NOTOHAMIDJOJO
abstrak
Tulisan ini akan dibagi dalam tiga bagian. Bagian pertama Realitas Hukum dan
Kemanusiaan memaparkan mengenai Legisme dan krisis kemanusiaan dalam hukum,
Bagian kedua mengenai Gagasan ’ The Truth about law” melalui O.Notohamidjojo
guna menceritakan mengenai Cara Berhukum ”humanis” yang terilhami dari pemikiran
1
Penulis adalah dosen Fakultas Hukum Univ.Kristen Satya Wacana Salatiga. Disajikan dalam
Seminar Nasional Refleksi pemikiran O.Notohamidjojo Terhadap Perkembangan Hukum di
Indonesia”, Salatiga, Balairung Utama UKSW, 24 Nopember 2011.
2
O. Notohamidjojo, Bagian ketiga mengenai kesimpulan sebagai buah dari refleksi
pemikiran O.Notohamidjojo tentang cara berhukum humanis dan relevansinya dalam
kehidupan atau perkembangan hukum di Indonesia saat ini dan terakhir adalah penutup
sebagai suatu saran.
Paradigma hukum penting dikaji sebagai suatu mind set yang mendasari corak
berhukum. Mengkaji perkembangan hukum pada milenium ketiga ini, perlu dipaparkan
secara historis paradigma hukum di milenium sebelumnya. Pada milenium pertama,
pertama, perhatian manusia diarahkan pada Tuhan, dan dikemudian pada milenium
kedua paradigma yang ada diproyeksikan pada harmonisasi antara iman dan akal.
Pada masa modern yakni dari sekitar 1500an hingga abad ke-20 terdapat tokoh- tokoh
besar seperti Rene Descartes dengan rasionalismenya, Francis Bacon ( 1561-1626),
yang memberi jalan bagi radikalisasi rasio dan legisme hingga sampai pada Auguste
Comte (1798-1857) dengan positivisme juridis. Pemikir positivisme lainnya seperti
John Austin terkenal dengan teorinya “Analitical Positivism” yang intinya mengatakan
bahwa hukum merupakan perintah dari mereka yang memegang kekuasaan tertinggi
atau dari yang memegang kedaulatan, sehingga menganggap hukum sebagai suatu
sistem yang logis, tetap, dan bersifat tertutup. Jadi hukum secara tegas dipisahkan dari
kaidah (justice) dan hukum tidak didasarkan pada nilai-nilai yang baik atau buruk,
melainkan didasarkan pada kekuasaan dari penguasa. Empirisme maupun
rasionalisme berusaha memisahkan segi inderawi dari segi akal budi, bahkan
mengisolasikan satu dengan yang lain.
3
mengalami positivisasi sebagai lege atau lex. 2 Ajaran ini kemudian diintroduksikan ke
negara-negara jajahan Eropa termasuk Indonesia.
Cara berpikir dalam hukum pada masa sekarang ini, relatif masih dikuasasi
warisan berpikir abad XIX yang positivistis/legisme. Paradigma positivisme dalam ilmu
hukum menekankan pada metode yang lebih melihat pada rumusan teks pasal-pasal
peraturan yang dipandang netral, objektif, dan imparsial, bebas konteks dan
menekankan pada realitas empirik dan dipandang bebas nilai.
Positivisme /legisme mencirikan hukum yang dipercaya netral dan objektif dalam
rule of law as it is in books, formal, structured rationality, dan tidak peduli pada
substansi. Hukum mengalami distorsi dalam bentukan lege, sehingga hukum bisa
2
Soetandyo Wignjosoebroto , Hukum: Paradigma, Metode, dan Dinamika masalahnya, Elsam-
Huma, Jakarta, 2002, Hal. 91-95-96. Dikatakan bahwa ajaran positivisme yang bertolak dari
paradigma liberalis tidak bersemangat pro populus, melainkan mendegradasikan dirinya
menjadi alat atau sarana yang berperilakuteknis prosedural formal semata.
3
Paul Scholten, Struktur Ilmu Hukum, terj. De Structuur Der Rechtswetenschap, alih bahasa
B.Arief Sidharta, Alumni, Bandung, 2005, hal. 18.
4
mengalami alienasi dari kebutuhan masyarakat . Inilah juga yang menurut penulis
bentuk arogansi dari hukum yang berparadigma legisme. Dalam perspektif Legisme,
maka muncul reduksi ontologis, sehingga realitas hukum dianggap bersifat mekanistik
dan deterministik.
Dalam fenomena sosial, jelas ada diskrepansi /tension antara konsep hukum dan
peraturan. Hukum tidak semata-mata untuk menegakkan peraturan dalam arti status
quo perundang-undangan, tetapi juga memiliki visi untuk menciptakan tatanan
hubungan harmonis dalam suatu relasi sosial berkeadilan. Ini berbeda dengan konsep
peraturan yang lebih menitikberatkan pada suatu penegakan aturan, dan tanpa
melihat dampak dari pengenaan aturan tersebut, apakah berkeadilan atau justru tidak
sama sekali. Ini berarti konsep peraturan lebih ditujukan pada supremacy of law yang
bertumpu pada central behavior control by law yang bebas nilai/ value free.
4
O.Notohamidjojo, Demi Keadilan dan Kemanusiaan, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1975, hal.
68. Keadilan menurut O.Notohamidjojo adalah suatu kebajikan untuk “suum cuique tri buere
(memberikan kepada masing-masing bagiannya).
5
Ibid, hal. 72.
6
Ibid, hal.89-90. Manusia menurut O.Notohamidjojo pada satu pihak mewujudkan objek,dan
pada pihak lain mewujudkan subjek yang lebih hakiki. Segi lain manusia ialah bahwa ia
mempunyai relasi aku-engkau.Relasi aku-engkau mempunyai pihak bawah (alam semesta),
fihak atas (Tuhan Allah), dan pihak samping (sesama manusia dalam masyarakat). Lihat pula
6
Pemikiran O.Notohamidjojo sejalan dengan pemikiran Gadamer pada era
tahun 60-an yang mengatakan bahwa Ilmu Hukum adalah sebuah eksemplar
Hermeneutik in optima forma yang dipublikasikan pada aspek hukum kehidupan
7
bermasyarakat. Dalam mengimplementasikan Ilmu Hukum untuk menyelesaikan
suatu masalah hukum, kegiatan interpretasi itu tidak hanya dilakukan terhadap teks
yuridis, melainkan juga terhadap kenyataan yang menimbulkan masalah hukum yang
bersangkutan. Terbentuknya teks yuridis terjadi dalam kerangka cakrawala pandang
pembentuk hukum berkenaan dengan kenyataan hukum yang dianut/ hidup dalam
masyarakat.
C.A.Van Peursen tentang hubungan aku-engkau , Van Peursen , C.A. Orientasi Di Alam
Filsafat, terj. dari Filosofische Orientatie, Gramedia, Jakarta, 1988, hal. 220-225.
7
.Lihat dalam B.Arief Sidharta, Struktur Ilmu Hukum Indonesia, Refleksi Hukum, Jurnal Imu
Hukum Fak.Hukum UKSW, edisi Oktober 2008, hal. 122.
8
Hans –Georg Gadamer, Truth and Method , terj.Kebenaran dan Metode :Pengantar Filsafat
Hermeneutika oleh Ahmad Sahidah, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004, Hal.
3.O.Notohamidjojo alam Demi keadilan dan kemanusiaan, Op.cit, hal. 46 Realwissenscaften
dibagi dalam ilmu alam (naturur wetenschappens) dan ilmu rohaniah
(Geesteswetenschappen). Ilmu hukum bersama dengan theologia, logica, termasuk dalam
lingkaran Geesteswetenschappen atau ilmu rohaniah .Ilmu tentang hukum positif tergolong
dalam praktische wetenschappen.Practische wetenschappen masih dapat dibagi dalam
cultuurwetenschappen yang objeknya adalah perbuatan manusia.
9
Jean Grondin, Sejarah Hermeneutik, Dari Plato sampai Gadamer, terj, ArRuzz, Jogjakarta,
2007, Hal. 213
7
ditentukan oleh pandangan seseorang tentang manusia. Pandangan seseorang tentang
manusia mendasari segala sikap dan tingkah lakunya. Pandangan manusia /antropologi
itu motif dasar yang menentukan ideologi dan perbuatan politik, cita-cita dan tindakan
sosial, ekonomi, dan kebudayaan, dan menentukan pula semua kerja kita di perguruan
tinggi di bidang ilmu, pendidikan, pembinaan dan pelayanan. 10 Jadi, kearifan manusia
dalam memperlakukan hukum merupakan entry point penting.
10
O.Notohamidjojo, Pidato Dies Natalis ke-9 UKSW, 1965, Quid est homo? Dalam kreatifitas
yang bertanggung jawab : kumpulan pidato dan Karangan, Lembaga Penelitian Ilmu-Ilmu
social , Universitas –IKIP Kristen Satya Wacana, Salatiga, 1973. Pemikiran ini sangat lekat
dengan empat konsep humanistic Gadamer, yakni : Bildung, sensus comunis, pertimbangan,
dan selera. Lihat Gadamer, Op.cit, hal.10-48
11
O.Notohamidjojo, Soal-soal Pokok Filsafat Hukum, BPK Gunung Mulia, Jakarta Pusat, 1975,
hal. 52-55.
8
2.Keadilan : Keadilan adalah kehendak ajeg dan kekal untuk memberikan kepada orang
lain apa saja yg menjadi haknya (ulpianus).
3.Kepatutan /Equity adalah hal wajib dipelihara dalam pemberlakuan UU dengan
maksud untuk menghilangkan ketajamannya, guna pergaulan hidup manusia.
4.kejujuran :Yurist memelihara kejujuran dalam dirinya dan menjauhkan diri dari
perbuatan curang dalam mengurus perkara.
12
O.Notohamidjojo, Demi keadilan dan kemanusiaan, Op.cit, hal. 81
9
O.Notohamidjojo yang terilhami oleh Paul Scholten bahwa Keadilan harus dicari dalam
hukum. Hukum itu tergantung pada sebuah keputusan budi nurani. Inilah karakter
humanis yang berpedoman bahwa pemberlakukan hukum memerlukan suatu
kesadaran diri dan hati nurani manusia.
13
Ibid,hal. 64-66.Lihat pula O.Notohamidjojo dalam Makna Negara Hukum, BPK Gunung Mulia,
Jakarta, 1970, hal. 83-84
10
Paul Scholten mengemukakan bahwa ilmu tentang hukum adalah juga ilmu
tentang peristiwa sejarah (perundang-undangan) dan tentang hubungan
kemasyarakatan.... ”Kemurnian” ilmu hukum selalu mengandung sesuatu yang tidak
murni dari bahannya. Jika hal ini tidak dilakukan, maka ia akan menjadi “makhluk tanpa
darah” (bloodless phantom). 14
14
Paul Scholten, Op.cit, Hal.12, 13.
11
berhukum humanis dengan demikian membutuhkan merupakan hasil oleh akal dan
budi atau hasil aktivitas mental dari penggembala hukum. 15
12
Kedua, pembelajaran hukum dari O.Notohamidjojo memproyeksikan dengan
tepat bahwa hukum tidaklah hanya dikaji dari aspek formanya atau proseduralnya,
melainkan pada sisi substansiil hukum atau material dari hukum yakni bahwa hukum
itu harus adil. Hukum pada hakekatnya harus memiliki watak untuk mengetahui , dan
menemukan ideal dalam realitas. Pemikiran ini menjadikan hukum tidak hanya memiliki
pemenuhan aspek formal procedural atau legitimasi juridis,tetapi juga harus memiliki
Substansi keadilan (legitimasi moral), dan penerimaan publik (legitimasi sosiologis).
Ketiga, Ilmu hukum harus dituntut untuk mencapai kematangan dan menjadi
sebenar-benar ilmu untuk lebih melihat realitas hukum dalam “The totally of life” melalui
suatu pendekatan’ humanis ’ terhadap hukum . Oleh karena itu,wajah hukum memiliki
wajah ‘manusia’ /human face. Menilik kearifan ini, maka hukum akan tetap diarahkan
pada aspek human virtue. Sebagaimana dikatakan Scholten bahwa orang tidak hanya
berbicara mengenai penerapan hukum (rechtstoepassing) yang mekanistis melainkan
penemuan hukum (rechtsvinding) yang lebih kreatif. Hukum itu terus menerus digarap
dan ditetapkan oleh keseluruhan konteks sosial.
Hukum yang berempati pada manusia akan menampilkan hukum yang menolak
suatu kekakuan dogmatis, dan absolut pada mekanisme birokratis centered. Hukum
memposisikan diri untuk menjadi fasilitator dari berbagai respon terhadap kebutuhan
13
sosial untuk keadilan dan kemanusiaan. Pemikiran ini membuka tabir ideologi tertutup
dan menjernihkan pertimbangan hukum para penggembala hukum dalam pemaknaan
cara berhukumnya. Paradigma ini melahirkan pandangan yang melahirkan konsepsi
dialogis emansipatoris dalam cara berpikir yang humanisme dan melakukan
‘pemahaman atau verstehen ‘terhadap manusia dalam berhukum humanis itu sendiri.
Penutup
14
Reformasi hukum dengan berbasis pada pendekatan nilai, akan menjadi
jiwa pada kultur hukum yang mendasari reformasi hukum pada komponen struktur
maupun substansi hukum. Peran ilmu dalam membangun dunia hukum menjadi
penting, karena mencetak para penggembala hukum .
DAFTAR PUSTAKA
15