Anda di halaman 1dari 4

Nama : ASTRID

Nim : 1740050153
Kelas : E
Tugas : FILSAFAT HUKUM

FILSAFAT HUKUM

1. Pengertian Filsafat

Kata filsafat merupakan istilah asing, bukan asli Bahasa Indonesia istilah
tersebut dari berbagai bahasa seperti halnya dari bahasa arab atau bahasa barat
(belanda, inggris). Adapun kata filsafat berasal dari Yunani, yang merupakan
kata majemuk dari rangkaian istilah: philein yang berarti “mencintai” dan
shopia yang berarti “kebijaksanaan”. Sehingga menurut asal katanya secara
etimologi filsafat (philo-shopia) berarti “cintai kebijaksanaan” (love of
wisdom), atau “mencintai hikmat/ pengetahuan”. Cinta dalam hal ini
mempunyai arti yang seluas-luasnya, yaitu ingin dan berusaha untuk mencapai
yang diinginkan. Sedangkan kebijaksanaan lebih lanjut berarti “pandai”, tahu
dengan mendalam dan seluas-luasnya, baik secara teoritis sampai dengan
keputusan untuk bertindak. Agar seorang dapat mencintai hikmah dan
pengetahuan. Untuk dapat bertindak mencapai kebijaksanaan itu, perlu
memahami secara mendalam sampai ke akar-akarnya. secara teoritis ataupun
metodis. Bahkan Pythagoras sebagai orang yang pertama menggunakan istilah
philosofis.
Pengertian filsafat secara etimologis dari kata filsafat berasal dari kata
Yunani filosofia, yang berasal dari kata kerja filosofein yang berarti mencintai
kebijaksanaan. Kata tersebut juga berasal dari kata Yunani philosophis yang
berasal dari kata kerja philein yang berarti mencintai, atau philia yang berarti
cinta, dan shopia yang berarti kearifan. Kemudian kata tersebut lahirlah kata
inggris philosophy yang biasanya diterjemahkan sebagai “cinta kearifan”.
Istilah philosophos diciptakan sebagai reaksi dan ejekan terhadap orang-
orang shopis. Karena para shopis berpendapat bahwa dirinya tahu jawaban
untuk semua pertanyaan dan menyatakan diri sebagai yang memiliki shopia
(kebijaksanaan). Sebagai langkah lebih lanjut mereka mengajarkan
kebijaksanaan dan bahkan menjual kebijaksanaannya kepada orang lain. Situasi
kehidupan budaya dan politik Yunani yang demokratis pada waktu itu memang
memungkinkan orang untuk menjual kemampuannya berpikir dan berbicara.
Padahal Pythagoras, menamakan dirinya sebagai philoshopos mengatakan
bahwa hanya tuhanlah yang mempunyai hikmat/kebijaksanaan yang sungguh-
sungguh.dan manusia harus puas dengan tugasnya di dunia ini yaitu, mencari
hikmat, mencintai kebijaksanaan. Dengan demikian orang (shopis) yang
mengatakan memiliki dan menjual kebijaksanaan sebenarnya hanya melakukan
kebohongan belaka, mereka menipu orang lain dengan mempergunakan
argumentasi yang tidak sah. Hal tersebut tentunya tidak semuanya berlaku
demikian.
Semula dalam usaha mencari kebijaksanaan, manusia memiliki berbagai
macam cara maupun motivasi untuk melaksanakan
filsafat. Filsuf satu sama lain berbeda dalam berfilsafat menurut
gaya dan penekanannya, sesuai dengan kekhasan pribadi masingmasing. Oleh
karena itu, dengan adanya perkembangan berfilsafat, pengertian filsafat pun
juga akan berkembang, mempunyai keanekaragaman warna, sesuai dengan
kekhasan pribadi filsuf yang bersangkutan. Namun demikian, kegiatan para
filsuf tetap mempunyai kesamaan, yaitu kegiatan berfilsafat, sebagai usaha
mencari kebijaksanaan. Pendapat para filsuf pada umumnya, filsafat tidak
termasuk dalam jajaran khayalan bebas, melainkan merupakan pemikiran bebas
yang memiliki disiplin yang ketat.
Adapun terhadap pemikiran bebas yang memiliki disiplin
ditunjuk pada beberapa pendapat dari para filsuf. Menurut R. Beerling, filsafat
adalah pemikiran-pemikiran bebas, diilhami oleh rasio, mengenai segala sesuatu
yang timbul dari pengalamanpengalaman. Corn. Verhoeven menyatakan bahwa
filsafat adalah meradikalkan keheranan ke segala jurusan. Sedangkan Arne
Naess berkata bahwa filsafat terdiri dari pandangan-pandangan yang
menyeluruh, yang diungkapkan dalam pengertian-pengertian. Menurut
Immanuel Kant, berfilsafat yang sebenarnya adalah menguji secara kritis akan
kepastian sesuatu yang dianggap sudah semestinya.
Berpangkal pada pengertian bahwa filsafat adalah usaha mencari
kebijaksanaan, jelas dapat dipastikan terdapat beraneka ragam usaha tersebut.
Ada berbagai usaha usaha berfilsafat dari berbagai pengertian tentang filsafat,
misalnya memberikan penjelasan rasional, mengadakan penjagaan terhadap
realitas yang terakhir, proses pemikiran kritis dan sitematis, analisis logis dan
merupakan kegiatan ilmiah, yang ada bahasa dan penjelasannya, konsep-konsep
dan nilai-nilai, misalnya: prinsip-prinsip umum, prinsip-prinsip pertama,
gambaran keseluruhan, penjelasan makna, pemecahan terhadap problem, sebab-
sebab terakhir, termasuk nilai-nilai kejelasan dari berbagai hal yang dapat
dipertanggungjawabkan. Segala macam usaha dimungkinkan, asal sasarannya
mencari kebijaksanaan; sedangkan hal serta metode yang digunakan juga
berbeda-beda tergantung pada penekanan yang akan dicapai Namun berbagai
usaha, cara serta berbagai hal yang diselidiki itu, merupakan jalan untuk
memperoleh kebijaksanaan.
Arti kata tersebut diatas belum memperhatikan makna yang sebenarnya
dari kata filsafat, sebab pengertian “mencintai” belum memperlihatkan
keaktifan seorang filosof untuk memperoleh kearifan atau kebijaksanaan itu.
Menurut pengertian yang lazim berlaku di Timur (Tiongkok dan di Inidia),
seseorang disebut filosof bila dia telah mendapatkan atau telah meraih
kebijaksanaan. Sedangkan menurut pengertian yang lazim berlaku di Barat, kata
“mencintai” tidak perlu meraih kebijaksanaan, karena itu yang disebut filosof
atau “orang bijaksana” mempunyai pengertian yang berbeda dengan pengertian
di Timur.
Beberapa pengertian Filsafat Hukum asing yang disampaikan atau
menurut pendapat para pakar ilmu hukum, sebagai berikut :
1. J.H.P. Bellefroid, filsafat hukum ialah filsafat dalam bidang hukum ,
bukan ilmu hukum tetapi ilmu pembantu dalam mempelajari ilmu
hukum. Pendapat ini tidak dapat diterapkan di Indonesia karena
dasarnya filsafat hukum merupakan bagian dari ilmu hukum bukan
ilmu pembantu hukum dalam mempelajari ilmu hukum.
2. Roscou Pound tentang “law is a tools of social engineering” yang
artinya adalah hukum merupakan “alat” untuk merubah masyarakat.
Pendapat ini tidak dapat diterapkan di Indonesia karena dasarnya
Indonesia adalah Negara Hukum (Rechtstaats) yang mana hukum
adalah panglima untuk memimpin masyarakat. Jika hukum dijadikan
alat maka itu sangat berbahaya dan potensi terjadinya abuse of power
atau penyalahgunaan kewenangan/kekuasaan. Dalam perjalanannya
menurut Porf. Muchtar Kusumaatmaja terhadap teori Roscou Pound
tersebut dimana kata “tools” atau alat dirubah menjadi instrument atau
sarana untuk merubah masyarakat. Teori Prof. Muchtar dengan teori
menjadi hukum sebagai sarana (instrument) untuk membangunan
masyarakat. Pokok-pokok pikiran yang melandasi konsep tersebut
adalah bahwa ketertiban dan keteraturan dalam usaha pembangunan
dan pembaharuan memang diinginkan, bahkan mutlak perlu, dan
bahwa hukum dalam arti norma diharapkan dapat mengarahkan
kegiatan manusia ke arah yang dikehendaki oleh pembangunan dan
pembaharuan itu. Oleh karena itu, maka diperlukan sarana berupa
peraturan hukum yang berbentuk tidak tertulis itu harus sesuai dengan
hukum yang hidup dalam masyarakat.
3. Thomas Aquinas sebagai seorang rohaniwan Katolik telah meletakkan
perbedaan secara tegas antara hukum-hukum yang berasal dari wahyu
Tuhan (Lex Aeterna), hukum yang dijangkau akal budi manusia (Lex
Divina), hukum yang berdasarkan akal budi manusia (Lex Naturalis),
dan hukum positif (Lex Positivis). Pembagian hukum atas keempat
jenis hukum yang dilakukan oleh Thomas Aquinas. Pendapat ini
dapat digunakan di Indonesia, jika dilihat pada perkembangan zaman
manusia sendiri masih memaksakan apa yang seharusnya tidak bisa di
paksakan. Thomas Aquinas membagi keadilan menjadi 2, yaitu:
4. Keadialan Umum (Justitia Generali); adlah keadilan menurut
kehendak masing-masing yang harus ditunaikan menurut kepentingan
umum. Keadilan Khusus; yaitu keadilan atas dasar kesamaan, yang
dibedakan lagi menjadi 3, yaitu:
a. keadilan distributif;
b. keadilan komutatif;
c. keadilan vindikatif.
Kaum Positivis (aliran Positivisme) memandang keadilan sebagai
tujuan hukum. Namun relativitas keadilan sering mengaburkan tujuan
hukum lain, yaitu kepastian hukum. Hal ini sesuai dengan adagium
“Summun jus, summa injuria, summa lex, summa crux”, yaitu hukum
yang keras akan dalam melukai kecuali keadilan dapat menolongnya.
Ungkapan tersebut berawal dari ketidakpercayaan kaum positivis
terhadap keadilan yang sebenarnya, karena keadilan yang tertinggi
adalah ketidakadilannyang tertinggi pula.
5. Plato berpendapat bahwa penguasa tidak memiliki theoria sehingga
tidak dapat memahami hukum yang ideal bagi rakyatnya, sehingga
hukum ditafsirkan menurut selera dan kepentingan penguasa. Oleh
karena itu, Plato menyarankan agar dalam setiap undang-undang
dicantumkan dasar (landasan) filosofisnya. Tujuannya tidak lain agar
penguasa tidak menafsirkan hukum sesuai kepentingannya sendiri.
Pemikiran Plato inilah yang menjadi cerminan bayangan dari hukum
dan negara yang ideal. Pendapat ini dapat digunakan di Indonesia
karena di Negara Indonesia sendiri penguasa masih saja suka
menafsirkan hukum untuk kepentingannya sendiri atau
menyalahgunakan kekuasaannya.

Anda mungkin juga menyukai