DISUSUN OLEH :
18071101363
FAKULTAS HUKUM
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Mahakuasa karena telah memberikan kesempatan pada
penulis untuk menyelesaikan makalah ini. Atas rahmat dan hidayah-Nya lah penulis dapat
menyelesaikan makalah g berjudul [judul makalah] tepat waktu.
Makalah “Hukum Responsif” disusun guna memenuhi tugas dari Bpk. DR. Theodorus
Lumenon,SH, MH pada mata kuliah Filsafat Hukum di Universitas Sam Ratulangi Manado.
Selain itu, penulis juga berharap agar makalah ini dapat menambah wawasan bagi pembaca
tentang hukum responsif.
Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan
saran yang membangun akan penulis terima demi kesempurnaan makalah ini.
Christy Lumempouw
BAB I
PENDAHULUAN
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
PEMBAHASAN
Hukum responsif sebagai model atau teori yang digagas oleh Nonet dan Selznick
ditengah kritik pedas Neo-Marsxis terhadap liberal legalism.
Legalism liberal menggadaikan hukum sebagai institusi mandiri dengan sistim
peraturan dan prosedur yang objektif, tidak memihak dan benar-benar otonom. Ikon
Legalism liberal adalah otonomi hukum, wujud paling nyata dari otonomi itu adalah
rezim rule of law.
Dengan karakternya yang otonomi diyakini bahwa hukum dapat mengendalikan
represi dan menjaga integritas sendiri. Dilihat dari kepentingan internal sistim hukum
itu sendiri, dalil integritas itu memang dapat dipahami. Tapi hukum bukanlah tujuan
dari pada dirinya sendiri. Hukum adalah alat bagi manusia, ia merupakan isolasi
sistim hukum dari sisi kehidupan manusia itu sendiri.
Di tengah rangkaian kritik atau realita krisis otoritas hukum itu, Nonet dan Selznick
mengajukan model hukum responsif. Disini Nonet dan Selznick memberikan
perhatian khusus pada variabel-variabel yang berkaitan dengan hukum yaitu
peranan paksaan dalam hukum, hubungan antara hukum dan politik negara, tatanan
moral, tempat diskresi, peranan tujuan dalam keputusan-keputusan hukum,
partisipasi, legitimasi dan kepatuhan terhadap hukum. Nonet dan Selznick lewat
hukum responsif menempatkan sebagai sarana respons terhadap ketentuan sosial
dan aspirasi publik. Maka tipe hukum ini mengedepankan akomodasi untuk
menerima perubahan sosial demi mencapai keadilan dan emansipasi publik.
Dengan demikian potensi responsivitas dalam setiap tertip hukum yang maju,
pemenuhan janji akan responsivitas tersebut tergantung pada konteks politik yang
mendukung. Hukum responsif mengisyaratkan masyarakat yang memiliki kapasitas
politik untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahannya, menetapkan prioritas-
prioritas dan membuat komitmen-komitmen yang dibutuhkan. Karena hukum
responsif bukanlah pembuat keajaiban di dunia keadilan. Pencapaiannya
bergantung pada kemauan dan sumber daya dalam komoditas politik. Kontribusinya
yang khas adalah memfasilitas tujuan publik dan membangun semangat untuk
mengkoreksi diri sendiri ke dalam proses pemerintahan. Memaknai hukum sebagai
perangkat peraturan yang mengatur masyarakat, barulah berarti didukung dengan
sistim sanksi yang tegas dan jelas sehingga tegaknya suatu keadilan. Keadilan yang
dimaksud adalah keadilan vundikatif bukan keadilan absolut yang mana
menjatuhkan suatu hukuman berdasarkan prosedur hukum dan alasan yang jelas
dan mendasar, dalam arti tidak berdasarkan perasaan sentimen, kesetia-kawanan,
kompromistik, atau alasan lain yang justru jauh dari rasa keadilan. Hal ini sesuai
dengan semangat dan menjiwai dalam Pasal 27 UUD 1945. Proses untuk mencapai
rasa keadilan adalah merupakan mata rantai yang tidak boleh dilepas-pisahkan,
paling tidak sejak pembuatan peraturan perundang-undangan, terjadi kasus atau
peristiwa hukum, sampai di proses verbal di kepolisian serta penuntutan jaksa atau
gugatan dalam perkara perdata dan kemudian diakhiri dengan vonis hakim yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht vangeweisde) sehingga kualitas
proses itulah sebenarnya sebagai jaminan kualitas titik kulminasi hasil atau manfaat
seperangkat peraturan perundang-undangan yang dibuat.
Dengan demikian sangat memberi peluang tegaknya supermasi hukum di negara
kita. Harold J. Laksi mengatakan bahwa “warga negara berkewajiban mematuhi
hukum tertentu hanya jika hukum itu memuaskan rasa keadilannya”.
Berkaitan dengan penegakan bangunan hukum ini memanglah sangat rumit, bangsa
Indonesia melakukan reformasi bertujuan memberantas korupsi dan kejahatan-
kejahatan lain seperti narkoba, pelecehan seksual, pelanggaran HAM lainnya seperti
trafiking yang semakin merajalela melalui penegakan supremasi hukum, namun kita
menyaksikan sendiri bahwa gerakan reformasi tidak mampu berbuat banyak.
Korupsi terus bertumbuh semakin subur sementara sepremasi hukum bagaikan
penegakan benang basah.
Sangat ironis selama proses reformasi, mereka sebagai pejuang reformasi telah
diberikan kesempatan yang seluas-luasnya untuk berperan aktif agar supremasi
hukum dapat ditegakan. Semoga dalam kepemerintahan yang baru nanti akan
membangun Indonesia yang lebih baik dengan mengedepankan empat pilar yang
ada yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika bukan sebagai
wacana saja bagi proklamator bangssa Indonesia, tetapi benar-benar menjadi
fondasi untuk membangun Indonesia yang berkarakter dan bersih dari korupsi,
transparan dan profesional.
BAB III
PENUTUP
I. KESIMPULAN
1. Teori-teori hukum aliran positivisme adalah paradigma saintifik yang merambah
pada tataran pemikiran ketertiban bermasyarakat bersejalan dengan tertib hukum
sejak abad ke 19.
Kaitan dengan penegakan hukum di Indonesia, paradigma tunggal legal positivism
bukan berarti tidak baik melainkan secara fungsionalnya dalam memahami,
menganalisa dan lebih dalam untuk mengontrol karakteristik kehidupan yang
pluralistik, berformat regional, nasional maupun global adalah sudah tidak memadai
dan perlunya pemikiran.
2. Banyak aliran hukum yang di gagas para ahli misalnya aliran legal positivism, aliran
Freie Rechtsbewegung, aliran Rechtsvinding atau aliran-aliran lain yang sesuai
dengan karakteristik bangsa Indonesia seutuhnya.
3. Penegakan supremasi hukum adalah sebuah upaya manusia untuk menggapai
keteraturan atau ketertiban yang dibutuhkannya. Dalam hal mana penegakan tersebut
adalah mengsinergikan ketiga pilarnya yaitu Peraturan perundang-undangan, aparat
penegak hukum dan budaya hukum masyarakat.
4. Nonet-Selznick terhadap penegakan hukum di Indonesia yang legisme (legal
positivism) mereka menggagas modelisasi hukum kedalam teori besarnya “hukum
responsif mencakup hukum represif, hukum otonom dan hukum responsif. Model
yang di tawarkan cocok dengan pluralism dan realisme bangsa Indonesia.
II. SARAN
1. Penegakan hukum di Indonesia harus lebih responsif, dan bagi aparat penegak hukum
harus menerapkan aturan dan berpihak kepada keadilan sosial.
2. Di Indonesia hubungan antara negara dan badan-badan hukum terjadi monopoli atas
kekerasan yang memang di benarkan oleh negara. Oleh karena itu penegakan hukum
hendaknya tidak melihat sebagai suatu yang berdiri sendiri melankan selalu berada di
antara berbagai faktor (interchange).
DAFTAR PUSTAKA
2. Philippe Nonet & Philip Selsnik “law and Society in transition toward Responsiv
Law, Bandung, Nusa Media.
7. Wiqnjo Soebroto, Paradigma Falsafat yang mendasari teori-teori dan norma-norma hukum
(Sari Kuliah Hukum Program Doktor Ilmu Hukum), PPS. Fak. Hukum, UII.