Anda di halaman 1dari 13

FILSAFAT HUKUM DAN ETIKA PROFESI

1. FILSAFAT
A. Analisis kaitan tiga kelompok kajian filsafat dalam ilmu hukum
Ilmu hukum Indonesia yang dibangun dari teori hukum Indonesia dan filsafat hukum
Indonesia jika ditopang dari bangunan kefilsafatan ilmu, maka memiliki landasan
ontologis dualisme (materialisme dan spiritualisme sekaligus), landasan epistimologi
rasionalisme, empirisme dan wahyu sekaligus, serta landasan aksiologi nilai moral atau
etika dan bahkan nilai keagamaan yang sakral.
Dikaji dari perspektif Ontologi Ilmu Hukum maka ilmu hukum menetapkan kajian
substansial kepada kaidah-kaidah hukum tertulis ataupun tidak tertulis maupun kaidah
bersifat abstrak ataupun kontrit. Sedangkan dari aspek Epistemologi Ilmu Hukum maka
ilmu hukum menetapkan kajian fundamental kepada aspek kebenaran dengan teori
Kebenaran (The Correspondence Theory of Truth) dan Teori Kebenaran Pragmatik (The
Pragmatic Theory of Truth) serta dengan metode Logika – hipotetika – verifikasi dan
ditinjau dari aspek Aksiologi Ilmu Hukum maka ilmu hukum mempunyai 4 (empat)
pengaruh pendidikan hukum dan untuk bidang-bidang lainnya serta mempunyai 2 (dua)
fungsi yaitu fungsi sismatisasi serta fungsi pertimbangan dan pencerahan terhadap
kebekuan yang melanda dunia hukum. Oleh karena demikian, maka disarankan ilmu
hukum harus bersifat integratif pasca globalisasi oleh karena apabila tidak bersifat
integratif akan mengakibatkan adanya disintegrasi dalam Ilmu Hukum secara Ontologis,
Epistemologis maupun Aksiologis dan untuk mencegah adanya disintegrasi dalam Ilmu
Hukum maka perlu ditumbuhkembangkan iklim Integritas dalam diri para ahli teoritik
dan praktik.

B. Analisis alasan epistemologi harus dipelajari


Pada dasarnya, apabila ilmu hukum sebagai ilmu maka bertujuan mencari kebenaran.
Menurut Teori Korespodensi kebenaran merupakan persesuaian, antara pengetahuan dan
obyeknya. Sehingga dengan demikian pengetahuan terletak dalam dimensi mentalitas
manusia, sedangkan obyek dalam dunia nyata. Untuk menyatakan adanya hubungan
inilah timbul pendapat antara faham empiris dan rasionalisme. Menurut empirisme
pengetahuan adalah segenap pengalaman manusia, sedangkan menurut faham
rasionalisme maka akallah/ratiolah yang dapat mengetahui obyek. Akan tetapi, terhadap
hakekat hukum tidak selalu berdasarkan empirisme/rasionalisme saja oleh karena gejala
hukum bukan saja berupa pengalaman manusia saja seperti perilaku hukum akan tetapi
diluar pengalaman manusia seperti nilai-nilai hukum. Teori Kebenaran korespodensi dan
pramatiklah yang dapat dicapai ilmu hukum. Maka untuk itu guna mencari keadilan yang
benar digunakanlah sebuah metode. Oleh karena itu, sebagai pengaruh adanya kebenaran
empirisme dan rasionalisme maka secara tradisional dibedakan dua metode ilmu yaitu
metode deduksi dan metode induksi. Selanjutnya, dalam perkembangannya timbul
metode yang berusaha menggabungkan deduksi dan induksi, yaitu metode logiko –
hipotetiko – verifikasi. Istilah “Logiko – hipotetiko” menempatkan kaidah hukum
sebagai hal mentah yang perlu dimasukkan ke dalam proses “Verifikasi” yang cenderung
menjadi justifikasi/pembenaran.
Sejatinya, metode ilmu hukum ditentukan oleh aspek Ontologis dan Axiologis dari
hukum. Konsep mengenai metode dan ilmu sifatnya universal. Artinya, untuk bidang apa
saja atau untuk jenis ilmu manapun adalah sama, tetapi pengaruh dari obyek suatu ilmu
tentu tidak dapat dihindarkan. Sebab itu hakikat hukum dan fungsinya dalam praktek tak
bisa dihindari pengaruh dalam menentukan metode yang digunakan dalam ilmu hukum.
Berdasaran aspek Ontologi, maka fokus utama titik kajian substansial ilmu hukum adalah
kaidah hukum. Mungkin kaidah hukum mempunyai nilai/perilaku, tetapi nilai/perilaku itu
dapat saja bukan hukum. Ciri pokok dari nilai dan perilaku sebagai hukum ialah sifat
normatifnya. Sudah tentu kaidah hukum berisi nilai-nilai dan perilaku manusia. hukum
itu sendiri merupakan jalinan kesatuan antara kaidah, nilai dan perilaku. Nilai merupakan
turunan dari ide dan perilaku merupakan turunan realitas/fakta. Apabila kita mencita-
citakan suatu ilmu tentang hukum/ilmu hukum maka penentuan metode Ilmu Hukum
harus ditentukan prinsip intergralistis atau berjalinan kesatuan antara kaidah, nilai dan
perilaku. Pada kaidah hukum tersirat antara nilai dan perilaku sehingga fokus sentral atau
fundamental metode Ilmu Hukum adalah analisis atas kaidah. Sedangkan analisis nilai
dan perilaku hanya bahan kajian sampingan dari analisis kaidah. Maka oleh karena itu
secara ideal dalam ilmu hukum dari visi epistemologis mempergunakan metode logika-
hipotetiko-verifikasi.
C. Analisis kemanfaatan filsafat dalam kehidupan
Filsafat dipahami sebagai orientasi yang mencerahkan kehidupan sesuai dengan
tuntutan akal. Filsafat juga terdapat dalam berbagai gerakan kebangkitan sosial dan
ilmiah serta memikul beban untuk mengarahkan kehidupan menjadi lebih baik dan mulia.
Secara saksama, perbuatan keseharian Anda mencerminkan bahwa pada dasarnya
Anda selalu berfilsafat. Sebagai individu, sering kali kita terpaksa menganalisis
perbuatan-perbuatan kita, mengoreksi penilaian, dan mempertimbangkan ukuran-ukuran
(standar) yang kita buat sendiri serta membatasi hubungan kita, baik dengan alam
maupun orang lain. Sepanjang kita memahami filsafat sebagai sebuah proses kritik,
analisis, dan evaluasi terhadap kehidupan, kehidupan kita sesungguhnya nyaris tidak
pernah terpisah dari filsafat.
Filsafat memiliki karakteristik yang bersifat menyeluruh. Dengan cara perpikir
holistik, filsafat mengajak kita untuk berwawasan luas dan terbuka. Kita diajak untuk
menghargai pemikiran, pendapat, dan pendirian orang lain. Filsafat juga memiliki sifat
yang mendasar. Artinya, dalam menganalisis suatu masalah, kita diajak untuk berpikir
kritis dan radikal. Selain itu, Filsafat juga bersifat spekulatif. Sifat ini tidak boleh
diartikan secara negatif sebagai gambling. Semua ilmu yang berkembang saat ini bermula
dari sifat spekulatif tersebut. Sifat ini mengajak kita untuk berpikir inovatif, selalu
mencari sesuatu yang baru. Memang, salah satu ciri orang yang berpikir radikal adalah
senang kepada hal-hal yang baru. Tentu saja, tindakan spekulatif yang dimaksud disini
adalah tindakan yang terarah secara ilmiah. Dengan berpikir spekulatif (dalam arti
positif) itulah hukum dapat dikembangkan kearah yang dicita-citakan bersama. Terakhir,
sifat filsafat yang reflektif kritis. Melalui sifat ini, filsafat berguna untuk membimbing
kita menganalisis masalah secara rasional dan kemudian mempertanyakan jawaban itu
secara terus-menerus. Jawaban tersebut seharusnya tidak sekedar diangkat dari gejala-
gejala yang tampak, tetapi sudah sampai kepada nilai-nilai inilah membantu kita untuk
menentukan sikap secara bijaksana dalam menghadapi suatu masalah kongkrit.
2. CRITICAL LAW STUDIES (CLS)
A. Analisis munculnya gerakan studi hukum kritis (CLS)
Positivisme di bidang hukum sangat menekankan bahwa hukum harus dapat
menciptakan adanya kepastian hukum dan semata-mata perintah dari yang berkuasa,
terlepas dari apakah perintah itu bermanfaat atau tidak. Hukum juga hanya sebagai alat
legitimasi dan bebas nilai. Premis demikian mengandung kelemahan karena pada
kenyataannya hukum tidak semata perintah dari pengasa, ada juga hukum yang hidup di
masyarakat. Hukum juga ternyata tidak bebas nilai, melainkan sarat nilai. Penerapan
positivism hukum dalam sebuah Negara secara membabi buta justru akan mengorbankan
keadilan masyarakat / keadilan sosial. Dengan demikian, alasan munculnya gerakan CLS
adalah kegagalan positivism hukum dalam mewujudkan cita hukum, yakni terciptanya
masyarakat adil, memberikan kemanfaatan, dan memberikan kepastian hukum.
Gerakan Critical Legal Studies (CLS) ini mulai eksis dalam dekade 1970-an yang
merupakan hasil dari suatu konfrensi tahun 1977 tentang CLS di Amerika Serikat. Pada
saat yang hampir bersamaan atau beberapa waktu setelah itu, kelompok-kelompok ahli
hukum dengan paham yang serupa tetapi bervariasi dalam gaya, metode dan fokus, juga
lahir secara terpisah dan independen di beberapa negara lain seperti Jerman, Prancis, dan
di beberapa negara lain. Di Inggris, gerakan CLS ini dibentuk dalam konfrensi tentang
CLS pada tahun 1984.
Pada konfrensi CLS tahun 1974 tersebut, diundang para ahli hukum untuk
membicarakan pendekatan yang kritis terhadap hukum, mengingat kesenjangan yang
besar antara hukum dalam teori (law in book) dengan hukum dalam praktek (law in
action), dan kegagalan hukum dalam merespon masalah-masalah yang terjadi dalam
masyarakat. Konfrensi yang dianggap sebagai peletakan batu pertama bagi lahirnya
gerakan CLS tersebut dilakukan oleh suatu oragnisasi yang beranggotakan para ahli
hukum sebagai berikut: Abel, Heller, Horwitz, Kennedy, Macaulay, Rosenblatt, Trubek,
Tushnet, dan Unger.
Gerakan CLS ini lahir dengan dilatarbelakangi oleh kultur politik yang serba radikal
dalam decade 1960-an. Meskipun gerakan-gerakan demikian bervariasi dalam konsep,
fokus dan metode yang dipergunakan, dalam gerakan ini mengandung kesamaan-
kesamaan tertentu, terutama dalam hal protes terhadap tradisi dominan dari hukum yang
ortodok dalam bentuk tradisi hukum tertulis yang baku (black latter law). Akan tetapi,
dipihak lain pada waktu yang bersamaan, gerakan CLS juga mengakui keterbatasan dari
pendekatan Sociolegal terhadap hukum, yang mencoba menggunakan bantuan ilmu-ilmu
lain dalam menelaah hukum, meskipun pendekatan Sociolegal tersebut sebenarnya untuk
memecahkan kebekuan pendekatan ortodok dari hukum yang bersifat black latter law
tersebut.

B. Analisis bukti bahwa pemikiran CLS relevan dalam konteks Indonesia yang sekaligus
membuktikan kelemahan dari aliran positivisme
Dalam konteks Indonesia, kelemahan aliran positivisme terlihat pada saat Orde Baru.
Berbagai peraturan perundang-undangan dibuat semata-mata sebagai legitimasi penguasa
dan mengorbankan rakyat. Imbas dari itu adalah munculnya gerakan reformasi yang
menekankan bahwa Negara harus berdasarkan hukum dalam arti yang sebenarnya.
Walaupun hasil reformasi juga masih antara “ada” dan “tiada”, hal tersebut membuktikan
bahwa di Indonesia semangat untuk melakukan kritik atas kebijakan hukum penguasa
menjadi terbuka.
Penggunaan CLS sendiri untuk menganalisis hukum di Indonesia paling mudah
dilakukan terhadap pembangunan hukum pada masa Orde Baru. Pada masa inilah dapat
dilihat secara jelas kepentingan-kepentingan ekonomi dan politik dominan yang
menghuni ide tata hukum. Kepentingan atas pertumbuhan ekonomi memaksa kebijakan
kemudahan usaha dengan jalan pemberian kredit yang disertai dengan deregulasi dan
debirokratisasi. Kepentingan pembangunan ekonomi mensyaratkan stabilitas politik yang
dilakukan dengan cara mengurangi hak sipil dan politik rakyat.
Sebagai salah satu contoh, disini akan diungkapkan kepentingan kelas dominan dalam
menentukan substansi Rancangan Undang-Undang Pemilu yang saat ini dibahas di DPR.
Pemilu tahun 2004 memiliki arti strategis. Bagi penguasa, momen ini memiliki arti untuk
melanggengkan kekuasaannya. Sehingga sejak saat ini pun banyak langkah dan kebijakan
yang dilandasi pertimbangan kepentingan kekuasaan tahun 2004. Di sisi lain, masa
transisi politik adalah masa paling mudah melakukan perubahan karena tidak adanya
kekuatan yang dominan.
C. Analisis bahwa pada prinsipnya CLS menolak anggapan ahli hukum tradisional
Teori hukum tradisional mengajarkan, hukum merupakan seperangkat aturan dan
prinsip-prinsip yang memungkinkan masyarakat mempertahankan ketertiban dan
kebebasannya. Para penganut teori hukum tradisional berkeyakinan bahwa hukum
haruslah netral dan dapat diterapkan kepada siapa saja secara adil, tanpa memandang
kekayaan, ras, gender atau harta. Meskipun mereka tidak satu pendapat mengenai apakah
dasar yang terbaik bagi prinsip-prinsip hukum, yakni apakah dasarnya adalah wahyu
Tuhan, etika sekuler, pengalaman masyarakat, atau kehendak mayoritas. Akan tetapi,
umumnya mereka setuju terhadap kemungkinan terpisahnya antara hukum dan politik,
hukum tersebut menurut mereka akan diterapkan oleh pengadilan secara adil.
Sebagaimana diketahui bahwa banyak kekecewaan terhadap filsafat, teori, dan praktek
hukum yang terjadi di paruh kedua dari abad ke-20. Sedangkan aliran lama yang terkenal
saat itu, semisal aliran realisme hukum, di samping perannya semakin tidak bersinar,
semakin tidak populer, dan juga ternyata tidak dapat menjawab berbagai tantangan zaman
di bidang hukum. Sangat terasa, terutama pada akhir abad ke-20, bahwa diperlukan
adanya suatu aliran dan gebrakan baru dalam praktek, teori, dan filsafat hukum untuk
menjawab tantangan zaman tersebut.
Menyadari akan kebobrokan hukum yang sudah sampai pada tataran teoritis dan
filsafat ini, maka pada akhir abad ke-20, tepatnya mulai dekade 1970-an, beberapa ahli
hukum mulai melihat hukum dengan kacamata yang kritis, bahkan sangat kritis, dengan
gerakannya yang terbilang revolusioner, akhimya memunculkan suatu aliran baru dalam
filsafat hukum, yang kemudian dikenal dengan sebutan “aliran hukum kritis” (Critical
Legal Studies).
Critical Legal Studies timbul sebagai kritik terhadap keadaan krisis hukum yang gagal
berperan sebagai alat perubahan dan sebagai alat untuk mencapai keadilan yang
sebenarnya. Krisis hukum itu bersumber pada gejolak sosial pada masa tahun 1960-an.
Pada masa itu, praktik hukum menampilkan 2 (dua) wajah keadilan yang kontras. Di satu
sisi, beberapa pengadilan dan beberapa bagian dari profesi hukum telah menjadi juru
bicara bagi kelompok masyarakat yang tidak beruntung. Tetapi di sisi yang lain, pada saat
yang bersamaan, hukum menampilkan sosoknya yang dilengkapi dengan sepatu boot dan
berlaku represif untuk membasmi setiap anggota masyarakat yang membangkang.
3. HAK ASASI MANUSIA (HAM)
A. Analisis instrument utama dalam kelembagaan HAM internasional
Instrumen utama dalam kelembagaan HAM internasional meliputi:
1) Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights)
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) merupakan langkah besar yang
diambil oleh masyarakat internasional pada tahun 1948. Norma-norma yang terdapat
dalam DUHAM merupakan norma internasional yang disepakati dan diterima oleh
negara-negara di dunia melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). DUHAM
merupakan kerangka tujuan HAM yang dirancang dalam bentuk umum dan
merupakan sumber utama pembentukan dua instrumen HAM, yaitu: Kovenan
Internasional tentang Hak Sipil dan Politik serta Kovenan Internasional tentang Hak
Ekonomi, Sosial dan Budaya. Hak-hak yang terdapat dalam DUHAM merupakan
realisasi dari hak-hak dasar yang terdapat dalam Piagam PBB. Secara keseluruhan,
DUHAM merupakan pedoman bagi penegak hukum dalam melakukan pekerjaannya.
2) Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil
and Political Rights)
Hak-hak dalam DUHAM diatur secara lebih jelas dan rinci dalam Kovenan
Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, yang mulai berlaku secara internasional
sejak Maret 1976. Konvenan ini mengatur mengenai: Hak hidup; Hak untuk tidak
disiksa, diperlakukan atau dihukum secara kejam, tidak manusiawi atau direndahkan
martabat; Hak atas kemerdekaan dan keamanan pribadi; Hak untuk tidak dipenjara
semata-mata atas dasar ketidakmampuan memenuhi kewajiban kontraktual; Hak atas
persamaan kedudukan di depan pengadilan dan badan peradilan; dan Hak untuk tidak
dihukum dengan hukuman yang berlaku surut dalam penerapan hukum pidana.
Kovenan ini telah disahkan oleh lebih dari 100 negara di dunia. Indonesia turut
mengaksesinya atau pengesahannya melalui Undang-Undang No. 12 tahun 2005,
sehingga mengikat pemerintah beserta aparatnya. Pelaksanaan Kovenan ini diawasi
oleh Komite Hak Asasi Manusia.
3) Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (International
Covenant on Economic, Social dan Cultural Rights)
Kovenan ini mulai berlaku pada Januari 1976. Indonesia melalui UU No. 11 tahun
2005 telah mengesahkannya. Alasan perlunya mempertimbangkan hak-hak dalam
Kovenan ini adalah:
 Hukum berlaku tidak pada keadaan vakum. Aparat penegak hukum dalam
melaksanakan tugasnya tidak lepas dari masalah ekonomi, sosial, dan budaya
masyarakat.
 Asumsi bahwa hak ekonomi dan hak sosial tidak penting diterapkan dalam
pekerjaan sehari-hari adalah tidak benar, karena dalam hak ekonomi terdapat
prinsip non-diskriminasi dan perlindungan terhadap penghilangan paksa.
 Hak-hak yang dilindungi oleh dua Kovenan diakui secara universal sebagai sesuatu
yang saling terkait satu sama lain.
Seperti halnya Kovenan tentang Hak Sipil dan Politik, Kovenan ini dalam
pelaksanaannya juga diawasi oleh suatu Komite (Komite tentang Hak Ekonomi, Sosial
dan Budaya).
4) Traktat-traktat pada bidang khusus HAM
Masyarakat internasional terus memajukan instrument dalam bidang-bidang khusus
yang berkenaan dengan HAM. Ada beberapa traktat khusus. Traktat-traktat tersebut
memiliki kekuatan mengikat bagi Negara yang menjadi pesertanya.

B. Analisis instrument HAM internasional


Secara internasional, HAM termasuk kedalam sistem hukum internasional (dibentuk
oleh masyarakat internasional yang terdiri dari negara-negara). Negara mempunyai
peranan penting dalam membentuk sistem hukum tersebut melalui kebiasaan, perjanjian
internasional, atau bentuk lainnya seperti deklarasi maupun petunjuk teknis. Kemudian
negara menyatakan persetujuannya dan terikat pada hukum internasional tersebut.
Instrument HAM internasional dibuat sebagai panduan setiap Negara dalam
melaksanakan penegakan, penghormatan, dan pemenuhan HAM. Instrumen ini dibentuk
dan dikembangkan dalam berbagai forum internasional. Proses pembentukan instrumen
ini dilakukan oleh perwakilan negara-negara dalam forum internasional melalui proses
yang panjang dan dalam kurun waktu yang cukup lama. Proses pembentukan ini tidak
hanya membahas bentuk dan substansi dari rancangan deklarasi dan perjanjian yang akan
disepakati tetapi juga dibahas secara detail pasal per pasal dan kata perkata dari isi
perjanjian yang kemudian disepakati menjadi perjanjian internasional oleh negara-negara.
Setiap Negara tidak secara otomatis terikat pada sebuah instrument. Negara tersebut
harus menjadi bagian dari instrument tersebut melalui proses ratifikasi, aksesi, ata
suksesi. Setelah melalui salah satu proses, satu Negara akan menjadi Negara pihak. PBB
tidak mewajibkan setiap Negara untuk menjadi pihak dalam semua instrument tersebut.
Dalam sistem PBB, setiap perwakilan dari anggota PBB diundang untuk melakukan
persiapan dan negosiasi terkait dengan pembentukan instrumen HAM internasional. Hal
ini dilakukan agar semua pandangan dari berbagai negara dengan sistem hukum yang
berbeda dapat diakomodasi dalam rancangan perjanjian atau deklarasi. Walaupun pada
akhirnya seperti dalam perjanjian internasional masih dibutuhakan tindakan lebih lanjut
dari negara-negara untuk menandatangani, mensahkan atau mensuksesi dan
mentransformasikannya ke dalam hukum nasional dari perjanjian tersebut.

C. Analisis terkait peristiwa pelanggaran HAM berat yang menjadi isu internasional
Salah satu peristiwa pelanggaran HAM berat yang menjadi isu internasional adalah
kekerasan etnis Rohingya Myanmar. Kasus ini merupakan salah satu kasus pelanggaran
HAM terberat di dunia. Kasus pelanggaran yang dilakukan oleh pemerintahan Myanmar
terhadap etnis Rohingya sudah lama terjadi. Kasus ini bukanlah kasus yang baru-baru ini
terjadi dikarenakan perlakuan yang kurang baik bagi etnis rohingya ini sudah dialami
sejak tahun 1962. Bentuk perlakuannya pun merupakan upaya untuk mengusir kaum
Rohingnya secara paksa dari Myanmar. Upaya untuk mengusir secara paksa digunakan
beberapa tindakan mulai dari penyitaan aset tempat tinggal, kerja paksa, extra judicial
killing  (pembunuhan tanpa proses hukum), propaganda anti-rohingya, dan lain-lain.
Upaya tersebut dilakukan pada masa pemerintahan U Nay Win yang menjadi presiden
pada saat itu.
Kejahatan terhadap hak kemanusiaan etnis Rohingnya merupakan crimes against
humanity of deportation or forcible transfer of population. Kemudian, dalam forum
internasional, Presiden Myanmar yaitu Thein Sein mengatakan bahwa “Rohingya are not
our people and we have no duty to protect them”. Tidak hanya itu, Presiden Thein Sein
juga menyampaikan bahwa kehadiran etnis rohingnya merupakan salah satu ancaman
bagi keamanan nasional negaranya. Oleh karena itu, rakyat Rohingya mengalami
tindakan kekerasan dan ancaman serta tekanan baik secara fisik maupun mental dari
tindakan Pemerintah Myanmar. Sebagai manusia biasa, kelompok etnis Rohingya
merupakan korban dari adanya tindakan pelanggaran HAM yang seharusnya tidak boleh
terjadi kepada mereka.
Jika dianalisis menggunakan Theories of Human Rights Abuses and Advocacy, maka
tindakan sistematis yang dilakukan oleh Pemerintahan Myanmar kepada etnis Rohingya
merupakan kasus pelanggaran HAM berat. Dalam Theories of Human Rights Abuses and
Advocacy terdapat kutipan yang menjelaskan bahwa:
“Finally, human rights function as high-priority norms or prima rights that imply for
both individuals and governments, and the government has the main responsibility to
protect and uphold a citizen’s rights”.
Dalam kutipan tersebut terlihat jelas bahwa negara sudah seharusnya memberikan
perlindungan terhadap warga negaranya dengan cara memberikan hak asasi mereka yang
bersifat mutlak dan dibawa sejak lahir. Negara seharusnya mampu untuk melindungi hak
warga negaranya dan tidak pandang bulu dalam memberikan hak-hak tersebut. Namun,
tindakan yang dilakukan oleh Pemerintah Myanmar bertolak belakang dengan peran
negara yang seharusnya mengayomi dan melindungi warga negaranya agar mereka dapat
terhindar dari berbagai bentuk ancaman, baik dari luar (external) maupun
dalam (internal).
Berdasarkan pemaparan diatas maka tindakan yang dilakukan oleh Pemerintah
Myanmar terhadap Etnis Rohingya menunjukan bahwa Myanmar tidak menganggap
eksistensinya Etnis Rohingya dan tidak mengakui adanya HAM pada Etnis Rohingya.
Hal ini menunjukan bahwa masih ada ketidakadilan di dunia terhadap HAM. Perlakuan
yang diterima oleh etnis Rohingya bisa menjadi pukulan keras bagi kita untuk sadar
sebagai individu karena dengan adanya kasus ini terbukti lemahnya HAM di dunia.
4. ETIKA PROFESI HUKUM
A. Analisis ciri moralitas yang tinggi disertai contoh
Menurut Frans Magnis dan Suseno, ciri moralitas yang tinggi meliputi tiga hal, antara
lain:
1) Berani berbuat dengan tekad untuk bertindak sesuai dengan tuntutan profesi
2) Sadar akan kewajiban
3) Memiliki idealisme yang tinggi
Sebagai contoh, profesi hukum adalah profesi yang melekat pada dan dilaksanakan
oleh aparatur hukum dalam suatu pemerintahan suatu negara. Profesi hukum dari aparatur
hukum negara Republik Indonesia dewasa ini diatur dalam ketetapan MPR II/MPR/1993
tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara. Pengemban profesi hukum harus bekerja
secara profesional dan fungsional, memiliki tingkat ketelitian, kehati-hatian, ketekunan.
kritis, dan pengabdian yang tinggi karena mereka bertanggung jawab kepada diri sendiri
dan sesama anggota masyarakat, bahkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Pengemban
profesi hukum bekerja sesuai dengan kode etik profesinya, apabila terjadi penyimpangan
atau pelanggaran kode etik, mereka harus rela mempertanggungjawabkan akibatnya
sesuai dengan tuntutan kode etik. Biasanya dalam organisasi profesi, ada dewan
kehormatan yang akan mengoreksi pelanggaran kode etik. Sehingga, dalam pelaksanaan
profesinya, mereka dituntut untuk memiliki ciri moralitas yang tinggi seperti yang telah
disebutkan diatas.

B. Analisis tentang elemen pokok dalam professional hukum


Konsep yang diutarakan oleh Anthony Kronman dalam bukunya The Lost
Lawyer (1993), menggambarkan seorang profesional hukum yang ideal sebagai
seorang lawyer statesman. Profesional hukum tersebut harus memiliki tiga elemen pokok
berikut ini: kecakapan teknis yuridis, sifat yang terpuji, serta kebijaksanaan yang
membumi (phronesis). Dilihat dari karakter-karakter tersebut, profesional hukum yang
ideal di mata Kronman, tak lain dari profesional hukum yang lahir di tengah budaya
hukum ‘klasik'. Memang itu yang dimaksudkan Kronman, yaitu nostalgia pada
figur phronimos atau ‘sang bijak' ala Aristoteles. Masalahnya, saat ini kita telah mulai
menuju ke arah pembentukan budaya hukum ‘modern'. 
Seperti kritik William Twining dalam Law In Context, Enlarging a Discipline (1997),
konsep tersebut akan membawa profesi hukum kembali pada paternalisme dan elitisme.
Bukankah akibat dari adanya modernisasi profesional hukum justru dituntut untuk
mampu membuktikan bahwa dirinya patut dipercaya? Di sisi lain, bukankah artinya
kepercayaan ini tidak bisa begitu saja diberikan, hanya karena dan oleh karena,
profesional hukum tersebut adalah ‘sang bijak' itu tadi? Jika memang hakim sudah pasti
bijaksana, tentu tidak akan ada keraguan yang mempertanyakan integritas para
hakim agung seperti yang telah terjadi di Indonesia saat ini. Bukankah
hakim agung adalah seorang hakim yang merunut arti katanya adalah ‘sang bijak' itu
tadi?
Selanjutnya, di kutub sebaliknya, Richard A. Posner justru menyambut proses
pergeseran budaya hukum ‘klasik' ke budaya hukum ‘modern' ini dengan positif. Proses
perubahan tersebut bukanlah sebuah kemunduran budaya, namun justru dasar bagi
berkembangnya suatu budaya hukum baru. Menurut Posner, profesi hukum tak lain dari
sebuah kartel atau sindikat yang berusaha melindungi anggotanya dari pengaruh
eksternal, yaitu pengaruh pasar dan regulasi pemerintah, serta pengaruh internal, yaitu
persaingan antar sesama mereka. Seorang profesional hukum yang ideal adalah
seorang sociaal engineer. Dia harus lebih terorientasi pada penelitian empiris,
sebagaimana ilmuwan-ilmuwan pada umumnya, serta harus lepas dari kemampuan
yuridis ‘klasik' yang menitikberatkan pada interpretasi teks dan argumentasi praktis.
Hukum di mata Posner adalah suatu bidang ilmu yang otonom.
Setelah melihat dua konsep ideal tersebut, tentu kita berpikir bahwa modernisasi telah
membawa kita pada satu kondisi yang dilematis. Ibarat makan buah simalakama, apabila
kita ikuti konsep nostalgia Kronman, telah terbukti bahwa ‘sang bijak' belum tentu bijak,
sedang apabila kita ikuti konsep teknokrasi Posner kita akan jatuh ke dalam pragmatisme
yang bukan tidak mungkin membuat hukum rimba kembali berlaku (mungkin bukan lagi
berupa kekuatan okol atau kekuasaan, namun berupa kekuatan kapital). Tentu ini bukan
pilihan mudah. Untungnya, di samping mengkritik, Hol dan Loth juga memberikan
konsep jalan tengah. Menurut hemat penulis konsep ini merupakan konsep jalan ke tiga
atau konsep ‘postmodernisme'.
 
C. Analisis terkait profesi yang luhur
Officium nobile dapat diartikan sebagai profesi yang luhur. Profesi luhur merupakan
profesi yang menekankan pada pengabdian kepada masyarakat sehingga merupakan suatu
pelayanan pada manusia atau masyarakat dengan motivasi utama bukan untuk
memperoleh nafkah dari pekerjaannya. Profesi pada umumnya terdapat dua hal yang
harus ditegakkan yaitu, menjalankan profesinya dengan bertanggung jawab baik terhadap
pekerjaan maupun hasil dari pekerjaan, serta tanggung jawab terhadap dampak pekerjaan
yang dilakukan tidak sampai merusak lingkungan hidup (berkaitan dengan prinsip kedua,
hormat terhadap hak-hak orang lain). Untuk menjamin pelayanan terhadap masyarakat
oleh profesi tertentu, diperlukan kode etik.
Kode etik adalah prinsip-prinsip yang wajib ditegakkan oleh anggota dari komunitas
profesi tertentu. Kode etik profesi dapat dijadikan pedoman untuk memberdayakan
kemahiran, spesifikas, atau keahlian yang sudah dikuasai oleh pengemban profesi.
Dengan kode etik, pengemban profesi dituntut meningkatkan karier atau prestasi-
prestasinya. Kalau itu merupakan kode etik profesi hukum, maka pengemban profesi
hukum dituntut menyelaraskan tugas-tugasnya secara benar dan bermoral. Kode etik
menjadi terasa lebih penting lagi kehadirannya ketika tantangan yang menghadang
profesi hukum makin berat dan kompleks, khususnya ketika berhadapan dengan
tantangan yang bersumber dari komunitas elit kekuasaan. Sikap elit kekuasaan terkadang
bukan hanya tidak menghiraukan norma moral dan yuridis, tetapi juga
mempermainkannya.

Anda mungkin juga menyukai