Anda di halaman 1dari 55

Filsafat Hukum : Filsafat Hukum Lengkap

FILSAFAT HUKUM

Arti secara Etimologis

Berdasar asal katanya, kata Filsafat berasal dari bahasa Yunani PHILOSOPHYA. Kata ini merupakan
gabungan dari dua kelompok akar kata.

Kelompok akar kata pertama adalah kata Phileindan sophos. Philein berarti cinta dan sophos berarti
kebijaksanaan.

Cinta bukan sbg noun, bukan sbg adjective, tetapi cinta = verb

Verb ? kerja manusia untuk mengerjasamakan ketiga unsur dlm jiwanya bijaksana

Kelompok akar kata kedua adalah kata phylo dan sophya. Phylo = sahabat, dan sophya = kebijaksanaan.
Maksud : Manusia harus dapat berperan sbg sahabat kebijaksanaan dalam kondisi apapun juga.

Arti filsafat secara historis

Filsafat sebagai mother of scientiaum

perlu diingat sejarah awal lahirnya filsafat sampai berkembangnya faham Positivisme

Filsafat sebagai interdisipliner ilmu

-perlu diingat berbagai fenomena dalam perkembangan ilmu (arogansi ilmiah,vak idiot,persoalan
humanistik)

Arti secara terminologis

Filsafat sbg PANDANGAN HIDUP (FALSAFAH), merupakan hasil pensikapan manusia thd alam sekitarnya,
kebenarannya masih bersifat subjektif, baik individual maupun kolektif.

Filsafat sbg ILMU (FILSAFAT), yg memenuhi syarat ilmu :

FILSAFAT SEBAGAI ILMU

Berobjek Objek material = segala sst yang ada , Objek Formal = dari segi hakikat

Bermetode Analisis Abstraksi

Bersistem adanya kesatuan dari unsur ontologi, epistemologi, dan aksiologi

Universal kebenaran hasil pemikirannya dpt diterima dimana saja, kapan saja, dan oleh siapa saja,
minimal bagi kelompok ilmuwan yg sama.

CIRI DAN PRINSIP BERFILSAFAT


CIRI-CIRI BERFIKIR FILOSOFIS

Radikal mendasar, mendalam

Integral kesatuan unsur-unsur intrinsic

Komphrehensif kesatuan dg unsur-unsur lain yg relevan menyeluruh

Sistematik bertahap & bertanggungjawab

PRINSIP-PRINSIP BERFIKIR FILOSOFIS

Principium Identitatis A = A

Principium Contradictionis A >< B

Principium Exclusi tertii A=A / A=B

Principium Sufficient Reason If A=B harus ada alasan cukup

Principium Exemplaris Ada example, contoh/bukti nyata.

PENGERTIAN HUKUM

Menurut Von Savigny

= hukum tidak dibuat, tetapi hukum ada / lahir dan lenyap bersama-sama masyarakat. Pengertian ini
hanya dapat diberlakukan untuk hukum kebiasaan / hukum tidak tertulis lahir pengertian hukum tidak
tertulis

Menurut Roscoe Pound

= hukum is a tool for social engineering hukum hanya dapat diaplikasikan / berfungsi apabila
masyarakat tidak berlangsung seperti yang diidealkan pengertian ini biasanya berupa hukum tertulis /
hukum formal

Pengertian hukum secara umum

hukum adalah himpunan peraturan-peraturan yg mengatur keseluruhan kegiatan manusia yang disertai
dengan sanksi dan bersifat imperatif.

Imperatif : Imp.hipotetis dan imp.kategoris

PENGERTIAN FILSAFAT HUKUM

ARTI FILSAFAT HUKUM

a. Menurut Van Apeldoorn


Fil.Hukum adl ilmu yg menjawab pertanyaan apakah hukum itu ? Ilmu hukum tidak dapat memberi
jawaban yg memuaskan, krn jawabannya sebatas ada fenomenanya, gejala. melahirkan hukum yg
bersifat formalistic belaka

b. Menurut Utrecht

Filsafat hukum merupakan ilmu yg menjawab pertanyaan apakah hukum itu, apa sebab orang mentaati
hukum, keadilan manakah yg dpt dijadikan sbg ukuran baik-buruknya hukum.

c. Secara Umum

Filsafat hukum is ilmu yg mempelajari asas / pendirian yg paling mendasar tentang hukum ilmu yg
mempelajari hakikat terdalam dari hukum ilmu yang mencari / menemukan ruh-nya hukum .

2. FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB ADANYA FILSAFAT HUKUM

Adanya kebimbangan tentang kebenaran dan keadilan dr hukum yg berlaku, dan adanya ketidakpuasan
terhadap aturan hukum yg berlaku, krn tidak sesuai dg keadaan masy. Yg diatur hukum tsb.

Adanya kesangsian terhadap nilai peraturan hukum yg berlaku

Adanya aliran yg berpendapat bahwa satu-satunya sumber hukum adalah hukum positif (hukum yg
berlaku saat itu)

Adanya pendirian bahwa hukum adalah suatu gejala masyarakat yang harus meladeni kepentingan
masyarakat, shg landasan hukum adalah penghidupan sendiri.

3. TUJUAN FILSAFAT HUKUM

Menjelaskan nilai-nilai dan dasar-dasar hukum sampai pada dasar filosofisnya ditemukan hakikat,
esensi, substansi, ruh-nya hukum shg hukum mampu hidup dalam masyarakat,
(kejujuran,kemanusiaan,keadilan,equity)

4. FUNGSI DAN PERAN FILSAFAT HUKUM

Menumbuhkan kesadaran akan pentingnya hukum dalam hidup bersama

Menumbuhkan ketaatan pada hukum

Menemukan ruhnya hukum

Menghidupkan hukum dalam masyarakat

Memacu penemuan hukum baru

8. KAJIAN FILOSOFIS TERHADAP HUKUM


Agar ruh-nya hukum dapat ditemukan maka hukum harus dikaji dengan menerapkan ciri-ciri berfikir
filosofis, dan dalam menyelesaikan setiap persoalan hukum dengan menggunakan prinsip-prinsip
berfikir filosofis.

MAHASISWA LATIHAN !

diskusi kelompok penerapan ciri berfikir filosofis dlm penyelesaian masalah hukum

mencari dua masalah hukum yang sejenis dari surat kabar (media masa), kemudian dianalisis dengan
menerapkan prinsip berfikir filosofis.

5. TERBENTUKNYA HUKUM

Menurut Glastra van Loon, terbentuknya hukum dikelompokkan dalam tiga kategori :

a. Menurut Aliran Legisme (abad 15-19)

Terbentuknya hukum melalui pembuatan undang-undang, shg hukum identik dg undang-undang.

Undang-undang merupakan satu-satunya sumber hukum, shg kebiasaan dan hukum


adat bukan peraturan hukum, kecuali apabila undang-undang menentukannya.

Pembentukan hukum di luar uu dianggap tidak dapat menjamin kepastian hukum, shg dianggap bukan
sbg hukum.

Tokoh ; Paul Laband, Jellinek, Hans Nawiasky, Hans Kelsen, John Austin

b. Menurut Freirechtslehre (abad 19-20)

Terbentuknya hukum hanya di dalam lingkungan peradilan, dan dilakukan di peradilan peranan hakim
sangat dominan, hakim sbg pembentuk hukum.

Undang-undang dan kebiasaan bukan sumber hukum, tetapi hanya sbg sarana pembantu hakim dalam
upaya untuk menemukan hukum pada kasus yg konkrit.

c. Menurut Heersende Leer (abad 20)

hukum terbentuk melalui berbagai cara:

Lewat pembentukan UU

Dengan interpretasi UU

Penjabaran dan penyempurnaan UU oleh hakim

Melalui pergaulan hidup

Lewat kasasi.
6. Sumber hukum : sesuatu yg dapat menimbulkan hukum

Sumber hukum :

SH Ideal, yg meliputi Common Law dan Authoritarian Law

SH Faktual, meliputi; Authoritarian law,common law, Jurisprudenci,traktat,doktrin.

Pendapat lain ttg sumber hukum:

Sumber hukum Material, sumber hukum yg menentukan isi kaidah hukum

Sumber hukum Formal,sumber hukum yg menentukan bentuk kaidah hukum. Materi hukum butuh
suatu form agar menjadi kaidah hukum yg berlaku secara umum, mengikat dan ditaati. Bentuknya
antara lain;UU, kebiasaan,adat,traktat

7. BENTUK HUKUM :

Menurut J.F Glastra van Loon, ada 4 bentuk hukum :

hukum tak tertulis

hukum tercatat

hukum tertulis

hukum yg terkodifikasi

SISTEM FILSAFAT HUKUM

0ntologi hukum

Sebagai hasil penerapan ciri berfikir filosofis radikal.

Hal yang dibahas didalamnya adalah :

Objek kajian ilmu hukum, termasuk objek kajian sesungguhnya

Asumsi dasar ilmu hukum

Objek yang dikaji ilmu hukum : produk-produk hukum, asas hukum,sumber hukum,sistem hukum,subjek
hukum.

Dalam objek hukum tersebut tidak akan ada berbagai masalah apabila di dlmnya sudah ada kesadaran
hukum. Jadi objek sesungguhnya ilmu hukum adalah kesadaran hukum masyarakat.

Berbagai objek ilmu hukum tersebut agar berkembang perlu kajian, kajian tersebut biasanya diawali
dengan meragukan kebenaran asumsi dasarnya . Asumsi dasar dapat dipahami sebagai asas-asas
hukum. Misal : Asas praduga tak bersalah. Pengertian dr asas ini adl jika seseorang belum terbukti
bersalah tidak dapat diperlakukan sbg tersangka. Tingkat pemahaman dan perwujudan asas ini masih
membutuhkan kajian, tidak boleh diterima begitu saja. Kajian yg dilakukan akan mengembangkan ilmu
kita.

Dimensi Epistemologi

Dimensi epistemologi ada sebagai konsekuensi penerapan ciri berfikir filosofis ,integral.Setelah
ditemukan berbagai faktor / sebab dr suatu persoalan, maka kemudian dpt ditentukan sumber
persoalan,metode mengatasinya, ukuran kebenaran hasil pemikirannya / solusinya.

Jd dimensi epistemologi ilmu hukum membahas ttg sumber hukum, metodenya ilmu hukum, baik
metode menemukan maupun metode analisisnya,dan ukuran kebenaran produk-produk hukum.

1. Sumber hukum is sst yg dpt menimbulkan hukum. Terdapat bbrp pendapat ttg sumber hukum, sbb:

Glastra Van Loon : s.h is keputusan-keputusan pemerintah,jurisprudensi,kebiasaan.

Utrecht, s.h ditentukan dr aspek sejarah, sosiologi, antropologi, dan filsafat.

Muchsan : s.h material dan s.h formal, yg pertama menentukan isi kaidah hukum,yg kedua
menentukan bentuk kaidah hukum

scr substansial : s.h ideal dan s.h faktual.yg pertama berupa cita-cita,nilai, yang dpt berasal dr
masyarakat dan penguasa. Yg kedua berupa ketentuan-ketentuan konkrit untuk mewujudkan cita-cita
tadi.

2. Metode perumusan hukum

Metode yang diambil biasanya disesuaikan dg sumber kajian / objeknya. Sumber materi hukum yang
ideal adl hasil konfirmasi/ dialog antara rakyat dengan penguasa.

Metode yang sesuai dengan sumber / objek kajian spt tsb menurut Mudzakkir adalah metode
interpretasi. Dalam pelaksanaannya metode ini akan mempertimbangkan empat aspek, yaitu aspek
ideal (ke atas), aspek kontekstual (ke bawah), aspek historis ( ke belakang), dan aspek teleologis (ke
depan). Konsekuensinya setiap produk apapun pada saat perumusannya harus dipertimbangkan dengan
cita-cita negara, cita-cita rakyat, latar belakang sejarah, dan tujuan bersama yg bersifat progresif. Proses
perumusan hukum tidak boleh tergesa-gesa, gegabah.

Metode Pengumpulan data : Studi pustaka,wawancara,angket,observasi,angket,studi


dokumen,interview

Metode Analisis data :Analisis kualitatif dan analisis kuantitatif. Yang banyak dipakai adalah analisis
kualitatif. Jenis analisis kualitatif, a.l : deskriptif yuridis, sosiologis,filosofis,historis, dan kualitatif
komparatif

Metode penemuan hukum : Interpretasi (interpretasi gramatikal, sistematis,historis, teleologis /


sosiologis, komparatif, futuristis), Analogi, a contrario, penyempitan hukum, eksposisi.
3. Ukuran kebenaran produk hukum

Ada empat teori kebenaran (dlm filsafat) :

a. Teori kebenaran koherensi tdk boleh ada contradictio interminis

b. Teori kebenaran korespondensi sesuai fakta dlm masy.

c. Teori kebenaran pragmatis manfaat bg masy

d. Teori kebenaran perfomatis merubah masy (cara berfikir, sikap,perilaku,motivasi)

Dimensi Aksiologi

Dimensi aksiologi diakibatkan dr penerapan ciri berfikir komprehensif dan sistematik.

Apabila telah dihasilkan produk-produk hukum yang sudah terukur tingkat kebenarannya, maka dapat
diterapkan dan dikembangkan dengan tetap mempertimbangkan berbagai nilai yg melingkupinya, yaitu
nilai yuridis,etis,estetis, religius.

Konsekuensinya, setiap produk hukum akan dapat mengangkat harkat martabat manusia dan
bermanfaat bagi kemaslahatan umat (sesuai dengan visi dan misi diciptakan dan dikembangkannya
ilmu)

SEJARAH PEMIKIRAN TTG HUKUM

I. Masa Yunani Romawi

Filsof-filsof I (Anaximander,Heraklitos,Permenides) ; hukum tidak terbatas pada masyarakat manusia,


tetapi juga untuk semesta alam, shg antara hukum alam dan hukum positif menjadi satu, sbg bagian dari
hukum Ilahi

Kaum Sofis

Negara disebut dengan Polis, dan pada abad V SM polis sudah demokratis; sudah bukan polis yg res
patricia, ttp polis yang res publica.

Saat itu sudah ada aturan hukum yg jelas (UU), dan warga ikut aktif dlm pembuatan UU, shg baik dan
adil hukum berdasar pada keputusan manusia, bukan pada aturan alam, shg tidak ada kebenaran
objektif, yg berakibat pada suatu anggapan manusia sbg ukuran segala-galanya kesewenang-
wenangan anarkhi nihilisme.

Keadaan tersebut melahirkan pemikiran bagi para filsof, antara lain:

1. Socrates

Kebenaran objektif dilakukan dg peningkatan pengetahuan mll pendidikan, shg tugas utama negara
adalah mendidik warga negara dlm keutamaan (arte). Arete is taat pada hukum negara, yg didasarkan
pd pengetahuan intuitif ttg yang baik dan benar (ada dlm setiap manusia), disebut theoria. Cara :
Refleksi atas diri sendiri, Gnooti Seauton.

2. Plato

Karya (ttg negara) : Politeia dan Nomoi

Ajaran :

A. Dualisme, ada dunia ide, eidos, dan dunia fenomen, shg negara juga ada negara ideal, dan negara
fenomen. Dalam negara ideal segalanya sangat teratur secara adil.

Bagaimana dapat teratur? dikaji dari keteraturan jiwa, yaitu ketiga unsur jiwa (akal,rasa,karsa) akan
memiliki keteraturan apabila ada kesatuan harmonis apabila perasaan dan nafsu dikendalikan dan
ditundukkan oleh akal Keadilan : terletak pada batas seimbang antara ketiga bagian jiwa aplikasi:
negara harus diatur scr seimbang sesuai dg bagian-bagiannya keadilan. Bagian-bagian negara menurut
Plato:

a.kelas orang-orang yg memiliki kebijaksanaan

b.kelas orang yg memiliki keberanian kelas tentara

c.kelas orang yg memiliki pengendalian diri

Adil, if setiap golongan berbuat sesuai dg tempat dan fungsinya (tugasnya).

B.Kitab UU didahului dg preambul (motif dan tujuan metaati UU) w n taat tidak karena takut, tetapi
karena insaf akan kegunaan UU tsb. Menurut Plato if ada pelanggaran disebabkan karena
kekurangtahuan tentang keutamaan hidup, shg diperlukan pendidikan, pendidikan ini antara lain berupa
hukuman, shg hukuman bertujuan untuk memperbaiki sikap moral si pelanggar, jika tidak dpt diperbaiki
moralnya, lebih baik dibunuh.

3. Aristoteles

Karya : Politika (8 jilid)

Pemikiran : pemisahan antara hukum alam dan hukum positif muncul masalah ketaatan. Ketaatan
cenderung imp. Hipotetis bukan imp.kategoris.

JAMAN ROMAWI

Ajaran Stoa sangat berpengaruh .

Hubungan manusia dengan diri sendiri dan dg logos. Hubungan dg logos ini melalui hukum universal (lex
universalis), terdapat pd segala yg ada, shg disebut pula lex aeterna (hukum abadi) menjelma ke
alam Lex naturalis, sbg dasar bagi hukum positif.
Keutamaan seseorang adalah taatnya pada hukum alam bukan pada hukum positif, UU ditaati if sesuai
dg hukum alam.

Yg penting dlm perkembangan hukum jaman ini adalah timbulnya ius gentium. Alur piker ; Budi
ilahi hukum alamberlaku di mana-mana bagi semua orang bersifat abadiberlaku bagi semua
bangsa ditampung dlm hukum positif negara mjd hukum bangsa-bangsa. Jadi hukum bangsa-bangsa
adalah hukum alam yg menjelma mjd hukum positif semua bangsa, jadi bukan hukum bangsa-bangsa
dlm arti modern yg mengatur hubungan antar bangsa.

MASA ABAD PERTENGAHAN

Filsafat hukum tidak mengalami perkembangan, agama Kristen maju pesat

Terjadi peralihan Pemikiran-pemikiran filsafat ( termasuk fil.hukum) dipengaruhi agama Kristen, shg
bercorak religius zaman Skolastik

pemikiran, dari Yunani ke Kristiani

Tokoh :

1.Augustinus : Allah pencipta segalanya hukum abadi (lex aeterna) dlm jiwa manusia disebut hukum
alam (lex naturalis)

2. Thomas Aquinas

Kebenaran wahyu mjd pedoman bagi kebenaran dari akal budi keduanya diakui ada

hukum :

a.dari wahyu : hukum ilahi positif (ius divinum

positivum )

b.dari akal budi manusia

ius naturale (primer dan sekunder)

ius gentium

ius positivum humanus

c. keadilan: sesuatu yg sepatutnya bagi orang lain menurut kesamaan proporsional

iustitia distributive

iustitia commutative

iustitia legalis
MASA RENAISSANCE DAN MODERN

Terjadi perubahan pola dasar pemikiran manusia, dr terbelenggu mjd bebas berfikir segala aspek
kehidupan manusia mengalami perkembangan pesat (adanya ilmu-ilmu cabang, penemuan daerah
baru negara baru)

Hal tsb juga berpengaruh pd pemikiran hukum : rasio manusia yg berdiri sendiri sbg satu-satunya
sumber hukum. Dalam konstruksi hukum ,logika manusia merupakan unsur penting.

Tokoh :

1. Machiavelli Il-Principle (Sang Raja)

Naturalisme belaka : raja mempertahankan kekuasaan dg kekerasan, moral dan hukum hrs sesuai dg
tuntutan politik absolut.

2. Locke

ada tiga kekuasaan : legislative, eksekutif, federatif

Negara hukum, negara mjd neg. hukum if prinsip-prinsip dari hukum privat dan hukumpublik
diwujudkan utk mengatasi kesewenang-wenangan

3. Voltaire

Feodalisme : bangsawan dan rakyat kedudukannya dibedakan sekali ketidakadilan muncul slogan
:Liberte, egalite, fraternite

4. Montesquieu, antara hukum alam dan situasi konkrit bangsa erat hubungannya.

hukum alam , berlaku utk manusia sbg manusiaperealisasian dlm bentuk hukum dan negara tergantung
dr situasi, histories, psikis, cultural suatu bangsa shg UU berbeda-beda

Tiga bentuk negara: monarchi, republik, despotisme

Trias politica : legislative, eksekutif, federatif, yudikatif


Aliran Hukum Dalam Filsafat Hukum

1. Aliran Hukum Alam

Yaitu aliran yang konsepsinya bahwa hukum berlaku universal dan abadi.

Tokohnya Plato, Aristoteles, Thomas Aquinas, Grotius.

Plato
Aristoteles dalam teori dualisme bahwa manusia bagian dari alam dan manusia adalah majikan
dari alam
Thomas Aquinas
Grotius dengan kosepnya mare liberium

Kelebihan aliran hukum alam : mengembangkan dan membangkitkan kembali orang untuk berfilsafat

hukum dalam mencari keadilan, mengembangkan perlindungan terhadap HAM, mengembangkan

hukum internasional.

Kekurangan aliran hukum alam : anggapan bahwa hukum berlaku universal dan abadi itu tidak ada

karena hukum selalu disesuaikan dengan kebutuhan manusia dan perkembangan zaman.

2. Aliran Positivisme Hukum

Yaitu aliran yang konsepnya bahwa hukum merupakan perintah dari penguasa berdaulat (Jhon Austin)

dan merupakan kehendak dari pada Negara (Hans Kelsen).

3. Mahzab Sejarah (historical jurisprudence)

Yaitu aliran hukum yang konsepnya bahwa hukum tidak dibuat melainkan tumbuh dan berkembang

bersama-sama dengan masyarakat. Tokoh : Carl von Savigny

4. Aliran Sociological Jurisprudence

Yaitu aliran hukum yag konsepnya bahwa huku yang dibuat agar memperhatikan hukum yang hidup

dalam masyarakat atau living law baik tertulis maupun tidak tertulis. Tokoh : Eugen Ehrlich

5. Aliran Pragmatic Legal Realism

Yaitu aliran hukum yang konsepnya bahwa hukum dapat berperan sebagai alat pembaharuan

masyarakat. Tokoh : Roscoe Pound

6. Aliran Marxis Yurisprudence


Yaitu aliran yang konsepnya bahwa hukum harus memberikan perlindungan terhadap golongan

proletar atau golongan ekonomi lemah. Tokoh : Lenin, Bernstein, Gramsci, Horkheimer, Marcuse.

7. Aliran Anthropological Jurisprudence

Yaitu airan yang konsepnya bahwa hukum mencerminkan nilai sosial budaya (Northrop), hukum

mengandung system nilai (Mac Dougall)

8. Aliran Utilitariannism

yaitu aliran yang konsepnya bahwa hukum memberikan kebahagiaan yang sebesar-besarnya bagi

orang sebanyak-banyaknya (the greatest happines for ter greatest number).

Tokoh : Jhon Lucke

9. Mahzab Unpad, yaitu aliran yang konsepnya bahwa hukum dapat berfungsi sebagai sarana

pembaharuan masyarakat. Tokoh : Mochtar Kusumaatmadja.

Hukum tidak meliputi asas dan kaidah yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat
termasuk lembaga dan proses didalam mewujudkan kaedah itu dalam kenyataan.
Hukum adalah keseluruhan kaedah dan asas yang mengatur kehidupan manusia dalam
masyarakat, termasuk lembaga dan proses dalam mewujudkan berlakunya hukum.
BERBAGAI TEORI TENTANG HUKUM
1. ALIRAN HUKUM ALAM
Hukum alam adalah hukum yang berlaku universal dan abadai bersumber dari tuhan . (irasioanl ) dan
yang bersumber dari akal (rasio) manusia di kembangkan oleh para pemikir skolistik pada abad
pertengahan seperti Thomas aquino, gratianus, jhon Salisbury ,dante piere marsilus padua, johanes haus
2. ALIRAN POSITIVISME HUKUM
a. alirannhukum positiif yang analitis adalah hukum sebagai perintah dari pembentuk
undang-undang atau penguasa /jhon Austin.
b. Aliran hukum positif yang murni /hanskelsen, dasar hukum hanskelsen menurut friedman
adalah pengetahuan tentang hukum yang ada , bukan tentang hukum yang seharusnya ada ilmu
hukum adalah normative bukan ilmnu alam
3. ALIRAN UTILITARIANISME
a. Jeremy bentham , manusia akan bertindak untuk mendapatkan kebahagian yang
sebesar-besarnya dan mengurangi penderitaan ,bahwa pembentuk undag-undang hendaknya
dapat melahirkan undang-undang yang dapat mencerminkan kaidah bagi semua individu
b. Jhon stuart mil, sumber dari kesadaran keadilan itu bukan terletak pada kegunaan
melainkan pada rangsangan untuk memperthankan diri dan perasaan simpati
c. Rodulf von jhering , konsep tentang tujuan adalah pencipta dari seluruh hukum , tidak
ada suatu peraturan hukum yang tidak memiliki asal-usulnyapada tujuan.
4.MAZHAB SEJARAH
Von savigny ,hukum itu tidak dibuat tetapi tumbuh dan berkembang bersama masyarakat.
Henry maine ,bahwa hukum berkembang dari bentuk status kekontrak, sejalan dengan perkembangan
masyarakat nya dari yang sederhana kemasyarakat yang kompleks dan modern.
5.ALIRAN SOCIOLOGICAL JURISPRUDENCE
Eugen erhlich hukum positif akan memiliki daya berlaku yang efektif apabila berisikan atau selaras
dengan hukum yang hidup dalam masyarakat.
Roscoe pound hukum harus dilihat sebagai suatu lembaga kemasyarakatan yang berfungsi untuk
memenuhi kebutuhn-kebutuhan social.
6. ALIRAN REALISME HUKUM
Realisme tidak mendasarkan pada konsep-konsep hukum tradisional karena realisme bermaksud
meolukiskan apa yang dilakukan sebenarnya oleh pengadilan-pengadilan dan orang-orangnya .
Hukum tidak menempatkan undangt-undang sebagai sumber hukum utama dan menempatkan
hakim sebagai titik pusat perhatian dan penyelidikan hukum
7. STUDI HUKUM KRITIS
Bahwa tidak mungkin proses-proses hukumberlangsung dalam konteks bebas dan atau netral
dari pengaruh-pengaruh moral, agama dan pluralisme politik.
8. ALIRAN FEMINISME
bahwa hukum pada dasarnya memiliki sejumlah keterbatasan untuk merealisasikan nilai-nilai social ,
bahwa hukum bersifat phallocenttris (memihak kaum laki-laki) sehingga hukum berjalan untuk
kepentingan status quo.
9. ALIRAN SEMIOTIKA
Aliran ini di pengaruhi 2 pemikir besar di dalam semiotika yaitu analitis structural dan analisis non
referensi
Semiotika dari yunani semeion= tanda , dijelaskan sebagai studi atas kode-kode yaitu sistem
apapun yang memungkinkan seseorang memandang entitas-entitas tertentu sebagai tanda-tanda atau
sebagai sesuatu yang bermakna .
ALIRAN-ALIRAN FILSAFAT HUKUM

ALIRAN-ALIRAN FILSAFAT HUKUM


http://patricia-seohyerim.blogspot.com/

Sepanjang sejarah hukum mulai dari zaman yunani atau romawi hingga dewasa ini kitadihadapkan
dengan berbagai teori hukum. Dari hasil kajian antropologi sendiri telah terbuktibahwa hukum
berkembang dalam masyarakat, Ibi ius ibi societas dimana ada masyarakatdisitu ada hukum. Para
pakar telah mengklasifikasikan aliran-aliran filsafat hukum adalahsebagai berikut:
a.Soerjono Soekanto membagi aliran filsafat hukum, adalah sebagai berikut: Mazhabformalitas, Mazhab
sejaran dan kebudayaan, Aliran utilitarianisme, Aliran sociologicalyurisprudence dan Aliran realism
hukum.
b.Satjipto Rahardjo, mengemukakan berbagai aliran filsafat hukum adalah sebagai berikut;Teori Yunani
dan Romawi, Hukum alam, Positivisme dan utilitarianisme, Teori hukummurni, Pendekatan sejarah dan
antropologis, dan Pendekatan sosiologis.
c.Lili Rasdji, mengemukakan aliran-aliran yang paling berpengarus saja adalah sebagaiberikut; Aliran
hukum alam, Aliran hukum positif, Mazhab sejarah, Sociologicaljurisprudence, Pragmatic legal realism.
Adapun berbagai teori tentang hukum adalah sebagai berikut:
1.Aliran Hukum Alam
Aliran hukum alam adalah hukum yang berlaku universal dan abadi yang bersumber dari Tuhan,
filsafat keadilan sebagaimana dikembangkan oleh teori plato/ aristoteles dan Thomas Aquino.
a.Plato mengutarakan pandangan tentang harmoni suasana yang alami tentram
b.Aristoteles mengutarakan (membagi dua adalah hukum alam dan hukum positif) teoridualisme,
sebagai kontribusi (manusia bagian dari alam, manusia adalah majikan dari alam)
c.Thomas Aquino : Summa Theologica dan De Regimene Principum. Membagi asas
hukum alam menjadi dua adalah sebagai berikut:
i.Principia Prima adalah merupakan asas yang dimiliki oleh manusia semenjak lahir
dan bersifat mutlak.
ii.Principia Secundaria adalah merupakan asas yang tidak mutlak dan dapat berubah
menurut tempat dan waktu
d.Immanuel Kant mengutarakan pandangan tentang hukum kodrat metafisis yaitu tentangkodrat dan
kebebasan. Kodrat adalah merupakan lapangan dari akal budi, yang tersusunatas kategori kategori
pikiran, yang terdiri atas empat komponen dasar, yaitu kualitet,kuantitet, relasi dan modalitet, tetapi
dibatasi ruang dan waktu. Kebebasan adalahlapangan dari dan bagi akal budi praktis, wilayah moralitas,
yaitu kebebasan normativeetis dari manusia, yang menampilkan ideal kepribadian manusia.
Hukum Alam Irasional
Filsafat Thomas Aquinas mengakui bahwa disamping kebenaran wahyu juga terdapat kebenaran
akal. Adanya pengetahuan yang tidak ditembus aleh akal dan untuk itulah diperlukan iman.Dengan
demikian, menurut Aquinas, ada dua pengetahuan yang berjalan bersama-sama, yaitupengetahuan
alamiah dan pengetahuan iman.
Mengenai pembagian hukum,Friedmann menggambarkan pemikiran Aquinas denganmenyatakan ada
empat macam hukum yang diberikan Aquinas, yaitu lex aeterna (hukum rasioTuhan yang tidak dapat
ditangkap oleh pancaindera manusia), lex divina (hukum rasio Tuhanyang bisa ditangkap oleh
pancaindera manusia), lex naturalis (hukum alam, yaitu penjelmaan lexaeterna ke dalam rasio manusia)
dan lex positivis (penerapan lex naturalis dalam kehidupanmanusia di dunia).
Hukum alam merupakan sebagai metode tertua yang dapat dikenali sejak zaman sampai
abadpertengahan (abad 7 dan ke-18). Hukum alam adalam merupakan sebagai substansi (isi)
yaituberisikan norma-norma, peraturan-peraturan dapat diciptakan dari asas-asas hak sasasi
manusia.Hukum alam menganggap pentingnya hubungan antara hukum dan moral.
2. Aliran Hukum Positifisme
Aliran Positifisme menganggap bahwa keduanya hukum dan moral dua hal yang harus
dipisahkan. Dan aliran ini dikenal sadnya dua subaliran yang terkenal yaitu;
a.Aliran hukum positif yang analitis, pendasarnya adalah John Austin.
Ada empat unsure penting menurut Austin dinamakan sebagai hukum;
-Ajarannya tidak berkaitan dengan penelitian baik-buruk, sebab penelitian ini berada
di luar bidang hukum.
-Kaidah moral secara yuridis tidak penting bagi hukum walaupun diakui ad
pengaruhnya pada masyarakat.
-Pandangannya bertentangan baik dengan ajaran hukum alam maupun dengan mazhab
sejarah.
-Masalah kedaulatan tak perlu dipersoalkan, sebab dalam ruang lingkup hubungan
politik sosiologi yang dianggap suatu yang hendak ada dalam kenyataan.
Akan tetapi aliran hukum positif pada umumnya kurang atau tidak memberikan tempat bagihukum yang
hidup dalam masyarakat. Austin mengemukakan cirri-ciri positivism, adalah sebagiberikut;y
-Hukum adalah perintah manusia (command of human being).
-Tidak ada hubungan mutlak antar hukum moral dan yang lainnya.
-Analitis konsepsi hukum dinilai dari studi historis dan sosiologis.
-System hukum adalah merupakan system yang logis, tetap, dan bersifat tertutup dan
di dalamnya terhadap putusan-putusan yang tetap.
b.Aliran hukum positif murni, dipelopori oleh Hans Kelsen. Latar belakan ajaran hukummurni merupakan
suatu pemberontakan terhadap ilmu idiologis, yaitu mengembangkanhukum sebagai alat pemerintah
dalam negara totaliter. Dan dikatakan murni karenahukum harus bersih dari anasir-anasir yang tidak
yuridis yaitu anasir etis, sosiologis,politis, dan sejarah. Maka menurut Hans Kelsen hukum itu berada
dalam dunia sollendan bukan dalam dunia sain. Sifatnya adalah hipotetis, lahir karena kemauan dan
akalmanusia.
Ajaran Hans Kelsen mengemukakan Stufenbau des Recht (hukum itu tidak boleh bertentangandengan
ketentuan yang lebih atas derajatnya). Dan John Austin mengemukakan ada dua bentukhukum, adalah
sebagai berikut; Positif law dan Positif morality.
3. Aliran Mazhab Sejarah
Aliran Mazhab sejarah dipeloporiFriedrich Carl von Savigny (Volk geist) hukum kebiasaansumber hukum
formal. Hukum tidak dibuat melainkan tumbuh dan berkembang bersama samadengan masyarakat.
Pandangannya bertitik tolak bahwa di dunia ini terdapat banyak bangsa dantiap-tiap bangsa memiliki
volksgeist jiwa rakyat. Dia berpendapat hukum semua hukumberasal dari adat-istiadat dan
kepercayaan dan bukan berasal dari pembentukan undang undang.
4. Aliran Sociological Yurisprudence
Sociological Yurisprudence (living law) dipelopori Eugen Ehrlich (german) tapi berkembang diAmerika
Serikat (Roscoe) konsep hukum, hukum yang dibuat agar memperhatikan hukum yanghidup dalam
masyarakat baik tertulis maupun tidak tertulis. Mengakui sumber hukum formalbaik undang undang
maupun bukan undang undang asal. Dipengaruhi oleh aliran positifsosiologis dan August Comte yang
orientasinya sosiologis.
Inti pemikiran Roscoe Pound hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yanghidup di
dalam masyarakat. Berpegang kepada pendapat pentingnya, baik akal maupunpengalaman.
5. Aliran Pragmatic Legal Realism
Aliran Pragmatic Legal Realism dipelopori oleh Roscoe Pound konsep hukumnya ( Law as a
tool of social engineering ) sub aliran positivisme hukum Wiliam James dan Dewey
mempengaruhi lahirnya aliran ini. Titik tolaknya pada pentingnya rasio atau akal sebagai sumberhukum.
Menurut Liewellyn, aliran realism adalah merupakan bukan aliran dalam filsafat hukum,tetapi
merupakan suatu gerakan movement dalam cara berfikir tentang hukum.
6. Aliran Antropolitica Yurisprudence
-Northrop dan Mac Dougall. Northrop mengutarakan pendapatnya bahwa hukum
mencerminkan nilai sosial budaya.
-Mac dougall dan Values system mengutarakan pendapatnya bahwa hukum mengandung
sistem nilai. Mempengaruhi pendapat Mochtar Kusumaatmadja
7. Aliran Utilitarianisme
Aliran Utilitarianisme dikemukakan tokoh aliran ini dalah Jeremy Bentham dan
mengutarakanpendapatnya memegang prinsip manusia akan melakukan tindakan untuk
mendapatkankebahagiaan yang sebesar-besarnya dan mengurangi penderitaan (hukum itu harus
bermanfaatbagi masyarakat, guna mencapai hidup bahagia). Merupakan aliran yang meletakkan dasar
dasarekonomi bagi pemikiran hukum, prinsip utamanya adalah tujuan dan evaluasi hukum.Bentham dan
Jhon Stuart Mill memiliki pendapat yang sejalan yaitu pembentukan undang-undang hendaknya dapat
melahirkan undang-undang yang dapat mencerminkan keadilan bagisemua individu.
ALIRAN FILSAFAT HUKUM (PERTEMUAN KE-2)

1. Aliran hukum alam;

2. Aliran positivistik;

3. Mazhab sejarah;

4. Aliran utilitarian.

ALIRAN HUKUM ALAM

Aliran hukum alam merupakan aliran paling tertua, aliran pemikiran hukum yang muncul sebelum masehi,
disebut juga aliran hukum kodrat atau aliran hukum asasi. Yang pada hakikatnya terpecah menjadi dua
bagian: aliran hukum alam klasik dan aliran hukum modern (s/d abad ke-13)

Aliran hukum klasik merupakan aliran yang lahir sebelum masehi yang berpandangan bahwa hukum itu
berlaku universal dan abadi. Artinya hukum alam berlaku sepanjang masa, berlaku pada semua tempat
dan berlaku pada setiap manusia. Aliran ini menegaskan bahwa hukum itu bersumber dari rasio Tuhan.
Dengan demikian satu-satunya sumber hukum adalah rasio Tuhan dengan mengandalkan pada kitab
suci yang diturunkan Allah kepada manusia. Misalnya negara Islam di Timur Tengah

Ciri hukum klasik:

1. Memiliki derajat tertinggi;

2. Bila terjadi pertentangan dengan hukum lain maka hukum alam harus diutamakan;

3. Berlaku sepanjang masa, pada semua tempat dan golongan;

4. Diciptakan oleh Tuhan.

Penganut dari aliran hukum klasik adalah Thomas Aquinas yang mengemukakan bahwa hukum alam
terbagi atas dua bagian:

1. Principa prima: hak-hak yang melekat pada diri setiap manusia, yang tidak dapat dipisahkan dari
setiap manusia itu. Hak-hak tersebut bersifat mutlak dan tanpa kecuali; (bandingkan dengan keadilan
yang bersifat kumutatif oleh Aristoteles);

2. Principa secundaria: hak-hak yang relatif (tidak mutlak); bahwa tidak semua manusia memiliki hak
tersebut. Hak-hak ini merupakan penjabaran dari principa prima. Misalnya hak milik atas tanah
(bandingkan lagi dengan keadilan distributifnya Aristoteles; keadilan yang tergantung pada kontribusi
seseorang).

Pengelompokan hukum dalam pandangan Thomas Aquinas:

1. Lex naturalis (hukum alam);


2. Lex positivis (hukum positif);

3. Lex divina (penjabaran lex naturalis untuk manusia);

4. Lex eterna (hukum murni).

Aliran hukum modern yang berkembang pada abad ke-15 dalam era reneisans (humanisme),
antrophosentris, dan rasionalisme.

Aliran hukum modern merupakan zamannya manusia, fokus segala-galanya zaman dimana manusia
menggunakan rasio sedalam-dalamnya.

Berpengaruh pada perkembangan ilmu hukum (dari rasio Tuhan ke rasio manusia) sehingga sumber
hukumnya adalah rasio manusia.

Pada zaman reneisans yang menjadi hukum adalah produk ciptaan manusia. Dan pada abad ke-17 di
Eropa lahirlah kodifikasi hukum pertama di Prancis ----code penal Perancis ----civil law --- Prancis
menjajah Belanda menerapkan asas konkordansi (asas yang menyatakan bahwa hukum untuk negara
penjajah berlaku untuk negara jajahan).

Aliran hukum modern tidak mengutamakan rasio, tetapi lebih pada peluang untuk menggunakan hukum
produk manusia.

Aliran hukum modern lahir di Jerman pasca perang dunia kedua yang disebut Newtomisme yang
diprakarasi oleh Francois Geny memandang bahwa perundang-undangan di Jerman hanya mampu
memberi jaminan kepastian hukum tetapi tidak mampu memberikan atau menciptakan keadilan dan
kemanfaatan. Sebab peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh parlemen di Jerman dibuat tanpa
memperhatikan norma etis, seperti keadilan, kemanfaatan dan ketertiban yang terdapat di dalam hukum
alam. Aliran ini juga muncul karena sorotan besar terhadap kodifikasi.

ALIRAN HUKUM POSITIF

Aliran hukum ini muncul pada abad ke-15 yakni zaman reneisance sebagai abad yang sering disebut
zaman rasionalisme atau zaman humanisme atau antrhposentris (manusia menjadi pusat segala-galanya
terhadap kemampuan akal dan rasionya). Yang tentu berpengaruh pada sumber hukum di zaman itu.

Hukum positif harus memenuhi dua persyaratan:

1. Memiliki bentuk yang formal (harus jelas, seperti harus ada konsiderans);

2. Dibuat oleh institusi yang berwenang (seperti pemerintah dan DPR yang merancangnya dalam hukum
tertulis, ada kodifikasi, ada regulasi dan ada peraturan perundang-undangan)

Negara Indonesia yang termasuk dalam sistem hukum eropa continental, hanya aturan hukum yang
memenuhi syarat ini dapat digolongkan sebagai hukum positif, sehingga satu-satunya sumber hukum
menurut hukum positivisme yakni peraturan perundang-undangan. Sedangkan hukum kebiasaan atau
hukum adat tidak tergolong memenuhi hukum positif karena tidak memenuhi kedua syarat tersebut.

Pada awal munculnya aliran hukum positivisme, hukum itu sering dianalogikan sebagai perintah dari
penguasa (command of the law given).

Beberapa kelemahan dari konsep positivisme: seringkali tertinggal dari perkembangan dan kemajuan
Iptek maupun kemajuan masyarakat. Yang disebabkan oleh sifatnya top-down maka sifatnya banyak
mendapat tantangan dalam masyarakat. Sisi positif dari aliran hukum positif adalah terdapat kepastian
hukum demikianlah yang pernah dikemukakan oleh Francouis Geny).

Filsafat hukum oleh Roscoe Pound (dibaca Roski Pound)

Roscoe Pound merupakan salah satu penganut positivisme yang terkenal dengan doktrinnya law is a
tool of social engineering.

Pound adalah seorang yang berkebangsaan AS, berprofesi sebaga hakim yang cerdas jebolan dari
Harvard University. Beliau sangat perihatin dengan adanya diskriminasi ras di AS atau di Eropa yakni
terhadap warga negara kulit putih adalah warga negara kelas istimewa sedangkan warga negara kulit
hitam adalah warga negara kelas dua.

Sebagai seorang ahli hukum, lalu Pound benar-benar memahami bahwa semua manusia sama di depan
hukum. Pound memandang bahwa opini tentang ras di AS harus diubah karena tidak sesuai dengan
asas tersebut. Dan hal itu dapat diubah dengan regulasi atau oleh hukum sehingga dikenallah a tool of
social engineering.

Aliran ini terkenal dimana-mana menjadi landasan bagi pembuat undang-undang untuk melakukan
perubahan terhadap kebiasaan-kebiasaan negatif yang ada. Pound sangat paham bahwa hukum adalah
pedoman berperilaku sehingga untuk mengubah perilaku digunakan hukum sebagai alat.

Teori Roscoe Pound ini digunakan pada berbagai negara termasuk Indonesia. Contoh: adanya larangan
terhadap kebiasaan dalam suatu agama tentang janda yang ditinggal mati oleh suaminya untuk
menceburkan diri di tengah api unggung di saat terjadi proses untuk ngaber. Maka pada akhirnya
diubalah regulasi untuk melarang perbuatan tersebut.

Pandangan Pound memperoleh banyak tantangan dari masyarakat karena aturan hukum itu menentang
kebiasaan-kebiasaan atau menempatkan opini yang dominan.

UTILITIARIANISME

Aliran ini memfokuskan perhatian pada kemanfaatan atau kegunaan. Aliran ini berpandangan bahwa baik
buruknya hukum ditentukan dari segi kemanfaatan atau kegunaan. Hukum yang baik adalah yang
membawa manfaat beasar bagi masyarakat atau orang banyak.

Aturan hukum yang hanya berguna bagi sekelompok masyarakat atau kelompok-kelompok tertentu saja
maka itu bukanlah aturan hukum yang baik.
Aliran ini diprakarsai oleh Jeremy Bentham yang menggagas The Great Happynes for the Greates
Numbers,

Aliran ini tidak mempermasalahkan mengenai proses dan mekanisme pembentukan tetapi memandang
dari sisi kegunaan. Apabila dihubungkan dengan teori tujuan hukum maka aliran ini lebih berorientasi
pada tujuan hukum ketiga kemnfaatan.

Jadi, indikator baik buruknya hukum adalah manfaat yang besar bagi orang banyak.

FILSAFAT HUKUM

Fhilo: cinta

Sophia: kebijaksanaan

Jadi filsafat adalah sebagai keinginan akan kebijaksanaan hidup yang berkaitan dengan pikiran-pikiran
yang rasional (secara tekhnis).

Hukum merupakan objek dari filsafat untuk mencapai suatu tujuan hidup manusia

Filsafat hukum adalah mencari kebenaran yang menghasilkan suatu keadilan dalam kehidupan manusia.

Perbedaan filsafat dan ilmu pengetahuan:

Filsafat mencakup:

Berdasarkan sudut pandang objek formal:

1. Bertolak dari yang umum ke yang khusus;

2. Memperhatikan keseluruhan (totalitas) fenomena yang ada di masyarakat;

3. Pendakatannya mengenai hakikat atau bathinia dari semua objek materilnya.

Berdasarkan sudut pandang objek materil:

1. Mencakup semua kenyataan yang ada;

2. Lebih luas dan bersifat universal.

Ilmu pengetahuan

Berdasarkan sudut pandang objek formal:

1. Bertolak dari yang khusus ke yang umum;


2. Menguraikan beberapa aspek khusus dari keseluruhan realita;

3. Pendakatannya mengenai lahiriah.

Berdasarkan sudut pandang objek materil:

1. Terbatas pada hal-hal tertentu saja.

Hal-hal yang merangsang untuk berfilsafat:

1. Adanya ketakjuban;

2. Tidak puas;

3. Hasrat untuk bertanya;

4. Keraguan;

5. Keinginan mengetahui segala sesuatu.

SIFAT DASAR FILSAFAT

1. Kebenaran;

2. Berpikir radikal;

3. Memiliki kejelasan;

4. Berpikir rasional;

5. Berpikir secara kompherensif.

Manfaat mempelajari filsafat hukum:

1. Untuk berpikir kritis dan dapat menerima pendapat orang lain;

2. Kita diajak untuk berpikir dalam memandang suatu permasalahan untuk dibahas agar dapat diketahui
inti dari permasalahan tersebut;

3. Kita diajak untuk berpikir inovatif agar dapat menemukan suatu yang baru;

4. Berpikir aktif dan hati-hati yang dilandasi proses berpikir ke arah yang menghasilkan keputusan yang
masuk akal dan dapat diyakini.

5. Selalu disiplin dalam menerapkan ilmu hukum tetapi juga tidak meninggalkan norma yang ada serta
nilai-nilai dalam masyarakat.
Ciri-ciri filsafat hukum:

1. Memiliki krakteristik yang bersifat menyeluruh dan universal;

2. Memiliki sifat mendasar;

3. Memiliki sifat spekulatif;

4. Memiliki sifat reflektif kritis;

5. Memiliki sifat introspeksi

RUANG LINGKUP FILSAFAT HUKUM

Ruang lingkup filsafat hukum sangat luas karena filsafat hukum bersifat empiris, sehingga timbul suatu
pertanyaan bahwa:

1. Faktor apakah yang menjadi dasar dan berlakunya suatu hukum?

2. Faktor apa yang mendasari keberlangsungan berlakunya suatu peraturan hukum?

3. Bagaimana daya berlakunya?

4. Dapatkah hukum itu dikembangkan?

Sebagaimana Paton juga mengemukakan ruang lingkup filsafat hukum diantaranya:

1. Pure science of law: berusaha menemukan unsur-unsur ilmu hukum murni berupa faktor yang diakui
kebenarannya secara universal, terlepas dari profesinya pandangan yang etis dan sosiologis;

2. Sociological jurisprudence: yang menganggap bahwa pure science of law sangat terbatas dkaitkan
dengan kehadiran hukum itu, yang pada sesungguhnya befungsi untuk menyelesaikan berbagai masalah
sosial;

3. Theological jurisprudence: yang menganggap lingkup penyelidikan filsafat hukum sebagai produk dari
pemikiran manusia yang berkaitan erat dengan tujuannya.
Aliran-Aliran Dalam Filsafat Hukum

Tumbuhnya berbagai aliran dalam filsafat hukum menunjukan pergulatan


pemikiran yang tidak henti-hentinya dalam lapangan ilmu hukum. Apabila pada masa lalu, filsafat
hukum merupakan produk sampingan dari para filsuf, dewasa ini kedudukannya tidak lagi demikian
karena masalah-masalah filsafat hukum telah menjadi bahan kajian tersendiri bagi para ahli hukum.
Dipaparkannya aliran-aliran filsafat hukum ini, tidak sekedar merupakan napak tilas perjalanan para
ahli tersebut. Dengan mengetahui pemikiran-pemikiran tersebut, kita akan mendapat banyak masukan
yang memungkinkan kita untuk menghargai pendapat orang lain. Sudah menjadi tradisi ilmiah bahwa
suatu pemikiran pada saat tertentu akan terasa tidak sesuai lagi zamannya, dan segera disangkal oleh
pemikiran berikutnya. Sekalipun demikian, pemikiran yang lama tetap menjadi buah karya yang
berharga untuk dikaji ulang terus-menerus, dan boleh jadi suatu saat nanti, kembali tampil ke depan
dengan bentuk baru.
Aliran-aliran filsafat hukum yang akan dibicarakan yaitu: (1) Aliran Hukum Alam; (2) Positivisme hukum;
(3) Utilitarianisme; (4) Mazhab Sejarah; (5) Sociological Jurisprudence; (6) Realisme Hukum; (7) Sosiology
of Law; (8) Freirechtslehre. Tata urutan pembahasan tersebut tidak menununjukkan bahwa suatu aliran
yang dibicarakan lebih dulu selalu mendahului aliran yang dibicarakan kemudian. Urutan di atas lebih
didasarkan kepada sistematika pemikiran dari masing-masing aliran, yang dalam suatu situasi sesuai
dengan tata urutan kronologis, namun di sisi lain juga tidak lagi sesuai.

1. Aliran Hukum Alam


Aliran hukum alam telah berkembang sejak kurun waktu 2.500 tahun yang lalu, dan muncul dalam
berbagai bentuk pemikiran. Dilihat dari sejarahnya, menurut Friedmann (1990:47), aliran ini timbul
karena kegagalan umat manusia dalam mencari keadilan yang absolut. Hukum alam di sini dipandang
sebagai hukum yang berlaku universal dan abadi.
Gagasan mengenai hukum alam didasarkan pada asumsi bahwa melalui penalaran, hakikat makhluk
hidup akan dapat diketahui, dan pengetahuan tersebut mungkin menjadi dasar bagi tertib sosial serta
tertib hukum eksistensi manusia. Hukum alam dianggap lebih tinggi dari hukum yang sengaja dibentuk
oleh manusia (Soerjono Soekanto, 1985:5-6).
Secara sederhana, menurut sumbernya, aliran hukum alam dapat dibedakan dalam dua macam yaitu :
a. Aliran Hukum Alam Irasional.
Aliran hukum alam irasional berpendapat bahwa hukum yang berlaku universal dan abadi itu bersumber
dari Tuhan secara langsung. Sebaliknya, aliran hukum alam yang rasional berpendapat bahwa sumber
hukum yang universal dan abadi itu adalah rasio manusia. Pandangan yang muncul setelah zaman
Renesanse (era ketika rasio manusia dipandang terlepas dari tertib ketuhanan) berpendapat bahwa
hukum alam tersebut muncul dari pikiran manusia sendiri tentang apa yang baik dan buruk, yang
penilaiannya diserahkan kepada kesusilaan (moral) alam.

Pendukung aliran Hukum alam irasional antara lain:


1) Thomas Aquinas (1225-1274) yang mengatakan ada 4 macam hukum yaitu:
1. Lex Aeterna (hukum rasio Tuhan yang tidak dapat ditangkap oleh panca indera manusia).
2. Lex Devina (hukum rasio Tuhan yang dapat ditangkap oleh panca indera manusia).
3. Lex Naturalis (hukum alam yaitu penjelmaan dari lex aeterna ke dalam rasio manusia).
4. Lex Positivis (penerapan lex naturalis dalam kehidupan manusia didunia).
2) John Salisbury (1115-1180)
Menurutnya jika masing-masing penduduk berkerja untuk kepentingan sendiri, kepentingan masyarakat
akan terpenuhi dengan sebaik-baiknya (Schmid, 1965 : 91). Salibury juga melukiskan kehidupan
bernegara itu seperti kehidupan dalam sarang lebah, yang sangat memerlukan kerja sama dari semua
unsur; suatu pandangan yang bertitik tolak dari pendekatan organis.
Pemikiran Salibury dituangkannya dalam suatu kumpulan buku yang diberi judul Policraticus sive de
Nubis Curialtum et Vestigiis Pholosophorum Libri VIII. Selain itu, terdapat bukunya yang berjudul
Metalogicus.

3) Dante Alighieri (1265-1321)


Seperti halnnya dengan filsuf-filsuf abad pertengahan, filsafat Dante sebagian besar merupakan
tanggapan terhadap situasi yang kacau balau pada masa itu. Baik Jerman maupun Perancis pada abad
pertengahan menghadapi perselisihan dengan kekuasaan Paus di Roma. Dante, dalam hal ini berada
pada kubu penguasa. Ia amat menentang penyerahan kekuasaan duniawi kepada Gereja. Baginya,
keadilan baru dapat ditegakkan apabila pelaksanaan hukum diserahkan kepada satu tangan saja berupa
pemerintahan yang absolut.
Dante berusaha memberikan legitimasi terhadap kekuasaan monarki yang bersifat mondial. Monarki
dunia inilah yang menjadi badan tertinggi yang memutuskan perselisihan antara penguasa yang satu
dengan lainnya. Dasarnya hukum yang dijadikan pegangan adalah hukum alam, yang mencerminkan
hukum-hukum Tuhan. Menurutnya, badan tertinggi yang memperoleh legitimasi dari Tuhan sebagai
monarki dunia ini adalah Kekaisaran Romawi. Hanya saja, pada abad pertengahan ternyata Kekaisaran
Romawi itu sudah digantikan oleh kekuasaan Jerman dan kemudian Perancis, di Eropa. Karangan Dante
yang penting berjudul De Monarchia.
4) Piere Dubois (lahir 1255)
Dubois adalah salah satu filsuf terkemuka Perancis. Kedudukannya sebagai pengacara Raja Perancis
pada masa itu selaras dengan pendangan-pandangannya yang pro penguasa. Ia mencita-citakan suatu
kerajaan Perancis yang mahaluas, yang menjadi pemerintah tunggal dunia. Di sini tampak, bahwa
Dubois sangat meyakini adanya hukum yang dapat berlaku universal.
Sama seperti filsuf Dante, Dubois menyatakan bahwa penguasa (raja) dapat langsung menerima
kekuasaan dari Tuhan, tanpa perlu melewati pemimpin Gereja. Bahkan, Dubois ingin agar kekuasaan
duniawi Gereja (Paus) dicabut dan diserahkan sepenuhnya kepada raja.
Menurut Schmid (1965:108-109), dalam beberapa hal pemikiran-pemikiran Dubois telah mampu
menjawab kebutuhan hukum pada abad-abad kemudian. Misalnya saja, ia mengusulkan agar hubungan
negara-negara (di bawah kekuasaan Perancis) itu diatur dalam bentuk federasi, yang mengingatkan kita
pada badan PBB sekarang. Ia juga menyatakan, bahwa raja pun memiliki kekuasaan membentuk
undang-undang, tetapi raja tidak terikat untuk mematuhinya. Bukunya yang terpenting adalah De
Rescuperatione Terre Sance (Tentang Penaklukan Kembali Tanah Suci).
5) Marsilius Padua (1270-1340) dan William Occam (1280-1317)
Pemikiran Marsilius Padua seringkali diuraikan bersama-sama dengan pemikiran William Occam,
mengingat keduanya banyak persamaannya. J.J. von Schumid (1965:109) menyebutkan, kedua orang ini
termasuk tokoh penting abad ke-14, sama-sama dari ordo Franciscan, dan pernah memberi kuliah di
universitas di kota Paris. Karena pertentangannya terhadap pemikiran Gereja, kedua orang ini juga
sama-sama dikeluarkan dari Gereja oleh Paus.
Padua berpendapat bahwa negara berada di atas kekuasaan Paus. Kedaulatan tertinggi ada ditangan
rakyat. Pendapatnya tentang kenegaraan banyak dipengaruhi oleh Aristoteles. Padua juga berpendapat
bahwa tujuan negara adalah untuk memajukan kemakmuran dan memberikan kesempatan seluas-
luasnya kepada warga negara agar dapat mengembangkan dirinya secara bebas. Dengan demikian,
hukum harus mengabdi kepada rakyat. Bahkan, rakyat pula yang berwenang memilih pemerintahnya.
Rakyat boleh menghukum penguasa (raja) yang melanggar undang-undang, termasuk
memberhentikannya. Kekuasaan raja bukanlah kekuasaan absolute melainkan dibatasi oleh undang-
undang.
Pendapat Padua ini sangat menarik perhatian, karena termasuk progresif untuk ukuran abad
pertengahan. Dalam banyak hal, pemikiran ini mirip dengan Rousseau.
Di sisi lain, filsafat Occam sering disebut Nominalisme, sebagai lawan dari pemikiran Thomas Aquinas
(yang sesungguhnya sama-sama aliran Hukum Alam Irasional). Jika Thomas meyakini kemampuan rasio
manusia untuk mengungkapkan kebenaran, Occam berpendapat sebaliknya. Rasio manusia tidak dapat
memastikan suatu kebenaran. Pengetahuan (ide) yang ditangkap oleh rasio hanyalah nama-nama
(nomen, nominal) yang digunakan manusia dalam kehidupannya.
Karangan Padua yang terpenting berjudul Defensor Pacis, sedangkan salah satu karya Occam (sering
pula ditulis Ockham) berjudul De Iperatorum et Pontificum Potestate.
6) John Wycliffe (1320-1384) dan Johnannes Huss (1369-1415)
Jika Marsilius Padua sering dibicarakan bersama dengan Occam, John Wycliffe acapkali disebut-sebut
bersama dengan Johannes Huss.
Sebagaimana umumnya para filsuf abad pertengahan, Wycliffe seorang filsuf Inggris juga menyoroti
masalah kekuasaan Gereja. Ia menolak adanya hak-hak Paus untuk menerima upeti dari raja Inggris.
Wycliffe mengibaratkan hubungan antara kekuasaan Ketuhahanan dan kekuasaan duniawi seperti
hubungan antara pemilik dan penggarap tanah. Masing-masing memiliki bidangnya sendiri, sehingga
tidak boleh saling mencampuri.
Urusan negara seharusnya tidak boleh dicampuri oleh rohaniawan, karena corak pemerintahan para
rohaniawan itu adalah corak kepemimpinan yang paling buruk. Pemerintahan yang baik adalah
pemerintahan yang dipimpin para bangsawan. Mennurutnya, kekuasaan Ketuhanan tidak perlu melalui
perantara (rohaniawan Gereja), sehingga baik para rohaniawan maupun orang awam sama derajatnya
dimata Tuhan.
Huss melengkapi pemikiran Wycliffe. Ia mengatakan, bahwa gereja tidak perlu memiliki hak milik.
Karena itu, penguasa boleh merampas milik itu apabila Gereja salah menggunakan haknya. Menurutnya,
Paus dan hierarki Gereja tidak diadakan menurut perintah Tuhan. Gereja yang sebenarnya dibentuk oleh
orang yang beriman (Schmid, 1965:115)
b. Hukum Alam Rasional.
Setelah menyinggung sekilas beberapa pemikir aliran hukum alam irasional, kiranya perlu diuraikan pula
pendukung-pendukung aliran hukum alam rasional. Tokoh-tokoh dari aliran ini antara lain :
1) Hugo de Groot alias Grotius (1583-1643).
Hugo de Groot atau Grotius dikenal sebagai Bapak Hukum Internasional karena dialah yang
mempopulerkan konsep-konsep hukum dalam hubungan antar negara, seperti hukum perang dan
damai serta hukum laut. Menurut Grotius, sumber hukum adalah rasio manusia. Karena karakteristik
yang membedakan manusia dengan makhluk lain adalah kemampuan akalnya, seluruh kehidupan
manusia harus berdasarkan pada kemampuan akal (rasio) itu.
Hukum alam, menurutnya adalah hukum yang muncul sesuai kodrat manusia. Hukum ala mini tidak
mungkin dapat diubah, (secara ekstrim) Grotius mengatakan bahwa oleh Tuhan sekalipun. Hukum alam
itu diperoleh manusia dari akalnya, tetapi Tuhanlah yang memberikan kekuatan mengikatnya.
Karya Grotius yang termasyur berjudul De Jura Belli ac Pacis dan Mare Liberium.
2) Samuel von Pufendorf (1632-1694) dan Cristian Thomasius (1655-1728).
Pufendorf adalah penganjur pertama hukum alam di Jerman. Pekerjaannya dilanjutkan oleh Christian
Thomasius. Ia berpendapat bahwa hukum alam adalah aturan yang berasal dari akal pikiran yang murni.
Dalam hal ini unsur naluriah manusia yang lebih berperan. Akibatnya, ketika manusia mulai hidup
bermasyarakat, timbul pertentangan kepentingan satu dengan lainnya. Agar tidak terjadi pertentangan
terus-menerus, dibuatlah perjanjian secara sukarela di antara rakyat. Baru setelah itu, diadakan
perjanjian berkutnya, berupa perjanjian penaklukan oleh raja. Dengan adanya perjanjian itu, berarti
tidak ada kekuasaan yang absolut. Semua kekuasaan itu dibatasi oleh Tuhan, hukum alam, kebiasaan,
dan tujuan dari negara yang didirikan.
Karangan Pufendorf tentang dasar-dasar hukum alam dan hukum antar negar memberikan pembedaan
yang tegas antara hukum dan morl (pendapat ini jelas lebih dekat ke aliran positivisme hukum daripada
hukum alam). Schumid (1965:188-189) menyatakan, karya Pufendorf justru penting karena pembedaan
tersebut. Hukum alam lahir dari faktor-faktor yang bersifat takdir dan berdasarkan sifat manusia yang
fitri, seperti naluri, akan terdesak ke belakang.

3) Imanuel Kant (1724-1804)


Imanuel Kant melakukan penyelidikan unsur-unsur mana dalam pemikiran manusia yang berasal dari
rasio (sudah ada terlebih dulu tanpa dibantu oleh pengalaman) dan yang murni berasal dari empiris.
4) Friedmann (1990:47)
Menurut Friedmann, hukum alam ini memiliki fungsi jamak, yakni :
a) sebagai instrument utama dalam transformasi dari hukum sipil kuno pada zaman Romawi ke suatu
system yang luas dan cosmopolitan;
b) digunakan sebagai senjata oleh kedua belah pihak dalam pertikaian sebagai senjata oleh kedua belah
pihak dalam pertikaian antara gereja pada abad pertengahan dan para kaisar Jerman;
c) sebagai latar belakang pemikiran untuk mendukung berlakunya hukum inernasional, dan menuntut
kebebasan individu terhadap absolutism;
d) prinsip-prinsip hukum alam juga digunakan oleh para hakim amerika (yang berhak untuk menafsirkan
konstitusi) guna menentang usaha-usaha perundangan-perundangan negara untuk memodifikasi dan
mengurangi kebebasan mutlak individu dalam bidang ekonomi.

2. Positivisme hukum
Positivisme hukum (Aliran Hukum Positif) memandang perlu secara tegas memisahkan antara hukum
dan moral (antara hukum yang berlaku dan hukum yang seharusnya, antara das sein dan das sollen).
Positivisme hukum dapat dibedakan dalam dua corak yaitu:
a. Aliran Hukum Positif Analistis (Analytical Jurisprudence) : John Austin (1790-1859)
Hukum adalah perintah dari penguasa Negara. Hakikat hukum sendiri, menururt Austin, terletak pada
unsure perintah itu. Hukum dipandang sebagai suatu sistem yang tetap, logis, dan tertutup. Dalam
bukunya The Province of Jurisprudence Determined, Austin menyatakan, A law is a command which
obliges a person or persons law and other commands are said to proceed from superiors, and to bind
or oblige inferiors.
Lebih jauh Austin menjelaskan, pihak superior itulah yang menentukan apa yang diperbolehkan.
Kekuasaan dari superior itu memaksa orang lain untuk taat. Ia memberlakukan hukum dengan cara
menakut-nakuti, dan mengarahkan tingkah laku orang lain kea rah yang diinginkannya. Hukum adalah
perintah yang memaksa, yang dapat saja bijaksana dan adil, atau sebaliknya (Lyons, 1983:7-8).
Austin pertama-tama membedakan hukum dalam dua jenis :
1) Hukum dari Tuhan untuk manusia (the divine laws).
2) Hukum yang dibuat oleh manusia, dibedakan dalam :

a) Hukum yang sebenarnya (hukum positif), meliputi :


(1) Hukum yang dibuat oleh penguasa.
(2) Hukum yang dibuat oleh manusia secara individu untuk melaksanakan hak-hak yang diberikan
kepadanya.
b) Hukum yang tidak sebenarnya, adalah hukum yang dibuat oleh penguasa, sehingga tidak memenuhi
persyaratan sebagai hukum, seperti ketentuan dari suatu organisasi olehraga.
Hukum yang sebenarnya memiliki empat unsur yaitu :
Perintah (command)
Sanksi (sanction)
Kewajiban (duty)
Kedaulatan (sovereignty)
b. Aliran Hukum Murni Hans Kelsen (1881-1973)
Menurut Kelsen, hukum harus dibersihkan dari anasir-anasir yang non-yuridis, seperti unsur sosiologis,
politis, historis, bahkan etis. Pemikiran inilah yang dikenal dengan teori hukum murni (Reine Rechtlehre)
dari Kelsen. Jadi, hukum adalah suatu sollenskagorie (kategori keharusan/ideal), bukan seins-kategori
(kategori factual).
Baginya, hukum adalah suatu keharusan yang mengatur tingkah laku manusia sebagai mahluk rasional.
Dalam hal ini yang dipersoalkan oleh hukum bukanlah bagaimana hukum itu seharusnya (what the law
ought to be), tetapi apa hukumnya (what the lawis). Dengan demikian, walaupun itu sollenskagorie,
yang dipakai adalah hukum positif (ius constitutum), bukan yang dicita-citakan (ius constituendum).
Pada dasarnya pemikiran Kelsen sangat dekat dengan pemikiran Austin, walaupun Kelsen mengatakan
bahwa waktu ia mulai mengembangkan teori-teorinya, ia sama seklai tidak mengetahui karya Austin
(Friedmann, 1990:169). Walaupun demikian, asal-usul filosofis antara pemikiran Kelsen dan Austin
berbeda. Kelsen mendasarkan pemikirannya pada Neokantianisme, sedangkan Austin pada
Utilitarianisme.
Kelsen dimasukkan sebagai kaum Neokantian karena ia menggunakan pemikiran Kant tentang
pemisahan antara bentdan isi. Bagi Kelsen, hukum berurusan dengan bentuk (forma), bukan isi
(materia). Jadi, keadilan sebagai isi hukum berada di luar hukum. Suatu hukum dengan demikian dapat
saja tidak adil, tetapi ia tetaplah hukum karena dikeluarkan oleh penguasa.
Di sisi lain, Kelsen pun mengakui bahwa hukum posistif itu pada kenyataannya dapat saja menjadi tidak
efektif lagi. Ini biasanya terjadi karena kepentingan masyarakat yang diatur sudah tidak ada, dan
biasanya dalam keadaan demikian, penguasa pun tidak akan memaksakan penerapannya. Dalam hukum
pidana, misalnya, keadaan yang dilukiskan Kelsen seperti itu dikenal dengan istilah dekriminalisasi dan
depenalisasi, sehingga suatu ketentuan dalam hukum positif menjadi tidak mempunyai daya berlaku
lagi, terutama secara sosiologis.
Kelsen, selain dikenal sebagai pencetus Teori Hukum Murni, juga dianggap berjasa mengembangkan
Teori Jenjang (Stufentheorie) yang semula dikemukakan oleh Adolf Merkl (1836-1896). Teori ini melihat
hukum sebagai suatu sistem yang terdiri dari susunan norma berbentuk piramida. Norma yang lebih
rendah memperoleh kekuatannya dari suatu norma yang lebih tinggi. Semakin tinggi suatu norma, akan
semakin abstrak sifatnya, dan sebaliknya, semakin rendah kedudukannya, akan semakin konkret norma
tersebut. Norma yang paling tinggi, yang menduduki puncak piramida, disebut oleh Kelsen dengan nama
grundnorm (norma dasar) atau Upsprungnorm. Teori Jenjang dari Kelsen ini kemudian dikembangkan
lagi oleh muridnya bernama Hans Nawiasky. Berbeda dengan Kelsen, Nawiasky mengkhususkan
pembahasannya pada norma hukum saja. Sebagai penganut aliran hukum positif, hukum di sini pun
diartikan identik dengan perundang-undangan (peraturan yang dikeluarkan oleh penguasa). Teori dari
Naswiasky disebut die Lehre von dem Stufenaufbau der Rechtsodnung.
Karya penting Hans Kelsen antara lain berjudul The Pure Theory of Law dan General Theory of and State.
Ajaran yang dikemukakan oleh Kelsen acapkali disebut Mazhab Wina.
Sistem hukum Indonesia pada dasarnya menganut teori yang dikembangkan oleh Hans Kelsen dan
Nawiasky tersebut. Hal ini tampak jelas dalam Ketetapan MPRS RI No. XX/MPRS/1966 tentang
Memorandum DPR-GR mengenai Sumber Tertib Hukum RI dan Tata Urutan Peraturan Perundangan RI.
Ketetapan MPRS tersebut diperkuat lagi dengan Ketetapan MPR RI No. V/MPR/1973 tentang Peninjauan
Produk-Produk yang berupa Ketetapan-Ketetapan MPRS RI dan Ketetapan MPR No. IX/MPR/1978
tentang Perlunya Penyempurnaan yang Termaktub dalam Pasal 3 Ketetapan MPR RI No. V/MPR/1973.
Dua ketetapan yang disebutkan terakhir memperkuat keberlakuan Ketetapan MPRS RI No.
XX/MPRS/1966, sekalipun dengan catatan perlu diempurnakan. Sayangnya, penyempurnaan yang
diamanatkan oleh dua ketetapan tersebut sampai sekarang belum optimal, sekalipun sudah
diberlakukan Ketetapan MPR RI No. III/MPRS/2000. Beberapa ahli hukum, seperti A. Hamid S. Attamimi,
telah mencoba memberikan bebrapa catatan untuk menyempurnakan Ketetapan MPRS RI No.
XX/MPRS/1966.
3. Utilitarianisme
Utilitarianisme atau Utilisme adalah aliran yang meletakan kemanfaatkan sebagai tujuan utama hukum.
Kemanfaatan disini diartikan sebagai kebahagiaan (happiness). Jadi baik buruk atau adil tidaknya suatu
hukum, tergantung kepada apakah hukum itu memberikan kebahagiaan kepada manusia atau tidak.
Kebahagiaan ini selayaknya dapat dirasakan oleh setiap individu. Tetapi jika tidak mungkin tercapai (dan
pasti tidak mungkin), diupayakan agar kebahagiaan itu dinikmati oleh sebanyak mungkin individu dalam
masyarakat (bangsa) tersebut (the greatest happiness for greatest number of people).

Aliran ini sesungguhnya dapat pula dimasukan kedalam Positivisme Hukum, mengingat faham ini pada
akhirnya sampai pada kesimpulan tujuan hukum adalah menciptakan ketertiban masyarakat, di samping
untuk memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada jumlah orang yang terbanyak. Ini berarti
hukum merupakan pencerminan perintah penguasa juga, bukanpencerminan dari rasio semata.
Pendukung Utilitarianisme yang paling penting adalah :
a. Jeremy Bentham (1748-1832)
Bentham berpendapat bahwa alam memberikan kebahagian dan kesusahan. Manusia selalu berusaha
memperbanyak kebahagiaan dan mengurangi kesusahannya. Kebaikan adalah kebahagian, dan
kejahatan adalah kesusahan. Ada keterkaitan yang erat antara kebaikan dan kejahatan dengan kebaikan
dan kesusahan. Tugas hukum adalah memlihara kebaikan dan mencegah kejahatan. Tegasnya,
memelihara kegunaan.
Pandangan Bentham sebenarnya beranjak dari perhatiannya yang besar terhadap individu. Ia
menginginkan agar hukum pertama-tama dapat memberikan jaminan kebahagiaan individu-individu,
bukan langsung ke masyarakat secara keseluruhan. Walaupun demikian, Bentham tidak menyangkal
bahwa di samping kepentingan individu, kepentingan masyarakat pun perlu diperhatikan. Agar tidak
terjadi bentrokan, kepentingan individu dalam mengejar kebahagiaan sebesar-besarnya itu perlu
dibatasi. Jika tidak, akan terjadi apa yang disebut homo homini lupus (manusia menjadi serigala bagi
manusia lain).
Untuk menyeimbangkan antar kepentingan (individu dan masyarakat), Bentham menyarankan agar ada
simpati dari tiap-tiap individu. Walaupun demikian, titik berat perhatian harus tetap pada individu itu,
karena apabila setiap individu telah memperoleh kebahagiaannya, dengan sendirinya kebahagiaan
(kesejahteraan) masyarakat akan dapat diwujudkan secara simultan.
b. Jhon Stuar Mill (1806-1873)
Ia menyatakan bahwa tujuan manusia adalah kebahagiaan. Manusia berusaha memperoleh
kebahagiaan itu melalui hal-hal yang membangkitkan nafsunya. Jadi yang ingin dicapai oleh manusia
bukan benda atau sesuatu hal tertentu, melainkan kebahagiaan yang dapat ditimbulkannya.
c. Rudolf von Jhering (1818-1892)
Baginya tujuan hukum adalah untuk melindungi kepentingan-kepentingan. Dalam mendefinisikan
kepentingan ia mengikuti Bentham, dengan melukiskannya sebagai pengejaran kesenangan dan
menghindari penderitaan.

4. Mazhab Sejarah
a. Awal Lahirnya Mazhab Sejarah
Abad kesembilan belas merupakan masa keemasan bagi lahirnya ide-ide baru dan gerakan intelektual
dimana manusia mulai menyadari kemampuannya untuk merubah keadaan dalam semua lapangan
kehidupan. Kesadaran tersebut telah membawa perubahan cara pandang dalam melihat eksistensi
manusia. Pada masa ini manusia dipandang sebagai wujud dinamis yang senantiasa berkembang dalam
lintasan sejarah.
Di bidang hukum, abad kesembilan belas dapat dikatakan sebagai tonggak lahirnya berbagai macam
aliran atau mazhab hukum yang pengaruhnya bisa dirasakan sampai saat ini. Aliran atau mazhab hukum
yang lahir pada masa ini secara sederhana dapat diklasifikasi menjadi tiga aliran yaitu mazhab
positivisme, mazhab utilitarianisme dan mazhab historis atau sejarah.
Dalam rentang sejarah, perkembangan aliran pemikiran hukum sangat tergantung dari aliran pemikiran
hukum sebelumnya, sebagai sandaran kritik dalam rangka membangun kerangka teoritik berikutnya. Di
samping itu kelahiran satu aliran sangat terkait dengan kondisi lingkungan tempat suatu aliran itu
pertama kali muncul. Dengan kata lain lahirnya satu aliran atau mazhab hukum dapat dikatakan sebagai
jawaban fundamental terhadap kondisi kekinian pada zamannya. Sebagai contoh dapat dikemukakan
kritik positivisme dan aliran sejarah terhadap aliran hukum alam atau kritik kaum realis terhadap
positivistik. Demikian juga halnya dengan kritik yang ditujukan oleh postmodernisme terhadap
kemapanan modernisme.

Kelahiran mazhab sejarah dipelopori oleh Friedrich Carl von Savigny (1779-1861) melalui tulisannya yang
berjudul Von Beruf unserer Zeit fur Gesetzgebung und Rechtwissenschaft (Tentang Pekerjaan pada
Zaman Kita di Bidang Perundang-undangan dan Ilmu Hukum), dipengaruhi oleh dua faktor yaitu pertama
ajaran Montesqueu dalam bukunya L esprit des Lois dan pengaruh faham nasionalisme yang mulai
timbul pada awal abad ke-19. Di samping itu, munculnya aliran ini juga merupakan reaksi langsung dari
pendapat Thibaut yang menghendaki adanya kodifikasi hukum perdata Jerman yang didasarkan pada
hukum Perancis (Code Napoleon).
Menurut Friedmann aliran ini juga memberikan aksi tertentu terhadap dua kekuatan besar yang
berkuasa pada zamannya. Kedua hal tersebut menurut Friedmann adalah :
1) Rasionalisme dari abad ke-18 dengan kepercayaan terhadap hukum alam, kekuasaan akal dan prinsip-
prinsip pertama yang semuanya dikombinasikan untuk meletakkan suatu teori hukum dengan cara
deduksi dan tanpa memandang fakta historis, ciri khas nasional, dan kondisi sosial.
2) Kepercayaan dan semangat revolusi Perancis dengan pemberontakannya terhadap tradisi,
kepercayaan pada akal dan kekuasaan kehendak manusia atas keadaan-keadaan zamannya.

Sedangkan Lili Rasjidi mengatakan kelahiran alairan / mazhab sejarah merupakan reaksi tidak langsung
dari terhadap aliran hukum alam dan aliran hukum positif7. Hal pertama yang mempengaruhi lahirnya
mazhab sejarah adalah pemikran Montesqueu dalam bukunya L esprit des Lois yang mengatakan
tentang adanya keterkaitan antara jiwa suatu bangsa dengan hukumnya8.
Menurut W. Friedman gagasan yang benar-benar penting dari Lesprit des Lois adalah tesis bahwa
hukum walaupun secara samar didasarkan atas beberapa prinsip hukum alam mesti dipengaruhi oleh
lingkungan dan keadaan seperti iklim, tanah, agama, adat-kebiasaan, perdagangan dan lain sebagainya9.
Berangkat dari ide tersebut Montesqueu kemudian melakukan studi perbandingan mengenai undang-
undang dan pemerintahan. Gagasan Montesquieu tentang sistem hukum merupakan hasil dari
kompleksitas berbagai faktor empiris dalam kehidupan manusia. Ketika Montesquieu membahas
penyebab suatu negara mempunyai perangkat hukum atau struktur sosial dan politik tertentu,
dikatakan bahwa hal itu dikarenakan oleh dua faktor penyebab utama yang membentuk watak
masyarakat yaitu faktor fisik dan faktor moral. Montesquiue melihat adanya dua kekuatan yang bekerja
dalam individu secara biologis; kekuatan egoistis yang mendorong manusia untuk menuntut hak-haknya,
dan kekuatan moral yang membuatnya sebagai anggota dari kelompok sosial yang terikat pada berbagai
kewajiban disamping adanya hak-hak.

Seperti yang telah diuraikan diatas, selain dipengaruhi oleh pemikiran Montesque lahirnya mazhab
sejarah juga banyak dipengaruhi oleh semangat nasionalisme Jerman yang mulai muncul pada awal
abad ke-19. Dengan memanfaatkan momen (semangat nasionalisme), Savigny menyarankan penolakan
terhadap gagasan Tibhaut tentang kodifikasi hukum yang tersebar dalam pamfletnya Uber Die
Notwetdigkeit Eines Allgemeinen Burgerlichen Rechts Fur Deutschland (Keperluan akan adanya
kodifikasi hukum perdata negara Jerman).
Dalam suasana demikian, Savigny mendapatkan lahan subur untuk membumikan ajarannya yang
mengatakan bahwa hukum itu tumbuh dan berkembang bersama masyarakat. Dan oleh karenanya
setiap bangsa memiliki volgeist (jiwa rakyat) yang berbeda, maka hukum suatu negara tidak dapat
diterapkan bagi negara lain, meskipun negara lain itu adalah bekas jajahanya. Dalam kaitan inilah
kemudian Savigny mengatakan, adalah tidak masuk akal jika terdapat hukum yang berlaku universal
pada semua waktu. Hukum yang sangat tergantung atau bersumber kepada jiwa rakyat tersebut dan
yang menjadi isi dari hukum itu ditentukan oleh pergaulan hidup manusia dari masa ke masa (sejarah).
b. Inti Ajaran Mazhab Sejarah
Inti ajaran Madzab Sejarah yang didirikan oleh Savigny ini terdapat dalam bukunya von Beruf Ungerer
Zeit fur Gesetzgebung und Rechtswissenschaft (Tentang Tugas Zaman Kita Bagi Pembentuk Undang-
undang dan Ilmu Hukum) antara lain dikatakan :
1) Das Recht wird nicht gemacht, est ist und wird mit dem volke (Hukum itu tidak dibuat, tetapi tumbuh
dan berkembang bersama masyarakat).
2) Ajaran Savigny tersebut dilatarbelakangi oleh pandangannya yang mengatakan bahwa di dunia ini
terdapat banyak bangsa dan pada tiap bangsa mempunyai Volkgeist / jiwa rakyat. Perbedaan ini juga
sudah barang tentu berdampak pada perbedaan hukum yang disesuaikan dengan tempat dan waktu.
Hukum sangat bergantung atau bersumber pada jiwa rakyat dan isi hukum itu ditentukan oleh
pergaulan hidup manusia dari masa ke masa.
3) Hukum menurut pendapat Savigny berkembang dari suatu masyarakat yang sederhana yang
pencerminannya tampak dalam tingkah laku semua individu kepada masyarakat yang modern dan
kompleks dimana kesadaran hukum rakyat itu tampak pada apa yang diucapkan oleh para ahli
hukumnya.
Pokok-pokok ajaran madzab historis yang diuraikan Savigny dan beberapa pengikutnya dapat
disimpulkan sebagai berikut :
1) Hukum ditemukan, tidak dibuat. Pertumbuhan hukum pada dasarnya adalah proses yang tidak
disadari dan organis; oleh karena itu perundang-undangan adalah kurang penting dibandingkan dengan
adat kebiasaan.
2) Karena hukum berkembang dari hubungan-hubungan hukum yang mudah dipahami dalam
masyarakat primitif ke hukum yang lebih kompleks dalam peradaban modern kesadaran umum tidak
dapat lebih lama lagi menonjolkan dirinya secara langsung, tetapi disajikan oleh para ahli hukum yang
merumuskan prinsip-prinsip hukum secara teknis. Tetapi ahli hukum tetap merupakan suatu organ dari
kesadaran umum terikat pada tugas untuk memberi bentuk pada apa yang ia temukan sebagai bahan
mentah (Kesadaran umum ini tampaknya oleh Scholten disebut sebagai kesadaran hukum). Perundang-
undangan menyusul pada tingkat akhir; oleh karena ahli hukum sebagai pembuat undang-undang relatif
lebih penting daripada pembuat undang-undang.
3) Undang-undang tidak dapat berlaku atau diterapkan secara universal. Setiap masyarakat
mengembangkan kebiasaannya sendiri karena mempunyai bahasa adat-istiadat dan konstitusi yang
khas. Savigny menekankan bahwa bahasa dan hukum adalah sejajar juga tidak dapat diterapkan pada
masyarakat lain dan daerah-daerah lain. Volkgeist dapat dilihat dalam hukumnya oleh karena itu sangat
penting untuk mengikuti evolusi volkgeist melalui penelitian hukum sepanjang sejarah.
Dalam perkembangannya, mazhab sejarah ini mengalami modifikasi oleh pengikutnya Maine
mengetengahkan teorinya yang mengatakan bahwa hukum berkembang dari bentuk status ke kontrak,
sejalan dengan perkembangan masyarakat dari sederhana ke masyarakat kompleks dan modern. Pada
masyarakat modern hubungan antara para anggota masyarakat dilakukan atas dasar sistem hak dan
kewajiban yang tertuang dalam bentuk suatu kontrak yang dibuat secara sadar dan sukarela oleh pihak-
pihak yang berkenaan. Dengan demikian, Maine sebenarnya tidak menerima konsep VolkgeistSavigny
yang dianggapnya sebagai suatu konsep yang diselibungi mistik. Maine justru mengembangkan suatu
tesis yang mengatakan bahwa perjalanan masyarakat menjadi progresif disitu terlihat adanya
perkembangan situasi yang ditentukan oleh status kepada pengguna kontrak.
Selanjutnya Maine mengatakan tentang adanya masyarakat yang statis dan progresif. Masyarakat yang
statis adalah masyarakat yang mampu mengembangkan hukum sendiri melalui melalui 3 cara, yaitu fiksi,
equity, dan perundang-undangan. Pandangan terakhir inilah yang oleh beberapa penulis hukum
digunakan untuk membedakan Maine dengan Savigny. Tampaknya Maine tidak mengesampingkan
peranan perundangan dan kodifikasi dalam pengembangan hukum pada masyarakat yang telah maju.
5. Sociological Jurisprudence
Aliran ini berkembang di Amerika, pada intinya aliran ini hendak mengatakan bahwa hukum yang baik
adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Kata sesuai diartikan sebagai
hukum yang mencerminkan nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat. Menurut aliran Sociological
Jurisprudence ini, hukum yang abik haruslah hukum yang sesuai dengan yang hidup di masyarakat.
Aliran ini memisahkan secara tegas antara hukum positif (the positive law) dan hukum yang hidup (the
living law).
Aliran Sociological Jurisprudence berbeda dengan sosiologi hukum. Dengan rasio demikian, sosiologi
hukum merupakan cabang sosiologi yang mempelajari hukum sebagai gejala sosial,
sedangkan Sociological Jurisprudence merupakan suatu mazhab dalam filsafat hukum yang mempelajari
pengaruh timbal balik antara hukum dan masyarakat dan sebaliknya. Sosiologi hukum sebagai cabang
sosiologi yang mempelajari pengaruh masyarakat kepada hukum dan dan sejauh mana gejala-gejala
yang ada dalam masyarakat dapat mempengaruhi hukum di samping juga diselidiki juga pengaruh
sebaliknya, yaitu pengaruh hukum terhadap masyarakat. Dari 2 (dua) hal tersebut di atas (sociological
jurisprudence dan sosiologi hukum) dapat dibedakan cara pendekatannya. Sociological jurisprudence,
cara pendekatannya bertolak dari hukum kepada masyarakat, sedang sosiologi hukum cara
pendekatannya bertolak dari masyarakat kepada hukum.
Tokoh utama aliran Sociological Jurisprudence, Roscoe Pound menganggap bahwa hukum sebagai alat
rekayasa sosial dan alat control masyarakat (Law as a tool of social engineering and social controle) yang
bertujuan menciptakan harmoni dan keserasian agar secara optimal dapat memenuhi kebutuhan dan
kepentingan manusia dalam masyarakat. Keadilan adalah lambang usaha penyerasian yang harmonis
dan tidak memihak dalam mengupayakan kepentingan anggota masyarakat yang bersangkutan. Untuk
kepentingan yang ideal itu diperlukan kekuatan paksa yang dilakukan oleh penguasa negara.
Pendapat/pandangan dari Roscoe Pound ini banyak persamaannya dengan aliran Interessen
Jurisprudence. Primat logika dalam hukum digantikan dengan primat pengkajian dan penilaian
terhadap kehidupan manusia (Lebens forschung und Lebens bewertung), atau secara konkritnya lebih
memikirkan keseimbangan kepentingan-kepentingan (balancing of interest, private as well as public
interest).
Roscoe Pound juga berpendapat bahwa living law merupakan synthese dari these positivisme hukum
dan antithese mazhab sejarah. Maksudnya, kedua liran tersebut ada kebenarannya. Hanya hukum yang
sanggup menghadapi ujian akal agar dapat hidup terus. Yang menjadi unsur-unsur kekal dalam hukum
itu hanyalah pernyataan-pernyataan akal yang terdiri dari atas pengalaman dan diuji oleh pengalaman.
Pengalaman dikembangkan oleh akal dan akal diuji oleh pengalaman. Tidak ada sesuatu yang dapat
bertahan sendiri di dalam sistem hukum. Hukum adalah pengalaman yang diatur dan dikembangkan
oleh akal, yang diumumkan dengan wibawa oleh badan-badan yang membuat undang-undang atau
mensahkan undang-undang dalam masyarakat yang berorganisasi politik dibantu oleh kekuasaan
masyarakat itu.
Tokoh lain aliran Sociological Jurisprudence adalah Eugen Ehrlich (1862-1922), ia beranggapan bahwa
hukum tunduk pada ketentuan-ketentuan sosial tertentu. Hukum tidak mungkin efektif, oleh karena
ketertiban dalam masyarakat didasarkan pengakuan sosial terhadap hukum, dan bukan karena
penerapannya secara resmi oleh Negara.
6. Realisme Hukum
a. Sejarah Kemunculan
Qodri Azizy mengatakan bahwa aliran realisme muncul bermula dari adanya penolakan terhadap aliran
positivisme. Gagasan yang dilontarkan adalah pernyataan bahwa kalau positivisme hukum merupakan
teori hukum yang benar maka teori itu akan mencakup semua hukum, termasuk menangani kasus-kasus
berat (hard cases). Ternyata kasus-kasus berat ini tidak diatur oleh aturan-aturan yang ada. Atau dengan
pertanyaan apakah legal positivism menyediakan teori yang benar mengenai putusan peradilan,
khususnya dalam menyelesaikan kasus-kasus berat? ternyata pertanyaan ini merupakan problem yang
sukar dipecahkan bagi pengikut positivisme.
Austin sebagai pelopor positivisme hukum, menyatakan bahwa hukum adalah perintah penguasa yang
berdaulat, sedangkan Hans Kelsen menyatakan bahwa hukum adalah kehendak dari negara. Atau
dengan kata lain, menyatakan bahwa hukum adalah sesuatu yang positif yakni undang-undang (positive
law) dan hukum kebiasaan (positive morality). Tetapi positive morality bisa menjadi hukum apabila telah
dikukuhkan menjadi undang-undang oleh pejabat yang berwenang (Badan Legislatif).
Menanggapi hal ini, tokoh-tokoh legal realism yang berasal dari kalangan praktisi hukum, yakni Holmes
(1841-1935), Jerome Frank (1859-1957) dan seorang ahli ilmu sosial, Karl Nickerson Llewellyn (1893-
1962), melihat kenyataan bahwa tidak semua kasus yang ada di pengadilan, khususnya kasus-kasus
berat diatur dalam undang-undang. Sehingga pada kenyataannya hakim mempunyai peranan yang lebih
bebas untuk memilih dan menentukan serta lebih kreatif dalam penerapan hukum dari pada sekadar
mengambil aturan-aturan yang dibuat oleh penguasa (undang-undang).
Dalam praktiknya ternyata faktor seperti temperamen psikologis hakim, kelas sosial dan nilai-nilai yang
ada pada hakim lebih berfungsi dalam pengambilan keputusan hukum dari pada aturan-aturan yang
tertulis.
Sehubungan dengan hal ini, W. Friedmann menjelaskan bahwa menjelang abad ke-19 terjadi sikap
skeptisisme yang sehat, yang mengecam rasa puas diri para penganut ilmu hukum analitik. Idealisme
hukum baru yang terdiri dari sebagian metafisis dan sebagian sosiologis, membelok dan mulai
menentang positivisme analitis dan berbalik mulai menyelidiki realitas dalam masyarakat modern dalam
hubungannya dengan hukum modern. Pragmatisme merupakan rumusan baru dari filsafat yang sangat
tua, yang mendorong ke arah pendekatan baru pada hukum yang melihat ke arah barang-barang yang
terakhir, hasil-hasil, dan akibat-akibat.
Gerakan realis mulai melihat apa sebenarnya yang dikehendaki hukum dengan menghubungkan kedua
sisinya, seperti fakta-fakta dalam kehidupan sosial. Realisme yang berkembang di Amerika Serikat
menjelaskan bagaimana pengadilan membuat putusan. Penemuan mereka mengembangkan formula
dalam memprediksi tingkah laku hakim (peradilan) sebagai suatu fakta (kenyataan). Jadi, hal yang pokok
dalam ilmu hukum realis adalah gerakan dalam pemikiran dan kerja tentang hukum. Ciri-ciri dari
gerakan ini, Llewellyn menyebut beberapa hal, yang terpenting diantaranya :
1) Tidak ada mazhab realis, realisme adalah gerakan dalam pemikiran dan kerja tentang hukum.
2) Realisme adalah konsepsi hukum yang terus berubah dan alat untuk tujuan-tujuan sosial, sehingga
tiap bagian harus diuji tujuan dan akibatnya. Realisme mengandung konsepsi tentang masyarakat yang
berubah lebih cepat daripada hukum.
3) Realisme menganggap adanya pemisahan sementara antara hukum yang ada dan yang seharusnya
ada untuk tujuan-tujuan studi. Pendapat-pendapat tentang nilai harus selalu diminta agar tiap
penyelidikan ada sasarannya, tetapi selama penyelidikan, gambaran harus tetap sebersih mungkin,
karena keinginan-keinginan pengamatan atau tujuan-tujuan etis.
4) Realisme tidak percaya pada ketentuan-ketentuan dan konsepsi-konsepsi hukum, sepanjang
ketentuan dan konsepsi itu menggambarkan apa yang sebenarnya dilakukan oleh pengadilan-pengadilan
dan orang-orang. Realisme menerima peraturan-peraturan sebagai ramalan-ramalan umum tentang
apa yang akan dilakukan oleh pengadilan-pengadilan.
5) Realisme menekankan pada evolusi tiap bagian dari hukum dengan mengingat akibatnya.
Llewellyn sebagai salah satu tokoh pragmatic legal realism, mengalisa perkembangan hukum di dalam
kerangka hubungan antara pengetahuan-pengetahuan hukum dengan perubahan-perubahan keadaan
masyarakat. Hukum merupakan bagian dari kebudayaan yang antara lain mencakup kebiasaan, sikap-
sikap maupun cita-cita yang ditransmisikan dari suatu generasi tertentu ke generasi berikutnya. Dengan
kata lain, hukum merupakan bagian kebudayaan yang telah melembaga. Lembaga-Lembaga tersebut
telah terorganisir dan harapannya terwujud di dalam aturan-aturan eksplisit yang wajib ditaati serta
didukung oleh para ahli.
Jadi yang namanya hukum itu bukan hanya yang tertulis dalam undang-undang atau ketentuan dan
peraturan tertulis, namun lebih besar ditentukan oleh hakim di pengadilan yang pada umumnya
didasarkan pada kenyataan di lapangan. Hakim punya otoritas untuk menentukan hukum ketika
menjatuhkan putusan di pengadilan, meskipun putusannya itu dalam beberapa hal tidak selalu sama
dengan apa yang tertulis dalam undang-undang atau aturan lainnya. Sehubungan dengan itu moralitas
hakim sangat menentukan kualitas hukum yang merupakan hasil putusan pengadilan itu. Dengan
demikian, tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa suatu kasus tidak dapat diadili karena belum ada
hukum tertulis yang mengaturnya.

b. American Legal Realism


Realisme Amerika Serikat adalah merupakan pendekatan seara pragmatis dan behaviouristis terhadap
lembaga-lembaga sosial. Para ahli hukum Amerika mengembangkan cara pendekatan tersebut dengan
meletakkan tekanan pada putusan-putusan pengadilan dan tindakan-tindakan hukum.
Sumber hukum utama aliran ini adalah putusan hakim, hakim lebih sebagai penemu hukum daripada
pembuat hukum yang mengandalkan peraturan perundang-undangan, apabila dibandingkan dengan
cara berpikir aliran positivisme sangat bertentangan karena memang aliran relisme ini merupakan reaksi
dari aliran positivisme yang lebih menekan hukum hanya sebagai segala sesuatu yang tertuang dalam
undang-undang dan aliran realisme ini berusaha untuk merubah cara pandang para ahli hukum di
Amerika. Kaum realisme Amerika menganggap bahwa hukum itu sebagai praktek (law in action) hukum
itu adalah suatu pengalaman dan menganggap hukum itu harus bebas dari nilai-nilai.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Llewellyn, suatu institusi hukum harus memiliki pengalaman yang
banyak dan para pekerja hukum dituntut untuk memiliki kemampuan/keahlian untuk mengintepretasi
hukum. Tokoh realisme Amerika lain yaitu Oliver Wendell Holmes berpendapat yang dimaksud dengan
hukum adalah tindakan dari pengadilan terhadap fakta hukum yang terjadi, pandangan hukum sebagai
prediksi apa yang akan diputuskan oleh pengadilan ini yang menekankan realisme di Amerika bersifat
pragmatis dan empiris.
Menurut John Dewey tujuan dari realisme di Amerika ini dimaksudkan untuk menyelidiki bagaimana
hukum bekerja dan bagaimana dipergunakan dengan sesungguhnya hukum, yaitu dengan cara
mengaitkan hukum dengan fakta kehidupan yang ada dalam masyarakat. Aliran realisme di Amerika ini
menuntut pemenuhan kebutuhan hukum terhadap gejolak-gejolak yang terjadi dalam masyarakat jadi
apabila hukum itu hanya mengacu pada suatu aturan yang tetap maka seakan-akan merupakan prinsip-
prinsip logika, dengan prinsip tersebut hakim menjatuhkan putuskan. Jerome Frank dalam tulisannya
Law and The Modern Mind hukum itu harus selalu ditemukan, karena apabila hakim dalam
memutuskan suatu perkara hanya didasarkan pada undang-undang sesungguhnya hakim itu hanya
menipu dirinya dengan menyembunyikan fakta bahwa tiap-tiap perkara berbeda-beda jenis fakta
hukumnya dan menuntut suatu putusan yang berbeda-beda pula. Frank juga menyatakan bahwa dalam
mengambil keputusan hakim dipengaruhi faktor politik, ekonomi, moral, simpati, dan antipati namun itu
semua hanya sekedar dijadikan pertimbangan.
Aliran realisme di Amerika juga mendapat pengaruh yang sangat besar dari tokoh Llewellyn, dalam
bukunya The Common Law Traditional, Llewellyn mengembangkan suatu pemikiran bahwa setiap
institusi hukum (hakim, jaksa, pengacara dan pemerintah) harus memiliki keterampilan dalam
menafsirkan hukum dan disini Llewellyn menuntut dibutuhkannya logika, dan dalam bukunya tersebut
Llewellyn membagi dua konsep pemikiran yang dapat diprektekan di pengadilan Amerika yaitu Grand
style, tipe ini diterapkan pada saat pengadilan tingkat banding dimana hakim di Amerika dalam
membuat suatu keputusan lebih menekankan pada logika dan keadaan disekitarnya, dan hakim pada
tingkat banding tidak meniru putusan hakim terdahulu dan mempelajari kembali yang melatarbelakangi
hakim terdahulu dalam menjatuhkan putusan. Formal Style sebaliknya tipe ini lebih bersifat otoriter,
formal dan logika, hakim dalam membuat suatu keputusan diberikan ruang untuk menggunakan logika
namun hanya sebatas sebagaimana yang terdapat dalam undang-undang, Formal Style tidak perduli
pada fakta-fakta sosial.
Pada selanjutnya pemikiran Grand Style dan Formal Style ini sangat mempengaruh situasi
perkembangan hukum di Amerika, pada abad ke-19 Grand Style sempat diterapkan di pengadilan
Amerika dan berkembang ke bentuk Formal Style, hal ini memunculkan komentar dari Llewellyn yang
mengharapkan pengadilan di Amerika kembali kepada Grand Style karena hakim dalam memutuskan
perkara perlu melihat situasi yang ada di dalam suatu masyarakat. Namun sayangnya dari pemikiran
Llewellyn ini memunculkan suatu tanggapan bahwa dengan hakim diberikan kesempatan untuk
menggunakan logika dan mempertimbangkan kondisi yg ada dimasyarakat dalam menjatuhkan
keputusan menimbulkan keanekaragaman putusan hukum terhadap satu perkara sehingga tidak ada
patokan hukum yang baik itu seperti apa sehingga masyarakat dapat menerimanya.
Menurut K. Llewellyn dalam bukunya Using The New Jurisprudence apa yang telah dikatakan mungkin
dapat disimpulkan bahwa hakim dan para pejabat ini tidak sepenuhnya bebas dan tidak harus
sepenuhnya bebas membagi pada analisis dan pemeriksaan lebih dekat menjadi dua fakta. Satu fakta
yang berkaitan dengan kontrol menahan diri, menahan hakim dan pejabat, fakta lain yang bersangkutan
dengan memungkinkan untuk mereka dari tingkat yang terbatas dan jenis terbatas dari kelonggaran dan
meletakkan pada mereka tugas untuk latihan mereka ujung keterampilan dan penilaian dalam
kelonggaran dalam menterjemahkan satu kasus. Kedua fakta ini harus dilihat dan keduanya harus
diperhitungkan oleh yurisprudensi yang bertujuan untuk menutupi fakta yang jelas dan kebijakan
diselesaikan dari sistem hukum kita, karena ada dua jenis kebebasan pejabat pengadilan atau lainnya
yang datang dalam pertanyaan dan jenis kedua yang sangat berbeda itu adalah fakta dalam sistem
hukum kita bahwa hakim tidak berarti bebas untuk menjadi sewenang-wenang dan kebutuhan vital kita
bahwa mereka tidak harus gratis menjadi sewenang-wenang telah tertangkap ke dalam alasan-alasan
atau doktrin tentang hukum dan bukan laki-laki dan tentang aturan menentukan kasus tetapi juga
kenyataan bahwa sistem hukum kita tidak menyesuaikan dengan kasus individu dan perubahan kondisi
kita dan lembaga-lembaga dan fakta itu berarti bahwa hakim dan pejabat lainnya bebas untuk beberapa
derajat nyata untuk bersikap adil dan bijaksana dan bahwa kita memiliki kebutuhan vital bahwa para
hakim dan pejabat lainnya akan terus menjadi nyata untuk beberapa derajat bebas untuk menjadi
bijaksana dan hanya fakta yang terjadi namun tidak telah terjebak ke sebuah alasan yang sama tajam
atau sama berharga atau doktrin. Namun hal yang tidak kalah penting dari sistem hukum kita dan tugas
hakim kita, ada hukum yang kita rasakan juga impersonal dan dianggap sebagai hasil pemikiran keras
untuk menemukan hukum.
Llewellyn dalam bukunya yg berjudul My Philosophy of Law menjelaskan ada waktu ketika hukum
menjadi perhatian para filsuf dan dipahami sebagai bagian dari filosofi ada kekhawatiran baru-baru ini
antara para ilmuwan sosial dengan hukum sebagai ilmu sosial. Pengacara menganggap hukum sebagai
kerajinan dan sebagai profesi. Negarawan telah mengenal hukum sebagai salah satu aspek kunci dari
masyarakat sebagai panduan, sebagai alat. Dalam hukum kebenaran masing-masing hal-hal yang telah
disebutkan adalah hal yang lebih pada bagian besar dari perselisihan antara jurisprudensi kehilangan
banyak makna dan jika fase hukum yang secara khusus untuk satu dan lain menjadi hubungan dengan
hukum secara keseluruhan.
Hal yang dianggap penting adalah lembaga yang berkembang, dan lembaga yang diperlukan dalam
masyarakat. Sebuah lembaga tentu saja tidak pernah terdiri dari aturan sendiri ataupun cita-cita saja,
aturan sebagai salah satu bagiannya. Dalam kasus hukum, institusi mengandung salah satu bagian tubuh
yang luar biasa dan sangat penting dari aturan, terorganisir (cukup longgar) di sekitar konsep dan
ditekankan melalui prinsip-prinsip. Paduan aturan-aturan dan prinsip-prinsip hukum yang tepat, ada
aturan lain dan konsep lainnya, teknik dirumuskan preseden konstruksi dan sejenisnya untuk
membimbing manipulasi lembaga hukum. Setiap lembaga hukum akan mengandung ideologi dan ide
meresap kuat dan tidak secara eksplisit. Sebagian besar implisit, dan yang lulus hampir tidak disebutkan
dalam buku.

c. Scandinavian Legal Realism


Aliran Scandinavia condong pada ideologi social welfare, dimana hal ini terlihat jelas dalam tulisan-
tulisan Lundstedt, meskipun dia tidak pernah mengakui bahwa pemikirannya dipengaruhi oleh ideologi.
Hagerstorm dipandang sebagai bapak dari aliran ini, meskipun masih terdapat beberapa tokoh lain yang
sangat berpengaruh dan terkenal yakni Olivecrona, Lundstet dan Ross.
Menurut Lloyd D. dan Freeman, terdapat beberapa pokok-pokok pikiran penting yang menjadi
mainstream dari aliran ini, antara lain:
1) Law as Fact
Aliran ini berkeyakinan bahwa hukum hanya bisa dijelaskan melalui fakta-fakta yang bisa diobservasi,
dan studi tentang fakta ini yang disebut dengan ilmu pengetahuan hukum karenanya merupakan
sebuah ilmu pengetahuan sebagaimana ilmu pengetahuan lain yang peduli dan memfokuskan diri pada
fakta dan kejadian dalam hubungan sebab-akibat. Oleh karena itu, keyakinan tentang kekuatan
mengikat, kebenaran hukum, eksistensi hak dan kewajiban, keyakinan tentang hak properti dipisahkan
dari khayalan dan dunia metafisika.
Bagi Olivecrona, aturan hukum merupakan perintah yang independen yang termanifestasikan dalam
bentuk perintah, namun tidak seperti perintah yang berasal dari seseorang. Hukum termanifestasikan
dalam rasa dari rangkaian kalimat dalam undang-undang, dan ditangkap oleh alam pikiran manusia
dan selanjutnya mempengaruhi tingkah laku manusia. Lundstedt menambahkan bahwa aturan hukum
hanyalah sebuah prosedur untuk mencapai tujuan tertentu (dalam hal ini adalah kesejahteraan sosial).
Lundstedt memandang bahwa hak dan kewajiban hanyalah merupakan konklusi hukum. Dia
mencontohkan bahwa hak atas properti sebenarnya hanyalah tiadanya resiko hukum bagi pemilik
properti untuk melakukan tindakan-tindakan atas properti tersebut. Dengan demikian, property right
tidak muncul dari das sollen, melainkan dari das Sein.
2) Theory of Law
Ross membedakan 2 jenis ilmu hukum, pertama hukum dalam arti yang dimuat dalam undang-undang,
dan kedua kalimat-kalimat dalam buku dimana hukum dinyatakan. Kategori pertama bersifat
menentukan, sedangkan yang kedua lebih mengarah kepada pengetahuan tentang apa hukum yang
sebenarnya yang berisi pernyataan dan penjelasan. Bagi Ross, validitas hukum adalah serangkaian
abstrak dari ide-ide normatif yang disajikan dalam sebuah skema intepretasi atas fenomena hukum
dalam kenyataan, yang dimaksdukan untuk memprediksikan aktifitas para hakim. Dia menyatakan
bahwa norma hukum utamanya ditujukan bukan kepada seluruh masyarakat, namun merupakan
petunjuk kepada hakim.
Aturan hukum adalah aturan tentang penggunaan kekuatan dan ditujukan kepada para pejabat terkait.
Contoh, larangan membunuh, merupakan petunjuk bagi hakim dan beberapa instansi pemerintah dalam
berurusan dengan kasus-kasus pembunuhan yang diajukan kepada mereka. Dalam pandangan Ross,
semakin efektif pemenuhan aturan oleh masyarakat, maka semakin sulit untuk mengukur validitas
hukumnya, karena pengadilan tidak memiliki kesempatan untuk menunjukkan reaksinya. Oleh karena
itu, dia mengatakan bahwa hukum adalah valid jika hakim menganggapnya mengikat. Namun, pemikiran
Ross ini dianggap banyak menimbulkan persoalan karena dianggap sulit untuk menyelidiki pemikiran
hakim.
3) Prinsip-prinsip verifiabilitas
Bagi aliran realisme merupakan hal yang tidak bisa ditawar, dan menolak metafisika. Dalam hal ini,
terdapat kemiripan antara aliran ini dengan legal positivism. Ross mengatakan bahwa hanya ada satu
dunia dan satu kognisi (kesadaran). Seluruh ilmu pengetahuan (termasuk ilmu pengetahuan hukum)
hanya memustakan perhatian kepada fakta, seluruh dalil ilmu pengetahuan menyangkut realitas, dan
seluruh yang tidak sepenuhnya logis (matematis) selalu merujuk kepada uji pengalaman. Studi hukum
doktrinal bagi Ross dianggap sebagai ilmu pengetahuan sosial empirik. Dia juga mengatakan bahwa
makna diberikan terhadap fakta yang dapat diferivikasi, sehingga dalil-dalil yang tidak dapat diverifikasi
maka tidak bermakna. Namun demikian, Lloyd D. Dan Freeman menganggap bahwa pandangan Ross ini
bermasalah dengan pemahaman tentang kegunaan bahasa, yang menurutnya bersifat tunggal. Padahal
dalam kenyataannya kegunaan bahasa dapat bermacam-macam. Meskipun demikian, dalam
perkembangan berikutnya, aliran ini lebih bersikap toleran terhadap keragamaan kegunaan bahasa.
MacCormak mengatakan bahwa keragaman fungsi bahasa dan realitas psikologis dari keyakinan dan
perasaan adalah elemen utama dari penjelasan Ross dan Olivecrona mengenai aturan hukum dan
viliditasnya, dan juga hak-hak hukum. Ross membuat 3 perbedaan atas perkataan yang digunakan dalam
aturan hukum indicative, directive dan emotive. Sedangkan Olivecrona membedakan bahasa hukum ke
dalam 2 kategori technical (yang bersifat pasif), dan performative (yang bersifat kreatif).
4) Asal mula hukum
Dalam pandangan Olivecrona, asal mula hukum sejatinya adalah pertanyaan tentang asal mula histori
dan faktual tentang perkembangan aturan yang luar biasa, bersifat magis-religius yang ditemukan
dalam masyarakat kuno.
5) Reductionism dan legal concept
Menurut Ross, konsep dapat selalu direduksi dengan analisa atas serangkaian dalil yang setara, atau
dapat disubstitusikan.
6) Feature of law
Menurut Olivecrona, kinerja sistem hukum tidaklah mistis, atau didasarkan pada enititas yang fiktif,
misalnya negara atau sifat mengikat dari hukum. Dia beranggapan bahwa hukum diproduksi oleh
sekumpulan orang yang berada dalam sebuah organisasi negara yang mampu menjalankan hukum
melalui kekuatan pemaksa yang dimilikinya, dan sekumpulan orang di lembaga legislatif yang dapat
menghadirkan tekanan psikologis terhadap masyarakat.

7) Hukum dan moralitas


Dalam pemikiran aliran Skandinavia, gagasan-gagasan moral sebenarnya dibentuk oleh hukum. Hukum
menjadi faktor utama yang mempangaruhi standard moral, terutama karena kemampuannya untuk
menggunakan kekuatan untuk menegakkanya. Teori ini memang sangat rentan untuk diperdebatkan,
terutama jika dipertanyakan tentang mana yang lebih dulu hadir, apakah moral ataukah hukum.
8) Ideologi hukum (method of Justice dan Social Welfare)
Kebanyakan kelompok realis mendukung konsep legal ideology atau method of justice dengan
menyandarkan diri pada tujuan material hukum, mengutamakan sistem hukum yang aktual, sehingga
menolak aspek metafisika, atau penggunaan hukum alam atau nilai keadilan sebagai parameter
penilaian objektif, karena menurut aliran realis, sebuah penilaian pastilah subjektif. Bagi Lundstedt,
jurisprudence haruslah berdasarkan observasi atas fakta, bukannya berdasarkan atas penilaian
individual atau metafisika.
7. Sosilogy of Law
Pemikiran Sosiologi ditandai oleh karakter seperti, pertama bahwa pandangan hukum sebagai suatu
metode kontrol sosial. Kedua, di samping itu para ahli hukum sosiologis sangat skeptis dengan aturan-
aturan yang ada dalam buku teks hukum yang terkodifikasi, karena yang utama adalah hukum dalam
kenyataan aktualnya. Ketiga adalah para ahli hukum sosiologis pada umumya sepakat bahwa pentingnya
memanfaatkan ilmu sosial, termasuk sosiologi.

Pada tataran teoritik terdapat istilah Sociology of Law sedangkan pada tataran filsafat dipergunakan
istilah Sociological Jurisprudence. Meskipun secara sepintas ada kesamaan antara Sociology of
Lawdengan Sociological Jurisprudence, dan keduanya memang tidak dapat dipisahkan, tetapi keduanya
harus dibedakan. Sociology of Law adalah bagian atau cabang Ilmu Sosiologi (Ilmu-Ilmu Manusia)
dengan obyek studinya tentang hukum, sedangkan Sociological Jurisprudence termasuk cabang ilmu
filsafat hukum yang mempelajari hubungan timbal balik antara pengaruh hukum dan masyarakat.
Kesamaan antara Sociology of Law dan Sociological Jurisprudence terletak pada optik yang dipakai yaitu
sama-sama menggunakan perpektif sosial dalam memahami hukum.
Sociological Jurisprudence sebagai salah satu aliran pemikiran filsafat hukum menitikberatkan pada
hukum dalam kaitannya dengan masyarakat. Menurut aliran ini hukum yang baik haruslah hukum yang
sesuai dengan hukum yang hidup di antara masyarakat. Aliran ini secara tegas memisahkan antara
hukum positif dengan (the positive law) dengan hukum yang hidup (the living law). Roscoe Pound (1870-
1964) merupakan salah satu eksponen dari aliran ini. Sociology of law merupakan bagian dari disiplin
ilmu sosiologi yang pada dasarnya merupakan salah satu ilmu deskriptif dan tekniknya bersifat empiris
tidak juridis, jadi melihat hukum dari luar tatanan ilmu hukum.
Erlich dalam bukunya yang berjudul Grundlegung der Sociological Rechts mengatakan bahwa masyrakat
adalah ide umum yang di gunakan untuk menandakan semua hubungan sosial seperti keluarga, desa,
lembaga-lembaga sosial, negara, bangsa, sistem ekonomi maupun sistem hukum dan sebagainya. Erlich
memandang semua hukum sebagai hukum sosial, tetapi dalam arti bahwa semua hubungan hukum
ditandai oleh faktorfaktor sosial ekonomis. Sistem ekonomis yang digunakan dalam produksi, distribusi,
dan konsumsi bersifat menentukan bagi pembentukan hukum.
Dalam bukunya An Introduction to the Philosophy of Law, Pound menegaskan bahwa hukum itu
bertugas untuk memenuhi kehendak masyarakat yang menginginkan keamanan yang menurut
pengertian yang paling rendah dinyatakan sebagai tujuan ketertiban hukum. Dalam kaitannya dengan
penerapan hukum Pound menjelaskan tiga langkah yang harus dilakukan :
1. menemukan hukum;
2. menafsirkan hukum; dan
3. menerapkan hukum.
Dari sini dapat kita lihat Pound hendak mengedepankan aspek-aspek yang ada di tengah-tengah
masyarakat untuk diangkat dan diterapkan ke dalam hukum. Bagi aliran Sociological Jurisprdence titik
pusat perkembangan hukum tidak terletak pada undang-undang, putusan hakim, atau ilmu hukum,
tetapi terletak pada masyarakat itu sendiri. Dalam proses mengembangkan hukum harus mempunyai
hubungan yang erat dengan nilai-nilai yang dianut dalam masyarakat bersangkutan. Lebih lanjut Roscoe
Pound berpendapat hukum adalah alat untuk memperbaharui (merekayasa) masyarakat (law as a tool of
social engineering). Untuk dapat memenuhi peranannya tersebut Pound mengedepankan rasa keadilan
yang ada di masyarakat. Pandangan aliran Sociological Jurisprudence, dapat dirumuskan sebagai berikut
. Hukum itu dianggap sebagai satu lembaga sosial untuk memuaskan kebutuhan masyarkat,
tuntutan, permintaan dan pengharapan yang terlibat dalam kehidupan masyarakat.. Dengan
demikian dapat dipahami bahwa ekspektasi yang hidup di masyarakat termasuk di dalamnya nilai-nilai
keadilan yang ada harus dikedepankan demi terwujudnya tatanan hukum.

Dilihat dari pengertian mengenai Sociological Jurisprudence & The Sociology of Law, meskipun dalam
penerapannya, Sociological Jurisprudence memiliki kelebihan yaitu berkembangnya penafsiran ilmu
hukum sesuai dengan pemikiran masyarakat sosial, namun juga memiliki kekurangan karena pada
dasarnya, tidak terdapat acuan mengenai hukum itu sendiri karena pengertian masyarakat terhadap
ilmu hukum terus berubah seiring dengan perkembangan pemikiran masyarakat dan perbedaan
pendapat di dalam masyarakat itu sendiri, sehingga terjadi suatu ketidakpastian hukum.
8. Freirechtslehre
Freirechtslehre (Ajaran Hukum Bebas ) merupakan penentang paling keras Positivisme Hukum. Dalam
penentangan terhadap positivisme hukum, freirechtslehre sejalan dengan kaum Realis Amerika Serikat.
Hanya saja jika aliran Realisme menitikberatkan pada penganalisaan hukum sebagai kenyataan dalam
masyarakat, maka freirechtslehre tidak berhenti sampai di situ. Aliran Hukum Bebas berpendapat bahwa
hakim mempunyai tugas menciptakan hukum. Penemu hukum yang bebas tugasnya bukanlah
menerapkan undang-undang, tetapi menciptakan penyelesaian yang tepat untuk peristiwa konkret,
sehingga peristiwa-peristiwa berikutnya dapat dipecahkan oleh norma yang diciptakan oleh hakim.
Menurut ajaran ini dalam penyelesaian masalah bukan terletak pada undang-undang akan tetapi
penyelesaian yang tepat dan konkret.
Menurut Sudikno Mertokusumo, penemuan hukum bebas bukanlah peradilan yang tidak terikat pada
undang-undang. Hanya saja, undang-undang bukan merupakan pemegang peranan utama, tetapi
sebagai alat bantu untuk memperoleh pemecahan yang tepat menurut hukum, dan yang tidak perlu
harus sama dengan penyelesaian undang-undang. Aliran hukum bebas berpendapat bahwa hakim
mempunyai tugas menciptakan hukum. Penemu hukum yang bebas tugasnya bukanlah menerapkan
undang-undang, melainkan menciptakan penyelesaian yang tepat untuk peristiwa yang konkret,
sehingga persitiwa-peristiwa berikutnya dapat dipecahkan menurut norma yang telah diciptakan oleh
hakim.
Demikian pembahasan tentang aliran-aliran dalam filsafat hukum yang merupakan inti dari filsafat
hukum itu sendiri. Dengan mengetahui pokok-pokok aliran-aliran tersebut, sekaligus juga dapat diamati
berbagai corak pemikiran tentang hukum. Dengan demikian, sadarlah kita betapa kompleksnya hukum
itu dengan berbagai sudut pandangnya. Hukum dapat diartikan bermacam-macam, demikian juga tujuan
hukum. Setiap aliran berangkat dari argumentasinya sendiri. Akhirnya, pemahaman terhadap aliran-
aliran tersebut dapat membuat wawasan kita makin kaya dan terbuka dalam memandang hukum dan
masalah-masalahnya.

00000-

DAFTAR PUSTAKA

Azizy, A. Qadri; Eklektisisme Hukum Nasional, Kompetisi antara Hukum Islam dan Hukum Umum; Gama
Media Offset; Yogyakarta; 2002.
Cahyadi, Antonius E., dan M. Manullang, Fernando; Pengantar ke Filsafat Hukum; Kencana Prenada
Media Group; Jakarta; 2007.

Darmodiharjo, Darji, Prof., S.H. dan Shidarta, Dr., S.H., M.Hum.; Pokok-pokok Filsafat Hukum : Apa dan
Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia; Cetakan ke-6; P.T. Gramedia Pustaka; Jakarta; 1995.
Duguit, Leon; Law in the Modern State, Limited Amsterdam University, 1919.
Friedmann, W.; Legal Teori; alih bahasa Mohammad Arifin; Teori dan Filsafat Hukum : Idealisme Filosofis
dan Problem Keadilan, Cetakan I; Jakarta; C.V. Rajawali; 1990.
Huijbers, Theo; Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah; Kanisius; Yogyakarta, 2001.
Leod, Ian Mc; Legal Theory; Macmillan Press Ltd; 1999.
Mertokusumo, Sudikno; Mengenal Hukum (Suatu Pengantar); Edisi Ke-3; Liberty; Yogyakarta; 1991.
Minan, Ahsanul dan Indah Sari Septiani Putri Adi Muchtar; diposkan oleh Dr. H. A. Sukris Sarmadi,
M.H.; http://kuliahfilsafathukum12.blogspot.com/2012/03/legal-realism.html
Muchsan; Hukum Tata Pemerintahan; Liberty; Yogyakarta; 1985.
Pound, Roscoe; Pengantar Filsafat Hukum; Bhratara Niaga Media; Jakarta; 1996.
Rahardjo, Satjipto; Ilmu Hukum; Bandung; Citra Aditya Bakti; 1991.
Rasjidi, Lili; Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum; Citra Aditya Bakti, Bandung; 2007.
Rasjidi, Lili dan Frans Rengka; Reformasi Hukum dan Reformasi Pendidikan
Hukum; http://www.indomedia.com/poskup/9805/26/OPINI/26pini1.htm.
Siregar, Bismar; Rasa Keadilan; P.T. Bina Ilmu; Tunjungan S3E; Surabaya; 1989.
Soekanto, Soerjono; Perspektif Teoritis Studi Hukum dalam Masyarakat; C.V. Rajawali; Jakarta; 1985.
Zulkarnain; Kritik Terhadap Pemikiran Hukum Madzab Sejarah; Digitized by USU digital library; 2003.
BAB II
PEMBAHASAN

Secara etimologi bahasa aliran adalah haluan, pendapat atau paham. Secara istilah aliran
hukum merupakan suatu paham seseorang atau kelompok mengenai nilai-nilai, dasar beserta
hakikat hukum yang memiliki penganut dengan yakin mengikutinya. Jika kita bandingkan
dengan pemahaman teori hukum maka ada beberapa ahli yang menyamakannya namun ada juga
yang membedakannya. Akan tetapi penulis cenderung membedakannya, karena teori hukum itu
adalah pendapat yang dikemukakan seseorang sebagai pedoman dalam merumuskan suatu
produk hukum sehingga hukum itu dapat dilaksanakan dalam praktek kehidupan masyarakat.
Aliran cenderung lebih umum karena satu aliran yang sama dapat melahirkan berberapa teori
hukum.
Para pakar hukum memiliki pandangan yang hampir sama tentang konsep aliran dalam
filsafat hukum. Satjipto Rahardjo membagai aliran filsafat hukum sebagai teori yunani dan
romawi, positivisme dam utilitarianisme, hukum alam, teori hukum murni, pendekatan sejarah
dan antropologis, serta pendekatan sosiologis. Sedangkan Soejono Soekanto membaginya
sebagai aliran utilitarianisme, mazhab sejarah dan kebudayaan, mazhab formalitas, aliran
realisme hukum, dan aliran sociological jurisprudence. Adapun Lili Rasjidi membaginya ke
dalam mazhab sejarah, aliran hukum alam, aliran hukum positif, aliran sociological
jurisprudence, dan aliran pragmatic legal realism.
Akan tetapi dalam makalah ini penulis akan membatasi pembahasan kepada beberapa
aliran filsafat hukum, meliputi:
1. Aliran Hukum Alam
2. Aliran Hukum Positif
3. Aliran Utilitarianisme
4. Aliran sejarah
5. Aliran sociological jurisprudence
6. Aliran Realisme Hukum

A. Aliran Hukum Alam


Aliran hukum alam, bisa dibilang sebagai sebuah paradigma yang paling tua
sekaligus serta paling besar pengaruhnya bagi perkembangan ilmu hukum sampai hari ini.
Teori-teori hukum yang dikembangkan setelah periode hukum alam, sesungguhnya merupakan
perkembangan atau penyempurnaan saja dari paradigma hukum alam. Dalam teori hukum alam,
hukum sebagai nilai yang universal dan selalu hidup di sanubari orang, masyarakat maupun
negara. Hal ini disebabkan karena hukum niscaya harus tunduk pada batasan-batasan moral yang
menjadi guideline bagi hukum itu sendiri. Bahkan disebutkaan bahwa di atas sistem hukum
positif negara, ada sebuah sistem hukum yang lebih tinggi (lex divina), bersifat ketuhanan yang
berdasarkan atas akal budi hukum alam itu sendiri, jadi hukum alam lebih superior dari hukum
negara. Hal ini terjadi karena adanya keabsahan dari norma-norma yang bukan makna dari
tindakan-tindakan kemauan manusia; karena itu nilai-nilai yang mereka bentuk adalah sama
sekali tidak sewenang-wenang (arbitraiy), subjektif atau relatif.[1] Hukum alam tampil sebagai
suatu hukum dari akal budi (reason) manusia dan menyalurkan hasrat penyelidikan tentang
tindakan kemauan dari seseorng yang menampilkan diri (bertindak) sebagai legislator moral atau
hukum.[2]
Kekuatan utama dari paradigma ini tidak hanya bertumpu pada nilai moralitas semata,
namun juga berorientasi pada pencapaaian nilai-nilai keadilan bagi masyarakat. Para pemikir
hukum paradigma hukum alam, berkeyakinan bahwa keadilan merupakan sebuh esensial
(essential value) dari hukum, bahkan sering diidentikkan sebagai sebuah nilai yang tunggal
dan menyatu. Hukum memiliki banyak tujuan dalam dirinya, karena hukum tidak hanya
berfungsi sebgai sebuah alat untuk menegakkan keadilan (as a tool), namun juga berfungsi
sebagai cermin rasa keadilan dan kedaulatan rakyat suatu negara.[3]
Pada abad ke-5 SM masih bersifat primitif, yaitu hukum masih bersifat primitif, yaitu
hukum masih dipandang sebagai suatu keharusan alamiah, baik semesta alam maupun alamiah.
Namun, pada abaad ke-4 SM para filsuf mulai insaf peran manusia dalam membentuk hukum
misalnya Socrates. Socrates menuntut upaya para penegak hukum mengindahkan keadilan
sebagai nilai yang melebihi manusia. Demikian juga pendapat Plato (427-347 SM) dan
Aristoteles (348-322 SM) yang mulai mempertimbangkan bahwa manakah aturan yang lebih adil
yang harus menjadi alat untuk mencapai tujuan hukum, walaupun mereka juga tetap mau taat
pada tuntutan-tuntutan alam sehingga zaman ini dikenal dengan zaman atau aliran hukum alam.
Pada abad ke-8 sebelum Masehi, aliran hukum alam dalam pemikiran di zaman Romawi
dimunculkan oleh pemikir-pemikir yang dipengaruhi oleh pikiran-pikiran yang berkembang di
Yunani, terutama oleh pikiran Socrates, Plato, dan Aristoteles. Salah satu tokoh Romawi yang
banyak mengemukakan pemikirannya tentang hukum alam adalah Cicero, [4]seorang yuris dan
seorang negarawan. Cicero mengajarkan konsep tentang a true law (hukum yang benar) yang
disesuaikannya dengan right reason (penalaran yang benar), serta sesuai dengan alam, dan yang
menyebar diantara kemanusiaan dan sifatimmutable dan enternal. Hukum apapun harus
bersumber dari true law itu. Pada kesempatan lain Cicero mengatakan bahwa, kita lahir untuk
keadilan. Dan hukum tidaklah didasarkan pada opini, tetapi pada mans very nature. Selain
Cicero sebagai salah seorang tokoh pemikir zaman Romawi tersebut, maka salah satu pemikir
terkenal adalah Gaius. Gaius membedakan antara ius civile dan ius gentium. Ius Civile adalah
hukum yang bersifat khusus pada suatu negara tertentu, sedangkan ius gentium adalah hukum
yang berlaku universal yang bersumber pada akal pemikiran manusia.[5]
Kedua zaman itu, Yunani dan Romawi mempunyai perbedaan yang konkret mengenai
pandangan terhadap hukum. Menurut pendapat Achmad Ali, pemikiran Yunani tentang hukum
lebih bersifat teoritis dan filosofis, sedangkan pemikiran Romawi lebih menitikberatkan pada
hal-hal yang praktis dan berkaitan dengan hukum positif.[6]
Perkembangan hukum alam mengalami kemunduran disekitar abad ke-16 dan muncul
kembali pada abad ke-19, oleh seorang bangsa Jerman yang bernama Rudolf Stammler.
Stammler memberikan pokok-pokok pikirannya mengenai hukum alam sebagai berikut: [7]
a. Semua hukum positif merupakan usaha menuju pada hukum yang adil;
b. Hukum alam berusaha membuat suatu metode rasional yang dapat digunakan untuk menentukan
kebenaran yang relatif dari hukum dalam setiap situasi.
c. Metode itu diharapkan menjadi pemandu jika hukum itu gagal dalam ujian dan membawanya
lebih dekat pada tujuannya.
Pada prinsipnya hukum alam bukanlah sesuatu aturan jenis hukum, melainkan
merupakan kumpulan ide atau gagasan yang keluar dari pendapat para ahli hukum, kemudian
diberikan sebuah lebel yang bernama hukum alam. Hal ini sejalan dengan pandangan Satjipto
Rahardjo[8] yang mengatakan bahwa istilah hukum alam ini didatangkan dalam berbagai artinya
oleh berbagai kalangan dan pada masa yang berbeda-beda pula. Dengan demikian, hakikat
hukum alam merupakan hukum yaang berlaku universal dan abadi. Sebab menurut Friedman,
sejarah hukum alam adalah absolute justice (keadilan yang mutlak) di samping kegagalan
manusia dalam mencari keadilan. Pengertian hukum alam berubah-ubah sesuai dengan
perubahan pola pikir masyarakat dan keadan politik di zaman itu.[9]
Pendapat Friedmann di atas, sejalan dengan pendapat Dias yang mengatakan bahwa,
hukum alam itu adalah :
1. Ideal-ideal yang menurut perkembangan hukum dan pelaksanaannya;
2. Dasar dalam hukum yang bersifat moral, yang menjaga jangan sampai terjadi suatu pemisahan
secara total antara yang ada sekarang dan yang seharusnya;
3. Metode untuk menemukan hukum yang sempurna;
4. Isi dari hukum yang sempurna, yang dapat didiskusikan melalui akal;
5. Kondisi yang harus ada bagi kehadiran hukum dalam masyarakat.
Selain Friedmann dan Dias yang merupakan penggagas aliran hukum alam, juga ada
Thomas Aquinas, seorang filsuf yang terkenal melalui bukunya Summa Theologicadan De
Regimen Principum. Pemikiran yang dikemukakan oleh Thomas Aquinas mengenai hukum alam
banyak mempengaruhi gereja bahkan menjadi dasar pemikiran gereja hingga saat ini. Thomas
Aquinas membagi hukum ke dalam empat golongan, yaitu[10]
1. Lex Aeterna, merupakan rasio Tuhan sendiri yang mengtaur segala hal dan bersumber dari
segala hukum. Rasio ini yang tidak dapat ditangkap oleh panca indra manusia.
2. Lex Divina, bagian dari Rasio Tuhan yang ditangkap oleh manusia berdasarkan waktu yang
diterimanya.
3. Lex Naturalis, inilah yang merupakan hukum alam, yaitu penjelmaan dari lex aeterna di dalam
rasio manusia.
4. Lex Positivis, hukum yang berlaku merupakan pelaksanaan dari hukum alam oleh manusia
berhubungan dengan syarat khusus yang dipengaruhi oleh keadaan dunia.

B. Aliran Hukum Positif


Aliran Hukum Positif juga yang sering dikenal dengan positivisme hukum menurut Hans
Kelsen seperti yang dikutip oleh Lili Rasjidi merupakan suatu teori tentang hukum yang
senyatanya dan tidak mempersoalkan senyatanya itu, yakni apakah hukum positif itu adil atau
tidak adil. Selain itu dapat juga dikatakan bahwa hukum positf merupakan kebalikan hukum
alam. Sebab, aliran ini mengidentikkan hukum dengan undang-undang. Satu-satunya sumber
hukum adalah undang-undang. Menurut aliran positivisme, hukum ditinjau dari sudut pandang
positivisme yuridis dalam arti yang mutlak. Artinya adalah ilmu pengetahuan hukum adalah
undang-undang positif yang diketahui dan disistematikan dalam bentuk kodifikasi-kodifikasi
yang ada. Positivisme hukum juga berpandangan bahwa perlu dipisahkan secara tegas antara
hukum dan moral (antara hukum yang berlaku dan hukum yang seharusnya / antara das
Sollen dan das Sein).
Dalam kacamata positivis tiada hukum lain kecuali perintah penguasa (law is command
from the lawgivers). Bahkan bagi sebagian aliran Positivisme Hukum yang disebut juga
Legisme, berpendapat bahwa hukum itu identik dengan Undang-undang. Positivisme Hukum
juga sangat mengedepankan hukum sebagai pranata pengaturan yang mekanistik dan
deterministik. Aliran ini memiliki beberapa tokoh terkemuka diantaranya Hans Kelsen, John
Austin, L.A. Hart, Rudolf Von Jhering, Georg Jellinek, Roguin, Jeze, Saleiles, dan Ripert. Akan
tetapi penulis hanya akan membahas aliran positivisme yang dikembangkan oleh John Austin
dan L.A Hart, karena peran andil mereka yang cukup signifikan dalam perkembangan aliran ini
sehingga banyak menuai kritikan yang bersifat kontroversial dari para filosuf hukum lainnya.
Melalui aliran ini John Austin mengeluarkan suatu karya mengenai teori hukum yaitu
digantinya perintah yang berdaulat yakni negara bagi tiap cita keadilan dalam definisi hukum.
Sehingga buah pemikirannya sangat terlihat dalam pendefinisian hukumnya, yaitu peraturan
yang diadakan untuk memberi bimbingan kepada makhluk yang berakal oleh makhluk yang
berakal yang berkuasa atasnya. Sedangkan inti dari ajaran Austin dapat diikhtisarkan dalam
beberapa butir berikut:[11]
1. Hukum adalah perintah pihak yang berdaulat atau bahasa aslinya: Law...was the command of
sovereign. Bagi Austin: No low, no sovoreign; and no sovoreign, no low;
2. Ilmu hukum selalu berkaitan dengan hukum positif atau dengan ketentuan-ketentuan lain yang
diterima tanpa memperhatikan kebaikan atau keburukannya;
3. Konsep tentang kedaulatan negara (doctrine of sovoreignty) mewarnai hampir keseluruhan dari
ajaran Austin. Hal ini dapat dikhtisarkan sebagai berikut:
1) Kedaulatan yang digunakan dalam ilmu hukum menunjuk pada suatu atribut negara yang
bersifat internal maupun eksternal;
2) Sifat ekskternal dari kedaulatan negara tercermin pada hukum internasional, sedangkan sifat
internal kedaulatan negara tercermin pada hukum positif;
3) Pelaksanaan kedaulatan membutuhkan ketaatan. Yaitu ketaatan tersebut terletak pada legitimasi
kedaulatan negara yang didasarkan pada undang-undang yang berlaku dan diakui secara sah, dan
subjeknya merasakan a moral duty to obey ( ada kewajiban moral untuk mentaatinya).
Sedangkan tokoh aliran ini yang juga terpenting adalah H.L.A Hart, yang mana
tercerminkan dalam esensi positivismenya betapa kuatnya pengaruh teori hukum murni dari
Hans Kelsen. Yang mana diartikan esensi positivisme sebagai berikut:[12]
1. Pernyataan bahwa hukum adalah perintah manusia;
2. Pernyataan bahwa tidak ada hubungan yang penting antara hukum dan kesusilaan atau hukum
sebagai apa adanya dan hukum yang diharapkan;
3. Pernyataan bahwa studi hukum harus dibedakan dengan studi hukum dari sudut historis, atau
dari sudut sosiologis atau dari sudut kritis (Critical Legal Studies);
4. Pernyataan bahwa sistem hukum bersifat tertutup (Close Legal System) di mana putusan yang
benar adalah yang tidak mempertimbangkan tujuan kesusilaan dan standar moral;
5. Pernyataan bahwa penilaian moralitas tidak dapat dipertahankan sebagai pernyataan mengenai
fakta atas dasar argumen rasional, bukti-bukti.
H.L.A Hart telah memberikan kritik terhadap konsep hukum sebagai perintah penguasa
yang bersifat memaksa (ajaran Austin yang mana hukum sebagai alat untuk mencapai tujuan
dimaksudkan untuk menunjukan bahwa hukum tergantung dari paksaan, dan bahwa hak untuk
memaksa adalah monopoli mutlak negara). Dia mengatakan bahwa konsep hukum Austin
memiliki tiga cacat (defects). Pertama, dalam primary rules of the social structure tidak
mencerminkan kepastian (uncertainty); cacat kedua, konsep hukum Austin bersifat statis (static
character); dan cacat ketiga, konsep hukum Austin tidak efesien (ineffeciency).[13] Tidak hanya
H.L.A Hart, pemikiran Austin juga sangat ditentang keras oleh Mazhab sejarah dan
Mazhab Sociological Jurisprudence yang mempertahankan ketidaktergantungan hukum dari
kekuasaan dan perintah.

C. Aliran Utilitarianisme
Aliran ini di pelopori oleh Jeremy Bentham (1748-1832), John Stuart Mill (1806-1873),
dan Rudolf von Jhering (1818-1889). Aliran ini akan penulis awali dengan ajaran Jeremy
Bentham, yang berpendapat bahwa alam memberikan kebahagiaan dan kesusahan. Manusia
selalu berusaha memperbanyak kebahagiaan dan mengurangi kesusahannya. Standar penilaian
etis yang dipakai disini adalah apakah suatu tindakan itu menghasilkan kebahagiaan. Kebaikan
adalah kebahagiaan dan kejahatan adalah kesusahan. Tugas hukum adalah memelihara kebaikan
dan mencegah kejahatan. Dengan kata lain, untuk memelihara kegunaan. Dalam sistem
pemidanaan, menurutnya harus bersifat spesifik untuk tiap kejahatan dana seberapa beratnya
pidana itu tidak boleh melibihi jumlah yang dibutuhkan untuk mencegah dilakukannya
penyerangan-penyerangan tertentu. Pemidanaan hanya bisa diterima apabila ia memberikan
harapan bagi tercegahnya kejahatan yang lebih rendah, Keberadaan hukum diperlukan untuk
menjaga agar tidak terjadi bentrokan kepentingan individu dalam mengejar kebahagiaan yang
sebesar-besarnya, untuk itu perlu ada batasan yang diwujudkan dalam hukum, jika tidak
demikian, maka akan terjadi homo homini lupus (manusia menjadi serigala bagi manusia yang
lain). karena itu, ajaran Bentham dikenal sebagai utilitarianisme yang individual.
Penulis lain yang tidak kalah pentingnya ialah John Stuart Mill yang lebih banyak
dipengaruhi oleh pertimbangan psikologis. Ia menyatakan bahwa tujuan manusia ialah
kebahagiaan. Manusia berusaha memperoleh kebahagiaan melalui hal-hal yang membangkitkan
nafsunya. Mill juga menolak pandangan Kant yang mengajarkan bahwa individu harus
bersimpati pada kepentingan umum. Kemudian Mill lalu menganalisis hubungan antara
kegunaan dan keadilan. Ia berpendapat bahwa asal-usul perasaan akan keadilan itu tidak
ditemukan pada kegunaan melainkan pada dua sentimen, yaitu rangsangan untuk
mempertahanka diri dan perasaan simpati. Pada hakekatnya, perasaan individu akan keadilan
dapat membuat individu itu menyesal dan ingin membalas dendam kepada tiap yang tidak
menyenangkannya. Menurut Mill, keadilan bersumber pada naluri manusia untuk menolak dan
membalas kerusakan yang diderita, baik oleh diri sendiri, maupun oleh siapa saja yang
mendapatkan simpati dari kita.
Pendapat lain dilontarkan Rudolf von Jhering yang menggabungkan antara utilitarianisme
yang individual maupun yang sosial, karena Jhering dikenal sebagai pandangan utilitarianisme
yang bersifat sosial, jadi merupakan gabungan antara teori yang dikemukakan oleh Bentham,
Mill, dan positivisme hukum dari John Austin. Bagi Jhering, tujuan hukum adalah untuk
melindungi kepentingan-kepentingan. Dalam mendefinisikan kepentingan, ia mengikuti
Bentham, dengan melukiskannya sebagai pengejaran kesenangan dan menghindari penderitaan
tetapi kepentingan individu dijadikan bagian dari tujuan sosial dengan menghubungkan tujuan
pribadi seseorang dengan kepentingan-kepentingan orang lain. Jhering sangat tidak menyukai
apa yang disebut dengan ilmu hukum yang menekankan pada konsep-konsep, bahwa
kebijaksanan hukum itu tidak terletak pada permainan teknik-teknik pengehalusan dan
penyempurnaan konsep, melainkan kepada penggarapan konsep-konsep itu untuk melayani
tujuan-tujuan yang praktis.

D. Aliran Sejarah
Dalam rentang sejarah, perkembangan aliran pemikiran hukum sangat tergantung dari
aliran pemikiran hukum sebelumnya, sebagai sandaran kritik dalam rangka membangun
kerangka teoritik berikutnya. Disamping itu kelahiran satu aliran sangat terkait dengan kondisi
lingkungan tempat suatu aliran itu pertama kali muncul. Dengan kata lain lahirnya satu aliran
atau mazhab hukum dapat dikatakan sebagai jawaban fundamental terhadap kondisi kekinian
pada zamannya. Sebagai contoh dapat dikemukakan kritik positivisme dan aliran sejarah
terhadap aliran hukum alam atau kritik kaum realis terhadap positivistik. Demikian juga halnya
dengan kritik yang ditujukan oleh postmodernisme terhadap kemapanan modernisme. Kelahiran
mazhab sejarah dipelopori oleh Friedrich Carl von Savigny (1779-1861) melalui tulisannya yang
berjudul Von Beruf unserer Zeit fur Gesetzgebung und Rechtwissenschaft (Tentang Pekerjaan
pada Zaman Kita di Bidang Perundang-undangan dan Ilmu Hukum), di pengaruhi oleh dua
faktor yaitu pertama ajaran Montesqueu dalam bukunya L esprit des Lois dan pengaruh
faham nasionalisme yang mulai timbul pada awal abad ke 19.
Disamping itu, munculnya aliran ini juga merupakan reaksi langsung dari pendapat
Thibaut yang menghendaki adanya kodifikasi hukum perdata Jerman yang didasarkan pada
hukum Prancis (Code Napoleon). Kedua pengaruh tersebut bisa digambarkan sebagai berikut:
Menurut Friedmann Aliran ini juga memberikan aksi tertentu terhadap dua kekuatan
besar yang berkuasa pada zamannya. Kedua hal tersebut menurut Friedmann adalah[14] :
1. Rasionalisme dari abad 18 dengan kepercayaan terhadap hukum alam, kekuasaan akal dan
prinsip-prinsip pertama yang semuanya dikombinasikan untuk meletakkan suatu teori hukum
dengan cara deduksi dan tanpa memandang fakta historis, cirri khas nasional, dan kondisi sosial;
2. Kepercayaan dan semangat revolusi Prancis dengan pemberontakannya terhadap tradisi,
kepercayaan pada akal dan kekuasaan kehendak manusia atas keadaan-keadaan zamannya.
Sedangkan Lili Rasjidi mengatakan kelahiran aliran/mazhab sejarah merupakan reaksi
tidak langsung dari terhadap aliran hukum alam dan aliran hukum positif. Hal pertama yang
mempengaruhi lahirnya mazhab sejarah adalah pemikiran Montesqueu dalam bukunya L esprit
des Lois yang mengatakan tentang adanya keterkaitan antara jiwa suatu bangsa dengan
hukumnya[15]. Menurut W. Friedman gagasan yang benar-benar penting dari Lesprit des
Lois adalah tesis bahwa hukum walaupun secara samar didasarkan atas beberapa prinsip hukum
alam mesti dipengaruhi oleh lingkungan dan keadaan seperti: iklim, tanah, agama, adat-
kebiasaan, perdagangan dan lain sebagainya.
Berangkat dari ide tersebut Montesqueu kemudian melakukan studi perbandingan
mengenai undang-undang dan pemerintahan. Seperti yang telah diuraikan diatas, selain
dipengaruhi oleh pemikiran Montesque lahirnya mazhab sejarah juga banyak dipengaruhi oleh
semangat nasionalisme Jerman yang mulai muncul pada awal abad 19. Dengan memanfaatkan
moment (semangat nasionalisme), Savigny menyarankan penolakan terhadap gagasan Tibhaut
tentang kodifikasi hukum yang tersebar dalam pamfletnyaUber Die Notwetdigkeit Eines
Allgemeinen Burgerlichen Rechts Fur Deutschland(Keperluan akan adanya kodefikasi hukum
perdata negara Jerman).
Hakikat dari setiap sistem hukum menurut savigny adalah sebagai pencerminan jiwa
rakyat yang mengembangkan hukum itu. Dikemudian hari hal tersebut oleh G. Puchta, murid
Savigny yang paling setia, dicirikan sebagai Volkgeist, menurut Puchta hukum adalah
perwujudan dari kesadaran yang umum ini. Dikatakannya[16]:
Hukum itu bersama-sama dengan pertumbuhan, dan menjadi kuat bersama-sama dengan
kekuatan dari rakyat, dan pada akhirnya ia mati manakala bangsa itu kehilangan
kebangsaannya.

E. Aliran Sociological Jurisprudence


Aliran Sociological Jurispurdence sebagai salah satu aliran pemikiran filsafat hukum
menitik beratkan pada hukum dalam kaitannya dengan masyarakat. Aliran ini berkembang di
Indonesia dan di Amerika, dipelopori oleh Roescoe Pound, Eugen Ehrlich, Benyamin Cardozo,
Kantorowich, Gurvitch, dan lain-lain. Akan tetapi Romli Atmasasmita berpendapat bahwa aliran
ini berasal dari Oliver Wendell Holmes (1841-1935) yang juga menurut para teoritis merupakan
tokoh terpenting dalam aliran Realisme Hukum.[17] Menurut aliran ini hukum yang baik
haruslah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup di dalam masyarakat. Aliran ini secara
tegas memisahkan antara hukum positif dengan (the positive law) dengan hukum yang hidup (the
living law).Singkatnya yaitu, aliran hukum yang konsepnya bahwa hukum yang dibuat agar
memperhatikan hukum yang hidup dalam masyarakat atau living law baik tertulis maupun tidak
tertulis.
Misalnya dalam hukum yang tertulis jelas dicontohkan Undang- Undang sebagai hukum
tertulis, sedangkan yang dimaksudkan hukum tidak tertulis disini adalah hukum adat yang
dimana hukum ini adalah semulanya hanya sebagai kebiasaan yang lama kelamaan menjadi
suatu hukum yang berlaku dalam adat tersebut tanpa tertulis. Dalam masyarakat yang mengenal
hukum tidak tertulis serta berada dalam masa pergolakan dan peralihan, Hakim merupakan
perumus dan penggali dari nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Untuk itu ia harus
terjun ditengah-tengah masyarakat untuk mengenal, merasakan dan mampu menyelami perasaan
hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Aliran Sociological Jurisprudence berbeda dengan Sosiologi Hukum. Dengan rasio
demikian, Sosiologi Hukum merupakan cabang sosiologi yang mempelajari hukum sebagai
gejala sosial, sedang Sociological Jurisprudence merupakan suatu mazhab dalam filsafat hukum
yang mempelajari pengaruh timbal balik antara hukum dan masyarakat dan sebaliknya. Sosiologi
hukum sebagai cabang sosiologi yang mempelajari pengaruh masyarakat kepada hukum dan dan
sejauh mana gejala-gejala yang ada dalam masyarakat dapat mempengaruhi hukum di samping
juga diselidiki juga pengaruh sebaliknya, yaitu pengaruh hukum terhadap masyarakat. Dari 2
(dua) hal tersebut di atas (sociological jurisprudence dan sosiologi hukum) dapat dibedakan cara
pendekatannya. Sociological jurisprudence, cara pendekatannya bertolak dari hukum kepada
masyarakat, sedang sosiologi hukum cara pendekatannya bertolak dari masyarakat kepada
hukum.[18]
Dalam hal ini penulis hanya akan membahas pemikiran dari dua tokoh aliran ini yang
kami anggap berperan penting dalam perkembangan aliran ini yaitu Roescoe Pound dan Eugen
Ehrlich. Roscoe Pound menganggap bahwa hukum sebagai alat rekayasa sosial (Law as a tool of
social engineering and social controle) yang bertujuan menciptakan harmoni dan keserasian agar
secara optimal dapat memenuhi kebutuhan dan kepentingan manusia dalam masyarakat.
Keadilan adalah lambang usaha penyerasian yang harmonis dan tidak memihak dalam
mengupayakan kepentingan anggota masyarakat yang bersangkutan. Untuk kepentingan yang
ideal itu diperlukan kekuatan paksa yang dilakukan oleh penguasa negara. Pendapat/pandangan
dari Roscoe Pound ini banyak persamaannya dengan aliran Interessen Jurisprudence. Primat
logika dalam hukum digantikan dengan primat pengkajian dan penilaian terhadap kehidupan
manusia(Lebens forschung und Lebens bewertung), atau secara konkritnya lebih memikirkan
keseimbangan kepentingan-kepentingan (balancing of interest, private as well as public
interest).[19]
Roscoe Pound juga berpendapat bahwa living law merupakan synthese dari these
positivisme hukum dan antithese mazhab sejarah. Maksudnya, kedua aliran tersebut ada
kebenarannya. Hanya, hukum yang sanggup menghadapi ujian akal agar dapat hidup terus. Yang
menjadi unsur-unsur kekal dalam hukum itu hanyalah pernyataan-pernyataan akal yang terdiri
dari atas pengalaman dan diuji oleh pengalaman. Pengalaman dikembangkan oleh akal dan akal
diuji oleh pengalaman. Tidak ada sesuatu yang dapat bertahan sendiri di dalam sistem hukum.
Hukum adalah pengalaman yang diatur dan dikembangkan oleh akal, yang diumumkan dengan
wibawa oleh badan-badan yang membuat undang-undang atau mensahkan undang-undang dalam
masyarakat yang berorganisasi politik dibantu oleh kekuasaan masyarakat itu.
Eugen Ehrlich (1862-1922) dalam karyanya Fundamental Principles of the Sociology of
Law (1913) yang telah melakukan kritik terhadap peranan ahli hukum dengan sebutan Lawyers
Law. Sebutan sinis ini telah membuka mata para ahli para ahli hukum ketika itu atas
kekeliruannya dalam memahami konsep hukum dan penerepanya dalam masyarakat. Bahkan
Ehrlich lebih jauh mengkritisi peranaan para hakim yang hanya menerapkan hukum atas suatu
fakta tanpa mempertimbangkan aspek-aspek sosiologis atas putusannya. Pernyataan Ehrlich yang
sangat terkenal sebagai pelopor aliran ini adalah pusat gravitasi perkembangan hukum
sepanjang waktu dapat ditemukan, bukan di dalam perundang-perundangan dan dalam ilmu
hukum atau putusan pengadilan melainkan di dalam masyarakat itu sendiri.[20] Aliran sangat
mempengaruhi para ahli hukumnya untuk betul-betul menarik perhatiannya kepada problem-
problem kehidupan sosial yang nyata. Kritik yang bisa dilontarkan terhadap pendapat Ehrlich
yang demikia itu adalah, bahwa ilmu hukum yang dilahirkanya menjadi tanpa
bentuk (amorphous), bahkan menjadikan arti penting dari hukum itu tenggelam dan menuntun
kepada kematian ilmu tersebut.[21]

F. Aliran Realisme Hukum


Aliran realisme hukum merupakan salah satu subaliran dari positivisme hukum yang
dipelopori oleh John Chipman, Oliver Wendel Holmes, Karl Liwellyn, Jerome Frank, William
James, dan lain-lain. Roescoe Pound pun dapat digolongkan dalam aliran ini melalui
pendapatnya yang mengungkapkan bahwa hukum itu merupakan a tool of social engineering.
Gerakan realisme mulai melihat apa sebenarnya yang dikehendaki hukum dengan
menghubungkan kedua sisinya, seperti fakta-fakta dalam kehidupan sosial. Realisme yang
berkembang di Amerika Serikat menjelaskan bagaimana pengadilan membuat putusan.
Penemuan mereka mengembangkan formula dalam memprediksi tingkah laku hakim (peradilan)
sebagai suatu fakta (kenyataan).
Jadi, hal yang pokok dalam ilmu hukum realis adalah gerakan dalam pemikiran dan
kerja tentang hukum. Ciri-ciri dari gerakan ini, Llewellyn menyebut beberapa hal, yang
terpeting diantaranya:[22]
1. Tidak ada mazhab realis, realisme adalah gerakan dalam pemikiran dan kerja tentang hukum.
2. Realisme adalah konsepsi hukum yang terus berubah dan alat untuk tujuan-tujuan sosial,
sehingga tiap bagian harus diuji tujuan dan akibatnya. Realisme mengandung konsepsi tentang
masyarakat yang berubah lebih cepat daripada hukum.
3. Realisme menganggap adanya pemisahan sementara antara hukum yang ada dan yang
seharusnya ada untuk tujuan-tujuan studi. Pendapat-pendapat tentang nilai harus selalu diminta
agar tiap penyelidikan ada sasarannya, tetapi selama penyelidikan, gambaran harus tetap sebersih
mungkin, karena keinginan-keinginan pengamatan atau tujuan-tuan etis.
4. Realisme tidak percaya pada ketentuan-ketentuan dan konsepsi-konsepsi hukum, sepanjang
ketentuan dan konsepsi itu menggambarkan apa yang sebenarnya dilakukan oleh pengadilan-
pengadilan dan orang-orang. Realisme menerima peraturan-peraturan sebagai ramalan-ramalan
umum tentang apa yang akan dilakukan oleh pengadilan-pengadilan.
5. Realisme menekankan pada evolusi tiap bagian dari hukum dengan mengingat akibatnya.
Llewellyn sebagai salah satu tokoh pragmatic legal realism, mengalisa perkembangan
hukum di dalam kerangka hubungan antara pengetahuan-pengetahuan hukum dengan perubahan-
perubahan keadaan masyarakat. Hukum merupakan bagian dari kebudayaan yang antara lain
mencakup kebiasaan, sikap-sikap maupun cita-cita yang ditransmisikan dari suatu generasi
tertentu ke generasi berikutnya. Dengan kata lain, hukum merupakan bagian kebudayaan yang
telah melembaga. Lembaga-Lembaga tersebut telah terorganisir dan harapannya terwujud di
dalam aturan-aturan eksplisit yang wajib ditaati serta didukung oleh para ahli. Jadi yang
namanya hukum itu bukan hanya yang tertulis dalam Undang-Undang atau ketentuan dan
peraturan tertulis, namun lebih besar ditentukan oleh hakim di pengadilan yang pada umumnya
didasarkan pada kenyataan di lapangan. Hakim punya otoritas untuk menentukan hukum ketika
menjatuhkan putusan di pengadilan, meskipun putusannya itu dalam beberapa hal tidak selalu
sama dengan apa yang tertulis dalam Undang-Undang atau aturan lainnya. Sehubungan dengan
itu moralitas hakim sangat menentukan kualitas hukum yang merupakan hasil putusan
pengadilan itu. Dengan demikian, tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa suatu kasus tidak
dapat diadili karena belum ada hukum tertulis yang mengaturnya. [23]
Holmes dikenal sebagai the founder of the realist shoud. Holmes, selama 30 tahun
menjabat jabatan Hakim Agung Amerika Serikat. Kata-katanya yang paling terkenal adalah: The
life of the law has been, not logic, but experience. Aspek-aspek empiris dan pragmatis dari
hukum merupakan hal yang penting. Bagi Holmes, yang disebutnya sebagai hukum adalah apa
yang diramalkan akan diputus dalam kenyataannya oleh pengadilan: Buku Holmes yang terkenal
terbit pada tahun 1920 berjudul: The Path of Law.
Jadi bagi Holmes, hukum adalah kelakuan aktual para hakim ( Patterns of
behaviors) dimana patterns of behavior hakim itu ditentukan oleh tiga faktor, masing-
masing:[24]
1. Kaidah-kaidah hukum yang dikonkritkan oleh hakim dengan metode interpretasi dan konstruksi.
2. Moral hidup pribadi hakim.
3. Kepentingan sosial.

BAB III
KESIMPULAN

Keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan hukum adalah sebuah doktrin hukum yang
telah berkembang pada zaman keemasan masing-masing dari ketiga hal tersebut. Pada
hakekatnya, timbulnya setiap aliran-aliran dalam filsafat hukum yang membawakan doktrin-
doktrin yang merupakan buah pemikiran di tiap-tiap periode adalah wujud ketidakpuasan atas
apa yang mereka dapatkan dalam realita konteks bermasyarakat yang selalu menginginkan ketiga
doktrin tersebut berjalan searah dan sepadan. Akhirnya mereka para filosuf mulai berkontemplasi
untuk menghasilkan suatu ajaran hukum yang tertuang berdasarkan ide-ide imajinatif (law in
abstracto) dan pengalaman yang secara langsung mereka rasakan (law in concreto).
Perkembangan hukum indonesia yang bisa dikatakatan masih dalam pasang surut, tidak
berpendirian tetap pada satu doktrin dan lebih cenderung menerima adalah salah satu contoh
negara yang terpengaruhi dengan ajaran-ajaran hukum era klasik maupun modern. Setelah
kita terlepas dari jeratan kolonialisme, indonesia menerima begitu saja doktrin hukum belanda
yang terpengaruhi oleh doktrin hukum perancis dalam suatu peralihan yang akhirnya
terkodifikasi menjadi suatu tatanan hukum nasional. Menurut penulis, terlihat jelas dalam praktik
penegakan hukum diawal kemerdekaan Indonesia bagaiamana para penegak hukum sangat
terpengaruhi dengan apa yang diajarkan oleh aliran legisme-positivisme dengan doktrin
kepastian hukum. Dimana setiap para penegak hukum, dan hakim khususnya dituntut untuk
mengadili setiap perkara sesuai dengan apa yang tertera dalam kitab undang-undang demi
terjaminnya kepastian hukum tanpa memasukkan sumber-sumber nilai normatif lainnya.
Maka kembali lagi kepada ketidakpuasan para sarjana hukum yang melihat lemahnya
doktrin legisme-positvisme tersebut, timbul adanya kebutuhan untuk mengadopsi dan
membangun sebuah paradigma baru untuk menggantikan posisi doktrin yang sudah tak relavan
termakan usia tersebut. Maka ketika itu, ada beberapa aliran dalam filsafat hukum yang
ditawarkan untuk melengkapi kesenjangan hukum di negeri ini, seperti pernah diutarakan untuk
mempertimbangkan doktrin utilitarianisme tentang kemanfaatan hukum untuk menyelesaikan
(bukan sekedar memutusi) perkara. Bukan logika hukum para yuris elit yang beroptik
formalisme untuk mendahulukan berlakunya hukum perundang-undangan saja yang terutama
harus berbicara di sini, akan tetapi terutama juga kearifan para pembuat hukum, baik yang duduk
di badan-badan legislatif (sebagai pembuat undang-undang alias hukum in abstracto) maupun
yang duduk di kursi-kursi sidang pengadilan (sebagai hakim, pembuat hukum in concreto.
Bukan positivisme dan legisme yang diperlukan di sini, melainkan temuan paradigma
baru, khususnya untuk kinerja kehakiman, seperti misalnya apa yang di Amerika, dirintis oleh
Roscoe Pound, disebut sociological jurisprudence yang menuntut para hakim untuk menggali
nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Juga tidak bisa terbantahkan dengan apa yang telah
ditawarkan aliran sejarah yang telah membuka mata para legislator untuk menjadikan hukum
adat sebagai salah satu sumber hukum yang tidak bisa ditinggalkan. Maka apabila kita melihat
perkembangan hukum di Indonesia beserta relavansi aliran-aliran hukum dalam filsafat yang
berpengaruh dan berkembang didalamnya. Terlihat jelas terhadap maju pesatnya perkembangan
teori hukum yang terilhami dari beberapa aliran-aliran yang tertera diatas, seperti dua teori yang
telah menjadi tolak ukur pembalajaran dan rujukan ilmiah para sarjana hukum di Indonesia yaitu
teori hukum pembangunan dan teori hukum progresif.
Akan tetapi apabila kita telaah lebih mendalam mengenai apa yang menyebabkan
terjadinya kesenjangan hukum yang begitu kritis di Indonesia, dengan tetap tidak
menyampingkan sistem hukum yang begitu lemah. Adalah sebuah integritas para penegak
hukum, dimana mereka yang katanya ahli hukum dengan sendirinya mengikis nilai integritas
hanya demi memenuhi kepentingan beberapa pihak tak bertanggungjawab.Maka di sini bukan
kehadiran good law yang sebenarnya pertama-tama diharapkan, melainkan
kehadiran good man (tentu saja juga good woman), khususnya di badan-badan pengadilan. Inilah
manusia arif dan bijaksana yang tahu bagaimana mendayakan hukum guna merespons kebutuhan
masyarakat warga, khususnya mereka yang masih terpuruk di dalam derita kesenjangan yang
sungguh diskriminatif. Di tangan dan ditangani good (wo)man baik yang duduk di kursi-kursi
badan legislatif maupun di kursi-kursi badan pengadilan itu maka hukum
itu, in abstracto maupun in concreto, akan nyata terbilang ke dalam bilangan hukum yang
responsif dengan fungsinya sebagai pelindung kebebasan dan hak-hak asasi manusia
warganegara, yang tak cuma hendak berkutat pada tafsir formal melainkan juga mengajuk ke
kebenaran yang lebih bersifat materiil, ialah justice for all.

Anda mungkin juga menyukai