Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penegakan hukum di Indonesia semakin hari dirasakan semakin
menjauh dari rasa keadilan masyarakat, semakin mahalnya rasa keadilan di
negeri ini bagi masyarakat yang secara sosial ekonomi tidak diuntungkan.
Banyak pendapat yang menyatakan bahwa kejadian tersebut sebagai akibat
penerapan kepastian hukum yang tidak nyambung dengan jamannya.
Penerapan kepastian hukum yang tidak memperhatikan perkembangan jaman
sehingga mengabaikan esensi keadilan yang hidup dan berkembang dalam
masyarakat.
Untuk itu penegak hukum harus melihat ruh dan waktu dibuatnya
sebuah undangundang, jangan sekedar melihat teksnya tetapi konteks undang-
undang tersebut dengan masyarakat yang menjadi adresat hukum itu. Karena
tujuan utama keberadaan hukum adalah untuk kesejahteraan semua
masyarakat, bukan untuk menimbulkan kesengsaraan masyarakat atau
membatasi atau mengekang masyarakat, dengan fungsi utama hukum
menurut Talqot Parsons adalah untuk mengintegrasikan masyarakat guna
mengurangi unsur-unsur konflik yang potensial terjadi dalam masyarakat
tanpa pandang bulu.
Pada dasarnya kehidupan manusia tidak dapat dipisahkan dari hukum.
Sepanjang sejarah peradaban manusia, peran sentral hukumdalam upaya
menciptakan suasana yang memungkinkan manusia merasa terlindungi, hidup
berdampingan secara damai dan menjaga eksistensinya didunia telah diakui1.
Indonesia adalah negara yang berdasarkan kepada hukum (rechtaat),
hukum harus dijadikan panglima dalam menjalankan kehidupan bernegara
dan bermasyarakat, sehingga tujuan hakiki dari hukum bisa tercapai seperti
keadilan, kepastian dan ketertiban. Secara normatif hukum mempunyai cita-
cita indah namun didalam implentasinya hukum selalu menjadi mimpi buruk
1
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia, Surabaya, 2005,
hlm.1

1
dan bahkan bencana bagi masyarakat. Ketidaksinkronan antara hukum di
dalam teori (law in a book) dan hukum dilapangan (law in action) menjadi
sebuah perdebatan yang tidak kunjung hentinya. Terkadang untuk
menegakkan sebuah keadilan menurut hukum harus melalui proses-proses
hukum yang tidak adil.
Penegakan hukum menurut Satjipto Rahardjo adalah suatu usaha
untuk mewujudkan ide-ide serta konsep-konsep yang notabene abstrak
menjadi sebuah kenyataan.2 Dalam sebuah sistem hukum kekuasaan
kehakiman (yudikatif) menduduki posisi sentral dalam penegakan hukum,
dalam merealisasikan ide-ide yang tertuang dalam undang-undang sebagai
sebuah produk sistem politik. Badan yudikatif memberikan isi dan wujud
kongkrit kepada kaidah hukum. Ditangan badan yudikatiflah hukum yang
berintikan keadilan dan kebenaran menjadi sesuatu yang nyata, menjadi
realitas kehidupan. Tugas yang diemban oleh badan peradilan berada dalam
bentangan antara kompleks nilai yang mendasari suatu undang-undang
(aturan hukum) dan kesadaran nilai-nilai kongkrit dalam masyarakat.
Sebagain besar hukum yang berlaku di Indonesia adalah hukum bekas
jajahan Belanda, banyak kaedah-kaedah dalam hukum tersebut tidak sesuai
dengan nilai-nilai yang ada di tengah-tengah masyarakat dan tidak
mencerminkan nilai-nilai keadilan. Hukum kolonial yang masih berlaku di
Indonesia menganut ajaran Positivisme. Hukum menurut aliran ini adalah
apa yang menurut undang-undang, bukan apa yang seharusnya. Atas dasar itu,
hukum harus pula dibersihkan dari anasir-anasir yang tidak yuridis seperti etis
(penilaian baik dan buruk), politis (subjektif dan tidak bebas nilai), sosiologis
(terlepas dari kenyataan sosial).
Ada sebuah kasus hukum yang sangat menarik untuk ditelaah, yakni
seorang nenek berumur 55 Tahun yang bernama Minah diganjar 1 bulan 15
hari penjara karena menyangka perbuatan isengnya memetik 3 buah kakao di
perkebunan milik PT. Rumpun Sari Antan (RSA) adalah hal yang biasa saja.
Ironi hukum di Indonesia ini berawal saat Minah sedang memanen kedelai di
2
Satjipto Raharjo II, Buku Materi Pokok Pengantar Ilmu Hukum Bagian IV, Karunika, Jakarta,
1985, hlm. 121

2
lahan garapannya di Dusun Sidoarjo, Desa Darmakradenan, Kecamatan
Ajibarang, Banyumas, Jawa Tengah, pada 2 Agustus lalu. Lahan garapan
Minah ini juga dikelola oleh PT RSA untuk menanam kakao. Ketika sedang
asik memanen kedelai, mata tua Minah tertuju pada 3 buah kakao yang sudah
ranum. Dari sekadar memandang, Minah kemudian memetiknya untuk
disemai sebagai bibit di tanah garapannya. Setelah dipetik, 3 buah kakao itu
tidak disembunyikan melainkan digeletakkan begitu saja di bawah pohon
kakao.
Dan tak lama berselang, lewat seorang mandor perkebunan kakao PT
RSA. Mandor itu pun bertanya, siapa yang memetik buah kakao itu. Dengan
polos, Minah mengaku hal itu perbuatannya. Minah pun diceramahi bahwa
tindakan itu tidak boleh dilakukan karena sama saja mencuri. Sadar
perbuatannya salah, Minah meminta maaf pada sang mandor dan berjanji
tidak akan melakukannya lagi. 3 Buah kakao yang dipetiknya pun dia
serahkan kepada mandor tersebut. Minah berpikir semua beres dan dia
kembali bekerja. Namun dugaanya meleset. Peristiwa kecil itu ternyata
berbuntut panjang. Sebab seminggu kemudian dia mendapat panggilan
pemeriksaan dari polisi. Proses hukum terus berlanjut sampai akhirnya dia
harus duduk sebagai seorang terdakwa kasus pencuri di Pengadilan Negeri
(PN) Purwokerto. Majelis hakim yang dipimpin Muslih Bambang Luqmono
SH memvonisnya 1 bulan 15 hari dengan masa percobaan selama 3 bulan.
Minah dinilai terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar pasal 362
KUHP tentang pencurian.

B. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang di atas maka dalam makalah ini akan
membahas:
1. Bagaimana pandangan aliran positivisme terhadap kasus tersebut?
2. Apakah keadilan dapat diwujudkan dengan baik dalam sistem hukum
yang mengedepankan aliran positivisme?

3
3. Bagaimana pengaruh filsafat positivisme dalam penegakan hukum di
Indonesia?

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pandangan aliran positivisme terhadap kasus tersebut


Kasus nenek Minah menurut aliran positivis adalah sebuah perbuatan
yang harus dihukum, tanpa menghiraukan besar kecil yang dicurinya.
Penegakan hukum terhadap nenek Minah harus dilepaskan dari unsur-unsur
sosial serta moralitas, karena menurut kaca mata aliran ini tujuan hukum
adalah kepastian, tanpa adanya kepastian hukum tujuan hukum tidak akan
tercapai walaupun harus mengenyampingkan rasa keadilan.
Menurut Austin, hukum terlepas dari soal keadilan dan terlepas dari
soal baik dan buruk. Karena itu, ilmu hukum tugasnya hanyalah menganalisis
unsur-unsur yang secara nyata ada dalam sistem hukum modern. Ilmu hukum
hanya berurusan dengan hukum positif, yaitu hukum yang diterima tanpa
memperhatikan kebaikan atau keburukannya. Hukum adalah perintah dari
kekuasaan politik yang berdaulat dalam suatu negara.3
Seorang pengikut Positivisme, Hart mengemukakan berbagai arti dari
positivisme tersebut sebagai berikut:
1. Hukum adalah perintah
2. Analisis terhadap konsep-konsep hukum berbeda dengan studi sosiologis,
histories dan penilaian kritis.
3. Keputusan-keputusan dideduksi secara logis dari peraturan-peraturan
yang sudah ada lebih dahulu, tanpa perlu merujuk kepada tujuan-tujuan
sosial, kebijaksanaan dan moralitas.
4. Penghukuman secara moral tidak dapat ditegakkan dan dipertahankan
oleh penalaran rasional, pembuktian atau pengujian
5. Hukum sebagaimana diundangkan, ditetapkan, positum, harus senantiasa
dipisahkan dari hukum yang seharusnya diciptakan, yang diinginkan4.

3
Muhammad Sidiq, Perkembangan Pemikiran Teori Ilmu Hukum, Prandya Paramita, Jakarta,
2009, hlm. 6
4
Satjipto Raharjo II, Op.Cit. hlm. 111

5
Aliran Positivisme hukum telah memperkuat pelajaran legisme, yaitu
suatu pelajaran yang menyatakan tidak ada hukum di luar undang-undang,
undang-undang menjadi sumber hukum satu-satunya. Undang-undang dan
hukum diidentikkan.
Hukum Pidana di Indonesia masih menganut aliran Positivisme, hal
ini secara eksplisit tertuang didalam pasal 1 ayat (1) KUHP, bahwa tidak dapat
di pidana seseorang sebelum ada undang-undang yang mengaturnya, ini
disebut dengan azas legalitas. Dari pernyataan diatas maka pada pasal 1 ayat
(1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menentukan bahwa, dapat dipidana
atau tidaknya suatu perbuatan tergantung pada undang-undang yang
mengaturnya. Jadi perbuatan pidana yang dapat dipertanggung jawabkan ialah
yang tertuang didalam hukum positif, selama perbuatan pidana tidak diatur
didalam didalam hukum positif, maka perbuatan tersebut bukan perbuatan
pidana dan tidak bisa diminta pertanggung jawaban hukumnya menurut
hukum pidana.
Ketika nenek Minah kedapatan mengambil 3 buah kakao, yang secara
ekonomi nilainya tidak seberapa, nenek Minah harus berurusan dengan
hukum, karena perbuatan yang dilakukan nenek Minah menurut hukum
Pidana termasuk kepada perbuatan pidana yakni tindak pidana pencurian.
Menurut Aliran Positivisme bagaimana pun hukum harus ditegakkan tanpa
melihat baik atau buruknya serta adil atau tidak adilnya. Hukum harus
dilepaskan dari unsur-unsur sosial, karena tujuan dari aliran ini adalah
kepastian hukum.
Menurut paham positivisme, setiap norma hukum harus eksis dalam
alamnya yang obyektif sebagai norma-norma yang positif, serta ditegaskan
dalam wujud kesepakatan kontraktual yang konkret antara warga masyarakat
atau wakil-wakilnya. Disini hukum bukan lagi dikonsepsikan sebagai asas-
asas moral metayuridis yang abstrak tentang hakikat keadilan, melainkan ius
yang telah mengalami positivisasi sebagai lege atau lex, guna menjamin

6
kepastian mengenai apa yang terbilang hukum, dan apa pula yang sekalipun
normative harus dinyatakan sebagai hal-hal yang bukan terbilang hukum.5
Dalam menjawab persoalan itu, sebagai negara yang menganut aliran
positivisme, mau tidak mau cara berpikir aliran positivisme itulah yang harus
diterapkan. Inilah yang disebut dengan tertib berpikir. Dengan kata lain,
terlepas dari serba keburukan-keburukan yang melekat pada aliran hukum
positivisme ini, cara memandang persoalannya harus dengan kacamata
positivisme. Bukan dengan dasar filosofis lainnya.
Karena melihat persoalan hukum ini melalui kacamata positivisme,
maka harus melihat kembali fakta-fakta substansi hukum Pidana Indonesia
dalam menjawab persoalan ini, sebagai negara yang menganut aliran
positivisme, mau tidak mau cara berpikir aliran positivisme itulah yang harus
diterapkan. Inilah yang disebut dengan tertib berpikir, sehingga hukum Pidana
terlepas dari Inkonsistensi hukum. Dengan kata lain, terlepas dari serba
keburukan-keburukan yang melekat pada aliran hukum positivisme ini, cara
memandang persoalannya harus dengan kacamata positivisme. Bukan dengan
dasar filosofis lainnya. Menurut Hans Kelsen, aliran positivisme hukum tidak
mempersoalkan keadilan, karena hal tersebut bukan konsen dari hukum.

B. Keadilan dapat diwujudkan dengan baik dalam sistem hukum yang


mengedepankan aliran positivism
Sebagaimana diketahui, bahwa relasi antara hokum dengan keadilan
seumpama dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Bahkan bicara
tentang hokum tanpa bicara tentang keadilan, sama artinya bukan bicara
tentang hokum. Sebab tujuan dari hokum adalah keadilan, sebagaimana
disebutkan oleh Van Apeldoorn bahwa kepentingan dari perseorangan dan
kepentingan golongan-golongan manusia selalu bertentangan satu sama lain.
Pertentangan kepentingan ini selalu akan menyebabkan pertikaian, bahkan
peperangan antara semua orang melawan semua orang. Sehingga dalam hal
demikian hokum harus bertindak sebagai perantara untuk mempertahankan
5
Soetandyo Wignjosobroto, Hukum, Paradigma, metode dan Dinamika Masalahnya, Elsam &
Huma, Jakarta, 2002, hlm. 96

7
perdamaian. Dan hokum mempertahankan perdamaian dengan menimbang
kepentingan yang bertentangan secara teliti dan mengadakan keseimbangan
diantaranya, karena hokum hanya dapat mencapai tujuan (mengatur pergaulan
hidup secara damai) jika ia menuju peraturan yang adil, artinya peraturan
pada mana terdapat keseimbangan antara kepentingan-kepentingan yang
dilindungi.6
Bahwa sudah seyogyanya yang menjadi tujuan daripada hokum adalah
mengwujudkan keadilan itu sendiri. Tapi perlu pula disadari, bahwa hokum
tidaklah identik dengan keadilan, kendati demikian sejatinya (das solen)
antara hokum dengan keadilan haruslah sejalan. Namun apabila hokum
dengan keadilan tidak sejalan, hokum tetap harus ditegakan, mengapa
demikian sebab sekalipun hokum itu tidak adil, ia harus ditaati, sebab bila
tidak ditaati, maka hokum akan kehilagan wibawanya, demikian ungkapan
Socrates saat menjelang dihukum mati.7
Maka dalam kerangka untuk mewujudkan keadilan itu dalam ilmu
hukum telah lahir beberapa aliran hokum dimana aliran-aliran tersebut telah
mengutarakan beberapa pokok pikirannya yang menjadi landasan bagi
aliran /mazhab untuk meingimplementasikan hakekat dari keadilan tersebut.
Sebagaimana diketahui hal paling menonjol dalam pembicaraan
hokum adalah masalah keadilan, karena jelas hokum atau aturan perundangan
harusnya adil, tapi nyatanya sering kali tidak. Menurut Cicero tidaklah
mungkin memungkiri karakter hokum sebagai hokum yang tidak adil, namun
mustahil pula untuk mengindetikan hokum dengan keadilan.8
Pandangan positivisme hukum yang diutamakan adalah adanya
kepastian hukum, artinya seseorang hanya dapat dikatakan bersalah bila ia
telah dinyatakan bersalah oleh prosedural pengadilan atau telah diputus oleh
Hakim. Sehingga dalam positivisme hukum orang yang dinyatakan tidak

6
Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, 1985, hlm.23.
7
Herman Bakir, SH., MH Filsafat Hukum Desain dan Arsitektur Kesejarahan, Refika Aditama,
2007, hlm.174.
8
C.J.Friedrich, Falsafat Hukum Perspektif Historis, Nuansa dan Nusamedia, Bandung, 2004, hlm
239.

8
bersalah atau dinyatakan bersalah harus berdasarkan hukum sehingga dengan
demikian terwujud apa yang disebut dengan kepastian hukum.
Perspektif positivisme hukum sulit untuk diperoleh keadilan yang
sesungguhnya, karena dalam paham positivisme hukum ini yang diutamakan
adalah kepastian hukum bukan keadilan hukum. Dalam positivisme hukum
sarat dengan ide pendokumenan dan pemformulan hukum alam wujudnya
sebagai the statutoriness of law atau istilah lainnya birokasi hukum. Dalam
ilmu yang legalistik positivistik, hukum merupakan pranata pengaturan yang
mekanistik dan deterministik. Sehingga dalam positivisme hukum dilakukan
penyerdehanaan aturan sehingga dalam pandangan positivisme hukum itu
menyebut istilah bahwa hukum adalah suatu keteraturan.9
Sebagaimana yang dipahami kelahiran positivisme hukum
berbarengan dengan kelahiran negara modern, sehingga dalam negara modern
produk hukum dalam konteks positivisme hukum dibentuk atau dibuat oleh
badan legislatif. Dalam hal ini nuansa politik sulit dihindari. Oleh karena itu
acapkan kali terlihat produk-produk hukum yang dikeluarkan oleh legislatif
dalam konteks negara modern cendrung dipengaruhi oleh faktor-faktor
politik. Sehingga hukum dapat digunakan oleh penguasa untuk melakukan
rekayasa sebagaimana yang dikehendaki oleh Penguasa. Tidak menutup
kemungkinan penguasa akan menggunakan hukum untuk melanggengkan
kekuasaannya.
Oleh karena positivieme hukum yang lahir dalam atmosfir liberalisme
dimana dalam konteks liberalisme pendewaan kepada individualisme sangat
mencolok. Dan oleh karena itu positiviseme hukum dirancang tidak untuk
memberikan keadilan bagi masyarakat atau orang banyak, melainkan untuk
memberikan perlindungan kepada individu. Sehingga dalam positivisme
hukum demi kepastian maka keadilan dan kemanfaatan boleh dikorbankan.
Theo Huijbers dalam bukunya Filsafat Hukum mengungkapkan
bahwa hukum itu sangat erat dengan keadilan. Sehingga sebagian besar orang

9
Soetandyo Wignjosobroto, Op.Cit., hlm 24.

9
berkata bahwa hukum harus digabungkan dengan keadilan supaya sungguh-
sungguh berarti sebagai hukum.10
Bahwa hukum memang merupakan suatu bagian dari upaya manusia
dalam kerangka mewujudkan suatu ko-eksistensi etis di dunia ini. Sehingga
melalui penyusunan hukum yang adil maka orang-orang dapat hidup dengan
damai menuju suatu kesejahteraan.
Persoalan yang timbul adalah apakah keadilan itu sendiri merupakan
istilah hukum atau tidak? Sulit untuk menjawabnya. Apa lagi bila dikaitkan
dengan pandangan positivisme hukum, sebab dalam positivisme hukum
keadilan adalah dalam konteks bila hukum yang dikeluarkan oleh penguasa
atau otoritas yang berdaulat ditaati, tidak dipersoalan disini entah aturan itu
adil atau tidak adil. Sehingga hukum merupakan kewajiban dan kewajiban
pada hukum hanya bersifat ekstern. Dalam konteks hukum merupakan
kewajiban apabila hukum yang dibuat (aturan-aturan yang diproduk) benar-
benar memiliki nilai keadilan dan sesuai dengan suasana bathin. Namun
hukum tidak lagi bersifat kewajiban dalam hal nilai-nilai hukum yang
diproduk tidak mencerminkan rasa keadilan. Dalam konteks ini hukum telah
beralih fungsi menjadi memaksa.
Sebab itu orang-orang senantiasa tidak puas dengan norma-norma
yang telah ada, orang senantiasa menantikan norma-norma yang adil. Dalam
konteks ini penganut positivisme hukum sendiri menuntut supaya hukum
yang dibentuk bersifat adil.
Dalam istilah hukum ada dua perbedaan yang merupakan pemisahan
untuk menandakan istilah hukum yaitu:
1. Hukum dalam arti keadilan (keadilan = iustitia) atau ius/recht. Disini
diitilahkan hukum menandakan peraturan yang adil tentang kehidupan
masyarakat sebagaimana yang dicita-citakan.
2. hukum dalam arti undang-undang atau lex/wet. Kaidah-kaidah yang
mewajibkan itu dipadang sebagai sarana untuk mewujudkan aturan yang
adil tersebut.

10
Satjipto Raharjo II, Op.Cit.,

10
Perbedaan kedua istilah hukum ini memang sangat nyata. Bahwa
istilah hukum mengandung suatu tuntan keadilan sedangkan istilah undang-
undang merupakan norma-norma yang secara nyata digunakan untuk
memenuhi tuntutan keadilan tersebut, baik tertulis maupun tidak tertulis.
Karena itu dalam positivisme hukum untuk menjadikan hukum itu
berkeadilan, maka hendaklah norma-norma hukum (kaedah-kaedah hukum)
yang dikeluarkan benar-benar bersumber dari kaedah moral, agama, maupun
kebiasaan. Sehingga bagi masyarakat yang mentaatinya akan merasakan
suasana bathin yang tentram dan dengan demikian hukum tersebut menjadi
hukum yang berkeadilan. Harus dihindari suatu produk norma hukum yang
dibuat oleh otoritas penguasa didasari pada kepentingan pemegang otoritas
kekuasaan. Apalagi hukum dijadikan alat untuk menjaga dan
mempertahankan kepentingan penguasa.
Hukum dan keadilan adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan.
Kasus nenek Minah merupakan gambaran nyata bahwasanya dunia hukum di
Indonesia masih jauh dari nilai-nilai keadilan. Sebagian besar hukum yang
berlaku di Indonesia masih menganut aliran positivisme. Tujuan dari aliran
ini ialah kepastian hukum, hukum adalah yang terdapat didalam Undang-
undang, sedangkan diluar itu bukanlah hukum. Hukum harus ditegakkan
tanpa melihat unsur-unsur sosiologis, etis maupun politis. Sehingga nenek
Minah yang lemah dan tak berdaya didepan hukum harus tetap menjalani
proses hukum, karena walaupun hukum kejam hukum tetap harus ditegakkan.

C. Pengaruh Filsafat Positivisme Dalam Penegakan Hukum Di Indonesia


Pada awal abad XVII yang dipandang sebagai ilmu adalah ilmu
;pengetahuan alam. Berkembangnya filsafat rasionalisme merupakan bagian
usaha manusia untuk memahami alam secara lebih rasional dan obyektif
terlepas dari nilai-nilai mistik dan teologi. Ia menolak sesuatu yang dianalisa
secara metafisik, menolak suatu ajaran yang tidak bisa dibuktikan secara
ilmiah.

11
Pandangan bahwa ilmu harus rasional dan obyektif kemudian
melahirkan pemikiran bahwa ilmu pengetahuan dan berpikir ilmiah harus
bebas nilai. Inilah yang kemudian dikenal sebagai landasan filsafat
modernism yang sangat mendominasi pemikiran yang berkembang pada abad
XVII hingga awal abad XX.
Filsafat modernism inilah yang kemudian melandasi kelahiran filsafat
positivisme yang berkembang sangat pesat pada abad XVII XIX. Filsafat
positivism berbasis pada sesuatu yang riil, nyata, kongkrit, kasat mata bukan
mendasarkan pada sistem metafisik. Dominasi paradigma positivism dalam
ilmu pengetahuan alam yang kemudian diadopsi dalam ilmu sosial
menimbulkan cara berpikir seolah-olah fenomena sosial harus dipahami
dengan metode impersonal, netral dan obyektif, dan rumusnya dimana-mana
selalu sama tidak tergantung ruang dan waktu.
Paradigma positivisme mempengaruhi tidak hanya bidang ilmu
kemasyarakatan seperti sosiologi tetapi juga bidang hukum. Hukum modern
mulai membebaskan diri dari tatanan kuno, terutama pengaruh teologi
sehingga hukum menjadi sangat mengedepankan pemikiran yang rasional.
Positivisme mempengaruhi sosiologi dengan pandangan bahwa hanya yang
merupakan kenyataan (empirik) adalah yang benar. Hal mana juga berlaku
ketika positivism masuk dalam bidang hukum, sehingga satu-satunya yang
diterima sebagai hukum adalah tatanan hukum yang kongkret yang mewujud
dalam aturan tertulis dan diterbitkan oleh lembaga yang berwenang. Dengan
demikian hukum dapat dipastikan kenyataannya. Positivisme di dalam hukum
mengajarkan bahwa pertimbanghan metafisik tidak diperbolehkan,
pengamatan bersifat netral dan obyektif.
Pengaruh besar positivism tampak dalam ajaran John Austin (1790-
1859) tentang hukum. Menurut pendapatnya hukum harus kongkret dan
berwujud dalam bentuk tertulis, dibuat oleh lembaga yang berwenang yang
memang mempunyai kewenangan yang sah untuk itu. Lembaga yang
berwenang yang dimaksud adalah negara dengan kedaulatannya. Berdasarkan
kedaulatannya kemudian negara dapat membuat aturan hukum. Dalam

12
hubungan antar negara, sebagaimana Austin menyebutnya sebagai aspek
eksternal, negara-negara berwenang menyusun hukum internasional,
sedangkan didalam negara itu sendiri, john Austin menyebutnya sebagai
aspek internal, berwenang menyusun hukum nasional. John Austin
memperkenalkan istilah analytical jurisprudence untuk menyebut ajaran
hukum yang dikembangkan dari mazhab positivism. Istilah analytical
jurisprudence mengindikasikan bahwa dalam ilmu hukum harus dilepaskan
dari kajian metafisik.
Pemikiran positivistik dalam hukum telah memunculkan school
jurisprudence yang disebut formalism atau conceptualism. Maksud utama
legal formalism menurut Herman J. Pitersen adalah membangun prinsip-
prinsip hukum, preposisi justificatory structure yang komprehensif dan ketat
pada praktek-praktek hukum dengan metode ilmu alam yang deduktif logis,
tanpa bantuan disiplin ilmu-ilmu lain seperti filsafat ataupun ilmu social.11
Berdasarkan pemikiran seperti yang digambarkan di atas, maka ilmu
hukum disamakan dengan ilmu pasti/alam, berhubungan dengan kepastian
hukum sebagai ciri khas hukum modern dengan maksud agar hukum itu
memberikan prediktabilitas. Ada empat hal yang berhubungan dengan makna
kepastian hukum, antara lain :12
1. Hukum itu positif, artinya bahwa ia adalah perundang-undangan.
2. Hukum didasarkan pada fakta, bukan suatu rumusan tentang penilaian
yang nanti akan oleh hakim, seperti kemauan baik, kesopanan.
3. Fakta-fakta itu harus dirumuskan dengan cara yang jelas sehingga
menghindari kekeliruan dalam pemkanaan, disamping itu juga mudah
dijalankan.
4. Hukum positif itu tidak boleh sering diubah-ubah.
Hukum harus tertulis, merupakan ciri hukum modern sekaligus demi
menjamin kepastian hukum, sebetulnya merupakan kelemahan tersendiri
karena tidak akan mampu mengikuti perkembangan jaman yang selalu
11
Adji Samekto, Negara dalam Dimensi Hukum Internasional, PT Citra Aditya Bakti, Bandung,
2009. Hlm. 13--15
12
Sadjipto Raharjo, Op. Cit.,

13
berubah dari waktu ke waktu, sehingga hukum yang tertulis akan selalu
berada dibelakang apa yang seharusnya dijaga oleh hukum, dengan demikian
makna keadilan yang terkandung dalam hukum tertulispun tidak akan mampu
mengikuti perubahan makna keadilan yang juga terus berkembang.
Gustav Radbruch menggambarkan hal yang demikian dengan sangat
tepat melalui tiga nilai dasar hukum yakni keadilan, kemanfaatan serta
kepastian hukum yang tidak selalu berada dalam hubungan yang serasi satu
sama lain, melainkan berhadapan, bertentangan, bersitegang satu sama lain.
Keadilan bisa bertabrakan dengan kemamfaatan dan kepastian hukum,
tuntutan kemanfaatan bisa bertabarakan dengan keadilan dan kepastian dan
seterusnya.
Jika kepastian hukum dibicarakan sebagai kepastian perundang-
undangan, maka berarti kita sudah memasuki ranah perilaku manusia dan
faktor-faktor lain yang bisa mempengaruhi bagaimana hukum positif
dijalankan. Seperti yang diuraikan di atas bahwa masalah kepastian hukum
dalam perundang-undangan kita bercirikan Eropa sentris yang diselimuti oleh
dimensi liberal individualistik. Dalam kultur liberal dan sistem hukum liberal
tugas hukum menjadi selesai dengan selesainya hukum dibuat. Kepastian
hukum liberal sama sekali tidak melihat kenyataan, bahwa masyarakat penuh
dengan perbedaan dan kesenjangan kehidupan. Seseorang dengan kondisi
ekonomi yang kurang beruntung akan menjadi target tanpa perlawanan
dalam penegakan hukum.
Penegakan hukum di Indonesia dirasakan semakin jauh dari perasaan
keadilan masyarakat karena ajaran-ajaran hukum yang dikembangkan dari
paradigma positivism yang bercorak liberalistik-individual dengan tujuan
untuk menjaga dan menjamin keselamatan individu ini menjadi begitu
dominan dalam praktek maupun pendidikan hukum di Indonesia. Pendidikan
hukum di negara kita saat ini bertujuan untuk membentuk professional
lawyer, bagaimana menerapkan hukum posistif, mencetak tukang-tukang
hukum, belum mengarah pada pendidikan pemikir hukum. Padahal kita tahu
bahwa hukum kita adalah hukum produk abad ke 18, sehingga yang dapat

14
ditangkap adalah bahwa praktek dan pendidikan hukum di Indonesia tidak
link dengan perkembangan masyarakat, hukum kita seolah-olah lebih
mementingkan prosedur dari pada esensi hukum itu sendiri yang berupa
keadilan sebagaimana yang dikehendaki oleh masyarakat.
Ada beberapa solusi dalam penegakan hukum di Indonesia :
1. Penguatan Peran Agama Dalam Penegakan Hukum
Indonesia yang sejak merdeka telah mendeklarasikan diri sebagai
negara yang tidak menjadikan satu agama tertentu sebagai agama resmi
negara (teokrasi) dan bukan negara sekuler yang mengabaikan
sepenuhnya agama-agama yang dianut rakyatnya. Indonesia adalah
sebuah religious nation state (negara kebangsaan yang religius) yang
menghormati dan membina semua agama yang dianut oleh rakyatnya.13
Indonesia adalah negara yang mengakui adanya Tuhan walaupun tidak
menjadikan dirinya sebuah negara teokrasi. Sebagai konsekuensi dari
negara yang demikian adalah seharusnya setiap produk hukum yang ada
dan yang akan dibuat adalah didasarkan pada pengutamaan nilai-nilai
ketuhanan, tidak pada nilainilai yang lainnya seperti sekularisme.
Prakteknya setelah sekian lama Indonesia merdeka (65 tahun)
nilai-nilai ketuhanan semakin terpinggirkan berbanding terbalik dengan
irama sekularisme yang semakin menguat. Disinilah sebetulnya awal
malapetaka tidak beresnya penegakkan hukum di Indonesia sehingga
semakin hari semakin besar puncak kegelisahan anak bangsa dalam
mengikuti irama penegakkan hukum yang semakin jauh dari rasa
keadilan masyarakat sebagai akibat jauh dari nilai-nilai agama yang
seharusnya menjadi pedoman dalam pengambilan keputusan.
Hubungan antara agama dan hukum adalah satu hubungan timbal
balik yang menjadi bahan pembahasan para ahli dari jaman ke jaman.
Karena manusia selain sebagai mahluk sosial yang berhukum sekaligus
juga mahluk yang beragama. Dengan demikian terdapat hubungan yang
erat tentang agama dan hukum. Konsepsi manusia yang tertua tentang
13
Mahfudz MD, 2000, Membangun Politik Hukum Menegakkan Konstitusi Yogjakarta, LP3ES,
hlm 30.

15
hukum adalah memandang hukum itu bersumberkan pada suatu sumber
gaib dari Tuhan. Tuhan adalah pencipta dan sumber dari pada timbulnya
hukum, berasal dari Tuhanlah segala hukum yang berlaku. Di sini tidak
ada pemisahan antara agama dan hukum. Hukum ialah segala perintah
dan larangan dari Tuhan.
2. Penegakan Hukum Butuh Teladan
Sebagai negara bekas jajahan, dimana banyak hukum tinggalan
kolonial yang masih diberlakukan walaupun keadaan dimana hukum
tersebut berlaku sudah tidak ada lagi, maka konsekuensinya adalah
adanya banyak aturan yang sudah tidak dapat diterapkan lagi. Keadaan
yang demikian sebetulnya ilmu hukum telah memberi tempat bagi
analogi terhadap suatu pasal perundangan agar tercipta keadilan.
Namun yang terjadi adalah kekosongan hukum tersebut dimanfaatkan
untuk kepentingan masing-masing individu, kelompok atau orang yang
menjadi kliennya tanpa menghiraukan nilai-nilai yang hidup di
masyarakat maupun ajaran agama. Suatu perbuatan dianggap benar
apabila tidak secara tertulis dinyatakan salah oleh undang-undang.
Ajaran legisme telah merasuk kedalam semua bidang, tak
terkecuali penegak hukumnya maupun ruh hukum itu sendiri. Keyakinan
terhadap ajaran legisme yang sempit inilah yang semakin memperkeruh
terhadap penegakan hukum di negeri ini. Untuk mengatasi hal tersebut
dibutuhkan keberanian dan keteladanan dari aparat penegak hukum
utamanya dan kita semua rakyat Indonesia pada umumnya.
Soerjono Soekanto dalam penelitiannya menemukan lima faktor
yang menentukan efektifitas penegakkan hukum antara lain :14
1. Pemberian teladan kepatuhan hukum oleh aparat penegak hukum ,
2. Sikap lugas dan tegas (zakelijk) dari aparat penegak hukum,
3. Penyesuaian peraturan yang berlaku dengan perkembangan
teknologi yang mutakhir,

14
Soerjono Soekanto, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, CV. Rajawali,
Jakarta, 1986. Hlm. 61.

16
4. Penyuluhan mengenai keberadaan peraturan yang berlaku terhadap
masyarakat,
5. Memberi waktu yang cukup bagi masyarakat untuk memahami
peraturan yang baru dibuat.

BAB III
PENUTUP

17
A. Kesimpulan
Dari pembahasan pada bab sebelumnya maka dapat ditarik kesimpulan:
1. Hukum dan keadilan adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Kasus
nenek Minah merupakan gambaran nyata bahwasanya dunia hukum di
Indonesia masih jauh dari nilai-nilai keadilan. Sebagian besar hukum
yang berlaku di Indonesia masih menganut aliran positivisme. Tujuan
dari aliran ini ialah kepastian hukum, hukum adalah yang terdapat
didalam Undang-undang, sedangkan diluar itu bukanlah hukum. Hukum
harus ditegakkan tanpa melihat unsur-unsur sosiologis, etis maupun
politis. Sehingga nenek Minah yang lemah dan tak berdaya didepan
hukum harus tetap menjalani proses hukum, karena walaupun hukum
kejam hukum tetap harus ditegakkan.
2. Dalam aliran positivisme hukum, maka sulit bagi kita untuk melihat
keadilan secara sesungguhnya, sebab didalam positivisme hukum faktor
legalistik sangat menentukan. Karena itu sulit kita akan mendapatkan
keadilan sosial (social justice), tapi lebih cendrung pada keadilan Hukum
/undang-undang (law justice). Sehingga dalam aliran positivisme hukum
ini penekanan cendrung pada nilai kepastian hukum. Apakah suatu
hukum yang diberlakukan itu adil atau tidak itu tidak menjadi bahasan
aliran positivisme hukum, sebab menurut positivisme hukum yang
dikatakan hukum adalah apa yang dibuat penguasa dalam bentuk legal
formal (undang-undang) diluar undang-undang itu bukan hukum.
3. Pengaruh filsafat positivisme dalam penegakan hukum di Indonesia
dimana hukum harus kongkret dan berwujud dalam bentuk tertulis,
dibuat oleh lembaga yang berwenang yang memang mempunyai
kewenangan yang sah untuk itu. Lembaga yang berwenang yang
dimaksud adalah negara dengan kedaulatannya. Berdasarkan
kedaulatannya kemudian negara dapat membuat aturan hukum. Dalam
hubungan antar negara, sebagaimana Austin menyebutnya sebagai aspek
eksternal, negara-negara berwenang menyusun hukum internasional,
sedangkan didalam negara itu sendiri, john Austin menyebutnya sebagai

18
aspek internal, berwenang menyusun hukum nasional. John Austin
memperkenalkan istilah analytical jurisprudence untuk menyebut ajaran
hukum yang dikembangkan dari mazhab positivism. Istilah analytical
jurisprudence mengindikasikan bahwa dalam ilmu hukum harus
dilepaskan dari kajian metafisik.

B. Saran
Dalam hukum sebagaimana yang dipahami ada 3 (tiga) nilai yaitu nilai
kepastian , nilai keadilan dan nilai kegunaan. Ketiga nilai ini tidak mungkin
dapat dipenuhi pada saat yang bersamaan, sehingga acapkan kali kita melihat
ada hukum yang hanya mengutakaman nilai keadilan saja, ada pula yang
mengutamakan nilai kepastian atau nilai kepastian.

19
DAFTAR PUSTAKA

Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, 1985.

Adji Samekto, Negara dalam Dimensi Hukum Internasional, PT Citra Aditya


Bakti, Bandung, 2009.

C.J.Friedrich, Falsafat Hukum Perspektif Historis, Nuansa dan Nusamedia,


Bandung, 2004.

Herman Bakir, SH., MH Filsafat Hukum Desain dan Arsitektur Kesejarahan,


Refika Aditama, 2007.

Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia,


Surabaya, 2005.

Mahfudz MD, 2000, Membangun Politik Hukum Menegakkan Konstitusi


Yogjakarta, LP3ES.

Muhammad Sidiq, Perkembangan Pemikiran Teori Ilmu Hukum, Prandya


Paramita, Jakarta, 2009.

Satjipto Raharjo II, Buku Materi Pokok Pengantar Ilmu Hukum Bagian IV,
Karunika, Jakarta, 1985.

Soerjono Soekanto, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, CV.


Rajawali, Jakarta, 1986.

Soetandyo Wignjosobroto, Hukum, Paradigma, metode dan Dinamika


Masalahnya, Elsam & Huma, Jakarta, 2002.

20

Anda mungkin juga menyukai