Anda di halaman 1dari 6

“Tinjauan Pemberlakuan Legal Positivism di Indonesia”

Disusun untuk Memenuhi Tugas Perkuliahan


Mata Kuliah Filsafat Hukum
Kelas Sore

Oleh :
Apectriyas Zihaningrum
1706125462

Pascasarjana Fakultas Hukum


Universitas Indonesia
Jakarta
April - 2018
Magister Hukum
Fakultas Hukum Universitas Indonesia

“TINJAUAN PEMBERLAKUAN LEGAL POSITIVISM DI INDONESIA”

Legal Positivism atau yang biasa dikenal dengan aliran positivisme hukum merupakan
suatu aliran yang mulanya berkembang pada abad ke 19 (sembilan belas). Aliran ini
merupakan salah satu reaksi dari aliran hukum alam yang mengatakan bahwa hukum ialah
apa yang sifatnya alamiah, yang seharusnya terjadi dan seharusnya menjadi hukum yang
mengatur untuk semua benda, termasuk manusia dan hubungan-hubungan manusia.
Kaum positivism menanggap bahwa yang sebenarnya dinamakan hukum hanyalah
norma-norma yang telah ditetapkan oleh negara. Sehingga, mereka memandang perlu ada
pemisahan secara tegas antara hukum dan moral antara hukum yang berlaku dan hukum yang
dicita-citakan (das Sein dan das Sollen). Dengan kata lain, positivisme dalam Teori Hukum
(Legal Theory) juga mengandung arti studi mengenai hukum sebagaimana adanya (as it is)
yang dibedakan dari hukum sebagaimana seharusnya (law as it ought to be).
Penganut aliran positivis menanggap hukum itu adalah serangkaian peraturan-
peraturan yang dibuat oleh manusia dalam hal ini badan yang berwenang untuk itu, yang
harus ditaati dan jika tidak ditaati akan dikenakan sanksi. John Austin (salah seorang filsuf
yang menganut positivisme hukum) berpendapat bahwa hukum terdiri dari beberapa unsur,
yaitu dibuat oleh pihak yang secara politik berkuasa kepada yang dikuasai, bersifat perintah,
menganut ide sanksi dan harus ditaati.
Fungsi hukum menurut aliran postivis secara spesifik berbeda menurut masing-masing
masyarakatnya, antara lain:
1. Mempersatukan keluarga;
2. Mendorong kesehatan manusia dan lingkungan;
3. Menjaga perdamaian masyarakat;
4. Ketentuan-ketetentuan untuk menyatakan sesuatu yang salah;
5. Fasilitas dari pertukaran hubungan;
6. Pengakuan dan pengaturan hak milik;
7. Pemeliharaan kebebasan dasar;
8. Perlindungan terhadap hal-hal yang bersifat privat;
9. Penyelidikan aktivitas swasta dan pembuat undang-undang.
Para kaum positivism didalam pikirannya menganggap hukum tertentu memiliki arti
yang sudah jelas dan tidak diperselisihkan, dan mereka menganggap bahwa sekalipun hukum
tersebut secara moral memalukan, namun tetap dianggap sebagai hukum. Walaupun begitu,

2
Magister Hukum
Fakultas Hukum Universitas Indonesia

dalam hubungan antara hukum dan moral, setidak-tidaknya ada 6 (enam) bentuk klaim yang
menyatakan bahwa baik hukum maupun moral sama-sama saling berkaitan yaitu sebagai
berikut:
1. Kekuasaan dan Kewenangan
Sistem hukum harus didasarkan pada nilai moral, karena hukum tidak dapat semata-mata
berstandar pada kekuasaan manusia atas manusia lain.
2. Pengaruh Moral atas Hukum
Hukum setiap negara yang modern memperlihatkan ribuan pengaruh baik dari moral sosial
yang diterima dan ide moral. Undang-undang yang ada saat ini mungkin hanya sebagai
perisai hukum saja dan harus diisi dengan prinsip-prinsip moral. Seperti dalam halnya
apabila subyek hukum melakukan kontrak dengan subyek hukum lainnya, moralitas dan
keadilan menjadi pembatas dalam asas kebebasan berkontrak yang ada. Begitu juga dengn
tanggung jawab pada pelanggaran perdata ataupun pidana dapat disesuaikan berdasarkan
tanggung jawab moral. Sehingga tidak ada kaum positivis yang dapat menolak fakta bahwa
stabilitas sistem hukum sebagian berhubungan dengan moral.
3. Penafsiran
Pada saat diperlukannya penafsiran hukum terhadap kasus-kasus yang kongkrit, baik
dalam menafsirkan peraturan perundang-undangan ataupun keputusan-keputusan
hakim/pengadilan, hakim tidak dapat sewenang-wenang. Mereka harus selalu berasumsi
bahwa kegunaan dari suatu peraturan yang ditafsirkannya adalah masuk akal, adil dan
tidak melawan prinsip-prinsip moral yang berlaku.
4. Kritik atas Hukum
Terdapat klaim yang menyatakan bahwa diperlukan adanya hubungan antara hukum dan
moral. Sistem hukum yang baik harus memenuhi rasa adil dan moralitas.
5. Prinsip Legalitas dan Keadilan
Keadilan perlu direalisasikan setiap saat. Sebab tingkah laku manusia diawasi oleh aturan
umum yang dinyatakan secara terbuka dan secara hukum diterapkan.
6. Keabsahan Hukum dan Hambatan Terhadap Hukum
Hukum negara bukan sesuatu yang ideal tetapi sesuatu yang secara actual ada. Pemikir-
pemikir aliran positivis berkeinginan untuk mendorong apa yang dimaksud dengan
kejelasan (clarity) dan kejujuran (honesty) dalam pembentukan teoritis dan masalah-
masalah moral yang timbul dari adanya hukum-hukum tertentu yang secara modal tidak

Universitas Indonesia
Magister Hukum
Fakultas Hukum Universitas Indonesia

adil tetapi diundangkan dalam bentuk yang tepat, jelas dalam artinya, dan memenuhi s
emua kriteria yang diakui bagi keabsahan suatu sistem.
Hal inilah yang kemudian menjadi kritik terhadap para kaum positivism. Edgar
Bodenheimer (seorang penulis dan professor hukum di Amerika) mengatakan bahwa teori
yang dikemukakan oleh kaum positivism berbahaya dan menyesatkan. Ia menyatakan,
kesalahan utama dari aliran hukum positif ialah pembatasan diri kepada apa yang disebutnya
sumber-sumber hukum formal seperti yang diumumkan oleh legislative, konvensi, keputusan
pengadilan, atau lembaga-lembaga administrative. Padahal, hakim sebagai organ dari hukum
harus melakukan penafsiran sesuai dengan akal, persamaan dan semangat dari suatu sistem
hukum.
Oleh karena itu, para filsuf yang mengembangkan positivisme hukum (John Austin
dan Hans Kelsen) pada akhirnya mengakui bahwa hukum yang ditetapkan oleh alat-alat
kekuasaan negara saja tidak cukup. Semua hukum dapat berada dalam situasi dimana hukum
positif tidak memberi petunjuk dan saran, maka dalam keadaan itu ia harus bertindak sebagai
legislator dan menciptakan ketentuan baru apabila menurut keyakinannya benar. Kelsen
menambahkan, bahwa hukum positif boleh memberikan kekuasaan kepada hakim untuk
memutuskan suatu perkara apabila:
1. Berdasarkan pertimbangan yang menurutnya amat diperlukan;
2. Terdapat aturan yang samar-samar atau mempunyai arti ganda sehingga penerapannya
tidak jelas dan penuh keragu-raguan.
Di Indonesia, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 jo Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman mengatakan bahwa hakim sebagai organ
pengadilan berimplikasi sama dengan pernyataan para filsuf diatas. Hakim dianggap
memahami hukum. Apabila hakim tidak menemukan hukum tertulis, ia wajib menggali
hukum tidak tertulis untuk memutuskan berdasarkan hukum sebagai seorang yang bijaksana
dan bertanggung jawab penuh pada Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, masyarakat, bangsa
dan negara.
Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti, dan
memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Saat ini, sudah banyak yang
dilakukan oleh hakim untuk menemukan hukum dalam suatu perkara walaupun belum ada
undang-undang atau peraturan yang mengatur mengenai perkara tersebut. Sebagai contoh
kasus penggantian kelamin Iwan Rubianto menjadi Vivian Rubanti atau Hendricus Soekotjo

4
Magister Hukum
Fakultas Hukum Universitas Indonesia

menjadi Henriette Soekotjo, di Indonesia belum ada aturan mengenai penggantian kelamin,
namun hakim menemukan hukum untuk memutuskan perkara tersebut.
Austin mengatakan, putusan-putusan pengadilan seringkali bergantung kepada apakah
hakim secara politis konservatif, liberal, atau radikal, apakah ia percaya kepada tradisi atau
pembaharuan, apakah ia kawan dari pemilik modal atau buruh, apakah ia memuaskan
pemerintah yang kuat atau yang lemah, atau kepada apapun saja keistimewaan dari
pendiriannya yang mungkin ada.
Pada hakikatnya, hukum Indoneia tumbuh dan berkembang mengikuti aliran
positivisme. Penganutan aliran positivisme hukum di Indonesia sebenarnya kurang cocok
untuk memenuhi rasa keadilan pada masyarakat. Sebab implementasi teori positivisme hukum
yang dianut seringkali mendapatkan kritik karena tidak menghiraukan adanya nilai-nilai
moral di masyarakat. Belakangan ini, muncul desakan untuk meninggalkan teori positivisme
hukum di Indonesia karena dipandang telah gagal dalam menciptakan kehidupan hukum yang
lebih baik.
Apabila fungsi hukum di Indonesia dimaksudkan sebagai suatu sistem yang dapat
memecahkan persoalan masyarakatnya secara ideal (adil), maka yang dialami saat ini adalah
sangat bertolak belakang dengan cita-cita ideal tersebut. Sebenarnya, positivisme hukum di
Indonesia saat ini telah berubah dari wujud aslinya. Sebab Indonesia memiliki versi rule of
law yang berbasis pada kumunalisme dan memiliki nilai-nilai yang kental didalamnya yaitu
seperti kekeluargaan, musyawarah, dan gotong royong sebagaimana diamanatkan dalam
Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) dan
Pancasila. Oleh sebab itu, diperlukan pemikiran mendalam apakah positivisme hukum yang
dianut oleh Indonesia saat ini sudah saatnya ditinggalkan dan beralih pada aliran atau
paradigma hukum baru.
Pembentukan hukum positif di Indonesia, sering kali dibentuk atas kepentingan sesaat
dan temporer, kecenderungannya dibangun atas kepentingan-kepentingan suatu pihak tertentu
khususnya politik dan asing. Bahkan tidak sedikit juga hukum Indonesia yang dibentuk secara
terburu-buru sehingga menjadikannya tidak sempurna dan mengandung sejumlah kekurangan
dan kelemahan juridis dan sebagainya.
Pembentukan hukum positif yang tidak jelas inilah kemudian akan berpengaruh pada
saat pelaksanaan dan penegakannya. Ketidakjelasan hukum akan membingungkan bagi
hakim dan jaksa dalam menyelesaikan perkaranya. Sehingga oleh masyarakat Indonesia,
seringkali dirasakan bahwa hukum jauh dari rasa keadilan dan tampak tidak berkepastian.

Universitas Indonesia
Magister Hukum
Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Selain itu, positivisme hukum sering dinilai sebagai aliran hukum yang kaku (statis), sehingga
sangat diperlukan sebuah pemikiran maju untuk menjadikan hukum lebih hidup dan dinamis
agar masyarakat Indonesia dapat merasakan rasa keadilan yang selama ini hanya dicita-
citakan. Karena penegakan hukum yang tidak mengindahkan nilai-nilai keadilan, dapat
dipastikan akan menimbulkan penyimpangan dan penyalahgunaan, serta tentunya akan
berimplikasi buruk bagi tatanan sosial di masyarakat.
Keberadaan aliran positivisme hukum di Indonesia sebenarnya tidak sepatutnya salah
atau dengan kata lain, hukum positif masih sangat diperlukan khususnya bagi penegakan
hukum di Indonesia. Hal ini disebabkan, hukum positif di Indonesia sangat menitikberatkan
terhadap keberadaan sanksi yang dikenakan bagi mereka yang tidak taat aturan. Sebab,
kecenderungan manusia (dalam hal ini adalah masyarakat pada suatu negara) selalu ingin
melakukan yang lebih dari apa yang sudah diatur atau dibatasi oleh negaranya sangatlah
tinggi. Sehingga diperlukan adanya aturan yang membatasi masyarakat tersebut untuk tidak
melampaui batas yaitu dengan adanya sanksi yang akan membuat efek jera bagi masyarakat
yang tidak menaat peraturan negaranya.
Namun, penerapan hukum positif di Indonesia haruslah dibarengi dengan moral dan
agama. Sebab tanpa kedua hal tersebut, penerapan hukum positif cenderung akan selalu statis
seperti yang telah diuraikan diatas dan tidak dinamis seperti yang dicita-citakan. Hukum akan
terus berkutat pada persoalan yang sama dan penyelesaian yang sama yaitu terbatas pada ada
atau tidaknya peraturan yang mengatur untuk menyelesaikan persoalan tersebut. Sementara
apabila dibarengi dengan moral dan agama maka akan menciptakan fondasi hukum yang kuat.
Moral dan agama akan menciptakan keadilan bagi mereka para pencari keadilan di Indonesia.
Hal ini dimaksudkan agar di Indonesia tidak terdapat lagi paradigma, demi kepastian
maka keadilan dan kemanfaatan boleh dikorbankan, karena para penegak hukum mempunyai
kecenderungan untuk berpikir secara positivisme atau legisme. Sebagaimana asas legalitas
formil yang dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang
mengutamakan kepastian hukum (legal certainty) dianggap sebagai satu-satunya titik tolak
dalam menegakkan hukum. Dengan demikian keadilan yang diperolehpun semata-mata hanya
keadilan formal (prosedural) saja dan bukan keadilan materiil (subtansial) yang mengandung
nilai keadilan atau setidaknya mendekati hakikat keadilan. Sebab hukum harus kompeten dan
adil, mampu mengenali keinginan publik dan mempunyai komitmen terhadap tercapainya
keadilan yang materiil (subtantif).

Anda mungkin juga menyukai