Anda di halaman 1dari 20

TUGAS ESSAY

MATA KULIAH FILSAFAT HUKUM

KONTINUITAS FILSAFAT HUKUM DARI


BERBAGAI ASPEK

DOSEN PENGAMPU:
Dr. Hj. Noor Hafidah, S.H., M.Hum.

OLEH
KELOMPOK 5 :

1. Doni Erlangga (2110211210051)

2. Nabilla Vernanda (2110211220061)

3. Salzhabila Anggraini (2110211320106)

ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
Filsafat berasal dari bahasa Yunani, yaitu Philosophia. Philo atau philein
artinya cinta, sophia artinya kebijaksanaan. Gabungan kedua kata ini berarti cinta
intelektual. Seorang filsuf adalah pecinta kebijaksanaan. Dalam bahasa Arab
disebut Failasuf, yang kemudian masuk ke dalam bahasa Indonesia dengan
sebutan Failasuf atau Filsuf. Filsafat dan sejarah tidak dapat dipisahkan, karena
sejarah filsafat adalah filsafat. Ketika ilmu-ilmu satu per satu terpisah dari filsafat
induknya1.
Awal mula berkembangnya filsafat juga tidak dapat ditentukan secara
pasti tahun berapa dan hari apa karena tidak ada yang bisa memastikan, hanya saja
hanya dapat dilihat bahwa awal mula perkembangan filsafat ini dimulai sekitar
awal abad ini. Tanggal 6 (Jumat) SM. Saat memulai rencana pengembangan
Dengan pemikiran filosofis tersebut, maka filsafat tidak hanya bermula dari arti
sempit. Tetapi pemikiran ilmiah secara umum. Seiring waktu, hal itu terjadi Di
zaman modern, filsafat-filsafat ini merupakan suatu kesatuan yang mustahil
terpisah dari ilmu pengetahuan alam
Dari beberapa filosof juga dapat diketahui bahwa awal mula terjadinya
perkembangan Filosofi ini lahir di Yunani, kemudian berkembang seiring
berjalannya waktu. Zaman keemasan filsafat Yunani muncul dengan nama
Sokrates (470-399), ia membela hak dan kebaikan harus diterima dan dilindungi
oleh semua orang. Di dalam sejarah manusia Socrates adalah contoh Socrates
yang khas dan istimewa Ia sendiri mempunyai murid yang sangat setia bernama
Plato, Plato lahir di Athena (427-347) dalam filsafatnya, Plato berhasil
mendamaikan kontradiksi antara keduanya pemikiran Heraklitus dan Parmenides,
Plato terutama menaruh perhatian pada ilmu-ilmu eksakta, Berikutnya Aristoteles
(384-322) dengan perhatian khusus pada Aristoteles menuju ilmu pengetahuan
alam dengan meneliti dan mempelajari sebanyak-banyaknya mengumpulkan data
spesifik, menurut pandangan Aristoteles, tentang objek fisik apa pun ada bentuk

1
Ali, H. Zainuddin. Filsafat hukum. Sinar Grafika, 2023. Hal 1
dan materi, namun makna bukanlah bentuk dan materi yang mungkin melainkan
bentuk dan materi sebagai bentuk metafisik.2
Filsafat adalah upaya penelitian dan ekspresi representasi dasar umat
manusia dari dunia ini ke dunia berikutnya. Objeknya adalah materi dan bentuk.
Benda-benda material sering kali dianggap sebagai segala sesuatu yang ada, bahka
Itu bisa berarti mencari tahu apa yang ada di dalamnya Alam semesta bermula
dari benda mati, tumbuhan, hewan, manusia dan penciptanya. Selanjutnya objek
ini disebut realita atau realitas. Dari objek acuan hingga filsafat ingin mempelajari
keduanya secara terpisah (berdasarkan bagian dan jenis) dan sepenuhnya sesuai
dengan hubungan antara bagian-bagian dan tipe internal keseluruhan global. Ini
disebut objek formal. (Zainudin Ali, 2008:P 2).
Jika dianalisis pengertian filsafat hukum yang dikemukakan oleh para ahli
maka dapat kita ambil kesimpulan bahwa filsafat hukum menganalisa asas-asas
hukum suatu peraturan dan menjawab pertanyaan yang berkaitan dengan masalah
hukum baik dalam bentuk hukum normatif maupun hukum empiris untuk
mencapai tujuan kita yaitu untuk perbaikan hidup manusia. Karna isi hukum
adalah sesuatu yang mengedepankan nilai-nilai kebaikan. objek filsafat hukum
adalah hukum dan objek ini dipelajari secara mendalam jauh ke dalam inti atau
landasan disebut hakikat. Secara spekulatif, filsafat hukum muncul dengan
mempertanyakan hakikat hukum. Pada saat yang sama, secara kritis, filsafat
hukum berupaya mengkaji gagasan-gagasan yang ada tentang hukum, mengkaji
koherensi antara korespondensi dan fungsinya.
Tujuan mempelajari filsafat hukum adalah untuk memperluas wawasan
hingga dapat memahami dan menanggapi hukum dengan serius dan kami
berharap mereka akan memahaminya Menumbuhkan pemikiran kritis sehingga
mereka dapat mengevaluasi dan menerapkan aturan hukum. Filosofi hukum inilah
yang mempengaruhi terbentuknya peraturan hukum sebagai aturan abstrak. (Teo
Huijbers, 1995:halaman 16)Cabang utama filsafat adalah ontologi, epistemologi
dan nilai (aksioma) dan etika (ethics). Pembahasan ontologi (metafisika).Hakikat
mendasar dari kebenaran sesuatu. Epistemologi membahas tentang pengetahuan
yang dimiliki manusia, misalnya tentang asal usulnya (sumber).Apa ukuran
2
Dr. I Ketut Wirawan, S.H., M.Hum. Pengantar Filsafat Hukum. Fakultas Hukum
Udayana Denpasar , 2016. hal 11
kebenaran pengetahuan yang dimiliki manusia ini?diperoleh manusia dan
bagaimana struktur pengetahuan tersebut diperoleh manusia. Ilmu tentang nilai
atau aksioma merupakan bagian dari filsafat yang merujuk secara khusus pada
hakikat nilai dalam kaitannya dengan perilaku nilai kemanusiaan disini meliputi
baik dan jahat serta benar dan salah.
Filsafat adalah berpikir radikal, radix artinya akar, oleh karena itu berpikir
itu radikal itu berarti mencapai akar permasalahan, bahkan menyelami akar
permasalahannya melewati batas-batas fisik yang ada, memasuki medan
pengembaraan di luar sesuatu yang fisik. (K Bertens, 2007 : P. 11). Filsafat hukum
memiliki sifat yang mendasar yang berarti Saat menganalisis suatu permasalahan,
kita diajak berpikir kritis dan menyeluruh. Mengajak masyarakat mempelajari
filsafat hukum untuk memahami hukum hanya dalam arti hukum positif. Orang
yang mempelajari hukum dengan cara yang positif demikian pula hak tersebut
tidak akan dapat digunakan dan dikembangkan dengan benar misalnya, kalau dia
jadi hakim, ada ketakutan kalau dia jadi “juru bicara”.3
Indonesia sebagai negara hukum telah ditegaskan dalam UUD 1945 Pasal 1
Ayat 3, pandangan ini membawa konsekuensi bahwa keseluruhan dan
kompleksitas kehidupan masyarakat Indonesia harus sesuai dengan ketentuan
kerangka hukum yang berlaku. Pandangan ini juga memberikan pedoman dan
tujuan hukum untuk membatasi kekuasaan negara, sehingga pemegang jabatan
tidak dapat seenaknya menjalankan fungsi pegawai negeri. Demikian pula
masyarakat tidak menunjukkan kesewenang-wenangan dalam menjalankan
aktivitas sehari-hari, agar tidak terjadi campur tangan antar kepentingan. Dalam
hal demikian, konsep negara hukum yang diterapkan harus sejalan dengan nilai-
nilai yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
Pancasila sebagai investasi dan hasil kristalisasi nilai-nilai luhur masyarakat
Indonesia menempati posisi penting dalam implementasi konsep negara hukum di
Indonesia. Oleh karena itu, Pancasila akan menjadi landasan filosofis bagi
penyelenggaraan negara hukum di Indonesia.
Pancasila merupakan suatu sistem filsafat yang didalamnya nilai-nilai
yang dikandung Pancasila merupakan hasil pemikiran para veteran pejuang

3
Kamarusdiana, M.H. FILSAFAT HUKUM. UIN Jakarta Press, 2018. Hal 1-8
kemerdekaan bangsa kita. Dalam penerapannya, Pancasila dijadikan model bagi
pembangunan tatanan hukum nasional. Pancasila merupakan jantung dari
pembangunan sistem hukum nasional dan keberhasilan pembangunan sistem
hukum juga dapat ditunjukkan oleh tingkat kesadaran hukum dalam masyarakat
itu sendiri. Saling ketergantungan seluruh aspek dalam membangun sistem hukum
negara yang nilai-nilainya harus diresapi dan diterapkan dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara, karena Pancasila merupakan aturan/norma yang tidak
terpisahkan dalam berbagai kegiatan penegakan hukum agar selaras dengan nilai-
nilai yang terkandung dalam Pancasila. Refleksi Pancasila sendiri tertuang dalam
lima sila dan sebagai negara yang taat hukum, sudah selayaknya negara kita
menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Konsep negara hukum di Indonesia bersifat konstitusional.Dapat
dimengerti bahwa setiap aspek hukum ketatanegaraan di Indonesia tetap
berlandaskan pada UUD. Konstitusi merupakan landasan terpenting, hasil
kemauan perwakilan dan dukungan rakyat dan harus dilaksanakan dengan penuh
keyakinan dalam segala aspek kehidupan berbangsa dan kehidupan
bernegara.Oleh karena itu timbullah asas bahwa setiap kegiatan, perbuatan,
perbuatan, dan/atau peraturan yang dikeluarkan oleh seluruh badan politik
ketatanegaraan tidak boleh bertentangan dengan hak konstitusional warga negara
dan tanggung jawabnya serta tanggung jawab konstitusi itu sendiri.Dengan kata
lain, konstitusi harus diutamakan, dan niat atau kemauan rakyat harus didahulukan
dari kemauan atau kemauan wakil-wakilnya.Dan segala produk hukum yang
ditentukan oleh UUD tidak boleh bertentangan dengan UUD.
Negara Hukum Indonesia adalah lembaga negara Indonesia yang didirikan
atas karunia Allah SWT dan didorong oleh keinginan luhur bangsa untuk
menyelenggarakan kehidupan berbangsa yang merdeka, berdasarkan ketertiban,
menuju kesejahteraan sosial (Wahyono, 1991.132). Oemar Seno Adji berpendapat
bahwa negara hukum di Indonesia mempunyai ciri khas Indonesia. Karena
Pancasila dijadikan sebagai dasar dan sumber utama hukum, maka konsep negara
hukum di Indonesia dapat dipahami sebagai negara hukum Pancasila. Salah satu
ciri utama negara hukum Pancasila adalah hak atas kebebasan beragama (freedom
of Religion). Namun kebebasan dipahami sebagai kebebasan dalam arti positif,
artinya tidak ada propaganda anti agama.
Negara dalam arti memegang kekuasaan mempunyai arti fungsinya
menciptakan masyarakat yang tertib dan menegakkan hukum dengan cara yang
berguna dan efektif, dan di balik itu hukum juga dapat menjadi alat untuk dari
negara hukum, bahwa Negara wajib menjamin dan melindungi masyarakat dalam
segala aspek kehidupan. Undang-Undang merupakan peraturan yang mengatur
kepentingan warga negara agar tidak terjadi campur tangan terhadap kepentingan
warga negara. Oleh karena itu, Pancasila sebagai suatu sistem filsafat merupakan
sumber atau kaidah dasar dalam pembentukan dan pelaksanaan negara hukum di
Indonesia. Secara yuridis, Pancasila dimasukkan dalam pembukaan UUD 1945,
untuk menegaskan bahwa Indonesia sebagai negara hukum, berada dalam muatan
UUD 1945, pada Pasal 1 ayat 3.Dengan demikian, ketentuan UUD 1945
merupakan inti UUD 1945.Nilai-nilai luhur Pancasila dijadikan aturan dasar, yang
kemudian diimplementasikan dalam bentuk ketentuan hukum yang kedudukannya
dalam UUD 1945.4
Dalam kehidupan bermasyarakat, kekuasaan penting bagi hukum karena
kekuasaan bukan sekedar alat untuk membentuk hukum (law making) tetapi juga
sebagai alat untuk menegakkan hukum (law enforcement). Pembuatan undang-
undang, khususnya undang-undang, berlangsung melalui mekanisme kekuasaan
politik di lembaga legislatif, dimana dilakukan upaya untuk mengkompromikan
konflik kepentingan antar kelompok masyarakat, sehingga tercipta sistem
peraturan hukum yang dapat diterima oleh semua pihak. Penegakan hukum adalah
upaya mendorong masyarakat untuk menaati peraturan hukum yang ada (upaya
pencegahan) dan memberikan sanksi hukum atas pelanggaran hukum yang terjadi
di masyarakat (upaya penegakan hukum).
Ciri-ciri hubungan hukum dan kekuasaan khususnya dalam legalisasi
kekuasaan dan penerapan hukum dijelaskan oleh Mochtar Kusumaatmadja dalam
pernyataannya: “Hukum tanpa kekuasaan hanyalah angan-angan saja”, kekuasaan
tanpa hukum adalah despotisme. Di satu sisi ungkapan ini berarti bahwa ketentuan
hukum tidak mempunyai pengaruh jika tidak diterapkan dan hukum hanya dapat

4
Syntax Literate, Vol. 3, No.12Desember 2018, Hlm 97-105
diterapkan dengan paksaan. Di sisi lain, ungkapan ini mengandung makna bahwa
kekuasaan tanpa dasar hukum bersifat sewenang-wenang.5
Namun, yang sering menimbulkan masalah adalah pengukuran legitimasi
kekuasaan. Dapatkah kekuasaan apa pun yang didasarkan pada supremasi hukum
dianggap sebagai kekuasaan yang sah ? Haruskah kita menerima dan
menghormati kekuasaan sewenang-wenang berdasarkan dasar hukum? Bisakah
kekuasaan yang sewenang-wenang menciptakan hukum yang adil? Apakah
efektivitas penegakan hukum bergantung pada legitimasi kekuasaan? Dan apakah
kekuasaan hukum yang sewenang-wenang dapat menegakkan hukum untuk
mencapai keadilan?
Walaupun hukum mempunyai hubungan yang sangat erat dengan
kekuasaan, namun kajian tentang kekuasaan dari sudut pandang hukum masih
terbatas, sehingga konsep kekuasaan dalam ilmu hukum belum begitu
berkembang. Kecenderungan penelitian hukum lebih fokus pada dua aspek:
pertama, hukum dianggap sebagai peraturan yang memandu perilaku yang bersifat
memaksa dan memberikan sanksi bagi pelanggarnya; kedua, hukum dianggap
sebagai realitas sosial yang dihasilkan dalam masyarakat dan dilaksanakan
melalui lembaga peradilan (living law), keberadaannya perbuatan melawan
hukum (illegal action) dan kepatuhan terhadap hukum. Singkatnya, hukum
mempunyai dua hal pokok, yaitu peraturan yang harus ditegakkan (das sollen) dan
kenyataan yang ada di masyarakat (das sein). Namun pada kenyataannya, yang
banyak diteliti hanyalah kehidupan hukum dan perilaku melanggar hukum, dan
kepatuhan terhadap hukum tidak dianggap sebagai persoalan.
Hukum juga mempunyai implikasi penting terhadap kekuasaan, karena
hukum dapat berfungsi sebagai sarana untuk melegitimasi kekuasaan formal
lembaga negara, unit pemerintahan, perwakilan negara, dan pemerintahan.
Melegitimasi kekuasaan melibatkan penetapan dasar hukum bagi kekuasaan
melalui ketentuan hukum. Selain itu, hukum juga dapat berfungsi sebagai
pengawas kekuasaan agar pelaksanaannya dapat dipertanggungjawabkan secara
hukum dan etika.

5
Salman Luthan, “Hubungan Hukum Dan Kekuasaan”. Jurnal Hukum. Vol. 14 No. 2, 14
April 2007, hal. 167.
Dengan ini sebagaimana yang telah didapatkan bahwasanya hubungan
hukum dan kekuasaan ada dua macam. Pertama, hukum adalah kekuasaan itu
sendiri. Menurut Lassalle “konstitusi suatu negara bukanlah Undang-Undang
dasar tertulis yang hanya merupakan “secarik kertas”, melainkan hubungan-
hubungan kekuasaan yang nyata dalam suatu negara”. Pendapat Lassalle ini
memandang konstitusi dari sudut kekuasaan.
Dari segi kekuasaan, ketentuan hukum yang ditetapkan dalam konstitusi
suatu negara merupakan gambaran struktur kekuasaan yang ada di negara tersebut
dan hubungan kekuasaan antar lembaga negara. Oleh karena itu, ketentuan hukum
dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 merupakan gambaran struktur
kekuasaan ketatanegaraan Indonesia dan hubungan kekuasaan antar lembaga
negara. Struktur kekuasaan berdasarkan UUD 1945 menempatkan MPR (Dewan
Permusyawaratan Rakyat) pada tingkat kekuasaan tertinggi. Hierarki kekuasaan di
MPR merupakan kekuasaan lembaga tertinggi negara yaitu Presiden, DPR
(Majelis Perwakilan Rakyat), DPA (Dewan Pertimbangan Agung), MA (Majelis
Agung) dan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan). UUD 1945 juga menggambarkan
struktur kekuasaan pusat dan daerah. Selain itu diuraikan pula hubungan
kekuasaan lembaga tertinggi negara dengan kekuasaan lembaga tertinggi negara,
hubungan kekuasaan lembaga tertinggi negara, dan kekuatan hubungan kekuasaan
antara pusat dan daerah. Hakekat hukum dalam konteks kekuasaan menurut Karl
Olivecrona tak lain daripada “kekuatan yang terorganisasi”, dimana hukum adalah
“seperangkat aturan mengenai penggunaan kekuatan”, kekerasan fisik atau
pemaksaan yang dilakukan oleh penguasa, tidak berbeda dari kekerasan yang
dilakukan pencuri-pencuri dan pembunuh-pembunuh.
Meskipun kekuasaan itu adalah hukum, namun kekuasaan tidak identik
dengan hukum. Mengenai hal ini Van Apeldorn mengemukakan bahwa hukum
adalah kekuasaan, akan tetapi ini tidak berarti bahwa hukum tidak lain daripada
kekuasaan belaka. Hukum adalah kekuasaan, akan tetapi kekuasaan tidak
selamanya hukum. “Might is not right,” pencuri berkuasa atas barang yang
dicurinya, akan tetapi tidak berarti bahwa ia berhak atas barang itu.
Esensi kekuasaan yang sama dengan hukum tersebut menurut Lassalle
adalah kekuasaan fisik, khususnya kekuasaan tentara dan polisi. Namun menurut
Van Apeldorn, kekuasaan fisik (materiil) itu bukanlah anasir yang hakiki dari
hukum, apalagi anasir yang esensial daripadanya. Kekuasaan fisik itu biasanya
hanya menjadi unsur tambahan: sesuatu accesoir, bukan bagian dari hukum.
Sebaliknya kekuasaan susila adalah anasir yang esensial dari hukum, yakni
kekuasaan yang diperoleh kaidah-kaidah hukum dari nilai yang diberikan oleh
masyarakat padanya, dan berdasarkan hal mana biasanya kaidah-kaidah itu dapat
mengharapkan pentaatan dengan sukarela oleh anggota-anggota masyarakat.
Kekuasaan fisik adalah kekuasaan yang mengandalkan kekerasan atau
paksaan untuk memaksa orang mematuhi peraturan hukum yang berlaku dan jika
dilanggar akan dikenakan hukuman hukum. Kehormatan masyarakat terhadap
hukum sangat ditentukan oleh kualitas aparat penegak hukum (polisi dan
kejaksaan) dalam menjalankan fungsinya.6 Sedangkan moralitas adalah kekuatan
batin yang timbul dari kesadaran manusia akan kebaikan, kesusilaan, dan rasa
keadilan. Kepatuhan masyarakat terhadap peraturan hukum bukan karena adanya
paksaan dari aparat penegak hukum, melainkan didasarkan pada kesadaran diri
warga masyarakat yang dengan sukarela menaati peraturan hukum.Kekuasaan
dalam lingkup kebijakan publik, khususnya kebijakan hukum (legal policy)
menetapkan batasan-batasan tindakan bagi seseorang atau sekelompok orang
berkaitan dengan yang dilarang maupun yang dianjurkan, yang disertai dengan
sanksi hukum tertentu. Hal ini bertujuan untuk menjamin terselenggaranya
ketertiban dan ketentraman bagi hubungan sosial kemasyarakatan.
Di samping hukum sama dengan kekuasaan, pola hubungan hukum dan
kekuasaan yang lain adalah bahwa hukum tidak sama dengan kekuasaan. Artinya,
hukum dan kekuasaan merupakan dua hal yang terpisah, tapi ada hubungan yang
erat di antara keduanya. Hubungan itu dapat berupa hubungan dominatif dan
hubungan resiprokal (timbal balik). Ada tiga bentuk manifestasi hubungan hukum
dan kekuasaan dalam konteks ini.
Pertama, hukum tunduk kepada kekuasaan. Maksudnya, hukum bukan
hanya menjadi subordinasi kekuasaan, tapi juga sering menjadi alat kekuasaan,
dengan kata lain, kekuasaan memiliki supremasi terhadap hukum. Oleh karena itu,

6
Titin Setyawarni, Aldi Iskandar Muyana, Agung Adnan Bayu, “Hubungan Hukum Dan
Kekuasaan Dalam Sistem Hukum Di Indonesia”, Jurnal Dinamika Hukum dan Masyarakat.
Vol. 6 No. 1, 2023, hal. 34.
definisi hukum yang dikemukakan oleh para ahli menempatkan hukum berada di
bawah kontrol kekuasaan.
Pendapat ahli hukum yang menggambarkan pandangan supremasi
kekuasaan terhadap hukum dikemukakan oleh Thrasimachus yang
mengungkapkan bahwa hukum tak lain daripada apa yang berfaedah bagi orang
yang lebih kuat. Pengertian yang hampir sama dikemukakan pula oleh
Gumplowicz yang mengungkapkan bahwa hukum bersandar pada penaklukan
yang lemah oleh yang lebih kuat; hukum adalah susunan definisi yang dibuat oleh
pihak yang kuat untuk mempertahankan kekuasaannya.
Dalam perspektif Marxisme, hukum dibuat tidak untuk melindungi
kepentingan seluruh masyarakat, tapi untuk melindungi kepentingan kelompok
elit. Hukum adalah alat kaum kapitalis untuk melindungi kepentingannya dalam
melakukan kegiatan bisnis, dan alat penguasa untuk mempertahankan
kekuasaannya. Hukum berpihak kepada pihak yang berkuasa dan kaum kapitalis.
Kedua, kekuasaan tunduk kepada hukum. Artinya, kekuasaan berada di
bawah hukum dan hukum yang menentukan eksistensi kekuasaan. Dalam
pemikiran hukum, tunduknya kekuasaan kepada hukum merupakan konsep dasar
dalam penyelenggaraan ketatanegaraan. Konsep itu dirumuskan dalam
terminologi supremasi hukum (supreme of law).
Supremasi hukum berarti bahwa hukum merupakan kaidah tertinggi untuk
mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Hukum sebagai
kaidah tertinggi muncul dalam konsep norma dasar negara (staats fundamental
norm) atau grund norm menurut pemikiran Hans Kelsen. Di samping itu,
supremasi hukum juga berarti bahwa penggunaan kekuasaan untuk menjalankan
kehidupan ketatanegaraan dan roda pemerintahan harus berdasarkan kepada
aturan hukum. Tanpa landasan hukum, kekuasaan tidak memiliki legalitas.
Pada prinsipnya supremasi hukum tidak lain dari rule of law, sehingga
dalam suatu negara hukum harus terdapat supremasi hukum. Menegakkan
supremasi hukum tentunya harus ada rule of law (Loebby loqman, Kompas 23-9-
1999). Rule of law adalah suatu konsep yang dipergunakan supaya negara dan
pemerintahnya, termasuk warga negara tidak melakukan tindakan kecuali
berdasarkan hukum. Timothy O’hogan dalam The End of Law dan A.V. Dicey
dalam Law and the Constitution menyebutkan prinsip-prinsip utama negara
hukum dalam kaitan tegaknya supremasi hukum. Prinsip-prinsip tersebut meliputi
pemerintahan berdasarkan hukum dan menghindarkan kekuasaan yang sewenang-
wenang, prinsip persamaan di depan hukum (equality before the law),
perlindungan hak asasi manusia (HAM), dan adanya peradilan yang bebas dan
independen.
Ketiga, ada hubungan timbal balik (simbiotik) antara hukum dan
kekuasaan. Dalam hal ini hubungan hukum dan kekuasaan tidak bersifat
dominatif di mana yang satu dominan atau menjadi faktor determinan terhadap
yang lain, tapi hubungan pengaruh mempengaruhi yang bersifat fungsional,
artinya hubungan itu dilihat dari sudut fungsi-fungsi tertentu dan dapat dijalankan
di antara keduanya. Dengan demikian, kekuasaan memiliki fungsi terhadap
hukum, dan sebaliknya hukum mempunyai fungsi terhadap kekuasaan.7
Berbicara mengenai hukum dan nilai-nilai sosial budaya masyarakat
Indonesia, kita tidak bisa melepaskan diri dari suatu kenyataan bahwa masyarakat
hukum Indonesia merupakan suatu bangsa yang negaranya didasarkan atas hukum
(rechtstaat), berbentuk republik, dan sistem pemerintahannya berbentuk
demokrasi. Lili Rasyidi dan IB Wiyasa Putra (1993 : 132) mengemukakan bahwa
masyarakat hukum Indonesia ini merupakan satu kesatuan masyarakat hukum
yang besar, yang tersusun atas kesatuan-kesatuan masyarakat hukum yang lebih
8
kecil, yang dikenal dengan masyarakat hukum adat. Kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum yang lebih kecil ini merupakan suatu bentuk masyarakat
tradisional yang memiliki tradisi-tradisi hukum tersendiri yang diakui otonominya.
Sebagai suatu sistem masyarakat hukum, kesatuan-kesatuan masyarakat hukum
ini memiliki komponen-komponen sistem tersendiri pula, mereka memiliki
struktur sosial, sistem filsafat, sistem budaya, sistem pendidikan, sistem konsep
hukum, sistem pembentukan dan sistem penerapan hukum yang serba khas pula.
Di dalam masyarakat hukum ini terdapat nilai-nilai sosial budaya sebagai tradisi
yang sudah dimiliki dan dianut oleh masyarakat Indonesia.

7
Salman Luthan, Op. Cit., 175-184.
8
Eny Kusdarini, “ Kajian Filsafat Hukum Tentang : Hukum Dan Nilai-Nilai Sosial Budaya
Masyarakat”, Informasi. Vol. 36 No. 1, 2010, hal.16.
Pada mulanya, budaya masyarakat hukum Indonesia adalah budaya hukum
tidak tertulis (unwritten law), atau budaya hukum yang hidup, tumbuh, dan
berkembang di dalam masyarakat (living law). Nilai-nilai sosial dan budaya
hukum ini hidup dalam setiap kesatuan kecil masyarakat hukum Indonesia,
sehingga secara keseluruhan budaya hukum masyarakat Indonesia adalah nilai-
nilai dan budaya hukum living law. Akan tetapi dalam perkembangannya
kemudian, masyarakat hukum Indonesia juga terbiasa dengan nilai-nilai dan
budaya hukum tertulis yang diakibatkan oleh proses kolonialisme di Indonesia
yang dibawa oleh penjajah, terutama Belanda yang menganut budaya hukum
Eropa Kontinental yang mengutamakan kodifikasi hukum.9
Indonesia masa kini berada pada masa transisi yaitu sedang terjadi
perubahan nilai-nilai dalam masyarakat dari nilai-nilai yang bersifat tradisional ke
nilai-nilai modern. Namun masih terjadi persoalan nilai-nilai manakah yang
hendak ditinggalkan dan nilai-nilai mana yang akan menggantikannya. Sudah
barang tentu dalam proses perubahan ini akan banyak dihadapi hambatan-
hambatan yang kadang-kadang akan menimbulkan keresahan-keresahan maupun
kegoncangan di dalam masyarakat. Mochtar Kusumaatmadja misalnya,
mengemukakan beberapa hambatan utama seperti jika yang akan diubah itu
identik dengan kepribadian nasional, sikap golongan intelektual dan pimpinan
masyarakat yang tidak mempraktekkan nilai-nilai yang dianjurkan disamping sifat
heterogenitas bangsa Indonesia, yang baik tingkat kemajuannya, agama serta
bahasanya berbeda satu sama lainnya.
Hukum yang digunakan sebagai sarana pembaruan dapat berupa undang-
undang atau yurisprudensi atau kombinasi keduanya. Seperti telah dikemukakan
sebelumnya, di Indonesia yang paling menonjol adalah perundang-undangan.
Supaya dalam pelaksanaan perundang-undangan yang bertujuan untuk pembaruan
itu dapat berjalan sebagaimana mestinya hendaknya perundang-undangan yang
dibentuk itu sesuai dengan apa yang menjadi inti pemikiran aliran Bahwa upaya-
upaya pembentukan dan pembaruan hukum tersebut agar senantiasa
memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, baik nilai filosofis yang
berintikan rasa keadilan dan kebenaran, nilai sosiologis yang sesuai dengan tata

9
Ibid., 17.
nilai budaya yang berlaku di masyarakat, maupun nilai yuridis yang sesuai dengan
ketentuan-ketentuan dan perundang-undangan yang berlaku.
Indonesia adalah negara hukum yang mana hal ini sangat jelas dinyatakan
secara eksplisit dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang
berbunyi: Negara Indonesia adalah negara hukum. Sudargo Gautama secara lebih
detail mengkonstruksikan pengertian Negara hukum sebagai berikut: “ Suatu
Negara, dimana perseorangan mempunyai hak terhadap Negara, di mana hak-hak
asasi manusia diakui oleh undang-undang, di mana untuk merealisasikan
perlindungan hak-hak ini kekuasaan Negara dipisah-pisahkan hingga badan
penyelenggara Negara, badan pembuatan undang-undang dan badan-badan
peradilan yang bebas kedudukannya, untuk dapat memberi perlindungan
semestinya kepada setiap orang yang merasa hak-haknya dirugikan, walaupun
andaikata hal ini terjadi oleh alat Negara sendiri”.10
Jadi di dalam konsep negara hukum, pemerintah dalam penyelenggaraan
negaranya menempatkan gagasan perlindungan hak asasi manusia sebagai salah
satu unsur penting yang harus dijalankan. Membicarakan hak asasi manusia
(HAM) berarti membicarakan dimensi kehidupan manusia, HAM ada bukan
karena diberikan oleh masyarakat dan kebaikan dari negara, melainkan
berdasarkan martabatnya sebagai manusia. Pengakuan atas eksistensi manusia
menandakan bahwa manusia sebagai makhluk hidup adalah ciptaan Tuhan Yang
Maha Kuasa, patut memperoleh apresiasi secara positif.
HAM adalah puncak konseptualisasi manusia tentang dirinya sendiri.
Karena itu, jika disebutkan sebagai konsepsi, maka itu berarti pula sebuah upaya
maksimal dalam melakukan formulasi pemikiran strategis tentang hak dasar yang
dimiliki manusia. Perbincangan itu sulit dipisahkan dari sejarah manusia dan
peradabannya.11 Seperti yang telah saya sampaikan diatas HAM merupakan hak
yang melekat dengan kuat di dalam diri manusia. Keberadaannya ini diyakini
sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Meskipun

10
Ali Marwan Hsb, Konsep Judicial Review dan Pelembagaan di Berbagai Negara,
(Jakarta: Stara Press 2017), hlm. 11
11
Majda El-Muhtaj, "Konseptualisasi Hak Asasi Manusia; Sebuah Penelusuran
Filosofis", dalam Istislah: Jurnal Hukum, Ekonomi & Kemasyarakatan (Medan:
Fakultas Syari'ah IAIN-SU, Vol. 2 No. 1, Jan-Mar, 2003), hlm. 38
kemunculan HAM adalah sebagai respons dan reaksi atas berbagai tindakan yang
mengancam kehidupan manusia, namun sebagai hak, maka HAM pada hakikatnya
telah ada ketika manusia itu ada di muka bumi.
Lalu, mengenai persoalan Hukum dan HAM jadi negara hukum itu
berakar pada konsep teori kedaulatan hukum yang pada prinsipnya menyatakan
bahwa kekuasaan tertinggi didalam suatu negara adalah hukum, oleh sebab itu
seluruh alat-alat negara apapun namanya termasuk warga negara harus tunduk dan
patuh serta menjunjung tinggi hukum tanpa terkecuali. Dan dalam negara hukum,
seperti yang disampaikan diatas bahwa hukum berfungsi untuk melindungi hak
asasi manusia itu sendiri, jadi hukum dan HAM adalah sesuatu yang tidak dapat
dipisahkan atau bisa dibilang bahwa hukum dan HAM itu saling berhubungan erat
tanpa bisa kita pisahkan.
Negara-negara manapun itu yang mengaku negaranya adalah suatu negara
hukum tujuannya sudah pasti ialah melindungi hak asasi manusia dan
menciptakan kehidupan yang damai bagi warganya. Keberadaan suatu negara
hukum menjadi prasyarat bagi terselenggaranya hak asasi manusia dan
kehidupan yang damai.
Dasar filosofi perlunya perlindungan hukum terhadap hak asasi manusia
adalah bahwa hak asasi manusia ialah hak dasar kodrati setiap orang yang
keberadaannya sejak berada dalam kandungan, dan ada sebagai pemberian Tuhan,
negara wajib melindunginya. Dan juga Perlindungan hak asasi manusia di
Indonesia secara yuridis didasarkan pada UUD Negara RI 1945.
Cicero seorang filsuf pada zaman Romawi kuno, pernah mengeluarkan
pernyataan yang sangat terkenal dan dianggap masih relevan dengan situasi dan
kondisi masyarakat saat ini, yaitu ubi societas ibi ius yang artinya dimana ada
masyarakat maka disitu pun ada hukum.12
Seperti yang kita tahu bahwa hukum merupakan sekumpulan aturan baik
yang tertulis maupun yang tidak tertulis, yang pada dasarnya berlaku dan diakui
orang sebagai peraturan yang mengikat dan harus ditaati dalam kehidupan
bermasyarakat. Masyarakat ialah sekelompok orang tertentu yang mendiami suatu

12
Jurnal Hukum kaidah, Vol 1 No. 1, Fakultas Hukum Universitas Islam Sumatera Utara,
Medan, 2001, Hal. 66.
daerah atau wilayah tertentu dan tunduk pada peraturan hukum tertentu pula. Dan
masyarakat adalah suatu entitas kompleks yang memerlukan struktur, aturan, dan
pedoman untuk berfungsi secara harmonis. Jadi dalam beberapa gambarannya ini
maka masyarakat memerlukan sebuah hukum untuk berfungsi seutuhnya, dimana
hukum sendiri adalah seperangkat aturan yang mengikat dan memaksa
masyarakat. Proses pelaksanaanya harus dipaksakan dengan jalan menjatuhkan
sanksi agar tujuan daripada hukum dapat tercapai. Tujuan hukum memberikan
kemanfaatan yang bersifat universal yaitu bagaimana menciptakan perdamaian
dan ketentraman dalam lingkungan masyarakat yang dapat dirasakan secara
konkret oleh seluruh lapisan masyarakat. Jadi disini hukum adalah suatu elemen
penting yang menjadi landasan bagi kehidupan bersama yang tertib dan adil.
Tidak sederhana dikatakan bahwa hukum menciptakan keharmonisan,
kemanfaatan, keamanan serta ketertiban, namun terkadang hukum juga bisa
menimbulkan suatu masalah dalam masyarakat. Kurangnya keberhati-hatian
dalam membuat hukum maka akan dapat menimbulkan sebuah resiko, bahwa
hukum malah menyusahkan atau menimbulkan kerusakan dalam masyarakat.13
Maka dari itu hukum yang diberlakukan dalam masyarakat harus sesuai dengan
nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat itu sendiri.
Menurut teori hukum, bahwasanya hukum memainkan peranan yang
penting dalam suatu masyarakat, dan bahkan mempunyai multifungsi untuk
kebaikan masyarakat, demi mencapai keadilan, kepastian hukum, ketertiban,
kemanfaatan, dan lain-lain tujuan hukum.14 Akan tetapi, keadaaan sebaliknya
dapat terjadi bahkan sering terjadi, dimana penguasa negara menggunakan hukum
sebagai alat untuk menekan masyarakat, agar masyarakat dapat dihalau ke tempat
yang diinginkan oleh penguasa negara.
Dan seperti yang kita ketahui bahwa masyarakat Indonesia adalah
masyarakat yang sangat pluralistik dengan segala keberagamannya, saat ini
sedang mengalami keterpurukan yang sangat luar biasa. Kepercayaan masyarakat
terhadap hukum khususnya kepada Aparat Penegak Hukum sangatlah rendah.
Hukum dapat ditafsir dan diputarbalikan hanya untuk membenarkan pendapat dan

13
Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Progresif (Jakarta: Kompas, 2010), hal. 217.
Nazaruddin Lathif, Teori Hukum Sebagai Sarana/Alat Untuk Memperbaharui atau
14

Merekayasa Masyarakat, volume 3, 2017, hal 74.


kepentingan kelompok atau golongan tertentu. Tugas mulia yang seharusnya
menjadi kewajiban para penegak hukum menjadi terabaikan dimana kepentingan
pribadi dan kelompok/golongan lebih diutamakan. Seperti konflik yang terjadi
antara KPK dan Kepolisian merupakan fakta dan gambaran bagaimana hukum
dijadikan komoditi dan alat untuk tercapainya tujuan dan pemenuhan ambisi dan
kekuasaan para penegak hukum itu sendiri. Ketidakpercayaan masyarakat
terhadap hukum (Aparat Penegak Hukum) secara langsung berimbas kepada
perilaku dan tindakan masyarakat dalam kehidupan sosial kemasyarakatan.
Law As A Tool Of Social Engineering, hukum sebagai sarana
pembangunan dan pembaharuan masyarakat serta bagaimana mewujudkan Social
Engineering (Rekayasa Sosial), telah dikemukakan oleh salah seorang pendukung
Sociological Jurisprudence, Rescea Pound yang menyatakan bahwa hukum
adalah sebagai alat untuk pembaharuan masyarakat, jadi Pound ini mengatakan,
hukum dapat berfungsi sebagai alat merekayasa (law as a tool of social
engineering), tidak sekadar melestarikan status quo. Dengan membuat
penggolongan atas kepentingan yang harus dilindungi, yakni kepentingan umum
(Public Interest), kepentingan sosial (Social Interest), dan kepentingan masyarakat
(Privat Interest).15 Kepentingan Umum (Public Interest) disini meliputi
kepentingan negara sebagai badan hukum dan penjaga kepentingan-kepentingan
masyarakat. Kepentingan umum juga mencakup tuntutan, kehendak, permintaan,
dan harapan individu terkait dengan kehidupan politik, Kepentingan Sosial (Social
Interest) didefinisikan sebagai tuntutan, permintaan, kehendak, dan aspirasi
masyarakat yang beradab yang ingin diwujudkan. Roscoe Pound juga
menyebutkan sebanyak enam kepentingan sosial yang diperlukan, yaitu
kepentingan sosial dalam keamanan umum, kepentingan sosial dalam kesehatan,
kepentingan sosial dalam moralitas, kepentingan sosial dalam kenyamanan,
kepentingan sosial dalam keadilan, dan kepentingan sosial dalam kemakmuran,
lalu Kepentingan Masyarakat (Private Interest) Kepentingan masyarakat disini
mencakup kepentingan individu dan kelompok dalam masyarakat. Kepentingan
ini meliputi kebebasan pribadi, hak milik, dan hak kontrak.

15
Resha Agriansyah, Hukum Sebagai Sarana Pembaharuan Masyarakat (Law as a tool
of social engineering), https://reshaagriansyah.blogspot.com/2011/01/hukum-sebagai-
sarana-pembaharuan.html, (diakses pada tanggal 7 Oktober 2023, pukul 22.05).
Rincian dari setiap kepentingan tersebut bukan merupakan daftar yang
mutlak tetapi berubah-ubah sesuai perkembangan masyarakat. Jadi, sangat
dipengaruhi oleh waktu dan kondisi masyarakat. Apabila kepentingankepentingan
tersebut disusun sebagai susunan yang berubah-ubah, maka susunan tersebut
bukan lagi sebagai social engineering tetapi merupakan pernyataan politik
(manifesto politik).16 Jadi apa yang telah dikemukakan oleh Rescea Pound sudah
seharusnya menjadi solusi bagi pembangunan dan pembaharuan masyarakat
Indonesia saat ini.
Hukum yang Identik dengan kepentingan penguasa sering kali
mengabaikan kepentingan masyarakat, baik secara umum maupun pribadi.
Kondisi hukum di Indonesia saat ini dapat dibilang sangat memprihatinkan,
bahkan permasalahan hukum timbul dari sudut pandang manapun. Dilihat dari
sudut pandang Teori dan Politik Hukum, produk hukum yang kita miliki
cenderung pada kepentingan kekuasaan. Produk hukum kita yang sering kali
diterpa isu hukum yakni konflik, kekaburan dan kekosongan norma, membuat
hukum kita tidak lagi mampu menjadi alat untuk membangun masyarakat itu
sendiri. Belum lagi dilihat dari segi penerapan serta penegakannya yang
amburadul, baik dalam hal penegakan maupun penerapan hukum itu seharusnya
dapat menjadi tumpuan terwujudnya tujuan hukum yakni kepastian hukum yang
bermuara pada keadilan dan ketertiban, bukan malah menjadi alat untuk
mencederai tujuan hukum itu sendiri.
Di Indonesia sendiri, konsep dari Roscea Pound ini dikembangkan oleh
Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, S.H., LL.M. menurut beliau, hukum di
Indonesia tidak cukup berperan sebagai alat, tetapi juga sebagai sarana
pembaharuan masyarakat.17 Jadi dapat kita katakan bahwa Hukum dalam konsep
Mochtar tidak diartikan sebagai alat tetapi sebagai sarana pembaharuan
masyarakat. Pokok-pokok pikiran yang melandasi konsep tersebut adalah bahwa
ketertiban dan keteraturan dalam usaha pembangunan dan pembaruan memang
diinginkan, bahkan dianggap dan bahwa hukum dalam arti kaidah diharapkan

16
Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2007
17
Resha Agriansyah, Hukum Sebagai Sarana Pembaharuan Masyarakat (Law as a tool
of social engineering), https://reshaagriansyah.blogspot.com/2011/01/hukum-sebagai-
sarana-pembaharuan.html, (diakses pada tanggal 7 Oktober 2023, pukul 22.05).
dapat mengarahkan kegiatan manusia kearah yang dikehendaki oleh
pembangunan dan pembaharuan itu. Untuk itu diperlukan sarana berupa peraturan
hukum yang berbentuk tertulis baik itu perundang-undangan ataupun
yurisprudensi, dan hukum yang berbentuk tertulis itu juga harus sesuai dengan
hukum yang lain dalam masyarakat sebenarnya.
Jadi, hukum itu berfungsi sebagai sarana pembaharuan dalam masyarakat
adalah untuk mengarahkan masyarakat ke arah yang lebih baik agar terciptanya
ketertiban dalam masyarakat. Hukum dapat menjadi sarana pembaharuan bagi
masyarakat apabila hukum itu diterima oleh masyarakat dan hukum yang diterima
masyarakat tentulah hukum yang lahir atas kebutuhan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Ali, H. Z. (2023). Filsafat Hukum. Sinar Grafika. 1.

Hsb, A. M. (2017). Konsep Judicial Review dan Pelembagaan di Berbagai Negara. Stara

Press. 11.

Kamarusdiana. (2018). FILSAFAT HUKUM. UIN Jakarta Press. 1-8.

Rasjidi, L., & Rasjidi, I. T. (2017). dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum. PT. Citra

Aditya Bakti.

Wirawan, I. K. (2016). Pengantar Filsafat Hukum. Fakultas Hukum Udayana


Denpasar. 11

Jurnal/Artikel
(2021). Jurnal Hukum kaidah, 1.

El-Muhtaj, M. (2003, Januari-Maret). Konseptualisasi Hak Asasi Manusia; Sebuah

Penelusuran Filosofis. dalam Istilah: Jurnal Hukum, Ekonomi & Kemasyarakatan,

2, 38.

Kusdarini, E. (2010). Kajian Filsafat Hukum Tentang : Hukum Dan Nilai-Nilai Sosial

Budaya Masyarakat. 36, 16-17.

Lathif, N. (2017). Teori Hukum Sebagai Sarana/Alat Untuk Memperbaharui atau

Merekayasa Masyarakat. 3, 74.

Literate, S. (2018, Desember). 3, 97-105.

Luthan, S. (2007, april 14). Hubungan Hukum Dan Kekuasaan. Jurnal Hukum, 14, 167,

175-184.

Rahardjo, S. (2010). Penegakan Hukum Progresif. 217.

Setyawarni, T., Muyana, A. I., & Bayu, A. A. (2023). Hubungan Hukum Dan Kekuasaan

Dalam Sistem Hukum Di Indonesia. Jurnal Dinamika Hukum dan Masyarakat, 6,

34.
Website
Agriansyah, R. (2019, Maret 9). Hukum Sebagai Sarana Pembaharuan Masyarakat (Law

as a tool of social engineering). Diakses pada Oktober 7, 2023, dari

https://reshaagriansyah.blogspot.com/2011/01/hukum-sebagai-sarana-

pembaharuan.html

Anda mungkin juga menyukai