Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH TEORI HUKUM RESPONSIF

DISUSUN OLEH :

CHRISTY T.G LUMEMPOUW

18071101363

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

UNIVERSITAS SAM RATULANGI

FAKULTAS HUKUM
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Mahakuasa karena telah memberikan kesempatan pada
penulis untuk menyelesaikan makalah ini. Atas rahmat dan hidayah-Nya lah penulis dapat
menyelesaikan makalah g berjudul [judul makalah] tepat waktu.

Makalah “Hukum Responsif” disusun guna memenuhi tugas dari Bpk. DR. Theodorus
Lumenon,SH, MH pada mata kuliah Filsafat Hukum di Universitas Sam Ratulangi Manado.
Selain itu, penulis juga berharap agar makalah ini dapat menambah wawasan bagi pembaca
tentang hukum responsif.

Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Mner Theodorus Lumenon


selaku dosen mata kuliah filsafat hukum. Tugas yang telah diberikan ini dapat menambah
pengetahuan dan wawasan terkait bidang yang ditekuni penulis. Penulis juga mengucapkan
terima kasih pada semua pihak yang telah membantu proses penyusunan makalah ini.

Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan
saran yang membangun akan penulis terima demi kesempurnaan makalah ini.

Bitung, 16 April 2021

Christy Lumempouw

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Segala sesuatu di dunia ini selalu mengalami perubahan seiring berjalannya waktu.
Ilmu pengetahuan di segala bidang akan selalu berkembang dengan penemuan-
penemuan mutakhir. Tidak terkecuali dengan ilmu hukum, yang juga senantiasa
mengalami dinamika dan pasang surut. Hukum ada untuk memenuhi kebutuhan
manusia yang secara naluriah menginginkan hidup dalam suasana yang tenang dan
tertib. Oleh karena itu disusunlah hukum berupa peraturan-peraturan dalam rangka
mewujudkan ketertiban di masyarakat. Namun sayangnya seringkali peraturan-
peraturan itu tidak dapat mewujudkan ketertiban yang diinginkan oleh masyarakat,
karena perkembangan masyarakat yang lebih cepat daripada peraturan-peraturan
tersebut sehingga peraturan-peraturan itu tidak dapat menjawab permasalahan-
permasalahan yang muncul. Yang lebih ironis adalah, peraturan-peraturan yang
telah disusun tersebut membuat masyarakat yang diaturnya sengsara dan tidak
bahagia.

Hal-hal seperti inilah yang memancing timbulnya gagasan-gagasan baru di bidang


hukum. Di Amerika, muncul gagasan hukum responsif dari Philippe Nonet dan
Philippe Selznick ataupun Studi Hukum Kritis (The Critical Legal Studies) dengan
tokohnya seperti Roberto M. Unger. Tidak ketinggalan di Indonesia yang memang
merupakan negara hukum, tidak bisa dihindari akan kemunculan gagasan hukum
dari pakar hukum Indonesia sendiri. Salah satu gagasan yang muncul di Indonesia
adalah gagasan hukum progresif yang dicetuskan oleh Satjipto Rahardjo. Bila
dicermati pada sejumlah tulisannya, gagasan itu ternyata bukan sesuatu yang baru.
Namun memang lebih mengkristal sejak beberapa tahun terakhir. Menurut Qodri
Azizy, sejak tahun 2002, Satjipto Rahardjo telah berbicara beberapa kali tentang
hukum progresif dimana ia mengidealkannya. Menurut Ufran, Hukum progresif
merupakan salah satu gagasan yang paling menarik dalam literatur hukum Indonesia
pada saat ini.6 Hal ini menarik dibicarakan karena hukum progresif telah menggugat
keberadaan hukum modern yang telah dianggap mapan dalam berhukum selama ini.

Hukum hendaknya mampu mengikuti perkembangan zaman, mampu menjawab


perubahan zaman dengan segala dasar di dalamnya, serta mampu melayani
kepentingan masyarakat dengan menyandarkan pada aspek moralitas dari sumber
daya manusia penegak hukum itu sendiri. Hukum tersebut menyingkap tabir dan
menggeledah berbagai kegagalan hukum modern yang didasari oleh filsafat
positifistik, legalistik dan linier tersebut untuk menjawab berbagai persoalan hukum.
Hukum progresif mengandung semangat pembebasan yaitu pembebasan dari tradisi
berhukum konvensional yang legalistik dan linier tersebut. Menjalankan sebuah
hukum tidak hanya semata-mata tekstual perundang-undangan akan tetapi dalam
menjalankan hukum harus dengan determinasi, empati, dedikasi, komitmen terhadap
penderitaan bangsa untuk berani mencari jalan lain guna mensejahterakan rakyat
sesuai dengan apa yang telah diamanatkan oleh UUD 1945. Hukum progresif
dimulai dari suatu asumsi dasar, hukum adalah institusi yang bertujuan
mengantarkan manusia kepada kehidupan yang adil,sejahtera dan membuat
manusia bahagia. Hukum tersebut tidak mencerminkan hukum sebagai institusi yang
mutlak serta final, melainkan ditentukan oleh kemampuannya untuk mengabdi
kepada manusia. Belakangan ini muncul kesan bahwa proses hukum seringkali tidak
mampu menyelesaikan persoalan secara tuntas apalagi memberikan keadilan
substantif bagi para pihak. Proses hukum lebih nampak sebagai mesin peradilan
yang semata-mata hanya berfungsi mengejar target penyelesaian perkara yang
efektif dari sisi kuantitas sesuai dengan tahap-tahap dan aturan main yang secara
formal ditetapkan dalam peraturan.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Perkembangan tentang Hukum Progresif di Indonesia?

C. Tujuan Penulisan

Tujuannya adalah untuk mencapai suatu perubahan sosial dan keadilan


sosial dengan membutuhkan tatanan hukum yang responsif maka hukum
responsif menekan pada beberapa hal yaitu:

a. Legitimasi hukum yang merupakan keadilan yang responsif menjadi


keadilan yang prosedural

b. Peraturan merupakan subordinasi dari prinsip dan kebijakan jadi


“peraturan itu bukan yang utama”.

c. Pertimbangan hukum harus berorientasi pada tujuan dan akibat pada


kesejahteraan rakyat.
BAB II

PEMBAHASAN

Hukum responsif sebagai model atau teori yang digagas oleh Nonet dan Selznick
ditengah kritik pedas Neo-Marsxis terhadap liberal legalism.
Legalism liberal menggadaikan hukum sebagai institusi mandiri dengan sistim
peraturan dan prosedur yang objektif, tidak memihak dan benar-benar otonom. Ikon
Legalism liberal adalah otonomi hukum, wujud paling nyata dari otonomi itu adalah
rezim rule of law.
Dengan karakternya yang otonomi diyakini bahwa hukum dapat mengendalikan
represi dan menjaga integritas sendiri. Dilihat dari kepentingan internal sistim hukum
itu sendiri, dalil integritas itu memang dapat dipahami. Tapi hukum bukanlah tujuan
dari pada dirinya sendiri. Hukum adalah alat bagi manusia, ia merupakan isolasi
sistim hukum dari sisi kehidupan manusia itu sendiri.
Di tengah rangkaian kritik atau realita krisis otoritas hukum itu, Nonet dan Selznick
mengajukan model hukum responsif. Disini Nonet dan Selznick memberikan
perhatian khusus pada variabel-variabel yang berkaitan dengan hukum yaitu
peranan paksaan dalam hukum, hubungan antara hukum dan politik negara, tatanan
moral, tempat diskresi, peranan tujuan dalam keputusan-keputusan hukum,
partisipasi, legitimasi dan kepatuhan terhadap hukum. Nonet dan Selznick lewat
hukum responsif menempatkan sebagai sarana respons terhadap ketentuan sosial
dan aspirasi publik. Maka tipe hukum ini mengedepankan akomodasi untuk
menerima perubahan sosial demi mencapai keadilan dan emansipasi publik.
Dengan demikian potensi responsivitas dalam setiap tertip hukum yang maju,
pemenuhan janji akan responsivitas tersebut tergantung pada konteks politik yang
mendukung. Hukum responsif mengisyaratkan masyarakat yang memiliki kapasitas
politik untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahannya, menetapkan prioritas-
prioritas dan membuat komitmen-komitmen yang dibutuhkan. Karena hukum
responsif bukanlah pembuat keajaiban di dunia keadilan. Pencapaiannya
bergantung pada kemauan dan sumber daya dalam komoditas politik. Kontribusinya
yang khas adalah memfasilitas tujuan publik dan membangun semangat untuk
mengkoreksi diri sendiri ke dalam proses pemerintahan. Memaknai hukum sebagai
perangkat peraturan yang mengatur masyarakat, barulah berarti didukung dengan
sistim sanksi yang tegas dan jelas sehingga tegaknya suatu keadilan. Keadilan yang
dimaksud adalah keadilan vundikatif bukan keadilan absolut yang mana
menjatuhkan suatu hukuman berdasarkan prosedur hukum dan alasan yang jelas
dan mendasar, dalam arti tidak berdasarkan perasaan sentimen, kesetia-kawanan,
kompromistik, atau alasan lain yang justru jauh dari rasa keadilan. Hal ini sesuai
dengan semangat dan menjiwai dalam Pasal 27 UUD 1945. Proses untuk mencapai
rasa keadilan adalah merupakan mata rantai yang tidak boleh dilepas-pisahkan,
paling tidak sejak pembuatan peraturan perundang-undangan, terjadi kasus atau
peristiwa hukum, sampai di proses verbal di kepolisian serta penuntutan jaksa atau
gugatan dalam perkara perdata dan kemudian diakhiri dengan vonis hakim yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht vangeweisde) sehingga kualitas
proses itulah sebenarnya sebagai jaminan kualitas titik kulminasi hasil atau manfaat
seperangkat peraturan perundang-undangan yang dibuat.
Dengan demikian sangat memberi peluang tegaknya supermasi hukum di negara
kita. Harold J. Laksi mengatakan bahwa “warga negara berkewajiban mematuhi
hukum tertentu hanya jika hukum itu memuaskan rasa keadilannya”.
Berkaitan dengan penegakan bangunan hukum ini memanglah sangat rumit, bangsa
Indonesia melakukan reformasi bertujuan memberantas korupsi dan kejahatan-
kejahatan lain seperti narkoba, pelecehan seksual, pelanggaran HAM lainnya seperti
trafiking yang semakin merajalela melalui penegakan supremasi hukum, namun kita
menyaksikan sendiri bahwa gerakan reformasi tidak mampu berbuat banyak.
Korupsi terus bertumbuh semakin subur sementara sepremasi hukum bagaikan
penegakan benang basah.
Sangat ironis selama proses reformasi, mereka sebagai pejuang reformasi telah
diberikan kesempatan yang seluas-luasnya untuk berperan aktif agar supremasi
hukum dapat ditegakan. Semoga dalam kepemerintahan yang baru nanti akan
membangun Indonesia yang lebih baik dengan mengedepankan empat pilar yang
ada yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika bukan sebagai
wacana saja bagi proklamator bangssa Indonesia, tetapi benar-benar menjadi
fondasi untuk membangun Indonesia yang berkarakter dan bersih dari korupsi,
transparan dan profesional.
BAB III
PENUTUP
I. KESIMPULAN
1. Teori-teori hukum aliran positivisme adalah paradigma saintifik yang merambah
pada tataran pemikiran ketertiban bermasyarakat bersejalan dengan tertib hukum
sejak abad ke 19.
Kaitan dengan penegakan hukum di Indonesia, paradigma tunggal legal positivism
bukan berarti tidak baik melainkan secara fungsionalnya dalam memahami,
menganalisa dan lebih dalam untuk mengontrol karakteristik kehidupan yang
pluralistik, berformat regional, nasional maupun global adalah sudah tidak memadai
dan perlunya pemikiran.
2. Banyak aliran hukum yang di gagas para ahli misalnya aliran legal positivism, aliran
Freie Rechtsbewegung, aliran Rechtsvinding atau aliran-aliran lain yang sesuai
dengan karakteristik bangsa Indonesia seutuhnya.
3. Penegakan supremasi hukum adalah sebuah upaya manusia untuk menggapai
keteraturan atau ketertiban yang dibutuhkannya. Dalam hal mana penegakan tersebut
adalah mengsinergikan ketiga pilarnya yaitu Peraturan perundang-undangan, aparat
penegak hukum dan budaya hukum masyarakat.
4. Nonet-Selznick terhadap penegakan hukum di Indonesia yang legisme (legal
positivism) mereka menggagas modelisasi hukum kedalam teori besarnya “hukum
responsif mencakup hukum represif, hukum otonom dan hukum responsif. Model
yang di tawarkan cocok dengan pluralism dan realisme bangsa Indonesia.

II. SARAN
1. Penegakan hukum di Indonesia harus lebih responsif, dan bagi aparat penegak hukum
harus menerapkan aturan dan berpihak kepada keadilan sosial.
2. Di Indonesia hubungan antara negara dan badan-badan hukum terjadi monopoli atas
kekerasan yang memang di benarkan oleh negara. Oleh karena itu penegakan hukum
hendaknya tidak melihat sebagai suatu yang berdiri sendiri melankan selalu berada di
antara berbagai faktor (interchange).
DAFTAR PUSTAKA

1. A. A. G. Peters dan Siswosoebroto, Kusrini (1990), Hukum dan Perkembangan


Sosial, Buku Teks Sosiologi Hukum (Buku III), Jakarta, Pustaka Sinar
Harapan.

2. Philippe Nonet & Philip Selsnik “law and Society in transition toward Responsiv
Law, Bandung, Nusa Media.

3. …………………………………..Hukum Responsif, Penerbit Nusa Media,


Bandung, 2013.

4. Sabian Utsman, Menuju Penegakan Hukum Responsif, Konsep Philipp Nonet&


Philip Selznick, Perbandingan Civil Law System dan Common Law System
Spiral Kekerasan dan Penegakan Hukum, Penerbit Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2008.

5. Satjipto Rahardjo, Konsep dan karakteristik hukum progresif disampaikan dalam


Seminar Nasional diselenggarakan oleh Fak. Hukum Universitas Diponegoro,
bekerja sama dengan program Doktor Ilmu Hukum Univ. Trisakti, Semarang,
2007.

6. …………………, Membedah Hukum Progresif, editor Joni Emirson, I Gede Ab


Wiranata. Firman Muntoqo, Kompas, Jakarta, 2006.

7. Wiqnjo Soebroto, Paradigma Falsafat yang mendasari teori-teori dan norma-norma hukum
(Sari Kuliah Hukum Program Doktor Ilmu Hukum), PPS. Fak. Hukum, UII.

Anda mungkin juga menyukai