Anda di halaman 1dari 3

1

A. Filsafat Pancasila
Filsafat Pancasila dapat didefinisikan sebagai refleksi
kritis dan rasional tentang Pancasila sebagai dasar negara
dan kenyataan budaya bangsa, dengan tujuan untuk
mendapatkan pokok-pokok pengertiannya yang mendasar
dan menyeluruh. Pancasila dikatakan sebagai filsafat,
karena Pancasila merupakan hasil permenungan jiwa yang
mendalam yang dilakukan oleh the founding fathers
Indonesia, yang dituangkan dalam suatu sistem (Abdul
Gani, 1998).
Pengertian filsafat Pancasila secara umum adalah
hasil berpikir atau pemikiran yang sedalam-dalamnya dari
bangsa Indonesia yang dianggap, dipercaya dan diyakini
sebagai kenyataan, norma-norma dan nilai-nilai yang
benar, adil, bijaksana, dan paling sesuai dengan kehidupan
dan kepribadian bangsa Indonesia.
Filsafat Pancasila dapat digolongkan sebagai filsafat
praktis sehingga filsafat Pancasila tidak hanya mengandung
pemikiran yang sedalam-dalamnya atau tidak hanya
bertujuan mencari, tetapi hasil pemikiran yang berwujud
2

filsafat Pancasila tersebut dipergunakan sebagai pedoman hidup sehari-hari (way of life
atau weltanschauung) agar hidup bangsa Indonesia dapat mencapai kebahagiaan lahir
dan batin, baik di dunia maupun di akhirat (Salam, 1988: 23-24).
Sebagai filsafat, Pancasila memiliki dasar ontologis, epistemologis, dan aksiologis,
seperti diuraikan di bawah ini.

1. Dasar Ontologis Pancasila


Kata ontologi berasal dari bahasa Yunani yaitu ontos dan logos. Ontos artinya ada dan
logos artinya ilmu. Jadi disimpulkan bahwa ontologi merupakan ilmu yang membahas
tentang keberadaan atau merupakan sebuah ilmu yang membahas tentang hakikat dari
segala sesuatu yang ada baik itu berupa realitas fisik maupun metafisik.

Dasar-dasar ontologis Pancasila menunjukkan secara jelas bahwa Pancasila itu benar-
benar ada dalam realitas dengan identitas dan entitas yang jelas. Melalui tinjauan filsafat, dasar
ontologis Pancasila mengungkap status istilah yang digunakan, isi dan susunan sila-sila, tata
hubungan, serta kedudukannya. Dengan kata lain, pengungkapan secara ontologis itu dapat
memperjelas identitas dan entitas Pancasila secara filosofis.
Jika ditinjau menurut sejarah asal-usul pembentukannya, Pancasila memenuhi syarat sebagai dasar
filsafat negara. Ada empat macam sebab (causa) yang menurut Notonagoro dapat digunakan untuk
menetapkan Pancasila sebagai Dasar Filsafat Negara, yaitu

1. sebab berupa materi (causa material),


2. sebab berupa bentuk (causa formalis),
3. sebab berupa tujuan (causa finalis), dan
4. sebab berupa asal mula karya (causa eficient) (Notonagoro,1983: 25).

Lebih jauh Notonagoro menjelaskan keempat causa itu seperti berikut. Pertama, bangsa Indonesia
sebagai asal mula bahan (causa materialis) terdapat dalam adat kebiasaan, kebudayaan dan dalam
agama-agamanya; kedua, seorang anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI), yaitu Bung Karno yang kemudian bersama-sama Bung Hatta menjadi
Pembentuk Negara, sebagai asal mula bentuk atau bangun (causa formalis) dan asal mula tujuan
(causa finalis) dari Pancasila sebagai calon dasar filsafat Negara; ketiga, sejumlah sembilan orang,

1. Dasar Epistemologis Pancasila


Kata epistemologi berasal dari bahasa Yunani yaitu episteme dan logos. Episteme
artinya pengetahuan dan logos artinya teori atau ilmu. Jadi, epistemologi merupakan
suatu ilmu yang mengkaji tentang sumber pengetahuan atau asal mula metode, struktur,
dan valid tidaknya suatu pengetahuan.

Epistemologi Pancasila terkait dengan sumber dasar pengetahuan Pancasila. Eksistensi


Pancasila dibangun sebagai abstraksi dan penyederhanaan terhadap realitas yang ada dalam
masyarakat bangsa Indonesia dengan lingkungan yang heterogen, multikultur, dan multietnik
dengan cara menggali nilai-nilai yang memiliki kemiripan dan kesamaan untuk memecahkan
masalah yang dihadapi masyarakat bangsa Indonesia (Salam, 1998: 29).

Dasar epistemologis Pancasila juga berkait erat dengan dasar ontologis Pancasila karena
3

pengetahuan Pancasila berpijak pada hakikat manusia yang menjadi pendukung pokok Pancasila
(Kaelan, 2002: 97). Secara lebih khusus, pengetahuan tentang Pancasila yang sila-sila di
dalamnya merupakan abstraksi atas kesamaan nilai-nilai yang ada dan dimiliki oleh masyarakat
yang pluralistik dan heterogen adalah epistemologi sosial.

2. Dasar Aksiologis Pancasila

Aksiologi berasal dari bahasa Yunani yaitu axio dan logos. Axio artinya pantas
atau layak sedangkan logos. Jadi, aksiologi merupakan suatu teori nilai yang
berhubungan dengan kegunaan dari pengetahuan yang telah diperoleh.
Aksiologi sendiri dapat diartikan sebagai sebuah ilmu yang membahas tentang
hakikat manfaat atau kegunaan dari pengetahuan yang sudah ada.

Aksiologi terkait erat dengan penelaahan atas nilai. Dari aspek aksiologi, Pancasila tidak
bisa dilepaskan dari manusia Indonesia sebagai latar belakang, karena Pancasila bukan nilai yang
ada dengan sendirinya (given value) melainkan nilai yang diciptakan (created value) oleh
manusia Indonesia. Nilai-nilai dalam Pancasila hanya bisa dimengerti dengan mengenal manusia
Indonesia dan latar belakangnya.

Pancasila mengandung nilai, baik intrinsik maupun ekstrinsik atau instrumental. Nilai
intrinsik Pancasila adalah hasil perpaduan antara nilai asli milik bangsa Indonesia dan nilai yang
diambil dari budaya luar Indonesia, baik yang diserap pada saat Indonesia memasuki masa
sejarah abad IV Masehi, masa imperialis, maupun yang diambil oleh para kaum cendekiawan
Soekarno, Muhammad Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan para pejuang kemerdekaan lainnya yang
mengambil nilai-nilai modern saat belajar ke negara Belanda.

Pancasila juga mencerminkan nilai realitas dan idealitas. Pancasila mencerminkan nilai
realitas, karena di dalam sila-sila Pancasila berisi nilai yang sudah dipraktekkan dalam hidup
sehari-hari oleh bangsa Indonesia. Di samping mengandung nilai realitas, sila-sila Pancasila
berisi nilai-nilai idealitas, yaitu nilai yang diinginkan untuk dicapai.

Anda mungkin juga menyukai