Anda di halaman 1dari 10

TELAAH KASUS NENEK MINAH DALAM

PANDANGAN PARADIGMA POST-


POSITIVISME

NAMA

NPM

BAB I

PENDAHULUAN

Hukum penting dalam sejarah peradaban manusia karena membantu menciptakan


suasana yang memungkinkan manusia merasa aman dan hidup bersama secara damai.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia menyatakan bahwa Indonesia adalah
negara hukum1. Hal ini berarti bahwa Indonesia harus menjunjung tinggi hukum serta
dalam tindakannya harus didasarkan pada hukum atau peraturan yang diciptakan untuk
mengatur suatu tatanan di dalam pemerintahan, termasuk juga warga negaranya.

Hukum pidana adalah jenis hukum yang digunakan untuk mencegah orang
melakukan hal-hal yang tidak diperbolehkan oleh hukum negara. Undang-undang ini
didasarkan pada gagasan bahwa masyarakat harus mematuhi undang-undang yang telah
1
Prof. Indarti, E. SH,MA,PhD. Diskresi dan Paradigma : Sebuah Telaah Filsafat Hukum, Pidato Pengukuhan Guru Besar
Universitas Diponegoro, 2010.
ditetapkan oleh pemerintah, dan hukum pidana adalah salah satu cara yang dilakukan
pemerintah untuk menegakkan peraturan tersebut. Proses pemeriksaan sidang perkara
pidana digunakan untuk menyelidiki apakah suatu tindak pidana telah dilakukan dan untuk
mengidentifikasi pelakunya. Dasar hukum tentang pembuktian dalam hukum acara pidana
mengacu pada Pasal 183-189 KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana).
Hakim dalam hukum pidana bertanggung jawab untuk mengumpulkan bukti yang cukup
untuk membuktikan tuduhan terhadap terdakwa.

Keputusan hakim terkesan tidak adil karena Nenek Minah dinyatakan bersalah
melakukan tindak pidana yang diatur dalam KUHP. Kasus Nenek Minah ini dapat menjadi
contoh, yang banyak kalangan menganalogikan fenomena penegakan hukum di Indonesia
itu seperti pisau, yaitu tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas. Karena mereka
membandingkan kasus pencurian 3 buah kakao yang dilakukan Nenek Minah ini dengan
kasus besar seperti Kasus Bank Century, dimana hakim hanya  memvonis 4 tahun penjara
dan denda Rp 50 miliar/subsider (sebagai gantinya) 5 bulan penjara kepada mantan pemilik
sebagian saham PT Bank Century Tbk, Robert Tantular. Vonis itu jauh lebih ringan dari
tuntutan Jaksa. Orang yang menilap uang hingga Rp 2.8 triliun dan menyebabkan lembaga
negara harus mengucurkan dana Rp 6.7 triliun hanya divonis 4 tahun penjara. Hal yang
tentunya sangat tidak adil jika dibandingkan dengan Nenek tua yang mencuri 3 buah kakao
hanya untuk dijadikan bibit karena tidak mampu membelinya, justru diseret ke pengadilan,
lalu divonis 1,5 bulan. Tidak sedikit pengadilan menjatuhkan hukuman hampir maksimum
bagi para pelaku pencuri kelas “teri”, yakni dari 6 bulan hingga 7 tahun,tetapi mengapa
seorang perampok 2.8 triliun hanya divonis 4 tahun.

Kita tahu bahwa hakim yang memutus perkara Nenek Minah berbeda dengan hakim
yang memutus perkara lain. Kita tidak bisa menyalahkan keputusan mereka hanya karena
berbeda dengan hakim yang memutus kasus Bank Century atau kasus hukum lainnya. Kita
lupa bahwa setiap manusia itu memiliki paradigma masing-masing yang dengan adanya hal
tersebut, menuntun kita dalam setiap perbuatan. Paradigma itulah yang menuntun para
hakim dalam memutus perkara yang diajukan kepadanya. Bagi seseorang yang
merengkuh Paradigma Positivisme dengan aliran Legal Positivisme, maka kebenaran
diukur pada logika akal semata, bukan pada hati nurani dan keadilan yang dicapai adalah
keadilan menurut ukuran undang-undang.

Positivisme adalah cara berpikir tentang sains yang memandang sesuatu dari tiga
hal: bahasa yang digunakan untuk mendeskripsikan teori ilmiah, bahasa yang digunakan
untuk mendeskripsikan hal-hal yang kita amati, dan aturan yang menghubungkan
keduanya. Positivisme percaya bahwa hanya bahasa yang diamati yang dapat akurat secara
faktual, sedangkan bahasa teoretis tidak memiliki makna sampai diterjemahkan ke dalam
bahasa pengamatan menggunakan aturan korespondensi. Positivisme adalah filsafat yang
percaya bahwa masyarakat adalah bagian dari alam dan bahwa metode penelitian empiris
dapat digunakan untuk menemukan hukum sosial. Aliran ini tentunya mendapat pengaruh
dari kaum empiris dan mereka sangat optimis dengan kemajuan dari revolusi Perancis.
Comte menuangkan gagasan positivisnya dalam bukunya the Course of Positivie
Philosoph, yang merupakan sebuah ensiklopedi mengenai evolusi filosofis dari semua ilmu
dan merupakan suatu pernyataan yang sistematis yang semuanya itu tewujud dalam tahap
akhir perkembangan.

Positivisme adalah aliran pemikiran yang percaya bahwa hanya ilmu alam yang
dapat memberikan pengetahuan yang akurat dan tidak ada gunanya mempelajari hal-hal
seperti metafisika. Aliran ini didasarkan pada apa yang kita ketahui, dan tidak bergantung
pada spekulasi atau gagasan yang mungkin tidak didasarkan pada fakta. Positivisme
didasarkan pada gagasan bahwa semua pengetahuan didasarkan pada pengamatan dan
pengalaman. Artinya, tidak mungkin pengetahuan didasarkan pada sesuatu yang
sebenarnya tidak benar2. Aliran Positivisme Hukum Paradigma Positivisme difokuskan
pada pemahaman konsep dan kaidah hukum yang ada. Ada perbedaan besar antara hukum
dan moral. Hukum adalah hal-hal yang diputuskan oleh otoritas, dan didasarkan pada
prinsip-prinsip ilmiah. Moral, di sisi lain, adalah keputusan yang dibuat oleh orang
berdasarkan keyakinan mereka sendiri.

Singkatnya, aliran ini mengindentikkan hukum sebagai undang-undang. Oleh


karenanya, Paradigma Positivisme, meletakkan dimensi spiritual dengan segala
perpektifnya seperti agama, etika dan moralitas sebagai bagian yang terpisah.

BAB II

PEMBAHASAN

Seorang nenek berumur 55 Tahun yang bernama Minah diganjar 1 bulan 15 hari
penjara karena menyangka perbuatan isengnya memetik 3 buah kakao di perkebunan milik
PT. Rumpun Sari Antan (RSA)  adalah hal yang biasa saja. Saat itu, Minah sedang
memanen kedelai di lahan garapannya di Dusun Sidoarjo, Desa Darmakradenan,
Kecamatan Ajibarang, Banyumas, Jawa Tengah, pada 2 Agustus 2009. Lahan garapan
Minah ini juga dikelola oleh PT RSA untuk menanam kakao. Ketika sedang asik memanen
kedelai, mata tua Minah tertuju pada 3 buah kakao yang sudah ranum. Dari sekadar
memandang, Minah kemudian memetiknya untuk disemai sebagai bibit di tanah
garapannya. Setelah dipetik, 3 buah kakao itu tidak disembunyikan melainkan digeletakkan

2
Guba, E.G. dan Lincoln, Y.S. , Intoduction : Entering the Field of Qualitative Research, dalam N.K.
Denzin dan Y.S.   Lincoln, Handbook of Qualitative Research, London : Sage Publications Inc., 1994..
begitu saja di bawah pohon kakao. Dan tak lama berselang, lewat seorang mandor
perkebunan kakao PT RSA. Mandor itu pun bertanya, siapa yang memetik buah kakao itu.
Dengan polos, Minah mengaku hal itu perbuatannya. Minah pun diceramahi bahwa
tindakan itu tidak boleh dilakukan karena sama saja mencuri. Sadar perbuatannya salah,
Minah meminta maaf pada sang mandor dan berjanji tidak akan melakukannya lagi. 3 Buah
kakao yang dipetiknya pun dia serahkan kepada mandor tersebut. Minah berpikir semua
beres dan dia kembali bekerja. Namun dugaanya meleset. Peristiwa kecil itu ternyata
berbuntut panjang. Sebab seminggu kemudian dia mendapat panggilan pemeriksaan dari
polisi. Proses hukum terus berlanjut sampai akhirnya dia harus duduk sebagai seorang
terdakwa kasus pencuri di Pengadilan Negeri (PN) Purwokerto. Majelis hakim yang
dipimpin Muslih Bambang Luqmono SH memvonisnya 1 bulan 15 hari dengan masa
percobaan selama 3 bulan. Minah dinilai terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar
pasal 362 KUHP tentang pencurian.

Penulis percaya bahwa merangkul Paradigma Positivisme adalah cara terbaik untuk
memecahkan masalah. Paradigma Positivisme percaya bahwa ada satu realitas yang tidak
berubah yang disebut hukum. Realitas inilah yang ada dan mengatur segalanya. Realitas
Nenek Minah didasarkan pada prinsip ini. Undang-undang mengatakan bahwa jika
seseorang mengambil sesuatu dari orang lain dengan maksud untuk memilikinya secara
tidak sah, mereka dapat dihukum penjara paling lama 5 tahun atau denda 60 rupiah. Apakah
seseorang mencuri sesuatu atau tidak, apakah pencurian itu terbukti atau tidak, dan terlepas
dari keadaan sekitarnya (misalnya, jika Nenek Minah tidak mengetahui pencurian dan
kemiskinan yang menyebabkannya), hasilnya sama.

Nenek Minah terbukti bersalah karena perbuatan yang dilakukannya memenuhi


unsur Pasal 362 KUHP, maka akibatnya dia harus dihukum. Yang menentukan
atau deterministik dalam kasus ini bahwa Nenek Minah harus dihukum adalah adanya
Undang-Undang (KUHP), merupakan peraturan tertulis sifatnya menentukan, memastikan
bahwa hukum itu mengandung kepastian.3

Epistemologi adalah studi tentang bagaimana orang mengetahui sesuatu, seperti


hubungan antara hakim dan kasus pencurian.4 Dua kelompok independen satu sama lain
dan tidak memiliki pengaruh satu sama lain. Inilah sebabnya mengapa hakim dan kasus
hukum dapat menjauh satu sama lain tanpa bias.5

KUHP sudah sempurna sehingga tidak perlu memengaruhi realitas di luar yang
artinya dalam kasus ini hakim adalah “corong” Undang-Undang, sehingga ia tidak
melibatkan nilai (baik kemanusiaan ataupun moral) di dalam kasus tersebut karena
sesungguhnya realitas atau hukumnya sudah pasti. Sedangkan
untuk Metodologi, adalah eksperimental atau manipulatif. Harus selalu dilakukan uji
empiris dan verivikasi yaitu membuktikan bahwa Nenek Minah benar bersalah. Ketika ada
dakwaan dari Penuntut Umum, hakim harus melakukan verivikasi terhadap keterangan
saksi-saksi dan pengajuan alat bukti yang nantinya dicocokkan dengan keterangan
terdakwa. Inilah yang dinamakan proses pembuktian dalam kasus tindak pidana pencurian
yang melanggar ketentuan hukum Pasal 362 KUHP. Yang perlu ditekankan di sini adalah,
Paradigma Positivisme selalu menekankan pada obyektivitas dalam memandang sebuah
realitas.

Kasus nenek Minah menurut Paradigma Positivisme adalah sebuah perbuatan yang
harus dihukum, tanpa menghiraukan besar kecil kerugian akibat pencurian yang
dilakukannya. Penegakan hukum terhadap Nenek Minah harus dilepaskan dari unsur-unsur
sosial serta moralitas, karena menurut kacamata Paradigma Positivisme, tujuan hukum

3
W.Friedman, Teori dan Filsafat Hukum Dalam Buku Telaah Kritis Atas Teori-Teori Hukum, diterjemahkan dari buku
aslinya Legal Theory oleh Muhammad Arifin, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1993.
4
Rasjidi, Lili dan Sidharta, Arief, Filsafat Hukum (Mazhab dan Refleksinya), Bandung : Remadja Karya , 1989.
5
Hart, H.L.A., The Concept of Law, Edisi Kedua, Clarendon Press, Oxford, 1994.
adalah kepastian hukum, tanpa adanya kepastian hukum tujuan hukum tidak akan tercapai
walaupun harus mengenyampingkan rasa keadilan. Menurut Austin, hukum terlepas dari
soal keadilan dan terlepas dari soal baik dan buruk. Karena itu, ilmu hukum tugasnya
hanyalah menganalisis unsur-unsur yang secara nyata ada dalam sistem hukum modern.
Ilmu hukum hanya berurusan dengan hukum positif, yaitu hukum yang diterima tanpa
memperhatikan kebaikan atau keburukannya. Hukum adalah perintah dari kekuasaan
politik yang berdaulat dalam suatu negara.6 Positivisme adalah filsafat yang berpendapat
bahwa hukum didasarkan pada gagasan bahwa orang harus mematuhi perintah, meskipun
perintah itu bersifat memaksa. Pandangan ini dikemukakan oleh John Austin yang dikenal
dengan teori paksaan Austin.

Paradigma Positivisme Hukum menyatakan bahwa hanya ada satu sumber hukum
yaitu hukum itu sendiri. Hukum identik dengan hukum. Menurut pasal 1 KUHP,
pemidanaan suatu perbuatan tergantung pada undang-undang yang mengaturnya. Misalnya,
nenek Minah dihukum karena mencuri 3 buah kakao karena buah kakao tidak diatur dalam
hukum positif, artinya tindakannya sebagai pencuri menurut hukum pidana. Namun, hukum
harus ditegakkan, meski tidak adil menurut pendapat pribadi Nenek. Pertimbangan hakim
dalam setiap perkara yang ditangani memberikan kepastian hukum yang tinggi.

6
Soekanto, Soerjono dan Mamudji, Sri, Penulisan Hukum Normatif, Jakarta: Rajawali Press,1986.
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Berdasarkan apa yang telah dibahas, dapat disimpulkan bahwa masalah tersebut
disebabkan oleh kurangnya pemahaman. Penjelasan untuk masalah ini adalah bahwa orang
tidak memahami niat satu sama lain.

Pertama, kasus hukum yang menjerat Nenek Minah ditelaah dengan menggunakan
Paradigma Positivisme, ontologinya adalah sebuah realitas (hukum). Hukum yang
dipaparkan adalah Pasal 362 KUHP. Epistemologi yang bersifat dualis-objektif, pihak-
pihak yang independen,tidak saling memengaruhi (antara hakim dengan kasus hukum yang
diperiksanya). Paradigma Positivisme mengatakan bahwa hukum dan realitas berada di luar
hakim. Hakim menggunakan bukti dan saksi untuk menentukan apakah seseorang bersalah
atas kejahatan. Jika semua unsur Pasal 362 terpenuhi, maka Nenek Minah dinyatakan
bersalah dan akan dihukum.

Kedua, Paradigma Positivisme yang memayungi aliran Legal Positivisme,


menjelaskan tidak ada hukum di luar undang-undang, hukum identik dengan Undang-
Undang. Hukum harus dipatuhi, meskipun tidak adil karena didasarkan pada aturan hukum.
Nenek Minah akan tetap dihukum karena mencuri, meskipun dia kehilangan banyak uang
karena menurut hukum dia melakukannya.
B. SARAN

Untuk memastikan bahwa hukum dipatuhi dan setiap orang diperlakukan sama,
hakim biasanya membuat keputusan yang sama dalam kasus serupa. apabila untuk kasus
serupa terjadi perbedaan yang besar antara putusan pengadilan satu dengan lainnya. Untuk
menjaga agar hal-hal tetap legal, penting untuk tetap berada dalam batas-batas tertentu. Jika
hal-hal berubah terlalu banyak, itu dapat menyebabkan ketidakpastian hukum.

DAFTAR PUSTAKA

Prof. Indarti, E. SH,MA,PhD. Diskresi dan Paradigma : Sebuah Telaah Filsafat


Hukum, Pidato Pengukuhan Guru Besar Universitas Diponegoro, 2010.

Guba, E.G. dan Lincoln, Y.S. , Intoduction : Entering the Field of Qualitative Research,
dalam N.K. Denzin dan Y.S.   Lincoln, Handbook of Qualitative Research,
London : Sage Publications Inc., 1994..

W.Friedman, Teori dan Filsafat Hukum Dalam Buku Telaah Kritis Atas Teori-Teori
Hukum, diterjemahkan dari buku aslinya Legal Theory oleh Muhammad
Arifin, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1993.

Rasjidi, Lili dan Sidharta, Arief, Filsafat Hukum (Mazhab dan Refleksinya), Bandung :


Remadja Karya , 1989.

Hart, H.L.A., The Concept of Law, Edisi Kedua, Clarendon Press, Oxford, 1994.
Soekanto, Soerjono dan Mamudji, Sri, Penulisan Hukum Normatif, Jakarta: Rajawali
Press,1986.
 

Anda mungkin juga menyukai