Anda di halaman 1dari 12

PEMBUKTIAN DI PTUN

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Acara Peradilan
Tata Usaha Negara
Dosen Pengampu: Aini Rahmania,S.H.,M.H.

Disusun oleh :
Riska Hidayati (33010180090)
Binta Luthfiana N (33010180092)
Selfhi Tania Wulandari (33010180094)
Masrul Khanafi (33010180118)
Yulio Dwi Ariansyah (33010180121)

PRODI HUKUM KELUARGA ISLAM


FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT, karena berkat rahmat, taufik serta
hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “PEMBUKTIAN DI
PTUN” dengan lancar tanpa suatu hambatan. Shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan
kepada Nabi Muhammad SAW yang telah menuntun umatnya ke jalan yang benar dan
diridhai-Nya.
Adapun penyusunan makalah ini diajukan sebagai tugas mata kuliah hukum Acara PTUN
pada semester VI yang diharapkan mampu memberikan wawasan untuk pembaca atau
mahasiswa. Tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada ibu Aini Rahmania,S.H.,M.H.
selaku dosen pengampu mata kuliah dan semua pihak yang bersangkutan dalam pembuatan
makalah ini.

Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak kesalahan dan
kekurangan yang harus diperbaiki. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun kami
harapkan demi kesempurnaan makalah ini untuk pembuatan makalah selanjutnya. Semoga
makalah ini bisa bermanfaat bagi pembaca.

Salatiga, 21 Maret 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar..........................................................................................................i
Daftar Isi..................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang masalah..................................................................................
B. Rumusan masalah...........................................................................................
C. Tujuan masalah..............................................................................................
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian pembuktian...................................................................................
B. Teori pembuktian PTUN................................................................................
C. Alat-alat bukti dalam persidangan PTUN......................................................

BAB III PENUTUP


Kesimpulan................................................................................................................
Daftar Pustaka............................................................................................................
BAB I

PENDAHULUAN

A Latar Belakang
Dalam pembahasan mengenai pembuktian, ada peredaan pendapat diantara
para ahli hukum dalam membedakan apakah termasuk kedalam hukum perdata atau
hukum acara perdata. Prof.Subekti berpendapat bahwa pembuktian ini lebih tepat
digolongkan sebagai hukum acara perdata dan tidak pada tempatnya dimasukkan
dalam BW yang pada asasnya hanya mengatur hal-hal yang termasuk hukum materil.
Begitu juga dengan pembuktian dalam hukum acara PTUN.
Sebagaimana diketahui, tugas seorang hakim ialah menetapkan hukum untuk
suatu keadaan tertentu atau menerapkan hukum atau undang-undang, menetapkan
hukum apakah yang harus ditetapkan antara dua pihak yang bersangkutan. Dalam
sengketa yang berlangsung dihadapan hakim, masing-masing pihak mengajukan dalil-
dalil yang saling bertentangan. Hakim harus memeriksa dan menetapkan dalil-dalil
manakah yang benar dan dalil manakah yang yang tidak benar. Berdasarkan duduk
perkara yang ditetapkann yang sebenarnya itu, hakim dalam amar atau dictum
putusanya, memutuskan siapakah yang dimenangkan dan siapakah yang dikalahkan.
Dalam melaksanakan pemeriksaan tadi, hakim harus mengindahkan aturan-aturan
tentang pembuktian. Kesewenang-wenangan akan timbul apabila hakim dalam
melaksanakan tugasnya diperbolehkan menyandarkan putusanya hanya atas
keyakinan, biarpun itu sangat kuat dan murni. Keyakinan hakim itu harus didasarkan
pada sesuatu yang oleh undang-undang dinamakan alat bukti. Dengan alat bukti ini,
masing-masing pihak berusaha membuktikan dalilnya atau pendirianya yang
dikemukakan kepada hakim yang diwajibkan memutusi perkara mereka.
Dalam makalah ini kami mencoba menjeaskan tentang pembuktian, teori
pembuktian serta alat bukti dalam hukum acara peradilan tata usaha negara.

B Rumusan Masalah
1 Apa yang dimaksud dengan pembuktian?
2 Bagaimana teori mengenai pembuktian dalam PTUN?
3 Apa sajakah alat bukti dalam hukum acara PTUN?

C Tujuan
1 Untuk mengetahui apa itu pembuktian
2 Untuk mengetahui mengenai teori pembuktian dalam PTUN
3 Untuk mengetahui alat bukti dalam PTUN
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian pembuktian
Sesungguhnya pembuktian merupakan bagian penting dalam proses
peradilan tata usaha negara. Hal ini disebabkan pembuktian berkaitan dengan
kejadian atau peristiwa untuk menjadi suatu fakta yang dapat diakui
kebenaranya. Mengenai makna pembuktian beberapa ahli memberikan
pengertian pembuktian.
Sudikno Mertokusumo menyatakan pembuktian mengandung makna
sebagai berikut :
1 Kata membuktikan dikenal dengan arti logis. Membuktikan
disini berarti memberi kepastian yang berarti mutlak, karena
berlaku setiap orang dan tidak memungkinkan adanya bukti
lawan. Berdasarkan suatu axioma yaitu asas-asas umum yang
dikenal dalam ilmu pengetahuan, dimungkinkan adanya
pembuktian yang bersifat mutlak yang tidak memungkinkan
adanya bukti lawan.
2 Kata pembuktian juga dikenal dalam arti konvensionil. Disini
pun membuktikan berarti juga memberi kepastian, hanya saja
beukan kepastian mutlak, melainkan kepastian yang nisbi atau
relative sifatnya yang mempunyai tingkatan-tingkatan:
pertama, kepastian yang didasarkan atas perasaan belaka.
Karena didasarkan atas perasaan maka kepastian ini bersifat
intuitif dan disebut conviction intime. Kedua, kepastian yang
didasarkan atas pertimbangan akal, maka ileh karena itu disebut
conviction rasionee.
3 Membuktikan dalam acara mempunyai arti yuridis. Didalam
ilmu hukum tidak dimungkinkan adanya pembuktian yang logis
dan mutlak yang berarti bagi setiap orang serta menutup segala
kemungkinan akan bukti lawan, akan tetapi merupakan
pembuktian konvensionil yang bersifat khusus. Pembuktian
dalam arti yuridis ini hanya berlaku bagi pihak-pihak yang
berperkara atau yang memperoleh hak dari mereka. Dengan
demikin pembuktian dalam arti yuridis tidak menuju kepada
kebenaran mutlak. Ada kemungkinanya bahwa pengakuan,
kesakaian atau surat-surat itu tidak benar atau palsu atau
dipalsukan.

Sementara Ridwan Syahrani menyatakan pembuktian adalah penyajian


alat-alat bukti yang sah menurut hukum kepada hakim yang memerikasa suatu
perkara guna memberikan kepastian tentang kebenaran peristiwa yang
dikemukakan.
Pembuktian adalah tata cara untuk menetapkan terbuktinya fakta yang
menjadi dasar dari pertimbangan dalam menjatuhkan suatu putusan. Fakta
yang dimaksud dapat terdiri dari :

1 Fakta hukum: yaitu kejadian-kejadian atau keadaan-keadaan


yang keberadaannya tergantung dari penerapan suatu peraturan
perundang-undangan.
2 Fakta biasa: yaitu kejadian-kejadian atau keadaan-keadaan yang
juga ikut menentukan adanya fakta hukum tertentu.

Selanjutnya pendapat Abdul Kadir Muhmmad manyatakan,


pembuktian adalah memberikan keteranga kepada hakim akan kebenaran
peristiwa yang menjadi dasar gugatan atau bantahan dengan alat-alat bukti
yang tersedia. Hukum pembuktian secara yuridis, mengajukan fakta-fakta
menurut hukum yang cukup untuk memberikan kepastian kepada hakim
tentang suatu peristiwa atau hubungan hukum.

Berdasarkan pendapat-pendapat para ahli tersebut maka dapat


disimpulkan bahwa pembuktian dalam kontekas hukum acara PTUN adalah
pemberian alat-alat bukti di depan hakim untuk mengungkapkan suatu
peristiwa sehingga menjadi teranga yang dapat memudahkan hakim dalam
memeriksa dan memutuskan sengketa tata usaha negara sesuai dengan
keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan.1

B. Teori pembutian PTUN


Ketentuan mengenai pembuktian dalam hukum acara PTUN diatur
dalam pasal 100 sampai 107 UU PTUN. Mengenai pembuktian, tidak hanya
penggugat yang selalu harus membuktikan dalilnya. Hakim yang memeriksa
perkara itu yang akan menentukan siapa diantara pihak-pihak yang berperkara
yang akan diwajibkan memberikan bukti, apakah pihak penggugat atau
sebaliknya pihak tergugat. Secara ringkas disimpulkan bahwa hakim sendiri
yang menentukan pihak mana yang akan memikil beban pembuktian. Di
dalam soal menjatuhkan beban pembuktian, hakim harus bertindak arif dan
bijaksana, serta tidak boleh berat sebelah. Semua peristiwa dan keadaan yang
konkrit harus diperhatikan dengan seksama olehnya. Sebagai pedoman
dijelaskan oleh pasal 1865 BW, bahwa “barang siapa mengajukan peristiwa-
peristiwa atas mana dia mendasarkan suatu hak, diwajibkan membuktikan
peristiwa-peristiwa itu, sebaliknya barang siapa mengajukan peristiwa-
peristiwa guna pembantahan hak orang lain, diwajibkan juga membuktikan
peristiwa-peristiwa itu”.
Sekalipun untuk peristiwa yang disengketakan itu telah diajukan
pembuktian, namun pembuktian itu masih harus dinilai. Berhubungan dengan
1
Fence M Wantu, (2014),“Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara”, Yogyakarta: REVIVA
CENDEKIA, h.65.
menilai pembuktian, hakim dapat bertindak bebas atau diikat oleh undang-
undang. Terdapat 3 teori yang menjelaskan sampai berapa jauh hukum positif
dapat mengikat hakim atau para pihak dalam pembuktian peristiwa dalam
persidangan, yaitu:
1 Teori pembuktian bebas
Teori ini tidak menghendaki adanya ketentuan-ketentuan yang
mengikat hakim, sehingga penilaian pembuktian seberapa dapat
diserahkan kepada hakim. Teori ini dikehendaki pendapat
umum karena akan memberikan kelonggaran wewenang
kepada hakim dalam mencari kebenaran. Teori ini
menghendaki agar penilaian hakim sedapat mungkin mendekati
keadilan, sehingga hakim tidak terlalu terikat dengan alat bukti
yang diajukan para pihak yang berperkara. Misalnya hakim
tidak terikat dengan keterangan saksi, dan dapat saja hakim
menilai masih belum terbukti. Dalam hal ini tidak mustahil
adanya perbedaan penilaian hasil pembuktian antara sesama
hakim, sehingga teori ini mengandung kelemahan, yaitu tidak
menjamin adanya kepastian hukum dalam hal penilaian
terhadap hasil pembuktian.2
2 Teori pembuktian terikat
Artinya hakim terikat dengan alat pembuktian yang
diajukan oleh pihak yang berperkara, jadi harus memberikan
putusan selaras dengan alat bukti yang diajukan di persidangan.
Teori ini menghendaki agar penilaian hakim sedapat
mungkin memberikan kepastian hukum, misalnya hakim terikat
dengan alat bukti sumpah, artinya apabila pihak sudah
bersumpah maka ia dimenangkan perkaranya, sedangkan
apabila ia menolak sumpahnya maka ia dikalahkan. Demikian
juga dengan alat bukti outentik yanghanya bisa digugurkan
apabila terdapat kepalsuan. Kelemahan teori ini adalah tidak
menjamin adanya keadilan.Teori ini dibagi menjadi 2 macam
yaitu :
a. Teori pembuktian negatif yaitu hakim terikat dengan
larangan undang-undang dalam melakukan penilaian
terhadap suatu alat bukti.
b. Teori pembuktian positif yaitu hakim terikat dengan
perintah undang-undang dalam melakukan penilaian
terhadap suatu alat bukti.
3 Teori pembuktian gabungan
Artinya hakim bebas dan terikat dalam menilai hasil
pembuktian, misalnya hakim bebas menilai suatu alat bukti
2
Andri Marpaung,”Teori Pembuktian Dan Alat-Alat Bukti Dalam Peradilan Tata Usaha Negara”,
https://www.lawyersclubs.com/teori-pembuktian-dan-alat-alat-bukti-dalam-peradilan-tata-usaha-negara/
diakses pada tanggal 18 Maret 2021.
permulaan, sehingga hakim masih perlu adanya sumpah
tambahan. Bila sumpah tambahan dilakukan maka hakim
terikat menilainya, apabila tidak disertai sumpah tambahan
maka hakim bebas menilai alat bukti permulaan itu.3

C. Alat bukti dalam persidangan PTUN


Undang-undang No.5 Tahun 1986 menetapkan macam-macam alat
bukti yang dapat digunakan dalam peradilan tata usaha negara yaitu:
1. Surat atau tulisan. Diatur dalam pasal 101 yang menyebutkan
bahwa surat atau tulisan itu terdiri dari tiga jenis yaitu:
a. Akta otentik yang mempunyai tiga macam kekuatan
pembuktian yaitu:
1) Kekuatan pembuktian formil membuktikan
antara pihak bahwa mereka sudah menerangkan
apa yang ditulis dalam akta tersebut.
2) Kekuatan pembuktian materil membuktikan
antara pihak bahwa peristiwa yang tersebut
dalam akta tersebut benar-benar telah terjadi.
3) Kekuatan mengikat membuktikan antara pihak
bahwa pada tanggal tersebut dalam akta yang
bersangkutan telah menghadap kepada pejabat
umum tadi dan menerangkan apa yang ditulis
dalam akta tersebut.
b. Akta di bawah tangan yaitu surat yang dibuat dan
ditanda tangani oleh pihak yang bersangkutan dengan
maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang
peristiwa yang tercantum di dalamnya.
c. Surat-surat lainya yangbukan akta yang akan dijadikan
alat bukti dalam proses pemeriksaan

Pada dasarnya setiap surat yang diajukan sebagai alat bukti


mempunyai kekuatan pembuktian yang berbeda sesuai
dengan hal yang dijelaskan dalam surat tersebut. Hal ini
berkaitan dengan penilaian yang diberikan oleh seorang
hakim terhadap alat bukti surat tersebut yang mana dapat
memberikan titik terang terhadap penyelesaian suatu
sengketa.

3
Rudi Kurniawan. “Teori Pembuktian Dalam PTUN”, http://bandabatik.blogspot.com/2012/02/teori-
pembuktian-dalam-ptun.html?m=1, diakses pada tanggal 21 Maret 2021.
2. Keterangan ahli
Mengenai alat bukti keterangan ahli diatur dalam pasal
102 yang menyatakan “keterangan ahli adalah pendapat orang
yang diberikan dibawah sumpah dalam persidangan tentang hal
yang ia ketahui menurut pengalaman dan pengetahuanya.”
Mengenai saksi ahli ini artinya seorang yang dipanggil
sebagai saksi ahli harus memberikan keterangan sesuai dengan
hal yang diyakini menurut pengalaman dan pengetahuanya
yaitu hal ia berikan sebagai keterangan itu memang telah
memahami dan mengerti hal tersebut dan dapat memberikan
pengertian dan keterangan yang jelas mengenai hal yang
diminta dalam pemeriksaan. Ia juga dapat mengemukakan
menurut pengetahuanya yang baik pendapatnya mengenai
materi yang ditelitinya. Yang termasuk sebagai ahli disini
adalah dalam suatu bidang tertentu misal, ahli kedokteran, ahli
pertanian, ahli bahasa dan lain sebagainya.4
3. Keterangan saksi
Pasal 104 UU No.5 Tahun 1986 menentukan keterangan
saksi dianggap sebagai alat bukti apabila keterangan itu
berkenaan dengan hal yang dialami, dilihat atau didengar oleh
saksi.
Dalam memberikan keterangan dimuka pengadilan
tidak semua orang yang bisa dihadapkan sebagai saksi. Hal ini
diatur dalam pasal 88 UU No 5 Tahun 1986 siapa saja yang
tidak boleh dihadirkan sebagai saksi dalam pemeriksaan
sengkta tata usaha negara yaitu:
a. Keluarga sedarah atau semenda menurut garis
keturunan lurus keatas atau kebawah sampai
derajat kedua dari slah satu pihak yang
bersengeta.
b. Istri atau suami dari pihak yang bersengketa.
c. Anak yang belum berusia 17 tahun.
d. Orang yang sakit ingatan.
4. Pengakuan para pihak
Pasal 105 menentukan pengakuan para pihak tidak
dapat ditarik kembali kecuali berdasarkan alasa yang kuat dan
dapat diterima oleh hakim
Menurut Wijono pengakuan yang dinerikan para pihak
belum tentu menunjukkan kebenaran materil yang berkaitan
dengan terjadinya sengketa tata usaha negara, oleh karena itu
meskipun penggugat atau tergugat telah memberikan
pengakuan, tetapi hakim masih mempunyai wewenang untuk
4
Johansyah,”Pembuktian Dalam Sengketa Tata Usaha Negara”, volume 17 nomor 3, September 2019,
h.346.
meneliti lebih lanjut terhadap pengakuan yang diberikan para
pihak.
5. Pengetahuan hakim
Pasal 106 UU PTUN, menentukan bahwa yang
dimaksud dengan pengetahuan hakim adalah hal oleh diketahui
dan diyakini kebenaranya.
Pengetahuan hakim tersebut adalah pengetahuan dari
hakim yang diperoleh selama pemeriksaan dalam persidangan
yang berlangsung. Menurut Wijono yang termasuk
pemeriksaan di sidang pengadilan adalah pemeriksaan
setempat, karena hanya tempat sidang saja yang pindah, tidak
lagi di kantor peradilan tata usaha negara, tatapi misalnya di
kantor tergugat.5
6. Keadaan yang telah diketahui oleh umum
Pada prinsipnya semua fakta-fakta yang disengketakan
yang akan menjadi dasar putusan hakim itu harus dibuktikan.
Namun ada fakta-fakta tertentu yang dikecualikan dari
berlakunya prinsip tersebut yaitu:
a. Fakta-fakta yang telah diketahui secara umum, misal
sebuah fasilitas umum yang telah diketahui
keberadaanya.
b. Fakta-fakta prosedural yang terjadi selama
pemeriksaan, hakim tidak memerlukan pembuktian
dalam proses tersebut, misal seseorang yang sudah
pernah didengar sebagai saksi tidak perlu dihadirkan
kembali.
c. Eksistendi hukum tidak perlu dibuktikan lagi, karena
hakim selalu dianggap mengetahui apa hukumanya.

Keadaan yang telah diketahui oleh umum ini tidak perlu


dibuktikan karena hukum beranggapan bahwa semua pihak
telah mengetahui keadaan tersebut sebagaimana telah
diketahui oleh umum. Jadi terhadap keadaan ini apabila
terdapat pada suatu sengketa maka tidak perlu lagi
diberikan pembuktianya.6

BAB III
PENUTUP

D. Kesimpulan
Sesungguhnya pembuktian merupakan bagian penting dalam proses
peradilan tata usaha negara. Hal ini disebabkan pembuktian berkaitan dengan
5
Latifah Amri,”Pembuktian Dalam Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara dan Perkara Pidana”,
Jurnal ilmu hukum 2015, h.7.
6
Johansyah,”Pembuktian Dalam Sengketa Tata Usaha Negara”, h.350.
kejadian atau peristiwa untuk menjadi suatu fakta yang dapat diakui
kebenaranya. Sudikno Mertokusumo menyatakan pembuktian mengandung
makna: (1) Kata membuktikan dikenal dengan arti logis, (2) Kata pembuktian
juga dikenal dalam arti konvensionil, dan (3) Membuktikan dalam acara
mempunyai arti yuridis.
Pembuktian adalah tata cara untuk menetapkan terbuktinya fakta yang
menjadi dasar dari pertimbangan dalam menjatuhkan suatu putusan. Fakta
tersebut adalah fakta hukum dan fakta biasa.
Mengenai pembuktian, tidak hanya penggugat yang selalu harus
membuktikan dalilnya. Hakim yang memeriksa perkara itu yang akan
menentukan siapa diantara pihak-pihak yang berperkara yang akan diwajibkan
memberikan bukti, apakah pihak penggugat atau sebaliknya pihak tergugat.
Terdapat 3 teori yang menjelaskan sampai berapa jauh hukum positif dapat
mengikat hakim atau para pihak dalam pembuktian peristiwa dalam
persidangan, yaitu: (1) Teori pembuktian bebas, (2) Teori pembuktian terikat,
dan (3) Teori pembuktian gabungan.
Undang-undang No.5 Tahun 1986 menetapkan macam-macam alat
bukti yang dapat digunakan dalam peradilan tata usaha negara yaitu: (1) Surat
atau tulisan, (2) Keterangan ahli, (3) Keterangan saksi, (4) Pengakuan para
pihak, (5) Pengetahuan hakim, dan (6) Keadaan yang telah diketahui oleh
umum
DAFTAR PUSTAKA

Fence M Wantu, (2014),“Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara”, Yogyakarta:


REVIVA CENDEKIA
Johansyah. 2019. Pembuktian Dalam Sengketa Tata Usaha Negara, vol 17 no. 3.
Latifah Amri. 2015. Pembuktian Dalam Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara dan
Perkara Pidana, Jurnal ilmu hukum.
Johansyah, ”Pembuktian Dalam Sengketa Tata Usaha Negara”,
Marpaung, Andri. 2020. ”Teori Pembuktian Dan Alat-Alat Bukti Dalam Peradilan Tata
Usaha Negara”, https://www.lawyersclubs.com/teori-pembuktian-dan-alat-alat-bukti-
dalam-peradilan-tata-usaha-negara/
Kurniawan, Rudi.2012. “Teori Pembuktian Dalam PTUN”,
http://bandabatik.blogspot.com/2012/02/teori-pembuktian-dalam-ptun.html?m=1

Anda mungkin juga menyukai