Anda di halaman 1dari 12

A.

Latar Belakang

Filsafat lahir di Yunani pada abad keenam Sebelum Masehi (SM). Dalam bahasa
Yunani filsafat disebut philosophia yang berasal dari dua akar kata yakni “philos” atau
“philia” dan “sophos” atau “sophia”. “Philos” mempunyai arti cinta, persahabatan,
sedangkan “sophos” berarti hikmah, kebijaksanaan, pengetahuan, dan inteligensia.
Dengan demikian maka philosophia ini dapat diartikan sebagai cinta akan kebijaksanaan.
Pengertian filsafat secara umum hampir sama tetapi yang membedakan hanyalah dari
para filsuf yang memaparkan teori filsafat tersebut. Kemudian munculnya jaman filsafat
modern dengan perkembangan yang semakin berubah pula seiring perkembangan jaman.
Sehingga dari asal mula timbulnya filsafat yang dapat masuk kedalam setiap ilmu
pengetahuan maka tidak menuutup pula filsafat masuk kedalam bidang ilmu hukum
sehingga dalam perkembangannya ilmu filsafat menjadi diterapkan kedalam ilmu filsafat
hukum. Ilmu hukum sebagai sebuah cabang ilmu pengetahauan, tentu akan selalu
berkembang sesuai dengan pemikiranpemikiran para ahli hukum serta berdasarkan
keadaan-keadaan atau situasi dan kondisi di mana hukum itu berada dan diterapkan.
Maka, untuk mengetahui perkembangan ilmu hukum diperlukan refleksi dan relevansi
pemikiran-pemikiran dari aliran-aliran hukum itu melalui filsafat hukum.

Dengan adanya filsafat hukum, didapat berbagai pembahasan fundamental terkait


hukum, yaitu hakikat dari hukum, kedudukan suatu hukum dan tujuan dari hukum.
Berhubungan dengan hal tersebut, keadilan merupakan salah satu dari sekian banyak
tujuan hukum yang di dalamnnya terdapat hak yang sama bagi makhluk hidup. Keadilan
bagi institusi sosial bagaikan kebenaran dalam sistem pemikiran manusia. Keadilan tidak
mengizinkan adanya segelintir orang yang mengalah atau melakukan pengorbanan yang
dipaksakan sedangkan banyak orang menikmati keuntungan. Demi mewujudkan suatu
keadilan, diperlukan adanya proses yang tidak sederhana. Perwujudan keadilan
membutuhkan waktu yang tidak sebentar dan sering kali berbenturan dengan beberapa
faktor penghambat.

Maka dari itu, filsafat hukum dan keadilan memiliki keterkaitan satu sama lain.
Hukum adalah sesuatu hal yang lekat dengan masyarakat dan negara. Nilai-nilai yang
terkandung dalam masyarakat merupakan muara dari materi hukum; sebagaimana nilai-
nilai tersebut terkandung tujuan dari negara yang salah satunya yaitu keadilan bagi
seluruh masyarakat (Husik, 1924). Sedangkan filsafat merupakan induk dari ilmu, maka
filsafat berperan dalam penemuan solusi dari berbagai permasalahan dengan rasional.
Jawaban mengenai persoalan nilai-nilai dasar kaidah hukum secara filosofis sebagai
upaya perwujudan dari tekad tercapainya keadilan adalah yang menjadi fokus utama dari
filsafat hukum.

Maka, peran dari filsafat hukum adalah untuk memposisikan keadilan yang ada
dalam kehidupan masyarakat sudah berada tepat pada posisi yang seharusnya. Sebab
seperti yang kita ketahui, realita yang terjadi di masyarakat khususnya dalam penegakan
hukum masih terdapat banyak hal yang sangat jauh dari makna keadilan yang
sebenarnya. Sering kali hukum tidak lagi memberikan rasa keadilan bagi banyak
orang.Oleh karena itu, sangat jelas diketahui bahwa hukum jika tidak ‘dibarengi’ dengan
keadilan akan menimbulkan kesewenang-wenangan. Hal tersebut bisa terjadi karena nilai
kebaikan yang paling utama adalah keadilan, nilai-nilai dari keadilan tersebut tidak dapat
digantikan oleh apapun itu. Filsafat sendiri memiliki peran sebagai jalan rasional yang
ditempuh untuk menemukan keadilan dalam hidup.

Keadilan diwujudkan dalam hukum merupakan suatu sudut pandang yang


diberikan oleh filsafat ilmu hukum. Kehidupan haruslah selalu erat dengan rasa adil yang
berkeadilan dan tergapainya tujuan hukum merupakan kehendak dari filsafat hukum.
Maka, di sinilah filsafat hukum dinilai sebagai suatu hal yang tepat untuk senantiasa
mengoptimalisasi suatu hukum. Maka salah satu kajian dari filsafat hukum ialah
keadilan, kemanfaatan dan lain-lain yang merupakan tujuan dari hukum. Penulis tertarik
mengkaji hal ini dengan topik “Filsafat Hukum: Telaah Sintesa Keadilan”.

B. Permasalahan

Penulisan ini ini mengkaji dua isu permasalahan hukum, yakni:

1. Bagaimana perspektif filsafat hukum terhadap konsep keadilan?

2. Bagaimana telaah filsafat hukum terhadap makna kebenaran?

C. Tinjauan Pustaka/Konsep Teori

1. Filsafat Hukum

H.L.A. Hart, berpendapat bahwa filsafat hukum adalah karya pikir bersama
antara filsafat moral, filsafat politik, dan bahasa. Sebagai hasil karya filsafat moral,
filsafat hukum membahas konsep-konsep hukum tentang rasa bersalah, kesalahan,
niat, dan tanggung jawab yang merupakan issuesentral dalam hukum terutama ketika
hukum menekankan konsep-konsep di atas dalam pikiran dan perbuatan. Mempelajari
filsafat hukum tentunya akan membawa seseorang pada apa yang dimaksud mengenai
hukum itu, dengan sebenar-benarnya dan sedalam-dalamnya. Plato dalam tulisannya
Andre Ata Ujan, menyampaikan bahwa seorang filsuf (orang yang ahli filsafat), tidak
pernah berhenti mencari dan menemukan kebenaran (searching for truth) dan
membangun keadilan (to built justice).

Bahkan kebenaran dan keadilan, hasil pemikiran para filsuf sebelumnya, pun
tidak luput dari sikap kritik filsafat mereka, sebab dalam filsafat tidak ada kebenaran
yang final. Demikian halnya dengan filsafat hukum, filsafat hukum harus berupaya
mencari dan menemukan hakekat hukum secara radikal (sampai ke akar-akarnya),
secara sistematis, rasional, dan metodis.Filsafat hukum berupaya untuk menemukan
jawaban terdalam dari sebuah objek formalnya, yaitu hukum.Darji Darmodiharjo dan
Shidarta, mengungkapkan bahwa filsafat hukum adalah filsafat tingkah laku dan etika,
yang mempelajari hakekat hukum secara filosofis. Hukum dikaji secara mendalam
sampai kepada inti atau dasarnya yang disebut dengan hakekat.

J.J.H. Bruggink dalam bukunya Otje Salman dan Anton F. Susanto, mengatakan
bahwa filsafat hukum adalah induk dari semua disiplin yuridik. Karena filsafat hukum
membahas masalah-masalah yang paling fundamental yang timbul dalam hukum.
Ditambahkannya, oleh karena kefundamentalannyamasalah-masalah hukum yang
hendak dibahas itu, sehingga oleh manusia tidak terpecahkan. Oleh karena
masalahnya melampaui kemampuan berpikir manusia. Filsafat hukum akan
merupakan kegiatan yang tidak pernah berakhir, karena mencoba memberikan
jawaban pada pertanyaan-pertanyaan abadi. Pertanyaan itu tentunya adalah
pertanyaan yang terhadapnya, hanya dapat diberikan jawaban yang menimbulkan
banyak pertanyaan baru.1

2. Teori Keadilan

Tentang rumusan keadilan ini ada dua pendapat yang dasar yang perlu
diperhatikan, sebagai berikut:

1
Beniharmoni Harefa, “Kebenaran Hukum Perspektif Filsafat Hukum”, Jurnal Komunikasi Hukum, Volume 2,
Nomor 1, 2016, hlm. 13-14.
a. Pandangan kaum awami (pendapat awam) yang pada dasarnya merumuskan bahwa
yang dimaksudkan dengan keadilan itu ialah keserasian antara penggunaan hak dan
pelaksanaan kewajiban selaras dengan dalil” neraca hukum “yakni “takaran hak
dan kewajiban”.

b. Pandangan para ahli hukum (Purnadi Purbacaraka) yang pada dasarnya


merumuskan bahwa keadilan itu adalah keserasian antara kepastian hukum dan
kesebandingan hokum.

Pemikiran Aristoteles mengenai keadilan dapat dipelajari dalam karyanya


nichomachean ethics, politics, dan rethoric. Khusus dalam buku nicomachean ethics,
sepenuhnya ditujukan bagi keadilan, yang berdasarkan filsafat umum Aristoteles,
mesti dianggap sebagai inti dari filsafat hukumnya, “karena hukum hanya bisa
ditetapkan dalam kaitannya dengan keadilan”.Yang sangat urgen dari pemikirannya
adalah pendapat bahwa keadilan mesti dipahami dalam pengertian kesamaan. Namun
Aristoteles membuat pembedaan penting antara kesamaan numerik dan kesamaan
proporsional. Kesamaan numerik mempersamakan setiap manusia sebagai satu unit.
Inilah yang sekarang biasa kita pahami tentang kesamaan dan yang kita maksudkan
ketika kita mengatakan bahwa semua warga adalah sama di depan hukum. Kesamaan
proporsional memberi tiap orang apa yang menjadi haknya sesuai dengan
kemampuannya, prestasinya, dan sebagainya.

Sedangkan keadilan menurut John Rawls, bahwa teori mengenai prinsipprinsip


keadilan terutama sebagai alternatif bagi teori utilitarisme. Rawls berpendapat bahwa
dalam masyarakat yang diatur menurut prinsip-prinsip utilitarisme, orang-orang akan
kehilangan harga diri, lagi pula bahwa pelayanan demi perkembangan bersama akan
lenyap. Rawls juga berpendapat bahwa sebenarnya teori ini lebih keras dari apa yang
dianggap normal oleh masyarakat. Memang boleh jadi diminta pengorbanan demi
kepentingan umum, tetapi tidak dapat dibenarkan bahwa pengorbanan ini pertama-
tama diminta dari orang-orang yang sudah kurang beruntung dalam masyarakat.2

D. Pembahasan

1. Perspektif filsafat hukum terhadap konsep keadilan

2
Subhan Amin, “Keadilan Dalam Perspektif Filsafat Hukum Terhadap Masyarakat”, El-Afkar Vol. 8 Nomor I,
2019, Hlm. 2-3.
Dalam hubungannya dengan filsafat ilmu hukum, keadilan diwujudkan melalui
hukum sehingga dapat disimpulkan bahwa hukum yang mewujudkan keadilan itu mutlak
perlu dalam kehidupan bersama manusia. Tanpa hukum kehidupan manusia menjadi
kacau dan akan kehilangan kemungkinan untuk berkembang secara manusiawi. Tugas
filsafat hukum adalah memformulasi citacita politik dalam istilah-istilah keadilan dan
ketertiban hukum. Sebagaimana dikatakan oleh Radbruch: “Alle grossen politischen
Wandlungenwaren vor der Rechtspholosophie vorbereitet oder begleitet. Am anfang
standdie Rechtsphilosophie, am Ende die Revolution”. All great political changes were
prepared or accompanied by legal philosophy. In the beginning there was legal
philosophy at the end, there was revolution”.

Melihat dari uraian mengenai terminologi keadilan di atas jelaslah bahwa untuk
dapat melihat adanya gambaran keadilan terdapat ukuran tersendiri yang dapat
mengukurnya. Bersandar pada gambaran itulah maka penulis mengambil kesimpulan
bahwa keadilan dalam hukum terbagi pada 2 (dua) hal yakni keadilan menurut
perundang-undangan (legal justice) atau keadilan dalam praktek (practical justice).
Keadilan berdasarkan perundang-undangan didasarkan pada hukum yang tertulis dan ada
dalam teks perundangundangan.

Memaknai keadilan memang selalu berawal dari keadilan sebagaimana juga tujuan
hukum yang lain yaitu kepastian hukum dan kemanfaatan. Keadilan memang tidak
secara tersurat tertulis dalam teks tersebut tetapi pembuat undang-undang telah
memandang dalam pembuatan produk perundangundangannya didasarkan pada keadilan
yang merupakan bagian dari tujuan hukum itu sendiri, seperti ada dalam teori etis bahwa
tujuan hukum semata-mata untuk mewujudkan keadilan (justice), yang dimuat dalam
teori tujuan hukum klasik sedangkan dalam teori prioritas modern baku yang ada dalam
teori modern yaitu tujuan hukum mencakupi keadilan, kemanfaatan dan kepastian
hukum.

Berkenaan dengan adanya tujuan hukum tersebut, disamping keadilan menjadi


salah satu dari dibuatnya teks hukum maka tujuan hukum pun menjadi dasar yang
menjadi acuan bagi seorang hakim dalam menetapkan putusannya. Hakim secara formal
meletakkan dasar pertimbangan hukumnya berdasarkan teks undang-undang (legal
formal) dan keadilan menjadi harapan dari putusan tersebut. Akan tetapi kemudian yang
terjadi adalah makna keadilan ini menjadi sempit manakala salah satu pihak menganggap
bahwa putusan hakim itu menjadi tidak adil baginya dan hal ini yang kemudian
membawa pada pemikiran bahwa selalu terjadi disparitas antara keadilan dan
ketidakadilan. Bahwa memang makna keadilan itu bisa jadi menjadi tidak sama atau
dengan kata lain mempunyai perspektif yang berbeda.

Keadilan dalam lingkup filsafat hukum juga di kategorikan dalam aspek keadilan
abstrak dan kepatutan titik kepatutan memberikan fleksibilitas dari suatu instrumen
hukum dengan memberikan perhatian khusus terhadap hal-hal yang dianggap benar
tentang suatu undang-undang. Sedangkan keadilan abstrak memberikan perspektif bahwa
hukum adalah sesuatu aturan yang berlaku secara umum dan dilakukan serta diterapkan
secara terpaksa untuk mengantisipasi berbagai tindakan kejam terhadap hak-hak
perseorangan maupun masyarakat secara komunitas. Namun, filsafat hukum mengalami
perkembangan sehingga muncul aliran filsafat hukum positivisme sebagaimana
memandang keadilan sebagai tujuan hukum (Paulson, 1994).Meskipun demikian,
aliran positivisme sering kali mengabaikan aspek tujuan hukum lainnya, yaitu
kepastian hukum. Hal tersebut sejalan dengan adagium "Summum jus, summa injuria,
summa lex" sebagaimana bermakna"hukum yang keras akan dapat melukai, kecuali
keadilan dapat menolongnya". Adagium tersebut dilatarbelakangi adanya
ketidakpercayaan dari penganut aliran positivisme atas makna keadilan sebenarnya
oleh karena keadilan yang tertinggi adalah ketidakadilan yang tertinggi pula.(Patterson,
2018)

Berhubungan dengan keadilan dalam ranah positivisme, keadilan merupakan


suatu prinsip yang menjadi bagian dari kebijakan rasional-tekstual setiap subjek
hukum sebagaimana diimplementasikan untuk kesejahteraan seluruh masyarakat.
Agar menggapai harapan tersebut, rasionalitas seseorang ‘dipaksakan’ untuk
memenuhi keinginannya sebagaimana prinsip-prinsip kegunaan; oleh karena,
seseorang akan melakukan sesuatu untuk memperbanyak keuntungan dari pada
kepuasan yang diperoleh anggota masyarakat lainnya. Pada perspektif filsafat hukum
khususnya dalam aliran positivisme, adanya fenomena kesenjangan yang terjadi di
masyarakat sejatinya wajib diberikan perlindungan agar peraturan setidak-tidaknya
memberikan keberpihakan kepada golongan masyarakat yang tidak berdaya.

Namun, argumen tersebut harus memenuhi dua syarat kumulatif. Pertama, pada
lingkungan masyarakat terjadi suatu kondisi ketidaksamaan jaminan atas maksimum dan
minimum bagi subjek hukum yang lemah. Maknanya, bilamana terdapat situasi
masyarakat sedemikian rupa, maka instrumen hukum wajib memberikan keuntungan
yang paling tinggi sebagaimana yang dapat dirasakan pula oleh orang-orang yang tidak
berdaya. Kedua, ketidakseimbangan ditentukan dari jabatan-jabatan publik sebagaimana
terbuka bagi semua orang sehingga setiap subjek hukum memiliki kans yang sama
untuk hidup dan menduduki jabatan publik tersebut.Perlu diketahui pula, salah satu
unsur atau elemen dari prinsip-prinsip keadilan adalah adanya kesamaan, oleh karena
hukum wajib menjadi bintang pemandu sekaligus penuntun setiap subjek hukum
guna mereka dapat mengambil peran yang tetap memperhatikan hak dan kewajiban
individu dan hak dan kewajiban orang lain.

Kedua, Rawls memandang bahwa ada urgensi mengenai teori keadilan sosial lebih
determinan daripada teori utilitarianisme; sebagaimana Rawls menyebutnya denga
istilah average utilitarianisme. Anggapannya, suatu lembaga sosial dapat dianggap
adil bilamana dimaksimalkan untuk memberikan kegunaan dan keuntunganbagi
masyarakat. Gagasan average utilitarianis mememberikan pandangan bahwa lembaga
sosial dapat termasuk dalam kategori melaksanakan aspek keadilan bilamana mereka
memaksimalkan aspek keuntungan rata-rata per kapita. Keuntungan yang dimaksud
adalah kepuasan masyarakat yang didapatkan melalui berbagai skema.Perlu diketahui
pula bahwa terdapat beberapa prinsip keadilan yang menjadi solusi bagi persoalan utama
dari keadilan itu sendiri.

Aristoteles membagi keadilan menjadi tiga macam. Adanya pembedaan keadilan


menjadi tiga apabila dilihat dari keterangan mengenai definsi masing-masing dan
ketiganya jelas berbeda. Keadilan yang dimaksud di sini adalah keadilan dalam
pengertian kesamaan. Keadilan jenis ini kemudian membedakan pada jenis pembagian
keadilan distributive dan corrective atau remedial justice. Keadilan seperti diuraikan
dalam pembagian tersebut, sejatinya dilaksanakan dalam kenyataan tapi keadilan
masyarakat (dalam pembagian di atas tadi, selain keadilan berdasarkan teks undang-
undang) merupakan keadilan yang merupakan harapan masyarakat. Ketentuan Pasal 16
Ayat (1) UU No.4 Tahun 2004 pun memperkuat keadilan jenis ini, yang menyatakan
bahwa keadilan menjadi wajib untuk tetap ditegakkan kendati pun tidak ada ketentuan
hukum normatif. Keadilan merupakan kebutuhan pokok rohaniah dalam tata hubungan
masyarakat, keadilan merupakan bagian dari struktur rohaniah suatu masyarakat. Suatu
masyarakat memiliki gambaran tentang mana yang patut dan tidak patut, mana yang
benar dan yang salah, kendati pun dalam masyarakat tersebut tidak ada undang-undang
tertulisnya. Di sisi yang lain, dalam pasal 5 ayat (1) UU No.48 Tahun 2009 tugas hakim
yaitu menggali dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat.

Berbicara dalam konteks filsafat ilmu hukum, dalam semua aliran manapun, cara
berfikir apa pun yang dipakai, semua pemikiran tentang hukum secara sistematis
(berfilsafat tentang hukum), berlandaskan di satu pihak pada filsafat (pandangan manusia
tentang tempatnya di alam semesta) dan di lain pihak pada teori politik (pandangan
manusia tentang bentuk masyarakat yang terbaik). Pikiran tentang tujuan hukum
berdasar pada “konsepsi” (pandangan) manusia sebagai manusia yang berfikir (thinking
individual) dan sebagai makhluk berpolitik (political being). Dua aspek ini yang harus
diperhatikan dalam menjawab pertanyaan tentang filsafat ilmu hukum.3

2. Telaah filsafat hukum terhadap makna kebenaran

Kembali pada apa yang sedang dibahas mengenai kebenaran hukum perspektif
filsafat hukum, apabila ketiga teori kebenaran itu dikaitkan dengan kebenaran hukum,
maka akan sulit untuk menentukan kriteria kebenaran apa yang digunakan dalam
menentukan kebenaran hukum. Para filsuf dengan berbagai alur pemikiran tidak dapat
bersatu dalam menentukan kriteria kebenaran apa yang digunakan dalam menentukan
kebenaran hukum. Namun paradigma seseoranglah yang menentukan sesuatu itu
benar, karena kebenaran itu bersifat subjektif dan tentative. Kebenaran yang dianut
seseorang menuntunnya untuk mencari dan menemukan serta meyakinkan dia tentang
sesuatu yang benar itu.

Kebenaran adalah kolaborasi dari dua bidang paradigma tersebut, seperti halnya
dua bidang tersebut diterapkan pada kacamata instrumen hukum pula. Lalu, apa faset
yang memenuhi das sollen dan das sein sebagaimana menjadi unsur dari instrumen
hukum? Faset tersebut adalah kebudayaan. Kebudayaan terletak di antara keduanya;
dan hukum merupakan elemen dari kebudayaan.

Sehingga, seperti halnya elemen-elemen kebudayaan lain, hukum sepatutnya


diwujudkan pada satu titik nilai temu, yaitu nilai keadilan. Dengan demikian, hukum
merupakan usaha untuk mewujudkan keadilan; meski tolak ukur dari pada struktur

3
Totok Sugiarto, “Keadilan Dalam Pandangan Filsafat Hukum”, IUS Vol.02 No.01, 2015 , Hlm. 13-16.
hukum yang dibentuk didasarkan atas penilaian masyarakat.Bahkan, pada perspektif
utilitarianisme, hukum yang adil adalah hukum yang tidak hanya melihat aspek
negatifnya semata.Oleh sebab, sudut pandang ini memberikansuatu bentuk alternatif
bahwa ada upaya untuk melakukan verifikasi etis di dalam implementasi ketentuan-
ketentuan yang tercantum dalam perundang-undangan untuk melakukan justifikasi
hukuman. Memang, hukuman merupakan upaya yang dilakukan untuk memberikan
efek jera kepada seseorang yang melakukan perbuatan melawan hukum; bahkan hal
tersebut dapat dibenarkan secara moral.

Kebenaran telah menjadi mutlak bilamana seseorang meyakininya namun


kebenaran itu sendiri akan menjadi objektif bilamana seseorang membandingkan satu
peristiwa dengan peristiwa yang lain, termasuk peristiwa hukum. Bukan hanya
itu, kebenaran maupun keadilan dalam konteks kajian ini sejatinya memiliki
keterkaitan satu sama lain yang menjadi elemen utama dalam cara berhukum manusia.
Di sisi lain, dua elemen ini sejatinya juga pilar negara membangun hukum yang
partisipatif dan progresif mengingat hukum membutuhkan legitimasi dan rekognisi
dari masyarakat. Meskipun demikian, kebenarandan keadilan sejatinya akan
melahirkan konsekuensi yang berupa hukuman baik itu dapat ditinjau berdasarkan
aspek moralitas maupun etika.

Namun, hal tersebut bukan hanya disebabkan karena subjek hukum telah
melawan hukum, melainkan hukuman yang dijatuhkankepada subjek hokum tersebut
memiliki konsekuensi positif bagi terhukum, korban, dan orang-orang lain yang
berpotensi menjadi pelaku maupun korban atas peristiwayang sedang ditangani
tersebut. Hukum wajib memiliki keterkaitan yang konstruktif dan positifbagi manusia;
jika tidak, maka hukuman tersebut tidak memiliki makna dan tidak berguna. Terlebih,
arah dari visi hukum berdasarkan sudut pandang psikologis sebagaimana yang
menjadi prinsip utilitarianisme adalah untuk menjaga standar mengetahui sebab
dan akibat yang proporsional dan bermartabat. Hal ini didasarkan bahwa secara
naluriah, subjek hukum telah memiliki sudut pandang kesenangan dan
ketidaksenangan di dalam jiwanya sehingga segala sesuatu yang patut dilakukan
dan diperbuat oleh setiap subjek hukum, maka akan ditujukan atau ditetapkan dalam
rangka kesenangan atau ketidaksenangan.
Kedua hal tersebut menjadi pandu perilaku dari manusia sehingga segala yang
manusia pikirkan dan katakan berhubungan dengan kedua hal tersebut. Berdasarkan
kedua hal tersebut, munculah suatu standar mengenai baik dan buruk dari tindakan-
tindakan yang dilakukan oleh manusia. Maka dari itu, kebenaran dalam perspektif
utilitarianisme adalah kebenaran faktual yang memberikan konsep bahwa setiap
subjek hukum cenderung dapat menghasilkan manfaat, kebahagiaan, kesenangan,
kebaikan bagi dirinya. Dengan demikian, setiap orang menghindari berbagai tindakan
yang cenderung membuat dirinya berada dalam situasi ketidaksenangan, kejahatan,
ketidakbahagiaan, rasa sakit, dan hal-hal yang mengganggu ketenangan pada dirinya
itu. Oleh karena itu, berdasarkan sudut pandang utilitarianisme, hukum sebagai cita
moral wajib memberikan perlindungan terhadap kebahagiaan setiap individu yang
pada dasarnya layak untuk dipelihara dan dilestarikan.

Hal tersebutlah yang memunculkan unsur konstitutif dari suatu instrumen


hukum berdasarkan perspektif utilitarianisme, yaitu the greatest happiness theory
sebagaimana memberikan penegasan bahwa tujuan hukum adalah memberikan
kebahagiaan sebesar-besarnya kepada setiap orang. Maka demikian, kebenaran adalah
sesuatu yang eksistensinya menjadi realita kehidupan manusia sebagai upaya untuk
mencapai tujuan tertinggi setiap pribadi manusia itu sendiri, yaitu suatu kebahagiaan.4

Berbicara mengenai apakah hukum itu benar ada? dari mana datangnya hukum?
untuk apa ada hukum? siapa yang berwenang membuat hukum? mengapa orang
tunduk pada hukum? pertanyaan-pertanyaan itu yang akan membawa orang berpikir
tentang hukum secara khusus dan mendalam tentang hakekat hukum. Jawaban atas
pertanyaan di atas bukan saja membawa orang pada satu pengertian tentang hakekat
hukum, melainkan membawa pada berbagai pemikiran, keyakinan atau kepercayaan
tentang hal-hal mengenai hukum.

Jawaban atas pertanyaan di atas dapat membawa pada keyakinan, pedoman atau
orientasi berpikir tentang hukum. Sehingga kemudian membentuk paradigma, dan
paradigma ini menjadi pegangan, pedoman, panduan : berpikir, berkata dan berbuat
atau orientasi dasar untuk mengembangkan keyakinan dan kepercayaan tentang

4
Cucuk Endratno, Refleksi Filsafat Hukum: Telaah Sintesa Keadilan, Yustitiabelen, Vol. 8, No. 2, 2022, hlm.
106-109.
hukum. Lalu, jika kemudian kebenaran hukum dilihat dari pengertian dan fungsi
hukum itu sendiri, maka dapat disimpulkan. Pertama, apakah benar hukum itu
merupakan sekumpulan peraturan-peraturan atau kaedah-kaedah dalam suatu
kehidupan bersama, maka benar hukum merupakan kumpulan aturan. Kedua, apakah
benar fungsi hukum itu adalah untuk mengatur kehidupan manusia maka jawabannya
benar. Kendati memang harus ditegaskan bahwa hukum itu ada untuk manusia bukan
manusia ada untuk hukum.

E. Kesimpulan

Berbagai aliran filsafat hukum membersihkan kajian terhadap makna keadilan, tak
terkecuali aliran utilitarianisme dan positivisme. Aliran positivisme memberikan
pandangan bahwa keadilan merupakan orientasi utama dari hukum itu sendiri. Oleh
sebab, keadilanadalah prinsip yang menjadi kebijakan rasional tekstual di setiap hukum
sebagaimana yang diimplementasikan untuk kesejahteraan masyarakat sebesar-besarnya.
Berbeda dengan hal itu, aliran utilitarianisme memiliki pandangan bahwa keadilan dan
kebahagiaan merupakan tujuan utama dari cara berhukumanusia; sehingga aliran ini
memberikan kesempatan bagi pemutus hukum untuk mempertimbangkan hal-hal yang
dapat menjadi konsekuensi maupun implikasi dari suatu perbuatan kejahatan yang
dilakukan oleh setiap subjek hukum. Aliran utilitarianisme menempatkan keadilan
sebagai upaya yang ditempuh dengan cara-cara yang memperhatikan implikasi-implikasi
dan setiap justifikasi hukum tersebut. Selanjutnya, Kebenaran yang dianut seseorang
menuntunnya untuk mencari dan menemukan serta meyakinkan dia tentang sesuatu yang
benar itu. Oleh karena itu diperlukan ilmu untuk membawa manusia menuju kebenaran
absolut.
DAFTAR PUSTAKA

Amin, Subhan, 2019, “Keadilan Dalam Perspektif Filsafat Hukum Terhadap

Masyarakat”, El-Afkar Vol. 8 Nomor I.

Endratno, Cucuk, 2022, Refleksi Filsafat Hukum: Telaah Sintesa Keadilan,

Yustitiabelen, Vol. 8, No. 2.

Harefa, Beniharmoni, 2016, “Kebenaran Hukum Perspektif Filsafat Hukum”, Jurnal

Komunikasi Hukum, Volume 2, Nomor 1.

Sugiarto, Totok, 2015, “Keadilan Dalam Pandangan Filsafat Hukum”, IUS Vol.02 No.

01.

Anda mungkin juga menyukai