Anda di halaman 1dari 15

TIPE – TIPE HUKUM (REPRESIF, OTONOM DAN RESPONSIF)

Oleh :
Deden Ruhiat / 31616011
Faiz Mubarak /31616024
Ridha Mohammad / 31616017
Yusep Sofiyan Ali / 31616013

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS KOMPUTER INDONESIA
BANDUNG
2019
ABSTRAK
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama allah yang maha pengasih lagi maha penyang, terima kasih atas
rahmat dan karunianya yang telah di berikan kepada kami, sehingga kami bisa menyelesaikan
makalah ini. Semoga apa yang kami tulis bisa di mengerti dan bisa menjadi bahan acuan untuk
pembelajaran bagi orang lain.

Semoga allah memberkati kita semua amin ya robal alamin.


DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Menurut Philippe Nonet dan Philip Selznick, ada 3 tipe hukum yaitu Hukum Represif,
Hukum Otonom dan Hukum Responsif.

Tipe hukum menindas (represif) adalah hukum yang mengabdi kepada kekuasaan yang
represif. Tipe hukum ini praktis tanpa legitimasi sama sekali. Orang menaatinya karena
dibayang-bayangi oleh ketakutan terhadap penguasa yang keras dan kasar. Sifat represif dari
hukum itu semata-mata bertujuan untuk memelihara stabilitas sosial.

Nonet dan Selznick menyebutkan beberapa bentuk dalam mana represi dapat
memanifestasikan dirinya. Yang satu adalah ketidak mampuan pemerintah untuk memenuhi
tuntutan-tuntutan umum. Yang lain adalah pemerintah yang melampaui batas. Suatu bentuk
lain lagi adalah kebijakan umum yang berat sebelah, yang sering kali dipercontohkan
pembaruan kota-kota dan kebijakan pengembangan ekonomi dalam mana “program
pemerintah tidak mempunyai sarana untuk memenuhi, ataupun memperhatikan, lingkup
kepentingan individual dan kelompok yang dipengaruhinya.

Hukum responsif adalah hukum yang mampu mengatasi ketegangan-ketegangan akibat


terjadinya perubahan sosial. Agar hukum menjadi responsif, sistem hukum dalam banyak hal
hendaknya terbuka terhadap tantangan-tantangan yang ada dalam masyarakat. Sistem hukum
juga harus mampu mendorong partisipasi masyarakat dan selalu sigap menyikapi setiap
kepentingan yang baru muncul dalam masyarakat.

Hukum otonom berorientasi kepada mengawasi kekuasaan represif. Dalam arti ini
hukum otonom merupakan antitese dari hukum represif dalam cara yang sama seperti
“kekuasaan oleh hukum” yaitu hukum hanya sebagai suatu sarana untuk memerintah
berhubungan dengan kekuasaan berdasar hukum. Hukum otonom memfokuskan perhatiannya
pada kondisi sosial empiris dari kekuasaan berdasar hukum realitas-relitas institusional dalam
mana cita-cita ini diejawantahkan, yaitu potensi-potensi khusus institusi-institusi ini untuk
memberikan sumbangan kepada kepantasan dalam kehidupan sosial, tetapi juga limitasi-
limitasinya
B. Rumusan Masalah

1. Apakah perbedaan dari tipe hukum represif, otonom dan responsif ?


2. Apakah tipe hukum represif cocok di terapkan di indonesia ?
BAB II

LANDASAN TEORITIS

Nonet adalah Charge de Cours pada the Universite Catholique de Louvain dari tahun
1966 sampai dengan 1970, seorang visiting professor di Universitas Bremen pada 1981.
Sementara itu, Philip Selznick adalah professor emeritus of law and society pada UC Berkeley.
Ia meraih gelar doktor tahun 1947 dari Universitas Columbia, tempat ia menimbah ilmu dari
Robert K. Merton. Selznick dikenal sebagai penggagas teori organisasi, sosiologi hukum, dan
administrasi publik. Philippe Nonet dan Philip Selznick adalah dua nama yang dikenal luas
sebagai pencetus Teori Pembangunan Hukum (Development Theory of Law), suatu teori yang
diangkat dari kajian hukum menurut perspektif ilmu politik. Dua nama ini, Nonet & Selznick
kerap diperbincangkan karena mereka memperkenalkan tiga tipe hukum dalam teori
pembangunan hukumnya, yaitu tipe hukum represif, otonom, dan responsif.

1. Hukum Represif

Tipe hukum represif dapat dilihat dari adaptasi yang pasif dan oportunistis dari
institusi-institusi hukum terhadap lingkungan sosial-politik. Kata "adaptasi" menunjukkan
hukum berada pada kondisi subordinat (di bawah pengaruh) sistem sosial dan politik. Bahkan,
kekuatan orang-orang yang menjadi penguasa politik dapat menembus semua pintu masuk
ke dalam "sistem" hukum. Hukum dikendalikan oleh figur tokoh politik yang paling berkuasa
di negara itu. Kriminalisasi adalah bentuk yang paling disukai oleh para penguasa politik dalam
mengontrol warga masyarakat agar selalu menaati kehendak pemerintah. Di sinilah wajah
represif itu muncul. Hukum tampil dengan wajah menakutkan dan tanpa kompromi.
Sebaliknya akses warga masyarakat untuk berpartisipasi dalam hukum sangatlah sempit.
Keberadaan dan keberlakuan hukum tidak perlu harus memperhatikan kepentingan warga
yang diperintah. Pada tipe ini hukum dan politik merupakan satu kesatuan di dalam sistem
pemerintahan.

2. Hukum Otonom

Jika pada tipe hukum represif, FIGUR sang tokoh politik sangat berperan menentukan
wajah hukum, maka pada tipe hukum otonom, wajah "orang" ini berganti menjadi "sistem
negara hukum" (the rule of law; rechsstaat). Konsep the rule of law (lazim disingkat: RoL) ini
merupakan reaksi negara atas gagasan-gagasan keterbukaan yang kerap datang dari masyarakat
luas. Atas nama hukum, desakan-desakan demikian dapat diredam. Di sisi lain, dalam tipe
negara hukum otonom, tertib hukum juga dugunakan untuk menjinakkan perilaku represif
negara. Jadi, tipe hukum otonom ini ingin menjadi "penengah" bagi masyarakat dan penguasa
agar kedua kekuatan itu tidak saling berbenturan secara destruktif. Untuk itulah RoL
mengedepankan penyelesaian masalah melalui prosedur-prosedur tertentu. Keadilan pun pada
akhirnya cukup dilihat sebagai keadilan prosedural (sesuatu dianggap adil sepanjang sesuai
dengan prosedur).

3. Hukum Responsif

Sekalipun dapat secara kasatmata terlihat bahwa Nonet & Selznick ingin menempatkan
tipe hukum responsif sebagai tahapan evolusi yang tertinggi (dibanding hukum represif dan
otonom), keduanya tidak ingin menyatakan bahwa tahap inilah yang paling tepat untuk semua
sistem hukum. Artinya, mereka melihat masing-masing negara dapat menyesuaikan sendiri
kondisi sistem hukum negara mereka dengan perkembangan yang ada. Ada kalanya
masyarakat membutuhkan tipe hukum represif beberapa waktu, sebelum beralih ke tipe otonom
dan responsif. Pada tipe hukum responsif ini, kompetensi menjadi ukuran bagi warga
masyarakat untuk memiliki akses berpartisipasi di dalam segala sistem kemasyarakatan. Di sini
urusan prosedur bisa dinomorduakan, karena yang lebih penting adalah sisi substansinya. Pada
tipe hukum inilah dikenal istilah keadilan substantif itu.

Dua tipe hukum yang pertama, yakni hukum represif dan otonom pada hakikatnya
berada dalam kondisi tatkala suatu negara sedang memasuki tahap pembentukan tatanan
politiknya. Jika pada tahap itu sumber daya elit pemerintahannya masih sangat lemah, maka
corak hukumnya akan menuju ke tipe represif. Pada tahap ini seseorang atau sekelompok kecil
orang yang berada dalam lingkaran kekuasaan akan memaksimalkan kekuatannya untuk
memaksakan pengaruhnya terhadap masyarakat luas. Apabila pengaruh elit kekuasaan sudah
mulai sedikit melemah berhadapan dengan masyarakat, maka tahapan ini sudah mengarah ke
tipe hukum otonom. Tatanan politik pada tipe hukum otonom ini masih mudah berubah, dan
jika komitmen masyarakatnya tidak cukup kuat, akan mudah tergelincir kembali ke tipe hukum
represif.
BAB III

PEMBAHASAN

1. Perbedaan Tipe Hukum Represif, Otonom, Responsif :

Represif Otonom Responsif


Tujuan Ketertiban Legitimasi Kompetens
Hukum
Legitimasi Demi kepentingan Menegakkan Keadilan subtantif
negara itu sendiri prosedur
Peraturan Kasar dan Panjang lebar, Tunduk kepada
terperinci, hanya mengikat pembuat prinsip dan
mengikat yang dan yang kebijaksanaan
diperintah diperintah
Penalaran / Sesuai keperluan Mengikatkan diri Bertujuan; perluasan
Reasoning dn partikularistik pada otoritas kompetensi kognitif
(cepat dan hukum, mudah
khusus) terjebak pada
formalist dan
legisme
Diskresi Sangat umum, Dibatasi oleh Banyak sekali
merata, oportunis peraturan dipakai, tetapi demi
tujuan yang dapat
dipertanggungjawab-
kan
Pemaksaan Luas sekali, Dikontrol oleh Pencarian alternatif
pembatasan hukum secara positif,
lemah (keluar misalnya insentif,
kendali) sistem-sistem
kewajiban
swasembada
Moralitas Moralitas Moralitas Moralitas rakyat;
komunal; kelembagaan, “moralitas kerja
moralitas hukum; sangat sama”
moralitas memperhatikan
pemaksaan integritas proses
(pengawasan) hukum
Kaitan Hukum tunduk Hukum “bebas” Aspirasi-aspirasi
Politik pada politik dan dari politik; ada hukum dan politik
kekuasaan pemisahan berintegrasi;
kekuasaan pembauran kekuasaan
Harapan Kepatuhan tanpa Penyimpangan Tidak taat dilihat
syarat; jika tidak aturan dapat sebagai kerugian
taat harus dibenarkan secara substantif; dipandang
dihukum sebagai hukum, misalnya sebagai pengajuan isu
pembangkangan untuk mengkaji tentang legitimasi
validitas undang-
undang dan
peraturan
Partisipasi Tunduk dan Kemungkinan Kemungkinan
patuh; kritik dibatasi oleh diperluas oleh
dianggap tidak prosedur, yang integrasi
loyal ada; terbuka kepengacaraan
munculnya kritik hukum dan sosial
hukum (bantuan hukum
struktural)
.
2. Apakah tipe hukum represif cocok di terapkan di indonesia

Indonesia adalah negara hukum. Konstitusi mengatur begitu tegasnya. Supremasi hukum,
terelaborasi begitu jelas dalam dogma, doktrin, dan UU. Soal keharusan penegakkan hukum tanpa
pandang bulu (equality before thelaw), pemerintah dan aparat penegak hukum selalu didengungkan
nyaring. Namun ketiganya yang terabaikan. Itulah yang riil terjadi. Kekuasaan lebih utama dari
hukum. Penegak hukum seolah lebih "terpesona" pada "bulu" yang dihadapinya ketimbang
kepastian dan keadilan. Produk legislasi lebih mencerminkan kemauan penguasa daripada kehendak
rakyat. Kekuasaan dan hukum, praktis menjadi dua entitas yang menjalin diri dengan sangat
menyatu —di mana hukum dibuat dan disahkan oleh kesadaran kekuasaan sebagai anak sulung—
yang senantiasa berusaha menerobos ke celah-celah yang mudah direkayasa sehingga hukum lebih
dirasakan sebagai alat penguasa, ketimbang sebagai kontrol kekuasaan.1 Pembatasan kebebasan
menyampaikan pendapat lewat UU No. 9 – 1998, pemaksaan UU Penanggulangan Keadaan
Bahaya, dan ketiadaan aturan peralihan dalam UU No. 31 / 1998, merupakan sekelumit contoh
betapa kuatnya cengkraman kekuasaan dalam produksi hukum. Kemacetan proses hukum KKN
Soeharto dan Kroni – nya, Penculikan Aktivis Demokrasi, Dugaan suap AM Ghalib, sangkaan korupsi
Beddu Amang serta skandal Bank Bali dan Tex Maco, adalah contoh lain dalam penegakan hukum
yang menunjukan betapa “hukum kekuasaan” , dan bukan “kekuasaan hukum” masih ada di alam
Reformasi.

Fenomena instrumentasi hukum bagi kepentingan kekuasaan seperti dalam contoh diatas,
disebut Nonet dan Selznick dibedakan dengan dua tipe yang lain, yaitu hukum otonom dan hukum
responsif. Tulisan ini membatasi diri pada persoalan produksi hukum yang tidak Demokratis sebagai
sebab lahirnya hukum Represif. 2 Secara ringkas, “anatomi” hukum Represif terurai dalam paling
sedikit sepuluh ciri utama. (1) Ketertiban menjadi tujuan utama hukum; (2) Legitimasi atau dasar
kekuatan pengikatnya adalah kekuasaan negara; (3) Peraturan – peraturannya yang terumus secara
rinci bersifat keras (Represif) mengikat rakyat, tapi lunak terhadap penguasa; (4) alasan
pembuatannya bersifat ad-Hoc sesuai keinginan arbitrer penguasa; (5) kesempatan bertindak
bersifat serba meresap sesuai kesempatan; (6) pemaksaan serba mencukupi tanpa batasan jelas; (7)
moralitas yang di tuntut dari masyarakat adalah pengendalian diri; (8) kekuasaan menempati posisi
diatas hukum; (9) kepatuhan masyarakat harus tanpa syarat, dan ketidakpatuhan dihukum sebagai
kejahatan; (10) partisipasi masyarakat di izinkan lewat penundukan diri, sedangkan kritik dipahami
sebagai pembangkangan.

Menurut kami Indonesia tidak cocok untuk menganut tipe Hukum Represif karena hukum represif
bersimetris dengan apa yang oleh Podgorecki 3disebut hukum otoroterian. Yakni suatu sistem
hukum dengan ciri: pertama, substansi hukumnya berisi peraturan yang mengikat sepihak dan
materinya berubah-ubah sesuai keinginan yang bersifat arbitrer sang penguasa.

Kedua, aturan hukum dipakai sebagai kedok dengan cara yang “lihai” untuk menutupi intervensi
kekuasaan yang berlebihan. Ketiga, “penerimaan” masyarakat terhadap hukum berjalan dalam
kesadaran palsu. Keempat, sanksi-sanksi hukum, potensil menimbulkan keberantakan sosial (social
dis integration), dan nihilisme sosial menyebar tak terkendali. Kelima, tujuan akhir hukum adalah
legitimasi instutusional yang lepas dari persoalaan diterima tidaknya oleh masyarakat.

Pembusukan hukum dan lestarinya KKN pada masa Orla dan Orba-yang sampai derajat tertentu
masih kokoh hingga sekarang, justru karena penggunaan kekuasaan yang tidak terbatas oleh

1
Fenomena umum dalam hukum modern menyangkut “persaingan” anatara hukum dan kekuasaan, ditandai
oleh dua kecenderungan. Yang satu, ketertutupan sistem hukum terhadap kekuasaan. Sedangkan yang lain,
serba dominasi kekuasaan atas hukum. Hasil akhir dari dua kondisi tersebut, berujung pada ketakmampuan
hukum sebagai sarana mengarahkan perubahan dan pencapaian perubahan (lihat Philippe Nonet & Philippe
Selznick. 1978. Law and Society in Transition: Toward Resposive Law. Londen: Harper and Row Publisher. hlm.
4.
2
Hukum Represif, yaitu hukum sebagai alat kekuasaan Represif. Tipe hukum ini bertujuaan mempertahankan
status quo penguasa yang kerapkali diterapkan dalih menjaminkan ketertiban. Dengan demikian, hukum ini
dirumuskan secara rinci untuk mengikat setiap orang, kecuali penguasa/ pembuat hukum (ibid, hlm. 29-52).
3
Uraian menyeluruh tentang hukum totalitarian, dapat dibaca dalam Adam Podgorecki. 1996.”Totalitarian
Law:Basic Consepts and Issues”. Dalam Totalitarian and Post-Totalitarian Law. Pogorecki & Oligiati (eds).
penguasa dalam menentukan materi, bentuk produk hukum, dan penggunaanya-untuk diabdikan
bagi kepentingan penguasa dan para kroni-nya. Dengan didukung oleh perencanaan yang sistematis
lewat peraturan-peraturan yang diusulkan dan dibuatnya (UU,PP,Kepres,Impres,Kepmen Dll),
pemerintah melakukan intervensi secara “sah” dan leluasa dalam tiap relung kehidupan rakyat .
takpelak lagi, sistem hukum lebih mewajah selera penguasa ketimbang kepentingan rakyat.

Mengamati carut-marut proses penegakan hukum selama ini, paling sedikit ada dua “sindrom” besar
yang menyeruap kepermukaan. Yang satu adalah, “sindrom” intstrumentalisme hukum menurut
naluri kepentingan yang bersifat arbitrer. Sedangkan yang lain, gejala “pencairan” hukum menurut
kesempatan yang “ditawarkan”,

sindrom pertama, permainan “Kiri-Kanan Ok”. Meski menurut logika Lex Certa, ketentuan-ketentuan
hukum yang terumus terinci menjadi jaminan kepastian hukum, namun kerigidan itu menjadi
“bersayap” manakala berangkulan dengan naluri kepentingan. Ia bisa menjadi lebih keras (Repfresif)
mengikat pihak tertentu, tapi juga akan lunak terhadap pihak lain-tergantung siapa dulu “ibu” atau
“bapa”-nya.

Sindrom kedua, adalah mencairnya hukum ditangan penegaknya. Jika dilihat kebelakang, setungkup
“kasus besar” terpaksa menjadi sekedar “kisah fantasi hukum” berkat kepandaian aparat
menggunakan kesempatan. Menurut Charles Semford, penegak hukum sebagai “pemikul tugas”,
tidak hanya mengabdi kepada hukum, tetapi juga terikat pada “logika” kepentingan lain diluar
hukum.

Jadi kami berkesimpulan bahwa indonesia tidak coock untuk menganut tipe hukum Represif
berdasarkan alasan uraian di atas.
BAB IV PENUTUP

A. Simpulan

Tipe hukum menurut Nonet & Selznick ada tiga (3) yaitu : tipe Hukum Represif,
Otonom, Responsif. Masing-masing dari tipe Hukum tersebut memilik perbedaan, salah satu
contohnya ialah Tujuan Hukum, Legitimasi, peraturan, penalaran/Reasoning, Diskresi,
Pemaksaan, dll
Menurutt kami Indoneia tidak cocok menganut tipe Hukum Represif karena dalam tipe
Hukum Represif banyak terjadi penyimpangan salah satu contohnya ketika pada zaman orba
Hukum di bentuk oleh penguasa berdasarkan kepentingan politiknya. Banyak kebijakan yang
merugikan rakyat itu sendiri. Karena di dalam tipe Hukum Represif peraturannya sangat keras
dan terperinci terhadap objek Hukum dan sifatnya lunak terhadap pembuatnya, Hukum ini
berada dalam kekuasaan politik, tipe Hukum Represif juga berpandangan bahwa tidak patuh
dan mengkritik sama dengan tidak setia terhadap pemerintah.
B. Saran

Kami memiliki saran bagi pemerintah untuk tidak sewenang – wenang terhadap
kekuasaan yang diemban karena negara kita ini negara Demokrasi berlandaskan Pancasila jadi
kekuasaan tertinggi itu sebenarnya ada di tangan rakyat. Sedangkan yang terjadi sekarang ini
pemerintah sering melakukan tindakan sewenang – wenang bahkan melakukan
penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Kami pun menyarankan agar pemerintah dalam
menyusun UU tidak boleh berat sebelah karena sering terjadi yang di rugikan itu hanya rakyat
biasa sedangkan golongan elit, kaum borjuis dan kaum kapitalis yang di untungkan.
PUSTAKA ACUAN

Buku – buku :

Fenomena umum dalam hukum modern menyangkut “persaingan” anatara hukum dan
kekuasaan, ditandai oleh dua kecenderungan. Yang satu, ketertutupan sistem
hukum terhadap kekuasaan. Sedangkan yang lain, serba dominasi kekuasaan atas
hukum. Hasil akhir dari dua kondisi tersebut, berujung pada ketakmampuan hukum
sebagai sarana mengarahkan perubahan dan pencapaian perubahan (lihat Philippe
Nonet & Philippe Selznick. 1978. Law and Society in Transition: Toward Resposive
Law. Londen: Harper and Row Publisher. hlm. 4.

Hukum Represif, yaitu hukum sebagai alat kekuasaan Represif. Tipe hukum ini bertujuaan
mempertahankan status quo penguasa yang kerapkali diterapkan dalih menjaminkan
ketertiban. Dengan demikian, hukum ini dirumuskan secara rinci untuk mengikat
setiap orang, kecuali penguasa/ pembuat hukum (ibid, hlm. 29-52).

Uraian menyeluruh tentang hukum totalitarian, dapat dibaca dalam Adam Podgorecki.
1996.”Totalitarian Law:Basic Consepts and Issues”. Dalam Totalitarian and Post-
Totalitarian Law. Pogorecki & Oligiati (eds).

Website :

Tipologi Hukum menurut Nonet dan Zelsnick,


http://stushbulaini.blogspot.com/2017/05/tipologi-hukum-menurut-nonet-dan.html,
Diakses pada hari Rabu, 02 Oktober 2019, Pukul 21.34 Wib.

Tiga Tipe Hukum dari Nonet & Selznick, http://sosiologihukum-


comte2.blogspot.com/2011/06/tiga-tipe-hukum-dari-nonet-selznick.html, Diakses
pada hari Rabu, 02 Oktober 2019, Pukul 21.34 Wib.

Tipe-tipe-hukum, https://www.academia.edu/7028987/TIPE-TIPE-HUKUM, Diakses pada hari


Rabu, 02 Oktober 2019, Pukul 21.34 Wib.

Anda mungkin juga menyukai