Anda di halaman 1dari 11

PENGERTIAN FILSAFAT HUKUM MENURUT PARA AHLI LUAR DAN

DALAM NEGERI

GUNAWAN ARIANTO
1810003600602
Fakultas Hukum Universitas Ekasakti

A. Pendahuluan

Jika berbicara filsafat, seakan akan berada pada ranah yang sangat abstrak, dan
filsafat hukum merupakan cabang dari filsafat, dalam hal ini hukum dibicarakan
tidak sebagai sistem yang berlaku di negara atau wilayah tertentu, melainkan hukum
sebagai gejala universal pengalaman manusia. Menurut Theo Huijbers (1995: 17-
18,71) bahwa pertanyaan filsafat hukum bukanlah quid iuris, melainkan quid ius,
pertanyaan ini menuntut jawaban tentang hukum sebagai sistem yang berlaku di
negara atau wilayah tertentu. Tentang hal ini dikenal sistem hukum Romawi, sistem
hukum Indonesia, sistem hukum Inggris, sistem hukum Prancis, dan sebagainya.
Sementara itu pertanyaan tentang quid ius untuk menyelami essensi hukum,
pertanyaan ini menjadi titik pusat perhatian filsafat hukum Filsafat hukum lebih
menitik beratkan pada substansi atau materi hukum, hukum harus dibentuk sesuai
dengan prosedur atau memenuhi tuntutan formal tertentu agar diakui sebagai
hukum (legitimasi yuridis). Akan tetapi, pemenuhan aspek formal-prosedural saja
tidaklah mencukupi. Masih diperlukan tuntutan lain supaya hukum pantas disebut
hukum, yakni aspek substansinya atau isi, yang menjamin agar hukum tidak boleh
bertentangan dengan tuntutan keadilan. Hukum adalah keadilan (ius) dan bukan
sekedar peraturan perundang- undangan (lex). Hukum sebagai lex adalah kaidah
formal yang merupakan artikulasi normatif dari ius. Dengan demikian keadilan
merupakan substansi hukum. Tuntutan dari segi substansi menjadi penting karena
hokum dibuat dengan tujuan utama menegakkan keadilan melalui jaminan bahwa
hak dan kewajiban segenap warga negara dapat dilaksanakan dan dipenuhi dengan
baik (legitimasi moral). Namun demikian, efektivitas tuntutan substansial ini sangat
tergantung pada seberapa luas pengakuan dan penerimaan publik atas hukum yang
bersangkutan. Karena itu, penerimaan publik menjadi tuntutan lain yang tidak dapat
diabaikan (legitimasi sosiologis).
Tugas ahli hukum adalah membangun dan membentuk norma hukum dengan
modal bahan berupa tradisi dan etika sosial masyarakat setempat. Hal ini penting
karena agar masyarakat memiliki pegangan bersama yang sifatnya mengikat bagi
semua pihak. Itu berarti hukum diciptakan dengan ahli hukum harus menyadari
pentingnya pemenuhan baik tuntutan formal maupun tuntutan substansial agar
hukum tidak hanya dapat diberlakukan di atas kertas tetapi terutama supaya dapat
ditegakkan dalam praktik, diterima dan diakui masyarakat, dan oleh karena itu
dapat efektif mengatur perilaku masyarakat.
Materi yang menjadi pokok bahasan filsafat hukum sebetulnya mudah
diidentifikasi, yakni ketika seseorang mengajukan pertanyaan tentang hukum dan
didalamnya tercakup hal normatif. Atau analisis konsep yang digunakan dalam
dunia hukum, maka orang tersebut sesungguhnya sudah memasuki wilayah filsafat
hukum(Murphy & Coleman, 1990: 2). Diskripsi tersebut di atas memperlihatkan
dua masalah pokok yang digumuli filsafat hukum. Filsafat hokum berusaha
menjawab pertanyaan yang berkaitan dengan dimensi normatif hukum; dan kedua
filsafat hukum juga berurusan dengan pertanyaan yang mencoba mencari kejelasan
tentang konsep dasar dalam hukum. Pertanyaan ”apakah keputusan hakim dapat
disebut adil atau benar” merujuk pada dimensi normatif dari hukum. Filsafat hukum
pada sisi ini berusaha membedah hukum dan praktik hukum yang de facto ada.
Selain itu filsafat hukum juga menaruh perhatian serius pada masalah ”keadilan”
atau ”apa itu hukum” yang lebih bersifat analitis, adalah jenis pertanyaan yang
mencoba membedah konsep dasar dalam hukum demi mendapatkan kejelasan
konseptual. John Austin menyebut ke dua dimensi tersebut sebagai yurisprodensi
normatif (normative jurisprudence) dan yurisprudensi analisis (analytical
jurisprudence).
Dengan demikian ketika orang mengajukan pertanyaan tentang hukum dengan
titik tekanan pada kedua dimensi itu, jika subyeknya adalah seorang ahli hukum,
sedang mengajukan pertanyaan filosofi tentang hukum, tegasnya ia sedang
berfilsafat tentang hukum. Dengan kata lain, ketika seseorang berusaha memberi
pertanggungjawaban rasional ( rational account) atas berbagai konsep yang
digunakan secara populer dalam dunia hukum, ia sedang berdiskusi dalam tataran
filsafat hukum (Murphy & Coleman, 1990: 1-2).
Tugas filsafat hukum adalah memperhatikan setiap pandangan (hukum) secara
analitis dan kritis. Artinya, apakah posisi setiap pandangan itu dapat
dipertanggungjawabkan secara rasional atau tidak. Masalah hukum dan keadilan
tidak menjadi fokus perhatian seorang hakim atau praktisi hukum, ini berarti
mereka tidak memiliki pengetahuan tentang hukum atau keadilan. Tentu saja
mereka harus memiliki, bahkan harus memiliki pengetahuan filosofi yang memadai
tentang hal tersebut. Kejelasan konseptual tentang hal itu penting bagi seorang ahli
hukum demi merumuskan hukum secara tepat dan sekaligus menerapkannya secara
bertanggung jawab. Akan tetapi, yang hendak ditegaskan adalah bahwa bukan tugas
utama seorang ahli hukum untuk menjelaskan esensi hukum atau keadilan. Tentu
saja mereka memiliki keyakinan atau kepercayaan tentang hukumdan keadilan
(Resmini, 2013).
Tujuan penelitian
“Untuk mengetahui pengertian dari filsafat hukum”.
B. Pembahasan
Filsafat adalah upaya untuk mempelajari dan mengungkapkan penggambaran
manusia didunia menuju akhirat secara mendasar. Objeknya adalah materil dan
formal. Objek materi sering disebut segala sesuatu yang ada bahkan yang mungkin
ada hal ini berarti mempelajari apa saja yang menjadi isi dalam semesta mulai dari
benda mati tumbuhan, hewan, manusia dan sang pencipta. Selanjutnya obyek ini
disebut realita atau kenyataan. Dari objek dimaksud filsafat ingin mempelajari baik
secara fragmental (menurut bagian dan jenisnya) maupun secara integral menurut
keterkaitan antara bagian-bagian dan jenis-jenis itu didalam suatu keutuhan secara
keseluruhan. Hal ini disebut objek formal. (Zainudin Ali, 2008 :P 2) Sedangkan
secara sederhana dapat dikatakan bahwa filsafat hukum adalah cabang filsafat,
filsafat tingkah laku atau etika yang mempelajari hakikat hukum. Dengan kata lain,
filsafat hukum adalah ilmu yang mempelajari hukum secara filosofis. Menurut
Utrecht filsafat hukum memberi jawaban atas pertanyaanpertanyaan seperti apa
hukum itu sebenarnya? Apa sebabnya kita mentaati hukum? Apakah keadilan yang
menjadi ukuran baik dan buruk hukum itu. Inilah pertanyaan yang sebetulnya juga
dijawab oleh ilmu hukum. Akan tetapi bagi orang banyak jawaban ilmu hukum
tidak memuaskan. Ilmu hukum sebagai ilmu empiris hanya melihat hukum sebagai
gejala saja yaitu menerima hukum sebagai gebenheit belaka.
Filsafat hukum hendak melihat hukum sebagai kaidah dalam arti ethisch
waardeoordeel. Mr. Soetika mengartikan filsafat hukum dengan mencari hakikat
dari hukum, dia ingin mengetahui apa yang ada dibelakang hukum mencari apa
yang tersembunyi di dalam hukum, dia menyelidiki kaidah-kaidah hukum sebagai
pertimbangan nilai, dia memberi penjelasan mengenai nilai, postulat (dasar-dasar)
hukum sampai pada dasar-dasarnya, ia berusaha untuk mencapai akar-akar dari
hukum. (E Utrech, 1966 : P 7) Mahadi mengartikan filsafat hukum adalah falsafah
tentang hukum, falsafah tentang segala sesuatu dibidang hukum sampai keakar-
akarnya secara mendalam. (Lili Rasyidi, 2001 : P 3) Sedangkan Satjipto Rahardjo
mengartikan filsafat hokum tentang dasar bagi kekuatan mengikat dari hukum dan
merupakan contoh-contoh pertanyaan yang bersifat mendasar itu. Atas dasar yang
demikian, filsafat hukum biasa menggarap bahan hukum, tetapi tentang masing-
masing mengambil sudut pemahaman yang berbeda sama sekali. Ilmu Hukum
positif hanya berurusan dengan suatu bidang serta sistem hukumnya sendiri.
Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto mengartikan filsafat hukum sebagai
perenungan dan perumusan nilai-nilai kecuali itu filsafat hukum juga mencakup
penyerasian nilai-nilai misalnya penyerasian antara ketertiban dengan ketentraman
antara kebendaan dan keakhlakan dan antara kelanggengan atau konservativisme
dengan pembaruan. (Satjipto Rahardjo, 1982 : P 339) Sedangkan Gustav Radburg
(1878-1949) memaknai filsafat hukum dengan arti tiga aspek yaitu (1) Aspek
keadilan berupa kesamaan hak untuk semua orang di depan pengadilan, (2) Aspek
tujuan keadilan atau finalis yaitu menentukan isi hukum, sebab isi hukum memang
sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai, (3) Aspek kepastian hukum atau
legalitas yaitu menjamin bahwa hukum dapat berfungsi sebagai peraturan yang
harus ditaati. (Theo Hujibers 1986, : 63)
Jika dianalisis defenisi filsafat hukum yang diungkapkan di atas dapat diketahui
dan dipahami bahwa filsafat hukum menganalisis asas-asas hukum dari suatu
peraturan serta menjawab pertanyaan yang berkaitan dengan permasalahan hukum
baik dalam bentuk yuridis normatif maupun yuridis empiris sehingga tujuan hukum
dapat tercapai, yaitu untuk perbaikan dalam kehidupan manusia. Sebab isi hukum
adalah suatu yang menumbuhkan nilai kebaikan diantara orang. Jadi objek filsafat
hukum adalah hukum dan objek tersebut dikaji secara mendalam kepada inti atau
dasarnya yang disebut hakikat. Pertanyaan tentang “apa hakikat hukum itu?
Sekaligus merupakan pertanyaan filsafat hukum juga. Pertanyaan tersebut mungkin
saja dapat dijawab oleh ilmu hukum, tetapi jawaban yang diberikan ternyata serba
tidak memuaskan. Menurut Apeldoorn (1985) hal tersebut tidak lain karena hukum
hanya memberikan jawaban yang sepihak. Ilmu hukum hanya melihat gejala-gejala
hukum sebagaimana dapat diamati oleh panca indera manusia mengenai perbuatan-
perbuatan manusia dan kebiasaankebiasaan masyarakat. Sementara itu
pertimbangan nilai dibalik gejala-gejala hukum tersebut luput dari pengamatan
kilmu hukum. Norma (kaidah) hukum tidak termasuk dunia kenyataan (sein) tetapi
berada pada dunia lain (sollen dan mageni), sehingga norma hukum bukan dunia
penyelidikan ilmu hukum. Perkembangan ilmu hukum diawali oleh filsafat hukum
dan disusul oleh dogmatic hukum (ilmu hukum positif). Diantara keduanya terdapat
perbedaan yang tajam. Filsafat hukum sangat spekulatif, sedangkan hukum positif
sangat teknis. Sehingga untuk menjembatani keduanya diperlukan teori hukum
yang semula berbentuk ajaran hukum umum (algemene rechtsleer). Teori hukum
berisi ciri-ciri umum seperti asas-asas hukum maupun permasalahan yang sama dari
berbagai sistem hukum.( Philipus M Hadjon dan Tatiek Sri Djamiati 2009 : P 9)
Dogmatic hukum (ilmu hukum positif), teori hukum, filsafat hukum pada akhirnya
harus diarahkan kepada praktik umum. Praktik umum menyangkut dua aspek utama
yaitu pembentukan hukum dan penerapan hukum.1 Kedua aspek tersebut
diharapkan mampu mengatasi gejala hukum yang timbul dimasyarakat
sebagaimana tertuang dalam dogmatic hukum. Mengingat objek filsafat hukum
adalah hukum maka masalah atau pertanyaan yang dibahas oleh filsafat hukum
itupun antara lain berkisar pada apaapa yang diuraikan di atas. Seperti hubungan
hukum dan kekuasaan, hubungan hukum kodrat dan hukum positif, apa sebab orang
mentaati hukum, apa tujuan hukum sampai kepada masalah-masalah filsafat hukum
yang ramai dibicarakan saat ini (oleh sebagian orang disebut masalah filsafat
hukum kontemporer, suatu istilah yang kurang tepat mengingat sejak dulu masalah
tersebut juga telah diperbincangkan) seperti masalah hak asasi manusia dan etika
profesi hukum. Tentu saja semua permasalahan tersebut tidak dijawab dalam
filsafat hukum, filsafat hukum memprioritaskan pembahasannya pada
pertanyaanpertanyaan yang dipandang pokok-pokok saja. Apeldoorn (1985)
misalnya menyebutkan tiga pertanyaan yang dipandang penting untuk
dipertanyakan, yaitu (1) Apakah pengertian hukum yang berlaku umum; (2)
Apakah dasar kekuatan mengikat dari hukum; dan (3) apakah yang dimaksud
dengan hukum kodrat. Lili Rasyidi (1990) menyebutkan pertanyaan yang menjadi
masalah filsafat hukum antara lain (1) hubungan hukum dan kekuasaan; (2)
hubungan hukum dengan nilai-nilai sosial budaya; (3) apa sebab Negara
menghukum seseorang; (4) apa sebab orang mentaati hukum; (5) masalah
pertanggung jawaban; (6) masalah hak milik; (7) masalah kontrak dan (8) masalah
peranan hukum sebagai sarana pembaruan masyarakat. Jika kita bandingkan antara
apa yang dikemukakan oleh Apeldoorn dan Lili Rosyidi tersebut tampak bahwa
masalah-masalah yang dianggap penting dalam pembahasan filsafat hukum terus
bertambah. Hal ini sesungguhnya tidak terlepas dari semakin banyaknya para ahli
hukum yang menekuni filsafat hukum. Pada zaman dahulu filsafat hukum hanyalah
produk sampingan diantara obyek penyelidikan filusuf. Pada masa sekarang filsafat
hukum sudah menjadi produk utama yang dibahas sendiri oleh para ahli hukum.
Pengertian filsafat dalam kamus besar Bahasa Indonesia adalah (1) pengetahuan
dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat segala yang ada, sebab, asal
dan hukumnya, (2) teori yang mendasari alam pikiran atau suatu kegiatan atau juga
berarti ilmu yang berintikan logika, estetika, metafisika dan epistemology. Pakar
filsafat kenamaan Plato (427-347 SM) mendefenisikan filsafat adalah ilmu
pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran yang asli,( Protasius Hardono
Had, 1993, P 114 kemudian Aristoteles (382-322 SM) mengartikan filsafat adalah
ilmu pengetahuan yang meliputi kebenaran dan berisikan didalamnya ilmu;
metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik dan estetika. Kebenaran akan
hakikat hidup dan kehidupan, bukan hanya dalam teori tetapi juga dalam peraktek
Berkenaan dengan filsafat hukum menurut Gustaff Radbruch menyatakan bahwa
filsafat hukum merupakan cabang filsafat yang mempelajari hukum yang benar.
Sedangkan menurut Langmeyer, filsafat hukum adalah pembahasan secara fiosofis
tentang hukum. Anthoni de Amato mengistilahkan dengan atau filsafat hukum yang
acapkali dikonotasikan sebagai penelitian mendasar dan pengertian hukum secara
abstrak. Secara sederhana dapat dikatakan filsafat hukum merupakan cabang
filsafat yakni filsafat tingkah laku atau etika yang mempelajari hakikat hukum.
Dengan perkataan lain filsafat hukum adalah ilmu yang mempelajari hukum secara
filosofis.
Jadi objek filsafat hukum adalah hukum, dan objek tersebut dikaji secara
mendalam sampai pada inti atau dasarnya yang disebut dengan hakikat. (Darji
Darmodiharjo, dan Shidarta 2006, P: 154) Secara umum pengertian filsafat hukum
adalah ilmu pengetahuan yang ingin mencapai hakikat kebenaran yang asli dengan
ciri-ciri pemikiran yang (1) rasional, metodis, sistematis, koheren, integral, (2)
tentang makro dan mikro kosmos (3) baik yang bersifat inderawi maupun non
inderawi. Hakikat kebenaran yang dicari dari berfilsafat menurut Purnadi
Purbacaraka dan Soerjono Soekanto dengan menyebut Sembilan arti hukum yaitu,
(1) Ilmu pengetahuan yang tersusun secara sistematis atas dasar kekuatan
pemikiran, (2) Disiplin yaitu suatu sistem ajaran tentang kenyataan atau gejala-
gejala yang dihadapi, (3) norma yaitu Pedoman atau patokan sikap tindak atau
prilaku yang pantas atau diharapkan, (4) tata hukum yaitu struktur dan proses
perangkat norma-norma yang berlaku pada suatu waktu dan tempat tertentu serta
berbentuk tertulis. (5) Petugas, yakni peribadi-pribadi yang merupakan kalangan
yang berhubungan erat dengan penegakan hukum (law enforcemen officer), (6)
keputusan penguasa yakni hasil proses diskresi (7) proses pemerintahan yaitu
proses hubungan timbal balik antara unsur-unsur pokok dari sistem kenegaraan, (8)
sikap tindak ajeg atau prilaku yang teratur, yakni prilaku yang diulang-ulang dengan
cara yang sama yang bertujuan mencapai kedamaian, (9) jalinan nilai-nilai, yaitu
jalinan dari konsepsi-konsepsi abstrak tentang apa yang dianggap baik dan buruk.
Filsafat hukum mempelajari hukum secara spekulatif dan kritis artinya filsafat
hukum berusaha untuk memeriksa nilai dari pernyataan-pernyataan yang dapat
dikatagorikan sebagai hukum. Secara spekulatif filsafat hukum terjadi dengan
pengajuan pertanyaanpertanyaan mengenai hakikat hukum. Sedangkan secara kritis
filsafat hukum berusaha memeriksa gagasan-gagasan tentang hukum yang sudah
ada, melihat koherensi korespondensi dan fungsinya. Lebih jauh Muchsin dalam
bukunya Ikhtisar Filsafat hukum menjelaskan dengan cara membagi definisi filsafat
dengan hukum secara tersendiri, filsafat diartikan sebagai upaya berpikir secara
sungguh-sungguh untuk memahami segala sesuatu dan makna terdalam dari sesuatu
tersebut, kemudian hukum disimpulkan sebagai aturan tertulis maupun tidak tertulis
yang mengatur tingkah laku manusia dalam masyarakat berupa perintah dan
larangan yang keberadaanya ditegakan dengan sanksi yang tegas dan nyata dari
pihak yang berwenang disebuah Negara (Muchsin 2006 : P 24).
Beberapa pengertian filsafat hukum :
1. Satjipto Raharjo
Filsafat hukum mempelajari pertanyaan-pertanyaan dasar dari hukum. Pertanyaan
tentang hakikat hukum, tentang dasar bagi kekuatan mengikat dari hukum,
merupakan contoh-contoh pertanyaan yang bersifat mendasar itu. Atas dasar yang
demikian itu, filsafat hukum bisa menggarap bahan hukum, tetapi masing-masing
mengambil sudut pemahaman yang berbeda sama sekali. Ilmu hukum positif hanya
berurusan dengan suatu tata hukum tertentu dan mempertanyakan konsistensi logis
asa, peraturan, bidang serta system hukumnya sendiri.
2. William Zevenbergen
Menurut William Zevenbergen , Filsafat hukum ialah cabang ilmu hukum yang
menyelidiki ukuran –ukuran apa yang dapat dipergunakan untuk menilai isi hukum
agar dapat memenuhi hukum yang baik. Ia juga mengatakan, filsafat hukum ialah
filsafat yang diterapkan dalam hukum.
3. Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto
Filsafat hukum adalah perenungan dan perumusan nilai-nilai, kecuali itu filsafat
hukum juga mencakup penyerasian nilai-nilai, misalnya penyelesaian antara
ketertiban dengan ketenteraman, antara kebendaan dan keakhlakan, dan antara
kelanggengan atau konservatisme dengan pembaruan.
4. Langemeyer
Menurut Langemeyer , Filsafat Hukum ialah ilmu yang membahas secara filosofis
tentang hukum.
5. J. H. Bellefroid
Menurut J.H.P. Bellefroid, filsafat hukum ialah filsafat dalam bidang hukum ,
bukan ilmu hukum tetapi ilmu pembantu dalam mempelajari ilmu hukum.
6. Lili Rasjidi
Filsafat hukum berusaha membuat “dunia etis yang menjadi latar belakang yang
tidak dapat diraba oleh panca indera” sehingga filsafat hukum menjadi ilmu
normative, seperti halnya dengan ilmu politik hukum. Filsafat hukum berusaha
mencari suatu cita hukum yang dapat menjadi “dasar hukum” dan “etis” bagi
berlakunya system hukum positif suatu masyarakat.
7. Gustav Radbruch
Menurut Gustav Radbruch , Filsafat Hukum ialah cabang filsafat yang mempelajari
hukum yang benar.
8. L. Bender. O.P
Filsafat Hukum ialah suatu ilmu yang merupakan bagian dari filsafat yaitu tentang
filsafat moral /etika.
9. E. Utrecht
Menurut E. Utrecht , Filsafat Hukum memberikan jawaban atas pertanyaan –
pertanyaan seperti : Apakah hukum itu sebenarnya ? (Persoalan adanya tujuan
hukum). Apakah sebabnya kita mentaati hukum ? (persoalan berlakunya hukum).
Apakah keadilan yang menjadi ukuran untuk baik buruknya hukum itu ? (persoalan
keadilan hukum).
Inilah pertanyaan – pertanyaan yang sebetulnya juga dijawab oleh ilmu hukum
. Tetapi bagi benyak orang jawaban ilmu hukum tidak memuaskan Filsafat hukum
merupakan bagian penelusuran yang tersaji dari ruang lingkup filsafat. Filsafat
adalah kegiatan berpikir secara sistematikal yang hanya dapat merasa puas
menerima hasil-hasil yang timbul dari kegiatan berpikir itu sendiri. Filsafat tidak
membatasi diri hanya pada gejala-gejala indrawi, fisikal, psikal atau kerohanian
saja. Ia juga tidak hanya mempertanyakan “mengapa” dan “bagaimana”nya gejala-
gejala ini, melainkan juga landasan dari gejala-gejala itu 8 lebih dalam, ciri-ciri khas
dan hakikat mereka. Ia berupaya merefleksikan hubungan teoritikal yang
didalamnya gejala-gejala tersebut dimengerti atau dipikirkan. (Arief Sidharta 2007:
P 1) Dalam hal itu, maka filsafat tidak akan pernah terlalu lekas puas dengan suatu
jawaban. Setiap dalil harus terargumentasikan atau dibuat dan dipahami secara
rasional. Karena bagaimanapun filsafat adalah kegiatan berpikir artinya dalam
suatu hubungan dialogical dengan yang lain ia berupaya merumuskan argument-
argumen untuk memperoleh pengkajian. Berikutnya filsafat menurut hakikatnya
bersifat terbuka dan toleran. Filsafat bukanlah kepercayaan atau dogmatika, jika ia
tidak lagi terbuka bagi argumentasi baru dan secara kaku berpegangan pada
pemahaman yang sekali telah diperoleh, tidak heran kefilsafatan secara praktikal
akan menyebabkan kekakuan. Ada pendapat yang mengatakan bahwa karena
filsafat hukum merupakan bagian khusus dari filsafat pada umumnya, maka berarti
filsafat bukan hanya mempelajari hukum secara khusus. Sehingga hal-hal non
hukum menjadi tidak relevan dalam pengkajian filsafat hukum. Penarikan
kesimpulan seperti ini sepertinya tidak begitu tepat. Filsafat hukum sebagai suatu
filsafat yang khusus mempelajari hukum hanyalah suatu pembahasan akademik dan
intelektual saja dalam usaha studi dan bukan menunjukan hakekat dari filsafat
hukum itu sendiri. (Sugiyono Darmadi 1998: p. 187).
Sebagai filsafat, filsafat hukum semestinya memiliki sikap penyesuaian
terhadap sifat-sifat, cara-cara dan tujuan-tujuan dari filsafat pada umumnya.
Disamping itu, hukum sebagai objek dari filsafat hukum akan mempengaruhi
filsafat hukum. Dengan demikian secara timbal balik antara filsafat hukum dan
filsafat saling berhubungan. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa filsafat
hukum adalah cabang filsafat, yaitu filsafat tingkah laku atau etika yang
mempelajari hakikat hukum. Dengan perkataan lain, filsafat hukum adalah ilmu
yang mempelajari hukum secara filosofis. Jadi objek filsafat hukum adalah hukum
dan objek tersebut dikaji secara mendalam sampai kepada inti atau dasarnya yang
disebut hakikat. (Darji Darmodiharjo dan Arief Sidharta, 1995: P 10-111).
Seusai menjelaskan pengertian filsafat dan hukum sebagaimana di atas, maka
menarik kemudian untuk menganalisis bagaimana filsafat dan hukum bersinergi
sehingga menghasilkan filsafat hukum. Dalam beberapa literatur filsafat hukum
digambarkan sebagai suatu disiplin modern yang memiliki tugas untuk
menganalisis konsep-konsep perskriptif yang berkaitan dengan yurisprudensi.
Istilah filsafat hukum memiliki sinonim dengan legal philosophy, philosophy of
law, atau rechts filosofie. Pengertian filsafat hukum pun ada berbagai pendapat. Ada
yang mengatakan bahwa filsafat hukum adalah ilmu, ada yang mengatakan filsafat
teoretis, ada yang berpendapat sebagai filsafat terapan dan filsafat praktis, ada yang
mengatakan sebagai subspesies dari filsafat etika, dan lain sebagainya.Dikenal
beberapa istilah Filsafat Hukum dalam bahasa asing, seperti di Inggris
menggunakan 2 (dua) istilah yaitu Legal Philosophy atau Philosophy of Law,
kemudian di Belanda juga menggunakan 2 (dua) istilah yaitu Wijsbegeerte van het
Recht dan Rechts Filosofie dan di Jerman menggunakan istilah Filosofie des
Rechts. Istilah Filsafat Hukum dalam Bahasa Indonesia merupakan terjemahan dari
istilah Philosophy of Law atau Rechts Filosofie. Menurut Mochtar Kusumaatmadja,
lebih tepat menerjemahkan Filsafat Hukum sebagai padanan dari Philosophy of
Law atau Rechts Filosofie daripada Legal Philosophy.
Istilah Legal dalam Legal Philosophy sama pengertiannya dengan Undang-
Undang atau hal-hal yang bersifat resmi, jadi kurang tepat digunakan untuk
peristilahan yang sama dengan Filsafat Hukum. Hal ini didasarkan pada
argumentasi bahwa hukum bukan hanya Undang-Undang saja dan hukum bukan
pula hal-hal yang bersifat resmi belaka.Pengsinoniman istilah di atas, menimbulkan
komentar yang lahir dari beberapa pakar. Penggunaan istilah legal philosophy
misalnya dirasakan tidak sesuai atau tidak sepadan dengan filsafat hukum. Menurut
Mochtar Kusumaatmadja, istilah filsafat hukum lebih sesuai jika disinonimkan
dengan philosophy of law atau rechts filosofie. Hal ini dikarenakan istilah legal dari
legal philosophy sama dengan undang-undang atau resmi. Jadi kurang tepatlah, jika
legal philosophydisinonimkan dengan filsafat hukum. Hukum bukan undang-
undang saja, dan hukum bukan hal-hal yang sama dengan resmi belaka. Secara
sederhana, filsafat hukum dapat dikatakan sebagai cabang filsafat yang mengatur
tingkah laku atau etika yang mempelajari hakikat hukum. Dengan kata lain, filsafat
hukum adalah ilmu yang mempelajari hukum secara filosofis.Secara sederhana
dapat dikatakan bahwa Filsafat Hukum adalah cabang filsafat, yakni filsafat tingkah
laku atau etika yang mempelajari hakikat hukum. Dengan perkataan lain, filsafat
hukum adalah ilmu yang mempelajari hukum secara filosofis. Objek filsafat hukum
adalah hukum dan objek tersebut dikaji secara mendalam sampai kepada inti atau
dasarnya yang disebut dengan hakikat.
Selanjutnya oleh Satjipto Raharjo dikatakan bahwa filsafat hukum mempelajari
pertanyaanpertanyaan yang bersifat dasar dari hukum. Pertanyaan-pertanyaan
tersebut meliputi pertanyaan tentang hakikat hukum, dasar kekuatan mengikat dari
hukum. Atas dasar yang demikian itu, filsafat hukum bisa menggarap bahan hukum,
tetapi masing-masing mengambil sudut yang berbeda sama sekali. Filsafat Hukum
juga merupakan bagian dari ilmu-ilmu hukum. Adapun masalah yang dibahas
dalam lingkup filsafat hukum, meliputi: 1) Masalah hakikat dari hukum; 2) Masalah
tujuan hukum; 3) Mengapa orang menaati hukum; 4) Masalah mengapa negara
dapat menghukum; 5) Masalah hubungan hukum dengan kekuasaan. Filsafat
hukum memberi landasan kefilsafatan bagi ilmu hukum dan setelah lahirnya teori
hukum sebagai disiplin mandiri, juga landasan kefilsafatan bagi teori hukum.
Sebagai pemberi dasar filsafat hukum menjadi rujukan ajaran nilai dan ajaran ilmu
bagi teori hukum dan ilmu hukum (Sidharta, 2006: 352). Jadi hukum dengan nilai-
nilai sosial budaya, bahwa antara hukum di satu pihak dengan nilai-nilai sosial
budaya di lain pihak terdapat kaitan yang erat. Kaitan yang erat antara hukum dan
nilai-nilai sosial budaya masyarakat, ternyata menghasilkan pemikiran bahwa
hukum yang baik tidak lain adalah hukum yang mencerminkan nilai-nilai yang
hidup dalam masyarakat. Filsafat hukum merupakan sumber hukum materiil,
sedangkan sumber formilnya adalah sebab dari berlakunya aturan-aturan hukum.
C. Penutup
A. Kesimpulan
Pada dasarnya hakekat hukum yang ideal sebagai obyek filsafat hokum
tentunyamempersoalkan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat dasar dari hukum.
Pertanyaan-pertanyaan tentang “hakikat hukum”, tentang “dasar-dasar bagi
kekuatan mengikat dari hukum”, merupakan contoh-contoh pertanyaan yang
bersifat mendasar itu. Atas dasar yang demikian itu, filsafat hukum bisa dihadapkan
kepada ilmu hukum positif. Sekalipun sama-sama menggarap bahan hukum, tetapi
masing-masing mengambil sudut pemahaman yang berbeda sama sekali. Ilmu
hukum positif hanya berurusan dengan suatu tata hukum tertentu dan
mempertanyakan konsistensi logis asas-asas, peraturan-peraturan, bidang-bidang
serta sistem hukumnya sendiri.

B. Saran
Sebagai bentuk saran dari penulis hubungannya dengan hakekat, pengertian
hukum sebagai obyek telaah filsafat hukum yakni sebagai insan yang berpikir
tentunya dapat membedakan yang mana yang haq dan mana yang bathil, mana yang
salah dan mana yang benar. Utamanya kepada para penegak hukum, haruslah
mengetahui akan makna hukum itu sendiri agar tidak terjebak dalam dinamika
perdebatan akan makna hukum itu, sehingga dengan demikian mereka mampu
menegakkan hukum secara ideal yang mengedepankan keselarasan antara keadilan,
kemanfaatan, serta kepastian hokum.
Daftar Pustaka

Laurensius Arliman S, Antropologi Hukum, Deepublish, Yogyakarta, 2023.


Laurensius Arliman S, Filsafat Hukum, Deepublish, Yogyakarta, 2023.
Laurensius Arliman S, Pendidikan Kewarganegaraan : Tantangan Warga Negara
Milenial Menghadapi Revolusi Industri 4.0, , Deepublish, Yogyakarta, 2019.
Laurensius Arliman S, Pengaturan Kelembagaan Hak Asasi Manusia Terhadap
Anak Di Indonesia, Disertasi Fakultas Hukum, Universitas Andalas, Padang,
2022.
Laurensius Arliman S, Kajian Naratif Antropologi Dan Pendidikan, Ensiklopedia
Education Review, Nomor 2, Nomor 1, 2020.
Laurensius Arliman S, Participation Non-Governmental Organization In
Protecting Child Rights In The Area Of Social Conflict, Ushuluddin International
Conference (USICON) 1, 2017.
Laurensius Arliman S, Penyelesaian Konflik Antar Umat Beragama (Studi Pada
Komnas HAM Perwakilan Sumatera Barat), Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum,
Volume 2, Nomor 2, 2015.
Laurensius Arliman, Ernita Arif, Pendidikan Karakter Untuk Mengatasi Degradasi
Moral Komunikasi Keluarga, Ensiklopedia of Journal, Volume 4, Nomor 2, 2022.
Laurensius Arliman S, Pendidikan Karakter Dalam Tinjauan Psikologi,
Ensiklopedia of Journal, Volume 3, Nomor 3, 2021.

Anda mungkin juga menyukai