Anda di halaman 1dari 8

Pendekatan Sosiologi Terhadap Hukum

A. Tiga Pilihan Cara Dalam Hukum

Apabila kita melihat hukum sebagai perwujudan dari nilai nilai tertentu,
pilihan tersebut akan membawa kita kepada metode yang bersifat idealis.
Metode ini akan berusaha untuk menguji hukum yang mau mewujudkan nilai-
nilai tertentu. Di sisi lain, apabila kita memilih untuk melihat hukum sebagai
suatu sistem peraturan peraturan yang abstra, perhatian kita akan terpusat
pada hukum sebagai lembaga yang benar-benar otonom, yaitu yang bisa kita
bicarakan sebagai subjek tersendiri. Hal ini akan membawa kita kepada
metode normatif sesuai dengan cara pembahasannya yang bersifat analitis.
Sedangkan apabila kita memahami hukum sebagai alat untuk mengatur
masyarakat, metode yang digunakan bersifat sosiologis.
Hal ini sangat berbeda dengan pemahaman hukum dari kedua
pendekatan yang pertama pendekatan terakhir ini mengaitkan hukum kepada
usaha untuk mencapai tujuan-tujuan serta memenuhi kebutuhan kongkrit
dalam masyarakat oleh karena itu, metode itu memusatkan perhatiannya
kepada pengamatan mengenai efektivitas hukum. Ketiga metode tersebut
mendapatkan ruang gerak yang cukup kritis dalam pengkajian hukum dewasa
ini titik sebagai langkah awal penulis akan mengajak pembaca untuk
menjelajahi masing-masing metode tersebut.

1. kajian normatif ( analitis-dogmatis )


Kajian ini memandang hukum dalam wujud sebagai kaidah yang
menentukan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan.  Kajian ini
bersifat Preskriptif, menentukan apa yang salah dan apa yang benar. Kajian
normatif ini merupakan kajian yang sangat menentukan Puncak
perkembangan hukum sejak abad ke-19 pada waktu itu sebagai akibat
kemajuan teknologi, industri,  perdagangan dan transportasi, terjadilah
kekosongan besar dalam bidang perdagangan. Berdasarkan kekosongan
tersebut hukum memberikan respon yang sangat masif dan melahirkan suatu
Orde Baru dalam tatanan yang tidak ada tandingnya. Hal inilah yang
membuat metode-metode kajian hukum menjadi sangat normatif,  positivistik
dan  legalistik.
 Metode analitis dogmatis ini pada hakikatnya nya hanya merupakan
konsekuensi dari fenomena the statutoriness of law saja. Metode tersebut
muncul karena kebutuhan dari kehadiran hukum perundang-undangan yang
semakin mendesak, guna mengisi kekosongan dalam dunia perdagangan
dalam era revolusi industri. Metode ini digunakan oleh para peneliti hukum
pada masa berlakunya anggapan ‘ilmu untuk ilmu’ dan ‘seni untuk seni’,
sehingga pada saat itu peneliti hukum berpandangan bahwa ‘hukum untuk
hukum’ dan bukan hukum untuk masyarakat. Metode ini tidak mengaitkan
peranan hukum bagi masyarakat metode ini begitu kental dirasakan dalam
ajaran Hans Kelsen yang dikenal dengan ‘Ajaran Hukum Murni’.
Ilmu hukum dogmatik mempunyai ciri sebagai berikut.
1) Empiris-analitis
Ini berarti bahwa ilmu hukum dogmatik memberikan suatu pemaparan
dan analisis tentang isi dan struktur hukum yang berlaku. Ia tidak menjelaskan,
meskipun ia memikirkan berbagai pengertian dalam hukum,
2) Mensistematisasi
Dalam hal ini gejala-gejala hukum yang dipaparkan dan dianalisis itu,
tidaklah perse (demi dirinya), mengandung arti bahwa suatu sistem hukum yang
logis konsisten telah dirancang.
3) Menginterpretasi dari hukum yang berlaku, bukan deskripsi
(pemaparan). Ilmu hukum ini menilai hukum yang berlaku dalam masyarakat.

Tentang dogmatika hukum kita dapat gambarkan sebagai berikut

DOGMATIKA HUKUM

Objek Hukum positif

Tujuan Teoritikal, terutama praktikal

Perspektif Internal

Teori kebenaran Pragmatis

Proposisi Informatif, normatif, evaluatif.

2. Kajian Filosofis (Metode Transendental)

Kajian ini lebih menitikberatkan pada seperangkat nilai-nilai ideal, yang


seyogyanya senantiasa menjadi rujukan dalam setiap pembentukan, pengaturan,
dan pelaksanaan kaidah hukum. Kajian ini lebih diperankan oleh kajian filsafat
hukum, atau law in ideas. Kajian filosofis ada dalam kajian hukum, karena studi
hukum dimulai tidak sebagai disiplin yang sifatnya otonom, melainkan sebagai
bagian dari studi filsafat.

Filsafat hukum memusatkan perhatiannya kepada pertanyaan


pertanyaan filosofis dari hukum. Mempersoalkan hukum dan keadilan, hukum
dan kebebasan, hukum dan kekuasaan. (Mengenai pengertian dari filsafat
hukum ini akan dibahas pada bab mengenai hukum). Pengembangan filsafat
hukum mencakup seperti di bawah ini.

1.Ontologi hukum merefleksikan hakikat hukum dan konsep


konsep fundamental terkait, yaitu demokrasi, hubungan.
hukum dengan orang.

2. Aksiologi hukum merefleksikan isi dan nilai yang termuat


dalam hukum, yaitu kelayakan, persamaan, keadilan, kebebasan dan
kebenaran.
3. Ideologi hukum, yang merefleksikan wawasan manusia dan
masyarakat yang melegitimasi hukum.

4. Epistemologi hukum, yang merefleksikan sejauh mana pengetahuan


tentang hukum dapat dijalankan.

5. Teleologi hukum, yang merefleksikan makna serta tujuan dari hukum.

6. Ajaran ilmu, yang merefleksikan kriteria keilmuan ilmu hukum.

7. Logika hukum, yang merefleksikan aturan berpikir dalam hukum.

Filsafat hukum dapat digambarkan sebagai berikut.

FILSAFAT HUKUM

Objek Batas-batas dari kaidah hukum

Tujuan Teoritikal

Pespektif Internal

Teori kebenaran Pragmatis

Proposisi Informatif, normatif, evaluatif.

Pembahasan filsafat hukum mencakup dua hal, yakni apa landasan dari
kekuatan mengikat dari hukum itu? dan berdasarkan apa kita menilai keadilan
(richtigheid; rechtsvaardigheid) dalam hukum.
Beberapa Aliran dalam kajian ini, adalah sebagai berikut.

1. Hukum Kodrat
Merupakan aliran terpenting dalam filsafat hukum sejak permulaan. Pada
zaman Yunani, hukum kodrat ini diterangkan oleh Aristoteles. Hukum ini
merupakan pelaksanaan dari hukum alam oleh manusia, atas dasar persyaratan
khusus yang diperlukan oleh keadaan dunia.

Mengenai konsepsinya, Thomas Aquino membagi asas-asas hukum


kodrat ini menjadi dua bagian: (1) Principia Prima, adalah asas-asas yang dimiliki
oleh manusia sejak lahir dan bersifat mutlak, dalam arti tidak dapat diasingkan
darinya. Oleh karena sifatnya yang demikian mutlak (Ketentuan Tuhan), principia
prima ini tidak dapat berubah di tempat manapun dan dalam keadaan apapun.
(2) Principia Secundaria, merupakan asas yang diturunkan dari principia prima,
tidak berlaku mutlak dan dapat berubah menurut tempat dan waktu. Ini
merupakan penafsiran manusia terhadap principia prima.
2. Idealisme
Menurut Imanuel Kant (1724-1804), gejala-gejala etika dan hukum harus
dipahami dari sudut yang sama. Untuk itu, Kant mencari aturan-aturan atau asas-
asas a-priori, yakni yang tidak bertumpu pada pengalaman, yang dapat menjadi
suatu pedoman yang mengikat bagi perilaku kita. Oleh karena itu, Kant
mengkonstalasikan apa yang dinamakan faktum der Vernuft, artinya mengalami
dalam diri kita sendiri gejala wajib (pflicht) yang dust sollst (harus ada).

3. Marxisme
Menurut Marx, dialektika tidak berlangsung dalam alam pikiran (yang
dalam kenyatan dibuat menjadi dapat dimengerti), akan tetapi berlangsung
dalam kenyataan itu sendiri. Pada analisis Marx tentang kenyataan menunjukkan
bahwa karya manusia memainkan peranan penting yang sentral. Karya manusia
berada dalam suatu hubungan praktikal terhadap alam, yang dialamnya alam
diubah bentuknya dan dibuat berguna untuk memenuhi kebutuhan hidup
manusia. Jadi, dalam pemikiran Marx, produksi dan pemenuhan kebutuhan
merupakan kategori-kategori sentral. Pada diri Marx tidak terdapat pemikiran
hukum dan negara sebagai bentuk perwujudan dari kebebasan, akan tetapi
terdapat pemikiran bahwa hukum adalah sebagai alat penindas warga negara.

4. Reine Rechtslehre
Hukum dalam pandangan Hans Kelsen, telah direduksi pada sifatnya
yang normatif. Dari perspektif ini, hukum harus dipandang sebagai suatu kaidah
yang tersusun secara Hierakhikal, yang berlandaskan pada suatu grundnorm. Ini
harus dipandang sebagai suatu sudut pandang, Hipotetikal. Jika kita hendak
memaparkan (mengerti, memahami) hukum menurut Hans Kelsen, kita harus
memandangnya sebagai suatu Stufenbau.

3. Kajian Empiris

Kajian ini memandang hukum sebagai kenyataan yang mencakup


kenyataan sosial, kultur. Kajian ini bersifat deskriptif. Jika dilihat dari peralihan
zaman dari abad ke-19 ke abad ke-20, metode empiris ini lahir disebabkan
karena metode atau kajian hukum secara normatif, tidak lagi mendapat
tempat.Dari berbagai macam pendekatan terhadap hukum tersebut di atas,
hukum dapat ditafsirkan sebagai sebuah konsep. Soetandyo Wigjosoebroto,
mengatakan tak ada konsep yang tunggal mengenai apa yang disebuat dengan
hukum itu.
Menurut pendapatnya, dalam sejarah pengkajian hukum, tercatat
sekurang-kurangnya ada tiga konsep. Pertama, hukum dikonsepkan sebagai
asas moralitas atau asas keadilan yang bernilai universal dan menjadi bagian
inheren sistem hukum alam. Kedua, hukum dikonsepkan sebagai kaidah-kaidah
positif yang berlaku pada suatu waktu dan tempat. Tertentu, sebagai produk
eksplisit suatu sumber kekuasaan politik tertentu yang berlegitimasi. Ketiga,
hukum dikonsepkan sebagai institusi sosial yang rill dan fungsional dalam sistem
kehidupan bermasyarakat. Dalam hal ini hukum berperan dalam proses
pemulihan ketertiban, penyelesaian sengketa, maupun dalam proses
pengarahan dan pembentukan pola-pola perilaku yang baru.

Hubungan Konsep Hukum, Tipe Kajian, dan Metode Penelitian

KONSEP TIPE METODE


HUKUM KAJIAN PENELITIAN PENELITI ORIENTASI
Hukum adalah Logika
asas-asas deduksi,
kebenaran berpangkal
dan keadilan premis
yang bersifat normatif
kodrati dan yang diyakini
berlaku Filsafat bersifat self-
universal hukum evident Pemikir Filsafati
Doktrinal,
Hukum adalah bersaranaka
norma-norma Ajaran n terutama
positif di hukum murni logika
dalam sistem yang deduksi
perundang- mengkaji utnuk
undangan Law as it is membangun
hukum written in the sistem Para yuris
nasional books hukum positif kontinental Positivisme
American
Sociological Doktrinal
Hukum adalah Jurisprudenc seperti di
apa yang e yang muka, tetapi
diputuskan mengkaji by juga non
oleh hakim in judge denga doktrinal
concerto, n bersaranaka
tersistematisa mengkaji cou n logika
si sebagai rt behaviour induksi untuk Behaviour
judge made law as it mengkaji cou sociologic Judg
law decided rt behaviour American Lawyer e made law
Sosial/ non
doktrinal
Hukum adalah dengan
pola perilaku pendekatan
sosial yang Sosiologi struktural/
terlembaga hukum, makro dan
eksis sebagai pengkaji Law umumnya
variable sosial as it is in terkuantifikas
yang empiris society i Sosiolog Struktural
Hukum Sosiologi Sosial/ non Sosial – Simbolik
manifestasi atau doktrinal antropologiPengk interaksional
makna-makna antropologi dengan aji humaniora
simbolik para hukum, pendekatan
perilaku sosial pengkaji law interaksional/
sebagai as it is in mikro,
tampak dalam dengan
interaksi antar (human analisis
mereka actions) kualitatif

B. Menuju Pendekatan Sosiologi terhadap Hukum

Perubahan abad ke-19 tersebut, memiliki pengaruh yang sangat penting


bagi munculnya Sosiologi Hukum. Misalnya, industrialisasi yang berkelanjutan
melontarkan persoalan sosiologisnya sendiri, seperti urbanisasi dan gerakan
demokrasi juga menata kembali masyarakat sesuai dengan prinsip kehidupan
demokrasi Kemapanan kehidupan pada abad ke-19 yang penuh dengan
kemajuan di banyak bidang bukanlah akhir atau puncak peradaban manusia.
Pada abad ini kodifikasi bukanlah akhir dari perkembangan kehidupan hukum.

Dominasi tradisi pemikiran hukum analitis-positivitis sejak abad ke-19


perlahan-lahan ditentang oleh munculnya pemikiran yang menempatkan studi
hukum yang tidak lagi berpusat pada perundang-undangan, melainkan dalam
konteks yang luas kajiannya, yaitu masyakat. Pada abad ke-19 ilmu hukum
analitik positivistis memiliki dua corak. Pertama, corak ini sangat sempit dan ada
hubungannya dengan positivisme hukum Eropa, menyamakan hukum dengan
segala peraturan dan asas-asas yang dipakai oleh pengadilan-pengadilan dalam
setiap putusannya.

Para pengusaha ingin mempertahankan hak milik privat atas alat-alat


produksi. Benturan terjadi juga pada ideologi sosialis dan liberal yang sangat
mendorong penelitian penelitian sosiologi hukum untuk dilaksanakan.

Untuk lebih jelasnya, perhatikanlah bagan berikut ini.


C. Pemikiran Hukum secara Sosiologis

Bertolak dari titik pandang praktisi hukum, telah terjadi perubahan-


perubahan yang cepat semenjak Perang Dunia II. Perubahan-perubahan
tersebut disebabkan oleh hal di bawah ini 22

1. Profesi hukum, terutama para pengacara, ruang lingkup


kerjanya kini semakin luas. Hal itu disebabkan karena pihak-pihak yang
memerlukan pelayanan hukum semakin membesar jumlahnya, meliputi semua
lapisan masyarakat (misalnya dengan badan-badan bantuan hukum).

2. Hukum, yang bagi kebanyakan orang, tidak lebih daripada


sekumpulan undang-undang atau hanya merupakan suatu bidang studi yang
mempelajari tentang undang-undang atau peraturan-peraturan, kini telah
berkembang menjadi suatu ilmu yang dirasakan baru karena ilmu hukum kini
telah dikembangkan menjadi lebih sistematis serta memiliki teknik penelitian,
penelaahan dan pemahaman yang luas dan lebih rumit.

Sebagai akibat dari perkembangan tersebut, para ahli hukum akan


bertemu dengan sejumlah permasalahan yang menuntut suatu cara analisis
yang jauh berbeda dengan cara-cara pendekatan tradisional. Dengan terciptanya
beberapa hak tertentu dari beberapa kelompok, khususnya dalam masyarakat,
hukum akan berkaitan. erat dengan masalah-masalah hubungan antar bangsa,
dengan konsumen, dengan keluarga, bersama-sama dengan meningkatkan
intervensi (ikut campurnya) pemerintah di dalam pengaturan tata kehidupan.

Semuanya itu akan mendorong timbulnya suatu kesadaran di antara para


ahli hukum (kesadaran ini kenyataannya muncul dari berbagai variasi dan
tingkatan) terhadap kelemahan kelemahan atau kekurangan yang ada dalam
pelayanan-pelayanan, atau kekurangan yang diberikan oleh ilmu hukum
tradisional. Hal tersebut di atas sudah lama dirasakan melalui pemben tukan
hukum, peradilan, penyelenggaraan keamanan, dan keter tiban serta
peraturannya, yang sangat mudah dipisahkan.

Dalam kehidupan yang mulai banyak mengalami perubahan perubahan


yang amat cepat, terkesan kuat bahwa hukum (positif) tak dapat berfungsi efektif
untuk menata perubahan dan perkembangannya. Tak ayal lagi, berbagai cabang
ilmu-ilmu sosial, khususnya sosiologi, yang akhir-akhir ini mulai banyak mengkaji
dan meneliti sebab perubahan-perubahan sosial, dipanggil untuk ikut
menyelesaikan berbagai masalah dan perubahan sosial yang amat relevan
dengan permasalahan hukum". Ilmu-ilmu sosial yang mulai ditengok dalam
kerangka ajaran sociological jurisprudence, mulai banyak pula dimanfaatkan
untuk memungkinkan usaha memperbaharui dan memutakhirkan norma-norma
hukum.
D. Hukum dan Basis Sosialnya

Permasalahan mengenai basis sosial hukum jauh-jauh hari telah banyak


dibicarakan oleh Satjipto Rahardjo dalam bukunya Hukum dan Masyarakat.
Setelah Satjipto Rahardjo membicarakan basis sosial hukum dan mendapat
tanggapan yang cukup baik dalam masyarakat, Ronny Hanitijo Soemitro, dalam
bukunya. Beberapa Masalah dalam Studi Hukum dan Masyarakat, juga
membahas tentang Hukum dan Basis Sosialnya. Kita juga dapat
menemukan pembahasan mengenai hal tersebut dalam buku yang ditulis oleh
Soetandyo Wignjosoebroto dan Esmi Warasih". Para ahli hukum yang
membicarakan tentang basis sosial hukum adalah para sosiolog hukum, yang
mengembangkan sosiologi hukumnya antara tahun 80-90-an hingga sekarang.
Dalam perkembangan tersebut, mereka dipengaruhi oleh Talcoot Parson dengan
pemikiran postmodernismenya.

Yang menjadi perhatian para ahli sosiologi hukum dalam membicarakan


basis sosial hukum adalah pertautan secara sistematis antara hukum dengan
stuktur sosial yang mendukung Mereka menganalisis bagaimana hukum yang
berlaku dalam masyarakat itu cocok atau terjalin ke dalam jaringan interaksi
sosial. Dalam memperhatikan ini, yang diajukan sebagai pertanyaan bukan
apakah norma-norma serta pranata-pranata hukum itu berhubungan satu sama
lain secara logis konsisten. Akan tetapi, apakah hukum itu merupakan sarana
pengatur masyarakat yang bekerja dengan baik (viable), apakah masyarakat
tidak mencari sarana pengatur lain di luar hukum yang diperlukan baginya,
bagaimanakah hukum itu berkembang dan faktor-faktor apakah yang
memungkinkan berkembangnya hal tersebut

Anda mungkin juga menyukai