0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
14 tayangan36 halaman
Pancasila dapat diartikan sebagai filsafat karena merupakan hasil perenungan mendalam para pendiri negara yang dituangkan dalam sistem yang menjadi pedoman bangsa. Filsafat Pancasila adalah refleksi kritis terhadap Pancasila untuk memahami hakikatnya secara mendasar dan menyeluruh. Secara ontologis, manusia monopluralis merupakan dasar sila-sila Pancasila, sedangkan secara epistemologi sumber dan ke
Pancasila dapat diartikan sebagai filsafat karena merupakan hasil perenungan mendalam para pendiri negara yang dituangkan dalam sistem yang menjadi pedoman bangsa. Filsafat Pancasila adalah refleksi kritis terhadap Pancasila untuk memahami hakikatnya secara mendasar dan menyeluruh. Secara ontologis, manusia monopluralis merupakan dasar sila-sila Pancasila, sedangkan secara epistemologi sumber dan ke
Pancasila dapat diartikan sebagai filsafat karena merupakan hasil perenungan mendalam para pendiri negara yang dituangkan dalam sistem yang menjadi pedoman bangsa. Filsafat Pancasila adalah refleksi kritis terhadap Pancasila untuk memahami hakikatnya secara mendasar dan menyeluruh. Secara ontologis, manusia monopluralis merupakan dasar sila-sila Pancasila, sedangkan secara epistemologi sumber dan ke
falsafah (Arab) dan philosophy (Inggris) yang berasal dari bahasa Yunani philosophia. Kata philosophia merupakan kata majemuk yang tersusun dari kata philos/philein yang berarti “cinta” atau “teman” dan sophos/sophia artinya “kebijaksanaan”. Filsafat berarti cinta pada kebijaksanaan atau teman kebijaksanaan. Kebijaksanaan adalah kepandaian menggunakan akal budinya (pengalaman dan pengetahuannya). Sehingga bisa dikatakan bahwa filsafat terkait dengan “ajaran-ajaran kebijaksanaan”. Untuk itu, filsafat bisa terdapat dimana- mana, karena ajaran kebijaksaan bisa ditemukan dimanapun dan biasanya termanifestasi dalam petuah-petuah, pepatah, puisi, ajaran, karya sastra, tembang, dll. Pengertian Khsusus Filsafat Karena filsafat telah mengalami perkembangan yang dipengaruhi ruang, waktu, keadaan dan orangnya, maka muncul berbagai pendapat mengenai pengertian filsafat. Kattsof: Filsafat adalah berpikir secara kritis, rasional dalam bentuk yang sistematik, menghasilkan sesuatu yang runtut, dan bersifat komprehensif. Menurut Alston: Filsafat adalah analisis kritis terhadap konsep-konsep dasar yang dengannya orang berpikir tentang dunia dan kehidupan manusia. Menurut Plato: Filsafat adalah suatu penyelidikan terhadap sifat dasar dari penghabisan kenyataan. (Soetrisno, 2006:22-23) Sunoto (1987) memberikan rangkuman berbagai pengertian filsafat: a. Filsafat adalah hasil pikiran manusia yang kritis dan dinyatakan dalam bentuk yang sistematik; b. Filsafat adalah hasil pikiran yang paling dalam; c. Filsafat adalah pandangan hidup; d. Filsafat adalah hasil perenungan jiwa manusia yang mendalam, mendasar dan menyeluruh. Dua Pengertian Filsafat: a. Filsafat sebagai Produk: Filsafat sebagai jenis ilmu pengetahuan, konsep-konsep, teori, sistem aliran yang merupakan hasil proses berfilsafat; b. Filsafat sebagai suatu proses: filsafat sebagai bentuk aktivitas berfilsafat, proses pemecahan masalah dengan menggunakan cara dan metode tertentu. Rasional: menurut pikiran dan pertimbangan yang logis. Kritis dalam berpikir: yaitu mempertanyakan terus menerus segala sesuatu baik itu tentang masalah-masalah yang dihadapi ataupun tentang kebenaran yang diyakini (selalu ingin tahu). Radikal: berasal dari kata Latin “radix” yang berarti akar. Berpikir secara radikal berarti berpikir mendalam sampai ke akar-akarnya (mendasar/sampai kepeda hal yang prinsip). Komprehensif: filsafat dalam memikirkan objek kajiannya memerhatikan segala aspek yang berhubungan. Sistematis: menghasilkan suatu pemikiran yang sistematis. Ada hubungan antara bagian yang satu dengan yang lain dan bagian- bagian tersebut saling memperkuat untuk mendukung dasar pemikiran. Metafisika; cabang filsafat yang mempelajari asal mula segala sesuatu yang-ada dan yang mungkin-ada. Metafisika terdiri atas metafisika umum yang selanjutnya disebut sebagai ontologi, yaitu ilmu yang membahas segala sesuatu yang-ada, dan metafisika khusus yang terbagi dalam teodesi yang membahas adanya Tuhan, kosmologi yang membahas adanya alam semesta, dan antropologi metafisik yang membahas adanya manusia. Epistemologi; cabang filsafat mempelajari seluk beluk pengetahuan. Dalam epistemologi, terkandung pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang pengetahuan, seperti kriteria apa yang dapat memuaskan kita untuk mengungkapkan kebenaran, apakah sesuatu yang kita percaya dapat diketahui, dan apa yang dimaksudkan oleh suatu pernyataan yang dianggap benar. Aksiologi; cabang filsafat yang menelusuri hakikat nilai. Dalam aksiologi terdapat etika yang membahas hakikat nilai baik-buruk, dan estetika yang membahas nilai-nilai keindahan. Dalam etika, dipelajari dasar-dasar benarsalah dan baik-buruk dengan pertimbanganpertimbangan moral secara fundamental dan praktis. Sedangkan dalam estetika, dipelajari kriteria-kriteria yang mengantarkan sesuatu dapat disebut indah. Pancasila telah ada dan mengendap dalam sanubari dan kandungan jiwa yang menjadi sumber dari kebudayaan bangsa sejak beratus-ratus tahun lamanya. (Pranaka, 1985) Dengan demikian, Pancasila tentu berkaitan dengan sistem pandangan dunia bangsa Indonesia, yakni sebuah filsafat bangsa yang berkait dengan cara memandang kenyataan dan kebenaran. Para pendiri negara hanya membantu merumuskan dan mengeksplisitkan nilai- nilai maupun pandangan-pandangan tersebut agar menjadi pedoman bangsa; Untuk itu, Pancasila dikatakan sebagai filsafat karena Pancasila merupakan hasil permenungan jiwa yang mendalam yang dilakukan oleh the founding fathers Indonesia, yang dituangkan dalam suatu sistem (Abdul Gani, 1998). Filsafat Pancasila dapat diartikan sebagai pembahasan Pancasila secara filsafati, yakni pembahasan Pancasila sampai pada hakikat terdalam. (Notonegoro, 1966: 34) Filsafat Pancasila merupakan refleksi kritis dan rasional tentang Pancasila sebagai dasar negara dan kenyataan budaya bangsa, dengan tujuan untuk mendapatkan pokok-pokok pengertiannya yang mendasar dan menyeluruh. Dengan demikian, Filsafat Pancasila ialah filsafat yang menjadikan Pancasila sebagai obyeknya. Filsafat Pancasila tidak hanya akan menghasilkan pemikiran yang sedalam- dalamnya atau tidak hanya bertujuan mencari, tetapi hasil pemikiran yang berwujud filsafat Pancasila tersebut dipergunakan sebagai pedoman hidup; Dasar Ontologis Pancasila Dasar ontologis Pancasila mengungkap status istilah yang digunakan, isi dan susunan sila- sila, tata hubungan, serta kedudukannya. Dengan kata lain, pengungkapan secara ontologis itu dapat memperjelas identitas dan entitas Pancasila secara filosofis. Dasar ontologis Pancasila pada hakikatnya adalah manusia yang memiliki hakikat mutlak mono-pluralis. Manusia Indonesia menjadi dasar adanya Pancasila. Kaelan (2002: 69) bahwa yang berketuhanan Yang Maha Esa, berkemanusian yang adil dan beradab, berkesatuan Indonesia, berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia pada hakekatnya adalah manusia. Untuk itu, secara ontologis (hakekat dasar keberadaan) dari sila sila Pancasila adalah manusia “monopluralis”. Manusia Indonesia sebagai pendukung pokok sila-sila Pancasila secara ontologis memiliki hal-hal yang mutlak, yaitu terdiri atas susunan kodrat raga dan jiwa, jasmani dan rohani, sifat kodrat manusia sebagai makhluk individu dan sosial, serta kedudukan kodrat manusia sebagai makhluk pribadi berdiri sendiri dan sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa (Kaelan, 2002:72). Jika ditinjau menurut sejarah asal-usul pembentukannya, Pancasila memenuhi syarat sebagai dasar filsafat negara. Ada empat macam sebab (causa) yang menurut Notonagoro dapat digunakan untuk menetapkan Pancasila sebagai Dasar Filsafat Negara, yaitu: sebab berupa materi (causa material): adat kebiasaan, kebudayaan, agama. sebab berupa bentuk (causa formalis) dan sebab berupa tujuan (causa finalis): Bung Karno dan Bung Hatta menjadi Pembentuk Negara, sebagai asal mula bentuk atau bangun (causa formalis) dan asal mula tujuan (causa finalis) dari Pancasila sebagai calon dasar filsafat Negara sebab berupa asal mula karya (causa eficient) : PPKI yang menjadikan Pancasila sebagai Dasar Filsafat Negara yang sebelumnya ditetapkan sebagai calon Dasar Filsafat Negara (Notonagoro,1983: 25). Dasar Epistemologis Pancasila Epistemologi adalah cabang filsafat yang menyelidiki asal, syarat, susunan, metode, dan validitas ilmu pengetahuan. Jadi secara epistemologis, kajian Pancasila sebagai filsafat dimaksudkan sebagai upaya untuk mencari hakikat Pancasila sebagai suatu sistem pengetahuan. Epistemologi bertujuan untuk memperoleh realitas dan kebenaran ilmiah yang hakiki. Menurut Titus terdapat tiga persoalan yang mendasar dalam epistimologi yaitu : 1. tentang sumber pengetahuan manusia; 2. tentang kebenaran pengetahuan manusia; 3. tentang watak pengetahuan manusia. (Kaelan:2012:15) Tentang sumber pengetahuan Pancasila: sumber pengetahuan pancasila adalah nilai-nilai yang ada pada bangsa Indonesia sendiri (nilai adat istiadat, kebudayaan dan nilai religius), bukan berasal dari bangsa lain. Tentang Teori Kebenaran pengetahuan manusia: Oleh karena sumber pengetahuan Pancasila adalah bangsa indonesia sendiri, maka sebagai suatu sistem pengetahuan memiliki kesesuaian yang bersifat korespondensi/persesuaian. Menurut Aristoteles: hal yang ada sebagai tidak ada atau yang tidak ada sebagai ada adalah salah. Kebenaran adalah kesesuaian antara pernyataan tentang sesuatu dengan kenyataan. Menurut Pancasila, hakikat manusia adalah monopluralis, yang salah satunya memiliki unsur pokok raga dan jiwa. Hakikat jiwa memiliki unsur akal, rasa, kehendak yang merupakan potensi sebagai sumber daya cipta manusia yang melahirkan pengetahuan. Dengan demikian, Pancasila mengakui kebenaran rasio yang bersumber dari akal manusia. Namun jika dikaitkan dengan Sila Ketuhanan Yang Maha Esa (yang mendasari dan menjiwai sila lainnya) maka terdapat landasan kebenaran pengetahuan manusia yang bersumber pada intuisi (kebenaran wahyu yang bersifat mutlak) Dengan demikian, menurut Pancasila, ilmu pengetahuan pada hakikatnya tidak bebas nilai karena harus diletakkan pada kerangka moralitas kodrat manusia serta moralitas religius dalam upaya untuk mendapatkan suatu tingkatan pengetahuan yang mutlak dalam hidup manusia. Dasar Aksiologis Pancasila Aksiologi adalah teori nilai, yaitu sesuatu yang diinginkan, disukai atau yang baik. Aksiologi terkait erat dengan penelaahan atas nilai. Kajian aksiologi filsafat Pancasila pada hakekatnya membahas tentang nilai praksis atau manfaat suatu pengetahuan tentang Pancasila. Istilah aksiologi berasal dari kata Yunani axios yang artinya nilai, manfaat, dan logos yang artinya pikiran, ilmu atau teori. Aksiologi adalah teori nilai, yaitu sesuatu yang diinginkan, disukai atau yang baik. Nilai dalam kajian filsafat merujuk pada sesuatu yang sifatnya abstrak yang dapat diartikan sebagai “keberhargaan” atau “kebaikan”. Pancasila, mencakup nilai dasar, nilai instrumental, dan nilai praktis. Nilai ideal/dasar: adalah nilai-nilai dasar dari Pancasila adalah nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai persatuan, nilai kerakyatan, dan nilai keadilan. Nilai instrumental: adalah nilai yang berbentuk norma hukum yang selanjutnya akan terkristalisasi dalam peraturan perundang-undangan. (Pasal 29 UUD 1945, Pasal 28A-28J UUD 1945, dll). Nilai praksis: adalah nilai yang sesungguhnya dilaksanakan dalam kenyataan. nilai dasar mendasari nilai intrumental dan selanjutnya mendasari semua aktivitas kehidupan masyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pengakuan, penerimaan dan penghargaan atas nilai- nilai Pancasila itu nampak dalam sikap, tingkah laku, dan perbuatan bangsa Indonesia sehingga mencerminkan sifat khas sebagai manusia Indonesia. Kartohardiprodjo: Pancasila adalah filsafat bangsa Indonesia dalam arti pandangan dunia. Sebagai suatu pandangan dunia, filsafat Pancasila itu bersistem dan sila-sila Pancasila kait mengkait secara bulat dan utuh. Kebulatannya itu menunjukkan hakikat maknanya sedemikian rupa sehingga bangunan filsafat Pancasila itu substansinya memang sesuai dengan jiwa bangsa Indonesia turun-temurun. Pancasila merupakan cerminan jiwa bangsa Indonesia (Slamet Sutrisno, 2006: 71). Notonagoro: Asal mula materiil Pancasila adalah adat, tradisi dan kebudayaan Indonesia. Lima unsur yang tercantum di dalam Pancasila bukanlah hal yang baru pada pembentukan negara Indonesia, akan tetapi sebelumnya dan selama- lamanya telah dimiliki oleh rakyat, bangsa Indonesia, yang nyata ada dan hidup dalam jiwa masyarakat, rakyat dan bangsa Indonesia. Pancasila merupakan suatu kesatuan. Sila-sila itu sendiri saling terkait dalam hakikat persatuan-kesatuan. Dasar dari sifat dasar itu adalah filsafat manusia Pancasila, yakni rumus filosofis manusia sebagai makhluk monodualis/monopluralis (Slamet Sutrisno, 2006: 73). a. Satu kesatuan dari bagian-bagian; b. Bagian tersebut mempunyai fungsi sendiri- sendiri; c. Saling berhubungan dan saling ketergantungan; d. Bagian-bagian tersebut mempunyai satu tujuan; e. Terjadi dalam suatu lingkungan yang kompleks.
(Shore dan Voich dalam Kaelan: 1996:48)
Sistem adalah suatu kesatuan bagian- bagian yang saling berhubungan, saling bekerjasama untuk tujuan tertentu dan secara keseluruhan merupakan suatu kesatuan yang utuh.
Pancasila sebagai suatu sistem karena
terdiri dari lima sila yang mempunyai fungsi sendiri-sendiri, namun sila-sila Pancasila merupakan suatu kesatuan yang utuh, yang saling berhubungan, bekerjasama untuk tujuan tertentu. Dari intinya, urutan kelima sila Pancasila menunjukkan suatu rangkaian tingkat dalam luas (kuantitas) dan isi (kualitas), sehingga ada hubungan yang mengikat antara yang satu kepada yang lain. Jika di antara satu sila dengan sila lainnya tidak ada hubungan, maka Pancasila menjadi terpecah dan tidak dapat dipergunakan sebagai asas kerokhanian bagi negara (yang menjadi sumber nilai, norma serta kaidah moral dan hukum negara) (Kaelan: 2012: 10) Kesatuan sila-sila Pancasila dalam struktur yang bersifat hirarkis dan berbentuk piramidal Hubungan kesatuan sila-sila Pancasila yang saling mengisi dan mengkualifikasi Hakikat adanya Tuhan adalah ada karena dirinya sendiri, oleh karena itu segala sesuatu yang ada termasuk manusia ada karena diciptakan Tuhan /manusia ada sebagai akibat adanya Tuhan. (Sila 1) Manusia, merupakan subjek pendukung pokok negara, karena negara adalah lembaga kemanusiaan/ negara merupakan persekutuan hidup bersama yang anggotanya adalah manusia. (Sila 2) Maka terbentuklah Negara sebagai akibat dari adanya manusia yang bersatu. (Sila 3) Terbentuklah persekutuan hidup bersama/rakyat. Rakyat merupakan totalitas individu-individu dalam negara yang bersatu. (Sila 4) Keadilan pada hakikatnya merupakan tujuan kehidupan bersama/ keadilan sosial adalah tujuan dari lembaga hidup bersama yang disebut negara. (Sila 5) Dikarenakan manusia adalah makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, secara hierarkhis sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa meliputi, mendasari dan menjiwai keempat sila sila Pancasila (Kaelan, 2005). Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi basis kemanusiaan, Persatuan Indonesia, Kerakyatan dan Keadilan sosial. ◦ Sila 1 meliputi, mendasari dan menjiwai sila ke-2, 3, 4, 5. ◦ Sila 2 diliputi, didasari dan dijiwai sila ke-1, dan meliputi, mendasari dan menjiwai sila ke-3, 4, 5. Tiap-tiap sila mengandung empat sila lainnya. ◦ Sila pertama; Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Ketuhanan yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berpersatuan Indonesia, yang berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia; ◦ Sila kedua; kemanusiaan yang adil dan beradab adalah kemanusiaan yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, yang berpersatuan Indonesia, yang berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia; ◦ Dst.. Kata ‘hakikat’ dapat diartikan sebagai suatu inti yang terdalam dari segala sesuatu yang terdiri dari sejumlah unsur tertentu dan yang mewujudkan sesuatu itu, sehingga terpisah dengan sesuatu lain dan bersifat mutlak. Menurut Notonagoro, hakikat segala sesuatu mengandung kesatuan mutlak dari unsur- unsur yang menyusun atau membentuknya. Misalnya, hakikat air terdiri atas dua unsur mutlak, yaitu hidrogen dan oksigen. Kebersatuan kedua unsur tersebut bersifat mutlak untuk mewujudkan air. Dengan demikian, Hakikat sila-sila merupakan Pancasila yang berisi lima sila dan merupakan satu kesatuan utuh. Kesatuan sila-sila (Notonagoro: 1967: 32), yakni: 1. Kesatuan sila-sila Pancasila dalam struktur yang bersifat hirarkis dan berbentuk piramidal 2. Hubungan kesatuan sila-sila Pancasila yang saling mengisi dan saling mengkualifikasi
Kepribadian: Pengantar ilmu kepribadian: apa itu kepribadian dan bagaimana menemukan melalui psikologi ilmiah bagaimana kepribadian mempengaruhi kehidupan kita