Anda di halaman 1dari 7

Landasan Ontologis Epistemologis Dan Aksiologis Filsafat Pancasila

Filsafat Pancasila dikembangkan berdasarkan empat Jandasan filosofis, yabli ontologis,


epistemologis, aksiologis, dan antropologis. Landasan ontologis dimaksudkan untuk
mengungkapkan jenis-jenis keberadaan yang diterapkan pada Pancasila. Landasan
epistemologis dimaksudkan untukmengungkapkan sumber-sumber pengetahuan dan
kebenaran tentang Pancasita sebagaisistem filsafat dan ideologi. Landasan aksiologis
dimaksudkan untuk mengungkapkan jenis-jenis nilai dasar yang terkandung dalam PancasiIa.
Landasan antropologis dimaksudkan untuk mengungkapkan hakikat manusia dalam rangka
pengembangan sistem filsafat Pancasila.
A. Landasan Ontologis (Hakikat manusia) Pancasila
1. Pengertian Ontologis
 Istilah “Ontologi” berasal dari kata Yunani onto yang berarti “sesuatu yang
sungguh-sunggung ada” , kenyataan yang sesungguhnya, dan logos yang
berarti “studi tentang” , “teori yang membicarakan”. Ontologi mempelajari
ciri hakiki (pokok) dari keberadaan (Being) yang berbeda dari studi tentang
hal-hal yang ada secara khusus. Ontologi mempelajari keberadaan dalam
bentuknya yang paling abstrak dan pertanyaan yang diajukan adalah “Apakah
keber-adaan (Ada) itu? Apakah hakikat dari keberadaan sebagai keberadaan
(Being-as-Being). Ontologi merupakan cabang filsafat yang membicarakan
tatanan (keteraturan) dan struktur kenyataan dalam arti yang luas. Kategori-
kategori yang dipakai adalah: meng-ada atau menjadi, aktualltas atau
potensionalitas, nyata atau nampak perubahan, eksistensi atau non-eksistensi,
hakikat kemutlakan, yang terdalam.
 Secara ontologis pancasila sebagai filsafat dimaksudkan sebagai upaya untuk
mengetahui hakikat dasar dari sila-sila pancasila. Pancasila terdiri atas lima
asas yang berdiri sendiri-sendiri. Manusia merupakan pendukung pokok dari
sila-sila pancasila. Dasar ontologis Pancasila pada hakikatnya adalah manusia,
yang memiliki hakikat mutlak yaitu monopluralis, atau monodualis, karena itu
juga disebut sebagai dasar antropologis. Subyek pendukung pokok dari sila-
sila Pancasila adalah manusia. Hal tersebut dapat dijelaskan bahwa yang
Berketuhan Yang Maha Esa, yang berkemanusiaan yang adil dan beradab,
yang berpersatuan, yang berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan serta yang berkeadilan
sosial pada hakikatnya adalah manusia. Sedangkan manusia sebagai
pendukung pokok sila-sila Pancasila secara ontologis memiliki hal-hal yang
mutlak, yaitu terdiri atas susunan kodrat, raga dan jiwa, jasmani dan rohani.
Sifat kodrat manusia adalah sebagai makhluk individu dan makhluk sosial
serta sebagai makhluk pribadi dan makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Maka
secara hirarkis sila pertama mendasari dan menjiwai sila-sila Pancasila
lainnya. (lihat Notonagoro, 1975: 53).
2. Pandangan Ontologis Pancasila
1) Tuhan adalah sebab pertama (causa prima) dari segalasesuatu, Yang
Esa dan segala sesuatu tergantung kepadanya. Tuhan adalah sempurna
dan maha kuasa, merupakan dzat yang mutlak, ada secara mutlak. Zat
yang mulia dan. sempurna. Causa tinalis.
2) Manusia memiliki susunan hakikat. pribadi yang monopluralis.
(majemuk tunggal), bertubuh-berjiwa, .berakal-berasa-berkehendak,
bersifat individu berkedudukan sebagai pribadi berdiri sendiri-makhluk
Tuhan yang menimbulkan kebutuhan kejiwaan dan religius, yang
seharusnya secara bersama-sama dipelihara dengan baik dalam
kesatuan yang seimbang, harmonis dan dinamis.
3) Mengakui adanya kualitas metafisis "satu" (trancendentalone). “satu"
ialah. secara mutlak tidak dapat terbagi. Merupakan diri pribadi yaitu
mempunyai bentuk, susunan, sifat-sifat dankeadaan tersendiri sehingga
kesemuanya itu menjadikan yang bersangkutan suatu keutuhan
(keseluruhan) yang mempunyai tempat tersendiri (utuh, terpisah dari
yang lain, mempunyai bentuk dan wujud).
4) Mengakui adanya "rakyat" Rakyat ialah keseluruhan jumlah semua
orang, warga dalam lingkungan daerah atau negara tertentu, yang
dalam segala sesuatu yang meliputi semua warga, dan untuk keperluan
seIuruh warga, termasuk hak dan kewajiban asasi kemanusiaan setiap
warga, sebagai perseorangan dan sebagai penjelmaan hakikat manusia
Hakikat rakyat adalah pilar negara dan yang berdaulat.
5) Mengakui adanya kualitas metafisis “baik" (trancendental good) yang
berupa adil. Adil ialah dipenuhinya sebagai wajib segala sesuatu yang
merupakan hak dalam hubungan hidup kemanusiaan. Sebagai
penjelmaan hakikat manusia .(wajib lebih diutaroakan daripada hak),
pemenuhan hak sebagai kewajiban tersebut mencakup hubungan antara
negara (pendukung wajib) dengan warga negaranya (disebut keadilan
distributif), hubungan antara warga negara (pendukung wajib) dengan
negara (disebut keadilan legal) dan hubungan di antar sesama warga
negara (disebut keadilan lrumutatif). Keadilan mengandung inti adil
yang pads hakikatnya adalah kerelaan (aspek jiwa) dan kesebandingan
(aspek raga). Untuk memperjelas arti ontologis sila-sila Pancasila,
periu diberi contohcontoh implementasinya melalui pemahaman
epistemologis, aksiologis yang direfleksikan kedalam kehidupan
antropologis.
B. Landasan Epistemologis (Pengetahuan) Pancasila
1. Pengertian Epistemologi
 Epistemologi berasal dari kata Yunani, "episteme" dan "logos". Episteme
biasa diartikan sebagai “pengetahuan” atau “kebenaran" dan “logos" diartikan
“pikiran" atau teori. Epistemologi dapat diartikan sebagai “teori pengetahuan
yang benar" dan lazimnya hanya disebut "teori pengetahuan”. yang dalam
bahasa Inggrisnya "Theory of knowledge". Atau dapat diartikan bahwa
Epistemologi adalah cabang filsafat yang menyelidiki asal, syarat, susunan,
metode, dan validitas ilmu pengetahuan serta epistemologi meneliti sumber
pengetahuan, proses dan syarat terjadinya pengetahuan, batas dan validitas
ilmu pengetahuan.
2. Pandangan Epistemologis Pancasila
 Dasar epistemologis pancasila pada hakikatnya tidak dapat dipisahkan dengan
dasar ontologisnya. Maka, dasar epistemologis Pancasila sangat berkaitan erat
dengan konsep dasarnya tentang hakikat manusia. Pancasila sebagai suatu
ideologi bersumber pada nilai – nilai dasarnya yaitu filsafat pancasilaa
(Soeryanto, 1991:51). Terdapat tiga persoalan yang mendasar dalam
epistemologi yaitu: pertama tentang sumber pengethuan manusia, kedua
tentang teori kebenaran pengetahuan manusia, ketiga tentang watak
pengetahuan manusia (titus, 1984:20). Secara epistemologis kajian Pancasila
sebagai filsafat dimaksudkan sebagai upaya untuk mencari hakikat Pancasila
sebagai suatu sistem pengetahuan.
 Pancasila sebagai sistem filsafat pada hakikatnya juga merupakan sistem
pengetahuan. Dalam kehidupan sehari-hari pancasila merupakan pedoman atau
dasar bagi bangsa Indonesia dalam memandang realitas alam semesta,
manusia, masyarakat, bangsa dan negara tentang makna hidup serta sebagai
dasar bagi manusia dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi dalam hidup
dari kehidupan pancasila Ini berarti Pancasila telah menjadi suatu belief
system, sistem cita-cita, menjadi suatu ideologi. Sebagai suatu ideologi maka
pancasila memiliki tiga unsur pokok agar dapat menarik loyalitas dari
pendukungnya yaitu; 1) logos yaitu rasionalitas atau penalarannya.
2) pathos yaitu penghayatannya, dan 3) ethos yaitu kesusilaannya (Wibisono,
1996 : 3). Sebagai suatu sistem filsafat serta ideologi maka pancasila harus
memiliki unsur rasional terutama dalam kedudukannya sebagai suatu sistem
filsafat.Oleh karena itu Pancasila harus memiliki unsur rasionalitas terutama
dalam kedudukannya sebagai sistem pengetahuan.
Pancasila sebagai suatu obyek pengetahuan pada hakikatnya meliputi masalah
sumber pengetahuan dan susunan pengetahuan Pancasila.
1) Tentang sumber pengetahuan Pancasila, sebagaimana telah dipahami
bersama adalah nilai-nilai yang ada pada bangsa Indonesia sendiri.
Nilai-nilai tersebut merupakan kausa materialis Pancasila.
2) Tentang susunan Pancasila sebagai suatu sistem pengetahuan, maka
Pancasila memiliki susunan yang bersifat formal logis, baik dalam arti
susunan sila-sila Pancasila maupun isi arti dari sila-sila Pancasila itu.
Susunan kesatuan sila-sila Pancasila adalah bersifat hirarkis dan
berbentuk piramidal. Sifat hirarkis dan bentuk piramidal itu nampak
dalam susunan Pancasila, di mana sila pertama Pancasila mendasari
dan menjiwai keempat sila lainny, sila kedua didasari sila pertama dan
mendasari serta menjiwai sila ketiga, keempat dan kelima, sila ketiga
didasari dan dijiwai sila pertama dan kedua, serta mendasari dan
menjiwai sila keempat dan kelima, sila keempat didasari dan dijiwai
sila pertama, kedua dan ketiga, serta mendasari dan menjiwai sila
kelma, sila kelima didasari dan dijiwai sila pertama, kedua, ketiga dan
keempat. Dengan demikian susunan Pancasila memiliki sistem logis
baik yang menyangkut kualitas maupun kuantitasnya. Dasar-dasar
rasional logis pancasila juga menyangkut isi arti sila-sila pancasila.
Susunan isi arti pancasila meliputi tiga hal yaitu: pertama, isi arti
pancasila yang umum universal yaitu hakikat sila-sila pancasila. Isi arti
sila-sila pancasila yang umum universal ini merupakan inti sari atau
esensi pancasila sehimgga merupakan pangkal tolak derivasi baik
dalam pelaksanaan pada bidang-bidang kenegaraan dan bidang
kehidupan konkrit. Kedua, isi arti pancasila yang umum kolektif, yaitu
isi arti pancasila sebagai pedoman kolektif negara dan bangsa
Indonesia terutama dalam tertib hukum Indonesia. Ketiga, isi arti
pancasila yang bersifat khusus dan kongkrit yaitu isi isi arti pancasila
dalam realisasi praksis dalam berbagai bidang kehidupan hingga
memiliki sifat yang khusus kongkrit serta dinamis (lihat Notonagoro,
1975 : 36,40).
 Menurut Pancasila, hakikat manusia adalah monopluralis, yaitu hakikat manusia
yang memiliki unsur pokok susunan kodrat yang terdiri atas raga dan jiwa.
Hakikat raga manusia memiliki unsur fisis anorganis, vegetatif, dan animal.
Hakikat jiwa memiliki unsur akal, rasa, kehendak yang merupakan potensi
sebagai sumber daya cipta manusia yang melahirkan pengetahuan yang benar,
berdasarkan pemikiran memoris, reseptif, kritis dan kreatif. Selain itu, potensi
atau daya tersebut mampu meresapkan pengetahuan dan menstranformasikan
pengetahuan dalam demontrasi, imajinasi, asosiasi, analogi, refleksi, intuisi,
inspirasi dan ilham. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa memberi landasan
kebenaran pengetahuan manusia yang bersumber pada intuisi. Manusia pada
hakikatnya kedudukan dan kodratnya adalah sebagai makhluk Tuhan Yang
Maha Esa, maka sesuai dengan sila pertama Pancasila, epistemologi Pancasila
juga mengakui kebenaran wahyu yang bersifat mutlak. Hal ini sebagai tingkat
kebenaran yang tinggi. Dengan demikian kebenaran dan pengetahuan manusia
merupapakan suatu sintesa yang harmonis antara potensi-potensi kejiwaan
manusia yaitu akal, rasa dan kehendak manusia untuk mendapatkankebenaran
yang tinggi. Dasar-dasar rasional logis Pancasila menyangkut kualitas maupun
kuantitasnya, juga menyangkut isi arti Pancasila tersebut. Sila Ketuhanan Yang
Maha Esa memberi landasan kebenaran pengetahuan manusia yang bersumber
pada intuisi. Manusia pada hakikatnya kedudukan dan kodratnya adalah sebagai
makhluk Tuhan Yang Maha Esa, maka sesuai dengan sila pertama Pancasila,
epistemologi Pancasila juga mengakui kebenaran wahyu yang bersifat mutlak.
Hal ini sebagai tingkat kebenaran yang tinggi.Dengan demikian kebenaran dan
pengetahuan manusia merupapakan suatu sintesa yang harmonis antara potensi-
potensi kejiwaan manusia yaitu akal, rasa dan kehendak manusia untuk
mendapatkan kebenaran yang tinggi. Selanjutnya dalam sila ketiga, keempat,
dan kelima, maka epistemologi Pancasila mengakui kebenaran konsensus
terutama dalam kaitannya dengan hakikat sifat kodrat manusia sebagai makhluk
individu dan makhluk sosial. Sebagai suatu paham epistemologi, maka
Pancasila mendasarkan pada pandangannya bahwa ilmu pengetahuan pada
hakikatnya tidak bebas nilai karena harus diletakkan pada kerangka moralitas
kodrat manusia serta moralitas religius dalamupaya untuk mendapatkan suatu
tingkatan pengetahuan yang mutlak dalam hidup manusia.
C. Landasan (Nilai) Aksiologis Pancasila
1. Pengertian Aksiologis
Istilah Aksiologi berasal dari bahasa Yunani axios yang artinya nilai, manfaat,
dan logos yang artinya pikiran atau ilmu. Aksiologi adalah teori nilai, yaitu
sesuatu yang diinginkan, disukai atau yang baik. bidang yang diselidiki adalah
hakikat nilai, kriteria nilai, dan kedudukan metafisiska suatu nilai. Nilai
(value  dalam bahasa inggris) berasal dari bahasa Latin  valere  yang artinya
kuat, baik, dan berharga. Dalam kajian filsafat nerujuk pada sesuatu yang
sifatnya abstrak yang dapat diartikan sebagai “keberhargaan” (worth) atau
“kebaikan” (goodness). Nilai itu sesuatu yang  berguna, nilai juga
mengandung harapan akan sesuatu yang diinginkan, nilai adalah suatu
kemampuan yang dipercayai yang ada pada suatu benda untuk memuaskan
manusia.
2. Pandangan Aksiologis Pancasila
 Sila-sila pancasila sebagai suatu sistem filsafat yang juga memiliki satu
kesatuan dasar aksiologinya, yaitu nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila
pada hakikatnya juga merupakan suatu kesatuan. Terdapat berbagai macam
teori tentang nilai dan hal ini sangat tergantung pada titik tolak dan sudut
pandangnya masing-masing dalam menentukan tentang pengertian nilai dan
hierarkhinya. Misalnya kalangan materialis memandang bahwa hakikat nilai
yang tertinggi adalah nilai material. Kalangan hedonis berpandangan bahwa
nilai yang tertinggi adalah nilai kenikmatan. Namun dari berbagai macam
pandangan tentang nilai dapat kita kelompokkan pada dua macam sudut
pandang yaitu bahwa sesuatu itu bernilai karena berkaitan dengan subjek
pemberi nilai yaitu manusia, hal ini bersifat subjektif namun juga terdapat
pandangan bahwa pada hakikatnya sesuatu itu memang pada dirinya sendiri
memang bernilai, hal ini merupakan pandangan dari paham objektivisme.
Pada hakikatnya segala sesuatu itu bernilai, hanya nilai macam apa saja yang
ada serta bagaimana hubungan nilai tersebut dengan manusia. Banyak
pandangan tentang nilai terutama dalam menggolongkan nilai dan
penggolongan tersebut amat beraneka ragam tergantung pada sudut
pandangnya msing-masing. Max Scheler misalnya mengemukakan bahwa
nilai pada hakikatnya berjenjang, jadi tidak sama tingginya dan tidak sama
luhurnya. Nilai-nilai itu dalam kenyataannya ada yang lebih tinggi dan ada
yang lebih rendah bila mana dibandingkan satu dangan yang lainnya. Sejalan
denga pandangan tersebut, Notonagoro merinci nilai disamping bertingkat
juga berdasarkan jenisnya ada yang bersifat material dan non material. Dalam
hubungan ini manusia memiliki orientasi nilai yang berbeda tergantung pada
pandangan hidup dan filsafat hidup masing-masing. Ada sekelompok orang
berdasarkan pada orientasi pada nilai material, namun ada pula yang
sebaliknya yaitu berorientasi pada nilai yang non material. Bahkan sesuatu
yang non material itu mengandung nilai yang bersifat mutlak bagi manusia.
Nilai-nilai material relatif lebih mudah diukur yaitu menggunakan indra
maupun alat pengukur lainnya seperti berat, panjang, lebar, luas dan
sebagainya. Dalam menilai hal-hal yang bersifat rokhaniah yang menjadi alat
ukur adalah hati nurani manusia yang dibantu oleh alat indra manusia yaitu
cipta, rasa, karsa serta keyakinan manusia. Menurut Notonagoro bahwa nilai-
nilai pancasila termasuk nilai-nilai kerohanian yang mengakui nilai material
dan nilai vital. Dengan demikian nilai-nilai pancasila yang tergolong nilai
kerohanian itu juga nilai-nilai lain secara lengkap dan harmonis yaitu nilai
material, nilai vital, nilai kebenaran, nilai keindahan atau estetis, nilai
kebaikan atau nilai moral, maupun nilai kesucian yang secara keseluruhan
bersifat sistematik-hierarkis, dimana silapertama yaitu Ketuhanan Yang Maha
Esa sebagai basisnya sampai dengan sila Keadilan Sosial sebagai tujuannya.
(Darmodiharjo, 1978).

Anda mungkin juga menyukai