Anda di halaman 1dari 14

Kasus Nenek Minah

Kontradiksi antara aliran Positivisme Hukum dengan Aliran Sosiologis

Sumber berita :

http://news.detik.com/read/2009/11/19/152435/1244955/10/mencuri-3-buah-kakao-

nenek-minah-dihukum-1-bulan-15-hari

http://regional.kompas.com/read/2009/11/19/07410723/duh....tiga.buah.kakao.menyer

et.minah.ke.meja.hijau..

*Sampul bikin Sendiri, aku gak tau nama kampus dan

jurusannya :D
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pada dasarnya kehidupan manusia tidak dapat dipisahkan dari hukum.

Sepanjang sejarah peradaban manusia, peran sentral hukumdalam upaya menciptakan

suasana yang memungkinkan manusia merasa terlindungi, hidup berdampingan secara

1
damai dan menjaga eksistensinya didunia telah diakui .

Indonesia adalah negara yang berdasarkan kepada hukum (rechtaat), hukum

harus dijadikan panglima dalam menjalankan kehidupan bernegara dan

bermasyarakat, sehingga tujuan hakiki dari hukum bisa tercapai seperti keadilan,

kepastian dan ketertiban. Secara normatif hukum mempunyai cita-cita indah namun

didalam implentasinya hukum selalu menjadi mimpi buruk dan bahkan bencana bagi

masyarakat. Ketidaksinkronan antara hukum di dalam teori (law in a book) dan

hukum dilapangan (law in action) menjadi sebuah perdebatan yang tidak kunjung

hentinya. Terkadang untuk menegakkan sebuah keadilan menurut hukum harus

melalui proses-proses hukum yang tidak adil.

Sebagain besar hukum yang berlaku di Indonesia adalah hukum bekas jajahan

Belanda, banyak kaedah-kaedah dalam hukum tersebut tidak sesuai dengan nilai-nilai

yang ada di tengah-tengah masyarakat dan tidak mencerminkan nilai-nilai keadilan.

Hukum kolonial yang masih berlaku di Indonesia menganut ajaran Positivisme.

1
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia, Surabaya, 2005,
hlm.1
Hukum menurut aliran ini adalah apa yang menurut undang-undang, bukan apa yang

seharusnya. Atas dasar itu, hukum harus pula dibersihkan dari anasir-anasir yang

tidak yuridis seperti etis (penilaian baik dan buruk), politis (subjektif dan tidak bebas

nilai), sosiologis (terlepas dari kenyataan sosial).

Ada sebuah kasus hukum yang sangat menarik untuk ditelaah, yakni seorang

nenek berumur 55 Tahun yang bernama Minah diganjar 1 bulan 15 hari penjara

karena menyangka perbuatan isengnya memetik 3 buah kakao di perkebunan milik

PT. Rumpun Sari Antan (RSA) adalah hal yang biasa saja.

Ironi hukum di Indonesia ini berawal saat Minah sedang memanen kedelai di

lahan garapannya di Dusun Sidoarjo, Desa Darmakradenan, Kecamatan Ajibarang,

Banyumas, Jawa Tengah, pada 2 Agustus lalu. Lahan garapan Minah ini juga dikelola

oleh PT RSA untuk menanam kakao.

Ketika sedang asik memanen kedelai, mata tua Minah tertuju pada 3 buah

kakao yang sudah ranum. Dari sekadar memandang, Minah kemudian memetiknya

untuk disemai sebagai bibit di tanah garapannya. Setelah dipetik, 3 buah kakao itu

tidak disembunyikan melainkan digeletakkan begitu saja di bawah pohon kakao.

Dan tak lama berselang, lewat seorang mandor perkebunan kakao PT RSA. Mandor

itu pun bertanya, siapa yang memetik buah kakao itu. Dengan polos, Minah mengaku

hal itu perbuatannya. Minah pun diceramahi bahwa tindakan itu tidak boleh dilakukan

karena sama saja mencuri.


Sadar perbuatannya salah, Minah meminta maaf pada sang mandor dan

berjanji tidak akan melakukannya lagi. 3 Buah kakao yang dipetiknya pun dia

serahkan kepada mandor tersebut. Minah berpikir semua beres dan dia kembali

bekerja. Namun dugaanya meleset. Peristiwa kecil itu ternyata berbuntut panjang.

Sebab seminggu kemudian dia mendapat panggilan pemeriksaan dari polisi. Proses

hukum terus berlanjut sampai akhirnya dia harus duduk sebagai seorang terdakwa

kasus pencuri di Pengadilan Negeri (PN) Purwokerto. Majelis hakim yang dipimpin

Muslih Bambang Luqmono SH memvonisnya 1 bulan 15 hari dengan masa percobaan

selama 3 bulan. Minah dinilai terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar pasal

362 KUHP tentang pencurian.

Adanya perbenturan antara nilai-nilai keadilan pada kasus tersebut penulis

tertarik menganalisa kasus tersebut melalui dua aliran hukum yang berbeda yang

saling kontradiksi yakni aliran hukum Positivisme dan Aliran Sosiologis.

B. Masalah Pokok

a. Bagaimana pandangan aliran positivisme terhadap kasus tersebut?

b. Bagaimana Pandangan aliran Sosiologis terhadap kasus tersebut?


BAB II

PEMBAHASAN

A. Pandangan Aliran Positivisme

Kasus nenek Minah menurut aliran positivis adalah sebuah perbuatan yang

harus dihukum, tanpa menghiraukan besar kecil yang dicurinya. Penegakan

hukum terhadap nenek Minah harus dilepaskan dari unsur-unsur sosial serta

moralitas, karena menurut kaca mata aliran ini tujuan hukum adalah kepastian,

tanpa adanya kepastian hukum tujuan hukum tidak akan tercapai walaupun harus

mengenyampingkan rasa keadilan.

Menurut Austin, hukum terlepas dari soal keadilan dan terlepas dari soal

baik dan buruk. Karena itu, ilmu hukum tugasnya hanyalah menganalisis unsur-

unsur yang secara nyata ada dalam sistem hukum modern. Ilmu hukum hanya

berurusan dengan hukum positif, yaitu hukum yang diterima tanpa memperhatikan

kebaikan atau keburukannya. Hukum adalah perintah dari kekuasaan politik yang

2
berdaulat dalam suatu negara.

Seorang pengikut Positivisme, Hart mengemukakan berbagai arti dari

positivisme tersebut sebagai berikut:

1. hukum adalah perintah

2. Analisis terhadap konsep-konsep hukum berbeda dengan studi sosiologis,

histories dan penilaian kritis.

2
Muhammad Sidiq, Perkembangan Pemikiran Teori Ilmu Hukum, Prandya Paramita, Jakarta, 2009,
hlm. 6
3. keputusan-keputusan dideduksi secara logis dari peraturan-peraturan yang

sudah ada lebih dahulu, tanpa perlu merujuk kepada tujuan-tujuan sosial,

kebijaksanaan dan moralitas.

4. Penghukuman secara moral tidak dapat ditegakkan dan dipertahankan oleh

penalaran rasional, pembuktian atau pengujian

5. Hukum sebagaimana diundangkan, ditetapkan, positum, harus senantiasa

3
dipisahkan dari hukum yang seharusnya diciptakan, yang diinginkan .

Aliran Positivisme hukum telah memperkuat pelajaran legisme, yaitu suatu

pelajaran yang menyatakan tidak ada hukum di luar undang-undang, undang-

undang menjadi sumber hukum satu-satunya. Undang-undang dan hukum

diidentikkan.

Hukum Pidana di Indonesia masih menganut aliran Positivisme, hal ini

secara eksplisit tertuang didalam pasal 1 ayat (1) KUHP, bahwa tidak dapat di

pidana seseorang sebelum ada undang-undang yang mengaturnya, ini disebut

dengan azas legalitas. Dari pernyataan diatas maka pada pasal 1 ayat (1) Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana menentukan bahwa, dapat dipidana atau tidaknya

suatu perbuatan tergantung pada undang-undang yang mengaturnya. Jadi

perbuatan pidana yang dapat dipertanggung jawabkan ialah yang tertuang didalam

hukum positif, selama perbuatan pidana tidak diatur didalam didalam hukum

positif, maka perbuatan tersebut bukan perbuatan pidana dan tidak bisa diminta

pertanggung jawaban hukumnya menurut hukum pidana.

3
Satjipto Raharjo II, Buku Materi Pokok Pengantar Ilmu Hukum Bagian IV, Karunika, Jakarta, 1985,
hlm. 111
Ketika nenek Minah kedapatan mengambil 3 buah kakao, yang secara

ekonomi nilainya tidak seberapa, nenek Minah harus berurusan dengan hukum,

karena perbuatan yang dilakukan nenek Minah menurut hukum Pidana termasuk

kepada perbuatan pidana yakni tindak pidana pencurian. Menurut Aliran

Positivisme bagaimana pun hukum harus ditegakkan tanpa melihat baik atau

buruknya serta adil atau tidak adilnya. Hukum harus dilepaskan dari unsur-unsur

sosial, karena tujuan dari aliran ini adalah kepastian hukum.

Menurut paham positivisme, setiap norma hukum harus eksis dalam

alamnya yang obyektif sebagai norma-norma yang positif, serta ditegaskan dalam

wujud kesepakatan kontraktual yang konkret antara warga masyarakat atau wakil-

wakilnya. Disini hukum bukan lagi dikonsepsikan sebagai asas-asas moral

metayuridis yang abstrak tentang hakikat keadilan, melainkan ius yang telah

mengalami positivisasi sebagai lege atau lex, guna menjamin kepastian mengenai

apa yang terbilang hukum, dan apa pula yang sekalipun normative harus

4
dinyatakan sebagai hal-hal yang bukan terbilang hukum.

Dalam menjawab persoalan itu, sebagai negara yang menganut aliran

positivisme, mau tidak mau cara berpikir aliran positivisme itulah yang harus

diterapkan. Inilah yang disebut dengan tertib berpikir. Dengan kata lain, terlepas

dari serba keburukan-keburukan yang melekat pada aliran hukum positivisme ini,

4
Soetandyo Wignjosobroto, Hukum, Paradigma, metode dan Dinamika Masalahnya, Elsam & Huma,
Jakarta, 2002, hlm. 96
cara memandang persoalannya harus dengan kacamata positivisme. Bukan dengan

dasar filosofis lainnya.

Karena melihat persoalan hukum ini melalui kacamata positivisme, maka

harus melihat kembali fakta-fakta substansi hukum Pidana Indonesia dalam

menjawab persoalan ini, sebagai negara yang menganut aliran positivisme, mau

tidak mau cara berpikir aliran positivisme itulah yang harus diterapkan. Inilah

yang disebut dengan tertib berpikir, sehingga hukum Pidana terlepas dari Ins

konsistensi hukum. Dengan kata lain, terlepas dari serba keburukan-keburukan

yang melekat pada aliran hukum positivisme ini, cara memandang persoalannya

harus dengan kacamata positivisme. Bukan dengan dasar filosofis lainnya.

Menurut Hans Kelsen, aliran positivisme hukum tidak mempersoalkan keadilan,

karena hal tersebut bukan konsen dari hukum.


B. Pandangan Aliran Sosiologis.

Kasus nenek Minah sontak mencidrai rasa keadilan di tengah

masyarakat, sebab nenek Minah yang tak tau apa-apa tersebut harus berurusan

dengan hukum dan dijatuhi hukuman oleh hakim. Padahal apa yang diperbuat oleh

nenek Minah sangat tidak berbanding dengan sanksi yang diterimanya.

Seharusnya perkara-perkara kecil seperti ini tidak sampai ke pengadilan dan

cukup diselesaikan bawah, tetapi hukum berkata lain. Substansi hukum tidak lagi

mencerminkan keadilan ditengah masyarakat, hukum sudah jauh dari nilai-nilai

yang hidup ditengah masyarakat.

Menurut Aliran Sosiologis yang dipelopori Hammaker, Eugen Ehrlich

dan Max Weber Hukum merupakan hasil interaksi sosial dalam masyarakat.

Hukum adalah gejala masyarakat, karenanya perkembangan hukum (timbulnya,

berubahnya dan lenyapnya) sesuai dengan perkembangan masyarakat.

Perkembangan hukum merupakan kaca dari perkembangan masyarakat.

Oleh sebab itu, menurut aliran Sosiologis, hukum bukanlah norma-

norma atau peraturan-peraturan yang memaksa orang berkelakuan menurut tata

tertib yang ada dalam masyarakat, tetapi kebiasaan-kebiasaan orang dalam

pergaulannya dengan orang lain, yang menjelma dalam perbuatan atau

perilakunya dimasyarakat. Hammaker, yang meletakkan dasar sosiologi hukum di

Negara Belanda menyatakan, hukum itu bukan suatu himpunan norma-norma,


bukan himpunan peraturan-peraturan yang memaksa orang berkelakuan menurut

tata tertib masyarakat, tetapi suatu himpunan peraturan-peraturan yang menunjuk

‘kebiasaan’ orang dalam pergaulannya dengan orang lain di masyarakat.

Menurut Soekanto, aliran sociological jurisprudence yang dipelopori

oleh oleh Eugen Erlich, bahwa ajarannya adalah berpokok pada perbedaan antara

hukum positif (kaidah-kaidah hukum) dengan hukum yang hidup ditengah

masyarakat (living law). Sehingga hukum yang positif hanya akan efektif apabila

senyatanya selaras dengan hukum yang hidup di masyarakat. Erlich juga

mengatakan bahwa pusat perkembangan dari hukum bukanlah terletak pada

badan-badan legislated, keputusan-keputusan badan yudikatif atau ilmu hukum,

5
tetapi senyatanya adalah justru terletak didalam masyarakat itu sendiri.

Kasus nenek Minah merupakan secuil kecil masalah ketidakadilan

ditengah-tengah masyarakat. Banyak substansi hukum yang ada tidak berihak

kepada kepentingan masyarakat, hukum tidak lagi mencerminkan perkembangan

masyarakat sehingga banyak masalah-masalah hukum terkini ditengah-tengah

masyarakat tidak bisa dijawab oleh hukum, karena hukum yang berlaku sudah

banyak yang usang seperti hukum warisan kolonial yang masih bersifat positivis.

Secara idialnya perkembangan masyarakat harus diikuti oleh

perkembangan hukum. Dari kasus nenek Minah, penggunaan pranata hukum yang

tidak sesuai dengan perkembangan masyarakat dan tidak mencerminan nilai-nilai

keadilan ditengah masyarakat hanya membawa ketidakadilan ditengah-tengah

masyarakat. Ditambah lagi dengan aparat penegak hukum yang masih berpola

5
Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Jakarta, 1999, hlm.36
pikir konservatif dalam menegakkan hukum. Hukum adalah hasil ciptaan

masyarakat, tapi sekaligus ia juga menciptakan masyarakat. Sehingga konsep

dalam berhukum seyogyanya adalah sejalan dengan perkembangan

6
masyarakatnya .

6
Sabian Usman, Dasar-Dasar Sosiologi Hukum Makna Dialog Antara Hukum dan Masyarakat,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2009, hlm. 242
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Hukum dan keadilan adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Kasus nenek

Minah merupakan gambaran nyata bahwasanya dunia hukum di Indonesia masih

jauh dari nilai-nilai keadilan. Sebagian besar hukum yang berlaku di Indonesia

masih menganut aliran positivisme. Tujuan dari aliran ini ialah kepastian hukum,

hukum adalah yang terdapat didalam Undang-undang, sedangkan diluar itu

bukanlah hukum. Hukum harus ditegakkan tanpa melihat unsur-unsur sosiologis,

etis maupun politis. Sehingga nenek Minah yang lemah dan tak berdaya didepan

hukum harus tetap menjalani proses hukum, karena walaupun hukum kejam

hukum tetap harus ditegakkan.

Sedangkan di sisi lain, dengan adanya kasus nenek Minah ini, hukum di

Indonesia tidak lagi menggambarkan nilai-nilai keadilan ditengah-tengah

masyarakat. Menurut Aliran Sosilogis hukum itu lahir dan hidup ditengah

masyarakat, hukum yang hidup ditengah masyarakat itulah hukum, sehingga

hukum merupakan percerminan dari perkembangan masyarakat itu. Menurut

aliran ini hukum tidak terdapat didalam undang-undang, tetapi hukum itu ada

ditengah-tengah masyarakat yang terlihat dari pola tingkah laku masyarakat.

Perkembangan masyarakat juga harus di ikuti oleh perkembangan hukum,


sehingga pranata-pranata hukum yang ada dapat menjawab semua masalah hukum

tanpa mengenyampingkan nilai-nilai keadilan yang hidup ditengah-tengah

masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Hans Kelsen, Toeri Hukum Murni, Nusamedia, Bandung, 2008

Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia,

Surabaya, 2005

Muhammad Sidiq, Perkembangan Pemikiran Teori Ilmu Hukum, Prandya Paramita,

Jakarta, 2009

Sabian Usman, Dasar-Dasar Sosiologi Hukum Makna Dialog Antara Hukum dan

Masyarakat, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2009

Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Jakarta, 1999

Soetandyo Wignjosobroto, Hukum, Paradigma, metode dan Dinamika Masalahnya,

Elsam & Huma, Jakarta, 2002

Satjipto Raharjo II, Buku Materi Pokok Pengantar Ilmu Hukum Bagian IV, Karunika,

Jakarta, 1985

Anda mungkin juga menyukai