuat oleh setiap subjek hukum, maka akan ditujukan atau ditetapkan dalam
rangka kesenangan atau ketidaksenangan.
Kedua hal tersebut menjadi pandu perilaku dari manusia sehingga segala yang
manusia pikirkan dan katakan berhubungan dengan kedua hal tersebut. Berdasarkan
kedua hal tersebut, munculah suatu standar mengenai baik dan buruk dari tindakan-
tindakan yang dilakukan oleh manusia. Maka dari itu, kebenaran dalam perspektif
utilitarianisme adalah kebenaran faktual yang memberikan konsep bahwa setiap
subjek hukum cenderung dapat menghasilkan manfaat, kebahagiaan, kesenangan,
kebaikan bagi dirinya. Dengan demikian, setiap orang menghindari berbagai tindakan
yang cenderung membuat dirinya berada dalam situasi ketidaksenangan, kejahatan,
ketidakbahagiaan, rasa sakit, dan hal-hal yang mengganggu ketenangan pada dirinya
itu. Oleh karena itu, berdasarkan sudut pandang utilitarianisme, hukum sebagai cita
moral wajib memberikan perlindungan terhadap kebahagiaan setiap individu yang
pada dasarnya layak untuk dipelihara dan dilestarikan.
Berbicara mengenai apakah hukum itu benar ada? dari mana datangnya hukum?
untuk apa ada hukum? siapa yang berwenang membuat hukum? mengapa orang
tunduk pada hukum? pertanyaan-pertanyaan itu yang akan membawa orang berpikir
tentang hukum secara khusus dan mendalam tentang hakekat hukum. Jawaban atas
pertanyaan di atas bukan saja membawa orang pada satu pengertian tentang hakekat
hukum, melainkan membawa pada berbagai pemikiran, keyakinan atau kepercayaan
tentang hal-hal mengenai hukum.
Jawaban atas pertanyaan di atas dapat membawa pada keyakinan, pedoman atau
orientasi berpikir tentang hukum. Sehingga kemudian membentuk paradigma, dan
paradigma ini menjadi pegangan, pedoman, panduan : berpikir, berkata dan berbuat
atau orientasi dasar untuk mengembangkan keyakinan dan kepercayaan tentang
4
Cucuk Endratno, Refleksi Filsafat Hukum: Telaah Sintesa Keadilan, Yustitiabelen, Vol. 8, No. 2, 2022, hlm.
106-109.
hukum. Lalu, jika kemudian kebenaran hukum dilihat dari pengertian dan fungsi
hukum itu sendiri, maka dapat disimpulkan. Pertama, apakah benar hukum itu
merupakan sekumpulan peraturan-peraturan atau kaedah-kaedah dalam suatu
kehidupan bersama, maka benar hukum merupakan kumpulan aturan. Kedua, apakah
benar fungsi hukum itu adalah untuk mengatur kehidupan manusia maka jawabannya
benar. Kendati memang harus ditegaskan bahwa hukum itu ada untuk manusia bukan
manusia ada untuk hukum.
E. Kesimpulan
Berbagai aliran filsafat hukum membersihkan kajian terhadap makna keadilan, tak
terkecuali aliran utilitarianisme dan positivisme. Aliran positivisme memberikan
pandangan bahwa keadilan merupakan orientasi utama dari hukum itu sendiri. Oleh
sebab, keadilanadalah prinsip yang menjadi kebijakan rasional tekstual di setiap hukum
sebagaimana yang diimplementasikan untuk kesejahteraan masyarakat sebesar-besarnya.
Berbeda dengan hal itu, aliran utilitarianisme memiliki pandangan bahwa keadilan dan
kebahagiaan merupakan tujuan utama dari cara berhukumanusia; sehingga aliran ini
memberikan kesempatan bagi pemutus hukum untuk mempertimbangkan hal-hal yang
dapat menjadi konsekuensi maupun implikasi dari suatu perbuatan kejahatan yang
dilakukan oleh setiap subjek hukum. Aliran utilitarianisme menempatkan keadilan
sebagai upaya yang ditempuh dengan cara-cara yang memperhatikan implikasi-implikasi
dan setiap justifikasi hukum tersebut. Selanjutnya, Kebenaran yang dianut seseorang
menuntunnya untuk mencari dan menemukan serta meyakinkan dia tentang sesuatu yang
benar itu. Oleh karena itu diperlukan ilmu untuk membawa manusia menuju kebenaran
absolut.
DAFTAR PUSTAKA
Sugiarto, Totok, 2015, “Keadilan Dalam Pandangan Filsafat Hukum”, IUS Vol.02 No.
01.