Anda di halaman 1dari 26

MEMBINA KESADARAN BERKONSTITUSI

Konstitusi adalah hukum dasar yang dijadikan pegangan dalam penyelenggaraan suatu


negara . Konstitusi dapat berupa hukum dasar tertulis yang lazim disebut Undang-Undang
Dasar, dan dapat pula tidak tertulis yang juga disebut Konvensi. Undang-Undang Dasar urutan
tata urutan peraturan-undangan tertinggi dalam negara.
Dalam praktek ketatanegaraan konstitusi pada umumnya memiliki dua
arti. Pertama, konstitusi yang mempunyai arti yang lebih luas undang-undang dasar. Konstitusi
termasuk undang-undang dasar (konstitusi tertulis) dan konvensi (konstitusi tidak
tertulis). Dengan demikian dapat dikatakan undang-undang dasar termasuk ke dalam bagian
konstitusi. Kedua, konstitusi memiliki arti yang sama dengan undang-undang dasar (KC. Where
dalam Riyanto, 2000: 49-51). Pengertian yang kedua ini pernah diberlakukan dalam praktek
ketatanegaraan Republik Indonesia dengan disebutnya Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia Serikat Tahun 1945 dengan istilahKonstitusi Republik Indonesia Serikat 1949.
Apa sebenarnya kesadaran berkonstitusi itu? Kesadaran berkonstitusi secara konseptual
diartikan sebagai kualitas pribadi seseorang yang memancarkan wawasan, sikap, dan perilaku
yang bermuatan cita-cita dan komitmen luhur kebangsaan dan kebernegaraan Indonesia
(Winataputra, 2007). Kesadaran berkonstitusi merupakan salah satu bentuk keinsyafan warga
negara akan mengimplementasikan nilai-nilai konstitusi.
Kesadaran berkonstitusi merupakan salah bagian dari kesadaran moral. Sebagai bagian
dari kesadaran moral, kesadaran konstitusi mempunyai tiga unsur pokok yaitu:
 1) Perasaan wajib atau keharusan untuk melakukan tindakan bermoral yang sesuai
dengan konstitusi negara itu ada dan terjadi di setiap sanubari warga negara, siapa pun dan
kapanpun;
 2) Rasional, kesadaran moral dapat dikatakan rasional karena berlaku umum, lagi pula
terbuka bagi pembenaran atau penyangkalan. Dengan demikian kesadaran berkonstitusi
merupakan hal yang bersifat rasional dan dapat pula sebagai hal objektif yang dapat
diuniversalkan, artinya dapat disetujui, berlaku pada setiap waktu dan tempat bagi warga setiap
negara;
3) Kebebasan, atas kesadaran moralnya, warga negara bebas untuk mentaati berbagai
peraturan perundang-undangan yang berlaku di negaranya termasuk ketentuan konstitusi negara
(Magnis-Suseno, 1975: 25)
Winataputra (2007) Mengidentifikasi beberapa bentuk kesadaran berkonstitusi bagi warga
negara Indonesia yang meliputi:
1. Kesadaran dan kesediaan untuk mempertahankan dan menyatakan kemerdekaan Indonesia sebagai
hak azasi bangsa dengan perwujudan perilaku sehari-hari antara lain: belajar / bekerja keras untuk
menjadi manusia Indonesia yang berkualitas, siap siaga negara sesuai kapasitas dan kualitas
pribadi masing-masing, dan rela berkorban untuk Indonesia.
2. Kesadaran dan pengakuan bahwa Indonesia sebagai bangsa sebagai rahmat Allah Yang Maha Kuasa
dengan perwujudan perilaku sehari-hari antara lain: selalu bersyukur, tidak arogan, dan selalu
berdoa kepada Allah Yang Maha Kuasa.
3. Kepekaan dan ketanggapan terhadap kewajiban Pemerintah Negara untuk melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan perwujudan perilaku sehari-hari
antara lain: kritis, skeptis, dan adaptif terhadap kebijakan publik perlindungan negara.
4. Kepekaan dan ketanggapan terhadap kewajiban Pemerintah Negara untuk memajukan kesejahteraan
umum dengan perwujudan perilaku sehari-hari antara lain: kritis, dan adaptif terhadap kebijakan
perlindungan negara.
5. Kepekaan dan ketanggapan terhadap kewajiban Pemerintah Negara untuk mencerdaskan kehidupan
bangsa dengan perwujudan perilaku sehari-hari antara lain: kritis, skeptis, dan adaptif terhadap
kebijakan publik pencerdasan kehidupan bangsa
6. Kepekaan dan ketanggapan terhadap kewajiban Pemerintah Negara yang melaksanakan ketertiban
dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial dengan perwujudan
perilaku sehari-hari antara lain: kritis, skeptis, dan adaptif terhadap kebijakan publik hubungan luar
negeri Indonesia.
7. Kemauan untuk selalu menilai keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dengan
perwujudan perilaku sehari-hari antara lain: menjalankan ibadah dan ibadah sosial menurut
keyakinan agamanya masing-masing dalam konteks toleransi antar umat beragama.
8. Kemauan untuk bersama-sama membangun persatuan dan kesatuan bangsa dengan perilaku
perwujudan sehari-hari antara lain: survei tidak primordialistik, berjiwa kemitraan pluralistik, dan
bekerja sama secara profesional.
9. Kemauan untuk bersama-sama membangun jiwa kemanusiaan yang adil dan beradab dengan
perwujudan perilaku sehari-hari antara lain: menghormati orang lain seperti menghormati diri sendiri,
memperlakukan orang lain secara proporsional, dan menyatakan empatik pada orang lain
10. Kesediaan untuk mewujudkan komitmen terhadap keadilan dan kesejahteraan dengan perwujudan
perilaku-perilaku-hari antara lain: tidak mau menang sendiri, tidak ada rakus dan korup, dan biasa
berderma.
11. Kesediaan untuk mewujudkan komitmen terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia yang bersifat
final dengan perwujudan perilaku sehari-hari antara lain: tidak menyatakan kesukuan, tidak
menyatakan kedaerahan, dan tidak berjiwa federalistik.
12. Kesadaran untuk menempatkan Presiden sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan Negara
dalam kerangka kabinet presidensil dengan perwujudan perilaku sehari-hari antara lain: menghadiri
orang yang memegang jabatan Presiden dan Wakil Presiden, menghormati simbol-simbol
kepresidenan, dan menghormati mantan Presiden / Wakil Presiden secara proporsional dan elegan.
13. Kepekaan dan ketanggapan terhadap pengaturan Kementerian yang diatur undang-undang dengan
perwujudan perilaku sehari-hari antara lain: kritis, dan adaptif terhadap kebijakan Presiden dalam
penyusunan Kabinet.
14. Kesadaran dan kemampuan untuk melaksanakan Pemilu yang langsung, rahasia, jujur, dan adil
dengan perwujudan perilaku sehari-hari antara lain: menjadi pemilih resmi yang cerdas, menjadi
konstituen Calon / pasangan calon / Partai Politik yang cerdas dan menjadi pelaksana Pemilu yang
profesional.
15. Kesadaran akan kesejajaran Dewan Perwakilan Rakyat dengan Pemerintah dengan perilaku
perwujudan sehari- kontrol dan saling imbang ( check and balance ), cerdas dalam meninjau DPR /
DPRD dan Pemerintah / Pemerintah Daerah, dan kritis DPR / DPRD dan Pemerintah / Pemerintah
Daerah.
16. Kesadaran untuk mendukung pelaksanakan otonomi daerah pada tingkat kabupaten / kota dengan
perwujudan perilaku sehari-hari antara lain: menghormati Pemerintah Daerah, melaksanakan
Peraturan Daerah yang relevan, dan secara optimal dalam pembangunan daerah.
17. Kepekaan dan ketanggapan terhadap akuntabilitas publik keuangan negara dengan perilaku
perwujudan sehari-hari antara lain: coba kritis, skeptis, dan adaptif terhadap kebijakan publik
pengelolaan keuangan negara.
18. Kesadaran dan kemauan untuk menjaga wilayah negara dengan konsep wawasan nusantara dengan
perwujudan perilaku sehari-hari antara lain: memahami dengan baik konsep wawasan nusantara,
lingkungan lingkungan alam dengan baik, dan pengelolaan kekayaan alam sesuai peraturan-
undangan.
19. Kepekaan dan ketanggapan terhadap keberadaaan kehakiman yang merdeka dalam menegakkan
hukum dan keadilan dengan perilaku perwujudan perilaku sehari-hariantara lain: survei kritis,
skeptis, dan adaptif terhadap kebijakan publik dalam bidang peradilan.
20. Kesadaran dan kemauan untuk turut serta melakukan perlindungan dan pemajuan hak azasi manusia
(politik, ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, dan agama) dengan perwujudan perilaku sehari-hari
antara lain: memahami hak dan kewajiban warga negara dan hak azasi manusia secara utuh , kritis,
skeptis, dan adaptif terhadap kebijakan publik yang terkait langsung / tak langsung dengan berbagai
dimensi hak azasi manusia.
21. Kesadaran dan kesediaan untuk menghormati Sang Merah Putih sebagai Bendera Negara dengan
perwujudan perilaku sehari-hari antara lain: menyimpan Sang Merah Putih pada tempat yang tepat
dan baik, memberi hormat pada saat Sang Merah Putih sedang dinaikkan / diturunkan, dan tidak
merusak Sang Merah Putih dengan alasan apapun.
22. Kesadaran akan peran dan kemampuan menggunakan Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Negara
secara baik dan benar dengan perwujudan perilaku sehari-hari antara lain: menguasai Bahasa
Indonesia dengan baik dan benar, menggunakan Bahasa Indonesia dengan baik dan benar, dan
maju dalam memperkaya dan mengembangkan Bahasa Indonesia .
23. Kesediaan untuk menghormati Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika sebagai
Lambang Negara dengan perwujudan perilaku sehari-hari.
24. Kesadaran akan makna dan kemampuan menyanyikan lagu Indonesia Raya sebagai Lagu
Kebangsaan dengan perwujudan perilaku sehari-hari antara lain: mampu menyanyikan Lagu
Indonesia Raya dengan benar dan baik, dan tidak memplesetkan kata-kata / nada dari Lagu
Indonesia Raya untuk tujuan apapun.

A.       Latar Belakang
Pada saat sekarang ini semakin banyak masyarakat Indonesia yang mengabaikan arti dari
pancasila sebagai dasar negara dan UUD 1945 sebagai konstitusi. Bahkan bukan hanya
mengabaikan, namun banyak juga yang tidak mengetahui makna dari dasar negara dan konstitusi
tersebut. Korupsi yang terjadi di semua kehidupan masyarakat menumbuhkan sikap dan
pemikiran bahwa dalam pemberantasan korupsi di negara ini membutuhkan langkah yang berada
di luar konstitusi. Hal ini terbukti dengan keadaan negara Indonesia yang telah terkooptasi oleh
kekuatan koruptif sehingga melahirkan sikap-sikap negatif masyarakat terhadap konstitusi.
Sekilas memang tidak ada korelasi penting antara korupsi dan konstitusi. Akan tetapi, Refleksi
atas maraknya perlawanan terhadap korupsi, dapat dilihat dari perlawanan balik para koruptor
melalui media judicial review. Melalui putusan MK, kita dapat melihat bagaimana korupsi
menjadi barang haram dalam konstitusi. Korupsi telah menjadi kejahatan kemanusiaan, dengan
menghapus hak-hak ekonomi dan sosial rakyat. Sedangkan konstitusi berperan dalam menata
sistem pemberantasan korupsi. Artinya, korupsi adalah inkonstitusional, dan pemberantasan
korupsi harus sejalan dengan konstitusi.
Konstitusi sebagai hukum dasar yang utama dan merupakan hasil representatif kehendak
seluruh rakyat, haruslah dilaksanakan dengan sungguh-sungguh disetiap sendi kehidupan
berbangsa dan bernegara.

B.       Rumusan Masalah
1.  Apa Pengertian Konstitusi?
2.    Bagaimanakah bentuk kesadaran berkonstitusi?
3.    Bagaimanakah nilai positif dan nilai negatif terhadap konstitusi?
C.  Tujuan Penulisan
1.    Untuk mengetahui pengertian konstitusi.
2.    Untuk mengetahui bentuk kesadaran berkonstitusi.
3.    Untuk mengetahui nilai-nilai positif dan negatif terhadap konstitusi.
BAB II
PEMBAHASAN

A.       Pengertian Konstitusi
Konstitusi berasal dari kata constitution (Bhs. Inggris) – constitutie (Bhs. Belanda) –
constituer (Bhs. Perancis), yang berarti membentuk, menyusun, menyatakan. Dalam bahasa
Indonesia, konstitusi diterjemahkan atau disamakan artinya dengan UUD. Konstitusi menurut
makna katanya berarti dasar susunan suatu badan politik yang disebut negara. Konstitusi
menggambarkan keseluruhan sistem ketatanegaraan suatu negara, yaitu berupa kumpulan
peraturan untuk membentuk, mengatur, atau memerintah negara. Peraturan-peraturan tersebut
ada yang tertulis sebagai keputusan badan yang berwenang, dan ada yang tidak tertulis berupa
konvensi.[1]

B.       Bentuk Kesadaran Berkonstitusi


Sebagai bagian dari kesadaran moral, dan kesadaran konstitusi mempunyai tiga unsur pokok
yaitu:
1.      Perasaan wajib atau keharusan untuk melakukan tindakan bermoral yang sesuai dengan
konstitusi Negara itu ada dan terjadi didalam setiap sanubari warga Negara, siapapun, dimanapun
dan kapanpun.
2.      Rasional, kesadaran moral dapat dikatakan rasional karena berlaku umum, lagi pula terbuka bagi
pembenaran atau penyangkalan. Dengan demikian kesadaran berkonstitusi merupakan hal yang
bersifat rasional dan dapat dinyatakan pula sebagai hal objektif yang dapat diuniversalkan,
artinya dapat disetujui, berlaku pada setiap waktu dan tempat bagi setiap warga Negara.
3.      Kebebasan atas kesadaran moralnya, warga Negara bebas untuk mentaati berbagai peraturan
perudang-undangan yang berlaku di negaranya termasuk ketentuan konstitusi Negara. Kesadaran
berkonstitusi warga Negara memiliki beberapa tingkatan yang menunjukkan derajat setiap warga
Negara dalam melaksanakan ketentuan konstitusi Negara. Tingkatan-tingkatan tersebut jika
dikaitkan dengan tingkatan kesadaran menurut N.Y Bull (Djahiri, 1985:24), yaitu:
a.       Kesadaran yang bersifat anomous, yaitu kesadaran atau kepatuhan ketentuan konstitusi Negara
yang tidak jelas dasar dan alasan atau orientasinya.
b.      Kesadaran yang bersifat heteronomous, yaitu kesadaran atau kepatuhan ketentuan konstitusi
Negara yang berlandaskan dasar/orientasi motivasi yang beraneka ragam atau berganti-ganti. 
c.       Kesadaran yang bersifat sosionomous. Yaitu kesadaran atau kepatuhan terhadap ketentuan
konstitusi Negara yang berorientasikan pada kiprah umum atau ramai.[2]

C.       Nilai-Nilai Positif dan Negatif Terhadap Konstitusi


Sebagai Warga Negara yang baik adalah Warga Negara yang memiliki kesetiaan
terhadap bangsa dan Negara, yang meliputi kesetiaan terhadap ideologi Negara, kesetiaan
terhadap konstitusi, kesetiaan terhadap peraturan perundang-undangan, dan kesetiaan terhadap
kebijakan pemerintah. Oleh sebab itu, maka setiap warga Negara harus dan wajib untuk memiliki
prilaku positif terhadap konstitusi, yang mempunyai makna berprilaku peduli atau
memperhatikan konstitusi (UUD), mempelajari isinya, mengkaji maknanya, melaksanakan nilai-
nilai yang terkandung didalamnya, mengamalkan dalam kehidupan, dan berani menegakkan jika
konstitusi di langgar.[3]
Adapun beberapa nilai positif terhadap Konstitusi antara lain:
a.    Berusaha mempelajari isi konstitusi agar memahami makna konstitusi tersebut.
b.    Melaksanakan isi konstitusi sesuai dengan profesi masing-masing.
c.    Menanamkan nilai-nilai konstitusi khususnya perjuangan bangsa kepada generasi muda.
d.    Menangkal masuknya ideologi asing yang bertentangan dengan konstitusi Indonesia.
Adapun nilai negatif terhadap Konstitusi antara lain:
a.    Melanggar apa yang menjadi isi Konstitusi, yaitu melanggar aturan atau norma yang telah
ditetapkan di dalam Konstitusi.
b.    Menyalahgunakan Konstitusi untuk kepentingan diri sendiri atau kelompok, yaitu menggunakan
peraturan untuk memenuhi kebutuhan sendiri atau kelompok (menyelewengkan kekuasaan)
ataupun untuk memperkaya diri maupun kelompok (korupsi).

BAB III
PENUTUP

A.       Kesimpulan
Dari pembahasan tersebut kami dapat menyimpulkan sebagai berikut :
1.      Konstitusi adalah seperangkat aturan atau hukum yang berisi ketentuan tentang bagaimana
pemerintah diatur dan dijalankan. Oleh karena aturan atau hukum yang terdapat dalam konstitusi
itu mengatur hal-hal yang amat mendasar dari suatu Negara. Konstitusi dikatakan pula sebagai
hukum dasar yang dijadikan pegangan dalam penyelenggaraan suatu Negara. Karena kedudukan
yang sangat penting, konstitusi harus dipahami oleh seluruh warga Negara. Persoalan yang
terjadi di Indonesia saat ini yang ada kaitannya dengan pemahaman warga Negara terhadap
konstitusi adalah semakin meluasnya materi muatan dalam UUD 1945 sebagai dampak dari
dilakukannya perubahan konstitusi sebanyak empat kali.
2.      Berbagai bentuk kesadaran berkonstitusi warga Negara sebagai mana diuraikan di atas dapat
terwujud jika didukung oleh berbagai faktor yang mendorong terciptanya warga Negara yang
sadar berkonstitusi, salah satunya adalah dengan pendidikan berkonstitusi melalui Pendidikan
Kewarganegaraan.
3.      Pendidikan berkonstitusi merupakan hal terpenting yang harus dioptimalkan untuk menciptakan
warga Negara yang memiliki kesadaran berkonstitusi. Rasionalisasi Implementasi Pendidikan
Kesadaran berkonstitusi melalui Pendidikan Kewarganegaraan.

BAB I
PENDAHULUAN
A.       Latar Belakang Masalah
Setiap Negara merdeka mempunyai konstitusi sebagai operasionalisasi ideology
negaranya. Seacara etimologi, istilah konstisional sangat beragam dalam setiap kosakata bahasa
disetiap Negara.
Istilah konstitusi dalam bahasa Inggris adalah “constitution” dan “constituer” dalam
bahasa Perancis. Kedua kata tersebut berasal dari Latin yaitu”constitution” yang berarti dasar
susunan badan.
Dalam bahasa Belanda istilah konstitusi disebut dengan “grondwet” yang terdiri  dari
kata grond berarti dasar dan kata wet berarti undang-undang dan dalam bahasa Jerman istilah
konstitusi disebut “verfassung”.
Dalam praktek ketatanegaraan pengertia konstitusi pada umumnya memiliki dua arti
yaitu :
1.      Praktek ketatanegaraan Republik Indonesiadengan disebutnya UUD RIS 1945 dengan istilah
Konstitusi RIS 1949. Konstitusi sebagai hukum dasar yang utama dan merupakan hasil
represensatif kehendak seluruh rakyat, haruslah dilaksanakan dengan sungguh-sungguh disetiap
sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, prinsip yang timbul adalah setiap
tindakan, perbuatan, dan konstitusi mempunyai arti yang lebih luas dari pada UUD. Konstitusi
meliputi UUD (konstitusi tertulis) dan kenvensi (konstitusi tidak tertulis). Dengan demikian
dapat dikatakan UUD termasuk ke dalam bagian konstitusi.
2.      Konstitusi memiliki arti yang sama dengan UUD 1945. Pengertian yang kedua ini pernah
diberlakukan dalam aturan dari semua otoritas yang diberi delegasi oleh konstitusi, tidak boleh
bertentangan dengan “basic rights” dan konstitusi itu sendiri. Dengan demikian UUD 1945,
merupakan konstitusi berbangsa dan bernegara Indonesia adalah aturan hukum tertinggi yang
keberadaannya  dilandasi legitimasi kedaulatan rakyat dan Negara hukum.
B.       Rumusan
Adapun rumusan dari makalah ini adalah sbb :
1.      Pengertian konstitusional
2.      Bentuk kesadaran berkonstitusi

C.       Tujuan Makalah
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah diharapkan kepada mahasiswa (i)
untuk dapat mengetahui tentang ” kesadaran berkonstitusi”

D.      Metode Penyusun
Metode yang di gunakan dalam memperoleh data sebagai bahan penyusunan makalah
adalah :
a.       Metode Kepustakaan
b.      Browsing di internet.

BAB II
PEMBAHASAN
A.       Pengertian Konstisional
Setiap Negara merdeka mempunyai konstitusi sebagai operasionalisasi ideology
negaranya. Seacara etimologi, istilah konstisional sangat beragam dalam setiap kosakata bahasa
disetiap Negara.
Istilah konstitusi dalam bahasa Inggris adalah “constitution” dan “constituer” dalam
bahasa Perancis. Kedua kata tersebut berasal dari Latin yaitu”constitution” yang berarti dasar
susunan badan.
Dalam bahasa Belanda istilah konstitusi disebut dengan “grondwet” yang terdiri  dari
kata grond berarti dasar dan kata wet berarti undang-undang dan dalam bahasa Jerman istilah
konstitusi disebut “verfassung”.
Dalam praktek ketatanegaraan pengertia konstitusi pada umumnya memiliki dua arti
yaitu :
1.        Praktek ketatanegaraan Republik Indonesiadengan disebutnya UUD RIS 1945 dengan istilah
Konstitusi RIS 1949. Konstitusi sebagai hukum dasar yang utama dan merupakan hasil
represensatif kehendak seluruh rakyat, haruslah dilaksanakan dengan sungguh-sungguh disetiap
sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, prinsip yang timbul adalah setiap
tindakan, perbuatan, dan konstitusi mempunyai arti yang lebih luas dari pada UUD. Konstitusi
meliputi UUD (konstitusi tertulis) dan kenvensi (konstitusi tidak tertulis). Dengan demikian
dapat dikatakan UUD termasuk ke dalam bagian konstitusi.
3.      Konstitusi memiliki arti yang sama dengan UUD 1945. Pengertian yang kedua ini pernah
diberlakukan dalam aturan dari semua otoritas yang diberi delegasi oleh konstitusi, tidak boleh
bertentangan dengan “basic rights” dan konstitusi itu sendiri. Dengan demikian UUD 1945,
merupakan konstitusi berbangsa dan bernegara Indonesia adalah aturan hukum tertinggi yang
keberadaannya  dilandasi legitimasi kedaulatan rakyat dan Negara hukum. Oleh karena itu UUD
1945 dipandang sebagai bentuk kesepakatan bersama (general agreement) diseluruh rakyat
Indonesia yang memiliki kedaulatan. Hal itu sekaligus membawa konsekuensi bahwa UUD 1945
merupakan aturan tertinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang mengatur bagaimana
kedaulatan rakyat akan dilaksanakan. Inilah yang secara teoretis disebut dengan supremasi
konstitusi sebagai salah satu prinsip utama tegaknya Negara hukum yang demokratis.

Berkaitan dengan hal itu, Solly Lubis (1978:48-49) mengemukakan bahwa UUD adalah
sumber utama dari norma-norma hukum tata Negara. UUD 1945 mengatur bentuk dan susunan
Negara, alat-alat perlengkapannya dipusat dan daerah, mengatur tugas-tugas alat-alat
perlengkapan itu serta hubungan satu sama lain. Di sisi lain, harus diingat bahwa selain aturan-
aturan dasar UUD 1945 juga memuat tujuan nasional sebagai cita-cita kemerdekaan
sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945. Antara tujuan nasional dengan aturan-
aturan dasar tersebut merupakan satu kesatuan jalan dan tujuan. Agar tiap-tiap tujuan nasional
dapat tercapai, pelaksanaan aturan-aturan dasar konstitusi dalam praktek kehidupan berbangsa
dan bernegara menjadi syarat mutlak yang harus dipenuhi.
Selain itu, dalam sebuah konstitusi juga terkandung hak dan kewajiban dari setiap
warga Negara. Oleh karena itu, konstitusi harus dikawal dengan pengertian agar selalu benar-
benar dilaksanakan. Sesuai dengan salah satu pengertian Negara hukum, dimana setiap tindakan
penyelenggaraan Negara serta warga Negara harus dilakaukan berdasarkan didalam kolidaor
hukum, maka yang harus mengawal konstitusi adalah segenap penyelenggara dan seluruh warga
Negara dengan cara menjalankan wewenang, hak, dan kewajiban konstitusionalnya. Apabila
setiap pejabat penyelenggaraan Negara telah memahami UUD 1945 serta melaksanakan
wewenangnya berdasarkan UUD 1945, setiap produk hukum, kebijakan, dan tindakan yang
dihasilkan adalah bentuk pelaksanaan UUD 1945. Hal itu harus diimbangi dengan pelaksanaan
oleh seluruh warga Negara. Untuk itu dibutuhkan adanyakesadaran berkonstitusi warga Negara,
tidak saja untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang telah dibuat
berdasarkan UUD 1945, tetapi juga untuk dapat melakukan kontrol pelaksanaan UUD 1945, baik
dalam bentuk perundang-undangan, kebijakan, maupun tindakan penyelenggara Negara. Apa
sebenarnya kesadaran berkonstitusi itu? Kesadaran berkonstitusi secara konseptual diartikan
sebagai kualitas pribadi seseorang yang memancarkan wawasan, sikap, dan prilaku yang
bermuatan cita-cita dan komitmen luhur kebangsaan dan kenegaraan Indonesia. Kesadaran
berkonstitusi merupakan salah satu bentuk keinsafan dan kesadaran moral warga Negara akan
pentingnya mengimplementasi nilai-nilai konstitusi.

B.       Bentuk Kesadaran Berkonstitusi


Sebagai bagian dari kesadaran moral, dan kesadaran konstitusi mempunyai tiga unsur
pokok yaitu:
1.    Persaan wajib atau keharusan untuk melakukan tindakan bermoral yang sesuai dengan konstitusi
Negara itu ada dan terjadi didalam setiap sanubari warga Negara, siapapun, dimanapun dan
kapanpun.
2.    Rasional, kesadaran moral dapat dikatakan rasional karena berlaku umum, lagi pula terbuka bagi
pembenaran atau penyangkalan. Dengan demikian kesadaran berkonstitusi merupakan hal yang
bersifat rasioanal dan dapat dinyatakan pula sebagai hal objektif yang dapat diuniversalkan,
artinya dapat disetujui, berlaku pada setiap waktu dan tempat bagi setiap warga Negara.
3.    Kebebasan atas kesadaran moralnya, warga Negara bebas untuk mentaati berbagai peraturan
perudang-undangan yang berlaku di negaranya termasuk ketentuan konstitusi Negara. Kesadaran
berkonstitusi warga Negara memiliki beberapa tingkatan yang menunjukkan derajat setiap warga
Negara dalam melaksanakan ketentuan konstitusi Negara. Tingkatan-tingkatan tersebut jika
dikaitkan dengan tingkatan kesadaran menurut N.Y Bull (Djahiri, 1985:24), yaitu:
 Kesadaran yang bersifat anomous, yaitu kesadaran atau kepatuhan ketentuan konstitusi Negara
yang tidak jelas dasar dan alasan atau orientasinya.
 Kesadaran yang bersifat heteronomous, yaitu kesadaran atau kepatuhan ketentuan konstitusi
Negara yang berlandaskan dasar/orientasi motivasi yang beraneka ragam atau berganti-ganti.
 Kesadaran yang berfifat sosionomous. Yaitu kesadaran atau kepatuhan terhadap ketentuan
konstitusi Negara yang berorientasikan pada kiprah umum atau ramai.
 Kesadaran yang bersifat autonomous, yaitu kesadaran atau kepatuhan ketentuan konstitusi Negara
yang didasari oleh konsep kesadaran yang ada dalam diri seorang warga Negara. Ini merupakan
tingkatan kesadaran yang paling tinggi. Warga Negara yang yang memiliki kemelekkan terhadap
konstitusi (constitusional literacy).
 Barkaitan dengan hal tersebut Toni Massaro (dalam Brok Thomas,1996:637) menyatakan bahwa
kemelekkan terhadap konstitusi akan mengarahkan warga Negara untuk berpartisipasi
melaksanakan kewajibannya sebagai warga Negara. Oleh karena itu, Winataputra (2007)
mengidenfikasi beberapa bentuk kesadaran berkonstitusi bagi warga Negara Indonesia yang
meliputi:
1.        Kesadaran dan kesediaan untuk mempertahankan dan mengisi kemerdekaan Indonesia sebagai
hak azasi bangsa dengan perwujudan perilaku sehari-hari antaralain: Belajar/bekerja keras untuk
menjadi manusia Indonesia yang berkualitas, siap membela Negara sesuai dengan kapasitas dan
kualitas pribadi masing-masing, dan rela berkorban untuk Indonesia.
2.        Kesadaran dan pengakuan bahwa kemerdekaan Indonesia sebagai bangsa, sebagai rahmat Allah
Yang Maha Kuasa dengan perwujudan perilaku sehari-hari antara lain: Selalu bersyukur, tidak
arogan, dan selalu berdo’a kepada Allah Yang Maha Kuasa.
3.        Kepekaan dan ketanggapan terhadap kewajiban pemerintah Negara untuk melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah indonesia dengan perwujudan perilaku sehari-hari
antara lain: bersikap kritis, skeptic, dan adaptif terhadap kebijakan public perlindungan Negara.
4.        Kepekaan dan ketanggapan terhadap kewajiban pemerintah Negara untuk memajukan
kesejahteraan umum dengan perwujudan perilaku sehari-hari antara lain: bersikap kritis, skeptic,
dan adaptif terhadap kebijakan public perlindungan Negara.
5.        Kepekaan dan ketanggapan pemerintah Negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dengan
perwujudan perilaku sehari-hari antara lain: kritis, skeptic, dan adaptif terhadap kebijakan public
pencerdasan kehidupan bangsa.
6.        Kepekaan dan ketanggapan terhadap kewajiban pemerintah Negara yang melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan social dengan
perwujudan perilku sehari-hari antara lain: kritis, skeptic, dan adaptif terhadap kebijakan public
hubungan luar negeri Indonesia.
7.        Kumauan untuk selalu memperkuat keimanan dan ketakwaan terhadap Tuha Yang Maha Esa
dengan perwujudan perilaku sehari-hari antara lain: menjalan ibadah social menurut keyakinan
agamanya masing-masing dalam konteks toleransi antar umat beragama.
8.        Kemauan untuk bersama-sama  dalam membangun persatuan da kesatuan bangsa dengan
perwujudan perilaku sehari-hari antara lain: bersikap tidak primordialistik, berjiwa kemitraan
pluralistic, dan bekerja sama secara professional dan lain-lain.

Berbagai bentuk kesadaran berkonstitusi warga Negara sebagai man diuraikan di atas
dapat terwujud jika didukung oleh berbagai factor yang mendorong terciptanya warga Negara
yang sadar berkonstitusi, salah satunya adalah dengan pendidikan berkonstitusi melalui
Pendidikan Kewarganegaraan.
Pendidikan berkonstitusi merupakan hal terpenting yang harus dioptimalkan untuk
menciptakan warga Negara yang memiliki kesadaran berkonstitusi. Rasionalisasi Implementasi
Pendidikan Kesadaran berkonstitusi melalui Pendidikan Kewarganegaraan.
Dalam hidup bernegara, kita dapat menemukan beberapa aturan yang mengatur
bagaimana pemerintahan dijalankan. Misalnya, siapa yang menjalankan kekuasaan pemerintahan
dan bagaimana kekuasaan tersebut diperoleh. Selain itu,  kita juga dapat menemukn beberapa
aturan yang sama sekali tidak berhubungan dengan cara-cara pemerintahan dijalankan. Misalnya
bagaimana aturan mengendarai kendaraan sepeda motor dijalan raya dan bagaimana cara
mencari keadilan jika hak dilanggar orang lain. Pada saat kita menemukan aturan atau hukum
yang berisi ketentuan yang mengatur bagaimana pemerintahan dijalankan, artinya kita telah
menemukan bagian dari konstitusi.
Konstitusi adalah seperangkat aturan atau hukum yang berisi ketentuan tentang
bagaimana pemerintah diatur dan dijalankan. Oleh karena aturan atau hukum yang terdapat
dalam konstitusi itu mengatur hal-hal yang amat mendasar dari suatu Negara. Konstitusi
dikatakan pula sebagaia hukum dasar yang dijadikan pegangan dalam penyelenggaraan suatu
Negara. Karena kedudukan yang sangat penting, konstitusi harus dipahami oleh seluruh warga
Negara Persoalan yang terjadi di Indonesia saat ini yang ada kaitannya dengan pemahaman
warga Negara terhadap konstitusi adalah semakin meluasnya materi muatan dalam UUD 1945
sebagai dampak dari dilakukannya perubahan konstitusi sebanyak empat kali. Sebelum
perubahan UUD 1945 berisi butir ketentuan. Setelah perubahan UUD 1945 berisi 199 butir
ketentuan tersebut, naskah UUD 1945 yang masih asli tidak mengalami perubahan hanya
sebanyak 25 butir ketentuan (12%), sedangkan selebihnya sebanyak 174 butir ketentuan (88%)
merupakan materi baru. Hal tersebut menyebabkan para digma pemikiran yang terkandung
dalam nakah asli, ketika UUD 1945 pertama kali disahkan  tanggal Agustus 1945. Seandainya
semua warga Negara Indonesis sudah mengetahui seluruh isi UUD 1945 sebelum perubahan,
sebenarnya pada saat sekarang ini hanya mengetahui 25 butir ketentuan dari UUD 1945,
sedangkan 174 butir masih banyak belum dimengerti. Itulah sebabnya perlu upaya sungguh-
sungguh untuk melakukan pendidikan kesadaran berkonstitusi (Budimansyah dan Suryadi).
Sekaitan dengan hal diatas, pendidikan kesadaran berskonstitusi merupakan hal terpenting yang
harus dioptimalka untuk menciptakan warganegara yang memiliki kesadaran berkonstitusi. Hal
tersebut pada hakekatnya sudah digariskan dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang
berlaku di Indonesia. Misalnya, dalam usulan BP KNIP tanggal 29 Desember 1945 dikemukakan
bahwa Pendidikan dan pengajaran harusmembimbing murid-murid menjadi warga Negara yang
mempunyai rasa tanggung jawab, yang kemudian oleh Kementerian PPK dirumuskan dalam
tujuan pendidikan, untuk mendidik warga Negara yang sejatih yang bersedia menyumbangkan
tenaga dan pikiran untuk Negara dan masyarakat. Selanjutnya dalam UU Nomor 4 Tahun 1950,
dalam Bab II Pasal 3, dirumuskan secara lebih eksplisit menjadi: membentuk susila yang bagus
dan warga Negara yang demokratis, serta bertanggung jawab tentang kesejahteraan masyarakat
ditanah air dan dalam UU Nomor 12 Tahun 1954 yang dilengkapi dengan keputusan Presiden RI
Nomor 145 Tahun 1965 dan rumusannya diubah menjadi: ”melahirkan warganegara sosialis,
yang bertanggung jawab atas terselenggaraannya masyarakat sosiolis Indonesia, adil dan
makmur, baik dari segi spiritual maupun materil dan mengembangkan manusia Indonesis
seutuhnya, yang cirri-cirinya dirinci menjadi “beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha
Esa,dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan
rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri, serta rasa tanggung jawab  kemasyarakatan dan
kebangsaan (Pasal 4 UU No. 2/1989). Dalam UU RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas
Pasal 3, digariskan dengan tegas bahwa tujuan pendidikan nasional adalah untuk berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwah kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara
yang demokratis dan bertanggung jawab. Dengan kata lain sejak tahun1945 sampai sekarang
instrument perundangan sudah menempatkan pendidikan kesadaran berkonstitusi sebagai bagian
integral dari pendidikan nasional. Dalam tatanan instrumentasi kurikuler secara historis dalam
kurikulum sekolah terdapatmata pelajaran yang secara khusus mengembang misi pendidikan
berkonstitusi, yakni mata pelajaran Civics (kurikulum 1957/1962), Pendidikan Kemasyarakatan
yang merupakan Integrasi Sejarah, Ilmu Bumi, dan Kewarganegaraan (kurikulum 1964),
Pendidikan Kewarganegaraan, yang merupakan perpaduan Ilmu Bumi, Sejarah Indonesia, dan
Civics (Kurikulum 1968/1969), Pendidikan Kewarganegaraan dan Civics dan Hukum (1973),
Pendidikan Moral Pancasila (PMP) (Kurikulum 1975 dan 1984), dan pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan (PPKn) ( Kurikulum 1994). Sedangkan perguruan tinggi pernah ad mata
kuliah Manipol dan USDEK, Pancasila dan UUD 1945, (1960-an), kemudianFilsafat Pancasila
(1970-1980-an), dan Pendidikan Pancasila (1980-1990-an). Dalam MP/MK tersebut baik secara
tersurat maupun tersirat terdapat materi tentang pendidikan berkonstitusi. Sementara itu dalam
kehidupan masyarakat terdapat berbagai paket penataran P-4 (sejak tahun 1970-an s/d 1990-an),
yang juga mengandung tujuan dan menteri pendidikan berkonstitusi. Dalam pasal 37 UU RI
Nomor 20 Tahun 2003 tentqng Sisdiknas, dinyatakan bahwa pendidikan kewarganegaraan, yang
merupakan wahana pokok pendidikan kesadaran berkonstiusi, merupakan salah satu muatan
wajib kurikulum pendidikan tinggi. Berdasarkan kenyataan tersebut, pendidikan
kewarganegaraan mempunyai peranan yang strategis dalam mengimplementasikan pendidikan
kesadaran berkonstitusi. Hal ini dikarenkan salah satu misi pendidikan kewarganegaraan adalah
sebagai pendidikan politik, yakni membina siswa untuk memahami hak dan kewajibannya
sebagai warga masyarkat dan warga Negara, termasuk didalamnya memahami konstitusi. Selain
itu, materi muatan konstitusi seperti organisasi Negara, hak-hak azasi manusia, cita-cita rakyat,
dan asas-asas ideology Negara sangan relevan untuk memperkaya menteri pendidikan
kewarganegaraan. Oleh karena itu, umtuk mengoptimalkan peran pendidikan kewarganegaraan
tersebut, diperlukan upaya untuk memperkuat konsep pendidikan kewarga negaraan sebagai
media pendidikan kesadaran berkonstitusi. Berkaitan hal tersebut, Winaputra (2007)
mengemukakan beberapa asumsi mengenai perlunya penguatan konsep mengnai kedudukan
pendidikan kewarga negaraan sebagai media pendidikan berkonstitusi, diantaranya:
1.    Komitme nasional untuk memfungsikan pendidikan sebagai wahana untuk mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, (Pasal 3 UU RI 20 2003) memerlukan wahana psiko-pedagogis
(pengembangan potensi peserta didik disekolah) dan sosio-andragogis (fasilitas pemberdayaan
pemuda dan orang dewasa dalam masyarakat) yang memungkinkan terjadinya proses belajar
berdemokrasi sepanjang hayat dalam konteks kehidupan berkonstitusi.
2.    Transformasi demokrasi dalam kehidupan berkonstitusi, Indonesia memerlukan konsepsi yang
diyakini benar dan bermakna yang didukung dengan sarana pendidikan yang tepat sasaran, tepat
strategis, dan tepat konteks agar setiap individu warga Negara mampu memerankan dirinya
sebagai warga Negara yang sadar akan konstitusi, cerdas, demokratis, berwatak, dan
berkeadaban.
3.     Pendidikan berkonstitusi yang dilakukan melalui pendidikan kewarganegaraan dalam konteks
pendidikan formal, nonformal, dan informal, selama ini belum mencapai sasaran optimal dalam
mengembangkan masyarakat yang cerdas, baik, berwatak, dan berkeadaban. Untuk itu
diperlukan upaya sistematis dan sistemik untuk mengembangkan model pendidikan berkonstitusi
yang secara teoritis dan empiris valid, dan secara kontekstual hadal, dan aksep table untuk
kehidupan demokrasi di Indonesia.
4.    Secara psiko-pedagogis dan sosio-andragogis, pendidikan berkonstitusi yang dianggap paling
tepat adalah pendidikan untuk mengembangka kewarganegaraan yang demokratis (education for
democratic citizenship), yang didalam mewadahi pendidikan tentang, melalui, dan untuk
membangun demokrasi konstitusional (education about, through, and for democracy).
5.    Untuk mendapatkan model pendidikan berkonstitusi dalam rangka pendidikan kewarganegaraan
yang secara psiko-pedagogis dan secara sosio-andragogis aksep table dan handal, diperlukan
upaya untuk mengkaji kekuatan konteks, kehandalan masukan, dan proses guna menghasilkan
perilaku warga Negara Indonesia yang sadar dan hidup berkonstitusi UUD 1945.
                            

BAB III
PENUTUP
A.     Simpulan
1.    Setiap Negara merdeka mempunyai konstitusi sebagai operasionalisasi ideology negaranya.
Seacara etimologi, istilah konstisional sangat beragam dalam setiap kosakata bahasa disetiap
Negara.
Istilah konstitusi dalam bahasa Inggris adalah “constitution” dan “constituer” dalam bahasa
Perancis. Kedua kata tersebut berasal dari Latin yaitu”constitution” yang berarti dasar susunan
badan.
Dalam bahasa Belanda istilah konstitusi disebut dengan “grondwet” yang terdiri  dari kata grond
berarti dasar dan kata wet berarti undang-undang dan dalam bahasa Jerman istilah konstitusi
disebut “verfassung”.
2.    Bentuk Bentuk kesadaran berkonstitusi antara lain:
a.       Persaan wajib atau keharusan untuk melakukan tindakan bermoral yang sesuai dengan konstitusi
Negara itu ada dan terjadi didalam setiap sanubari warga Negara, siapapun, dimanapun dan
kapanpun.
b.      Rasional, kesadaran moral dapat dikatakan rasional karena berlaku umum, lagi pula terbuka bagi
pembenaran atau penyangkalan. Dengan demikian kesadaran berkonstitusi merupakan hal yang
bersifat rasioanal dan dapat dinyatakan pula sebagai hal objektif yang dapat diuniversalkan,
artinya dapat disetujui, berlaku pada setiap waktu dan tempat bagi setiap warga Negara.
c.       Kebebasan atas kesadaran moralnya, warga Negara bebas untuk mentaati berbagai peraturan
perudang-undangan yang berlaku di negaranya termasuk ketentuan konstitusi Negara. Kesadaran
berkonstitusi warga Negara memiliki beberapa tingkatan yang menunjukkan derajat setiap warga
Negara dalam melaksanakan ketentuan konstitusi Negara.
B.     Pesan dan Saran
Adapun pesan dan saran kami sebagai berikut :
1.      Bahwa apa yang ada didalam makalah ini bukan semata pemikiran saya, akan tetapi kami ambil
dari berbagai referensi yang berkaitan dengan judul yang ditigaskan kepada kami. Untuk itu
marilah kita ambil hikmah dan manfaatnya.
2.      Adapun yang menjadi saran saya supaya isi makalah ini lebih ditingkat lagi, dengan mencari
sumber-sumber lain, sehingga kita bisa semakin mengerti dan memahami tentang kesadaran
berkonstitusi.

MEWUJUDKAN KESADARAN BERKONSTITUSI WARGA NEGARA

MELALUI PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

Pengantar

Pendidikan Kewarganegaraan sebagai mata pelajaran di sekolah memiliki visi mewujudkansuatu mata
pelajaran yang berfungsi sebagai sarana pembinaan watak bangsa (nation and character building) dan
pemberdayaan warga negara. Adapun misi mata pelajaran ini adalah membentuk warga negara yang
baik, yakni warga negara yang sanggup melaksanakan hak dan kewajibannya dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara, sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Adapun tujuan mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan berdasarkan
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Tahun 2006 pada semua jenjang persekolahan adalah
mengembangkan kompetensi: 1) Berfikir secara kritis, rasional, dan kreatif dalam menanggapi isu
kewarganegaraan; 2) berpartisipasi secara aktif dan bertanggung jawab, dan bertindak secara cerdas
dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta anti korupsi; 3) berkembang secara
positif dan demokratis untuk membentuk diri berdasarkan karakter-karakter masyarakat Indonesia agar
dapat hidup bersama dengan bangsa-bangsa lainnya; 4) berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam
percaturan dunia secara langsung atau tidak langsung dengan memanfaatkan teknologi informasi dan
komunikasi.

Berkaitan dengan hal di atas, dapat dikatakan bahwa Pendidikan Kewarganegaraan merupakan wahana
paling strategis untuk menumbuhkan kesadaran berkonstitusi siswa sebagai warga negara. Artinya
melalui program Pendidikan Kewarganegaraan, siswa memiliki pengetahuan, sikap dan perilaku yang
berlandaskan kepada nilai, norma dan moral yang tercermin dalam konstitusi negara. Oleh karena itu
untuk mencapai hal tersebut diperlukan model pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan yang efektif,
yaitu model pembelajaran yang mampu menumbuhkan kesadaran dalam diri setiap siswa bahwa ia
mempunyai hak dan kewajiban konstitusional yang harus diimplementasikannya dalam kehidupan
sehari-hari.

Konstitusi dan Kesadaran Berkonstitusi

Setiap negara merdeka mempunyai konstitusi sebagai operasionalisasi ideologi negaranya. Secara
etimologi , istilah konstitusi sangat beragam dalam setiap kosakata bahasa setiap negara. Istilah
konstitusi dalam bahasa Inggris adalah constitution  dan constituer dalam bahasa Perancis. Kedua kata
tersebut berasal dari bahasa Latin yaitu  constitutio yang berarti dasar susunan badan.Dalam bahasa
Belanda istilah konstitusi disebut dengan grondwet  yang terdiri atas kata grondberarti dasar dan
kata wet berarti undang-undang. Dengan demikian istilah konstitusi sama dengan undang-undang
dasar. Kemudian, dalam bahasa Jerman istilah konstitusi disebut verfassung  (Riyanto, 2000:17-19).

Dalam praktek ketatanegaraan pengertian konstitusi pada umumnya memiliki dua


arti. Pertama,  konstitusi mempunyai arti yang lebih luas daripada undang-undang dasar. Konstitusi
meliputi undang-undang dasar (konstitusi tertulis) dan konvensi (konstitusi tidak tertulis). Dengan
demikian dapat dikatakan undang-undang dasar termasuk ke dalam bagian konstitusi. Kedua,konstitusi
memiliki arti yang sama dengan undang-undang dasar (KC. Where dalam Riyanto, 2000:49-51).
Pengertian yang kedua ini pernah diberlakukan dalam praktek ketatanegaraan Republik Indonesia
dengan disebutnya Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Serikat Tahun 1945 dengan
istilah Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949.

Konstitusi sebagai hukum dasar yang utama dan merupakan hasil representatif kehendak seluruh rakyat,
haruslah dilaksanakan dengan sungguh-sungguh di setiap sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Oleh karena itu, prinsip yang timbul adalah setiap tindakan, perbuatan, dan/atau aturan dari semua
otoritas yang diberi delegasi oleh konstitusi, tidak boleh bertentangan dengan basic rights  dan konstitusi
itu sendiri.

Dengan demikian, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang merupakan
konstitusi bangsa dan negara Indonesia adalah aturan hukum tertinggi yang keberadaannya dilandasi
legitimasi kedaulatan rakyat dan negara hukum. Oleh karena itu, Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dipandang sebagai bentuk kesepakatan bersama (general agreement) ”seluruh
rakyat Indonesia” yang memiliki kedaulatan. Hal itu sekaligus membawa konsekuensi bahwa Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan aturan tertinggi dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara yang mengatur bagaimana kedaulatan rakyat akan dilaksanakan. Inilah yang
secara teoretis disebut dengan supremasi konstitusi sebagai salah satu prinsip utama tegaknya negara
hukum yang demokratis. Berkaitan dengan hal itu, Solly Lubis (1978:48-49) mengemukakan bahwa
Undang-Undang Dasar adalah sumberutama dari norma-norma hukum tata negara. Undang-Undang
Dasar mengatur bentuk dan susunan negara, alat-alat perlengkapannya di pusat dan daerah, mengatur
tugas-tugas alat-alat perlengkapan itu serta hubungan satu sama lain.

Di sisi lain,harus diingat bahwa selain aturan-aturan dasar, Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 juga memuat tujuan nasional sebagai cita-cita kemerdekaan sebagaimana
tertuang dalam Pembukaan.Antara tujuan nasional dengan aturan-aturan dasar tersebut merupakan
satu kesatuan jalan dan tujuan. Agar tiap-tiap tujuan nasional dapat tercapai, pelaksanaan aturan-aturan
dasar konstitusi dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi syarat mutlak yang harus
dipenuhi. Selain itu, dalam sebuah kontitusi juga terkandung hak dan kewajiban dari setiap warga
negara. Oleh karena itu, konstitusi harus dikawal dengan pengertian agar selalu benar-benar
dilaksanakan.

Sesuai dengan salah satu pengertian negara hukum, di mana setiap tindakan penyelenggara negara
serta warga negara harus dilakukan berdasarkan dan di dalam koridor hukum, maka yang harus
mengawal konstitusi adalah segenap penyelenggara dan seluruh warga negara dengan cara
menjalankan wewenang, hak, dan kewajiban konstitusionalnya. Apabila setiap pejabat dan aparat
penyelenggara negara telah memahami Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
serta melaksanakan wewenangnya berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, setiap produk hukum,kebijakan,dan tindakan yang dihasilkan adalah bentuk pelaksanaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Hal itu harus diimbangi dengan pelaksanaan oleh seluruh warga negara. Untuk itu dibutuhkan adanya
kesadaran berkonstitusi warga negara, tidak saja untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan
dan kebijakan yang telah dibuat berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, tetapi juga untuk dapat melakukan kontrol pelaksanaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 baik dalam bentuk peraturan perundang- undangan, kebijakan, maupun tindakan
penyelenggara negara (Gaffar, 2007).

Apa sebenarnya kesadaran berkonstitusi itu? Kesadaran berkonstitusi secara konseptual diartikan
sebagai kualitas pribadi seseorang yang memancarkan wawasan, sikap, dan perilaku yang bermuatan
cita-cita dan komitmen luhur kebangsaan dan kebernegaraan Indonesia (Winataputra, 2007). Kesadaran
berkonstitusi merupakan salah satu bentuk keinsyafan warga negara akan pentingnya
mengimplementasikan nilai-nilai konstitusi.

Kesadaran berkonstitusi merupakan salah bagian dari kesadaran moral. Sebagai bagian dari kesadaran
moral, kesadaran konstitusi mempunyai tiga unsur pokok yaitu: 1) Perasaan wajib atau keharusan untuk
melakukan tindakanbermoral yang sesuai dengan konstitusi negara itu ada dan terjadi di dalam setiap
sanubari warga negara, siapapun, di manapun dan kapanpun; 2) Rasional,kesadaran moral dapat
dikatakan rasional karena berlaku umum, lagi pula terbuka bagi pembenaran atau penyangkalan.
Dengan demikian kesadaran berkonstitusi merupakan hal yang bersifat rasional dan dapat dinyatakan
pula sebagai hal objektif yang dapat diuniversalkan, artinya dapat disetujui, berlakupada setiap waktu
dan tempat bagi setiap warga negara; dan 3)Kebebasan, atas kesadaran moralnya, warga negara bebas
untuk mentaati berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku di negaranya termasuk
ketentuan konstitusi negara (Magnis-Suseno, 1975:25).
Kesadaran berkonstitusi warga negara memiliki beberapa tingkatan yang menunjukkan derajat setiap
warga negara dalam melaksanakan ketentuan konstitusi negara. Tingkatan-tingkatan tersebut jika
dikaitkan dengan tingkatan kesadaran menurut N.Y Bull (Djahiri, 1985:24), terdiri dari: 1) Kesadaran
yang bersifat anomous, yaitu kesadaran atau kepatuhan terhadap ketentuan konstitusi negara yang
tidak jelas dasar dan alasannya atau orientasinya; 2) Kesadaran yang bersifat heteronomous, yaitu
kesadaran atau kepatuhan ketentuan konstitusi negara yang berlandaskan dasar/orientasi motivasi yang
beraneka ragam atau berganti-ganti. Ini pun kurang mantap sebab mudah berubah oleh keadaan dan
situasi; 3) Kesadaran yang bersifat sosionomous, yaitu kesadaran atau kepatuhan terhdap ketentuan
konstitusi negara yang berorientasikan pada kiprah umumatau khalayak ramai; dan 4) Kesadaran yang
bersifat autonomous, yaitu kesadaran atau kepatuhan ketentuan konstitusi negara yang didasari oleh
konsep kesadaran yang ada dalam diri seorang warga negara. Ini merupakan tingkatan kesadaran yang
paling tinggi

Warga negara yang memiliki kesadaran berkonstitusi merupakan warga negara yang memiliki
kemelekkan terhadap konstitusi (constitutional literacy). Berkaitan dengan hal tersebut, Toni Massaro
(dalam Brook Thomas,1996:637) menyatakan bahwa kemelekkan terhadap konstitusi akan
mengarahkan warga negara untuk berpartisipasi melaksanakan kewajibannya sebagai warga negara.
Oleh karena itu, Winataputra (2007) mengidentifikasi beberapa bentuk kesadaran berkonstitusi bagi
warga negara Indonesia yang meliputi:

1. Kesadaran dan kesediaan untuk mempertahankan dan mengisi kemerdekaan Indonesia sebagai hak
azasi bangsa dengan perwujudan perilaku sehari-hari antara lain: belajar/bekerja keras untuk menjadi
manusia Indonesia yang berkualitas, siap membela negara sesuai kapasitas dan kualitas pribadi masing-
masing, dan rela berkorban untuk Indonesia.

2. Kesadaran dan pengakuan bahwa kemerdekaan Indonesia sebagai bangsa sebagai rahmat Allah Yang
Maha Kuasa dengan perwujudan perilaku sehari-hari antara lain: selalu bersyukur, tidak arogan, dan
selalu berdoa kepada Allah Yang Maha Kuasa.

3. Kepekaan dan ketanggapan terhadap kewajiban Pemerintah Negara untuk melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan perwujudan perilaku sehari-hari antara
lain: bersikap kritis, skeptis, dan adaptif terhadap kebijakan publik perlindungan negara.

4. Kepekaan dan ketanggapan terhadap kewajiban Pemerintah Negara untuk memajukan kesejahteraan
umum dengan perwujudan perilaku sehari-hari antara lain: bersikap kritis, skeptis, dan adaptif terhadap
kebijakan publik perlindungan negara.

5. Kepekaan dan ketanggapan terhadap kewajiban Pemerintah Negara untuk mencerdaskan kehidupan
bangsa dengan perwujudan perilaku sehari-hari antara lain: bersikap kritis, skeptis, dan adaptif terhadap
kebijakan publik pencerdasan kehidupan bangsa

6. Kepekaan dan ketanggapan terhadap kewajiban Pemerintah Negara yang melaksanakan ketertiban
dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial dengan perwujudan
perilaku sehari-hari antara lain: bersikap kritis, skeptis, dan adaptif terhadap kebijakan publik hubungan
luar negeri Indonesia.
7. Kemauan untuk selalu memperkuat keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dengan
perwujudan perilaku sehari-hari antara lain: menjalankan ibadah ritual dan ibadah sosial menurut
keyakinan agamanya masing-masing dalam konteks toleransi antar umat beragama.

8. Kemauan untuk bersama-sama membangun persatuan dan kesatuan bangsa dengan perwujudan
perilaku sehari-hari antara lain: bersikap tidak primordialistik, berjiwa kemitraan pluralistik, dan bekerja
sama secara profesional.

9. Kemauan untuk bersama-sama membangun jiwa kemanusiaan yang adil dan beradab dengan
perwujudan perilaku sehari-hari antara lain: menghormati orang lain seperti menghormati diri sendiri,
memperlakukan orang lain secara proporsional, dan bersikap empatik pada orang lain

10. Kesediaan untuk mewujudkan komitmen terhadap keadilan dan kesejahteraan dengan perwujudan
perilaku sehari-hari antara lain: tidak bersikap mau menang sendiri, tidak bersikap rakus dan korup, dan
biasa berderma.

11. Kesediaan untuk mewujudkan komitmen terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
bersifat final dengan perwujudan perilaku sehari-hari antara lain: tidak bersikap kesukuan, tidak
bersikap kedaerahan, dan tidak berjiwa federalistik.

12. Kesadaran untuk menempatkan Presiden sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan Negara
dalam kerangka kabinet presidensil dengan perwujudan perilaku sehari-hari antara lain: menghormati
orang yang memegang jabatan Presiden dan Wakil Presiden, menghormati simbol-simbol kepresidenan,
dan menghormati mantan Presiden/Wakil Presiden secara proporsional dan elegan.

13. Kepekaan dan ketanggapan terhadap pembentukan Kementerian yang diatur undang-undang


dengan perwujudan perilaku sehari-hari antara lain: bersikap kritis, skeptis, dan adaptif terhadap
kebijakan Presiden dalam penyusunan Kabinet.

14. Kesadaran dan kemampuan untuk melaksanakan Pemilu yang langsung, bebas, rahasia, jujur, dan
adil dengan perwujudan perilaku sehari-hari antara lain: menjadi pemilih resmi yang cerdas, menjadi
konstituen Calon/pasangan calon/ Partai Politik yang cerdas dan menjadi pelaksana Pemilu yang
profesional.

15. Kesadaran akan kesejajaran Dewan Perwakilan Rakyat dengan Pemerintah dengan perwujudan
perilaku sehari- kontrol dan saling imbang (check and balance), cerdas dalam bersikap terhadap
DPR/DPRD dan Pemerintah/Pemerintah Daerah, dan kritis terhadap DPR/DPRD dan
Pemerintah/Pemerintah Daerah.

16. Kesadaran untuk mendukung pelaksanakan otonomi daerah pada tingkat kabupaten/kota dengan
perwujudan perilaku sehari-hari antara lain: menghormati Pemerintah Daerah, menjalankan Peraturan
Daerah yang relevan, dan berpartisipasi secara optimal dalam pembangunan daerah.

17. Kepekaan dan ketanggapan terhadap akuntabilitas publik keuangan negara dengan perwujudan
perilaku sehari-hari antara lain: bersikap kritis, skeptis, dan adaptif terhadap kebijakan publik
pengelolaan keuangan negara.

18. Kesadaran dan kemauan untuk menjaga wilayah negara dengan konsep wawasan nusantara dengan
perwujudan perilaku sehari-hari antara lain: memahami dengan baik konsep wawasan nusantara,
memelihara lingkungan alam dengan baik, dan mengelola kekayaan alam sesuai peraturan perundang-
undangan.

19. Kepekaan dan ketanggapan terhadap kedudukan kehakiman yang merdeka dalam menegakkan
hukum dan keadilan dengan perwujudan perilaku sehari-hariantara lain: bersikap kritis, skeptis, dan
adaptif terhadap kebijakan publik dalam bidang peradilan.

20. Kesadaran dan kemauan untuk turut serta melakukan perlindungan dan pemajuan hak azasi manusia
(politik, ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, dan agama) dengan perwujudan perilaku sehari-hari
antara lain: memahami hak dan kewajiban warga negara dan hak azasi manusia secara utuh, bersikap
kritis, skeptis, dan adaptif terhadap kebijakan publik yang terkait langsung/tak langsung dengan
berbagai dimensi hak azasi manusia.

21. Kesadaran dan kesediaan untuk menghormati Sang Merah Putih sebagai Bendera Negara dengan
perwujudan perilaku sehari-hari antara lain: menyimpan Sang Merah Putih pada tempat yang tepat dan
baik, memberi hormat pada saat Sang Merah Putih sedang dinaikkan/diturunkan, dan tidak merusak
Sang Merah Putih dengan alasan apapun.

22. Kesadaran akan peran dan kemampuan menggunakan Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Negara
secara baik dan benar dengan perwujudan perilaku sehari-hari antara lain: menguasai Bahasa Indonesia
dengan baik dan benar, menggunakan Bahasa Indonesia dengan baik dan benar, dan berpartisipasi
dalam memperkaya dan mengembangkan Bahasa Indonesia.

23. Kesediaan untuk menghormati Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika sebagai
Lambang Negara dengan perwujudan perilaku sehari-hari.

24. Kesadaran akan makna dan kemampuan menyanyikan lagu Indonesia Raya sebagai Lagu Kebangsaan
dengan perwujudan perilaku sehari-hari antara lain: mampu menyanyikan Lagu Indonesia Raya dengan
benar dan baik, dan tidak memplesetkan kata-kata/nada dari Lagu Indonesia Raya untuk tujuan apapun.

Berbagai bentuk kesadaran berkonstitusi warga negara sebagaimana diuraikan di atas dapat dapat
terwujud jika didukung oleh berbagai faktor yang mendorong terciptanya warga negara yang sadar
berkonstitusi, salah satunya adalah dengan pendidikan berkonstitusi melalui Pendidikan
Kewarganegaraan. Pendidikan berkonstitusi merupakan hal terpenting yang harus dioptimalkan untuk
menciptakan warga negara yang memiliki kesadaran berkonstitusi.

Rasionalisasi Implementasi Pendidikan Kesadaran Berkonstitusi Melalui Pendidikan Kewarganegaraan

Dalam hidup bernegara, kita dapat menemukan beberapa aturan yang mengatur bagaimana
pemerintahan dijalankan. Misalnya, siapa yang menjalankan kekuasaan pemerintahan dan bagaimana
kekuasaan tersebut diperoleh. Selain itu, Kita juga dapat menemukan beberapa aturan yang sama sekali
tidak berhubungan dengan cara-cara pemerintahan dijalankan. Misalnya, bagaimana aturan
mengendarai kendaraan bermotor di jalan raya dan bagaimana cara mencari keadilan jika hak dilanggar
orang lain.

Pada saat kita menemukan aturan atau hukum yang berisi ketentuan yang mengatur bagaimana
pemerintah dijalankan, artinya kita telah menemukan bagian dari konstitusi. Konstitusi adalah
seperangkat aturan atau hukum yang berisi ketentuan tentang bagaimana pemerintah diatur dan
dijalankan. Oleh karena aturan atau hukum yang terdapat dalam konstitusi itu mengatur hal-hal yang
amat mendasar dari suatu negara, konstitusi dikatakan pula sebagai hukum dasar yang dijadikan
pegangan dalam penyelenggaraan suatu negara. Karena kedudukannya yang amat penting itu, konstitusi
harus dipahami seluruh warga negara.

Persoalan yang terjadi di Indonesia saat ini yang ada kaitannya dengan pemahaman warga negara
terhadap konstitusi adalah semakin meluasnya materi muatan dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) sebagai dampak dari dilakukannya perubahan konstitusi
sebanyak empat kali. Sebelum perubahan, UUD 1945 berisi 71 butir ketentuan. Setelah perubahan, UUD
1945 berisi 199 butir ketentuan atau bertambah sekitar 141%. Dari 199 butir ketentuan tersebut, naskah
UUD 1945 yang masih asli tidak mengalami perubahan hanya sebanyak 25 butir ketentuan (12%),
sedangkan selebihnya sebanyak 174 butir ketentuan (88%) merupakan materi baru. Hal tersebut
menyebabkan paradigma pemikiran yang terkandung dalam rumusan pasal-pasal UUD 1945 juga benar-
benar berbeda dari paradigma yang terkandung dalam naskah asli, ketika UUD 1945 pertama kali
disahkan 18 Agustus 1945. Seandainya semua warga negara Indonesia sudah mengetahui seluruh isi
UUD 1945 sebelum perubahan, sebenarnya pada saat sekarang ini hanya mengetahui 25 butir ketentuan
(12%) dari UUD 1945, sedangkan 174 butir ketentuan (88%) masih banyak belum dimengerti. Itulah
sebabnya perlu upaya sungguh-sungguh untuk melakukan pendidikan kesadaran berkonstitusi
(Budimansyah dan Suryadi).

Sekaitan dengan hal di atas, pendidikan kesadaran berkonstitusi merupakan hal terpenting yang harus
dioptimalkan untuk menciptakan warga negara yang memiliki kesadaran berkonstitusi. Hal tersebut
pada hakekatnya sudah digariskan dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku di
Indonesia. Misalnya, dalam usulan BP KNIP tanggal 29 Desember 1945 dikemukakan bahwa “Pendidikan
dan pengajaran harus membimbing murid-murid menjadi warganegara yang mempunyai rasa tanggung
jawab”,) yang kemudian oleh Kementrian PPK dirumuskan dalam tujuan pendidikan: ”…untuk mendidik
warganegara yang sejati yang bersedia menyumbangkan tenaga dan pikiran untuk negara dan
masyarakat”. Selanjutnya dalam UU Nomor 4 Tahun 1950, dalam Bab II Pasal 3 (Djojonegoro,1996:76)
dirumuskan secara lebih eksplisit menjadi : “…membentuk manusia susila yang cakap dan warganegara
yang demokratis, serta bertanggung jawab tentang kesejahteraan masyarakat dan tanah air”, dan dalam
UU Nomor 12 Tahun 1954 yang dilengkapi dengan Keputusan Presiden RI Nomor 145 Tahun 1965 dan
rumusannya diubah menjadi : “…melahirkan warganegara sosialis, yang bertanggung jawab atas
terselenggaranya Masyarakat Sosialis Indonesia, adil dan makmur baik spirituil maupun materiil dan jang
berjiwa Pancasila”. Kemudian dalam UU Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sisdiknas, dirumuskan bahwa
tujuan pendidikan nasional adalah: “…mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia
Indonesia seutuhnya,…”, yang ciri-cirinya dirinci menjadi “…beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang
Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan
rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri, serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan
kebangsaan..” (Pasal 4 UU No. 2/1989). Dalam UU RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas Pasal 3
digariskan dengan tegas bahwa tujuan pendidikan nasional adalah untuk ”...berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan
bertanggung jawab”. Dengan kata lain sejak tahun 1945 sampai sekarang instrumen perundangan sudah
menempatkan pendidikan kesadaran berkonstitusi sebagai bagian integral dari pendidikan nasional.

Dalam tatanan instrumentasi kurikuler, secara historis dalam kurikulum sekolah terdapat mata pelajaran
yang secara khusus mengemban misi pendidikan berkonstitusi, yakni mata pelajaran Civics (Kurikulum
1957/1962); Pendidikan Kemasyarakatan yang merupakan Integrasi Sejarah, Ilmu Bumi, dan
Kewarganegaraan (Kurikulum 1964); Pendidikan Kewargaan Negara, yang merupakan perpaduan Ilmu
Bumi, Sejarah Indonesia, dan Civics (Kurikulum 1968/1969); Pendidikan Kewargaan Negara dan Civics &
Hukum (1973); Pendidikan Moral Pancasila atau PMP (Kurikulum 1975 dan 1984); dan Pendidikan
Pancasila dan Kewarganegaraan atau PPKn (Kurikulum 1994). Sedangkan di perguruan tinggi pernah ada
mata kuliah Manipol dan USDEK, Pancasila dan UUD 1945, (1960-an), kemudian Filsafat Pancasila (1970-
1980-an, dan Pendidikan Pancasila (1980-1990-an). Dalam mata pelajaran/mata kuliah tersebut baik
secara tersurat maupun tersirat terdapat materi tentang pendidikan berkonstitusi. Sementara itu dalam
kehidupan masyarakat terdapat berbagai paket Penataran P-4 (sejak 1970-an s/d 1990-an), yang juga
mengandung tujuan dan materi pendidikan berkonstitusi. Kini, dalam Pasal 37 UU RI Nomor 20 Tahun
2003 tentang Sisdiknas, dinyatakan bahwa Pendidikan Kewarganegaraan, yang merupakan wahana
pokok pendidikan kesadaran berkonstitusi, merupakan salah satu muatan wajib kurikulum pendidikan
dasar dan menengah dan pendidikan tinggi.

Berdasarkan kenyataan tersebut, Pendidikan Kewarganegaraan mempunyai peranan yang strategis


dalam mengimplementasikan pendidikan kesadaran berkonstitusi. Hal ini dikarenakan salah satu misi
Pendidikan Kewarganegaraan adalah sebagai pendidikan politik, yakni membina siswa untuk memahami
hak dan kewajibannya sebagai warga masyarakat dan warga negara, termasuk di dalamnya memahami
konstitusi (melek konstitusi). Selain itu, materi muatan konstitusi seperti organisasi negara, hak-hak
asasi manusia, cita-cita rakyat, dan asas-asas ideologi negara amat relevan untuk memperkaya materi
Pendidikan Kewarganegaraan. Oleh karena itu, untuk mengoptimalkan peran Pendidikan
Kewarganegaraan tersebut, diperlukan upaya untuk memperkuat konsep Pendidikan Kewarganegaraan
sebagai media pendidikan kesadaran berkonstitusi.

Berkaitan dengan hal di atas, Winaputra (2007) mengemukakan beberapa asumsi mengenai perlunya
penguatan konsep mengenai kedudukan Pendidikan Kewarganegaraan sebagai media pendidikan
berkonstitusi, diantaranya:

1. Komitmen nasional untuk memfungsikan pendidikan sebagai wahana untuk ”mengembangkan


kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa” (Pasal 3 UU RI 20 tahun 2003) memerlukan wahana psiko-pedagogis
(pengembangan potensi peserta didik di sekolah) dan sosio-andragogis (fasilitasi pemberdayaan
pemuda dan orang dewasa dalam masyarakat) yang memungkinkan terjadinya proses belajar
berdemokrasi sepanjang hayat dalam konteks kehidupan berkonstitusi.

2. Transformasi demokrasi dalam kehidupan berkonstitusi Indonesia memerlukan konsepsi yang diyakini
benar dan bermakna yang didukung dengan sarana pendidikan yang tepat sasaran, tepat strategi, dan
tepat konteks agar setiap individu warganegara mampu memerankan dirinya sebagai warganegara yang
sadar konstitusi, cerdas, demokratis, berwatak, dan berkeadaban.

3. Pendidikan berkonstitusi yang dilakukan melalui pendidikan kewarganegaraan dalam konteks


pendidikan formal, nonformal, dan informal selama ini belum mencapai sasaran optimal dalam
mengembangkan masyarakat yang cerdas, baik, berwatak, dan berkeadaban. Untuk itu diperlukan
upaya sistematis dan sistemik untuk mengembangkan model pendidikan berkonstitusi yang secara
teoritis dan empiris valid, dan secara kontekstual handal dan akseptabel untuk kehidupan demokrasi di
Indonesia.
4. Secara psiko-pedagogis dan sosio-andragogis, pendidikan berkonstitusi yang dianggap paling tepat
adalah pendidikan untuk mengembangkan kewarganegaraan yang demokratis (education for
democratic citizenship),  yang di dalamnya mewadahi pendidikan tentang, melalui, dan untuk
membangun demokrasi konstitusional (education about, through, and for democracy).

5. Untuk mendapatkan model pendidikan berkonstitusi dalam rangka pendidikan kewarganegaraan yang
secara psiko-pedagogis dan secara sosio-andragogis akseptabel dan handal, diperlukan upaya untuk
mengkaji kekuatan konteks, kehandalan masukan, dan proses guna menghasilkan perilaku warganegara
Indonesia yang sadar dan hidup berkonstitusi menurut UUD 1945.

Model-Model Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan yang Relevan untuk Mengimplementasikan


Pendidikan Kesadaran Berkonstitusi

Pendidikan Kewarganegaraan merupakan program pendidikan yang dapat dioperasionalisasikan dengan


menggunakan berbagai metode pembelajaran. Hal ini dikarenakan Pendidikan Kewarganegaraan
mempunyai banyak sekali alternatif metode pembelajaran yang senantiasa mampu menyesuaikan diri
dan berkembang sesuai dengan kebutuhan proses pembelajaran.

Berkaitan dengan hal tersebut, implementasi pendidikan kesadaran berkonstitusi melalui Pendidikan
Kewarganegaraan dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai alternatif model pembelajaran,
diantaranya adalah:

1. Model Law-Related Education  atau Pendidikan Terkait Hukum (PTH).

Model ini diangkat oleh Newman (Winataputra, 2007) untuk memfasilitasi proses internalisasi konsep,
nilai, dan norma yang terkandung dalam konstitusi dan sejenisnya. Hal ini dimaksudkan agar peserta
didik, yang notabene adalah warga negara muda calon pemimpin bangsa dan negara di masa depan,
mengerti dan menyadari betul bahwa dalam suatu negara demokratis penegakan hukum bukanlah
semata-mata untuk tegaknya hukum secara formal dalam proses peradilan, tetapi juga untuk
terpenuhinya rasa keadilan secara materiil dalam kenyataan hidup masyarakat negara.

2. Model Jurisprudential Inquiry

Model ini diangkat oleh Joyce dan Weil. Model ini bertujuan untuk memfasilitasi peserta didik dalam
belajar civic/citizenship education  guna menginternalisasi hakekat dan proses penetapan kebijakan
publik melalui proses proyek belajar pemecahan masalah. Isu kebijakan publik yang paling cocok
dibelajarkan dengan model ini antara lain mencakup keadilan, pemerataan, kemiskinan, dan
penyalahgunaan kekuasaan. Strategi pembelajaran yang disarankan untuk digunakan dalam model ini
antara lain adalah Socratic dialogue  yang ditandai dengan tanya jawab dialektis, penggunaan analogi,
dan refleksi mendalam dengan peranan guru sebagai penguji posisi pandangan peserta didik melalui
rangkaian pertanyaan probing  baik yang berbentuk probing-lifting  maupun probing-extending. Probing-
lifting  digunakan untuk menantang proses berpikir dari tahap sederhana ke tahap yang semakin
kompleks, dan probing-extending  digunakan untuk menantang proses berpikir dari hal yang sempit ke
hal yang semakin meluas.

3. Model We the People...Project Citizen

Model ini dikembangkan dan didiseminasikan oleh Center for Civic Education  melalui jaringan CIVITAS
International. Model ini pada dasarnya bertolak dari pendekatan Project John Dewey yang
direkonstruksi sebagai social inquiry project  dan group investigation  yang terfokus pada kajian dan
partisipasi warga negara dalam proses pembuatan dan pelaksanaan kebijakan publik. Tujuan dari model
ini adalah berkembangnya kemampuan peserta didik dalam mengidentifikasi masalah, memilih masalah
untuk dipecahkan secara kelompok, mengidentifikasi dan memilih pemecahan masalah, merumuskan
usulan kebijakan, dan menyosialisasikan usulan kebijakan agar mendapat dukungan luas. Dengan cara
itu peserta didik akan semakin peka, tanggap, dan kontributif terhadap proses pembuatan dan
pelaksanaan kebijakan publik di lingkungannya. Kunci dari model ini adalah proses kajian
konstitusionalitas dari proses pembuatan dan penerapan kebijakan publik itu. Strategi pembelajaran
yang utama dalam model ini adalah pemecahan masalah sosial terkait kebijakan publik secara kelompok
dan simulasi dengar pendapat (simulated public hearing)  sebagai wahana psiko-pedagogis untuk melatih
keterampilan argumentasi secara terbuka, kritis, dan konstruktif melalui cara bedah kasus yang secara
umum dikenal dengan show-case (Bennet, 2005).

4. Model Teaching with Primary Source Documents  atau dapat juga disebut Model Belajar
Berbantuan Arsip Negara.

Model yang dikembangkan oleh Potter (dalam Winataputra, 2007) memiliki makna yang sangat besar
dalam pengembangan kesadaran kebernegaraan dalam hal memfasilitasi peserta didik untuk
menjadi ...engaged citizens, aware of their rights, duties, and responsibilities and able to act upon these
when confronted with real issues. Strategi pembelajaran yang digunakan mengikuti langkah-
langkah Proyek-Belajar,  yaitu: (1) menentukan bagian dari dokumen yang masih bisa digunakan; (2)
menentukan kaitan isi dokumen dengan kompetensi dalam kurikulum; (3) memetakan kaitan isi
dokumen dengan isu atau konsep yang menjadi fokus pembelajaran; (4) menentukan manfaat personal
apa bagi peserta didik dari dokumen tersebut; (5) membangun konteks pembelajaran terkait dokumen;
(6) memanfaatkan dokumen yang relevan sebagai sumber belajar; (7) memanfaatkan dokumen terpilih
untuk memunculkan berbagai pertanyaan kritis; dan (8) memerankan peserta didik untuk
menjadi sejarahwan-politik-kecil  dalam mengkaji dokumen dengan menggunakan metode sejarah.
Dalam konteks Indonesia model ini dapat digunakan untuk memfasilitasi peserta didik memahami
secara mendalam, menangkap makna, dan memiliki empati terhadap peristiwa sejarah politik Indonesia,
seperti Kebangkitan Nasional 1908, Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, Detik-detik Proklamasi 17
Agustus 1945, Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Peristiwa G30S/PKI 1965, Surat Perintah 11 Maret 1966, dan
Peristiwa Malari 1974.

Model-model di atas dapat membantu guru untuk menghindari indoktrinasi dalam proses pembelajaran
Pendidikan Kewarganegaraan. Hal ini dikarenakan dalam membelajarkan materi yang berhubungan
dengan konstitusi negara, adakalanya jika tidak menggunakan metode yang tepat guru akan terjebak
pada proses pembelajaran yang indoktrinatif. Oleh karena itu, dengan menggunakan model-model
pembelajaran yang demokratis seperti yang diuraikan diatas, guru dapat terhindar dari hal tersebut,
sehingga pendidikan kesadaran berkonstitusi melalui Pendidikan Kewarganegaraan dapat
dioperasionalisasikan secara efektif.

Desain Model Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dalam Upaya Meningkatkan Kesadaran


Berkonstitusi Warga Negara

Bertolak dari berbagai konsep yang digali dari kerangka teori Pendidikan Kewarganegaraan dan
beberapa model pembelajaran yang selama ini berkembang dalam instrumentasi dan praksis
pembelajaran pendidikan kewarganegaraan, berikut ini dikembangkan paradigma generik pembelajaran
Pendidikan Kewarganegaraan untuk meningkatkan kesadaran berkonstitusi warga negara dengan
mengambil contoh materi pokok: Upaya Pemajuan, Penghormatan, dan Perlindungan Hak Asasi
Manusia. Model pembelajaran memiliki elemen-elemen: materi pokok, kompetensi kewarganegaraan,
indikator hasil belajar, strategi belajar, situs dan sumber belajar, penilaian, dan refleksi. Berikut ini
desain model pembelajaran tersebut.

Desain Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaan

untuk Meningkatkan Kesadaran Berkonstitusi Warga negara

Jenjang Pendidikan : Sekolah Menengah Atas

Kelas/Semeter : I / 1

Materi Pokok : Upaya Pemajuan, Penghormatan, dan

Perlindungan Hak Asasi Manusia.

Alokasi Waktu : 8 x 45 menit (4 kali pertemuan)

1. Materi Pokok

Upaya Pemajuan, Penghormatan, dan Perlindungan Hak Asasi Manusia

2. Kompetensi Kewarganegaraan

Kesadaran dan kemauan untuk turut serta melakukan uoaya pemajuan, penghormatan, dan
perlindungan hak azasi manusia (politik, ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, dan agama) dengan
perwujudan perilaku sehari-hari antara lain: memahami hak dan kewajiban warga negara dan hak azasi
manusia secara utuh, bersikap kritis, skeptis, dan adaptif terhadap kebijakan publik yang terkait
langsung/tak langsung dengan berbagai dimensi hak azasi manusia.

3. Indikator Hasil Belajar

Perilaku peserta didik yang diharapkan dapat dikembangkan melalui dan menjadi indikator keberhasilan
proses pembelajaran, antara lain dapat:

a. menjelaskan pengertian Hak Asasi Manusia;

b. mengindentifikasi macam-macam Hak asasi Manusia;

c. mengidentifikasi berbagai instrumen Hak Asasi Manusia di Indonesia dan di tingkat internasional;

d. mengidentifikasi berbagai kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia di Indonesia dan negara lain;

e. menganalisis upaya pemajuan, penghormatan dan penegakkan Hak Asasi Manusia baik yang
dilakukan oleh pemerintah Indonesia maupun pengadilan HAM internasional;

f. memerankan tokoh-tokoh pembela hak asasi manusia di Indonesia;

g. menampilkan peran serta dalam upaya pemajuan, penghormatan dan penegakkan Hak Asasi
Manusia;

h. melakukan simulasi persidangan atas perkara pelanggaran Hak Asasi Manusia;


i. melakukan refleksi/evaluasi atas proses pemajuan, penghormatan dan perlindungan Hak Asasi
Manusia baik di Indonesia maupun di tingkatan internasional.

5. Strategi Pembelajaran

Pembelajaran dilaksanakan dengan menggunakan Model Praktik-Belajar: ”...  Aku Warganegara


Indonesia”.  Model ini menerapkan secara adaptif prinsip-prinsip yang digali dari model Project Citizen,
Law-Related Education, Jurisprudential Inquiry dan Group Investigation. Dalam model ini ditetapkan
langkah-langkah:

a. mengidentifikasi masalah-masalah yang tercatat muncul dalam upaya pemajuan, pemghormatan dan
perlindungan hak asasi manusia baik di Indonesia ataupun negara lainnya;

b. memilih suatu masalah yang paling pelik dalam upaya pemajuan, pemghormatan dan perlindungan
hak asasi manusia baik di Indonesia ataupun negara lainnya untuk dikaji oleh kelas;

c. mengumpulkan informasi yang terkait pada masalah itu melalui studi kepustakaan, dokumentasi, dan
komunikasi dengan nara sumber;

d. mengembangkan portofolio kelas melalui diskusi, simulasi, dan bermain peran;

e. menyajikan portofolio kelas dalam suatu simulasi dengar pendapat (simulated public hearing);

f. melakukan refleksi pengalaman belajar dalam suatu pertemuan klasikal yang dipimpin oleh guru.

Dalam setiap langkah siswa difasilitasi untuk belajar secara mandiri dalam kelompok kecil dengan
menggunakan aneka ragam sumber belajar di sekolah dan di luar sekolah (manusia, bahan tertulis,
bahan terrekam, bahan tersiar, alam sekitar, artifak, situs sejarah, dan lain-lain). Dalam model ini
berbagai keterampilan dikembangkan, seperti: membaca, mendengar pendapat orang lain, mencatat,
bertanya, menjelaskan, memilih, merumuskan, menimbang, mengkaji, memerankan tokoh tertentu,
mendramatisasikan peristiwa, merancang perwajahan, menyepakati, memilih pimpinan, membagi tugas,
menarik perhatian, berargumentasi, dan lian-lain.

Portofolio merupakan tampilan visual dan audio yang disusun secara sistematis yang melukiskan proses
berfikir yang didukung oleh seluruh data yang relevan, yang secara utuh melukiskan integrated learning
experiences  atau pengalaman belajar yang terpadu yang dialami oleh siswa dalam kelas sebagai suatu
kesatuan. Portofolio terbagi dalam dua bagian, yakni “portofolio tampilan” dan “portofolio
dokumentasi”. Portofolio tampilan berbentuk papan empat muka berlipat yang secara berurutan
menyajikan:

1) rangkuman permasalahan yang dikaji;

2) berbagai alternatif pemecahan masalah;

3) usulan kebijakan untuk memecahkan masalah;

4) pengembangan rencana kerja/tindakan.

Sedangkan portofolio dokumentasi dikemas dalam Map Ordner  atau sejenisnya yang disusun secara
sistematis mengikuti urutan portofolio tampilan. Portofolio tampilan dan dokumentasi selanjutnya
disajikan dalam suatu simulasi public hearing  atau dengar pendapat yang menghadirkan pejabat
setempat yang terkait dengan masalah portofolio tersebut.

6. Situs dan Sumber Belajar

Situs belajar (site of citizenship)  adalah tatanan fisik dan sosial-kultural dalam pengertian statis dan
dinamis yang dikelola demikian rupa sehingga memberikan suasana psiko-pedagogis yang optimal bagi
berkembangnya kesadaran hidup berkonstitusi, khususnya dalam kaitannya dengan substansi upaya
pemajuan, penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia. Dalam model ini yang menjadi situs
belajar adalah iklim kelas dan iklim sekolah yang menjunjung tinggi hak asasi manusia, serta lingkungan
di luar sekolah yang mencerminkan kehidupan yang diwarnai oleh penghargaan yang tinggi terhadap
hak asasi manusia.

7. Penilaian

Penilaian terhadap perilaku peserta didik yang dikembangkan dengan menggunakan tes tertulis, daftar
cek (check list), dan catatan anekdotal (anecdotal note) dilakukan dengan cara mengkaji keterampilan
indikator perilaku yang mencerminkan kemampuan-kemampuan sebagai berikut:

a. menjelaskan pengertian Hak Asasi Manusia (tes tertulis);

b. mengindentifikasi macam-macam Hak asasi Manusia (tes tertulis);

c. mengidentifikasi berbagai instrumen Hak Asasi Manusia di Indonesia dan di tingkat internasional (tes
tertulis);

d. mengidentifikasi berbagai kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia di Indonesia dan negara lain (tes
tertulis);

e. menganalisis upaya pemajuan, penghormatan dan penegakkan Hak Asasi Manusia baik yang
dilakukan oleh pemerintah Indonesia maupun pengadilan HAM internasional (tes tertulis);

f. memerankan tokoh-tokoh pembela hak asasi manusia di Indonesia (daftar cek);

g. menampilkan peran serta dalam upaya pemajuan, penghormatan dan penegakkan Hak Asasi Manusia
(daftar cek);

h. melakukan simulasi persidangan atas perkara pelanggaran Hak Asasi Manusia (daftar cek).

8. Refleksi

Refleksi adalah proses pengungkapan pengalaman reflektif/evaluatif mengenai keseluruhan


permasalahan dalam proses pemajuan, penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia. Dengan
melakukan refleksi guru memberikan penguatan klasikal dan individual berkaitan dengan keseluruhan
proses pembelajaran dan ketertampilan kompetensi yang menjadi tumpuan dan muara dari keseluruhan
proses pembelajaran, sehingga pada akhirnya akan mempengaruhi tingkat kesadaran berkonstitusi
siswa selaku warga negara.

Desain model pembelajaran di atas merupakan salah satu dari sekian banyak model pembelajaran
dalam Pendidikan Kewarganegaraan. Kunci keberhasilannya terletak pada kemauan dan ketertarikan
seluruh stakeholders  Pendidikan Kewarganegaraan terutama guru untuk mengoperasionalisasikan
berbagai model pembelajaran yang mendukung pada penguatan peran dan kedudukan Pendidikan
Kewarganegaraan sebagai wahana untuk meningkatkan kesadaran berkonstitusi siswa yang notabene
merupakan warga negara muda (young citizen).

Penutup

Pendidikan kesadaran berkonstitusi merupakan hal terpenting yang harus dioptimalkan untuk
menciptakan warga negara yang memiliki kesadaran berkonstitusi. Pendidikan Kewarganegaraan
mempunyai peranan yang strategis dalam mengimplementasikan pendidikan kesadaran berkonstitusi.
Hal ini dikarenakan salah satu misi Pendidikan Kewarganegaraan adalah sebagai pendidikan politik,
yakni membina siswa untuk memahami hak dan kewajibannya sebagai warga masyarakat dan warga
negara, termasuk di dalamnya memahami konstitusi (melek konstitusi). Selain itu, materi muatan
konstitusi seperti organisasi negara, hak-hak asasi manusia, cita-cita rakyat, dan asas-asas ideologi
negara amat relevan untuk memperkaya materi Pendidikan Kewarganegaraan.

Implementasi pendidikan kesadaran berkonstitusi melalui Pendidikan Kewarganegaraandapat dilakukan


dengan menggunakan berbagai alternatif model pembelajaran, diantaranya adalah model Law-Related
Education  atau Pendidikan Terkait Hukum (PTH); Jurisprudential Inquiry; ModelWe the People...Project
Citizen; Model Teaching with Primary Source Documents  atau Model Belajar Berbantuan Arsip Negara.
Model-model tersebut membantu guru untuk menghindari indoktrinasi dalam proses pembelajaran
Pendidikan Kewarganegaraan.

Daftar Pustaka

Bennett, S.F. (2005). We the People: The Citizen and the Constitution 2005 National Finalists’ Knowledge
of and Support for American Democratic Institution and Processes. [Online].
Tersedia: http://www.civiced.org . html [4 Desember 2007]

Budimansyah, D dan Suryadi, K. (2008). PKn dan Masyarakat Multikultural. Bandung: Program Studi PKn
SPs UPI.

Djahiri, A.K. (1985). Strategi Pengajaran Afektif-Nilai-Moral VCT dan Games dalam VCT.  Bandung:
Jurusan PMPKN IKIP Bandung.

Djoyonegoro, W. (1996). Lima Puluh Tahun Pendidikan Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka

Faiz, P. M. (2007). Menabur Benih Constitutional Complain. [Online].


Tersedia: http://www.yahoo.com/pqdweb. Html [20 Oktober 2007]

Gaffar, J.M. (2007). Mengawal Konstitusi. [Online]. Tersedia: http://www.koransindo.com Html [25


Oktober 2007]

Magnis-Suseno, F.V. (1985). Etika Umum.  Yogyakarta: Kanisius.

Massaro, T.M. (1993). Constitutional Literacy; A Core Curriculum for a Multicultural Nation.London: Duke
University Press

Republik Indonesia. (2002). Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.  [Online].
Tersedia: http://www.dpr.go.id . html [4 Desember 2007]
________. (2002). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional..  [Online]. Tersedia: http://www.dpr.go.id . html [4 Desember 2007]

Anda mungkin juga menyukai