Anda di halaman 1dari 42

Pendidikan Pancasila BAB 2 & 3

07 September 2022
Nama : Ardio Ananta Putra L
Kelas : A
Nim : P322007

Dalam kehidupan bangsa Indonesia, diakui bahwa nilai-nilai Pancasila adalah falsafah hidup atau
pandangan hidup yang berkembang dalam sosial budaya Indonesia. Nilai Pancasila dianggap nilai dasar
dan puncak atau sari budaya bangsa. Oleh karena itu, nilai ini diyakini sebagai jiwa dan kepribadian
bangsa. Dengan mendasarnya nilai ini dalam menjiwai dan memberikan watak (kepribadian dan
identitas), maka pengakuan atas kedudukan Pancasila sebagai falsafah adalah wajar.

Sebagai ajaran falsafah, Pancasila mencerminkan nilai-nilai dan pandangan mendasar dan hakiki rakyat
Indonesia dalam hubungannya dengan sumber kesemestaan, yakni Tuhan Yang Maha Pencipta. Asas
Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai asas fundamental dalam kesemestaan, dijadikan pula asas
fundamental kenegaraan. Asas fundamental itu mencerminkan identitas atau kepribadian bangsa
Indonesia yang religius.
Sejak kelahirannya sebagai falsafah nasional modern (1 Juni 1945), Pancasila telah dinyatakan menjadi
milik nasional, artinya milik seluruh bangsa Indonesia Sekalipun telah merasa memiliki Pancasila, tetapi
belum tentu secara otomatis sudah mengamalkan Pancasila tersebut. Untuk dapat mengamalkan Pancasila
yang juga disebut menjadi Pancasilais seharusnya memenuhi tiga syarat, yaitu (1) keinsyafan batin
tentang benarnya Pancasila sebagai falsafah negara, (2) pengakuan bahwa yang bersangkutan menerima
dan mempertahankan Pancasila, dan (3) mempersonifikasikan seluruh sila-sila Pancasila dalam perbuatan
dengan membiasakan praktik pengamalan seluruh sila-sila dalam sikap, perilaku budaya, dan politik.

A. Cara Berpikir Filsafat

1. Pengertian filsafat

Secara etimologi, kata falsafah berasal dari bahasa Yunani, yaitu: philosophia, philo/philos/philein yang
artinya cinta/pecinta/mencintai dan sophia, yang berarti kebijakan/wisdom/kearifan/hikmah/hakikat
kebenaran. Jadi, filsafat artinya cinta akan kebijakan atau hakikat kebenaran.
Berfilsafat berarti berpikir sedalam-dalamnya (merenung) terhadap sesuatu secara metodik, sistematis,
menyeluruh, dan universal, untuk mencari hakikat sesuatu. Menurut D. Runes, filsafat berarti ilmu yang
paling umum serta mengan dung usaha mencari kebijakan dan cinta akan kebijakan (BP-7, 1993:8).

Pada umumnya, terdapat dua pengertian filsafat, yaitu filsafat dalam arti proses dan filsafat dalam arti
produk. Selain itu, ada pengertian lain, yaitu filsafat sebagai ilmu dan filsafat sebagai pandangan hidup.
Demikian pula, dikenal ada filsafat dalam arti teoritis dan filsafat dalam arti praktis.

Pancasila dapat digolongkan sebagai filsafat dalam arti produk, sebagai pandangan hidup, dan filsafat
dalam arti praktis. Hal ini berarti filsafat Pancasila mempunyai fungsi dan peranan sebagai pedoman dan
pegangan dalam sikap, tingkah laku dan perbuatan dalam kehidupan sehari-hari, dalam kehidupan
bermasyarakat berbangsa, dan bernegara bagi bangsa Indonesia di mana pun mereka berada.

Sebelum seseorang bersikap, bertingkah laku, atau berbuat, terlebih dahulu ia akan berpikir tentang sikap,
tingkah laku, dan perbuatan mana yang sebaiknya dilakukan Hasil pemikirannya merupakan suatu
putusan dan putusan ini disebut nilai. Nilai adalah sifat, keadaan, atau kualitas dari sesuatu yang
bermanfaat bagi kehidupan manusia, baik lahir maupun batin. Setiap orang di dalam kehidupannya, sadar
ata tidak sadar, tentu memiliki filsafat hidup atau pandangan hidup. Pandangan hidup atau filsafat hidup
seseorang adalah kristalisasi nilai-nilai yang diyakini kebenarannya ketepatan, dan manfaatnya. Hal itulah
yang kemudian menimbulkan tekad untuk mewujudkan dalam bentuk sikap, tingkah laku, dan perbuatan.
Nilai-nilai sebagai hasil pemikiran yang sedalam-dalamnya tentang kehidupan yang dianggap paling baik
bagi bangsa Indonesia adalah Pancasila, baik sebagai filsafat maupun sebagai pandangan hidup. Filsafat
merupakan kegiatan pemikiran yang tinggi dan murni (tidak terikat langsung dengan suatu objek), yang
mendalam, dan daya pikir subjek manusia dalam memahami segala sesuatu dalam mencari kebenaran.
Berpikir aktif dalam mencari kebenaran adalah potensi dan fungsi kepribadian manusia. Ajaran filsafat
merupakan hasil pemikiran yang sedalam dalamnya tentang kesemestaan, secara mendasar (fundamental
dan hakiki).

Filsafat sebagai hasil pemikiran pemikir (filosof), merupakan suatu ajaran atau sistem nilai, baik
berwujud pandangan hidup (filsafat hidup) maupun sebagai ideologi yang dianut suatu masyarakat atau
bangsa dan negara. Filsafat demikian telah berkembang dan terbentuk sebagai suatu nilai yang
melembaga (dengan negara) sebagai suatu paham (isme), seperti kapitalisme, komunisme, sosialisme,
nazisme, fasisme, theokratisme, dan sebagainya yang cukup mempengaruhi kehidupan bangsa dan
negara modern.

2. Sistem filsafat

Pemikiran filsafat berasal dari berbagai tokoh yang menjadikan manusia sebagai subjek. Perbedaan latar
belakang tata nilai dan alam kehidupan, cita-cita dan keyakinan yang mendasari tokoh filsafat itu
melahirkan perbedaan-perbedaan mendasar antarajaran filsafat. Meskipun demikian, antarajaran tokoh-
tokoh filsafat mempunyai persamaan, sehingga dapat digolongkan dalam aliran berdasarkan watak dan
inti ajarannya. Jadi, aliran filsafat terbentuk atas beberapa ajaran filsafat dari berbagai tokoh dan dari
berbagai zaman. Tegasnya, perbedaan aliran bukan ditentukan oleh tempat dan waktu lahirnya filsafat,
melainkan oleh watak isi dan nilai ajarannya.

Suatu ajaran filsafat yang bulat mengajarkan tentang berbagai segi kehidupan yang mendasar. Suatu
sistem filsafat sedikitnya mengajarkan tentang sumber dan hakikat realitas, filsafat hidup, dan tata nilai
(etika), termasuk teori terjadinya pengetahuan manusia dan logika. Sebaliknya, filsafat yang mengajarkan
hanya sebagian kehidupan (sektoral, frakmentaris) tak dapat disebut sistem filsafat, melainkan hanya
ajaran filosofis seorang ahli filsafat.

3. Aliran-aliran filsafat

Aliran-aliran utama yang ada sejak dahulu sampai sekarang, meliputi sebagai berikut (Lab. Pancasila
IKIP. 1990:20-21).

a. Aliran materialisme

Aliran materialisme mengajarkan, bahwa hakikat realitas kesemestaan, termasuk makhluk hidup dan
manusia ialah materi. Semua realitas itu ditentukan oleh materi (misalnya: benda-ekonomi, makanan) dan
terikat pada hukum alam, yaitu hukum sebab-akibat (hukum kausalitas) yang bersifat objektif.
merupakan norma yang paling mendasar untuk mengecek apakah kebijakan legislatif sudah dan eksekutif
sesuai dengan persetujuan dasar masyarakat?

B. Pengertian Pancasila secara Filsafat

Apabila kita berbicara tentang filsafat, ada dua hal yang patut diperhatikan, filsafat sebagai metode dan
filsafat sebagai suatu pandangan. Keduanya akan berguna bagi ideologi Pancasila. Filsafat sebagai
metode menunjukkan cara berpikir dan cara mengadakan analisis yang dapat dipertanggungjawabkan
untuk dapat menjabarkan ideologi Pancasila. Sedangkan Pancasila sebagai filsafat mengandung
pandangan, nila dan pemikiran yang dapat menjadi substansi dan isi pembentukan ideologi Pancasila.

Filsafat Pancasila dapat didefinisikan secara ringkas sebagai refleksi kritis dan rasional tentang Pancasila
sebagai dasar negara dan kenyataan budaya bangsa, dengan tujuan untuk mendapatkan pokok-pokok
pengertiannya secara mendasar dan menyeluruh. Pembahasan filsafat dapat dilakukan secara deduktif,
yakni dengan mencari hakikat Pancasila, serta menganalisis dan menyusunnya secara sistematis menjadi
keutuhan pandangan yang komprehensif. Dapat juga dilakukan secara induktif, yakni dengan mengamati
gejala-gejala sosial budaya masyarakat, merefleksikannya, dan menarik arti dan makna yang hakiki dari
gejala-gejala itu. Dengan demikian, filsafat Pancasila dapat disajikan sebagai bahan-bahan yang sangat
penting bagi penjabaran ideologi Pancasila.

Ideologi Pancasila adalah keseluruhan prinsip normatif yang berlaku bagi negara Republik Indonesia dan
bangsa Indonesia secara keseluruhan. Namun, filsafat Pancasila akan mengungkapkan konsep-konsep
kebenaran yang bukan saja ditujukan pada bangsa Indonesia, melainkan bagi manusia pada umumnya.
Manusia adalah makhluk yang khas, yaitu dilengkapi rasio dan kehendak bebas, maka etika atau filsafat
moral merupakan bagian yang penting. Di sini dibahas arti kesusilaan ukuran kesusilaan, prinsip-prinsip
susila, baik dalam kehidupan pribadi, maupun dalam kehidupan sosial. Wawasan filsafat meliputi bidang-
bidang penyelidikan kesemestaan.

1. Aspek ontologi

Ontologi menurut Runes ialah teori tentang keberadaan ada atau eksistensi

Menurut Aristoteles, ontologi adalah ilmu yang menyelidiki hakikat sesuatu dan

disamakan artinya dengan metafisika.

Pada awal pemikiran manusia, mereka berusaha mengerti hakikat sesuatu yang ada di sekitarnya, yaitu
alam dan kehidupan. Apakah realitas 8yang tampak in merupakan suatu realitas sebagai wujudnya, yakni
benda (materi)? Apakah ada suatu rahasia di balik realitas itu, sebagaimana yang tampak pada makhluk
hidup, sepert tumbuh-tumbuhan, hewan, dan manusia? Apakah sesungguhnya alam semesta,binatang-
binatang, matahari, dan bulan yang beredar, menjadikan siang dan malam bergerak (beredar) terus-
menerus? Itu semua adalah contoh-contoh masalah yang ada pada awal pemikiran manusia.

Bidang ontologi ini meliputi penyelidikan tentang makna keberadaan (ada, eksistensi) manusia, benda,
ada alam semesta (kosmologi), juga ada mutlak yang tidak terbatas sebagai maha sumber ada semesta.
Artinya, ontologi menjangkau adanya Tuhan dan alam gaib, seperti rohani dan kehidupan sesudah
kematian (alam di balik dunia, alam metefisika). Jadi, ontologi adalah bidang yang menyelidiki makna
yang ada (eksistensi dan keberadaan), sumber ada, jenis ada dan hakikat ada, termasuk ada alam,
manusia, metafisika, dan kesemestaan atau kosmologi.

Apabila ditinjau menurut sejarah asal-usul pembentukannya, Pancasila memenuhi syarat sebagai dasar
filsafat negara. Ada empat macam sebab (causa) yang menurut Notonagoro dapat digunakan untuk
menetapkan Pancasila sebagai Dasar Filsafat Negara, yaitu sebab berupa materi (causa material), sebab
berupa bentuk (causa formalis), sebab berupa tujuan (causafinalis), dan sebab berupa asal mula karya
(causa eficient)(Notonagoro, 1983: 25). Lebih jauh Notonagoro menjelaskan keempat causa itu seperti
berikut. Pertama, bangsa Indonesia sebagai asal mula bahan (causa materialis) terdapat dalam adat
kebiasaan, kebudayaan dan dalam agama-agamanya. Kedua, seorang anggota Badan Penyelidik Usaha-
Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), yaitu Bung Karno yang kemudian bersama-sama
Bung Hatta menjadi pembentuk negara, sebagai asal mula bentuk atau bangun (causa formalis) dan asal
mula tujuan (causa finalis) dari Pancasila sebagai calon dasar filsafat negara. Ketiga, sejumlah sembilan
orang, di antaranya kedua beliau tersebut ditambah dengan semua anggota BPUPKI yang terdiri atas
golongan-golongan kebangsaan dan agama, dengan menyusun rencana Pembukaan Undang-Undang
Dasar 1945 tempat terdapatnya Pancasila, dan juga Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia yang menerima rencana tersebut dengan perubahan sebagai asal mula
sambungan, baik dalam arti asal mula bentuk maupun dalam arti asal mula tujuan dari Pancasila sebagai
Calon Dasar Filsafat Negara. Keempat, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) sebagai asal
mula karya (causa eficient), yaitu yang menjadikan Pancasila sebagai Dasar Filsafat Negara yang
sebelumnya ditetapkan sebagai calon Dasar Filsafat Negara (Notonagoro, 1983:25-26).

2. Aspek epistemologi

Epistemologi menurut Runes adalah bidang atau cabang filsafat yang menyelidiki asal, syarat, susunan,
metode, dan validitas ilmu pengetahuan.

Pengetahuan manusia sebagai hasil pengalaman dan pemikiran, akan membentuk budaya. Bagaimana
proses terjadinya pengetahuan sampai membentuk kebudayaan, sebagai wujud keutamaan (superioritas)
manusia untuk disadari lebih dalam. Bagaimana manusia mengetahui bahwa ia tahu, atau bagaimana
manusia mengetahui bahwa sesuatu itu ilmu pengetahuan, hal ini menjadi penyelidikan epistemologi.
Epistemologi meneliti sumber pengetahuan, proses dan syarat terjadinya pengetahuan, batas dan validitas
ilmu pengetahuan. Jadi, epistemologi dapat disebut ilmu tentang ilmu, atau teori terjadinya ilmu atau
science of science, atau wissenschaftslehre Pengetahuan yang termasuk cabang epistemologi adalah
matematika, logika, gramatika, dan semantika (Lab. Pancasila IKIP Malang, 1990: 18-19).

Jadi, bidang epistemologi adalah bidang filsafat yang menyelidiki makna dan nilai ilmu pengetahuan,
sumbernya, syarat-syarat dan proses terjadinya ilmu, termasuk semantik, logika, matematika, dan teori
ilmu.

Sumber pengetahuan Pancasila dapat ditelusuri melalui sejarah terbentuknya Pancasila. Dalam
penelusuran sejarah mengenai kebudayaan yang berkait dengan lahirnya Pancasila sebagai dasar negara
Republik Indonesia telah diuraikan di depan, yang secara garis besar dapat dikemukakan sebagai berikut.
Akar sila-sila Pancasila ada dan berpijak pada nilai serta budaya masyarakat bangsa Indonesia Nilai serta
budaya masyarakat bangsa Indonesia yang dapat diungkap mulai awal sejarah pada abad IV masehi di
samping diambil dari nilai asli Indonesia juga diperkaya dengan dimasukkannya nilai dan budaya dari
luar Indonesia. Nilai-nilai dimaksud berasal dari agama Hindu, Budha, Islam, serta nilai-nilai demokrasi
yang dibawa dari Barat. Berdasarkan realitas yang demikian, maka dapat dikatakan bahwa secara
epistemologis, pengetahuan Pancasila bersumber pada nilai dan budaya tradisional dan modern, budaya
asli dan campuran. Selain itu, sumber historis itu, menurut tinjauan epistemologis, Pancasila mengakui
kebenaran pengetahuan yang bersumber dari wahyu atau agama serta kebenaran yang bersumber pada
akal pikiran manusia serta kebenaran yang bersifat empiris berdasarkan pada pengalaman. Dengan
sifatnya yang demikian maka pengetahuan Pancasila mencerminkan adanya pemikiran masyarakat
tradisional dan modern

3. Aspek aksiologi

Aksiologi menurut Runes berasal dari istilah Yunani, yaitu axios yang berarti nila, manfaat, pikiran atau
ilmu/teori. Dalam pengertian yang modern, aksiologi disamakan dengan teori nilai, yakni sesuatu yang
diinginkan, disukai atau yang baik, bidang yang menyelidiki hakikat nilai, kriteria, dan kedudukan
metafisika suatu nilai. Menurut Prof. Brameld, aksiologi dapat disimpulkan sebagai suatu cabang

filsafat yang menyelidiki:

a. tingkah laku moral yang berwujud etika,

b. ekspresi etika yang berwujud estetika atau seni dan keindahan, serta C. sosio-politik yang berwujud
idiologi.

Bidang aksiologi ialah cabang filsafat yang menyelidiki makna nilai, sumber nilai, jenis dan tingkatan
nilai, serta hakikat nilai. Sebagaimana dihayati manusia kehidupan manusia selalu berada dan dipengaruhi
nilai, seperti nilai alamiah dan jasmaniah (tanah subur, udara bersih, air bersih, cahaya, dan panas
matahari,tumbuh-tumbuhan, dan hewan) demi kehidupan. Kemudian ada pula nilai psikologis, seperti
berpikir, rasa, karsa, cinta, estetika, etika, logika, dan cita-cita. Bahkan ada pula nilai ketuhanan dan
agama.
Pancasila mengandung nilai, baik intrinsik maupun ekstrinsik atau instrumental. Nilai intrinsik Pancasila
adalah hasil perpaduan antara nilai asli milik bangsa Indonesia dan nilai yang diambil dari budaya luar
Indonesia, baik yang diserap pada saat Indonesia memasuki masa sejarah abad IV Masehi, masa
imperialis, maupun yang diambil oleh para kaum cendekiawan Soekarno, Muhammad Yamin,
Muhammad Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan para pejuang kemerdekaan lainnya yang mengambil nilai-
nilai modern saat belajar ke negara Belanda.

Kekhasan nilai yang melekat dalam Pancasila sebagai nilai intrinsik terletak pada diakuinya nilai-nilai
ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan sosial sebagai satu kesatuan. Kekhasan ini
yang membedakan Indonesia dari negara lain. Nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan,
dan keadilan memiliki sifat umum universal. Karena sifatnya yang universal, maka nilai-nilai itu tidak
hanya milik manusia Indonesia, melainkan manusia seluruh dunia.

Pancasila sebagai nilai instrumental mengandung imperatif dan menjadi arah bahwa dalam proses
mewujudkan cita-cita negara bangsa, seharusnya menyesuaikan dengan sifatsifat yang ada dalam nilai
ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan sosial. Sebagai nilai instrumental, Pancasila
tidak hanya mencerminkan identitas manusia Indonesia, melainkan juga berfungsi sebagai cara (mean)
dalam mencapai tujuan, bahwa dalam mewujudkan cita-cita negara bangsa, Indonesia menggunakan cara-
cara yang berketuhanan, berketuhanan yang adil dan beradab, berpersatuan, berkerakyatan yang
menghargai musyawarah dalam mencapai mufakat, dan berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pancasila juga mencerminkan nilai realitas dan idealitas. Pancasila mencerminkan nilai realitas, karena di
dalam sila-sila Pancasila berisi nilai yang sudah dipraktikkan dalam hidup sehari-hari oleh bangsa
Indonesia. Di samping mengandung nilai realitas, sila-sila Pancasila berisi nilai-nilai idealitas, yaitu nilai
yang diinginkan untuk dicapai.

Filsafat Pancasila

Filsafat Pancasila dapat didefinisikan sebagai refleksi kritis dan rasional tentang Pancasila sebagai dasar
negara dan kenyataan budaya bangsa, dengan tujuan untuk mendapatkan pokok-pokok pengertiannya
yang mendasar dan menyeluruh. Pancasila dikatakan sebagai filsafat, karena Pancasila merupakan hasil I
permenungan jiwa yang mendalam yang dilakukan oleh the founding fathers Indonesia, yang dituangkan
dalam suatu sistem (Abdul Gani, 1998).

Pengertian filsafat Pancasila secara umum adalah hasil berpikir atau pemikiran yang sedalam-dalamnya
dari bangsa Indonesia yang dianggap, dipercaya dan diyakini sebagai kenyataan, norma-norma dan nilai-
nilai yang benar, adil, bijaksana,
dan paling sesuai dengan kehidupan dan kepribadian bangsa Indonesia. Filsafa Pancasila kemudian
dikembangkan oleh Soekarno sejak 1955 sampai kekuasaannya berakhir pada 1965. Pada saat itu,
Soekarno selalu menyatakan bahwa Pancasila merupakan filsafat asli Indonesia yang diambil dari budaya
dan tradisi Indonesia serta merupakan akulturasi budaya India (Hindu-Buddha), Barat (Kristen), dan Arab
(Islam). Filsafat Pancasila menurut Soeharto telah mengalami Indonesianisasi Semua sila dalam Pancasila
adalah asli diangkat dari budaya Indonesia dan selanjutnya dijabarkan menjadi lebih rinci ke dalam butir-
butir Pancasila.

Filsafat Pancasila dapat digolongkan sebagai filsafat praktis sehingga filsafa Pancasila tidak hanya
mengandung pemikiran yang sedalam-dalamnya ata tidak hanya bertujuan mencari, tetapi hasil pemikiran
yang berwujud filsafa Pancasila tersebut dipergunakan sebagai pedoman hidup sehari-hari (way of atau
weltanschauung) agar hidup bangsa Indonesia dapat mencapai kebahagiaan lahir dan batin, baik di dunia
maupun di akhirat (Salam, 1988: 23-24).
Kehidupan manusia sebagai makhluk subjek budaya, pencipta, dan penegak nilai, berarti manusia secara
sadar mencari, memilih, dan melaksanakan (menikmati nilai. Jadi, nilai merupakan fungsi rohani jasmani
manusia. Artinya nilai di dalam kepribadian manusia. Bahkan, nilai di dalam kepribadian, seperti
pandangan hidup, keyakinan (agama), dan bagaimana manusia mengamalkannya (sama dengan moral)
merupakan kualitas kepribadian. Martabat manusia ditentukan oleh keyakinannya dan amal kebajikannya.
(1990: 19-20).

Dengan demikian, aksiologi merupakan bidang yang menyelidiki makna nila sumber nilai, jenis nilai,
tingkatan nilai, dan hakikat nilai, termasuk estetika, etika ketuhanan, dan agama.

C. Nilai-Nilai Pancasila sebagai Dasar dan Arah Keseimbangan antara Hak dan Kewajiban Asasi Manusia

Pandangan mengenai hubungan antara manusia dan masyarakat, merupakan falsafah kehidupan
masyarakat yang memberi corak dan warna bagi kehidupa masyarakat. Ada beberapa pandangan pokok
mengenai hubungan manusia dalam masyarakatnya, ada yang memberi arti yang sangat kuat kepada
manusia sebaga pribadi. Pandangan ini memberi bobot yang berlebihan. Dalam kehidupan manusi terjadi
persaingan bebas yang tidak jarang terjadi penindasan terhadap kaum yang lemah, akhirnya membawa
kecenderungan hanya yang kuat sajalah y hidup. Masyarakat yang demikian menimbulkan kepincangan,
karena tidak sesua yang dengan nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab serta asas keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia. dapal

Selain dari pandangan di atas, ada lagi pandangan lain mengenai hubungan manusia dengan masyarakat
yang memberi bobot yang berlebihan terhadap masyarakat, sehingga kedudukan manusia kehilangan
kepribadiannya
Masyarakatlah yang dianggap segala-galanya, sehingga pribadi-pribadi dianggap seolah-olah sebuah
mesin raksasa masyarakat. Dalam masyarakat yang demikian, terasa adanya tekanan batin, sehingga
kebahagiaan yang utuh tidak terpenuhi.

Berdasarkan kedua pandangan di atas, bagaimanakah menurut Pancasila arti dan hubungan antara
manusia dengan masyarakatnya? Pancasila tidak memilih salah satu dari pandangan tersebut dan juga
tidak menggabungkannya. Individualisme dan liberalisme maupun komunisme dalam segala bentuknya,
tidak sesuai dengan Pancasila. Pancasila memandang, bahwa kebahagiaan manusia akan tercapai jika
dikembangkan hubungan yang serasi antara manusia dengan masyarakat serta hubungan manusia dengan
Tuhan Yang Maha Kuasa.

Apabila memahami nilai-nilai dari sila-sila Pancasila akan terkandung beberapa hubungan manusia yang
melahirkan keseimbangan antara hak dan kewajiban antara hubungan tersebut, yaitu sebagai berikut.
1. Hubungan vertikal

Hubungan vertikal adalah hubungan manusia dengan Tuhan Yang Maha Kuasa, sebagai penjelmaan dari
nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam hubungan ini, manusia memiliki kewajiban-kewajiban
untuk melaksanakan perintah Tuhan dan menghentikan segala larangan-Nya. Sedangkan hak yang
diterima oleh manusia dari Tuhan Yang Maha Kuasa, adalah rahmat tidak terhingga Yang diberikan oleh
Tuhan yang Maha Kuasa dan pembalasan amal baik di akhirat nanti.

2. Hubungan horizontal

Hubungan horizontal adalah hubungan manusia dengan sesamanya, baik dalam fungsinya sebagai warga
masyarakat, warga bangsa, dan warga negara. Hubungan tersebut melahirkan hak dan kewajiban yang
seimbang, seperti pajak yang dibayar kepada negara sebagai suatu kewajiban warga negara, sedangkan
hak yang diterima warga negara adalah pembangunan infrastruktur (jalan raya, pengairan, dan lain-lain)
sebagai kewajiban negara terhadap rakyatnya.

3. Hubungan alamiah
Hubungan alamiah adalah hubungan manusia dengan alam sekitar yang meliputi hewan, tumbuh-
tumbuhan, dan alam dengan segala kekayaannya. Seluruh alam dengan segala isinya adalah untuk
kebutuhan manusia, namun manusia berkewajiban melestarikan alam dan kekayaannya, karena alam
mengalami penyusutan yang nilai-nilainya makin lama semakin berkurang, sedangkan manusia yang
membutuhkannya makin lama makin bertambah. Oleh karena itu, memelihara kelestarian alam
merupakan kewajiban manusia sedangkan hak yang diterima oleh manusia dari alam sudah tidak
terhingga banyaknya. Dengan demikian, hubungan manusia dengan alam memiliki keseimbangan antara
hak dan kewajiban sebagaimana hubungan manusia dengan masyarakat dan Tuhan Yang Maha Kuasa.
Pancasila adalah suatu pandangan hidup atau ideologi yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan,
antarmanusia, manusia dengan masyaraka atau bangsanya, dan manusia dengan alam lingkungannya.
Alasan yang prinsipi mengenai Pancasila sebagai pandangan hidup dengan fungsinya tersebut di atas,
adalah sebagai berikut.
a. Mengakui adanya kekuatan gaib yang ada di luar diri manusia menjadi pencipta serta mengatur serta
penguasa alam semesta.
b. Keseimbangan dalam hubungan, keserasian-keserasian dan untuk men ciptakannya perlu pengendalian
diri.
c. Dalam mengatur hubungan, peranan dan kedudukan bangsa sangat pentingPersatuan dan kesatuan
sebagai bangsa merupakan nilai sentral.
d. Kekeluargaan, gotong royong, kebersamaan, serta musyawarah untuk mufakatdijadikan sendi
kehidupan bersama.
e. Kesejahteraan bersama menjadi tujuan hidup bersama.
Isi pemikiran filsafat Pancasila sebagai suatu pemikiran filsafat tentang negara,

bahwa Pancasila memberikan jawaban yang mendasar dan menyeluruh atas masalah-masalah asasi
filosofis tentang negara yang terpusat pada lima masalah keadilan. a. Masalah pertama: Apa negara itu?
Masalah ini dijawab dengan prinsip kebangsaan

Indonesia.

b. Masalah kedua, Bagaimana hubungan antarbangsa/antarnegara? Masalah in1

dijawab dengan prinsip perikemanusiaan. c. Masalah ketiga: Siapakah sumber dan pemegang kekuasaan
negara? Masalah ini dijawab dengan prinsip demokrasi. d. Masalah keempat: Apa tujuan negara? Masalah
ini dijawab dengan prinsip negara

kesejahteraan.

e. Masalah kelima: Bagaimana hubungan antaragama dan negara? Masalah ini dijawab dengan prinsip
Ketuhanan Yang Maha Esa. Pancasila sebagai sistem filsafat mengandung pemikiran tentang manusia

yang berhubungan dengan Tuhan, dengan diri sendiri, dengan sesama, dengan masyarakat bangsa yang
semua itu dimiliki oleh bangsa Indonesia. Oleh sebab itu, sebagai sistem filsafat, Pancasila memiliki ciri
khas yang berbeda dengan sistem-sistem filsafat lain yang ada di dunia, seperti materialisme, idealisme
rasionalisme, liberalisme, komunisme, dan lain sebagainya. Kekhasan nilai filsafa yang terkandung dalam
Pancasila berkembang dalam budaya dan Indonesia, terutama sebagai jiwa dan asas kerohanian bangsa
dalam perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia. Selanjutnya, nilai filsafat Pancasila, baik sebagai
pandangan hidup atau filsafat hidup (weltanschauung) bangsa maupun sebagai jiwa bangsa atau jati diri
(volksgeist) nasional, memberikan identitas dan integritas s martabat bangsa dalam menghadapi budaya
dan peradaban dunia. sserta peradaban
Pancasila yang berisi lima sila, menurut Notonagoro (1967: 32) merupakan satu kesatuan utuh.
Kesatuan sila-sila Pancasila tersebut, diuraikan sebagai berikut.

1. Kesatuan sila-sila Pancasila dalam struktur yang bersifat hierarkis dan

berbentuk piramidal
Susunan secara hierarkis mengandung pengertian bahwa sila-sila Pancasila memiliki tingkatan
berjenjang, yaitu sila yang ada di atas menjadi landasan sila yang ada di bawahnya. Sila pertama
melandasi sila kedua, sila kedua melandasi sila ketiga, sila ketiga melandasi sila keempat, dan sila
keempat melandasi sila kelima. Pengertian matematika piramidal digunakan untuk menggambarkan
hubungan hierarkis sila sila Pancasila menurut urut-urutan luas (kuantitas) dan juga dalam hal sifat-
sifatnya (kualitas). Dengan demikian, diperoleh pengertian bahwa menurut urut-urutannya, setiap sila
merupakan pengkhususan dari sila-sila yang ada dimukanya.

Dalam susunan hierarkis dan piramidal, sila Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi basis kemanusiaan,
persatuan Indonesia, kerakyatan dan keadilan sosial. Sebaliknya, Ketuhanan Yang Maha Esa adalah
Ketuhanan yang berkemanusiaan, yang membangun, memelihara dan mengembangkan persatuan
Indonesia, yang berkerakyatan dan berkeadilan sosial. Demikian selanjutnya, sehingga tiap-tiap sila di
dalamnya mengandung sila-sila lainnya.

Secara ontologis, kesatuan sila-sila Pancasila sebagai suatu sistem yang bersifat hierarkis dan berbentuk
piramidal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut, sebagaimana diungkapkan oleh Notonagoro (1984: 61
dan 1975: 52, 57), bahwa hakikat adanya Tuhan adalah ada karena dirinya sendiri, Tuhan sebagai causa
prima. Oleh karena itu, segala sesuatu yang ada, termasuk manusia, ada karena diciptakan Tuhan atau
manusia ada sebagai akibat adanya Tuhan (sila pertama). Adapun manusia adalah sebagai subjek
pendukung pokok negara, karena negara adalah lembaga kemanusiaan, negara adalah sebagai persekutuan
hidup bersama yang anggotanya adalah manusia (sila kedua). Dengan demikian, negara adalah sebagai
akibat adanya manusia yang bersatu (sila ketiga). Selanjutnya, terbentuklah persekutuan hidup bersama
yang disebut rakyat. Rakyat pada hakikatnya merupakan unsur negara di samping wilayah dan
pemerintah. Rakyat adalah totalitas individu individu dalam negara yang bersatu (sila keempat). Adapun
keadilan yang pada hakikatnya merupakan tujuan bersama atau keadilan sosial (sila kelima) pada
hakikatnya sebagai tujuan dari lembaga hidup bersama yang disebut negara.

2. Hubungan kesatuan sila-sila Pancasila yang saling mengisi dan saling mengkualifikasi

Sila-sila Pancasila sebagai kesatuan dapat dirumuskan pula dalam hubungannya saling mengisi atau
mengkualifikasi dalam kerangka hubungan hierarkis piramidal seperti di atas. Dalam rumusan ini, tiap-
tiap sila mengandung empat sila lainnya atau dikualifikasi oleh empat sila lainnya. Untuk kelengkapan
hubungan kesatuan,keseluruhan sila-sila Pancasila yang dipersatukan dengan rumusan hierarkis

piramidal tersebut, berikut disampaikan kesatuan sila-sila Pancasila

a. Sila pertama; Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Ketuhanan yang berkemanusiaan mengisi dan saling
mengkualifikasi. yang adil dan beradab, yang berpersatuan Indonesia, yang berkerakyatan yang
dipimpin
oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan yang berkeadilan social bagi seluruh
rakyat Indonesia.

b. Sila kedua; kemanusiaan yang adil dan beradab adalah kemanusiaan yang ber Ketuhanan Yang
Maha Esa, yang berpersatuan Indonesia, yang berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan/perwakilan yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

c. Sila ketiga; persatuan Indonesia adalah persatuan yang ber-Ketuhanan YME berkemanusiaan yang adil
dan beradab, yang berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

d. Sila keempat; kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam


permusyawaratan/perwakilan, adalah kerakyatan yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, berkemanusiaan
yang adil dan beradab, yang berpersatuan Indonesia, yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.

e. Sila kelima; keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia adalah keadilan yang ber-Ketuhanan Yang
Maha Esa, berkemanusiaan yang adil dan beradab yang berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan (Notonagoro, 1975: 43-44).

BAB 3
Nilai-nilai karakter yang diintegrasikan: iman dan takwa, berempati, toleran, amanah, dan adil.

Pendahuluan

Pancasila juga sangat sarat akan nilai, yaitu nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan
keadilan. Oleh karena itu, Pancasila secara normatif dapat dijadikan sebagai suatu acuan atas tindakan
baik, dan secara filosofis dapat dijadikan perspektif kajian atas nilai dan norma yang berkembang dalam
masyarakat. Sebagai suatu nilai yang terpisah satu sama lain, nilai-nilai tersebutbersifat universal, dapat
ditemukan di manapun dan kapanpun. Namun, sebagai suatu kesatuan nilai yang utuh, nilainilai tersebut
memberikan ciri khusus pada ke-Indonesia-an karena merupakan komponen utuh yang terkristalisasi
dalam Pancasila. Meskipun para founding fathers mendapat pendidikan dari Barat, namun causa
materialis Pancasila digali dan bersumber dari agama, adat dan kebudayaan yang hidup di Indonesia.
Oleh karena itu, Pancasila yang pada awalnya merupakan konsensus politik yang memberi dasar bagi
berdirinya negara Indonesia, berkembang menjadi consensus moral yang digunakan sebagai sistem etika
yang digunakan untuk mengkaji moralitas bangsa dalam konteks hubungan berbangsa dan bernegara.
tika secara A. Etika secara Umum

1. Pengertian etika

Istilah etika, sering pula seseorang menggunakannya secara tidak tepat. Sebagai contoh penggunaan
istilah 'etika pergaulan, etika jurnalistik, etika kedokteran' dan lain-lain, padahal yang dimaksud adalah
etiket, bukan etika. Etika harus dibedakan dengan etiket. Etika adalah kajian ilmiah terkait dengan etiket
atau moralitas. Dengan demikian, maka istilah yang tepat adalah etiket pergaulan, etiket jurnalistik, etiket
kedokteran, dan lain-lain. Etiket secara sederhana dapat diartikan sebagai aturan kesusilaan/sopan santun.

Secara etimologis (asal kata), etika berasal dari bahasa Yunani, ethos, yang artinya watak kesusilaan atau
adat. Istilah ini identik dengan moral yang berasal dari bahasa Latin, mos yang jamaknya mores, yang
juga berarti adat atau cara hidup. Meskipun kata etika dan moral memiliki kesamaan arti, dalam
pemakaian sehari hari, dua kata ini digunakan secara berbeda. Moral atau moralitas digunakan untuk
perbuatan yang sedang dinilai, sedangkan etika digunakan untuk mengkaji sistem nilai yang ada (Zubair,
1987: 13). Dalam bahasa Arab, padanan kata etika adalah akhlak yang merupakan kata jamak; khuluk
yang berarti perangai, tingkah laku atau tabiat (Zakky, 2008: 20).

2. Aliran-aliran besar etika

Dalam kajian etika dikenal tiga teori/aliran besar, yaitu deontologi, teleologi dan keutamaan. Setiap aliran
memiliki sudut pandang sendiri-sendiri dalam menilai apakah suatu perbuatan dikatakan baik atau buruk.

a. Etika deontologi

Etika deontologi memandang bahwa tindakan dinilai baik atau buruk berdasarkan apakah tindakan itu
sesuai atau tidak dengan kewajiban. Etika deontologi tidak mempersoalkan akibat dari tindakan tersebut,
baik atau buruk. Kebaikan adalah ketika seseorang melaksanakan apa yang sudah menjadi kewajibannya.
Tokoh yang mengemukakan teori ini adalah Immanuel Kant (1734-1804). Kant menolak akibat suatu
tindakan sebagai dasar untuk menilai tindakan tersebut karena akibat tadi tidak menjamin universalitas
dan konsistensi dalam bertindak dan menilai suatu tindakan (Keraf, 2002: 9).

Kewajiban moral sebagai manifestasi dari hukum moral adalah sesuatu yang sudah tertanam dalam setiap
diri pribadi manusia yang bersifat universal. Manusia dalam dirinya secara kategoris sudah dibekali
pemahaman tentang suatu tindakan itu baik atau buruk, dan keharusan untuk melakukan kebaikan dan
tidak melakukan keburukan harus dilakukan sebagai perintah tanpa syarat (imperatif kategoris).
Kewajiban moral untuk tidak melakukan korupsi, misalnya, merupakan tindakan tanpa syarat yang harus
dilakukan oleh setiap orang. Bukan karena hasil atau adanya tujuan-tujuan tertentu yang akan diraih,
namun karena secara moral setiap orang sudah memahami bahwa korupsi adalah tindakan yang dinilai
buruk oleh siapapun. Etika deontologi menekankan bahwa kebijakan/tindakan harus didasari oleh
motivasi dan kemauan baik dari dalam diri, tanpa mengharapkan pamrih apa pun dari tindakan yang
dilakukan (Kuswanjono, 2008: 7).

Ukuran kebaikan dalam etika deontologi adalah kewajiban, kemauan baik, kerja keras dan otonomi bebas.
Setiap tindakan dikatakan baik apabila dilaksanakan karena didasari oleh kewajiban moral dan demi
kewajiban moral itu. Tindakan itu baik bila didasari oleh kemauan baik dan kerja keras dan sungguh-
sungguh untuk melakukan perbuatan itu, dan tindakan yang baik adalah didasarkan atas otonomi
bebasnya tanpa ada paksaan dari luar.

b. Etika teleologi

Pandangan etika teleologi berkebalikan dengan etika deontologi, yaitu bahwa baik buruk suatu tindakan
dilihat berdasarkan tujuan atau akibat dari perbuatan itu. Etika teleologi membantu kesulitan etika
deontologi ketika menjawab apabila dihadapkan pada situasi konkret ketika dihadapkan pada dua atau
lebih kewajiban yang bertentangan satu dengan yang lain. Jawaban yang diberikan oleh etika teleologi
bersifat situasional, yaitu memilih mana yang membawa akibat baik meskipun harus melanggar
kewajiban, nilai norma yang lain.

Ketika bencana sedang terjadi situasi biasanya chaos. Dalam keadaan seperti ini, maka memenuhi
kewajiban sering sulit dilakukan. Contoh sederhana kewajiban mengenakan helm bagi pengendara motor
tidak dapat dipenuhi karena lebih fokus pada satu tujuan, yaitu mencari keselamatan. Kewajiban
membayar pajak dan hutang juga sulit dipenuhi karena kehilangan seluruh harta benda. Dalam keadaan
demikian, etika teleologi perlu dipertimbangkan, yaitu demi akibat baik, beberapa kewajiban mendapat
toleransi tidak dipenuhi.

Persoalan yang kemudian muncul adalah akibat yang baik itu, baik menurut siapa? Apakah baik menurut
pelaku atau menurut orang lain? Atas pertanyaan ini, etika teleologi dapat digolongkan menjadi dua, yaitu
egoisme etis dan utilitarianisme.
a. Egoisme etis memandang bahwa tindakan yang baik adalah tindakan yang berakibat baik untuk
pelakunya. Secara moral setiap orang dibenarkan mengejar kebahagiaan untuk dirinya dan dianggap
salah atau buruk apabila membiarkan dirinya sengsara dan dirugikan.

b. Utilitarianisme menilai bahwa baik buruknya suatu perbuatan tergantung bagaimana akibatnya
terhadap banyak orang. Tindakan dikatakan baik apabila mendatangkan kemanfaatan yang besar dan
memberikan kemanfaatan bagi sebanyak mungkin orang. Di dalam menentukan suatu tindakan yang
dilematis maka yang pertama adalah dilihat mana yang memiliki tingkat kerugian paling kecil dan kedua,
dari kemanfaatan itu mana yang paling menguntungkan bagi banyak orang, karena bisa jadi
kemanfaatannya besar namun hanya dapat dinikmati oleh sebagian kecil orang saja. Etika utilitarianisme
ini tidak terpaku pada nilai atau norma yang ada karena pandangan nilai dan norma sangat mungkin
memiliki keragaman. Namun, setiap tindakan selalu dilihat apakah akibat yang ditimbulkan akan
memberikan manfaat bagi banyak orang atau tidak.

Kalau tindakan itu hanya akan menguntungkan sebagian kecil orang atau bahkan merugikan, maka harus
dicari alternatif-alternatif tindakan yang lain. Etika utilitarianisme lebih bersifat realistis, terbuka terhadap
beragam alternatif tindakan dan berorientasi pada kemanfaatan yang besar dan yang menguntungkan
banyak orang. Etika utilitarianisme ini menjawab pertanyaan etika egoisme, bahwa kemanfaatan banyak
oranglah yang lebih diutamakan. Kemanfaatan diri diperbolehkan sewajarnya, karena kemanfaatan itu
harus dibagi kepada yang lain. Utilitarianisme, meskipun demikian, juga memiliki kekurangan. Sonny
Keraf (2002: 19-21) mencatat ada enam kelemahan etika ini.

a. Karena alasan kemanfaatan untuk orang banyak berarti akan ada sebagian masyarakat yang dirugikan,
dan itu dibenarkan. Dengan demikian, utilitarianisme membenarkan adanya ketidakadilan terutama
terhadap minoritas.

b. Dalam kenyataan praktis, masyarakat lebih melihat kemanfaatan itu dari sisi yang
kuantitasmaterialistis, kurang memperhitungkan manfaat yang non material seperti kasih sayang,
nama baik, hak, dan lain-lain.

c. Karena kemanfaatan yang banyak diharapkan dari segi material terkait dengan masalah ekonomi, maka
untuk atas nama ekonomi tersebut yang tentu hal-hal yang ideal, seperti nasionalisme, martabat bangsa
akan terabaikan, misal atas nama memasukkan investor asing, aset-aset negara dijual kepada pihak asing,
atau atas nama meningkatkan devisa negara, pengiriman TKW ditingkatkan. Hal yang menimbulkan
masalah besar adalah ketika lingkungan dirusak atas nama untuk menyejahterakan masyarakat.

d. Kemanfaatan yang dipandang oleh etika utilitarianisme sering dilihat dalam jangka pendek, tidak
melihat akibat jangka panjang. Padahal, misal dalam persoalan lingkungan, kebijakan yang dilakukan
sekarang akan memberikan

dampak negatif pada masa yang akan datang. e. Karena etika utilitarianisme tidak menganggap penting
nilai dan norma, tapi lebih pada orientasi hasil, maka tindakan yang melanggar nilai dan norma

atas nama kemanfaatan yang besar, misalnya perjudian/prostitusi, dapat


dibenarkan.

f. Etika utilitarianisme mengalami kesulitan menentukan mana yang lebih diutamakan kemanfaatan yang
besar namun dirasakan oleh sedikit masyarakat atau kemanfaatan yang lebih banyak dirasakan banyak
orang meskipun kemanfaatannya kecil.

Menyadari kelemahan itu, etika utilitarianisme membedakannya dalam dua

tingkatan, yaitu utilitarianisme aturan dan tindakan. Atas dasar ini, maka:

1. setiap kebijakan dan tindakan harus dicek apakah bertentangan dengan nilai dan norma atau tidak.
Kalau bertentangan maka kebijakan dan tindakan tersebut harus ditolak, meskipun memiliki kemanfaatan
yang besar;

2. kemanfaatan harus dilihat tidak hanya yang bersifat fisik saja, tetapi juga yang non-fisik, seperti
kerusakan mental, moralitas, kerusakan lingkungan, dan sebagainya; serta 3. terhadap masyarakat yang
dirugikan, perlu pendekatan personal dan

kompensasi yang memadai untuk memperkecil kerugian material dan non

material.

c. Etika keutamaan

Etika ini tidak mempersoalkan akibat suatu tindakan, tidak juga mendasarkan pada penilaian moral pada
kewajiban terhadap hukum moral universal, tetapi pada pengembangan karakter moral pada diri setiap
orang. Orang tidak hanya melakukan tindakan yang baik, melainkan menjadi orang yang baik. Karakter
moral ini dibangun dengan cara meneladani perbuatan-perbuatan baik yang dilakukan oleh tokoh besar.
Internalisasi ini dapat dibangun melalui cerita, sejarah para yang di dalamnya mengandung nilai-nilai
keutamaan agar dihayati dan ditiru oleh masyarakatnya. Kelemahan etika ini adalah ketika terjadi dalam
masyarakat yang majemuk, maka tokoh-tokoh yang dijadikan panutan juga beragam sehingga konsep
keutamaan menjadi sangat beragam pula, dan keadaan ini dikhawatirkan akan menimbulkan benturan
sosial.
Kelemahan etika keutamaan dapat diatasi dengan cara mengarahkan keteladanan tidak pada figur tokoh,
tetapi pada perbuatan baik yang dilakukan oleh tokoh itu sendiri, sehingga akan ditemukan prinsip-prinsip
umum tentang karakter yang bermoral itu seperti apa. Selanjutnya akan dibahas tentang etika Pancasila
sebagai suatu aliran etika alternatif, baik dalam konteks keindonesiaan maupun keilmuan secara lebih
luas.
B. Etika Pancasila

Aktualisasi Pancasila sebagai dasar etika, tercermin dalam sila-silanya, yaitu sebagai berikut.

• Sila Pertama: menghormati setiap orang atau warga negara atas berbagai kebebasannya dalam
menganut agama dan kepercayaannya masing-masing serta menjadikan ajaran-ajarannya sebagai panutan
untuk menuntun maupun

Sila Kedua: menghormati setiap orang dan warga negara sebagai pribadi (persona) "utuh sebagai
manusia", manusia sebagai subjek pendukung, penyangga, pengemban serta pengelola hak-hak dasar
kodrati, merupakan suatu keutuhan dengan eksistensi dirinya secara bermartabat.

⚫ Sila Ketiga: bersikap dan bertindak adil dalam mengatasi segmentasi-segmentasi atau primordialisme
sempit dengan jiwa dan semangat "Bhineka Tunggal Ika" yaitu bersatu dalam perbedaan dan berbeda
dalam persatuan.

• Sila Keempat: kebebasan, kemerdekan, kebersamaan, dimiliki dan dikembangkan dengan dasar
musyawarah untuk mencapai kemufakatan secara jujur dan terbuka dalam menata berbagai aspek
kehidupan.

Sila Kelima: membina dan mengembangkan masyarakat yang berkeadilan sosial yang mencakup
kesamaan derajat (equality) dan pemerataan (equity) bagi setiap orang atau setiap warga negara.

Sila-sila dalam Pancasila merupakan satu kesatuan integral dan integratif menjadikan dirinya sebagai
referensi kritik sosial kritis, komprehensif serta sekaligus evaluatif bagi pengembangan etika dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa maupun bernegara. Konsekuensi dan implikasinya ialah bahwa
norma etis yang mencerminkan satu sila akan mendasari dan mengarahkan sila-sila lain.

Etika Pancasila tidak memposisikan secara berbeda atau bertentangan dengan aliran-aliran besar etika
yang mendasarkan pada kewajiban, tujuan tindakan dan pengembangan karakter moral, namun justru
merangkum dari aliran-aliran besar tersebut. Etika Pancasila adalah etika yang mendasarkan penilaian
baik dan buruk pada nilai-nilai Pancasila, yaitu nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan
keadilan. Suatu perbuatan dikatakan baik bukan hanya apabila tidak bertentangan dengan nilai-nilai
tersebut, namun juga sesuai dan mempertinggi nilai-nilai Pancasila tersebut. Nilai-nilai Pancasila,
meskipun merupakan kristalisasi nilai yang hidup dalam realitas sosial, keagamaan, maupun adat
kebudayaan bangsa Indonesia, namun sebenarnya nilai-nilai Pancasila juga bersifat universal dapat
diterima oleh siapa pun dan kapanpun. Etika Pancasila berbicara tentang nilai-nilai yang sangat mendasar
dalam kehidupan manusia.

• Nilai yang pertama adalah ketuhanan Secara hierarkis nilai ini bias dikatakan sebagai nilai yang
tertinggi karena menyangkut nilai yang bersifat mutlak. Seluruh nilai kebaikan diturunkan dari nilai ini.
Suatu perbuatan dikatakan baik apabila tidak bertentangan dengan nilai, kaidah dan hukum Tuhan.
Pandangan demikian secara empiris bisa dibuktikan bahwa setiap perbuatan yang melanggar nilai, kaidah
dan hukum Tuhan, baik itu kaitannya dengan hubungan antara manusia maupun alam pasti akan
berdampak buruk, misalnya pelanggaran akan kaidah Tuhan tentang menjalin hubungan kasih sayang
antarsesama akan menghasilkan konflik dan permusuhan. Pelanggaran kaidah Tuhan untuk melestarikan
alam akan menghasilkan bencana alam, dan lain-lain.

•Nilai yang kedua adalah kemanusiaan Suatu perbuatan dikatakan baik apabila sesuai dengan nilai-nilai
kemanusiaan. Prinsip pokok dalam nilai kemanusiaan Pancasila adalah keadilan dan keadaban. Keadilan
mensyaratkan keseimbangan, antara lahir dan batin, jasmani dan rohani, individu dan sosial, makhluk
bebas mandiri dan makhluk Tuhan yang terikat hukum-hukum Tuhan. Keadaban mengindikasikan
keunggulan manusia dibanding dengan makhluk lain, yaitu hewan, tumbuhan, dan benda tak hidup.
Karena itu, perbuatan itu dikatakan baik apabila sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan yang didasarkan
pada konsep keadilan dan keadaban.

•Nilai yang ketiga adalah persatuan Suatu perbuatan dikatakan baik apabila dapat memperkuat persatuan
dan kesatuan. Sikap egois dan menang sendiri merupakan perbuatan buruk, demikian pula sikap yang
memecah belah persatuan. Sangat mungkin seseorang seakan-akan mendasarkan perbuatannya atas nama
agama (sila kesatu), namun apabila perbuatan tersebut dapat memecah persatuan dan kesatuan maka
menurut pandangan etika Pancasila bukan merupakan perbuatan baik.

• Nilai yang keempat adalah kerakyatan Dalam kaitan dengan kerakyatan ini terkandung nilai lain yang
sangat penting, yaitu nilai hikmat/kebijaksanaan dan permusyawaratan. Kata hikmat/ kebijaksanaan
berorientasi pada tindakan yang mengandung nilai kebaikan tertinggi. Atas nama mencari kebaikan,
pandangan minoritas belum tentu kalah dibanding mayoritas. Pelajaran yang sangat baik misalnya
peristiwa penghapusan tujuh kata dalam sila pertama Piagam Jakarta. Sebagian besar anggota PPKI
menyetujui tujuh kata tersebut, namun memperhatikan kelompok yang sedikit (dari wilayah Timur) yang
secara argumentatif dan realistis bisa diterima, maka pandangan minoritas dimenangkan' atas pandangan
mayoritas. Dengan demikian, perbuatan belum tentu baik apabila disetujui/bermanfaat untuk orang
banyak, namun perbuatan itu baik jika atas dasar musyawarah yang didasarkan pada konsep
hikmah/kebijaksanaan.
•Nilai yang kelima adalah keadilan Apabila dalam sila kedua disebutkan kata adil, maka kata tersebut
lebih dilihat dalam konteks manusia selaku individu. Adapun nilai keadilan pada sila kelima lebih
diarahkan pada konteks sosial. Suatu perbuatan dikatakan baik apabila sesuai dengan prinsip keadilan
masyarakat banyak. Menurut Kohlberg (1995 37), keadilan merupakan kebajikan utama bagi setiap
pribadi dan Keadilan mengandaikan sesama sebagai partner yang bebas dan sama derajatnya dengan
orang lain. masyarakat.

Menilik nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, maka Pancasila dapat menjadi sistem etika yang
sangat kuat, nilai-nilai yang ada tidak hanya bersifat mendasar, namun juga realistis dan aplikatif. Apabila
dalam kajian aksiologi dikatakan bahwa keberadaan nilai mendahului fakta, maka nilai-nilai Pancasila
merupakan nilai-nilai ideal yang sudah ada dalam cita-cita bangsa Indonesia harus diwujudkan dalam
realitas kehidupan. Nilai-nilai tersebut dalam istilah Notonagoro merupakan nilai yang bersifat abstrak
umum dan universal, yaitu nilai yang melingkupi realitas kemanusiaan di manapun, kapanpun dan
merupakan dasar bagi setiap tindakan dan munculnya nilai-nilai yang lain. Sebagai contoh, nilai
ketuhanan akan menghasilkan nilai spiritualitas, ketaatan, dan toleransi. Nilai kemanusiaan, menghasilkan
nilai kesusilaan, tolong menolong, penghargaan, penghormatan, kerjasama, dan lain-lain. Nilai persatuan
menghasilkan nilai cinta tanah air, pengorbanan, dan lain-lain. Nilai kerakyatan menghasilkan nilai
menghargai perbedaan, kesetaraan, dan lain-lain. Nilai keadilan menghasilkan nilai kepedulian,
kesejajaran ekonomi, kemajuan bersama, dan lain-lain. yang

C. Bidang Etika Politik

1. Pengertian etika politik

Sebagai salah satu cabang etika, maka etika politik termasuk dalam lingkungan filsafat. Filsafat yang
langsung mempertanyakan praksis manusia adalah etika. Etika mempertanyakan tanggung jawab dan
kewajiban manusia. Ada berbagai bidang etika khusus, seperti etika individu, etika sosial, etika keluarga,
etika profesi, dan etika pendidikan. Dalam hal ini termasuk etika politik yang berkenaan dengan dimensi
politis kehidupan manusia.

Etika berkaitan dengan norma moral, yaitu norma untuk mengukur betul salahnya tindakan manusia
sebagai manusia. Dengan demikian, etika politik mempertanyakan tanggung jawab dan kewajiban
manusia sebagai manusia dan bukan hanya sebagai warga negara terhadap negara, hukum yang berlaku
dan lain sebagainya.

Fungsi etika politik dalam masyarakat terbatas pada penyediaan alat-alat teoretis, untuk mempertanyakan
serta menjelaskan legitimasi politik secara bertanggung jawab. Jadi, tidak berdasarkan emosi, prasangka
dan apriori melainkan secara rasional, objektif, dan argumentatif. Etika politik tidak langsung
mencampuri politik praktis. Tugas etika politik membantu agar pembahasan masalah-masalah ideologis
dapat dijalankan secara objektif. Etika politik dapat memberikan patokan orientasi dan pegangan
normatif
bagi mereka yang memang mau menilai kualitas tatanan dan kehidupan politik dengan tolak ukur
martabat manusia atau mempertanyakan legitimasi moral sebagai keputusan politik. Suatu keputusan
bersifat politis apabila diambil dengan memperhatikan kepentingan masyarakat secara keseluruhan.

Hukum dan kekuasan negara merupakan pembahasan utama etika politik. Hukum sebagai lembaga penata
masyarakat yang normatif, kekuasaan negara sebagai lembaga penata masyarakat yang efektif sesuai
dengan struktur ganda kemampuan manusia (makhluk individu dan sosial). Jadi, etika politik membahas
hukum dan kekuasaan. Sebetulnya keduanya tidak terpisah, hukum tanpa kekuasan negara tidak dapat
berbuat apa-apa, sifatnya normatif belaka, hukum tidak mempunyai kemampuan untuk bertindak.
Sedangkan negara tanpa hukum adalah buta. Negara yang memakai kekuasaannya di luar hukum sama
dengan manusia yang berbuat tanpa pengertian. Negara semacam itu menjadi negara penindas dan sangat
mengerikan.

Prinsip-prinsip etika politik yang menjadi titik acuan orientasi moral bagi suatu negara adalah adanya
cita-cita the rule of law, partisipasi demokratis masyarakat, jaminan hak-hak asasi manusia menurut
kekhasan paham kemanusiaan dan struktur sosial budaya masyarakat masing-masing dan keadilan sosial.

2. Legitimasi kekuasaan

Pokok permasalahan etika politik adalah legitimasi etis kekuasaan, yang dapat dirumuskan dengan suatu
pertanyaan, yaitu dengan moral apa seseorang atau sekelompok orang memegang dan menggunakan
kekuasaan yang mereka miliki? Betapa besarnya kekuasaan yang dimiliki seseorang, dia harus
berhadapan dengan tuntutan untuk mempertanggungjawabkannya. Paham pertanggungjawaban
menyatakan, bahwa penguasa memang memiliki kekuasaan dan masyarakat berhak untuk menuntut
pertanggungjawaban.

Dalam etika politik, kekuatan batin penguasa berpancaran sebagai wibawa ke dalam masyarakat, sehingga
rakyat dapat merasakannya. Penguasa dianggap memiliki kekuatan-kekuatan tertentu. Wibawa penguasa
itu bukan suatu yang sekadar psikis atau mistik, melainkan ditunjang oleh kemampuannya untuk
mengerahkan kekuatan fisik. Ia dapat mengatur dan mengorganisisasi orang banyak dan memastikan
kemampuannya itu dengan ancaman atau sanksinya terhadap mereka yang mau membangkang.

Kewibawan penguasa yang paling menyakinkan adalah keselarasan sosial, yaitu tidak terjadi keresahan
dalam masyarakat. Segala bentuk kritik, ketidakpuasan, tantangan, perlawanan, dan kekacauan
merupakan tanda bahwa masyarakat resah. Sebaliknya, keselarasan akan tampak apabila masyarakat
merasa tenang, tenteram, dan sejahtera. Budi luhur penguasa tampak dalam cara ia menjalankan
pemerintahannya. Sesuai dengan sifat dan hakikat kekuasaan sendiri dengan cara pemakaiannya yang
halus. Kehalusan pemerintahan diharapkan dapat mencapa keadaan sejahtera, adil, dan tenteram dalam
masyarakat, tanpa perlu memaka cara-cara kasar.
Penyusutan kekuasan seorang penguasa akan dihubungkan dengan pamrih yang berlebihan, karena
pamrih menunjukkan bahwa ia tidak lagi sanggup untuk memusatkan diri pada alam batin atau hati nurani
yang sebenarnya. Karena pamrih penguasa untuk menyadap kekuatan-kekuatan alam semesta semakin
berkurang sampai akhirnya ia kehilangan kekuasaannya. Sejarah telah membuktikan, bahwa sekuat-
kuatnya seorang penguasa, pada

titik puncaknya dia akan jatuh bagaikan tidak bermaya. Oleh karena itu, bahaya

besar bagi kedudukan penguasa tidak berasal dari musuh di luar atau faktor objektif

dalam masyarakat, melainkan dari kemerosotan akhlak dan budi pekerti penguasa

itu sendiri. Apabila ia menyalahgunakan kedudukannya untuk memperkaya diri

dan keluarganya, ia membuktikan bahwa secara batiniah sudah miskin. Begitu

juga kalau kekuasannya merosot menjadi sistem penghisapan kekayaan dan

tenaga masyarakat demi keuntungan material, maka hakikat kekuasaan yang

sempurna sudah menguap hilang. Jadi, secara etika politik seorang penguasa yang

sesungguhnya adalah keluhuran budinya.

Legitimasi kekuasaan meliputi:

a. legitimasi etis, yaitu pembenaran atau pengabsahan wewenang negara (kekuasaan negara)
berdasarkan prinsip-prinsip moral;

b. legitmimasi legalitas, yaitu keabsahan kekuasaan itu berkaitan dengan fungsi fungsi kekuasaan negara
dan menuntut agar fungsi-fungsi itu diperoleh dan dilakukan sesuai dengan hukum yang berlaku.
Tuntutan legalitas itu merupakan tuntutan etika politik. Namun, legalitas semata mata tidak dapat
menjamin legitimasi etis, karena legalitas menggunakan hukum yang berlaku (hukum positif). Padahal
belum tentu, bahwa hukum yang berlaku sendir dapat dibenarkan secara etis. Oleh karena itu, hukum
dalam kerangka etika politik adalah hukum yang berkeadilan dengan fungsinya untuk memanusiakan
penggunaan kekuasaan. Karena adanya hukum, kehidupan bersama masyarakat tidak ditentukan semata-
mata oleh kepentingan mereka yang kuat, melainkan oleh suatu aturan rasional yang seoptimal mungkin
menjamin kepentingan semua pihak.

3. Legitimasi moral dalam kekuasaan

Legitimasi etis mempersoalkan keabsahan kekuasaan politik dari segi norma norma moral. Legitimasi ini
muncul dalam konteks setiap tindakan negara, dari legislatif maupun eksekutif, dapat dipertanyakan dari
segi norma-norma moral. Tujuannya adalah, agar kekuasaan itu mengarahkan kekuasaan ke pemakaian
kebijakan dan cara-cara yang semakin sesuai dengan tuntutan-tuntutan kemanusiaan yang adil dan
beradab. baikPada zaman sekarang (modern), tuntutan legitimasi moral merupakan salah satu unsur
pokok dalam kesadaran bermasyarakat. Anggapan bahwa negara hanya boleh bertindak dalam batas-batas
hukum, bahwa hukum harus menghormati hak asasi manusia, begitu pula berbagai penolakan terhadap
kebijakan politik tertentu, seperti isu ketidakadilan sosial, semua berwujud tuntutan agar negara
melegitimasikan diri secara moral. Dalam hal inilah, kalangan paham agama secara klasik membuat
rumusan, bahwa kita harus lebih taat kepada Allah dari pada kepada manusia.

Moralitas kekuasaan lebih banyak ditentukan oleh nilai-nilai yang kebenarannya diyakini masyarakat.
Apabila masyarakatnya adalah masyarakat religius, maka ukuran apakah penguasa itu memiliki etika
politik atau tidak, tidak lepas dari moral agama yang dianut oleh masyarakatnya. Oleh karena itu, banyak
pernyataan-pernyataan yang sering dilontarkan oleh umat beragama, bahwa kekuasaan itu adalah amanah
dari Allah dan harus dipertanggungjawabkan kepada-Nya kelak. Di samping itu, terdapat juga ungkapan
dari tradisi masyarakat yang menyatakan raja adil raja disembah, raja zalim raja disanggah. Makna dari
ungkapan ini tidak lepas dari kemuliaan dan kebaikan seorang penguasa sangat ditentukan oleh
masyarakatnya, tentunya sikap masyarakat tersebut dilandasi oleh moralitas yang hidup dalam masyarakat
tersebut. Oleh karena itu, alat pengukur etika politik yang dilaksanakan oleh penguasa ditentukan oleh
nilai, moral, dan norma yang berkembang dalam masyarakat.

Pada hakikatnya, kekuasaan memiliki hati nurani, yaitu keadilan dan kemakmuran rakyat. Apabila
kehilangan hati nurani tersebut, maka kekuasaan yang terlihat adalah perebutan kekuasaan semata-mata
yang dilumuri oleh intrik, fitnah, dengki, caci maki, dan iri hati. Sehingga kekuasaan akan merusak
tatatan kerukunan hidup masyarakat. Apabila hati nurani kekuasaan melekat pada nurani seorang
penguasa, maka kekuasaan adalah amanat rakyat, sehingga akan melahirkan martabat, harga diri, dan
rezeki.

D. Pengertian Nilai, Moral, dan Norma


Nilai, moral, dan norma merupakan konsep yang saling berkaitan. Ketiga konsep ini saling terkait dalam
memahami Pancasila sebagai etika politik.

1. Nilai

BAT 2

Kehidupan manusia dalam masyarakat, baik sebagai pribadi maupun sebagai kolektivitas, senantiasa
berhubungan dengan nilai-nilai, norma, dan moral. Kehidupan masyarakat di mana pun tumbuh dan
berkembang dalam ruang lingkup interaksi nilai, norma, dan moral, akan memberi motivasi dan arah
seluruh anggota masyarakat untuk berbuat, bertingkah, dan bersikap. Dengan demikian, nilai adalah
sesuatu yang berharga, berguna, indah, memperkaya batin, dan menyadarkan manusia akan harkat dan
martabatnya. Nilai bersumber pada budi yang berfungsi mendorong dan mengarahkan sikap dan perilaku
manusia. Nilai sebagai suatu sistem (sistem nilai) merupakan salah satu wujud kebudayaan, di samping
sistem sosial dan karya.

Cita-cita, gagasan, konsep, ide tentang sesuatu adalah wujud kebudayaan sebagai sistem nilai. Oleh
karena itu, nilai dapat dihayati atau dipersepsikan dalam konteks kebudayaan, atau sebagai wujud
kebudayaan yang abstrak. Dalam menghadapi alam sekitarnya, manusia didorong untuk membuat
hubungan yang bermakna melalui budinya. Budi manusia menilai benda-benda itu, serta kejadian yang
beraneka ragam di sekitarnya dan dipilihnya menjadi kelakukan kebudayaannya. Proses pemilihan itu
dilakukan secara terus-menerus. Alport mengidentifikasikan nilai-nilai yang terdapat dalam kehidupan
masyarakat pada enam macam, yaitu nilai teori, nilai ekonomi, nilai estetika, nilai sosial, nilai politik,
dan nilai religi. Dalam memilih nilai nilai, manusia menempuh berbagai cara yang dapat dibedakan
menurut tujuannya, pertimbangannya, penalarannya, dan kenyataannya.

Apabila tujuan penilaian itu untuk mengetahui identitas benda serta kejadian yang terdapat di sekitarnya,
maka terlihat proses penilaian teori yang menghasilkan pengetahuan yang disebut nilai teori. Jika
tujuannya untuk menggunakan benda benda atau kejadian, manusia dihadapkan kepada proses penilaian
ekonomi, yang mengikuti nalar efisiensi untuk memenuhi kebutuhan hidup, disebut nilai ekonomi.
Perpaduan antara nilai teori dan nilai ekonomi itu merupakan aspek progresif dari kebudayaan manusia.

Apabila manusia menilai alam sekitar sebagai wujud rahasia kehidupan dan alam semesta, di situlah
tampak nilai religi, yang dipersepsikan sebagai sesuatu yang suci. Jika manusia mencoba memahami yang
indah, kita berhadapan dengan proses penilaian estetik. Perpaduan antara nilai religi dan nilai estetik yang
lebih menekankan kepada intuisi, rasa, dan imajinasi, merupakan aspek ekspresif dari kebudayaan. Nilai
estetik mempunyai kedudukan yang khusus karena nilai itu bukan hanya menyangkut keindahan yang
dapat memperkaya batin, tetapi juga berfungsi sebagai media yang memperhalus budi pekerti.
Nilai sosial berorientasi kepada hubungan antarmanusia dan menekankan pada segi-segi kemanusiaan
yang luhur. Sedangkan nilai politik berpusat kepada kekuasaan serta pengaruh yang terdapat dalam
kehidupan masyarakat maupun politik.

Di samping teori nilai terurai di atas, Prof. Notonegoro membagi nilai dalam tiga kategori, yaitu sebagai
berikut.

a. Nilai material, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi unsur manusia. b. Nilai vital, yaitu segala
sesuatu yang berguna bagi manusia untuk melakukan aktivitas.

c. Nilai kerohanian, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi rohani manusia. Nilai kerohanian dapat
dirinci menjadi empat macam, yaitu sebagai berikut.
1) Nilai kebenaran, yaitu bersumber kepada unsur rasio manusia, budi, dan cipta. 2) Nilai keindahan,
yaitu bersumber pada unsur rasa atau intuisi. 3) Nilai moral, yaitu bersumber pada unsur kehendak
manusia atau kemauan

(karsa, etika).

4) Nilai religi, yaitu bersumber pada nilai ketuhanan, merupakan nilai kerohanian yang tertinggi dan
mutlak. Nilai ini bersumber kepada keyakinan dan keimanan manusia terhadap Tuhan. Nilai religi itu
berhubungan dengan nilai penghayatan yang bersifat transedental, dalam usaha manusia untuk memahami
arti dan makna kehadirannya di dunia. Nilai ini berfungsi sebagai sumber moral yang dipercayai sebagai
rahmat dan rida Tuhan.

Dalam pelaksanaannnya, nilai-nilai dijabarkan dalam wujud norma, ukuran, dan kriteria sehingga
merupakan suatu keharusan anjuran atau larangan, tidak dikehendaki, atau tercela. Oleh karena itu, nilai
berperan sebagai dasar pedoman yang menentukan kehidupan setiap manusia. Nilai berada dalam hati
nurani, kata hati, dan pikiran sebagai suatu keyakinan, dan kepercayaan yang bersumber dari berbagai
sistem nilai.

2. Moral

Moral berasal dari kata mos (mores) = kesusilaan, tabiat, kelakuan. Moral adalah ajaran tentang hal yang
baik dan buruk, yang menyangkut tingkah laku dan perbuatan manusia. Seorang pribadi yang taat kepada
aturan-aturan, kaidah-kaidah dan norma yang berlaku dalam masyarakatnya, dianggap sesuai dan
bertindak benar secara moral. Jika sebaliknya yang terjadi, maka pribadi itu dianggap tidak bermoral.
Moral dalam perwujudannya dapat berupa peraturan, prinsip-prinsip yang benar, baik, terpuji, dan mulia.
Moral dapat berupa kesetiaan, kepatuhan terhadap nilai dan norma yang mengikat kehidupan masyarakat,
negara, dan bangsa. Sebagaimana nilai dan norma, moral pun dapat dibedakan seperti moral ketuhanan
atau agama, moral filsafat, moral etika, moral hukum, moral ilmu, dan sebagainya. Nilai, norma, dan
moral secara bersama mengatur kehidupan masyarakat dalam berbagai aspeknya.

3. Norma

Manusia cenderung untuk memelihara hubungan dengan Tuhan, masyarakat, dan alam sekitarnya dengan
selaras. Hubungan manusia terjalin secara vertikal (Tuhan), horizontal (masyarakat), dan hubungan
vertikal-horizontal (alam, lingkungan alam) secara seimbang, serasi, dan selaras. Oleh karena itu, manusia
juga memerlukan pengendalian diri, baik terhadap manusia sesamanya, lingkungan alam, dan Tuhan.
Kesadaran akan hubungan yang ideal akan menumbuhkan kepatuhan terhadap peraturan atau norma.
Norma adalah petunjuk tingkah laku yang harus dijalankan dalam kehidupan sehari-hari berdasarkan
motivasi tertentu.

Norma sesungguhnya merupakan perwujudan martabat manusia sebagai makhluk budaya, sosial, moral,
dan religi. Norma merupakan suatu kesadaran
dan sikap luhur yang dikehendaki oleh tata nilai untuk dipatuhi. Oleh karena itu, norma dalam
perwujudannya dapat berupa norma agama, norma filsafat, norma kesusilaan, norma hukum, dan norma
sosial. Norma memiliki kekuatan untuk dapat dipatuhi, yang dikenal dengan sanksi, misalnya:

a. norma agama, dengan sanksinya dari Tuhan, b. norma kesusilaan, dengan sanksinya rasa malu dan
menyesal terhadap diri sendiri, c. norma kesopanan, dengan sanksinya berupa mengucilkan dalam
pergaulan

masyarakat, d. norma hukum, dengan sanksinya berupa penjara atau kurungan atau denda yang
dipaksakan oleh alat negara.

Situasi negara Indonesia saat ini begitu memprihatinkan. Begitu banyak masalah menimpa bangsa ini
dalam bentuk krisis yang multidimensional. Krisis ekonomi, politik, budaya, sosial, hankam, pendidikan
dan lain-lain, yang sebenarnya berhulu pada krisis moral. Tragisnya, sumber krisis justru berasal dari
badanbadan yang ada di negara ini, baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif, yang seharusnya
mengemban amanat rakyat. Sebagaimana telah dikatakan bahwa moralitas memegang kunci sangat
penting dalam mengatasi krisis. Kalau krisis moral sebagai hulu dari semua masalah, maka melalui
moralitas pula krisis dapat diatasi. Indikator kemajuan bangsa tidak cukup diukur hanya dari kepandaian
warga negaranya, tidak juga dari kekayaan alam yang dimiliki, namun hal yang lebih mendasar adalah
sejauh mana bangsa tersebut memegang teguh moralitas. Moralitas memberi dasar, warna sekaligus
penentu arah tindakan suatu bangsa. Moralitas dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu moralitas individu,
moralitas sosial, dan moralitas mondial.

Moralitas individu lebih merupakan kesadaran tentang prinsip baik yang bersifat ke dalam, tertanam
dalam diri manusia yang akan mempengaruhi cara berpikir dan bertindak. Seorang yang memiliki
moralitas individu akan muncul dalam sikap dan perilaku seperti sopan, rendah hati, tidak suka yang
menyakiti orang lain, toleran, suka menolong, bekerja keras, rajin belajar, rajin baik ibadah, dan lain-lain.
Moralitas ini muncul dari dalam, bukan karena dipaksa dari luar. Bahkan, dalam situasi amoral yang
terjadi di luar dirinya, seseorang yang memiliki moralitas individu kuat akan tidak terpengaruh. Moralitas
individu ini terakumulasi menjadi moralitas sosial, sehingga akan tampak perbedaan antara masyarakat
yang bermoral tinggi dan rendah. ⚫ Moralitas sosial juga tercermin dari moralitas individu dalam melihat
kenyataan sosial. Bisa jadi seorang yang moral individunya baik, tapi moral sosialnya kurang hal ini
terutama terlihat pada bagaimana mereka berinteraksi dengan masyarakat yang majemuk. Sikap toleran,
suka membantu sering kali hanya ditujukan kepada orang lain yang menjadi bagian kelompoknya, namun
tidak toleran kepada orang di luar kelompoknya. Sehingga bisa dikatakan bahwa moral sosial tidak cukup
sebagai kumpulan dari moralitas individu, namun sesungguhnya lebih pada bagaimana individu melihat
orang lain sebagai manusia yang memiliki harkat dan martabat kemanusiaan yang sama. Moralitas
individu dan sosial memiliki hubungan sangat erat, bahkan saling tarik-menarik dan mempengaruhi.
Moralitas individu dapat dipengaruhi moralitas sosial, demikian pula sebaliknya.
Seseorang yang moralitas individunya baik, ketika hidup di lingkungan masyarakat yang bermoral buruk,
dapat terpengaruh menjadi amoral. Kenyataan seperti ini sering kali terjadi pada lingkungan pekerjaan.
Ketika lingkungan pekerjaan berisi orang orang yang bermoral buruk, maka orang yang bermoral baik
akan dikucilkan atau diperlakukan tidak adil. Seorang yang moralitas individunya lemah akan
terpengaruh untuk menyesuaikan diri dan mengikuti. Namun sebaliknya, seseorang yang memiliki
moralitas individu baik akan tidak terpengaruh, bahkan dapat mempengaruhi lingkungan yang bermoral
buruk tersebut.

Moralitas mondial adalah moralitas yang bersifat universal yang berlaku di manapun dan kapanpun,
moralitas yang terkait dengan keadilan, kemanusiaan, kemerdekaan, dan sebagainya.

Pelajaran yang sangat berharga dapat diteladani dari para pendahulu kita yang berjuang demi meraih
kemerdekaan. Moralitas individu dan sosial yang begitu kuat dengan dipayungi moralitas mondial telah
membuahkan hasil dari cita-cita mereka, meskipun mereka banyak yang tidak sempat merasakan buah
perjuangannya sendiri. Dasar moral yang melandasi perjuangan mereka terabadikan dalam Pembukaan
Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang termuat dalam alinea-alineanya.

Moralitas, saat ini menjadi barang yang sangat mahal karena semakin langka orang yang masih betul-
betul memegang moralitas tersebut. Namun dapat juga dikatakan sebagai barang murah karena banyak
orang menggadaikan moralitas hanya dengan beberapa lembar uang. Ada keterputusan (missing link)
antara alinea I, II, III, dengan alinea IV. Nilai-nilai yang seharusnya menjadi dasar sekaligus tujuan
negara ini telah digadaikan dengan nafsu berkuasa dan kemewahan harta.
Egoisme telah mengalahkan solidaritas dan kepedulian pada sesama. Lalu bagaimana membangun
kesadaran moral antikorupsi berdasarkan Pancasila? Korupsi secara harafiah diartikan sebagai kebusukan,
keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian (Tim
Penulis Buku Pendidikan antikorupsi, 2011: 23). Kasus korupsi yang terjadi di Indonesia semakin
menunjukkan ekskalasi yang begitu tinggi. Oleh karenanya, penyelesaian korupsi harus diselesaikan
melalui beragam cara/pendekatan, pendekatan eksternal maupun internal.
Pendekatan eksternal yang dimaksud adalah adanya unsur dari luar diri manusia yang memiliki kekuatan
'memaksa' orang untuk tidak korupsi. Kekuatan eksternal tersebut misalnya hukum, budaya dan watak
masyarakat. Dengan penegakan hukum yang kuat, baik dari aspek peraturan maupun aparat penegal
hukum, akan mengeliminir terjadinya korupsi. Demikian pula terciptanya budaya dan watak masyarakat
yang antikorupsi juga menjadikan seseorang enggan untuk melakukan korupsi. Adapun kekuatan internal
adalah kekuatan yang muncul dari dalam diri individu dan mendapat penguatan melalui pendidikan dan
pembiasaan Pendidikan yang kuat terutama dari keluarga sangat penting untuk menanamkan jiwa
antikorupsi, diperkuat dengan pendidikan formal di sekolah maupun non formal di luar sekolah.

E. Nilai Dasar, Nilai Instrumental, dan Nilai Praksis

Dalam kaitannya dengan penjabarannya, nilai dapat dikelompokkan kepada tiga macam, yaitu nilai dasar,
nilai instrumental, dan nilai praksis.

1. Nilai dasar
Sekalipun nilai bersifat abstrak, yaitu tidak dapat diamati melalui panca indera manusia, tetapi dalam
kenyataannya nilai berhubungan dengan tingkah laku atau berbagai aspek kehidupan manusia. Setiap nilai
memiliki nilai dasar, yaitu berupa hakikat, esensi, intisari, atau makna yang dalam dari nilai-nilai tersebut.
Nilai dasar itu bersifat universal, karena menyangkut kenyataan objektif dari segala sesuatu. Contohnya,
hakikat Tuhan, manusia, atau makhluk lainnya.Apabila nilai dasar itu berkaitan dengan hakikat Tuhan,
maka nilai dasar itu bersifat mutlak, karena Tuhan adalah kausa prima (penyebab pertama), dan segala
sesuatu yang diciptakan berasal dari kehendak Tuhan. Nilai dasar itu juga berkaitan dengan hakikat
manusia, maka nilai-nilai tersebut harus bersumber kepada hakikat manusia itu sendiri. Nilai dasar yang
bersumber pada hakikat kemanusiaan itu dijabarkan dalam norma hukum yang dapat diistilahkan dengan
hak dasar (hak asasi manusia).Apabila nilai dasar itu berdasarkan kepada hakikat kepada suatu benda,
kuantitas, aksi, ruang, dan waktu, maka nilai dasar itu dapat juga disebut sebagai norma yang
direalisasikan dalam kehidupan yang praksis. Namun, nilai yang bersumber dari kebendaan itu tidak
boleh bertentangan dengan nilai dasar yang merupakan sumber penjabaran norma tersebut.Nilai dasar
yang menjadi sumber etika bagi bangsa Indonesia adalah nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.

2. Nilai instrumental
Nilai instrumental ialah nilai yang menjadi pedoman pelaksanaan dari nilai dasar. Nilai dasar belum dapat
bermakna sepenuhnya apabila nilai dasar tersebut belum memiliki formulasi serta parameter atau ukuran
yang jelas dan konkret. Apabila nilai instrumental itu berkaitan dengan tingkah laku manusia dalam
kehidupan sehari-hari, maka nilai tersebut akan menjadi norma moral. Akan tetapi jika nilai instrumental
itu berkaitan dengan suatu organisasi atau negara, maka nilai-nilai instrumental itu merupakan suatu
arahan kebijakan atau strategi yang bersumber pada nilai dasar, sehingga dapat juga dikatakan bahwa
nilai instrumental itu merupakan suatu eksplisitasi dari nilai dasar.

Dalam kehidupan ketatanegaraan kita, nilai instrumental itu dapat kita temukan dalam pasal-pasal
Undang-Undang Dasar 1945, yang merupakan penjabaran dari nilai-nilai yang terkandung dalam sila-sila
Pancasila. Tanpa ketentuan dalam pasal-pasal UUD 1945, maka nilai-nilai dasar yang termuat dalam
Pancasila belum memberikan makna yang konkret dalam praktik ketatanegaraan kita.

3. Nilai praksis

Nilai praksis merupakan penjabaran lebih lanjut dari nilai instrumental dalam kehidupan yang lebih nyata.
Nilai praksis merupakan pelaksanaan secara nyata dari nilai-nilai dasar dan nilai instrumental. Berhubung
fungsinya sebagai penjabaran dari nilai dasar dan nilai instrumental, maka nilai praksis dijiwai oleh nilai-
nilai dasar dan instrumental dan sekaligus tidak bertentangan dengan nilai-nilai dasar dan instrumental
tersebut.

Nilai praksis dalam kehidupan ketatanegaraan dapat ditemukan dalam undang-undang organik, yaitu
semua perundang-undangan yang berada di bawah UUD 1945 sampai kepada peraturan pelaksana yang
dibuat oleh pemerintah. Apabila kita melihat Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum
dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan, dinyatakan bahwa tata urutan peraturan perundang-
undangan merupakan pedoman dalam pembuatan aturan hukum di bawahnya, yaitu sebagai berikut.

a. Undang-Undang Dasar 1945.

b. Ketetapan MPR-RI. c. Undang-undang.

d. Peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perpu).

e. Peraturan pemerintah.

f. Keputusan presiden.

g. Peraturan daerah.
Berdasarkanketetapan MPR-RI No. 1/MPR/2003 tentang Peninjauan terhadap materi dan status hukum
ketetapan MPR Tahun 1960-2002. Dikeluarkan UU No. 10/2004 yang mengatur tata urutan perundang-
undangan sebagai berikut.

1. Undang-Undang Dasar 1945.

3. Peraturan Pemerintah (PP). 4. Peraturan Presiden (Perpres).

5. Peraturan Daerah (Perda).

2. Undang-Undang/Peraturan Pemeritah Pengganti UU.


Apabila kita kaitkan dengan nilai-nilai yang diba tersebut terdapat dalam UUD 1945, yaitu dalam
pembukaannya. Sedangkan nilai instrumental dapat ditemukan dalam pasal-pasal UUD 1945 dan juga
dalam ketetapan MPR. Nilai praksis dapat ditemukan dalam peraturan perundang-undangan berikutnya,
yaitu dalam undang-undang sampai kepada peraturan di bawahnya. dasar

F. Pancasila sebagai Nilai Dasar Fundamental bagi Bangsa dan Negara RI

Nilai-nilai Pancasila yang memperlihatkan napas humanisme bersifat universal, karenanya Pancasila
dapat dengan mudah diterima oleh siapa saja. Sekalipun Pancasila memiliki sifat universal, tetapi tidak
begitu saja dapat dengan mudah diterima oleh semua bangsa. Perbedaannya terletak pada fakta sejarah
bahwa nilai nilai secara sadar dirangkai dan disahkan menjadi satu kesatuan yang berfungsi sebagai basis
perilaku politik dan sikap moral bangsa. Dalam arti bahwa Pancasila adalah milik khas bangsa Indonesia
dan sekaligus menjadi identitas bangsa berkat legitimasi moral dan budaya bangsa Indonesia sendiri.
Nilai-nilai khusus yang termuat dalam Pancasila dapat ditemukan dalam sila-silanya (Andre Ata Ujan,
1998), yaitu sebagai berikut.

Sila pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa, pada dasarnya memuat pengakuan eksplisit akan eksistensi
Tuhan sebagai sumber dan pencipta universum. Pengakuan ini sekaligus memperlihatkan relasi esensial
antara yang mencipta dan yang diciptakan serta menunjukkan ketergantungan yang diciptakan terhadap
yang mencipta.

Sila kedua: Kemanusiaan yang adil dan beradab, sesungguhnya merupakan refleksi lebih lanjut dari sila
pertama. Sila ini memperlihatkan secara mendasar dari negara atas martabat manusia dan sekaligus
komitmen untuk melindunginya. Asumsi dasar di balik prinsip kedua ini ialah bahwa manusia, karena
kedudukannya yang khusus di antara ciptaan-ciptaan lainnya di dalam universum, mempunyai hak dan
kewajiban untuk mengembangkan kesempatan untuk meningkatkan harkat dan martabatnya sebagai
manusia. Dengan demikian, manusia secara natural dengan akal dan budinya mempunyai

kewajiban untuk mengembangkan dirinya menjadi person yang bernilai. Sila ketiga: Persatuan Indonesia,
secara khusus meminta perhatian setiap warga negara akan hak dan kewajiban dan tanggung jawabnya
pada negara, khususnya dalam menjaga eksistensi negara dan bangsa.

• Sila keempat: Demokrasi yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan
perwakilan, memperlihatkan pengakuan negara serta perlindungannya terhadap kedaulatan rakyat yang
dilaksanakan dalam iklim musyawarah dan mufakat. Dalam iklim keterbukaan untuk saling mende
ngarkan, mempertimbangkan satu sama lain, dan juga sikap belajar serta saling menerima dan memberi.
Hal ini berarti bahwa setiap orang diakui dan dilindungi haknya untuk berpartisipasi dalam kehidupan
politik.

Sila kelima: Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, secara istimewa menekankan keseimbangan
antara hak dan kewajiban. Setiap warga negara harus bisa menikmati keadilan secara nyata, tetapi iklim
keadilan yang merata hanya bisa dicapai apabila struktur sosial masyarakat sendiri secara adil. Keadilan
sosial terutama menuntut informasi struktur-struktur sosial, yaitu struktur ekonomi, politik, budaya, dan
ideologi ke arah yang lebih akomodatif terhadap kepentingan masyarakat.

Pancasila sebagai nilai dasar yang fundamental adalah seperangkat nilai yang terpadu berkenaan dengan
hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Apabila kita memahami pokok-pokok pikiran yang
terkandung dalam Pembukaan UUD 1945, maka pada hakikatnya nilai-nilai Pancasila tersebut adalah
sebagai berikut.

1. Pokok pikiran pertama, negara Indonesia adalah negara persatuan, yaitu negara yang melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Negara mengatasi segala paham golongan
dan perseorangan. Hal ini merupakan penjabaran dari sila ketiga.

2. Pokok pikiran kedua, menyatakan bahwa negara hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia. Dalam hal ini negara berkewajiban mewujudkan kesejahteraan umum bagi seluruh
rakyat Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan
perdamaian abadi dan keadilan sosial. Pokok pikiran ini penjabaran dari sila kelima.

3. Pokok pikiran ketiga, menyatakan negara berkedaulatan rakyat, berdasarkan atas kerakyatan dan
permusyawaratan/perwakilan. Pokok pikiran ini menunjukkan negara Indonesia demokrasi, yaitu
kedaulatan di tangan rakyat, sesuai dengan sila keempat.
4. Pokok pikiran keempat, menyatakan bahwa negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha
Esa menurut dasar kemanusiaan yanag adil dan beradab. Pokok pikiran ini sebagai penjabaran
dari sila pertama dan kedua.

Uraian di atas menunjukkan, bahwa Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 dapat dinyatakan sebagai
pokok-pokok kaidah negara yang fundamental, karena di dalamnya terkandung pula konsep-konsep
sebagai berikut.

1. Dasar-dasar pembentukan negara, yaitu tujuan negara, asas politik negara (negara Republik
Indonesia dan berkedaulatan rakyat), dan asas kerohanian negara (Pancasila).

2. Ketentuan diadakannya undang-undang dasar, yaitu "... maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan
Indonesia dalam suatu undang-undang dasar Negara Indonesia ...". Hal ini menunjukkan adanya sumber
hukum.

Nilai dasar yang fundamental suatu negara dalam hukum mempunyai hakikat dan kedudukan yang tetap
kuat dan tidak berubah, dalam arti dengan jalan hukum apapun tidak mungkin lagi untuk diubah.
Berhubung Pembukaan UUD 1945 itu memuat nilai-nilai dasar yang fundamental, maka Pembukaan
UUD 1945 yang di dalamnya terdapat Pancasila tidak dapat diubah secara hukum. Apabila terjadi
perubahan berarti pembubaran negara Proklamasi 17 Agustus 1945.

G. Makna Nilai-Nilai setiap Sila Pancasila

Pancasila sebagai dasar falsafah bangsa dan negara, merupakan satu kesatuan nilai yang tidak dapat
dipisah-pisahkan dengan masing-masing sila-silanya, karena apabila dilihat satu persatu dari masing-
masing sila itu dapat saja ditemukan dalam kehidupan bangsa lain. Makna Pancasila terletak pada nilai-
nilai dari masing. masing sila, sebagai satu kesatuan yang tidak dapat ditukarbalikkan letak dan
susunannya. Namun demikian, untuk lebih memahami nilai-nilai yang terkandung dalam masing-masing
sila Pancasila, maka berikut ini kita uraikan.

1. Ketuhanan Yang Maha Esa

Ketuhanan berasal dari kata Tuhan pencipta seluruh alam. Yang Maha Esa, berarti Yang Maha Tunggal,
tiada sekutu dalam zat-Nya, sifat-Nya dan perbuatan Nya. Zat Tuhan tidak terdiri atas zat-zat yang
banyak lalu menjadi satu. Sifat-Nya adalah sempurna dan perbuatan-Nya tiada dapat disamai oleh siapa
pun/ apa pun. Tiada yang menyamai Tuhan, Dia Esa. Jadi, Ketuhanan Yang Maha Esa, pencipta alam
semesta. Keyakinan adanya Tuhan Yang Maha Esa itu bukanlah suatu dogma atau kepercayaan yang
tidak dapat dibuktikan kebenarannya melalui akal pikiran, melainkan suatu kepercayaan yang berakar
pada pengetahuan yang benar dan dapat diuji atau dibuktikan melalui kaidah-kaidah logika. Atas
keyakinan yang demikianlah, maka negara Indonesia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, dan negara
memberi jaminan sesuai dengan keyakinannya dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya
itu.

Bagi kita dan di dalam negara Indonesia, tidak boleh ada pertentangan dalam hal Ketuhanan Yang Maha
Esa. Tidak boleh ada sikap dan perbuatan yang anti-Ketuhanan Yang Maha Esa dan antikeagamaan.
Dengan perkataan lain, di dalam negara Indonesia tidak boleh ada paham yang meniadakan atau
mengingkari adanya Tuhan (atheisme), tetapi yang seharusnya ada ialah Ketuhanan Yang Maha Esa
(monotheisme) dengan toleransi beribadat menurut agama dan kepercayaannya masing-masing.

Sebagai sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi sumber pokok nilai-nilai kehidupan bangsa
Indonesia, menjiwai dan mencari serta membimbing perwujudan kemanusiaan yang adil dan beradab,
penggalangan persatuan Indonesia yang telah membentuk negara kesatuan Indonesia yang telah berdaulat
penuh, yang bersifat kerakyatan dan dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan guna mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Hakikat pengertian di atas sesuai dengan:

a) Pembukaan UUD 1945 yang berbunyi, "Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa...",

b) Pasal 29 UUD 1945.

2. Kemanusiaan yang adil dan beradab

Kemanusiaan berasal dari kata manusia, yaitu makhluk yang berbudaya dengan memiliki potensi pikir,
rasa, karsa, dan cipta. Karena potensi yang dimilikinya itu, manusia tinggi martabatnya. Dengan budi
nuraninya, manusia menyadari nilai nilai dan norma-norma. Kemanusiaan terutama berarti hakikat dan
sifat-sifat khas manusia sesuai dengan martabatnya. Adil berarti wajar, yaitu sepadan dan sesuai dengan
hak dan kewajiban seseorang. Keputusan dan tindakan didasarkan pada sesuatu objektivitas, tidak pada
subjektivitas. Di sinilah yang dimaksud dengan wajar/sepadan. Beradab kata pokoknya adab, sinonim
dengan sopan, berbudi luhur, dan susila. Beradab artinya berbudi luhur, berkesopanan, dan bersusila.
Maksudnya, sikap hidup, keputusan, dan tindakan selalu berdasarkan pada nilai nilai keluhuran budi,
kesopanan, dan kesusilaan. Adab terutama mengandung pengertian tata kesopanan, kesusilaan, atau
moral. Dengan demikian, beradab berarti berdasarkan nilai-nilai kesusilaan, bagian dari kebudayaan.

Kemanusiaan yang adil dan beradab ialah kesadaran sikap dan perbuatan yang didasarkan kepada potensi
budi nurani manusia dalam hubungan dengan norma norma dan kesusilaan umumnya, baik terhadap diri
sendiri, sesama manusia, maupun terhadap alam dan hewan. Kemanusiaan yang adil dan beradab adalah
sikap dan perbuatan manusia yang sesuai dengan kodrat hakikat manusia yang sopan dan susila nilai.
Potensi kemanusiaan tersebut dimiliki oleh semua manusia, tanpa kecuali. Mereka harus diperlakukan
sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan, sesuai dengan fitrahnya, sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa.

Di dalam sila kedua telah disimpulkan cita-cita kemanusiaan yang lengkap, adil, dan beradab, memenuhi
seluruh hakikat makhluk manusia. Kemanusiaan yang adil dan beradab adalah suatu rumusan sifat
keluhuran budi manusia (Indonesia). Setiap warga negara mempunyai kedudukan yang sama terhadap
undang-undang negara, mempunyai kewajiban dan hak-hak yang sama. Setiap warga negara dijamin
haknya serta kebebasannya yang menyangkut hubungan dengan Tuhan, orang-seorang, negara,
masyarakat, dan menyangkut pula kemerdekaan menyatakan pendapat dan mencapai kehidupan yang
layak, sesuai dengan hak-hak dasar manusia.

Kemanusiaan yang adil dan beradab bagi bangsa Indonesia bersumber dari ajaran Tuhan Yang Maha Esa.
Manusia adalah makhluk pribadi anggota masyarakat dan sekaligus hamba Tuhan. Hakikat pengertian di
atas sesuai dengan Pembukaan UUD 1945 alinea pertama: "Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah
hak segala bangsa dan Oleh karena itu, penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai
dengan perikemanusiaan dan perikeadilan...". Selanjutnya dapat dilihat penjabarannya secara pokok-
pokok dalam Batang Tubuh UUD 1945.

3. Persatuan Indonesia

Persatuan berasal dari kata satu, artinya utuh tidak terpecah-pecah. Persatuan mengandung pengertian
bersatunya bermacam-macam corak yang beraneka ragam menjadi satu kebulatan. Persatuan Indonesia
dalam sila ketiga ini, mencakup persatuan dalam arti ideologis, politik, ekonomi, sosial budaya, dan
keamanan Persatuan Indonesia ialah persatuan bangsa yang mendiami wilayah Indonesia yang bersatu
karena didorong untuk mencapai kehidupan kebangsaan yang bebas, dalam wadah negara yang merdeka
dan berdaulat. Persatuan Indonesia merupakan faktor yang dinamis dalam kehidupan bangsa Indonesia,
bertujuan untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan
kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, serta mewujudkan perdamaian dunia yang
abadi.

Persatuan Indonesia adalah perwujudan dari paham kebangsaan Indonesia yang dijiwai oleh Ketuhanan
Yang Maha Esa, serta kemanusiaan yang adil dan beradab. Karena itu, paham kebangsaan Indonesia tidak
sempit (chauvinistis), tetapi menghargai bangsa lain. Nasionalisme Indonesia mengatasi paham golongan,
suku bangsa, serta keturunan. Hal ini sesuai dengan alinea keempat Pembukaan UUD 1945 yang
berbunyi, "Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia...". Selanjutnya dapat dilihat
penjabarannya dalam Batang Tubuh UUD 1945.

4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam per musyawaratan/perwakilan


Kerakyatan berasal dari kata rakyat, yaitu sekelompok manusia yang berdiam dalam satu wilayah negara
tertentu. Rakyat meliputi seluruh Indonesia itu tidak dibedakan fungsi dan profesinya. Kerakyatan adalah
rakyat yang hidup dalam ikatan negara. Dengan adanya sila keempat, berarti bangsa Indonesia menganut
demokrasi, baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Demokrasi tidak langsung (perwakilan)
sangat penting dalam wilayah negara yang luas serta penduduk yang banyak. Pelaksanaan demokrasi
langsung sekalipun sulit diwujudkan dalam alam modern, namun dalam beberapa hal tertentu dapat
dilaksanakan, seperti dalam memilih kepala negara atau sistem referendum.

Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, berarti
kekuasaan yang tertinggi berada di tangan rakyat. Kerakyatan disebut pula kedaulatan rakyat. Hikmat
kebijaksanaan berarti penggunaan pikiran atau rasio yang sehat dengan selalu mempertimbangkan
persatuan dan kesatuan bangsa, kepentingan rakyat dan dilaksanakan dengan sadar, jujur, dan
bertanggung jawab serta didorong dengan itikad baik sesuai dengan hati nurani. Permusyawaratan

adalah suatu tata cara khas kepribadian Indonesia untuk merumuskan dan atau

memutuskan suatu hal berdasarkan kehendak rakyat, hingga tercapai keputusan

yang berdasarkan kebulatan pendapat atau mufakat. Perwakilan adalah suatu sistem

dalam arti tata cara (prosedur) mengusahakan turut sertanya rakyat mengambil bagian

dalam kehidupan bernegara melalui lembaga perwakilan. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan berarti bahwa rakyat dalam melaksanakan tugas
kekuasaannya ikut dalam pengambilan keputusan-keputusan. Sila keempat ini merupakan sendi asas
kekeluargaan masyarakat, sekaligus sebagai asas atau prinsip tata pemerintahan Indonesia sebagaimana
dinyatakan dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945 yang berbunyi, "... maka disusunlah
kemerdekaan kebangsaan Indonesia, yang berkedaulatan rakyat..". Selanjutnya dapat dilihat
penjabarannya secara pokok pokok dalam pasal-pasal UUD 1945.

5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

Keadilan sosial berarti keadilan yang berlaku dalam masyarakat di segala bidang kehidupan, baik materiil
maupun spiritual. Bagi seluruh rakyat Indonesia, berarti untuk setiap orang yang menjadi rakyat
Indonesia, baik yang berdiam dalam negeri maupun warga negara Indonesia yang berada di luar negeri.
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia berarti, bahwa setiap warga Indonesia mendapat perlakuan
yang adil dalam bidang hukum, politik, sosial, ekonomi, dan kebudayaan. Sesuai dengan UUD 1945,
maka keadilan sosial itu mencakup pula pengertian adil dan makmur.

Keadilan sosial yang dimaksud tidak sama dengan pengertian sosialistis atau

komunalistis, karena yang dimaksud dengan keadilan sosial dalam sila kelima ini

bertolak dari pengertian bahwa antara pribadi dan masyarakat satu sama lain tiada

dapat dipisahkan. Masyarakat tempat hidup dan berkembang pribadi, sedangkan

pribadi adalah komponennya masyarakat. Tidak boleh terjadi praktik dalam

masyarakat sosialistis/komunalistis yang hanya mementingkan masyarakat, dan

juga sebaliknya yang berlaku dalam negara liberal yang segala sesuatu dipandang

titik beratnya dari pribadi/individu.

Keadilan sosial mengandung arti tercapainya keseimbangan antara kehidupan pribadi dan kehidupan
masyarakat. Kehidupan manusia itu meliputi kehidupan jasmani dan rohani, maka keadilan itu pun
meliputi keadilan dalam memenuhi tuntutan kehidupan jasmani serta keadilan memenuhi tuntutan
kehidupan rohani secara seimbang (keadilan material dan spritual). Hakikat keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia dinyatakan dalam alinea kedua Pembukaan UUD 1945 yang berbunyi, "Dan perjuangan
kemerdekaan kebangsaan Indonesia negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan
makmur". Selanjutnya dapat dilihat penjabarannya dalam pasal-pasal UUD 1945.
Kelima Sila Pancasila Merupakan Satu Kesatuan Pancasila susunannya adalah majemuk tunggal
(merupakan satu kesatuan

yang bersifat organis), yaitu sebagai berikut. a. Terdiri atas bagian-bagian yang tidak terpisahkan.

b. Masing-masing bagian mempunyai fungsi dan kedudukan tersendiri. c. Meskipun berbeda tidak saling
bertentangan, tetapi saling melengkapi.
d. Bersatu untuk mewujudkannya secara keseluruhan. c. Keseluruhan membina bagian-bagian.

e. Tidak boleh satu sila pun ditiadakan, melainkan merupakan satu kesatuan. Bentuk susunannya adalah
hierarkis piramidal (kesatuan bertingkat di mana tiap sila di muka merupakan basis sila lainnya).

Bentuk susunan Pancasila yang hierarkis - piramidal adalah sebagai berikut, Sila pertama: meliputi dan
menjiwai sila kedua, sila ketiga, sila keempat, dan sila kelima.

Sila kedua diliputi dan dijiwai sila pertama, meliputi dan menjiwai sila

Sila ketiga

ketiga, sila keempat, dan sila kelima. diliputi dan dijiwai sila pertama dan sila kedua, meliputi dan
menjiwai sila keempat dan sila kelima.

Sila keempat: diliputi dan dijiwai sila pertama, sila kedua, dan sila ketiga,

meliputi dan menjiwai sila kelima.

Sila kelima diliputi dan dijiwai oleh seluruh sila-sila.

Konsep Negara Pancasila

Menurut Pembukaan UUD 1945, konsep negara Pancasila adalah paham negara persatuan yang meliputi
kehidupan masyarakat.

a. Sifat sosialistis - religius.

b. Semangat kekeluargaan dan kebersamaan.


c. Semangat persatuan.

d. Musyawarah.

e. Menghendaki keadilan sosial.

Ide Pokok Bangsa dan Kebangsaan Indonesia

Ide pokok bangsa dan kebangsaan Indonesia dapat dilihat dari sifat keseimbangan Pancasila, yaitu sebagai
berikut.

a. Keseimbangan antara golongan agama (Islam) dan golongan nasionalis (negara theis demokrasi).
b. Keseimbangan antara sifat individu dan sifat sosial (aliran monodualisme).
c. Keseimbangan antara ide-ide asli Indonesia (paham
dialektis). Paham Integralistik

Paham integralistik (paham negara persatuan) tercermin dalam nilai-nilai dasar paham kekeluargaan,
yaitu sebagai berikut. a Persatuan dan kesatuan serta saling ketergantungan satu sama lain dalam

masyarakat. b. Bertekad dan berkehendak sama untuk kehidupan kebangsaan yang bebas, merdeka, dan
bersatu.

c. Cinta tanah air dan bangsa serta kebersamaan.

d. Kedaulatan rakyat dengan sikap demokratis dan toleran. e. Kesetiakawanan sosial, nondiskriminatif.

f. Berkeadilan sosial dan kemakmuran masyarakat.

g. Menyadari bahwa bangsa Indonesia berada dalam tata pergaulanan dunia dan universal.

i. Menghargai harkat dan martabat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan


Yang Maha Esa.

H. Etika Politik dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara Sesuai dengan Tap. MPR No.VI/MPR/2001,
pengertian dari etika kehidupan berbangsa dinyatakan dengan rumusan yang bersumber dari ajaran agama
yang

bersifat universal, dan nilai-nilai budaya bangsa yang terjamin dalam Pancasila sebagai

acuan dalam berpikir, bersikap, dan bertingkah laku dalam kehidupan berbangsa.

Pola berpikir untuk membangun kehidupan berpolitik secara jernih mutlak diperlukan. Pembangunan
moral politik yang berbudaya adalah untuk melahirkan kultur politik yang berdasarkan kepada iman dan
takwa terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa, menggalang suasana kasih sayang sesama manusia Indonesia,
yang berbudi kemanusiaan luhur, yang mengindahkan kaidah-kaidah musyawarah secara kekeluargaan
yang bersih dan jujur, dan menjalin asas pemerataan keadilan di dalam menikmati dan menggunakan
kekayaan negara. Membangun etika politik berdasarkan Pancasila akan diterima baik oleh segenap
golongan dalam masyarakat.

Pembinaan etika politik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sangatlah urgent. Langkah permulaan
dimulai dengan membangun konstruksi berpikir dalam rangka menata kembali kultur politik bangsa
Indonesia. Kita sebagai warga negara telah memiliki hak-hak politik, pelaksanaan hak-hak politik dalam
kehidupan bernegara akan saling bersosialisasi, berkomunikasi, dan berinteraksi dengan sesama warga
negara dalam berbagai wadah, yaitu dalam wadah infrastruktur dan suprastruktur.

Wadah infrastruktur, antara lain mimbar bebas, unjuk rasa, bicara secara lisan atau tulisan. Aktivitas
organisasi partai politik atau lembaga sosial kemasyarakatan, kampanye pemilihan umum, penghitungan
suara dalam memilih wakil di DPR atau pimpinan eksekutif. Sedangkan wadah suprastruktur, antara lain
mencakup semua lembaga legislatif di semua tingkat dan jajaran eksekutif (mulai dari Presiden sampai ke
RT/RW) dan semua jajaran lembaga kekuasaan kehakiman (tingkat pusat sampai ke daerah-daerah).
Semua wadah tersebut telah diatur dengan perundang-undangan agar hak-hak politik dapat berjalan
sebagaimana mestinya.

Sudahkah kita sebagai warga negara telah berpedoman kepada perundang undangan yang berlaku dalam
menjalankan hak-hak politik kita? Jawaban yang sesuai adalah hati nurani dan kejujuran batin, karena
hukum positif yang berlaku tidak menjamin bahwa hak-hak politik warga negara telah dilaksanakan.
Beberapa kasus dapat kita lihat, seperti korupsi, pelanggaran pemilihan umum, politik uang dalam
merebut jabatan, dan lain sebagainya hanya dapat dirasakan, tetapi sangatlah sulit untuk dibuktikan secara
hukum sehingga terjadi bermacam ketidakadilan. Oleh karena itu, semua pelanggaran dan kejahatan ini
sangat sulit diberantas melalui mau jalur hukum, kecuali hanya etika berpolitik yang berasaskan nilai-nilai
Pancasila yang betul-betul ada keinginan dari setiap warga negara sebagai insan politik mengamalkan
dalam kehidupan riil dalam masyarakat.

Etika politik lebih banyak bergerak dalam wilayah, di mana seseorang secara ikhlas dan jujur
melaksanakan hukum yang berlaku tanpa adanya rasa takut kepada sanksi daripada hukum yang berlaku.
Dalam demokrasi liberal, sering ditemukan apabila seseorang kepala pemerintahan gagal melaksanakan
tugasnya sesuai dengan janjinya saat kampanye pemilihan umum, atau dituduh terlibat korupsi yang
belum sampai dibuktikan di pengadilan, maka pemimpin itu mengundurkan diri. Ada suatu pandangan
dalam demokrasi liberal bahwa jabatan publik (perdana menteri, anggota parlemen, hakim, pegawai
birokrasi, dan lain-lain) dianggap suci, mulia, dan terhormat dalam negara. Oleh karena itu, setiap orang
yang berkeinginan atau sedang menduduki jabatan tersebut harus bersih dan jujur. Apabila ada tuduhan
masyarakat, bahwa seseorang pejabat publik tidak bersih, maka hati nurani pejabat tersebut langsung
mengundurkan diri.

Kasus di negara Malaysia tahun 1990-an adalah suatu contoh dalam perkara ini, di mana Muhammad bin
Muhammad Tahib adalah Gubernur (Menteri Besar) negara bagian Selangor. Muhamad dituduh
melakukan suatu pelanggaran hukum, sehingga beliau mengundurkan diri dari gubernur, kemudian
mempertangungjawabkan perbuatannya secara hukum, namun ternyata tidak bersalah, dan beliau rela
tidak kembali ke jabatan semulanya. Bagaimana dengan Indonesia, di mana ada di antara pejabat publik
yang dijatuhi hukuman penjara di pengadilan tingkat rendah belum juga bersedia untuk mengundurkan
diri, atau banyak pejabat negara baik di DPR maupun eksekutif, kurang memenuhi tata tertib, seperti
sering absen dan sebagainya. Inilah suatu contoh krisis moral dan termasuk juga kepada krisis etika
politik.

Banyak pengamatan yang dapat dilihat, bahwa kerusakan kronis dalam seluruh sistem berbangsa dan
bernegara pada awal masa reformasi, di mana suatu pandangan jabatan yang diduduki sekadar bermakna
kekuasan untuk meraih kepentingan berupa status, politik, dan uang. Kerusakan pola berpikir dan
bertindak dari para petinggi di negeri ini telah mencemaskan hati nurani rakyat banyak, sepeti terbukti
bersalah tak mau mundur, salah urus jalan terus, jika ada kasus dibawah tanggung jawabnya, selalu
menyalahkan bawahan, dan sebagainya. Jabatan kekuasaan seakan-akan untuk diri sendiri, bukan
diabdikan kepada rakyat. Perlulah kita meninjau ulang kepemimpinan yang bagaimanakah yang
diperlukan dalam kehidupan bernegara kita? Belum ada suatu bukti keberhasilan kepeminpinan simbolik,
feodalistik, dan selebriti dapat menyelesaikan permasalahan berbangsa dan bernegara.

Di samping itu, dengan perubahan UUD 1945 yang lebih memberdayakan politisi sipil juga harus
meningkatkan proses politik yang "cantik" dalam seluruh kehidupan politik. Misalnya, politik yang
berjalan tanpa premanisme dan kekerasan. Khususnya dalam pelaksaaan Pemilu oleh parati-parati politik,
apakah pemilu betul-betul terhindar dari korupsi, KKN, premanisme dan kekerasan politik, politik uang,
dan cara-cara yang tidak halal lainnya. Inilah suatu ujian bagi partai politik yang ikut pemilu apakah
mampu melaksanakan seluruh kegiatan politik yang penuh dengan etika politik berdasarkan nilai-nilai
luhur Pancasila.

Pada hakikatnya, etika politik tidak diatur dalam hukum tertulis secara lengkap, tetapi melalui moralitas
yang bersumber dari hati nurani, rasa malu kepada masyarakat, dan rasa takut kepada Tuhan Yang Maha
Kuasa. Adanya kemauan dan memiliki itikad baik dalam hidup bernegara dapat mengukur secara
seimbang antara hak yang telah dimiliki dengan kewajiban yang telah ditunaikan, tidak memiliki ambisius
yang berlebihan dalam merebut jabatan, namun membekali diri dengan kemampuan secara kompetitif
yang terbuka untuk menduduki suatu jabatan, tidak melakukan cara-cara yang terlarang, seperti penipuan
untuk memenangkan persaingan politik. Dengan kata lain, tidak menghalalkan segala macam cara untuk
mencapai suatu tujuan politik.

Dewan Kehormatan

Dalam kehidupan politik Indonesia banyak suara masyarakat menuntut agar dibentuknya dewan
kehormatan dalam berbagai institusi kenegaraan dan kemasyarakatan. Dengan harapan, etika politik dapat
terwujud dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Berdasarkan Tap. MPR No.
VI/MPR/2002 tentang Rekomendasi Atas Laporan Pelaksanaan Putusan MPR oleh Presiden, DPR, DPA,
MA, dan BPK, maka DPR harus segera membentuk dewan kehormatan untuk memeriksa anggota maka
DPR yang kurang disiplin.

Dalam Tap. MPR VI/MPR/2002 ditegaskan, bahwa DPR perlu meningkatkan kinerja anggotanya dengan
landasan moral, etika, dan rasa tanggung jawab yang tinggi. Dalam Pasal 6 tata tertib DPR mengenai
kode etik DPR, diungkapkan dalam ayat (1) anggota DPR harus mengutamakan tugasnya dengan cara
menghadiri secara fisik setiap rapat yang menjadi kewajibannya. Ayat (2) menegaskan, ketidakhadiran
anggota secara fisik sebanyak tiga kali berturut. turut dalam rapat sejenis, tanpa izin dari pimpinan fraksi
merupakan suatu pelanggaran kode etik.

Berbicara tentang etika politik dalam kehidupan bernegara kita tampaknya lebih banyak pengaruh
subjektif. Banyak politisi melihat dan mencari kesalahan kelompok politik pihak lain. Mereka lupa
apakah etika tersebut telah dilaksanakan pada dir dan kelompok mereka sendiri. Oleh karena itu,
terwujudnya etika politik dengan baik dalam kehidupan bernegara sangat ditentukan oleh kejujuran dan
keikhlasan hati nurani dari masing-masing warga negara yang telah memiliki hak-hak politiknya untuk
melaksanakan norma-norma dan aturan-aturan berpolitik dalam negara.

Semenjak terjadinya krisis multidimensional, muncul ancaman serius terhadap persatuan bangsa dan
kemunduran dalam pelaksanaan etika kehidupan berbangsa. Hal ini tampak dari konflik sosial yang
berkepanjangan, berkurangnya sopan santun dan budi luhur dalam pergaulan sosial, melemahnya
kejujuran dan sikap amanah dala kehidupan berbangsa, pengabaian terhadap ketentuan hukum dan
peraturan yang disebabkan oleh berbagai faktor yang berasal dari dalam dan luar negeri. Faktor yang
berasal dari dalam negeri, antara lain sebagai berikut.

a. Masih lemahnya pengamalan agama dan munculnya pemahaman ajaran agama yang keliru dan sempit.
b. Sistem sentralisasi pemerintahan di masa lampau sehingga timbul fanatisme

daerah.

c. Tidak berkembangnya pemahaman kemajemukan dalam kehidupan ber bangsa.

d. Terjadinya ketidakadilan ekonomi dalam kurun waktu yang panjang sehingga munculnya perilaku
ekonomi yang bertentang dengan moralitas dan etika. e. Kurangnya keteladanan bersikap dan berperilaku
sebagai pemimpin bangsa.

Sedangkan faktor penyebab dari luar negeri adalah sebagai berikut.

a. Pengaruh globalisasi yang luas dengan persaingan bangsa yang semakin tajam. b. Makin tingginya
intensitas intervensi kekuatan global dalam perumusan kebijakan nasional.

Pokok-pokok etika dalam kehidupan berbangsa mengedepankan kejujuran, amanah, keteladanan,


sportifitas, disiplin, etos kerja, kemandirian, sikap toleransi, rasa malu, tanggung jawab, menjaga
kehormatan serta martabat diri sebagai warga bangsa. Dalam Tap. MPR No. VI/MPR/2002 diuraikan
etika kehidupan berbangsa adalah sebagai berikut.

a. Etika sosial dan budaya.

b. Etika politik dan pemerintahan.


c. Etika ekonomi dan bisnis. d. Etika penegakan hukum yang berkeadilan.

e. Etika keilmuan.

f. Etika lingkungan.
Dalam uraian etika politik dan pemerintahan dinyatakan, bahwa untuk mewujudkan pemerintahan yang
bersih, efisien dan efektif, serta menumbuhkan suasana politik demokratis yang bercirikan keterbukaan,
maka rasa bertanggung jawab, tanggap akan aspirasi rakyat, menghargai perbedaan, jujur dalam
persaingan, kesediaan untuk menerima pendapat yang lebih benar, harus menjunjung tinggi hak asasi
manusia, serta keseimbangan hak dan kewajiban dalam kehidupan berbangsa.

Etika pemerintahan mengamanatkan agar penyelenggara negara memiliki rasa kepedulian tinggi dalam
memberikan pelayanan kepada publik. Siap mundur apabila merasa dirinya telah melanggar kaidah dan
sistem nilai atau dianggap tidak mampu memenuhi amanah masyarakat, bangsa, dan negara. Etika ini
diwujudkan dalam bentuk sikap yang bertata krama dalam perilaku politik yang toleran, tidak berpura-
pura, tidak arogan, jauh dari sikap munafik, serta tidak melakukan kebohongan publik, tidak manipulatif
dan berbagai tindakan yang tidak terpuji lainnya.

Anda mungkin juga menyukai