Anda di halaman 1dari 7

TUGAS RANGKUMAN

TEORI HUKUM PROGRESIF

Dibuat untuk memenuhi tugas Mata Kuliah : Teori Hukum

T.M. HENDRA
NIM. 217410102018

FAKULTAS HUKUM
PRODI MAGISTER ILMU HUKUM
UNIVERSITAS MALIKUSSALEH
LHOKSEUMAWE
2022
TEORI HUKUM PROGRESIF

1. Sejarah Lahirnya Hukum Progresif


Sebagaimana diuraikan oleh Philipe Nonet dan Philipp Selznich, bahwa di
Amerika pada tahun 70-an timbul persoalan-persoalan sosial, kejahatan,
kemerosotan lingkungan, protes massa, hak-hak sipil, kemiskinan, kerusuhan di
kota-kota serta abuse of power pada tahun 1960-an, masyarakat merasakan betapa
hukum gagal untuk menangani berbagai problema sosial tersebut. Kondisi hukum
di Amerika tersebut memunculkan suatu kritik pada pakar hukum di Amerika
melalui “Critical Legal Studies Movement”. Kemudian dengan tulisan dari
Philippe Nonet dan Philip Selznich yang bertitik tolah dari teori sosial tentang
hukum membedakan 3 (tiga) tipe hukum, yaitu hukum represif, hukum otonom
dan hukum responsif. Sebagaimana evolusi yang terus berkembang dari sisi
keilmuan, maka pemikiran untuk mengukuhkan keberadaan ilmu hukum untuk
menjadi sebenar ilmu juga terus berkembang. Hukum bukanlah sesuatu yang final
(finite scheme) akan tetapi terus bergerak dan dinamis mengikuti perubahan
jaman. Sehingga, hukum harus terus ditelaah dengan melakukan review melalui
upaya-upaya yang progresif sehingga kebenaran yang hakiki dapat dicapai dan
menghadirkan kemerdekaan manusia dalam menggapai keharmonisan,
kedamaian, ketertiban yang pada akhirnya mewujudkan kesejahteraan yang adil
dan beradab sesuai dengan semangat nilai-nilai Pancasila.
Di Indonesia, muncul yang dinamakan hukum Progresif yang muncul pada
sekitar tahun 2002 dengan penggagasnya Satjipto Rahardjo. Hukum progresif
lahir karena selama ini ajaran ilmu hukum positif (analytical jurisprudence) yang
dipraktikkan pada realitas empirik di Indonesia tidak memuaskan. Gagasan
Hukum Progresif muncul karena prihatin terhadap kualitas penegakan hukum di
Indonesia terutama sejak terjadinya reformasi pada pertengah tahun 1997. Jika
fungsi hukum dimaksudkan untuk turut serta memecahkan persoalan
kemasyarakatan secara ideal, maka yang dialami dan terjadi Indonesia sekarang
ini adalah sangat bertolak belakang dengan cita-cita ideal tersebut.
Untuk mencari solusi dari kegagalan penerapan analytical jurisprudence,
Hukum Progresif memiliki asumsi dasar hubungan antara hukum dengan manusia.
Progresivisme bertolak dari pandangan kemanusiaan, bahwa manusia pada
dasarnya adalah baik, memiliki sifat-sifat kasih sayang serta kepedulian terhadap
sesama. Dengan demikian, asumsi dasar Hukum Progresif dimulai dari hakikat
dasar hukum adalah untuk manusia. Hukum tidak hadir untuk dirinya-sendiri
sebagaimana yang digagas oleh ilmu hukum positif-tetapi untuk manusia dalam
rangka mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan manusia. Posisi yang demikian
mengantarkan satu predisposisi bahwa hukum itu selalu berada pada status “law
in the making” (hukum yang selalu berproses untuk menjadi).
Belajar dari sejarah, apakah kita masih akan berpendapat, bahwa
perubahan di masa datang tidak akan terjadi lagi? Apakah dunia akan berhenti
berubah dan berkembang dan berhenti pada satu masa tertentu yang di anggap
sebagai masa yang sudah mencapai puncak? Hukum progresif tidak berpendapat
demikian, melainkan melihat dunia dan hukum dengan pandangan yang mengalir
saja, seperti Panta Rei (semua mengalir) dari filsuf Heraklitos. Apabila orang
berkeyakinan dan bersikap seperti itu, maka ia akan membangun suatu cara
berhukum yang memiliki karakteristiknya sendiri.
Pertama, paradigma dalam hukum progresif adalah bahwa “hukum adalah
untuk manusia”. Pegangan, optic atau keyakinan dasar ini tidak melihat hukum
sebagai sesuatu yang sentral dalam berhukum, melainkan manusialah yang berada
di titik pusat perputaran hukum. Hukum itu berputar di sekitar manusia sebagai
pusatnya. Hukum ada untuk manusia, bukan manusia untuk hukum.
Kedua, hukum progresif menolak untuk mempertahankan keadaan status
quo dalam berhukum. Mempertahankan status quo memberi efek yang sama,
seperti pada waktu orang berpendapat, bahwa hukum adalah tolak ukur untuk
semuanya dan manusia adalah untuk hukum. Cara berhukum yang demikian itu
sejalan dengan cara positivistik, normatif dan legalistik.
Oleh sebab Hukum Progresif berasumsi dasar bahwa hukum itu ada dan
hadir untuk manusia maka sangat tepat jika dikatakan bahwa “law as a great
anthropological document”. Dengan pengertian tersebut, maka Hukum Progresif
menempatkan hukum sebagai suatu “institusi manusia” yang saling melengkapi
satu dengan lain dengan aspek manusia, baik dalam hubungan antar manusia
maupun masyarakat yang lebih luas.

2. Ciri Hukum Progresif


Untuk mendapatkan tujuan hukum yang maksimal menurut Satjipto
Rahardjo dibangun dengan istilah Hukum Progresif yaitu yang digantungkan
kepada kemampuan manusia dalam menalar serta memahami dan nurani manusia
untuk membuat interprestasi hukum yang mengutamakan nilai moral keadilan
pada masyarakat. Di samping itu ide lainnya adalah hukum harus pro rakyat, pro
keadilan, bertujuan untuk kesejahteraan dan kebahagiaan, berdasarkan kepada
kehidupan yang baik, bersifat responsif, mendukung pembentukan negara hukum
yang berhati nurani, dijalankan dengan kecerdasan spritual serta bersifat
membebaskan.18 Ada beberapa kata kunci yang layak untuk di perhatikan tatkala
kita ingin mengangkat pengertian progresivisme, yaitu:

a. Hukum mengikuti perkembangan aspirasi masyarakat (hukum digantungkan


kepada situasi dan kondisi kebutuhan pengaturan masyarakat);
b. Hukum harus memihak kepada kepentingan Rakyat dan demi kepentingan
Keadilan;
c. Hukum bertujuan mengantarkan manusia kepada kesejahteraan dan
kebahagian;
d. Hukum selalu bergerak dalam proses perubahan (law as a process, law in the
making);
e. Hukum menekankan kehidupan yang lebih baik sebagai dasar hukum yang
baik;
f. Hukumnya memiliki tipe responsif;
g. Hukum mendorong peran publik;
h. Hukum membangun negara hukum yang berhati nurani.

Dari tulisan Philippe Nonet dan Philip Selznich yang bertitik tolak dari
teori sosial tentang hukum membedakan tiga (3) tipe hukum,yaitu hukum represif;
hukum otonom; dan hukum responsif. Sedangkan jika dilihat dari klasifikasi
dasar hukum dalam masyarakat dilihat dari sisi karakternya, yaitu: represif;
hukum otonom, hukum responsif dan hukum progresif.
a. Hukum Represif: Hukum represif yaitu hukum dijadikan sebagai pelayan
kekuasaan yang represif (kekuasaan yang lebih menakan), sehingga hukum
diminta bantuannya untuk mengarahkan masyarakat kepada pelaksanaan
keinginan penguasa (pemerintah atau kekuasaan lain yang mempengaruhinya)
serta masyarakat harus menampung dan melaksanakan akibat-akibat yang
timbul dari pada hukum yang represif tersebut. Apabila dilihat dari kelahiran
hukum yang bersifat represif, maka hukum dilahirkan dari konfigurasi politik
yang otoriter, sehingga produk hukumnya berkarakter ortodok atau konservatif
atau elitis;
b. Hukum Otonom: Hukum otonom yaitu hukum sebagai institusitersendiri yang
mampu menyeimbangkan sifat represif, sehingga dapat melindungi integritas
dirinya sendiri;
c. Hukum Responsif: Hukum responsif yaitu hukum sebagai fasilitator dari
berbagai respon terhadap kebutuhan dan aspirasi sosial. Dilihat dari sisi
kelahirannya hukum yang bersifat responsif lahir dari konfigurasi politik yang
demokratis, sehingga produk hukumnya berkarakter populistik yang
berorientasi pada hasil dan tujuan-tujuan yang akan dicapai oleh hukum. Ciri
khas hukum responsif adalah mencari nilai-nilai yang tersirat dan terdapat
dalam peraturan serta kebijakan dan dapat diinterpretasi serta fleksibel. Proses
pembuatan produk hukum yang berkarakter responsif adalah bersifat
partisipasif, yakni mengundang partisipasi semua elemen masyarakat, aspiratif
yang bersumber dari keinginan atau kehendak dari masyarakat, fungsi
hukumnya bisa menjadinilai yang telah terkristalisasi dalam masyarakat.
d. Hukum progresif: Untuk mendapatkan tujuan hukum yang maksimal menurut
Satjipto Rahardjo dibangun dengan istilah Hukum Progresif, yaitu yang
digantungkan kepada kemampuan manusia dalam menalar serta memahami
dan nurani manusia untuk membuat interprestasi hukum yang mengutamakan
nilai moral keadilan pada masyarakat;
e. Pandangan Hukum Progresif Mengenai Keadilan: Sejarah konfigurasi
politik di Indonesia memperlihatkan adanya pasang surut dan naik pasang
secara bergantian antara demokratis dan otoriter. Dengan logika pembangunan
ekonomi yang menjadi prioritas utamanya, periode Orde Baru menampilkan
watak otoriter-birokratis. Orde baru tampil sebagai Negara kuat yang
mengatasi berbagai kekuatan yang ada dalam masyarakat dan berwatak
intervensionis. Dalam konfigurasi demikian hak-hak politik rakyat mendapat
tekanan atau pembatasan- pemabatasan.

3. Penerapan Hukum Progresif Dalam Sistem Hukum Indonesia


Semangat dan jiwa dari Hukum Progresif, yaitu untuk memberikan
keadilan dan memberikan kebahagiaan kepada masyarakat, adalah sejalan tujuan
pembentukan pemerintahan Indonesia yang disebutkan dalam Pembukaan UUD
NRI Tahun 1945 dengan butir-butir Pancasila, sebagai falsafah bangsa dan batang
tubuh UUD NRI Tahun 1945 sebagai cita hukum dan landasan hukum dalam
berbangsa dan bernegara:
a. Dalam alinea ke empat Pembukaan UUD 1945 disebutkan tujuan
pembentukan pemerintahan Indonesia “(...) untuk membentuk suatu
pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia
(...)” Frasa ini mengamanatkan kepada Pemerintah untuk memberikan
perlindungan kepada segenap bangsa Indonesia tanpa kecuali. Tujuan yang
hendak dicapai oleh Pemerintah adalah sejalan dengan tujuan Hukum
Progresif untuk memberikan keadilan dan kebahagiaan kepada masyarakat;
b. Pancasila, sila kedua “Kemanusiaan yang adil dan beradab”, dan sila kelima
“Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Dalam sila kedua
menghendaki agar menempatkan manusia pada tempat yang sesuai dengan
martabatnya yang bersifat kodrati, sebagai mahluk yang mulia, dengan cara
yang adil dan beradab. Menempatkan semua manusia pada tempat yang
sama terhormatnya dan tidak ada memarginalkan orang lain. Keadilan
adalah menjadi hak setiap manusia. Begitu juga sila kelima yang
menujukkan bahwa bangsa Indonesia harus mempunyai dan berpandangan
untuk menciptakan keadilan sosial. Jiwa dari sila kedua dan kelima dari
Pancasila ini adalah sesuai dengan yang hendak dituju oleh Hukum
Progresif yaitu memberikan keadilan kepada masyarakat.
c. Pasal 24 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 mengatur “Kekuasaan kehakiman
adalah kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan”. Pasal ini menjamin bahwa hakim
mempunyai kemerdekaan atau kebebasan yang tidak boleh diintervensi oleh
pihak manapun untuk memberikan keadilan sesuai dengan keyakinannya
yang didasarkan kepada kematangan intelektual dan hatinuraninya. Hakim
yang merdeka dalam mengambil putusan adalah perilaku hakim seperti
inilah yang diperlukan untuk menggerakan roda Hukum Progresif;
d. Pasal 27 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 mengatur mengenai persamaan
kedudukan di dalam hukum untuk semua warga negara Indonesia. Dengan
pasal ini maka tidak dibenarkan adanya perlakuan hukum yang berbeda.
Semua warga negara mendapatkan perlakuan hukum yang sama meski
memiliki latar belakang yang berbeda. Pasal ini akan mengantar seorang
hakim untuk memberikan putusan hukum yang memberikan rasa keadilan
kepada pemohon keadilan yang adalah sesuatu yang didambakan di dalam
Hukum Progresif;
e. Pasal-pasal yang termuat dalam Bab XA mengenai Hak Asasi Manusia
adalah mengatur hak-hak dasar manusia yang diantaranya untuk
mendapatkan kebahagiaan hidup, bebas dari tekanan pihak lain, merasakan
suatu keadilan dan hak-hak kodrati lainnya, hak-hak mana menjadi
kewajiban pemerintah untuk melindungi dan memajukannya. Hukum
memberikan kewajiban kepada pemerintah untuk memberikan hak-hak yang
membahagiakan rakyat, sesuatu yang menjadi tujuan dari Hukum Progresif.

Anda mungkin juga menyukai