Anda di halaman 1dari 5

A.

Latar Belakang
Konsep perlindungan hukum saksi dan korban penyalahgunaan
kekuasaan adalah pengeturan yang akan peneliti jabarkan dalam tesis ini pada
bab selanjutnya adalah konsep perlindungan saksi dan korban yang spesifik
dan komperhensif dimulai pasa saat proses sebelum dimulainya proses
persidangan sampai dengan selesainya persidangan (putusan telah
berkekuatan hukum tetap). Perlindungan ini adalah bagaiman tentang
pemenuhan hak-hak saksi dan korban tindak pidana penyalahgunaan
kekuasaan.1
Kita semua tentu sudah mengetahui bahwa asas persamaan di depan
hukum (equality before the law) merupakan salah satu ciri negara hukum.
Demikian pula terhadap korban yang harus mendapat pelayanan hukum
berupa perlindungan hukum. Bukan hanya tersangka atau terdakwa saja yang
dilindungi hak-haknya, tetapi juga korban dan saksi pun wajib dilindungi hak-
haknya. Negara diharapkan mampu menjawab tantangan atas tuntutan
penyediaan transitional justice; tantangan untuk memberikan keadilan legal,
sosial, dan moral dalam selama proses peralihan menuju pemerintahan
demokratis berdasarkan prinsip-prinsip penghormatan Hak Asasi Manusia
(HAM) dan anti kekerasan.2
Baru pada tahun 2006, pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) mengeluarkan peraturan perundang-undangan berupa Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban sebagaimana
diubah dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan
Saksi dan Korban. Perlindungan dalam undang-undang ini adalah segala
upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman
kepada saksi dan atau korban yang wajib dilaksanakan oleh Lembaga

1
Bambang Waluyo. Viktimologi Perlindungan Korban dan Saksi, cet. Ke-2. (Jakarta:
Sinar Grafika, 2012).
2
Saristha Natalia Tuage, “Perlindungan Hukum Terhadap Saksi dan Korban Oleh
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK),” dalam jurnal Lex Crimen Vol. II/No.
2/Apr Jun/2013.
Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) atau lembaga lainnya sesuai
ketentuan undang-undang.

B. Rumusan Masalah
Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah: apa alasan
munculnya UU Nomor 31 Tahun 2014 perubahan UU Nomor 13 Tahun 2006
tentang Perlindungan saksi dan korban yang dikaitkan dengan sejarah
hukum?

C. Pembahasan
Seiring dengan semakin tingginya tingkat kejahatan yang terjadi baik
dari segi kuantitas maupun secara kualitas serta modus operandi kejahatan
yang semakin komplek dan rumit. Apalagi dengan adanya perkembangan dan
kemajuan teknologi yang ikut mempengaturuhi kompleksitas kejahatan yang
tidak lagi bersifat nasional tetapi juga transnasional, bukan lagi dilakukan
orang perorang tetapi juga kejahatan terorganisasi bahkan kejahatan
korporasi.
Upaya peningkatan pengungkapan tindak pidana secara tuntas dan
menyeluruh harus terus dilakukan harus terus ditingkatkan, termasuk
pengungkapan dalam mencari bukti-bukti (keterangan/informasi/data) yang
diperoleh dari saksi dan/atau korban serta Ahli. Metode pencarian bukti-bukti
dari dari saksi dan/atau korban melalui cara-cara paksaan dan intimidasi harus
dan telah ditinggalkan bilamana kita mengerti tentang pentingnya saksi
dalam mengungkap suatu tindak pidana, terlebih lagi bila dipandang dari
perlindungan Hak Asasi Manusia.
Perkembangan sistem peradilan pidana di Indonesia telah mengalami
perubahan yang tidak hanya berorientasi pada pemidanaan terhadap pelaku
saja melainkan juga memperhatikan kepentingan terhadap saksi dan/atau
korban, baik berupa perlindungan hukum, fisik maupun pemberian
penghargaan atas upaya pengungkapan suatu tindak pidana.3
Negara telah mendukung pergeseran sistem peradilan pidana yang
lebih progresif memberikan perlindungan bagi saksi dan korban tindak pidana
dengan mengeluarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban, yang memberikan mandat sebagai
pelaksananya adalah pembentukan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban
sebagai penyelenggara negara yang menyelenggarakan perlindungan bagi
saksi dan korban. Eksistensi LPSK semakin diperkuat dan diperluas
kewenangannya dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 31 Tahun
2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan korban.
Kondisi demikian patut kita syukuri, karena kini kita memiliki
instrumen hukum yang lebih menjamin memberikan perlindungan khusus
bagi pengungkap fakta yang terkait dengan suatu tindak pidana,
penyalahgunaan kekuasaan, korupsi, maladministrasi, dan pelanggaran
hukum lain yang mempengaruhi kepentingan umum, keselamatan atau
kerugian negara. Siapapun bisa saja perperan sebagai saksi, baik dia
masyarakat biasa, pegawai atau pejabat, baik terhadap kejahatan biasa
maupun tindak pidana khusus. Undang-undang Nomor 31 Tahun 2014
diharapkan mampu memberikan perlindungan maksimal bagi saksi/korban
dan ahli untuk terbebas dari rasa takut dalam memberikan kesaksian dan
mengungkap kejahatan yang pada akhirnya sangat membantu tugas-tugas
penegakan hukum yang dilakukan Penyidik, Jaksa maupun Hakim.
Perlindungan bagi saksi dan korban oleh negara melalui LPSK
menurut UU No 31 Tahun 2014 dapat dilihat dari ketentuan Pasal 5, dimana
saksi/korban dan ahli dapat diberikan hak-haknya (15 bentuk perlindungan),
bahkan bagi korban kejahatan tertentu seperti Korban pelanggaran Terorisme,

3
Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana (Jakarta:
Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengadilan Hukum Kriminologi, Universitas Indonesia,
2007)
kejahatan kekerasan atau seksual, dapat diberikan bantuan medis, bantuan
psikososial dan psikologi serta bagi korban pelanggaran HAM dapat pula
diberikan kompensasi. (Pasal 7)
Sementara korban tindak pidana selain mendapatkan perlindungan/hak
yang diberikan LPSK, juga berhak memperoleh resititusi (ganti rugi) berupa
ganti rugi atas kehilangan kekayaan yang ditimbulkan, ganti rugi atas
penderitaan yang diakibatkan dari tindak pidana, dan ganti rugi atas biaya
pengobatan medis dan/atau psikologis. (Pasal 7A)
Bagi saksi pelaku dapat diberikan kekhususan dalam proses
pemeriksaan dan diberikan penghargaan atas kesaksian yang diberikan.
Penghargaan yang diberikan berupa keringanan penjatuhan pidana,
pembebasan bersyarat, remisi dan hak terpidana lainnya.

D. Penutup
Undang-undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang perubahan atas
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan
Korban telah memberikan kesempatan yang seluas-luasnya dan perlindungan
yang optimal terhadap orang yang bisa memberikan kesaksian dengan itikad
baik mengungkap fakta telah terjadi suatu tindak pidana. Rezim perlindungan
saksi dan korban jelas membantu aparat penegak hukum dalam melaksanakan
tugas dan kewenangannya menegakan hukum yang seadil-adilnya, oleh
karenanya keberadaan LPSK sebagai amanat ditetapkan UU Perlindungan
Saksi dan Korban merupakan mitra bagi aparat penegak hukum yang harus
dibina dan terus ditingkatkan.
DAFTAR PUSTAKA

Bambang Waluyo. Viktimologi Perlindungan Korban dan Saksi, cet. Ke-2.


(Jakarta: Sinar Grafika, 2012).

Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana


(Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengadilan Hukum Kriminologi,
Universitas Indonesia, 2007)

Saristha Natalia Tuage, “Perlindungan Hukum Terhadap Saksi dan Korban Oleh
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK),” dalam jurnal Lex
Crimen Vol. II/No. 2/Apr Jun/2013.

Anda mungkin juga menyukai