Anda di halaman 1dari 10

ORIENTASI DASAR PEMBENTUKAN HUKUM DAN

URGENSINYA DALAM KEHIDUPAN BERMASYARAKAT

(Disusun Untuk Memenuhi Tugas Ujian Akhir Semester Mata Kuliah


Pengantar Ilmu Hukum)

Dosen Pengampu :
Dr. Sri Warijiyati, S.H., M.H.

Disusun Oleh :
Ahmad Farhan Al Bazi
NIM (05010722001)

Program Studi Hukum Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya
Email : @farhann.ahmad27@gmail.com

ABSTRAK
Seluruh sistem pastinya memiliki suatu orientasi dasar sebagai konsep pemikiran
pembentukan suatu sitem. Dalam konteks orientasinya, filsafat memegang peranan
yang sangat penting dalam konsep orientasi dasar. Dalam implementasinya, maka
hukum akan berkembang seiring berjalannya masa, karena hukum memiliki tujuan
untuk tercipyanta suatu keadilan. Dalam substansinya, keadilan merupakan nama dari
kehidupan, maka keadilan akan berubah-ubah sesuai dengan berubahnya konsep dan
sistem tatanan kehidupan. Mengenal implementasinya, hukum dapat dikatakan sebagai
suatu sitem konsep untuk mengatur Batasan dalam tindak laku manusia. Karena
pastinya setiap individu personal memiliki kepentingan masing-masing yang dimana
sering ada kontradiksi dengan individu personal lain. Maka hukum memegang peranan
yang sangat urgen di dalam pelaksanaan kehidupan bermasyarakat.
Kata Kunci : Filsafat, Pembentukan, Perkembangan Hukum
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia adalah makhluk individu yang memiliki kebebasan asasi tiap


individunya. Tiap personal tentunya memiliki kepentingan yang berbeda-beda
sesuai dengan kebutuhan masing-masing individu. Namun, tidak bisa
dipungkiri bahwa secara psikologis manusia merupakan makhluk yang tidak
bisa hidup sendiri dan memiliki hakekat sebagai makhluk sosial. Dalam tindak
lanjutnya, akan ada substansi yang berlawanan dimana sifat manusia sebagai
makhluk sosial bertabrakan dengan kebebasan asasi tiap individuny,
implementasinya maka tentu kerap muncul kontradiksi kepentingan antar
personal individu.1
Ketika kita mengamati kondisi di masyarakat yang dimana substansinya
terdiri dari beberapa individu manusia, maka kita bisa melihat banyak
kontradiksi antar individu yang merugikan individu lain terjadi di dalamya,
diantaranya tertuang dalam sederet kasus yang baru-baru ini viral tentang
penganiayaan bos perusahaan kepada kedua anak kandungnya di daerah Tebet,
Jakarta Selatan, maraknya gangster di Surabaya yang kerap menyerang warga
tanpa alasan, sampai kasus dari antar para penegak hukum seperti kasus
pembunuhan Brigadir Joshua di kediaman Irjen Ferdy Sambo yang hingga saat
ini kasunya belum usai. Kasus-kasus seperti ini dapat menjadi cerminan bahwa
manusia yang notabene merupakan makhluk sosial pun, seringkali tidak
bersikap sosialis dalam bersosial, lebih mementingkan kepentingan pribadi
tanpa mengindahkan kepentingan dan kebutuhan individu lain.
Para ahli filsuf tentunya seringkali membahas tentang esensi manusia.
Aristoteles (384 SM – 322 SM), seorang filsuf di era Yunani kuno pernah

1
Pasiska, M.A. dan Takdir Alisyahbana, M.Pd.I., “Manusia dalam Pandangan Psikologi”,
(Sleman:Deepublish, 2020), Hal. 86
mengeluarkan sebuah pandangan yang menyatakan bahwa “Manusia Adalah
Hewan Yang Berakal, Berpikir, Dan Juga Berpolitik (Zoon Politicon)” yang
memiliki esensi bahwa dalam realitanya, manusia dan hewan hanya memiliki
perbedaan dalam kemampuan berpikir dan kebutuhan sosial. Hal ini mencakup
pemahaman bahwa manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan
manusia lain untuk menjalani hidup.2 Pendapat lain berbunyi “Homo Homini
Lupus” yang dikemukakan oleh tokoh filsafat eksistensialisme asal Inggris,
Thomas Hobbes (1588 M – 1679 M) yang menyatakan pendapatnya tentang
esensi manusia dalam karyanya yang berjudul “Leviathan” dengan kalimat
“Manusia Adalah Serigala Bagi Sesama Manusianya.” yang memiliki
interpretasi bahwa dalam realitanya, manusia merupakan makhluk yang
seringkali bertindak sesuai nafsu yang mengarah kepada kepentingan pribadi,
sehingga berlaku kejam dan menjatuhkan serta merugikan manusia lain demi
tercapainya hal yang diinginkan, meski secara rasional bisa dipahami bahwa
hal yang dilakukan adalah perbuatan yang buruk.3
Setelah menilik beberapa orientasi dasar dan interpretasi filsafat di atas,
maka tentunya dibutuhkan suatu konsep yang menjadi acuan dalam penerapan
kehidupan bersosial bagi tiap individu yang implementasinya mengikat
individu dengan suatu aturan sebagai Batasan hak dan kewajiban personal
manusia. Batasan yang diterapkan sebagai acuan tersebut dinamakan hukum.
Dengan ditulisnya makalah ini, kami berharap agar kami dapat lebih
memahami dan sedikit membantu memberikan gambaran dan pemahaman
terkait konsep dasar pembentukan hukum sebagai suatu sistem aturan yang
berdasar pada esensi manusia.

2
Federick Copleston, “Filsafat Aristoteles”, (Yogyakarta:Basabasi, 2020), Hal. 79
3
Septiana Dwiputri Maharani, Jurnal “Manusia Sebagai Homo Economicus: Refleksi Atas Kasus-Kasus
Kejahatan Di Indonesia, (Yogyakarta:Universitas Gajah Mada, 2016), Hal. 8
PEMBAHASAN

A. Pengertian Filsafat dan Filsafat Hukum

Ketika membahas tentang suatu orientasi dasar dalam pembentukan


suatu hal, tentunya akan terdapat pembahasan mengenai disiplin ilmu filsafat.
Secara etimologis, filsafat berasal dari kata philosophia, philo (cinta) dan
sophia (kebijaksanaan). Jadi filsafat adalah mencintai kebijaksanaan. Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah 1) pengetahuan dan penyelidikan
dengan akal budi mengenai hakikat segala yang ada, sebab, asal, dan
hukumnya, 2) teori yang mendasari alam pikiran atau suatu kegiatan atau juga
berarti ilmu yang berintikan logika, estetika, metafisika, dan epistemologi.4
Filsafat sebagai induk ilmu pengetahuan memiliki pengertian yang
cukup luas. Filsafat sendiri memiliki beberapa pengertian menurut para ahli
filsuf, seperti Plato (427 SM – 347 SM), seorang filsuf dari zaman Yunani kuno
yang berpendapat bahwa filsafat adalah “Ilmu atau ajaran tentang kesunyataan
abadi.”5 Juga ada pendapat dari Aristoteles (384 SM – 322 SM) yang
mendeskripsikan filsafat sebagai “Ilmu tentang kebenaran, dengan meliputi
metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika.”6
Filsafat atau disebut juga ilmu filsafat, mempunyai beberapa cabang
ilmu utama. Cabang ilmu utama dari filsafat adalah ontologi, epistemologi,
tentang nilai (aksiologi), dan moral (etika). Ontologi (metafisika) membahas
tentang hakekat mendasar atas keberadaan sesuatu. Epistemologi membahas
pengetahuan yang diperoleh manusia, misalnya mengenai asalnya (sumber)
darimana sajakah pengetahuan itu diperoleh manusia, apakah ukuran kebenaran
pengetahuan yang telah diperoleh manusia itu dan bagaimanakah susunan

4
Henry Manampring, “Filosofi Teras”, (Jakarta:Buku Kompas, 2019), Hal. 36
5
Federick Copleston, “Filsafat Plato”, (Yogyakarta:Basabasi, 2020), Hal. 23
6
Federick Copleston, “Filsafat Aristoteles”, (Yogyakarta:Basabasi, 2020), Hal. 20
pengetahuan yang sudah diperoleh manusia. Ilmu tentang nilai atau aksiologi
adalah bagian dari filsafat yang khusus membahas mengenai hakekat nilai
berkaitan dengan sesuatu. Sedangkan filsafat moral membahas nilai berkaitan
dengan tingkah laku manusia dimana nilai di sini mencakup baik dan buruk
serta benar dan salah.7
Refleksi kefilsafatan bagi ilmu hukum untuk pengembangan hukum
yang lengkap akan mempersoalkan aspek ontologi, aspek epistemologi, dan
aspek aksiologi dari ilmu hukum. Penelahaan terhadap tiga aspek tersebut akan
menentukan keberadaan dan karakter keilmuan dari ilmu hukum yang akan
berimplikasi pada cara pengembanan ilmu hukum dalam kehidupan
masyarakat.8
Filsafat hukum bertugas menerangkan dasar nilai hukum yang filosofis
dimana mampu mewujudkan cita-cita keadilan, ketertiban dalam
bermasyarakat yang berhubungan dengan keberadaan hukum yang ada,untuk
itu filsafat hukum dapat dikatakan cocok untuk membangun keadaan hukum
yang lebih baik. Untuk memenuhi perkembangan hukum yang diamna
menjamin kelangsungan dimasa mendatang,filsafat hukum memberikan
penjelasan yang logis mengenai hukum. Mewujudkan rasa keadilan yang sesuai
dengan kaidah hukum yang abstrak dan konkrit, filsafat hukum lebih
memperhatikan dari sisi filosofis hukum yang lebih mengarah terhadap
permasalahan fungsi dan filsafat hukum melakukan perubahan tata tertib
penyelesaian masalah pertikaian dan mengadakan perubah yang lebih baik.9
Menurut Apeldoorn sebagaimana dikutip Immanuel Kant, para ahli
hukum masih mencari tentang apa definisi hukum. Definisi tentang hukum
yang dikemukakan para ahli hukum sangat beragam, bergantung dari sudut

7
Muhammad Khambali, Jurnal “Fungsi Filsafat Hukum dalam Pembentukan Hukum di Indonesia”,
(Yogyakarta:UIN Sunan Kalijaga, 2020), Hal. 7
8
Junaidi Abdullah, Jurnal “Refleksi Dan Relevansi Pemikiran Filsafat Hukum Bagi Pengembangan Ilmu
Hukum”, (Kudus:STAIN Kudu, 2015), Hal. 5
9
Prof. Dr. H.R. Otje Salman S., S.H., Filsafat Hukum, (Bandung:Refika Aditama, 2009), Hal. 7
mana mereka melihatnya. Ahli hukum Belanda J. van Kan mendefinisikan
hukum sebagai keseluruhan ketentuan-ketentuan kehidupan yang bersifat
memaksa, yang melindungi kepentingankepentingan orang dalam masyarakat.
Pendapat tersebtu mirip dengan definisi dari Rudolf van Jhering yang
mengatakan bahwa hukum adalah keseluruhan norma-norma yang memaksa
yang berlaku dalam suatu Negara. Hans Kelsen menyataan hukum terdiri dari
norma-norma bagaimana orang harus berperilaku.10

B. Urgensi Hukum Dalam Kehidupan Bermasyarakat

Sebelum membahas tentang urgensi hukum dalam masyarakat, maka


tidak dapat mengindahkan pembahasan mengenai konsep dasar
pembentukannya. Dalam pembentukan sesuatu, maka pastinya segala konsep
akan dibahas, termasuk fungsi dan urgensinya. Dalam konteks fungsinya,
hukum memiliki peranan sebagai pengatur dalam pergaulan hidup manusia atau
bermasyarakat. Manusia dapat dikatakan sebagai makhluk sosial, karena secara
psikologis manusia memang tidak bisa hidup sendiri, membutuhkan manusia
lain untuk bertahan hidup. Dalam pelaksanaan kehidupan bersosial, sering
muncul kotradiksi yang terjadi antar personal individu, dikarenakan dilihat
fenomena yang kerap muncul di masyarakat, seringkali adanya keegoisan untuk
mementingkan kepentinan pribadi tanpa menilik kepentingan bersama.11
Sebagai konsep yang substansinya sebagai tata aturan dalam penegakan
kehidupan bermsyarakat, maka bisa ditelaah bahwa hukum merupakan cita-cita
atau sistem nilai yang berlaku di masyarakat umum. Menilik aspek psikologi
manusia diatas, dimana meskipun tidak bisa hidup sendiri, seringkali adanya
kontradiksi antar kepentingan personal. Maka tujuan hukum adalah untuk

10
Muhammad Khambali, Jurnal “Fungsi Filsafat Hukum dalam Pembentukan Hukum di Indonesia”,
(Yogyakarta:UIN Sunan Kalijaga, 2020), Hal. 10
11
Drs. Sumadi Suryabrata, “Psikologi Kepribadian”, (Surabaya:Rajagrafindo Persada, 2009), Hal. 27
melindungi kepentingan-kepentingan tiap individu agar tidak berbenturan
dengan kepentingan individu lain.12
Dalam implementasinya, maka dari urgensi suatu konsep hukum perlu
suatu penerapan atau penegakan hukum. Penegakan hukum di masyrakat
diimplementasikan dengan structural yang dimana pemegang penegak hukum
tertinggi, disebut dengan hakim. Hakim dalam kaitannya dengan penegakan
hukum adalah hal yang saling berkelindan dan tidak dapat dipisahkan, yaitu
Hukum dan Keadilan.13
Hukum dibutuhkan karena memiliki arti dan fungsi yang penting bagi
kehidupan manusia. Sebagai pengelola sistem bermasyrakat, dalam lingkup
negara, hingga yang terkecil yaitu keluarga. Pentingnya hukum dalam
masyarakat dapat dilihat dari dua aspek. Yaitu dengan melihat potensi hukum
sebaga dasar sarana penyelesaian masalah, kedua sebagai potensi pemersatu
unsur yang beragam di masyarakat.14
Dalam hukum, tentu ada subyek dan obyek, subyek hukum adalah
penyandang hak, yaitu manusia itu sendiri. Dan sebagai obyeknya juga
manusia, sebagai hal yang dituju oleh hukum untuk penerapan agar tidak
melanggar hak manusia lain. Perwujudan hukum tidak dapat dilihat secara
linier, karena hukum juga tidak bisa bekerja sendiri dan tidak memiliki
kekuatan sendiri. Hukum akan menjadi suatu kekuatan yang mengikat ketika
memiliki pelaksana.15

12
Dr. Sriwarijiyati, S.H., M.H., “Memahami Dasar Ilmu Hukum”, (Jakarta:Pranamedia Group), Hal. 78
13
Prof. Dr. H.R. Otje Salman S., S.H., Filsafat Hukum, (Bandung:Refika Aditama, 2009), Hal. 58
14
Dr. Sriwarijiyati, S.H., M.H., “Memahami Dasar Ilmu Hukum”, (Jakarta:Pranamedia Group), Hal. 81
15
Didiek R. Mawardi, Jurnal “Fungsi Hidup Dalam Masyarakat”, (Lampung:STIH Muhammadiyah
Kotabumi Lampung, 2018), Hal. 2
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah kami paparkan, dapat kami tarik beberapa
kesimpulan sebagai berikut :
1. Sebagai orientasi dasar pembentukan hukum, tentunya akan mengacu pada
filsafat dimana filsafat merupakan suatu konsep ilmu sebagai dasar
pembentukan dan analisis pengajaran sesuatu, termasuk hukum. ilmu
filsafat, mempunyai beberapa cabang ilmu utama. Cabang ilmu utama dari
filsafat adalah ontologi, epistemologi, tentang nilai (aksiologi), dan moral
(etika). Ontologi (metafisika) membahas tentang hakekat mendasar atas
keberadaan sesuatu. Refleksi kefilsafatan bagi ilmu hukum untuk
pengembangan hukum yang lengkap akan mempersoalkan aspek ontologi,
aspek epistemologi, dan aspek aksiologi dari ilmu hukum. Penelahaan
terhadap tiga aspek tersebut akan menentukan keberadaan dan karakter
keilmuan dari ilmu hukum yang akan berimplikasi pada cara pengembanan
ilmu hukum dalam kehidupan masyarakat. Filsafat hukum bertugas
menerangkan dasar nilai hukum yang filosofis dimana mampu mewujudkan
cita-cita keadilan, ketertiban dalam bermasyarakat yang berhubungan
dengan keberadaan hukum yang ada,untuk itu filsafat hukum dapat
dikatakan cocok untuk membangun keadaan hukum yang lebih baik.
2. Sebelum membahas tentang urgensi hukum dalam masyarakat, maka tidak
dapat mengindahkan pembahasan mengenai konsep dasar
pembentukannya. Penelaahan terkait pelaksana hukum, yaitu manusia juga
perlu mendapat perhatian di dalamnya. Menilik secara psikologis bahwa
manusia merupakan makhluk sosial, juga menilik bahwa manusia memiliki
kepentingan berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan personal masing-
masing, maka diperlukan suatu tata sistem sebagai Batasan dan pengatur
dalam pelaksanaan kehidupan bermasyarakat. Sebagai konsep yang
substansinya sebagai tata aturan dalam penegakan kehidupan bermsyarakat,
maka bisa ditelaah bahwa hukum merupakan cita-cita atau sistem nilai yang
berlaku di masyarakat umum.
B. Saran
Terkait dengan pembahasan dan kesimpulan yang telah tertera dalam
makalah ini, kami dari penulis menyarankan kepada pembaca agar
meningkatkan dan mendalami kajian mengenai orientasi dasar pembentukan
hukum, serta mendalami urgensinya dalam kehidupan bermasyarakat
Tentunya kami dari pihak penulis menyadari bahwa makalah ini masih
memiliki banyak kesalah dan sangat jauh dari kata sempurna. Adapun kami dari
penulis mengharapkan saran dan kritik dari pembaca sebagai acuan kami untuk
perbaikan susunan makalah kami di kemudian hari
DAFTAR PUSTAKA

Pasiska, M.A. dan Takdir Alisyahbana, M.Pd.I., “Manusia dalam Pandangan


Psikologi”, (Sleman:Deepublish, 2020)

Federick Copleston, “Filsafat Aristoteles”, (Yogyakarta:Basabasi, 2020)

Septiana Dwiputri Maharani, Jurnal “Manusia Sebagai Homo Economicus: Refleksi


Atas Kasus-Kasus Kejahatan Di Indonesia, (Yogyakarta:Universitas Gajah Mada,
2016)

Henry Manampring, “Filosofi Teras”, (Jakarta:Buku Kompas, 2019)

Federick Copleston, “Filsafat Plato”, (Yogyakarta:Basabasi, 2020)

Muhammad Khambali, Jurnal “Fungsi Filsafat Hukum dalam Pembentukan Hukum


di Indonesia”, (Yogyakarta:UIN Sunan Kalijaga, 2020)

Junaidi Abdullah, Jurnal “Refleksi Dan Relevansi Pemikiran Filsafat Hukum Bagi
Pengembangan Ilmu Hukum”, (Kudus:STAIN Kudu, 2015)

Prof. Dr. H.R. Otje Salman S., S.H., Filsafat Hukum, (Bandung:Refika Aditama,
2009)

Muhammad Khambali, Jurnal “Fungsi Filsafat Hukum dalam Pembentukan Hukum


di Indonesia”, (Yogyakarta:UIN Sunan Kalijaga, 2020)

Drs. Sumadi Suryabrata, “Psikologi Kepribadian”, (Surabaya:Rajagrafindo Persada,


2009)

Dr. Sriwarijiyati, S.H., M.H., “Memahami Dasar Ilmu Hukum”, (Jakarta:Pranamedia


Group)

Didiek R. Mawardi, Jurnal “Fungsi Hidup Dalam Masyarakat”, (Lampung:STIH


Muhammadiyah Kotabumi Lampung, 2018)

Anda mungkin juga menyukai