1. FILSAFAT
A. Analisis kaitan tiga kelompok kajian filsafat dalam ilmu hukum
Ilmu hukum Indonesia yang dibangun dari teori hukum Indonesia dan filsafat hukum
Indonesia jika ditopang dari bangunan kefilsafatan ilmu, maka memiliki landasan
ontologis dualisme (materialisme dan spiritualisme sekaligus), landasan epistimologi
rasionalisme, empirisme dan wahyu sekaligus, serta landasan aksiologi nilai moral atau
etika dan bahkan nilai keagamaan yang sakral.
Dikaji dari perspektif Ontologi Ilmu Hukum maka ilmu hukum menetapkan kajian
substansial kepada kaidah-kaidah hukum tertulis ataupun tidak tertulis maupun kaidah
bersifat abstrak ataupun kontrit. Sedangkan dari aspek Epistemologi Ilmu Hukum maka
ilmu hukum menetapkan kajian fundamental kepada aspek kebenaran dengan teori
Kebenaran (The Correspondence Theory of Truth) dan Teori Kebenaran Pragmatik (The
Pragmatic Theory of Truth) serta dengan metode Logika – hipotetika – verifikasi dan
ditinjau dari aspek Aksiologi Ilmu Hukum maka ilmu hukum mempunyai 4 (empat)
pengaruh pendidikan hukum dan untuk bidang-bidang lainnya serta mempunyai 2 (dua)
fungsi yaitu fungsi sismatisasi serta fungsi pertimbangan dan pencerahan terhadap
kebekuan yang melanda dunia hukum. Oleh karena demikian, maka disarankan ilmu
hukum harus bersifat integratif pasca globalisasi oleh karena apabila tidak bersifat
integratif akan mengakibatkan adanya disintegrasi dalam Ilmu Hukum secara Ontologis,
Epistemologis maupun Aksiologis dan untuk mencegah adanya disintegrasi dalam Ilmu
Hukum maka perlu ditumbuhkembangkan iklim Integritas dalam diri para ahli teoritik
dan praktik.
B. Analisis bukti bahwa pemikiran CLS relevan dalam konteks Indonesia yang sekaligus
membuktikan kelemahan dari aliran positivisme
Dalam konteks Indonesia, kelemahan aliran positivisme terlihat pada saat Orde Baru.
Berbagai peraturan perundang-undangan dibuat semata-mata sebagai legitimasi penguasa
dan mengorbankan rakyat. Imbas dari itu adalah munculnya gerakan reformasi yang
menekankan bahwa Negara harus berdasarkan hukum dalam arti yang sebenarnya.
Walaupun hasil reformasi juga masih antara “ada” dan “tiada”, hal tersebut membuktikan
bahwa di Indonesia semangat untuk melakukan kritik atas kebijakan hukum penguasa
menjadi terbuka.
Penggunaan CLS sendiri untuk menganalisis hukum di Indonesia paling mudah
dilakukan terhadap pembangunan hukum pada masa Orde Baru. Pada masa inilah dapat
dilihat secara jelas kepentingan-kepentingan ekonomi dan politik dominan yang
menghuni ide tata hukum. Kepentingan atas pertumbuhan ekonomi memaksa kebijakan
kemudahan usaha dengan jalan pemberian kredit yang disertai dengan deregulasi dan
debirokratisasi. Kepentingan pembangunan ekonomi mensyaratkan stabilitas politik yang
dilakukan dengan cara mengurangi hak sipil dan politik rakyat.
Sebagai salah satu contoh, disini akan diungkapkan kepentingan kelas dominan dalam
menentukan substansi Rancangan Undang-Undang Pemilu yang saat ini dibahas di DPR.
Pemilu tahun 2004 memiliki arti strategis. Bagi penguasa, momen ini memiliki arti untuk
melanggengkan kekuasaannya. Sehingga sejak saat ini pun banyak langkah dan kebijakan
yang dilandasi pertimbangan kepentingan kekuasaan tahun 2004. Di sisi lain, masa
transisi politik adalah masa paling mudah melakukan perubahan karena tidak adanya
kekuatan yang dominan.
C. Analisis bahwa pada prinsipnya CLS menolak anggapan ahli hukum tradisional
Teori hukum tradisional mengajarkan, hukum merupakan seperangkat aturan dan
prinsip-prinsip yang memungkinkan masyarakat mempertahankan ketertiban dan
kebebasannya. Para penganut teori hukum tradisional berkeyakinan bahwa hukum
haruslah netral dan dapat diterapkan kepada siapa saja secara adil, tanpa memandang
kekayaan, ras, gender atau harta. Meskipun mereka tidak satu pendapat mengenai apakah
dasar yang terbaik bagi prinsip-prinsip hukum, yakni apakah dasarnya adalah wahyu
Tuhan, etika sekuler, pengalaman masyarakat, atau kehendak mayoritas. Akan tetapi,
umumnya mereka setuju terhadap kemungkinan terpisahnya antara hukum dan politik,
hukum tersebut menurut mereka akan diterapkan oleh pengadilan secara adil.
Sebagaimana diketahui bahwa banyak kekecewaan terhadap filsafat, teori, dan praktek
hukum yang terjadi di paruh kedua dari abad ke-20. Sedangkan aliran lama yang terkenal
saat itu, semisal aliran realisme hukum, di samping perannya semakin tidak bersinar,
semakin tidak populer, dan juga ternyata tidak dapat menjawab berbagai tantangan zaman
di bidang hukum. Sangat terasa, terutama pada akhir abad ke-20, bahwa diperlukan
adanya suatu aliran dan gebrakan baru dalam praktek, teori, dan filsafat hukum untuk
menjawab tantangan zaman tersebut.
Menyadari akan kebobrokan hukum yang sudah sampai pada tataran teoritis dan
filsafat ini, maka pada akhir abad ke-20, tepatnya mulai dekade 1970-an, beberapa ahli
hukum mulai melihat hukum dengan kacamata yang kritis, bahkan sangat kritis, dengan
gerakannya yang terbilang revolusioner, akhimya memunculkan suatu aliran baru dalam
filsafat hukum, yang kemudian dikenal dengan sebutan “aliran hukum kritis” (Critical
Legal Studies).
Critical Legal Studies timbul sebagai kritik terhadap keadaan krisis hukum yang gagal
berperan sebagai alat perubahan dan sebagai alat untuk mencapai keadilan yang
sebenarnya. Krisis hukum itu bersumber pada gejolak sosial pada masa tahun 1960-an.
Pada masa itu, praktik hukum menampilkan 2 (dua) wajah keadilan yang kontras. Di satu
sisi, beberapa pengadilan dan beberapa bagian dari profesi hukum telah menjadi juru
bicara bagi kelompok masyarakat yang tidak beruntung. Tetapi di sisi yang lain, pada saat
yang bersamaan, hukum menampilkan sosoknya yang dilengkapi dengan sepatu boot dan
berlaku represif untuk membasmi setiap anggota masyarakat yang membangkang.
3. HAK ASASI MANUSIA (HAM)
A. Analisis instrument utama dalam kelembagaan HAM internasional
Instrumen utama dalam kelembagaan HAM internasional meliputi:
1) Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights)
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) merupakan langkah besar yang
diambil oleh masyarakat internasional pada tahun 1948. Norma-norma yang terdapat
dalam DUHAM merupakan norma internasional yang disepakati dan diterima oleh
negara-negara di dunia melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). DUHAM
merupakan kerangka tujuan HAM yang dirancang dalam bentuk umum dan
merupakan sumber utama pembentukan dua instrumen HAM, yaitu: Kovenan
Internasional tentang Hak Sipil dan Politik serta Kovenan Internasional tentang Hak
Ekonomi, Sosial dan Budaya. Hak-hak yang terdapat dalam DUHAM merupakan
realisasi dari hak-hak dasar yang terdapat dalam Piagam PBB. Secara keseluruhan,
DUHAM merupakan pedoman bagi penegak hukum dalam melakukan pekerjaannya.
2) Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil
and Political Rights)
Hak-hak dalam DUHAM diatur secara lebih jelas dan rinci dalam Kovenan
Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, yang mulai berlaku secara internasional
sejak Maret 1976. Konvenan ini mengatur mengenai: Hak hidup; Hak untuk tidak
disiksa, diperlakukan atau dihukum secara kejam, tidak manusiawi atau direndahkan
martabat; Hak atas kemerdekaan dan keamanan pribadi; Hak untuk tidak dipenjara
semata-mata atas dasar ketidakmampuan memenuhi kewajiban kontraktual; Hak atas
persamaan kedudukan di depan pengadilan dan badan peradilan; dan Hak untuk tidak
dihukum dengan hukuman yang berlaku surut dalam penerapan hukum pidana.
Kovenan ini telah disahkan oleh lebih dari 100 negara di dunia. Indonesia turut
mengaksesinya atau pengesahannya melalui Undang-Undang No. 12 tahun 2005,
sehingga mengikat pemerintah beserta aparatnya. Pelaksanaan Kovenan ini diawasi
oleh Komite Hak Asasi Manusia.
3) Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (International
Covenant on Economic, Social dan Cultural Rights)
Kovenan ini mulai berlaku pada Januari 1976. Indonesia melalui UU No. 11 tahun
2005 telah mengesahkannya. Alasan perlunya mempertimbangkan hak-hak dalam
Kovenan ini adalah:
Hukum berlaku tidak pada keadaan vakum. Aparat penegak hukum dalam
melaksanakan tugasnya tidak lepas dari masalah ekonomi, sosial, dan budaya
masyarakat.
Asumsi bahwa hak ekonomi dan hak sosial tidak penting diterapkan dalam
pekerjaan sehari-hari adalah tidak benar, karena dalam hak ekonomi terdapat
prinsip non-diskriminasi dan perlindungan terhadap penghilangan paksa.
Hak-hak yang dilindungi oleh dua Kovenan diakui secara universal sebagai sesuatu
yang saling terkait satu sama lain.
Seperti halnya Kovenan tentang Hak Sipil dan Politik, Kovenan ini dalam
pelaksanaannya juga diawasi oleh suatu Komite (Komite tentang Hak Ekonomi, Sosial
dan Budaya).
4) Traktat-traktat pada bidang khusus HAM
Masyarakat internasional terus memajukan instrument dalam bidang-bidang khusus
yang berkenaan dengan HAM. Ada beberapa traktat khusus. Traktat-traktat tersebut
memiliki kekuatan mengikat bagi Negara yang menjadi pesertanya.
C. Analisis terkait peristiwa pelanggaran HAM berat yang menjadi isu internasional
Salah satu peristiwa pelanggaran HAM berat yang menjadi isu internasional adalah
kekerasan etnis Rohingya Myanmar. Kasus ini merupakan salah satu kasus pelanggaran
HAM terberat di dunia. Kasus pelanggaran yang dilakukan oleh pemerintahan Myanmar
terhadap etnis Rohingya sudah lama terjadi. Kasus ini bukanlah kasus yang baru-baru ini
terjadi dikarenakan perlakuan yang kurang baik bagi etnis rohingya ini sudah dialami
sejak tahun 1962. Bentuk perlakuannya pun merupakan upaya untuk mengusir kaum
Rohingnya secara paksa dari Myanmar. Upaya untuk mengusir secara paksa digunakan
beberapa tindakan mulai dari penyitaan aset tempat tinggal, kerja paksa, extra judicial
killing (pembunuhan tanpa proses hukum), propaganda anti-rohingya, dan lain-lain.
Upaya tersebut dilakukan pada masa pemerintahan U Nay Win yang menjadi presiden
pada saat itu.
Kejahatan terhadap hak kemanusiaan etnis Rohingnya merupakan crimes against
humanity of deportation or forcible transfer of population. Kemudian, dalam forum
internasional, Presiden Myanmar yaitu Thein Sein mengatakan bahwa “Rohingya are not
our people and we have no duty to protect them”. Tidak hanya itu, Presiden Thein Sein
juga menyampaikan bahwa kehadiran etnis rohingnya merupakan salah satu ancaman
bagi keamanan nasional negaranya. Oleh karena itu, rakyat Rohingya mengalami
tindakan kekerasan dan ancaman serta tekanan baik secara fisik maupun mental dari
tindakan Pemerintah Myanmar. Sebagai manusia biasa, kelompok etnis Rohingya
merupakan korban dari adanya tindakan pelanggaran HAM yang seharusnya tidak boleh
terjadi kepada mereka.
Jika dianalisis menggunakan Theories of Human Rights Abuses and Advocacy, maka
tindakan sistematis yang dilakukan oleh Pemerintahan Myanmar kepada etnis Rohingya
merupakan kasus pelanggaran HAM berat. Dalam Theories of Human Rights Abuses and
Advocacy terdapat kutipan yang menjelaskan bahwa:
“Finally, human rights function as high-priority norms or prima rights that imply for
both individuals and governments, and the government has the main responsibility to
protect and uphold a citizen’s rights”.
Dalam kutipan tersebut terlihat jelas bahwa negara sudah seharusnya memberikan
perlindungan terhadap warga negaranya dengan cara memberikan hak asasi mereka yang
bersifat mutlak dan dibawa sejak lahir. Negara seharusnya mampu untuk melindungi hak
warga negaranya dan tidak pandang bulu dalam memberikan hak-hak tersebut. Namun,
tindakan yang dilakukan oleh Pemerintah Myanmar bertolak belakang dengan peran
negara yang seharusnya mengayomi dan melindungi warga negaranya agar mereka dapat
terhindar dari berbagai bentuk ancaman, baik dari luar (external) maupun
dalam (internal).
Berdasarkan pemaparan diatas maka tindakan yang dilakukan oleh Pemerintah
Myanmar terhadap Etnis Rohingya menunjukan bahwa Myanmar tidak menganggap
eksistensinya Etnis Rohingya dan tidak mengakui adanya HAM pada Etnis Rohingya.
Hal ini menunjukan bahwa masih ada ketidakadilan di dunia terhadap HAM. Perlakuan
yang diterima oleh etnis Rohingya bisa menjadi pukulan keras bagi kita untuk sadar
sebagai individu karena dengan adanya kasus ini terbukti lemahnya HAM di dunia.
4. ETIKA PROFESI HUKUM
A. Analisis ciri moralitas yang tinggi disertai contoh
Menurut Frans Magnis dan Suseno, ciri moralitas yang tinggi meliputi tiga hal, antara
lain:
1) Berani berbuat dengan tekad untuk bertindak sesuai dengan tuntutan profesi
2) Sadar akan kewajiban
3) Memiliki idealisme yang tinggi
Sebagai contoh, profesi hukum adalah profesi yang melekat pada dan dilaksanakan
oleh aparatur hukum dalam suatu pemerintahan suatu negara. Profesi hukum dari aparatur
hukum negara Republik Indonesia dewasa ini diatur dalam ketetapan MPR II/MPR/1993
tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara. Pengemban profesi hukum harus bekerja
secara profesional dan fungsional, memiliki tingkat ketelitian, kehati-hatian, ketekunan.
kritis, dan pengabdian yang tinggi karena mereka bertanggung jawab kepada diri sendiri
dan sesama anggota masyarakat, bahkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Pengemban
profesi hukum bekerja sesuai dengan kode etik profesinya, apabila terjadi penyimpangan
atau pelanggaran kode etik, mereka harus rela mempertanggungjawabkan akibatnya
sesuai dengan tuntutan kode etik. Biasanya dalam organisasi profesi, ada dewan
kehormatan yang akan mengoreksi pelanggaran kode etik. Sehingga, dalam pelaksanaan
profesinya, mereka dituntut untuk memiliki ciri moralitas yang tinggi seperti yang telah
disebutkan diatas.