Anda di halaman 1dari 38

Nama : Setyamawar Andriani

NIM : 210710101160

Mata Kuliah : Pengantar Filsafat Hukum (A)

BAB I PENDAHULUAN
Dari kaca mata keilmuan, ilmu hukum berkenaan dengan pembelajaran
filsafat hukum dan hukum. Terdapat banyak pandangan seperti:
● filsafat hukum dapat dipelajari dan diajarkan dengan mudah oleh siapapun
tanpa harus belajar hukum.
● filsafat hukum dapat diajar oleh sarjana filsafat, sebab filsafat hukum
bukan bagian dari ilmu hukum, tetapi bagian dari ilmu filsafat, yaitu
filsafat khusus.
Namun Soetiksno berpendapat bahwa tidak seluruh sarjana filsafat mampu
mengajar filsafat hukum. Benar bahwa filsafat hukum adalah bagian dari filsafat,
yaitu filsafat khusus, tetapi untuk mempelajari filsafat hukum secara khusus dan
mengajar filsafat hukum lebih baik seorang sarjana hukum yang mempelajari
hukum secara khusus dan mendalam. Objek filsafat hukum adalah hakekat hukum
bukan filsafat. Sebaliknya, bahwa setiap sarjana hukum wajib mempelajari filsafat
hukum untuk mengerti hakekat hukum, tetapi tidak semua sarjana hukum mampu
mengajarkan filsafat hukum, apalagi sarjana filsafat yang mengajar filsafat hukum
tanpa mempelajari hukum.
Kaum Legisme menyamakan hukum sama dengan undang-undang, di luar
undang-undang tidak ada hukum, dan undang-undang diibaratkan dengan benda
fisik yang langsung pakai melalui penerapan pasal undang- undang. Hakim
hanyalah mulut undang-undang (labus du droit),yang secara teknis menyebutkan
dan menerapkan pasal-pasal undang-undang. Sebagaimana dikritikan oleh Ronald
Dworkin bahwa tugas hakim bukan sekedar menerapkan undang-undang secara
tegas, melainkan juga menemukan hak dari setiap pihak yang terlibat. Sedangkan
Kaum Kritikus selalu ingin membongkar, mendekonstruksi hukum, memandang
bahwa hukum adalah alat dari suatu kelompok pemegang kekuasaan dalam upaya
mereka menguasai kelompok lain, khususnya kaum kapitalis (borjuasi) terhadap
kaum proletar (tertindas/buruh).
Pengikut Sosiological Yurisprudence, yang memandang hukum sebagai
produk dari putusan hakim yang arif bijaksana. Ada pula pengikut legal
behaviourism, bagi mereka hukum terwujud dalam bentuk perbuatan-perbuatan,
perilaku-perilaku manusia, perilaku hakim, jaksa, atau polisi, atau siapapun
penegak hukum; atau dalam bentuk kebiasaan-kebiasaan masyarakat, suatu
kebiasaan dari suatu masyarakat hukum. Theo Huijbers' mengatakan bahwa pokok
persoalan filsafat hukum bukanlah quid iuris, melainkan quid ius. Sebagai quid
iuris hukum bekerja dan berorientasi pada dan sebagai hukum positif yaitu hukum
yang berlaku disini saat ini atau hukum yang sedang berlaku di suatu wilayah
Negara tertentu di saat tertentu pula. Seperti Tata Hukum Indonesia, Tata Hukum
India, Tata Hukum Amerika, atau Tata Hukum Inggeris. Sebaliknya, sebagai quid
ius, hukum sebagai sesuatu yang substantif dan essential itulah yang menjadi
orientasi. Hukum adalah ius bukan lege/lex (undang-undang) yaitu hukum dalam
arti luas baik tertulis maupun tidak tertulis, yang sudah diputuskan maupun belum
diputuskan oleh hakim.
Filsafat hukum adalah karya pikir bersama antara filsafat moral, filsafat
politik, dan bahasa. Sebagai hasil karya filsafat moral, filsafat hukum membahas
konsep-konsep hukum tentang rasa bersalah, kesalahan, niat, dan tanggungjawab
yang merupakan issue sentral dalam hukum terutama ketika hukum menekankan
konsep-konsep diatas dalam pikiran dan perbuatan. Sebagai hasil kerja filsafat
politik, filsafat hukum membicarakan tentang bagaimana seorang Jurist menyoroti
cara kerja seharusnya yaitu bagaimana hukum itu menjalankan fungsinya untuk
mencapai tujuan yang hendak dicapai oleh suatu Negara demi mensejahterakan
warganya. Jika dikaitkan antara sejarah dan hukum, seperti di Eropa, Amerika,
atau kelahiran negara-negara di Asia Tenggara atau di dunia Arab selalu ada
revolusi yang selalu didahului oleh filsafat hukum. Filsafat hukumlah yang
menginspirasi kelahiran revolusi sebuah negara bahwa sejarah zaman abad
pertengahan dan sejarah zaman modern sama-sama tidak mungkin ditulis dan
dipahami tanpa memperhatikan dengan sungguh-sungguh institusi hukum mulai
dari feodalisme hingga kapitalisme, Magna Charta hingga Konstitusi Eropa
kontemporer, sejarahwan selalu mendapati realitas bahwa hukum adalah faktor
penentu setiap zaman. Dengan demikian, dalam filsafat hukum terkandung
pemikiran yang utuh dari berbagai sudut pandang tentang hukum seperti moral,
politik, bahasa, sejarah, sosiologi, antropologi sehingga lahirlah ilmu pendukung
untuk memahami hukum yaitu ilmu-ilmu sosial dan humaniora.

BAB II PENGERTIAN FILSAFAT DAN FILSAFAT HUKUM


A. Pengertian Filsafat dan Lahirnya Filsafat Hukum
Filsafat Hukum berasal dari 2 kata yaitu filsafat dan hukum. Filsafat
berasal dari bahasa Yunani: Philosophia; kata philo (philein) berarti cinta, dan
sophia berarti kebijaksanaan. Jadi, philosophia berarti cinta kebijaksanaan atau
love of wisdom. Jika seseorang cinta pada kebijaksanaan, maka segala pikiran,
perkataan, dan perbuatannya akan selalu berorientasi pada kebijaksanaan yaitu
dari kebijaksanaan menuju kebenaran dan keadilan. Oleh karena itu, filsafat
hukum berupaya untuk mencari dan menemukan hukum secara hakiki secara arif
bijaksana.
Pengertian philosophia atau philosophein, diperluas akan bermakna
'berusaha menemukan' yaitu berusaha untuk menemukan kebenaran dan jika
dikaitkan dengan hukum(ius), maka kebenaran hukum itu adalah keadilan
(iustitia). Herodotus memberi arti kata itu sedemikian rupa, sehingga kata
philosophia itu bermakna sangat dalam yaitu 'berusaha mencari dan menemukan'
bukan karena ketrampilan yang diperoleh melalui latihan seperti tukang atau
teknisi, melainkan melalui permenungan yang dalam dari hasil kontemplasi.
Dengan demikian, kebenaran yang didapat itu tidak sama dengan kebenaran yang
diperoleh dari pengetahuan melalui latihan ketrampilan.
Inti kata philein yaitu 'mencintai' yang berarti sebuah kegiatan yang
dilakukan secara terus-menerus tanpa menyerah, putus asa, atau asal-asalan
(formalisme), untuk mencari dan menemukan kebenaran agar mencapai keadilan.
Karena hukum merupakan alat atau instrumen untuk menemukan keadilan.
Tujuan hukum adalah keadilan yang pada akhirnya menuju kesejahteraan. Dengan
demikian, kebenaran yang hakiki dalam hukum adalah keadilan dan kesejahteraan
umat manusia.
Plato mengatakan bahwa sebagai sebuah kegiatan kontemplatif, filsafat memiliki
ciri-ciri khas, yaitu:
1) Filsafat harus mampu bertahan terhadap diskusi kritik. Berpikir filsafat
harus tunduk pada pertanggungjawaban rasional dan sekaligus terbuka
pada pengujian kritik. Jadi, filsafat hukum adalah suatu cara manusia
untuk menemukan hakekat hukum secara rasional sekaligus kritik.
2) Berpikir filsafat bercirikhaskan pada penggunaan metodenya yang khas,
dialektika. Pemikiran filsafat harus bergerak maju secara progresif dan
selalu berorientasi pada pendapat terdahulu dengan melakukan kritik,
mendekonstruksi atau memfalsifikasi walaupun sudah diterima umum
sekalipun.
3) Filsafat juga berusaha mencapai realitas yang sesungguhnya. Filsafat
mencari dan menemukan sesuatu kebenaran di balik empirik, yaitu
kebenaran yang mendasar, hakiki, essensial, yang sejati dan tidak berhenti
pada kepercayaan, apalagi opini. Objek yang dicari adalah kebenaran yang
sesungguhnya, yang hakiki dari realitas, yaitu kebenaran metaempirik
(melampaui fakta yang actual yang dapat diterima oleh panca indera).
4) Memahami hakekat sesungguhnya dari realitas, menurut Plato berarti
mengetahui tujuan ideal dari realitas. Misalnya memahami manusia berarti
memahami ideal manusia yang secara hakiki menjadi tujuan pencarian
manusia itu. Apabila ideal tidak diketahui, akan sulit mengerti sikap atau
tindakan tertentu yang umumnya dipandang aneh atau nyeleneh.
5) Berfilsafat juga berarti memahami yang ideal, maka seorang filosof tahu
bagaimana seharusnya manusia hidup. Perhatian seorang filosof tidak
diarahkan semata-mata pada pencapaian manfaat praktis, melainkan
memberi perhatian sepenuhnya pada usaha mencari dan menemukan yang
substantif, hakiki, dan ideal. Oleh karena itu, hidup dipandang berguna
jika ia mampu menemukan sesuatu kebenaran substantif, hakiki dan ideal
serta menjalani hidup ini secara bermakna sebagai manusia.
Asal mula filsafat hukum berasal dari rasa ingin tahu akan sesuatu, sangsi
terhadap sesuatu, atau sadar akan keterbatasan dalam memahami sesuatu. Konteks
sesuatu dalam hal ini adalah hukum. Rasa ingin tahu akan apakah sesuatu aturan
itu adalah hukum, sangsi terhadap sesuatu yang telah ditetapkan itu adalah hukum,
atau sadar akan keterbatasan dalam memahami hukum oleh subjek hukum yaitu
manusia yang memiliki keterbatasan, juga tentang keadilan dan ketidakadilan
sosial dalam masyarakat.
B. Pengertian Filsafat Hukum
Secara substansial antara filsafat hukum, ilmu hukum dan teori hukum itu
saling berkaitan tetapi juga berbeda. Filsafat hukum memiliki ruang lingkup lebih
luas karena di dalam filsafat hukum memuat teori hukum, metode penelitian
hukum, tujuan hukum, dan manfaat hukum. Filsafat hukum memberikan
penjelasan tentang hukum yang sangat mendasar dan holistik. Meuwisen
berpendapat bahwa filsafat hukum merefleksi semua masalah fundamental yang
berkaitan dengan hukum, dan tidak hanya merefleksi tentang hakekat hukum atau
metode dari ilmu hukum atau ajaran metode saja.
Filsafat hukum berbicara tentang hukum, maka pusat perhatiannya tidak
terletak pada prosedur teknis dalam merumuskan hukum atau membentuk norma
hukum, melainkan pada isinya yang essensi atau yang susbtantif. Jika filsafat
hukum membahas dan mengkritisi segi bentuk dari hukum, maka bentuk disini
harus dipahami bahwa apakah secara essensiel/substantive bentuk itu kondusif
untuk menghasilkan hukum sebagaimana seharusnya hukum (hukum positif) dan
bukan hanya sekedar mendeskripsikannya secara teknis procedural (hukum acara).
Filsafat hukum harus berupaya mencari dan menemukan hakekat hukum secara
radikal (sampai ke akar-akarnya), secara rasional sistematis (tersusun secara rapi,
konsisten, dan konstan), (dapat diterima oleh akal sehat), dan metodis (memiliki
cara tertentu yang dapat dirunut oleh orang lain). Filsafat hukum berupaya untuk
menemukan jawaban terdalam dari sebuah objek formalnya, yaitu hukum
Van Apeldoorn memberikan batasan atau ruang lingkup tentang filsafat
hukum bahwa filsafat hukum menghendaki jawaban kita atas pertanyaan: apakah
hukum itu? Filsafat hukum adalah filsafat, karena itu ia merenungkan semua
masalah fundamental dan masalah marginal yang berkaitan dengan gejala hukum.
Menurut Apeldoorn, filsafat adalah kegiatan berpikir secara sistematis yang hanya
dapat merasa puas menerima hasil-hasil yang timbul dari kegiatan berpikir itu
sendiri.
Menurut Mahadi, filsafat hukum adalah falsafah tentang hukum; falsafah
tentang segala sesuatu di bidang hukum secara mendalam sampai ke akar-akarnya
secara sistematis. Filsafat hukum memiliki metode yaitu berpikir secara sistematis
sampai ke akar-akarnya artinya secara fundamental dan radikal. Dasarnya adalah
logika atau rasio bukan emosi, namun juga intuisi tetapi bukan lamunan apalagi
hayalan.
E. Utrecht memberikan rumusan bahwa filsafat hukum memberi jawaban
atas pertanyaan-pertanyaan seperti: Apakah hukum itu sebenarnya? (persoalan:
adanya dan tujuan hukum). Apakah sebabnya maka kita menaati hukum?
(persoalan: berlakunya hukum). Apakah yang menjadi ukuran baik buruknya
hukum itu? (persoalan: keadilan hukum). Pertanyaan-pertanyaan di atas membawa
orang memahami hukum sebagai kaedah dalam arti kata ethisch wardeordeel.

BAB III BERFILSAFAT TENTANG HUKUM


Latar belakang seseorang berfilsafat, yaitu:
1) Karena rasa ingin tahu terhadap sesuatu.
2) Karena rasa heran terhadap sesuatu yang berbeda dari atau dengan yang
lain.
3) Karena ingin menjawab pertanyaan mengapa terjadi benturan-benturan
dan bagaimana menemukan ketenteraman, kedamaian, dan keadilan.
4) Karena ada keragu-raguan dari seseorang terhadap pendapat atau realiatas
yang nyata ini.
Sebab utama dari lahirnya pertanyaan, rasa heran, atau keragu-raguan atau
keyakinan tentang hukum, adalah adanya suatu ketegangan dalam pikiran para
filosof hukum. Mereka mempertanyakan, bimbang, ragu, atau heran tentang
keadilan dari suatu hukum yang sedang berlaku yang disebut hukum positif.
Misalnya, para penganut paradigma flsafat hukum Sejarah dan Kebudayaan
merasa tidak puas terhadap hukum yang sedang berlaku, bahwa hukum yang
sedang berlaku itu tidak sesuai dengan keadaan masyarakat yang diatur olehnya.
Para penganut Naturalisme berpendapat bahwa hukum yang sedang berlaku itu
bertentangan dengan agama yang sedang dianut atau bertentangan dengan
keadilan dalam masyarakat. Mereka berusaha mencari hukum yang lebih adil,
hukum yang lebih memberikan kesejahteraan, hukum yang lebih sempurna
daripada hukum yang sedang berlaku.
Menurut Soetiksno terdapat 5 faktor yang mendorong orang berfilsafat
tentang hukum yaitu untuk mencari dan menemukan hakekat hukum, yaitu:
1) Ketegangan antara hukum alam/kodrat dengan hukum positif.
2) Fungsi sosial dari hukum: ketegangan antara norma (das sollen) dan
empiris (das sein).
1) Ketegangan antara keyakinan atau kepercayaan terhadap suatu agama
tertentu yang dianutnya dengan hukum positif yaitu hukum yang sedang
berlaku dimana ia sebagai warga negara wajib menaatinya. Faktor ini
membuat orang berpikir tentang hukum karena mereka bimbang tentang
kebenaran yang diajarkan oleh agama yang diyakini dengan azas-azas,
norma-norma, atau lebih spesifik adalah dengan perilaku hukum yang
dibangun oleh para pembuat hukum, para pelaksana hukum, atau para
penegak hukum. Mereka berupaya untuk mentransformasikan istilah-
istilah hukum agama ke dalam hukum positif. Dari sinilah lahir beberapa
madzhab atau aliran filsafat hukum yang berdasarkan keagamaan, seperti
Filsafat Hukum Islam/Syariah, Filsafat Hukum Katolik/Kanonika atau
Tomisme, Filsafat Hukum Kristen/Calvinisme, atau Filsafat Hukum
Hindu.
2) Ketegangan antara ideology yang dianut dengan hukum yang berlaku.
Ketegangan ini mirip dengan ketegangan di atas. Perbedaannya yaitu pada
ketegangan pertama bersumber dari ajaran agama atau iman, maka yang
kedua bersumber dari ajaran atau doktrin ideologi. Ketegangan ini
ditimbulkan oleh pandangan yang berbeda antara dasar-dasar hukum
positif dengan keyakinan ideology seseorang di bidang filsafat yaitu suatu
sistim filsafat tertentu atau paradigma tertentu. Pertanyaan yang muncul
dari ketegangan yang disebabkan oleh perbedaan paradigma, seperti
bagaimana hukum administrasi Negara, hukum tata negara, hukum
internasional, hukum pidana, hukum perdata, atau hukum perjanjian
diartikan dalam struktur filsafat Naturalismenya Thomas Aquinas;
filsafatnya Karl Von Savigny yang berorientasi pada Sejarah dan
Kebudayaan; filsafat Hegelian yang Platonis/Idealisme; filsafat Marxisme
yang materialistis dan Dialektis/Konflictis, filsafat Durkhemian yang
Fungsi-onalis, atau filsafat Kelsenian yang Positivistik, dan sebagainya.
3) Ketegangan antara kebenaran atau keadilan yang hendak dibangun oleh
hukum itu sebagai tujuan dengan hukum itu sendiri sebagai sarananya.
Ketegangan ini timbul karena orang sangsi dengan kebenaran atau
keadilan yang sedang dibangun oleh hukum positif lepas dari kebutuhan
hukum masyarakat, atau keyakinan suatu agama, ajaran, budaya atau suatu
aliran filsafat. Disinilah sering ditemukan bahwa keberlakuan hukum
positif selalu lepas dari konteks sosial budaya dimana hukum itu hidup,
tumbuh dan berkembang atau dengan kata lain hukum yang keluar dari
konteks. Dalam konteks ini 'isi' hukum positif yang sedang berlaku saat
itu, dipandang sebagai hukum yang diragukan keadilannya, disangsikan
kebenarannya, karena hukum positif itu mengandung unsur keberpihakan.
Bahkan ada penilaian bahwa hukum positif itu dijadikan alat eksploitasi,
alat konspirasi kekuasaan seperti yang dianalisis oleh Marx. Jika
demikian, maka isi hukum yaitu norma- norma hukum yang terkandung di
dalamnya dapat digunakan sebagai alat evaluasi, alat penilaian atau ukuran
untuk menilai tindakan atau perbuatan orang, penguasa, atau pemerintah.
Disini ada ketegangan antara aturan-aturan hukum yang dibuat dengan
rasa keadilan atau pendirian tentang apa yang dianggap adil atau benar dari
mereka yang menggunakan atau yang dikenakan hukum itu. Atau dengan
kata lain ada ketegangan antara hukum positif dengan rasa keadilan
masyarakat.
4) Ketegangan antara hukum alam/kodrat dengan hukum positif. Ketegangan
ini muncul karena ada pandangan yang mengatakan bahwa hukum hanya
ada di dalam undang-undang, di luar undang-undang tidak ada hukum.
Menurut aliran ini satu-satunya sumber hukum adalah hukum positif. Jika
seseorang yang menganggap dirinya jurist atau ahli hukum yang benar dan
adil, maka hukum positif yang berlaku di suatu Negara tertentu pada saat
tertentu itu, memiliki keterbatasan, yaitu:
● jumlah peraturan perundang-undangan,
● peraturan perundang-undangan itupun diserahkan pada hakim untuk
diinterpretasikan sebelum ditetapkan dan diterapkan, dan
● dalam setiap peraturan perundang-undangan memiliki klausula untuk
diubah dan diperbaiki, jika di kemudian hari ditemukan kesalahan atau
kekeliruan. dan Memahami Hukum
5) Fungsi sosial dari hukum untuk memenuhi kebutuhan nyata masyarakat
sering ditemukan ketegangan antara hukum yang normative dan hukum
yang empirik. Hukum adalah suatu gejala sosial/masyarakat yang harus
melayani kepentingan-kepentingan atau kebutuhan-kebutuhan nyata
masyarakat. Karena itu, hukum dipelajari tidak hanya berdasarkan pada
agama atau aliran filsafat tertentu akan tetapi harus berdasarkan pada
'penghidupan dan kehidupan itu sendiri' het recht is het leven zelf (hukum
adalah hidup itu sendiri) begitulah adagium dari Historische School
(Madhzab Sejarah dan Kebudayaan).

BAB IV TUJUAN DAN KEGUNAAN MEMPELAJARI FILSAFAT


HUKUM
Tujuan filsafat hukum adalah untuk menemukan hakekat hukum, tentang
dasar mengikat dari hukum. Tujuan filsafat hukum bergantung pada paradigma
yang dianutnya. Selain memiliki tujuan filsafat hukum memiliki kegunaannya
setelah tujuan ilmu itu tercapai. Kegunaan filsafat hukum sejalan dengan tujuan
hukum yaitu menemukan guna hukum secara substantif yaitu kesejahteraan sosial.
A. Tujuan Mempelajari Filsafat Hukum
Filsafat hukum membahas hal-hal mengenai hukum secara integrated dan
holistic, karena filsafat hukum berbicara tentang hati nurani (geweten) soal
keyakinan terhadap hukum, seperti yang dikatakan Gustav von Radbruch 'ultimate
values mustbe believed, they cannot be proved.' Dengan demikian tujuan
mempelajari filsafat hukum adalah untuk mempelajari bagaimana filsafat
digunakan untuk menemukan hukum secara hakiki. Gustav Radbruch membagi 3
(tiga) bidang kajian yang menjadi tujuan filsafat hukum untuk mencari,
menemukan, dan menganalisisnya, yaitu aspek keadilan menyangkut keselasaran,
keseimbangan, dan keserasian antara hak dan kewajiban subjek hukum; aspek
tujuan keadilan atau finalitas yaitu menentukan isi hukum agar sejalan dengan
tujuan yang hendak dicapai dengan hukum sebagai instrumentalnya; dan aspek
kepastian hukum atau legalitas yaitu menjamin bahwa hukum mampu
memberikan dan menetapkan hak atas sesuatu dari seseorang sebagai subjek
hukum. Hal itu merupakan tujuan mempelajari filsafat hukum secara umum,
namun ada tujuan filsafat hukum yang lebih spesifik, yaitu:
1) melakukan kajian hukum substantive secara holistic, menyeluruh,dengan
demikian dapat ditemukan hukum yang seharusnya sesuai dengan harapan
masyarakat, walaupun disana tidak mungkin ditemukan kesepahaman,
sebab setiap pemikir hukum tentu memiliki pemahamannya sendiri,
pemikiran yang subyektif yang diselaraskan dengan paradigma yang
dianutnya. Untuk menemukan hukum yang demikian, dapat mengajukan
pertanyaan: apa hukum itu?
2) melakukan kajian hukum secara metodelogis, metode pendekatan untuk
melakukan pengembangan terhadap hukum substantive; walaupun disini
tidak mungkin ditemukan satu metode untuk semua pendekatan hukum,
sebab masing-masing pendekatan secara paradigmatic tentu memiliki
metode berpikirnya masing-masing. Untuk menemukan metode
hukumyang tepat, kita mengajukan pertanyaan: bagaimana cara
yangdigunakan untuk menemukan hukum substantive itu?
3) melakukan kajian terhadap hukum secara aplikatif yaitu melakukan
evaluasi terhadap hukum yang sedang berlaku disini saat ini, hukum
positif. Untuk menemukan hal yang dicari dalam konteks yang demikian,
pertanyaan yang diajukan: untuk apa hukum ini dibuat? Apakah hukum
positif itu telah sesuai dengan tujuan yang telah diletakkan oleh hukum itu
sendiri? Dan,apakah hukum positif telah sesuai dengan tujuan yang
hendak dicapai oleh masyarakat pendukungnya?
4) untuk menemukan hukum yang lebih sesuai dengan kebutuhan
masyarakat. Pertanyaan yang diajukan ialah: mengapa hukum ini yang
diberlakukan, bukan hukum yang lain? Apakah hukum ini benar-benar
sesuai dengan yang dibutuhkan masyarakat?
5) untuk menemukan hukum sebagai pedoman yang tepat bagi para
pelaksana hukum, para birokrat, para penegak hukum, yurist, dan
hukum secara aplikatif yaitumelakukan evaluasi terhadap hukum yang sedang
berlaku disinisaat ini, hukum positif. untuk menemukan hal yang dicari
dalamkonteks yang demikian, pertanyaan yang diajukan: untuk apa hukum ini
dibuat? Apakah hukum positif itu telah sesuai dengan tujuan yang telah diletakkan
oleh hukum itu sendiri? Dan,apakah hukum positif telah sesuai dengan tujuan
yang hendakdicapai oleh masyarakat pendukungnya?
B. Kegunaan Mempelajari Filsafat Hukum
Yang perlu ditekankan adalah bahwa hukum adalah alat bukan tujuan.
Oleh karena sebagai alat, maka tidak selamanya hukum itu dipertahankan, artinya
sebagai alat maka hukum itu selalu dicari formulasinya yang sesuai dengan
kebutuhan masyarakat. Karena kebutuhan masyarakat itu terus berubah dan
berkembang sesuai dengan perubahan dan perkembangan masyarakatnya, maka
hukum yang benar, adil, dan bermanfaat tentunya mengikuti perkembangan
masyarakatnya itu, sebab "bukan masyarakat untuk hukum tetapi hukum untuk
masyarakat."
BAB V TUGAS FILSAFAT HUKUM
Tugas filsafat hukum adalah memformulasi cita-cita politik dalam konsep
keadilan dan ketertiban hukum. Sebagaimana tujuan dan fungsi filsafat hukum
yang selalu berorientasi pada paradigma yang dianut, maka tugas hukumpun juga
tidak terlepas dari paradigma hukum yang dianut. Filsafat hukum dapat berfungsi
secara baik apabila iamenjalankan tugasnya dengan baik pula. Tugas hukum tidak
terlepas dari paradigm hukum yang dianut. Misalnya hukum alam mempunyai
tugas menciptakan keadilan dan kesejahteraan, tugas hukum positif adalah
menciptakan kepastian hukum, dan dengan demikian keadilan, kesejahteraan,
serta ketertiban sosial dapat terjamin.
Tugas hukum menurut aliran sosiologal jurisprudens adalah untuk
memberikan kesejahtera-an yang benar-benar nyata bukan sekedar proses formal
belaka. Jika penekanan hanya pada formalisme hukum, maka paradigm yang
dianut adalah formalisme hukum. Formalisme hukum seringditemukan sebagai
bagian dari paradigma positivisme.
I. Tugas "Legal Idealism"
1) Cita-cita hukum: cita-cita hukum yang berlaku umum (ilmu hukum
umum) adalah cita-cita hukum formal yang prosedural. Menentukan cita-
cita hukum yang kemudian memformulasikannya ke dalam bentuk
pranata-pranata hukum:
a) Memformulasi prinsip-prinsip hukum.
b) Diterjemahkan ke dalam bentuk-bentuk yang lebih konkrit dan
teknis pemisahan kekuasaan/kewenangan.
2) Memberi dasar kepada negara untuk bertindak jika ada
pelanggaran/kelalaian.
3) Memberi pedoman kepada para birokrat untuk bekerja.

II. Fungsionalisasi Hukum dan Pendekatan Fungsional terhadap Hukum:


Idealisme hukum positif perlu dilakukan secara sistemik karena hukum
adalah suatu sistem. Sebagai sebuah sistem, cara kerjanya adalah
fungsional antara subsistem yang satu dengan subsistem yang lain.
1) Diskrepansi (perkaitan) antara bentuk hukum dan kenyataan sosial-
ekonomi:
a) perbedaan, pertentangan atau benturan antara bentuk hukum dan
kenyataan sosial ekonomi.
b) Gerakan Realis (Kaum Empirikisme) dengan menggunakan alat
bantu dari ilmu sosial untuk melengkapi ideology hukum positif.
c) Lahirnya kaum Sociological Yurisprudence yang mengubah ahli
hukum atau menghapuskan beberapa prinsip hukum positif melalui
putusan hakim. Juga penelitian para Eropa yaitu para pendiri dan
penganut Sociolegal Approach, seperti antropologi hukum,
sosiologi hukum,psikhologi hukum terhadap perkembangan
putusan-putusan hakim yang mengubah atau menghapuskan
prinsip-prinsip hukum positif yang telah ditetapkan dalam
konstitusi, membuat perbaikan terhadap pendekatan abstrak atau
filosofis, suatu hal yang tidak dapat dihindari jika hendak
memformulasi prinsip-prinsip umum dari hukum dalam beberapa
putusan Mahkamah Konstitusi.

2) Pendekatan Fungsionalisasi untuk memperkuat pendekatan idealistis:


a) Membongkar pendekatan hukum positif yang idealistis menjadi
realistik, misalnya lahirnya konsep bahwa hak milik berfungsi
sosial sebagaimana dilakukan oleh Renner. Fungsi sosial hak milik
ini ternyata berkenaan dengan kepentingan-kepentingan
pembangunan semata,bukan untuk masyarakat sebagaimana dianut
dalam hukum local atau hukum adat.
b) Adanya the big business (Kartel, Korporasi) yang dengan
bersembunyi di belakang the rule of law, atau asas-asas hukum
legalitas (nullum delictum nulla poena sine lege previalege
poenalli), kerahasiaan bank, dan sebagainya untuk melakukan
eksploitasi atau mencari keuntungan dengan mengorbankan
kepentingan masyarakat umum yang lebih luas.
c) Ditemukan juga di dalam hukum positif yang dikatakan bebas nilai
atau objektif itu ternyata hanya sesuatu yang utopis. Contoh,
adanya standard contract yang bersifat eksploitatif.
d) Kebebasan hakim untuk melakukan interpretasi ternyata diikat oleh
aturan lain seperti kode etik profesi sehingga hakim hanya sebagai
corong undang-undang atau labusde droit.

BAB VI RUANG LINGKUP FILSAFAT HUKUM


A. Ruang Lingkup Filsafat Hukum
Perkembarngan ilmu hukum modern membawa perkembangan pada bidang kajian
filsafat hukum. Filsafat hukum memilikı tugas yang lebih rigit yaitu membahas
secara fundamental dan substansial setiap persoalan atau permasalahan yang
muncul dalam masyarakat, dan yang membutuhkan pemecahan segera secara
hukum.
Filsafat hukum telah menjadi sebuah kebutuhan bagi para teoritisi dan praktisi
hukum, ketika menjalankan tugasnya sehari-hari selalu dan sering berhadapan
dengan persoalan kepastian hukum, ketertiban sosial, keamanan warga negara,
keadilan sosial, dan kesejahteraan warga negara.
B. Persoalan Pokok dalam Filsafat Hukum
Menurut Lill Rasyidi,' bidang-bidang garapan filsafat hukum meliputi:
a. Hubungan hukum dengan kekuasaan,
b. Hubungan hukum dengan nilai-nilai sosial-budaya,
c. Apa sebabnya negara berhak menghukum seseorang,
d. Apa sebab orang menaati hukum,
e. Masalah pertanggungjawaban,
f. Masalah hak milik,
g. Masalah kontrak,
h. Màsalah peranan hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat,
i. Masalah hukum sebagai control sosial dalam masyarakat.
i. Sejarah perkembangan hukum. Persoalan pokok dalam filsafat hukum sejatinya
berkaitan dengan ruang lingkup filsafat hukum. Beberapa hal essensi yaitu:
A. Keadilan
1. Pengertian
Persoalan keadilan sejalan dengan evolusi filsafat hukum. Evolusi filsafat hukum
sebagai bagian dari evolusi filsafat secara keseluruhan, berputar di sekitar
persoalan tertentu yang muncul secara berulang-ulang yaitu
keadilan,kesejahteraan, dan kebenaran. Hukum selalu berketerkaitan dengan
keadilan walaupun sering secara empiric kurang disadari sepenuhnya
sebagaimana dikatakan oleh Cicero "tidaklah mungkin mengingkari karakter
hukum sebagai hukum yang tidak adil, sebab hukum seharusnya adil". Sebaliknya
keadilan tanpa hukum ibarat menyeberangi sungai tanpa jembatan, tertatih-tatih.
Keadilan merupakan persoalan fundamental dalam hukum. Kaum Naturalis
mengatakan bahwa tujuan utama hukum adalah keadilan. Tujuan hukum yang
agak realistic itu adalah kepastian hukum dan kemanfaatan hukum.
Apa itu keadilan? Aristoteles, seorang pemikir Yunani mengatakan bahwa
unicuique suum tribuere (memberikan kepada setiap orang sesuatu yang menjadi
haknya) dan neminem laedere (janganlah merugikan orang lain) atau lengkapnya
menurut Kant, honeste vivere, neminem laedere,suum quique tribuere/tribuendi.
Ada dua macam hak yaitu pertama, hak yang dibawa sejak lahir secara alamiah
yakni hak yang diperolehnya karena ia manusia, subjek hukum alami yang disebut
hak asasi manusia, misalnya hak untuk hidup, hak untuk meperoleh pekerjaan dan
penghidupan yang layak. Yang kedua, hak yang lahir karena hukum yaitu hak
yang diberikan oleh dan berdasarkan hukum misalnya hak yang timbul dari
perjanjian. Hukum digunakan untuk menegakkan keadilan yang. Jika penegakkan
itu dilakukan di luar hukum, hal itu juga tidak dibenarkan, karena penegakkan
keadilan di luar jalur hukum menentang keadilan yang diberikan oleh hukum,
bermakna pula bertentangan dengan keadilan. Keadilan yangdibangun tanpa
hukum, dikhawatirkan bahwa perbuatannya itu tidak terkontrol dan dapat
melanggar hak asasi oranglain.
Keadilan tidak hanya menuntut agar hak asasi manusia saja yang dilindungi,
melainkan seluruh kehidupan manusia baik sebagai individu maupun sebagai
kelompok, baik sebagai warga masyarakat maupun sebagai warga negara,
kesemuanya itu wajib diatur sedemikian rupa agar semuanya terlindungi, sehingga
setiap anggota masyarakat maupun sebagai warga negara menikmati
kehidupannya dengan aman, tentram, dan damai dalam keadilan menuju
kesejahteraan.
Keadilan dapat menunjuk pada tiga hal, yaitu keadaan,tuntutan, dan keutamaan.
Keadilan sebagai keadaan menyatakan bahwa setiap orang berhak memperoleh
apa yang menjadi haknya dan diperlakukan sama secara adil pula. Keadilan
sebagai tuntutan menyatakan bahwa setiap orang berhak menuntut agar keadilan
itu diciptakan baik dengan mengambil tindakan yang diperlukan (bertindaklah
bila perlu dan wajar menurut rasa keadilan) maupun dengan menjauhkan diri dari
tindakan yang tidak adil (berbuatlah kebajikan dan jauhkanlah diri dari
ketidakadilan). Keadilan sebagai keutamaan adalah sebuah tekad untuk selalu
berpikir,berkata, dan berperilaku adil, itulah kejujuran yang substantif.
2. Keadilan menurut para filosof
a.Menurut PlatoSocrates, Menurut pandangan Plato, keadilan hanya dapat ada di
dalam hukum dan perundang-undangan yang dibuat oleh para ahli yang khusus
memikirkan hal itu. Dalam bukunya The LausPlato tidak hanya membentangkan
pemikirannya tentanghukum secara khusus, tetapi juga tentang keadilan,
sedangkan hukum secara khusus ditemukan dalam bukunya yanglain, The
Republic. Keadilan dan hukum memiliki ikatan yang sangat kuat Keadilan
diperoleh melalui penegakan hukum. Dengan mengatakan bahwa keadilan hanya
ada didalam hukum yang dibuat oleh Negara, maka ia diklasifikasinya sebagai
seorang penganut nomisme hukum.
b. Menurut Aristoteles
Aristoteles mengatakan bahwa keadilan adalah memberikan kepada setiap orang
apa yang menjadi haknya, fat jutitia bereat mundus. Dalam pengertia ini
Aristoteles membagi dua jenis keadilan yaitu justitia corrective (keadilan korekti)
dan jutitia distributiva (keadilan distributif membagi).
Keadilan distributiva (justitia distributiva) adalah keadilan membagi yang
membutuhkan distribusi atas penghargaan. Keadilan ini berkenaan dengan hukum
publik.
Keadilan corrective (justitia correctiva) adalah keadilanyang memberikan kepada
setiap orangdisini berlaku prinsip kesamaan tanpa memperhatikan jasa,jasa atau
amal baktinya.
C. Keadilan menurut Thomas Aquinas
Thomas Aquinas membagi keadilan yaitu: jutitia legalis yaitu keadilan
berdasarkan hukum. Justitia spesicalis yaitu keadilan khusus, keadilan atas dasar
kesamaan atau proporsionalitas. Keadilan khusus dibagi lagi atas tiga yaitu:
keadilan yang membagi (justitia distributiva), keadilan karena kebersamaan
(justitia coTmu-tativa), dan keadilan yang memberi (justitia vindikativa).
Keadilan membagi (Gustitia distributive), keadilan ini menuntut keadilan dalam
membagikan serta menbutuhkan pengorbanan. Keadilan karena kebersamaan
(justitia commutative) adalah keadilan berkenaan dengan kehidupan bersama
dalam masyarakat yaitu dalam transaksi seperti tukar-menukar, sewa-menyewa,
jual-beli. Keadilan kommutatif selalu sejalan dengan keadilan sosial dalam
masyarakat.
d. Teori Keadilan Hans Kelsen
Keadilan Jawaban bagi kekuatan berlakunya hukum sehingga kaidah-kaidahnya
wajib dilaksanakan dan ditaati, sangat tergantungpada huburngan yang ditetapkan
antara hukum dan keadilan.
Menurut pandangarn buku ini bahwa tujuan hukum menuntut Hans Kelsen
bukanlah untuk mencapai keadilan tetapi kepastian hukum sebagaimana doktrin
yang diajarkannya. Bagi Hans Kelsen, keadilan adalah nilai yang menjadi
grundnorm, dan grndnorm merupakan bidang kajian filsafat, bukannya hukum.
Jadi, menurut Kelsen, keadilan adalah persoalan filsafat moral dalam hubungan
antarmarnusia bukan hukum. Karena masalah hukum sebagai ilmu adalah masalah
teknik sosial bukanlah masalah moral.
e. Keadilan Sosial menurut John Rawls.
John Rawls mengemukakan teorinya tentang keadilan sosial dalambukunya 'A
Theory of Justice. Teori keadilan John Rawls dipandang sebagai teori keadilan
paling komprehensif saat ini. Tentang keadilan, John Rawls berpendapat bahwa
perlu ada keseimbangan, kesebandingan, dan keselarasan (harmony) antara
kepentingan pribadi dengan kepentingan bersama atau kepentingan masyarakat,
termasuk didalamnya negara. Bagaimana ukuran dari keseimbangan itu dibentuk
diperjuangkan dan diberikan itulah yang disebut dengan keadilan. Keadilan tidak
dapat diberikan begitu saja, melainkan melaļui perjuangan. Itulah inti dari
kehidupan ini.
1) Tujuan Teori Keadilan John Rawls, yaitu:
(a) teori keadilan sosial John Rawls mau menitikberatkan pada sederet asas-asas
umum keadilan yang mendasari dan menerangkan berbagai keputusan moral yang
sungguh-sungguh untuk wajib dipertimbangkan dalam keadaan-keadaan khusus
kita.
(b) John Rawls mau mengembangkan teori keadilan sosial yang lebih unggul atas
teori utilitarianisme dari Jeremy Bentham, John Stuart Mill, dan David Hume,
yang individualis. Yang dimaksudkan oleh John Rawls adalah 'utilitarianisme
rata-rata' (average utilitarianism).
2) Bidang Utama Keadilan
Menurut John Rawls bidang utama keadilan adalah susunan/struktur dasar
masyarakat yang meliputi: semua institusi dan pranata sosial, politik, hukum dan
ekonomi; karena susunan dasar institusi dan pranata sosial, politik, hukum dan
ekonomi, itu mempunyai pengaruh yang mendasar terhadap prospek kehidupan
indvidu. John Rawls memusatkan perhatiannya pada bentuk-bentuk hubungan
sosial yang membutuhkan kerjasama. Fungsi susunan dasar masyarakat adalah
mendistribusi kan beban dan keuntungan sosial yang meliputi kekayaan,
pendapatan, makanan, perlindungan, kewibawaan, kekuasaan, harga diri, hak-hak
atas kebebasan. Beban kerja sama sosial meliputi segala macam bea dan
kewajiban seperti kewajiban membayar pajak, taat hukum, dan menghormati
pemerintah. Disini kelihatan bahwa kehidupan sosial menjadi dasar pemikiran
Rawls.
3) Problem Utama Keadilan
Jika bidang utama keadilan adalah struktur dasar masyarakat, maka problem
utama keadilan adalah merumuskan dan memberikan alasan pada sederet prinsip-
prinsip yang harus dipenuhi oleh sebuah strukrur dasar masyarakat yang adil.
Prinsip-prinsip keadilan sosial tersebut akan menetapkan bagaimana struktur dasar
harus mendistribusi kan prospek mendapatkan kebutuhan-kebutuhan pokok.
Maka untuk mencapai prinsip-prinsip dasar keadilan yang harus dikerjakan ada
dua hal:
(a) Prinsip keadilan harus memberi penilaian konkrit tentang adil tidaknya
institusi-institusi dan praktek-praktek institusional;
(b) Prinsip-prinsip keadilan harus membimbing kita dalam mengembangkan
kebijakan-kebijakan dan hukum untuk mengoreksi ketidakadilan dan struktur
dasar masyarakat tertentu.
4) Dua Prinsip Keadilan
Dua prinsip keadilan menurut John Rawls di bawah ini merupakan solusi bagi
problem utama keadilan:
(a) prinsip kebebasan yang sama sebesar-besarnya (orinciple of greatest equel
liberty). Menurut prinsip ini setiap orang mempunyai hak yang sama atas seluruh
keuntungan masyarakat. Prinsip ini tidak menghalangi orang untuk mencari
keuntungan pribadi asalkan kegiatan itu tetap menguntungkan semua pihak.
(b) Prinsip perbedaan (the difference principle) dan prinsip persamaan yang adil
atas kesempatan (the principle of fair equality of opportunity). Inti prinsip pertama
adalah bahwa perbedaan social dan ekonomi harus diatur agar memberikan
manfaat yang paling besar bagi mereka yang paling kurang beruntung. Prinsip
kesamaan hak atas kesempatan yang diajukan Rawls akan menuntut penyusunan
institusional yang mampu menjamin bahwa A yang lahir dalam keluarga miskin
tidak kehilangan kesempatan mencapai kedudukan tertentu seperti B. Kalau ingin
diberi nama, maka nama keadilan yang demikian adalah keadilan terhadap
kesempatan yang sama untuk setiap orang dalam mengembangkan
kemampuannya.
5) Prioritas Keadilan
Prioritas tersebut harus muncul karena usaha melaksanakan sebuah prinsip
mungkin saja berdiri dalam konflik dengan prinsip yang lain.
(a) Prioritas pertama menetapkan bahwa prinsip kebebasan yang sama sebesar-
besarnya secara leksikal berlaku lebih dahulu daripada prinsip kedua, baik prinsip
perbedaan maupun prinsip persamaan atas kesempatan.
(b) Prinsip kedua merupakan relasi antar dua bagian prinsip keadilan yang kedua.
Menurut Rawls prinsip persamaan yang adil atas kesempatan secara leksikal
berlaku lebih dahulu daripada prinsip perbedaan.
6) Dasar Kebenaran Prinsip-prinsip Keadilan
John Rawls mengemukakan tiga dasar kebenaran bagi prinsip keadilan yang ia
bangun, dua di antaranya berada pada daya penilaian moral atau dasar etika yang
sungguh-sungguh harus dipertimbangkan, dan yang ketiga berdasar pada apa yang
ia sebut sebagai interpretasi terhadap teorinya.
Dasar kebenaran pertama, bersandar pada tesis bahwa jika sebuah prinsip mampu
menerangkan penilaian dan keputusan moral kita yang sungguh dipertimbangkan
tentang apa yang adil dan tidak adil, maka prinsip keadilan itu dapat diterima.
Dasar kebenaran kedua bertolak pada tesis bahwa jika menurut keputusan moral
kita sebuah prinsip dipilih dibawah kondisi yang cocok untuk pemilihan, maka
prinsip keadilan itu dapat diterima.
Dasar kebenaran ketiga, dikatakan oleh John Rawls dengan sebuah pernyataan
bahwa teorinya lebih unggul daripada konsep keadilan menurut kaum
utilitarianisme karena dalam konsepnya tentang keadilan ia memberi penjelasan
yang seksama terhadap pertimbangan kita tentang apa yang disebut keadilan.
7) Beberapa Keunggulan
Keunggulan pandangan Rawls dimulai dengan membahas tentang kebebasan
dalam rangka teorinya. Diantara pertimbangan-pertimbangan moral kita yang
paling mendasar adalah keyakinan bahwa struktur dasar masyarakat yang
mendiskriminasikan marnusia dalam hal kebebasan adalah struktur masyarakat
yang tidak adil.
8) Model Struktur Sosial yang Adil Menurut John Rawls
Pengembangan model struktur sosial yang adil oleh John Rawls dipusatkan
terutama pada susunan institusional masyarakat yang menurutnya prinsip-prinsip
perbedaan akan terpenuhi. Syarat-syarat prinsip perbedaan dapat diperoleh
melalui pengadaan empat cabang pengatur:
a) Cabang alokasi,
b) Cabang pencipta stabilitas,
c) Cabarng transfer,
d) Cabang distribus.
Cabang alokasi semacam ini dipakai untuk mempertahankan system pasar bebas.
Dengan demikian system cabang pencipta stabilitas yang fungsinya menciptakan
lapangan kerja yang layak bagi kemanusiaan, sedang cabang transfer menjamin
pendapatan minimum masyarakat entah dengan jaminan sosial atau jaminan
khusus bagi si sakit, miskin, atau pengangguran, atau lebih sistematis lagi dengan
tambahan pendapatan bertahap. Cabang distribusi bertugas menjaga keadilan
dalam pembagian dengan sarana pajak dan penyesuaian hak milik.
3. Keadilan Sosial
Keadilan adalah sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Aktualisasi keadilan
baik dalam proses pembentukan hukum "law making proces" maupun udge made
law" selalu dilakukan melalui proses hukum yang adil, terbuka, dan tidak
memihak.
Keadilan tidak hanya mengatur dan melindungi kehidupan pribadi secara
individual, melainkan secara kolektif secara bersama-sama sebagai kehidupan
sosial, baik antara hubungannya dengan sesama manusia dan antara manusia
dengan Tuhan dan alam semesta. Ketidakadilan sosial mampu memecahkana
sendi-sendi kehidupan sebuah negara. Ketidakadilan itu lahir karena ada jurang
pemisah yang sangat tajam antara: kaya - miskin, berpendidikan - tidak
berpendikan, pemegang kekuasaan politik (penguasa) - rakyat jelata, kapitalis -
buruh atau borjuasi proletar, mereka mengeruk keuntungan secara berlebihan
memeras keringat tetapi memperoleh keuntungan kecil, dan walaupun kerjanya
sedikt - mereka yaang kerjanya keras ,dengan sebagainya. Tidak ada pemerataan
kesempatan untuk menikmati keuntungan ekonomi secara adil. Oleh karena itu,
landasan untuk memperkokoh sendi-sendi keadilan sosial para founding fathers
para peletak dasar negeri ini menempatkan "Sila Keadilan Sosial bagi Seluruh
Rakyat Indonesia" dalam salah satu Sila Parncasila.
Dalam konsep yang sedang dibahas itu, kata sifat 'sosial: dalam Sila Keadilan
Sosial Pancasila bermakna "Susunan Masyarakat" atau "Struktur Sosial." Susunan
ini dapat adil atau tidak adil tergantung pada perubahan struktur sosial masyarakat
sebagai dampak dari perubahan. Tujuan keadilan sosial tidak lain adalah untuk
mengatur dan mengelola secara selaras, serasi, dan seimbang menuju harmoni.
Disini rakyat diberi kesempatan yang nyata dan proporsional untuk setiap lapisan
masyarakat membangun kehidupan mereka yang layak secara manusiawi.
B. Kedaulatan
Kedaulatan artinya kekuasaan yang tertinggi, dan pemegang kedaulatan adalah
pemegang kekuasaan tertinggi dan berdasarkan kekuasaan itu ia memiliki
kewenangan untuk membuat hukum, menerapkan hukum, dan mengevaluasi serta
menghukum para pelanggar hukum. Beberapa teori hukum mengenai kedaulatan:
a. Teori teokrasi atau teori Kedaulatan Tuhan
Teori ini mengatakan bahwa sumber kekuasaan itu diberikan oleh Tuhan. Teori
ini berkembang sejak abadpertengahan yaitu antara Abad V-XV. Penganut atau
penggagas teori ini adalah Agustinus yang kemudían diteruskan oleh Thomas
Aquinas atau Thomas Aquino, dan Marsellius.
Teori ini muncul karena berkaitan dengan lahirnya agama Katholik dengan
pimpinan tertinggnya Paus (pimpinan tertinggi Gereja Katholik Roma yaitu Ketua
para Kardinal). Teori ini memberi kekuasaan baru kepada Gereja Katholik karena
pada saat itu ada dua kekuasaan dengan dua pimpinan yaitu Kekaesaran yang
dipimpin oleh Kaisar atau Raja (Kekaeseran Romawi) dan kekuasaan Gereja
Katholik yang dipimpin oleh Paus.
Teori Agustinus mengatakan yang sesungguhnya wakil Tuhan di dunia itu adalah
Paus, bukan raja. Tetapi, kemudian ditegaskan lagi oleh Thomas Aquinas bahwa
yang benar adalah raja atau kaesar dan paus itu sama. Hanya saja ada pembagian
kerja bahwa Paus mengurusi hal yang illahi atau hal-hal yang berkenaan dengan
keagamaan, dan raja atau kaesar merngurus hal yang duniawi.
b. Teori Kedaulatan Negara
Kedaulatan itu tidaklah berada di tangan Tuhan (Gods-souvereignity), tetapi ada
pada negara. Pandangan ini berangkat dari ajaran atau teori Machiaveli di atas
Negaralah yang berwenang membuat hukum, sehingga setiap orang harus tunduk
pada hukum, dus berari tunduk pada negara. Sebab, tiada satu pun hukum yang
berlaku jika tidak dikehendaki oleh negara. Penganut teori ini adalah Jean Bodin
dan Georg Jellinek.
Teori kedauatan negara pecah menjadi dua yaitu teori kedaulatan negara yang
absolut dan teori kedalatan negara yang demokratis.
● Teori kedaulatan negara yang absolut yang mneliputi semua segi
kehidupan sehingga kepribadian seseorang warga negara menjadi hilang.
● Teori kedaulatan negara demokrasi hanya meliputi hal-hal tertentu saja
sehingga sifat darn kepribadian individu anggota masyarakat tetap
dipertahankan.
Dalam negara yang menganut teori kedaulatan negara demokrasi lahir bersamaan
dengan liberalisme, sebaliknya dalam negara yang menganut teori kedaulatan
negara yang absolut, tidak dapat sebab kebebasan warga negara dibatasi.
c. Teori Kedaulatan Hukum
Teori kedaulatan negara ini ditentang oleh Leon Duguit dan Krabbe. Menurut
Leon Duguit adalah negara tunduk pada hukum, bukan hukum tunduk pada
negara. Terhadap kritik Leon Duguit itu, Jelineck menjawab dengan sebuah teori
yang disebut "selbstbindung" (penundukkan diri oleh negara) yang mengatakan
bahwa negara dengan suka rela menundukkan diri atau mengikatkan diri secara
sukarela kepada hukum yang dibuatnya sendiri.
Leon Dugiut mengajukan keberatan terhadap teori selbstbindung dari Jelineck.
Leon Duguit mengatakan bahwa di dalamn kedaulatan negara tidak ada perbedaan
antara negara dengan organ-organnya, artinya tidak ada perbedan dan pembedaan
antara negara dengan pemerintahan, atas lebih tegas dan nyata lagi adalah orang-
orangnya yaitu para pelaksana negara, sebab negara pada hakekatnya adalah
sebuah badan atau lembaga yang abstrak. Jadi, selbstbindung itu bukan
selbstbindung dari negara tetapi selbstbindung dari orang-orangnya.
d. Teori Kedaulatan Rakyat
Berdasarkan teori di atas, rakyat yang tertindas berusaha mencari kekuatan baru
dalam menghadapi kekuatan dan kekuasaan raja yang absolut. Hal ini berawal
dari kaum penentang raja yaitu Kaum Monarkomaken yang dipelopori johanes
Althius. Kedaulatan rakyat ini dicari bukan bersumber pada hukum Tuhan, hukum
negara, atau perintah raja tetapi pada hukum alam.
Berdasarkan teori itu itu dikatakan bahwa kekuasaan yang ada pada raja bukan
dari Tuhan, atau dari negara, atau dari hukum, tetapi dari suatu perjanjian
bersumber pada penundukkan diri.
Bersumber dari pandangan Johanes Althius lahirlah teori Perjanjian Sosial atau
Du Contract Social yang dikemukakan oleh Jean Jeques Rouseau. Menurut teori
yang dikemukakan oleh Jean Jeques Rouseau bahwa pertama-tama ada perjanjian
masyarakat antar individu. Individu-individu itu membuat perjanjian dimana para
individu itu menyerahkan kekuasaannya kepada masyarakat, dan selanjutnya
masyarakatlah yang menyerahkan kekuasaan itu kepada raja. Jadi,
Sedangkan teori yang dikemukaan oleh Johanes Althius itu bersumber pada
hukum alam. Menurut teori perjanjian sosial Jean Jacques Rouseau bahwa
masyarakat yaang dibangun itu bukan berdasarkan pada jumlah individu yang
berkumpul, melainkan pada kesatuan kehendak yang menurut J.J Rouseau disebut
Kehendak Umum atau Volunte Generale yang mencerminkan kehendak umum
anggota masyarakat, sebab yang dimaksud rengan rakyat adalah berdasarkan
penjumlahan individu-individu dalam masyarakat, jadi bukannya kesatuan
kehendak yang dibentuk oleh individu.
C. Keteraturan dan Kepastian Hukum
Keteraturan dalam konteks yang sedang dibicarakan ini berkenaan juga derngan
tugas hukum menurut kaum positivis. Jadi, kaum positivis yang dimaksud adalah
kaum positivis yang fungsionalis. Dengan demikian, walaupun keadilan menjadi
orientasi pemikiran kaum Naturalis bukan berarti keadilan itu terlepas dari
perhatian kaum positivis. Oleh karena itu, secara umum keadilan, kegunaan, dan
kepastian hukum telah menjadi tujuan umum dari hukum baik hukum positif (ius
constitutum) maupun hukum dalam cita-cita (ius constituendum).
Hukum yang tidak konsisten akan melahirkan kekacauan, dan ia akan kehilangan
kredibilitas dan akuntabilitas masyarakat.
D. Hukum dan Perlindungan HAM
Salah satu tujuan hukum adalah untuk melindungi hak asasi manusia. Hak asasi
manusia merupakan hak dasar manusia sebagai citra Tuhan Yang Maha Esa, yang
dibawanya sejak lahir. Hak asasi manusia bukan diberikan melainkan ada dengan
sendirinya, oleh karena itu dengan dan melalui hukum negara wajib
melindunginya.
Martabat manusia yang luhur ini berlandaskan pada kepribadiannya, yaitu
keunikan setiap manusia sebagai individu rohani. Oleh karena itu, manusia tidak
dapat lain daripada mengembangkan diri secara sadar dan terarah sesuai dengan
akal budinya yang sehat. Perkembangan manusia sebagai pribadi yang unik tidak
dapat berlangsung selain dalam hubungan dengan pribadi-pribadi manusia lain,
karena manusia bercorak sosial. Hak asasi adalah miliknya subjek hukum,
khususnya anusia yaitu natuurlijke person. Disamping hak asasi ada juga
kewajiban asasi. Keseimbangan atau kesebandingan antara hak dan kewajiban ini
melahirkan keadilan.
Sekali lagi ditekankan bahwa hukum bukan tujuan, tetapi sarana untuk
menegakkan hak asasi manusia. Oleh karena itu penegakkan hukum harus
memperhatikan hak-hak asasi manusia.
Jika hak-hak asasi manusia ditegakkan secara konsisten dan konsekuen, maka
niscaya keadilan, kerteraturan, ketertiban dan keamanan akan terjamin secara
dengan sendirinya. Menurut sejarahnya, asal mula hak azasi manusia itu berasal
dari Eropa Barat, khususnya di Inggris. Tonggak pertama kemenangan hak azasi
manusia itu pada tahun 1215 M yang ditandai dengan lahirnya Magna Charta.
Dalam Magna Charta itu dicantumkan hak-hak para bangsawan yang harus
dihormati raja Inggeris. Disebutkan bahwa Raja tidak boleh bertindak sewenang-
wenang, dan tindakan-tindakan tertentu, raja harus meminta persetujuan para
bengsawan. Perkembangan selanjutnya adalah Revolusi Amerika tahun 1776,
Revolusi Prancis tahun 1789. Revolusi Amerika melahirkan the Virginia Bill of
Rights, di dalamnya mengatur tentang hak bagi setiap orang untuk hidup merdeka,
bebas dari Inggris. Intinya setiap manusia berhak untuk menikmati hidup,
kebebasan, dan mengupayakan kebahagiaan (life, liberty, and the pursit of
happiness).
Pada tahun 1789 meletus Revolusi Prancis yang bertugas membebaskan warga
negara Prancis dari kekangan dan kungkungan kekuasaan raja yang absolute, Raja
Louis XIV. Revolusi melahirkan Declaration des droit de l'home et du citoyen.
Revolusi Prancis bertolak dari pandangan bahwa manusia adalah baik dan karena
itu harus hidup bebas. Orang-orang lahir dan bidup bebas serta sama di hadapan
hukum (Les hommes naissentet demeurent libres et egauxen droits). Hak-hak itu
mencakup: kebebasan, milik, keamanan, dan perjuangan melawan penjajahan.
Pada tahun 1918 lahir pula hak buruh yang dideklarasikan dalam Revolusi
Bolshewik di Rusia. Inti dari dokumen ini berisi beberapa hak asasi manusia
misalnya hak-hak rakyat untuk berkarya dan yang diperas, yang muncul setelah
Kaum Komunis memenangkan Revolusi Bolshewijk itu. Perjuangan terhadap hak
azasi manusia pada abad 17 dan 18 dipengaruhi oleh gagasan mengenai hukum
alam/hukum kodrat yang dikemukakan oleh John Locke (1632 - 1714) dan JJ
Rouseau (1712 - 1778). Hak-hak itu hanya terbatas pada hak politik saja seperti
persamaan hak, kebebasan berpendapat, berkumpul, mengeluarkan pendapat, hak
untuk memilih dan dipilih. Dalam perkembangan selanjutnya, pada abad 20
gagasan tentang hak asasi manusia semakin luas dan kompleks. Franklin Delano
Roosevelt dengan gagasannya tentang The Four Freod yang dikernal dengan
sebutan the Four Freedom of Roosevet (1882-1945) menyebutkan empat hak-hak
dasar yang disebut empat kebebasan pokok yaitu: freedom of speech; freedom of
relio; freedom of want; and freedom from wear.
Berkenaan dengan hak azasi manusia, PBB pada tanggal 10 Desember 1948 telah
mendeklarasikarn dan mengeluarkan pernyataan bersama yang disebut Universal
Declaration of Human Rights. Deklarasi ini kemudian diikuti dengan dua kovenan
dan satu protocol, yaitu:
(1) the International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights
(ECOSOB),
(2) the International Covenant on Civil and Political Rights (CIPOL), dan
(3) Optional Protocol for the Covenant on Civil and Political Rights.
Ketiganya telah diterima secara baik dalam Sidang PBB pada tanggal 16
Desember 1966 dengan memberikan kesempatan kepada negara-negara anggota
untuk meratifikasinya.
E. Keberlakuan Hukum dan Efektifitas Hukum
Keberlakuan hukum adalah cara berada yang spesifik atau esksistensi dari hukum.
Bahasa Jerman 'geltung.' Istilah keberlakuan hukum seringkali oleh beberapa
sarjana disamaartikan (identik) dengan Keberlakuan hukum berasal dari Bahasa
Belanda 'geldings' sifat normativissme hukum.
Ada yang membedakan antara keberlakuan hukum dengan validitas hukum.
Kelsen membedakan antara keberlakuan hukum dan validitas hukum. Menurut
Kelsen Validitas berkenaan dengan eksistensi norma secara spesifik Suatu norma
adalah valid jika ia merupakan bentuk pernyataan yang mengasumsikan eksistensi
norma tersebut dan mengasumsikannya bahwa norma tersebut mempunyai
kekuatan mengikat (binding force) melalui tekanan sanksi terhadap seseorang
yang perbuatan nya diatur, diperintahkan atau dilarang. Aturan adalah hukum dan
hukum yang valid adalah norma. Jadi, hukum adalah norma yang memberikan
sanksi.
Terdapat keberlakuan yang dikemukakan oleh UIrich Klug yang dibagi atas 9
kategori keberlakuan, yaitu:
a. Keberlakuan yuridis. Keberlakuan ini mirip dengan positivitas sebagaimana
dimaksud di atas, yaitu berkaitan dengan kepastian hukum.
b. Keberlakuan etis. Keberlakuan ini terjadi jika sebuah kaedah hukum
mempunyai sifat mewajibkan. Dalam kategori Bruggink keberlakuan jenis ini
identik dengan keberlakuan evaluative.
c. Keberlakuan ideal. Keberlakuan kategori ini dapat terwujud jika kaedah hukum
ini bertumpu pada kaedah moral yang lebih tinggi.
d. Keberlakuan riil. Keberlakuan ini terwujud jika para teralamat kaedah yaitu
subjek tertuju dari suatu kaedah hukum berperilaku dengan mengacu pada kaedah
hukum itu. Keberlakuan ini terwujud secara nyata atau empiris yaitu secara praxis.
e. Keberlakuan ontologis. Keberlakuan ini akan kehilangan makna jika kaedah
hukum ini dipositifkan oleh pembentuk undang-undang yang tidak berpegangan
(mengabaikan) tuntutan-tuntutan fundamental dalam pembentukan aturan.
f. Keberlakuan sosio-relatif. Suatų kaedah hukum yang tidak memiliki kekuatan
berlaku atau kekuatan keberlakuan secara yuridis, etis, dan riil, namun masih
menawarkan sesuatu kepada para teralamat atau subjek tertuju, menurut Klug
hanya memiliki keberlakuan sosio-relatif.
g. Keberlakuan dekoratif. Keberlakuan hukum kategori ini dimiliki oleh kaedah
hukum yang hanya memiliki fungsi lambing.
h. Keberlakuan estetis. Kebelakuan ini timbul jika suatu kaedah hukum memiliki
elegansi terterntu.
i. Keberlakuan logical. Suatu kaedah hukum yang secara internal tidak
bertentangan, memiliki kekuatan berlaku atau keberlakuan logical.
Berikut ini adalah kategori keberlakuan hukum menurut Bruggink, yaitu:
a) Keberlakuan Factual atau Empris (soziologische geltung)
Keberlakuan hukum secara empiric atau factual sering disamakan dengan
efektivitas hukum. la berkenaan dengan efektivitas atau wirksamkeit dari kaedah
hukum. Keberlakuan ini dapat terwujud jika anggota masyarakat untuk siapa
kaedah hukum itu berlaku mematuhinya. Kepatuhan terhadap kaedah hukum ini
baik secara sadar atau terpaksa.
b) Keberlakuan Normatif Formal/ Yuridis (juristische geltung)
Bentuk keberlakuan ini dimaksudkan bahwa suatu kaedah hukum dibentuk sesuai
aturan-aturan hukum secara procedural oleh badan berwenang dan secara
substansial tidak bertentangan dengan kaedah-kaedah hukum lainnya, terutama
kaedah hukum yang lebih tinggi. Keberlakuan secara normative/formal'yeridis ini
jika penentuannya didasarkan pada kaedah yang lebih tinggi berdasarkan asas lex
superiori derogate legi inferiori. Menurut Brunggink bahwa keberlakuan
normative formal/ yuridis suatu kaedah hukum, jika kaedah itu merupakan bagian
dari suatu system kaedah hukum tertentu yang dalamnya kaedah-kaedah hukum
itu saling menunjuk yang satu terhadap yang lain.
c) Keberlakuan Evaluatif atau Keberlakuan Filosofis
Hukum mempunyai keberlakuan evaluatif jika kaedah bukum tersebut sesuai
dengan cita-cita hukum (rechtsidee) sebagai positif tertinggi (uberpositive werte:
Pancasila untuk Indonesia). Keberlakuan ini juga sering disebut keberlakuan
secara filosofis, artinya keberlakuan hukum evaluative suatu kaedah hukum, jika
kaedah hukum itu berdasarkan isi/materinya dipandang bernilai.
F. Kepastian Hukum
Disini hukum berfungsi sebagai sarana untuk upaya mencapai ketertiban,
keamanan dan keadilan untuk mencapai masyarakat agar tujuan hukum di atas
tercapai, maka diperlukarn kaedah hukum yang tegas, jelas, tidak berdwiarti,
diterapkan secara konsisten, dan dipertahankan secara pasti yang disebut
kepastian bukum. Oleh karena itu, kepastian hukum dibuat secara umum yaitu
aturan-aturan yarng bersifat umum dan berlaku umum.
Sehingga aturan hukum dibuat dalam Oleh karena itu, beberapa persyaratan harus
dipenuhi:
1) hukum itu tidak boleh berlaku surut,
2) keputusan hukum tidak boleh simpang siur,
3) keputusan hukum tidak boleh pandang bulu atau pilih kasih,
4) kondisi social politik harus tetap stabil dan normal.
Kepastian hukum tidak perlu bahwa untuk seluruh wilayah Negara dalam segala
hal ada satu macam aturan hukum, bukan unifikasi dan kodifikasi hukum.
Penekanannya ada ada unifikasi system, bukan unfikasi peraturan.
Kepastian hukum bukanlah terletak pada semata-mata kelompok tertentu, akan
tetapi terletak pada:
1. kepastian tentang bagaimana subjek hukum harus berperilaku secara
konsistensi dan berani menerima konsekuensinya,
2. kepastian tentang bagaimana para struktur hukum harus menerapkan hukum
atau berperilaku sesuai hukum atau dikatakan kita memiliki budaya hukum yang
tinggi, kepastian prosedural.
3. kepastian tentang bagaimana para subjek hukum menyelesaikan persoalan
dengan hukum sebagai sarananya. Ada keterbukaan terhadap kritik darn berani
menerima kritik secara apik/gentlement,
4. kepastian tentang bagaimana hukum itu berlaku nada transisi. Ada orientasi
yang jelas yaitu pada hukum yang adil dan kesejahteraan masyarakat yaitu people
centre orientated.
Jadi, secara keseluruhan kepastian terletak bukan hanva pada bentuk dan isi, tetapi
pada keseluruhan system itu digerak- kan. Dengan demikian, diperlukan sikap
keterbukaan dari pembuat dan pelaksana hukum, konsistensi dan ketegasan
(bukan kekerasan) dari para penegak hukum, dan anggota masyarakat secara
sukarela pula menerima keputusan hukum.
BAB VII PERTENTANGAN POKOK DALAM FILSAFAT HUKUM
FILSAFAT HUKUM
Ada 8 hal yang menjadi pokok persoalan pertentangan pokok dalam filsafat
hukum, yaitu mono-dualisme sebagaimana pandangan Timur yang monodualistik.
Hukum Positif dalam perjalanannya sejak abad 17 hingga sekarang ternyata telah
melahirkan banyak pertentangan-pertentangan kepentingan dalam dirinya sendiri
(intemal inconsistence) antara:
positivisme - idealisme; mempertahanka manusia sebagai perorangan/individu -
manusia sebagai mahluk sosial dalam alam semesta; demokrasi - otokrasi;
kollektivisme - individualisme; nasionalisme - internasionalisme.
a.Pertentangan marnusia sebagai bagian dari alam semesta.
Pada paradigma hukum terdapat perbedaan antara pendapat mengenai: apakah
alam semesta adalah suatu ciptaan dari ego/individu ketertiban manusia bagian
dari sebagai individu dengan manusia lebih diutamakan ataukah sebaliknya
ego/individu adalah alam semesta yaitu ketertiban umum di atas benda-benda.
b. Kehendak bebas - pengetahuan objektif Hegel mengatakan bahwa individu
dalam alam semesta itu adalah kesadaran bentukan dari sabdanya ia yang
berwibawa dan berpengaruh, dengan berpendapat bahwa sebagai individu.
c. Akal - intuisi (intellect - intuition):
Dalam sejarah manusia lahirnya rasionalisme telah membentuk pola pikir para
ahli hukum yang mengutamakan kepercayaan pada akal, seperti Sokrates, Plato,
dan Emanuel Kant.
Namun demikian ada pula pandangan sebaliknya yang mengesampingkan akal
dan mengutamakan intuisi' seperti kaum Realisme atau Empirikisme hukum.
d.Stabilitas - perubahan:
Pertentangan lain adalah bahwa. hukum positif itu bersifat statis, namun ia harus
melaksanakan missionnya untuk mengubah masyarakat. Atau dengan kata lain
hukum itu harus pasti, dan oleh karena itu tidak boleh terus-menerus berubah ia
harus stabil/mapan. Namun, hukumpun harus mampu menggerakkan adalah
apakah sesuatu yang tetap dapat menjalankan fungsinya perubahan yang selalu
sarat dengan instabilitas.
e. Positivisme - Idealisme:
Pertentangan atau benturan juga terjadi antara Positivisme dan Idealisme yaitu
cara berpikir positif dengan cara berpikir metafisis atau cara berpikir spiritualis
dengan cara berpikir materialis.
Prinsip utama dari cara berpikir idealis dari kaum Platonian bahwa hukum harus
mendasarkan dirinya pada prinsip-prinsip utama (asas-asas umum), dan
berdasarkan pada hakekat manusia sebagai makhluk yang bermoral (susila) dan
rasional (idealisme), tetapi sebaliknya hukum positif dari Austinian juga
menganggap bahwa hukum itu sebagai sesuatu hal yang ditentukan oleh objek
yang diaturnya (materialisme).
f. Kolektivisme - Individualisme:
Pertentangan politik barat sebetulnya antara 'kolektivisme' dengan
'individualisme.' Manakah yang nyata: individu ataukah masyarakat? Individu
dibawah pengawasarn masyarakat ataukah masyarakat dibawah pengawasan
individu? Individu yang menentukan masyarakat ataukah masyarakat yang
menentukan individu!
Apakah 'perorangan' (individu) atau 'masyarakatkah' yang merupakan nilai
terakhir, adalah suatu masalah yang dipelajari dengan seksama oleh ahli-ahli pikir
Yunani.
g. Demokrasi - otokrasi:
Pengertian antara demokrasi yang tirani atau individu yang iktatorial, atau antara
individualisme dengan demokrasi melawan otokrasi dengan kolektif, adalah
disebabkan oleh asosiasi sejarah pada masa kelas menengah pada abad
pertengahan, bukan pada aras teori. Masing-masing teori hukum dan aliran dalam
filsafat hukum adalah pendukung prinsip-prinsip pemerintahan yang demokratis'
atau 'otokratis.'

BAB VIII DASAR-DASAR FILSAFAT HUKUM


A. Filsafat Sebagai Paradigma Berpikir atau Pandangan Dunia
Dari paradigma atau madhzab-madhzab atau aliran-aliran dan cara pandang
sebagaimana dikemukakan di atas hanya sebagian dari aliran pemikiran hukum
yang ada, dan masing-masing paradigma itu berkembang sendiri-sendiri dengan
para pengikutnya masing-masing.
Seperti yang dikatakan Gustav von Radbruch bahwa sesungguhnya filsafat hukum
itu pada hakekatnya adalah soal hati nurani (geweten), soal kepercayaan, "Ulmate
values must be believed, they cannot be proved."
Filsafat hukum memuat unsur-unsur filsafat atau paradigma berpikir serta
memperoleh ciri khasnya secara khsusus dari teori politik. Karena semua
paradigma berpikir tentang tujuan hukum selalu berorientasi pada 'konsepsi'
manusia sebagai marnusia yang berpikir (thinking individua) dan sebagai mahluk
berpolitik (politicd being).
Dua aspek ini perlu diperhatikan dalam pelajaran filsafat hukum. Bagaimanapun
juga tiap orang berpikir secara sistematis tentang hukum baik sebagai filosof,
yurist, legislators, maupun birokrat, baik sadar atau tidak dalam pikirannya selalu
dibimbing oleh prinsip-prinsip yang oleh filsafat hukum diambil dari paradigma
yang dianut terutama dari cara pandang filsafat dan politik.

BAR IX PENGARUH ZAMAN ROMAWI


Kekaisaran Romawi menguasai wilayah yang demikian luas, hampir separuh
dunia. Kekaiseran Romawi yang berpusat di Yunani ini merupakan pusat
berkumpulnya kaum cerdik cendekia, khususnya di bidang filsafat yang sebut cara
berpikir Yunani.
A. Zaman Romawi Kuno
Kekaseran Romawi berawal dari pembangunan Kota Roma (menurut mitos
dibangun oleh Remus dan Romulus) oleh bangsa Etruska di wilayah orang Latium
di sebelah barat Sungai Tiber. Roma berasal dari bahasa Etruska, Rum = Megah =
besar/luas dan mewah. Pembangunan kota Roma ini melahirkan supremasi orang
Roma atas bangsa lain di kawasan itu, seperti orang Latium dan Sabin. Orang
Romawi terbagi menjadi dua kelas sosial yaitu Kaum Particia (patra - tanah) dan
Kaum Plebeia. Kaum Patricia adalah merel memiliki tanah dan sekaligus menjadi
tuan tanah beserta hamba sahaya, sebaliknya Kaum Plebeia adalah mereka yang
hanya menjadi rukang dan petani yang bukan tuan tanah. Patricia dikuasai oleh
kaum 1 bangsawan (negara) sedangkan Plebeya didukung oleh militer.
Dalam politik kenegaraan, orarng Romawi sangar agresif, ambisius, dan
pragmatis. Masa ini berlangsung sejak Romulus berkuasa (thn. 753 SA hingga
bangsa Etruska diusir oleh orang Roma (thn. 367 SM). Pada masa ini mereka
sudah mengenal pembagian kekuasaan antara Comitia, Magistrate, dan Senat.
Comitia keanggotaannya dipilih langsung oleh rakyat seperti DPR di Indonesia.
Comitia ada dua yaitu comitia centuriata yang erat kaitannya dengan tentara
(perwakilan militer yang ditunjuk) dan comitia tributa yang merupakan majelis
penduduk Roma semacam DPRD di Indonesia. Magis trate mengusulkan
rancangan undang-urndang untuk diputuskan dalam Comitia, setelah iru
diratifikasi (disahkan) oleh Senat sebelum diberlakukan.
Pada tahun 451 SM (masa Socrates), sepuluh warga Roma (decemviri legibus
scribundi) mengajukan petisi yang dikenal dengan Hukum XII Tabel. Namun
disayangkan rumusan yang telah diterima oleh Kaum Patricia ini musnah ketika
bangsa Keltik menyerbu dan membakar kota Roma pada tahun 387 SM.
Pada tahun 286 SM pertentangan antara Kaum Patricia dan Plebeia berakhir.
Akan tetapi polarisasi antara yang kaya dengarn yang miskir masih tetap
berlangsung, sehingga mempengaruhi tim komando dalam militer dan kegiatan
produksi yang mendukung operasi militer ke seluruh dunia. Konflik yang terus
berlangsung dan disadari betul Bangsa Etsruska (pembantaian etnis) dan ekspansi
bangsa Romawi kedua ,kelas yang saling benturan itu. Kerajaan membutuhkan
mililer negara dan militer, sehingga ada saling ketergantungan.
Peradilan Pidana merupakan peradilan pertama yang dibentuk. Pada saat itu mulai
dikenal adanya responza (artinya tanggapan, yang merupakan cikal bakal lahirnya
replik dan duplik yang dikenal sekarang) yang dipelopori oleh M. Porcius Cato
dan Manius Manilius, sekaligus menandai awal perkembangan ilmu hukum
seperti yang dikenal sekarang.
Kehidupan hukum yang semakin menonjol itu melahirkan pola pemerintahan baru
yang disebut Republik (res-publica = pemerintahan yang dikembalikan kepada
kekuasaan rakyat). Pola ini merupakarn upaya konsolidasi kekaiseran Roma yang
mulai kacau oleh perang dan kekerasan yang terus berlangsung karena balas
dendan dan perang saudara. Untuk mengatasi hal ini untuk pertama kali dibentuk
Trimvirat yang terdiri dari Marcus Tullius Cicero (Cicero), seorang ahli Hukum
dan S. Sulpicius Rufus, seorang jenderal dan C. Aquilius Galus, seorang politisi
(ahli ilmu administrasi yang mengelola polis/negara). Suatu pola politik hukum
administrasi yang menghendaki penyelesaian sengketa secara politik tanpa harus
tetapi pola pendekatan politik dan budaya secara kekeluargaan.
Konsolidasi kekaesaran Romawi terus berlangsung dengan indikasi bahwa pada
tahun 27 SM, sekolah hukum (sekolah hukum kedua) mulai dibangun, setiap
perbuatan/ perilaku pelaksana negara harus berdasarkan hukum. Mulai dikenal
luas profesi hukum atau lawyer yang kita kenal sekarang. Tahun-tahun berikutnya
mulai dibentuk sekolah-sekolah hukum di Berytus (Beirut sekarang).
B. Kelahiran Bentuk Pemerintahan Demokrasi
Dengan naiknya Diocletianus sebagai Dominant (284 - 565 M) Dominant berarti
= Yang Menguasai atau Penguasa tetapi berkedudukan di daerah atau pemegang
kekuasaan otonomi di daerah untuk menggantikan Principat, maka lahirlah pola
pemerintahan demokrasi dengan bentuk pemerintahan republik kedua.
Disebut republik kedua, sebab ada perubahan pola penguasaan dari Principat yang
sentralistik ke Dominant yang desentralistik.
Diocletiarnus membuat kebijakan pertama yaitu membentuk pemerintahan
desentralisasi untuk mengurangi beban pemerintahan pusat. Konsep inilah yang
memberikan inspirasi lahirnya pemerintahan republik federasi.

BAB X ABAD PERTENGAHAN


Agustinus menjungkir balikan pola pikir lama yang dibangun oleh Socrates, Plato,
dan Aristoteles yang berpusat pada manusia yaitu rasio. Agustinus
mengembalikan pola pikir itu kepada alam yaitu Tuhan, Deisme, khususnya
ajaran Gereja Katholik. Adapun alasannya adalah pola pikir lama tidak mampu
membawa kesejahteraan manusia, bahkan sebaliknya membawa perpecahan.
A. Pengaruh Agustinus
Abad pertengahan merupakan suatu babak baru yang sangat menentukan dalam
bidang hukum dan politik, karena paradigma hukum dan politik lama (yaitu
paradigma hukum dan politik masa Romawi) tidak mampu menerima dan
menyesuaikan diri dengan paradigma baru yang datang kemudian, seperti tatanan
kehidupan Muslim, skisma, dan alternatif historis baru. Dalam kondisi ini,
Kekaeseran Romawi runtuh karena lahirnya Agama Kristen dan Islam. Masing
masing agama ini memiliki paradigma baru dalam bidang hukum dan politik.
ldeologi kebersamaan yang bersumber dari Filsafat Plato (yang Monisme) dalam
agama Katholik masa Romawi didekosntruksi oleh paradigrna baru yang
individualis dan liberalistis dalam Agama Kristen yang lahir di Jerman, serta
pandangan yang berbeda dari Agama Islam.
Pada masa itulah lahir paradigma baru dalam hukum dan politik yang dibangun
oleh Aurelius Augustinus dalam bukunnya De Critates Dei (Nepara lllahi).
Agustinus bersumber pada Falsafah Aristoteles (yang Pluralisme) tentang
"Dualisne Cvitates." Disebut dualistis/pluralistie sebab Agustinus mengajukan
tesisnya yarng bertolak dari pemisahan kosmis antara civitas Dei (warga llahi)
dengan civitas terrena (waro fana; fana dalam istilah local/Yunani berarti syaitan).
Ajaran Agustinus bertumpu pada ajaran Injil tentang Tuhan sebagai pencipta alam
semesta (Genesis). Teori ini menjadi landasan teoritis dalam pembentukan stelsel
kekuasaan Gereja Katholik dalam kehidupan manusia. Stelsel itulah yang
kemudian meniadi sendi kehidupan sosial, budaya, politik, dan hukum.
Doktrin St. Agustinus bahwa "kebernaran hanya ada di dalam ajaran Gereja, di
luar Gereja tidak ada kebenaran." Artinya ajaran yang bersumber pada rasio
adalah tidak benar, keberanaran bersumber pada keyakinan atau iman. Iman
adalah sumber segala-galanya. Oleh karena itu zaman inilabh disebut the dark
ages atau masa kekelaman. Disebut the dark ages atau masa kekelaman sebab
upaya manusia yarlng telah dirintis dan dikembangkan sejak masa Socrates masa
abad pertengahan ini dihentikan dan sepenuhnya dengan aruk mencapai
kesejahteraan hidup melalui kekuatan akal, justru mengembangkan (interpretasi)
terhadap injil (Evangelis = salda atau Kabarnologi).
Selain itu Agustinus juga mengatakan bahwa proses alam semesta berlangsung
menurut rencana Tuhan. Hukum yang lahir dari rencana Tuhan itu disebut Lex
Aeterna (Hukum Abadi). Hukum rencana Tuhan atau lex aeterma itu dibaca oleh
batin manusia secara alami sehingga disebut lex naturalis yang menerangkan baik,
indah dan tidak indah. Berdasarkan ajaran yang demikian, untuk menentukan apa
yang pantas dan tidak pantas, adil dan tidak adil, baik dan tidak baik,
interpretasinya diserahkan sepenuhnya kepada Kaum Klerus yaitu para pejabat
gereja, seperti Paus, Kardinal, Uskup, dan Pastor.
B. Thomas Aquinas dan lahirnya Filsafat Skolastik
Thomas Aquinas terkenal dengan ajarannya tentang Metode Skolastika. Mengapa
demikian? Awal abad ke-5 kekaeseran Romawi diserang oleh bangsa Bar-bar
dibawah pimpinan Goths dan menceraiberaikannya. Dampaknya luar biasa sebab
kekacauan dimana- dimana-mana hancur. Yang tersisa hanya Gereja Katholik
(Roma) mana, negara tidak ada lagi wibawanya, lembaga kemanusiaan. Dibawah
semangat dan wibawa Gereja Katholik inilah lembaga pendidikan berkembang
serta pembentukan mentalitas dan moralitas manusia menjadi andalannya.
Disinilah peran Gereja Katholik saat itu. Inti ajarannya adalah skolastisisme yang
menjadi ciri khas pendidikan Abad Pertengahan, terutama yang dibina oleh para
tabib (pertapa Katholik). Cirikhasnya adalah adanya kebebasan dari para guru di
sekolah-sekolah untuk mengekspresikan sudut pandangnya sendiri-sendiri. Akan
tetapi, masih terdapat unsur-unsur universal yang merajut benang merah antar
pendidik di sekolah-sekolah itu.
Di tingkat perguruan tinggi diberi sebuah landasan baku yang disebut Lectio
(kuliah) yaitu membaca dan memberberkan isi sebuah teks yang ditugaskan oleh
Lector (dosennya). Dengan demikian unsur utama dalam metode ini
mengedepankan teknik hemeneutika (penafsiran) yaitu membaca sebuah teks
harus sesuai dengan maksud pengarangnya yaitu memahami multiplikasi makna
kata-kata dan kekavaan terminologi yang terdapat di dalam teks itu.
Thomas Aquinas adalah pelopor Skolastik, yaitu penganut hukum alam yang
melibatkan ajaran Aristoteles kedalam ajaran gereia Katholik, sehingga sering
dikatakan Aristotelisme Kristen. Dalam karya-karyanya, Thomas Aquinas
mempersatukan alam dan akal ke dalam satu sistem kosmos yang harmornis, yang
lahir dalam bentuk syndresis. Dengan berpegang pada ajaran Agustinus, Thomas
Aquinas menyebut tertib kosmos itu sebagai lex aeterna (hukum abadi) yang
berlaku secara nyata dalam kognisi oleh akal manusia, manakala ditafsirkan
sebagai lex naturalis. Lex aeterna ini dalam pengertiannya yang pokok disetarakan
dengan akal yang digunakan
Tuhan dalam penciptaan alam semesta. Aktualisasi lanjutannya untuk
keseimbangan alam diturunkan dalam bentuk hukum alam atau hukum kodrat atau
lex naturalis. Hukum alam ini merupakan pantulan 'akal illahi' yang terdapat di
dalam setiap ciptaan sebagaimana dimanifestasikan atau diaktualisasikan di dalam
berbagai kecenderungan setiap ciptaan untuk mencari dan menemuikan
kebaikannya sendiri dan mernghindari kejahatan.
Kaidah dasar dari lex naturalis disebut syndresis, yang berbunyi: Lakukanlah yang
baik dan hindarilah yang jahat. Dasar dari lex naturalis diterapkan secara konkret
dalam perbuatan manusia sebagai lex humana (hukum manusia). Dalam kerangka
lex humana sekaligus merupakan akrualisasi dari rasa keadilan umum atau iustitia
legalis (yang merupakan kerangka dasar dari ajaran legalisme sekarang ini).
C. Zaman Renaissance: Kembali ke Rasionalisme dan Lahirnya Individualisme
Renaissance berasal dari Bahasa Prancis yang diadopsi dari Bahasa Italia,
Tenascimento = kelahiran atau kebangkitan kembali.
Yang dimaksud dengan kebangkitan kembali adalah kebangkitan kembali dari
gagasan yanng menempatkan manusia sebagai tolak ukur dalam kehidupan dan
alam semesta yang dibidani oleh Socrates, Plato, dan Aristóteles. Zaman ini juga
kemudian berkembang menjadi zaman Aufklärung atau abad enlicthtenment atau
abad pencerahan. Inti zaman ini adalah sebuah kebangkitan dengan hakekatnya
bahwa manusia ditakdirkan bebas. Bebas bukan berarti liar, tetapi dalam batas-
batas moral.
D. Jean Bodin dan Lahirnya Kedaulatan Negara
Dalam bukunya: Six livres bh Rebublique (enam buku tentang negara), ia
menawarkan konsep kadaulatan negara (absolut) sebagai kedaulatan yang tidak
terbagi (negara sebagai individu). Kekuasaan itu memang absolut, tetapi
absolutisme itu tidak berada di tangan Kaum Klerus atau Gereja, tetapi di tangan
negara. Konsep ini menjadi landasan dalam pemikiran berikutnya terutama
Thomas Hobbes, yang diterapkan oleh Louis XIV hingga Louis XVI yang jatuh
pada abad XVIII dalam sebuah revolusi, revolusi Prancis.
Menurut Jean Bodin, negara merupakan perwujudan dari usaha untuk
menertibkan kehidupan bersama manusia. Negara adalah personifikasi kehidupan
bersama manusia. Oleh karena itu, negara memiliki kedaulatan karena memang ia
personifikasi masyarakat itu. Keunggulan dari kehidupan bersama yang tertib
dapat terjalin jika hukum dibuat berdasarkan aturan yang rasional serta kaedah-
kaedah hukum yang adil, karena keadilan merupakan tolak ukur dari kekuasaan.
Artinya, kekuasaan akan kehilangan legitimasinya, jika ia tidak menghasilkan
keadilan.
Pada akhirnya pemikiran Jean Bodi dalam masa Renaisance inilah keadilan
menjadi issue utama dalam penegakan hukum dan kekuasaan, dan menempati
posisi utama dalam cita-cita hidup bernegara.
E. Hugo de Groot atau Grotius
Pandangan Goritus secara umum dapat dirangkum:
Hukum alam diilhami oleh pikiran yang tepat dan yang menyatakan bahwa
tindakan atau perbuatan adalah sebuah keputusan moral, oleh karena itu
pengejawantahan keputusan moral itu adalah kebutuhan,
b. hukum alam semata-mata bertumpu pada rasio,
c. hukum alam mengalir dari kodrat manusia yang hakiki,
d. ada dua metode untuk menentukan bahwa sebuah persetujuan yang diharuskan
dan persetujuan yang tidak diharuskan dari suatu tindakan:
1) Pembuktian 'a priori' ialah sebuah pembuktian adanya persetujuan yang
diharuskan atau ketiadaan persetujuan yang diharuskan antara suatu perbuatan
atau tindakan dengan suatu watak rasional atau kodrat sosial;
2) Pembuktian 'a posteriori' ialah cara untuk memutuskan sekalipun tidak ada
kepastian penuh, namun setidak tidaknya dengan probabilitas yang tinggi (akurat)
bahwa hal yang demikian itu diakui oleh semua atau sebagian besar barngsa-
bangsa beradab sesuai dengan hukum alam (kewajiban moral yang rasional).
e. Negara merupakan persekutuan seutuhnya dari orang-orang bebas yang terikat
oleh kesepakatan (kornsensus) satu sama lain untuk menikmati hak-hak dan
kebutuhan bersama
f. Bentuk negara ditentukan oleh sebuah "Kontrak Sosial " Sekali warga negara
menyerahkan hak dan kekuasaannya kepada negara untuk memerintah dirinya,
maka mereka tidak mempunyai hak dan kekuasaan lagi untuk mengawasinya,
g. Raja terikat oleh hukum alam melalui hati nuraninya.
h. Agar dapat hidup damai dalam sebuah persekutuan (komunitas sosial) maka
orang-orang (para anggota persekutuan itu) wajib memiliki aturan-aturan dan
kewajiban moral untuk mentaati aturan-aturan itu.
F. Thomas Hobbes (1588 – 1679): Lahirnya Kedaulatan Negara
Inti ajaran Thomas Hobbes, kurang lebih :
1. Status kodrat alam ini segala sesuatu bersifat "bellum omnium contra omnes"
(perang semua melawan semua).
2. Untuk mencegah hal tersebut manusia harus berdaya upaya untuk mencapai
perdamaian, bahkan wajib menerima dan mengakui dibatasinya kebebasan antara
satu terhadap yang lain dan berkomitmen untuk menjunjung tinggi persetujuan-
persetujuan yang diadakan,
3. Harus dibuat contrak social yang didalamnya manusia-manusia menyerahkan
hak-hak mereka kepada seorang penguasa (raja, parlemen) untuk memerintah
mereka
Pemerintah menguasa tanpa restriksi-restriksi dan tidak dapat dipecat; ia bukan
pihak dalam comtrak social dan hanya bertanggungjawab kepada Tuhan,
4. Walaupun demikian, sang Penguasa harus bertindak sesuai dengan hukum alam
(moral),
5. Hak seorang warga negara untuk membela diri tidak boleh dibatasi oleh statu
perintah Penguasa,
6. Kewajiban warga negara untuk menurut harnya ada selama Penguasa
berwenang untuk menggunakan kekuasan tersebut.

BAB XI ZAMAN AUFKLARUNG


Abad pertengahan disebut dengan abad kegelapan karena rasio manusia
dibelenggu, kebebasan berpikir manusia dikerangkeng. Akan tetapi, manusia yang
tadinya telah mengalami kejayaan alam kebebasan berpikir, kini diperjuangkan
kembali.
A. Konteks Sosial Kelahiran Zaman Pencerahan
Marthen Luther telah menggeser pemikiran Gereja Katholik dan absolutisme
kekuasaan Kaum Klerus. Pemikiran Gereja Katholik yang mengutamakan
kebersarmaan dan sakralistik telah pula berseger ke pemikiran yang lebih
individualis, liberal, dan materialistik. Dampaknya pada hukum adalah semua
hukum yang semula bersumber dan berdasarkan pada Kitab Suci, kini bergeser
kembali ke hukum yang bersumber dan berdasarkan akal atau rasio manusia.
Konsep ini melahirkan gesekan dalam politik dan hukum.
Pada jaman Aufklarung (The Age of Enlightenment = Abad Pencerahan) para
filosof mengembalikan manusia pada kekuatan rasional sepenuhnya, sehingga
zaman ini lebih dikenal dengan rasionalisme. Pada masa ini eksploitasi terhadap
metode berpikir mengantarkan manusia pada berbagai konsep penyelesaian
masalah-masalah yang berkaitan dengan komunitas kehidupan manusia yang
secara politis disusun dalam bentuk hukum yang rasional yaitu undang-undang.
Pendekatan itu menjadi nyata benar dalam karya-karya dari Immanuel Kant yang
acap kali dipandang sebagai penutup jaman Aufklarung.
Zaman Aufklarung banyak dibentuk oleh suatu keadaan dengan peperangan
panjang selama 30 tahun yang melanda daratan Eropa terutama di Jerman, yang
diakhiri dengan Perjanjian Westfalia.
Perjanjian itu ditandatangani pada tahun 1648 dengan para Penjamin Kedamaian:
di Munster antara Jerman - Prancis; di Ostnabruck antara Jerman - Swedia.
Perjanjian Westfalia adalah salah satu produk terpenting dari gelombang
reformasi. Perang ini merupakan perang agama antara Katholik dengan Protestan
yang melahirkan Agama Protestan oleh Marten Luther King pada tahun 1618–
1648.
Perjanjian Westfalia, pada pokoknya dokumen menghasilkan konsep negara yang
sekuler dengan toleransi agama. Semenjak itu, penguasa tidak berwenang lagi
menghalangi pengalihan rama dari masing-masing warganya yang disebut "Cuius
regio, eiuseligio." Perubahan itu membawa dampak di bidang politik, wewenang
kaisar untuk membuat undang-undang dan perjanjian dengan penguasa lain
mensyaratkan persetujuan parlemen. Perjanjian itu juga menghasilkan konsep
yang dikenal sebagai "the balance of power" dalam hubungan internasional.
Di bidang sosial, masa damai seperti yang dihasilkan oleh Perjanjian Wesfalia di
Eropa ini mendorong terjadinya penemuan-penemuan baru di bidang fisika,
mekanika dan kimia, yang pada gilirannya berimbas pada lahirnya industrialisasi
yang bermuara pada Revolusi Industri pada abad XIX.
B. Tokoh-tokoh Filsafat Zaman Pencerahan
Tokoh-tokoh filsafat dan politik yang membangun gagasan mereka tentang
hukum pada zaman ini:
1. John Locke dan Lahirnya The Rule of Law
John Locke adalah pembuka Zaman Pencerahan (Aufklarng atau Enlightenment)
dengan bukunya Über die Regierng atau The Second Treatise of Government.
Pemikiran John Locke dalam bukunya ini melahirkan pemikiran baru dalam masa
pembentukan negara Amerika Serikat. Konsep dasar pemikirannya adalah
keadaan alamiah sebagai suatu state of peace, Good Will, Mutual Asistance and
Preservation.
John Locke sangat menghormati hukum. Kelahiran negara memang berasal dari
Perjanjian Sosial, tetapi menurut John Locke tidak semua hak dan wewenang
rakyat diserahkan kepada negara. Kekuasaan negara yang bersumber dari hak dan
wewenang yang díberikan oleh rakyat itu hanya sebagian saja. Oleh karena hanya
sebagian, maka si penerima hak dan wewenang itu mempunyaı kewajiban pokok
yaitu menghormati hak-hak azasi rakyat yang diatur dalam Konsitusi.
Teori hukum John Locke yang terkenal bahwa negara harus pemerintah oleh suatu
govemment of laus, not of men (pemerintahan yang diperintahi oleh hukum atau
berlandaskan hukum, bukan oleh orang). Dalam bukunya Tuo Treatises of
Government ia mengutarakan konsepnya tentang pembagian kekuasaan (shared of
power), yaitu Eksekutif, Legislatif, dan Federatif. Dalam teorinya itu ia telah
meletakkan konsep tentang teori hukum dan politik yaitu balance of power,
dimana rakyat dapat memecat raja yang melakukan wanprestasi (ingkar janji) dari
perjanjian sial yang telah dibuatnya.
2. Samuel Pufendorf.
Di dalam negara harus ada pemisahan antara kekuasaan legislatif (pembuat
undang-undang), eksekutif (menjalankan undang-undang), dan federatif
(mengurus hubungan luar negeri).
Negara adalah suatu jaringan dengan anggota-anggotanya yang absolut, bukan
negara atau penguasanya yang absolut. Dalam pandangan Pufendorf,
pembentukan negara terjadi melalui dua tahap: Perjanjian untuk menggabungkan
diri (actm association) yang menjadi dasar bagi J.J Rousseau membangun teori
perjanjian sosialnya; yang kemudian disusul dengan Perjanjian untuk
menggabungkan diri (actum submissionis) yang menjadi dasar teori penundukan
diri dalam teori hukum ketatanegaraan.
3. Montesquieu (1 689 – 1755): Lahirnya Teori The Separation of Power
Dalam pandangannya bahwa 'setiap bangsa memiliki tatanan hukumnya masing-
masing yang terbentuk dari keadaan/pengalamannya masa lalu (sejarah),
kebiasaan-kebiasaan dan kesusilaannya (kultur), maupun oleh lingkungan alam
sekitarnya, seperti iklim dan keadaan geografis, sebagaimana pandangan
Aristoteles dan Von Savigny.
Dalam hal ini, Montesquieu keluar dari hukum alam, ia lebih cenderung ke hukum
sosial, kebudayaan, dan lingkungan alam.
Montesquieu ingin memahami undang-undang berdasarkan fungsinya, bukan dari
substansi atau isinya. Oleh karena itu Montesquieu membagi hukum atas 9 bidang
berdasarkan fungsinya itu yaitu: hukum alam, hukum illahiah atau hukum agama,
hukum gereja yang dibuat sebagai peraturan gereja yang dibuat oleh Kaum Klerus
(Hierarchie Gereja), hukum internacional, hukum perundang-undangan umum
(lex generali), hukum perundang-undangan khusus (lex sţpecialis), hukum
penaklukan (hukum penjajahan/colonial), hukum perdata, dan hukum keluarga.
Montesquieu mengembangkan lebih jauh konsep lohn Locke dengan menawarkan
konsep Monarchie Konstitusional, dimana kekuasaan yang satu membatasi
Kekuasaan yang lain. Konsep kekuasaan negara absolut (absolute power)
dibongkarnya (didekonstruksi) dan diganti (direkonstruksi) dengan konsep
pemisahan kekuasaan (separation of power) yang kemudian dikenal dengan Trias
Politica Montesquieu. Menurut konsep itu, Kekuasaan Eksekutif berada di tangan
Raja, yang menjadwalkarn cara kerja Legislatif, dan mempunyai hak veto
terhadap keputusan legilatif, serta diatur melalui konsep perwakilan. Lembaga
Legilatif yang dibentuk berdasarkan konsep perwakilan itulah yang menjadi
essensi dari negara dan hukum modern atau demokrasi modern dan sekaligus
melahirkan fraksi (mayoritas) yang membentuk pemerintahan dan fraksi
(minoritas) yang melakukan oposisi.
Kekuasaan Yudikatif adalah kekuasaan yang independen.
Jika dirangkum, pandangan Montesqyuieu tentang hukum, sbb:
1)Hukum-hukum alam mendahului adanya masyarakat dan menduduki tingkat
yang lebih tinggi daripada aturan-aturan agama dan negara;
2) Aturan-aturan setiap bangsa tidak tak berubah-ubah. Hal tersebut bergantung
pada factor-faktor yang selalu berubah-ubah seperti pengalaman, kebiasaan, dan
lingkungan alam;
3) Agar dapat mempertahankan kebebasan diperlukan pemisahan kekuasaan yaitu:
legislatif, eksekutif, dan yudikatif, disertai dengan pengawasan darn
keseimbangan timbalik balik (checks and balances);
4) Aturan-aturan ini harus sederhana, sesuai dengan rasio dan rasa keadilan serta
dapat dimengerti oleh setiap warga
4. Jean-Jaques Rouseau: Lahirnya Teori Du Contract Social
konsepnya tentang Perjanjian Masyarakat. Menurutnya manusia pada hakekatnya
mahluk sosial dengan hak-hak yang tidak terbatas terpaksa harus hidup dalam
persekutuan dengan aturan-aturan yang membatasi. J.J Rousseau mengatakan
bahwa terbentuknya persekutuan itu disebabkan oleh adanya persetujuan
kemasyarakatan atau perjanjian sosial sebagai dasar untuk hidup secara
berkelompok dalam kehidupan sosial-politik, suatu persetujuan yang menentukan
bahwa orang yang tergabung dalam kelompok itu wajib melepaskan hak-hak
politik individualnya untuk kepentingan bersama dalam persekutuan itu yaitu
negara. Artinya sepanjang negara membutuhkan hak-hak mereka demi
kepentingan bersama demi untuk mempertahankan hak-hak tersebut.
Menurut Rouseau, dasar negara bukanlah hukum alam atau hukum Tuhan,
melainkan perjanjian (masyarakat). Perjanjian masyarakat itu dimungkinkan
karena hakekat kebebasan (F. Liberte) yang melekat pada diri manusia. Karena
kebebasan yang menjadi hakekatnya itu, manusia mengikatkan dirinya masing-
masing kepada negara justru untuk menjamin kemederkaan (F. Independance) dan
persamaan (F. Egalite) masing-masing.
5. Immanuel Kant: Lahirnva Falsafah Transendental dan Idealisme Kritik
Dalam kerangka pemikirannya, ia mengatakan bahwa alam tampil di hadapan
manusia sebagaimana ia menggejala, dan tidak sebagaimana dia adanya.
Manusialah yang menafsirkan gejala itu (D. Erkentnis = memahami). Hidup
manusia dalam alam yang menggejala baginya itu diatur oleh kaedah kesusilaan.
Kant meletakkan landasan metodelogi hukum interpretatif.
Pada dasarnya Kant memulai teorinya dengan mengacu pada anggapan dasar
tentang problema kehendak rasional dari pribadi otonom.' Problema kehendak
rasional dari pribadi otonom' inilah yang dimaksud dengan metafisika moral yang
menjadi roh dari hukum. Kant memecahkan problema kehendak rasional dari
pribadi otonom itu dalam perspektif rasionalisme kritis.
Disini Kant bersandar pada pemisahan tegas antara: rasio reoritis dengan rasio
praktis; pengamatan dengan tindakan; fenomena dengan norma yang disebut
noumenon. Dengan demikian doktrin filsafat hukum Kant mendasarkarn dirinya
pada nalar praktis yang berdasar pada kebebasan dan otonomi manusia dan
mewujud dalam tindakan otonom. Karena konsep hukum merupakan konsep yang
murni namun berorientasi pada praktik, yakni penerapannya pada kasus-kasus
yang terjadi dalam pengalaman, sistim metafisikan hukum seharusnya
mempertimbangkan banyaknya sisi empirik dan kasus-kasus.

BAB XII ZAMAN MODERN


Pada zaman modern yang menjadi titik bahasan lahirnya negara modern dan
hukum modern yang hingga saat ini menjadi paradigma yang mapan, mainstream.
A. Konteks Sosial Kelahiran Zaman Modern
Dapat dikatakan bahwa masa pencerahan melahirkan cara berpikir modern.
Gagasan-gagasan yang berkembang di zaman Ahfklarung telah membuat manusia
di banyak bagian dunia menjadi jauh lebih peka terhadap masalah kebenaran,
keadilan, dan hak azasi manusia untuk melepaskan diri dari penindasan. Dimula
dari ambisi orang-orang Eropa untuk menguasai bangsa-bangsa dan kekayaan
alamnya di belahan bumi lain. Ketika bangsa-bangsa Eropa dan Inggeris yaitu
para pendatang di benua Amerika menjadi lebih peka terhadap masalah
kebenaran, keadilan dan hak asasi manusia untuk melepaskan diri dari penindasan
di kalangan mereka sendiri.
Buah pemikiran masa pencerahan dan kebebasan serta hak asasi manusia adalah
lahirnya revolusi di berbagai negara. Revolusi Amerika pecah pada tahun 1774
dengan diselenggarakannya Kongres Kontinental Pertama di Philadelphia oleh 13
negara New England. Tanpa mengabaikan makna politiknya, Revolusi Amerika
sangat relevan dari segi hukum, karena pemicunya adalah Undang- Undang Pajak,
Cukai, dan Meterai yang dikeluarkan oleh Pemerintahan Kerajaan Inggeris pada
tahun 1765. Revolusi Amerika adalah Konstitusi Amerika Serikat yang
dikukuhkan pada tanggal 17 September l1787. Konstitusi itu didahului oleh The
Vinginia Bill of Right, yang dirancang oleh Thomas Jefferson yang sudah lebih
dahulu dirancang pada tahun 1776.
Kemudian Revolusi Prancis pada 14 Juli 1789 dengan ditandai oleh penyerbuan
penjara Bastille di Kota Paris. Tokoh-tokohnya a.l. La Fayete (Militer), Mirabeau
(Politikus), Danton (Juris), Roberpiere (Juris), dan Marat (Kelompok Pemuda).
Revolusi yang berlangsung 13 tahun hingga tahun 1792 itu dipicu oleh gagasan-
gagasan yang berkembang pada zaman Aufklarung, terutama oleh karya-karya
Voltaire, seorang penyair terkemuka, sedangkan di bidang politik dan sosial karya
J.J Rouseau.
Tujuan utama Revolusi Prancis adalah untuk menumbang- kan penguasa yang
absolut dari raja Lɔuis XIV, Kekuasaan absolut.
B. Georg Wilhelm Hegel (1770 - 1831l): Idealisme Hukum
Filsafat hukum Hegel bertolak belakang dengan filsafat hukum Kant. Konsepsi
hukum Hegel tidak terlepas dari falsafahnya yang selalu berdasarkan pada
pandangan metafisiknya mengenai peran agama dan Roh, yaitu Roh Tuhan.
Pengaruh filsafat Hegel (pengikut Hegel disebut Hegelian)
Karena dalam pandangan Hegel, Tuhan bekerja melalui apa yang disebutnya
"Geist" ((iwa, Roh, atau Semangat). Pernyataan Hegel ini lebih bersifat darn
mencerminkan ldealisne yang memang menempatkan dirinya sebagai salah satu
Pendiri ldealisme Jerman.
Dari segi moral bagi Hegel, negara adalah komunitas etis. Dalam konteks ini
negara bukan merupakan sebuah institusi untuk merealisasi etika, melainkan
realisasi etika itu sendiri yaitu dunia etika yarng konkrit. Dunia etika konkrit
inilah yang menjadi landasan falsafah awal mula kita memahami filsafat hukum
Hegel, bukan moralitas subjektif yang individual dan abstrak.
Berdasarkarn konsepsi Hegel tentang metafisika yaitu Roh Tuhan, maka realisasi
etika adalah dunia etika konkrit dari kehidupan masyarakat. Dunia etika konkrit
ini bagi Hegel lebih penting daripada 'negara sebagai subjektivitas abstrak.' Oleh
karena itu secara sosiologis sistim nilai masyarakat sebagai sumber dari asas dan
norma sangatlah sesuai dengan konsep 'dunia etika konkrir dari Hegel.
Dalam kaitannya dengan sejarah bagi Hegel, negara adalah Vernunftstaat (Negara
Akal). Akal dan kenyataan (Wirklichtkeit) adalah identik dengan roh yang mutlak
(Absoluter Geis). Proses historis akan meningkatkan roh yang mutlak itu dalam
bentuk-bentuk yang lebih unggul dari akal dan kemerdekaan (Freiheit).
Kesempurnaan bentuk roh itu akan tercapai dalam negara jika dijiwai oleh
semangat kemerdekaan, keadilan, dan kebudayaan. Karena itu baik negara
kekuasaan (Machtstaat) maupun negara kebangsaan (Nationalstaat) seperti yang
kita alami dewasa ini di seluruh dunia. sebenarnya tidak masuk hitungan dalam
konsep filsafat hukum Hiegelian.

Anda mungkin juga menyukai