Anda di halaman 1dari 13

STATUS HAKIM SEBAGAI SPEAKER OF LAW DAN

SPEAKER OF JUSTICE

Dosen Pengampu : Dr.Chandra Irawan,SH.,M.Hum.


Disusun Oleh :
Nama : Awicky Kurnia Wahyudhi
NPM : B1A016282

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKN


TINGGI
UNIVERSITAS BENGKULU
FAKULTAS HUKUM
2018
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dasar filosofis pandangan hidup bangsa Indonesia dalam berbangsa dan bernegara yaitu
Pancasila. Penjabaran nilai-nilai Pancasila di dalam hukum mencerminkan suatu keadilan,
ketertiban, dan kesejahteraan yang diinginkan oleh masyarakat Indonesia. Rumusan Pancasila
yang terdapat di dalam Pembukaan Undang - Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 (UUD 1945) terdiri dari empat alinea. Alinea keempat memuat rumusan tujuan
negara dan dasar negara. Dasar Negara adalah Pancasila, sedangkan keempat pokok pikiran
di dalam Pembukaan UUD 1945 pada dasarnya untuk mewujudkan cita hukum (rechtsides)
yang menguasai hukum dasar negara baik yang tertulis maupun tidak tertulis.
Dinamika hukum senantiasa berkembang seiring dengan perkembangan kehidupan
masyarakat, sehingga hampir dapat dipastikan, hukum (tertulis) selalu tertinggal dibanding
dengan dinamika masyarakat. Berdasarkan kenyataan demikian, maka tidak salah apabila
muncul berbagai teori yang menentang aliran positivisme.
Positivisme Hukum sebagai sebuah aliran pemikiran filsafat hukum mendasarkan
pemikirannya pada pemikiran seorang ahli filsafat Prancis terkemuka yang pertama kali
menggunakan istilah Positivisme, yaitu August Comte (1798-1857). Pemikiran Comte
merupakan ekspersi suatu periode kultur Eropa yang ditandai dan diwarnai perkembangan
pesat ilmu-ilmu eksakta berikut penerapannya. Melalui positivisme, hukum ditinjau dari
sudut pandang positivisme yuridis dalam arti yang mutlak. Artinya adalah ilmu pengetahuan
hukum adalah undang-undang positif yang diketahui dan disistematikakan dalam bentuk
kodifikasi-kodifikasi yang ada. Positivisme hukum juga berpandangan bahwa perlu
dipisahkan secara tegas antara hukum dan moral (antara hukum yang berlaku dan hukum
yang seharusnya/antara das Sollen dan das Sein). Bahkan bagi sebagian aliran Positivisme
Hukum yang disebut juga Legisme, berpendapat bahwa hukum itu identik dengan Undang-
Undang.
Indonesia sebagai bekas negara jajahan Belanda yang menganut sistem civil law. Oleh sebab
itu, sistem hukum di Indonesia sangat dipengaruhi oleh sistem tersebut. Dengan hal ini
aliran legisme-positivisme masih tetap eksis dalam praktik meskipun diakui dalam beberapa
tahun terakhir ini telah mengalami sedikit pergeseran menuju ke arah sistem common law.
Akibat masih kentalnya faham tersebut seringkali dijumpai sikap hakim yang
bersikap yuridis-dogmatik dan hanya bertindak sebagai corong undang-undang (Speaker of
Law), tanpa mempertimbangkan nilai-nilai yang hidup di masyarakat. Akibatnya, banyak
putusan hakim yang mendapat hujatan masyarakat karena tidak dapat memenuhi rasa
keadilan masyarakat.
Norma atau nilai-nilai yang berlaku di masyarakat merupakan cermin kehendak bersama para
anggotanya yang menjadi ukuran baik dan buruk suatu perbuatan hukum serta cermin dari
rasa keadilan mereka. Oleh sebab itu setiap hakim yang mengadili perkara senantiasa dituntut
untuk menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup
dalam masyarakat. Perintah demikian, juga ditemukan dalam pasal 229 Kompilasi Hukum
Islam yang merupakan salah satu acuan hukum bagi kalangan peradilan agama.
Para hakim kita cenderung menggunakan model penafsiran hukum yang monopolistik
dimana berpusat pada penguasa termasuk juga hakim begitu menonjol. Penafsiran demikian
memang menjamin nilai-nilai kepastian, namun di sisi lain telah menggerogoti nilai-nilai
keadilan.
Selain itu, putusan semakin membuktikan bahwa peradilan hanya dimaknai sebagai
prosedur mekanis dan procedural. Persis seperti yang diungkapkan oleh Daniel S. Lev, yang
mengatakan bahwa proses hukum Indonesia hanya ditujukan untuk mengejar nilai hukum
procedural yaitu dipenuhinya keadilan-keadilan hukum berdasar prosedur-prosedur formal dari
aturan yang ada dan bukan untuk mengejar nilai hukum substantif, yaitu yang berkaitan dengan
asumsi-asumsi fundamental mengenai distribusi maupun penggunaan sumber-sumber di dalam
masyarakat, apa yang dianggap adil dan tidak oleh masyarakat dan sebagainya.
Proses hukum yang prosedural tersebut juga akan melahirkan putusan yang
mencerminkan keadilan prosedural semata. Menurut Philip Nonet dan Pilip Selznik bahwa
proses hukum dijalankan dengan menganggap hukum hanya sebagai hukum semata yang
berupa pasal-pasal kaku dan tidak menyentuh kepentingan masyarakat. Hukum kemudian
hanya dilihat sebagai aturan-aturan dan kepantasan prosedural yang akhirnya mendorong suatu
konsep yang sempit tentang peranan hukum.
Diakui bahwa menjatuhkan putusan yang dapat memuaskan kedua belah pihak tidak mudah
diwujudkan karena masing-masing pihak mempunyai kepentingan yang berbeda, namun yang
harus selalu disadari oleh seorang hakim adalah senantiasa berupaya menjatuhkan putusan
seadil-adil mungkin berdasarkan rasa keadilan masyarakat. Hakim yang bijaksana adalah
hakim yang menunjukkan sikap senantiasa mendengar, melihat, dan berusaha mendatangkan
kebajikan, serta mampu melakukan sesuatu yang konkrit dan bermanfaat bagi masyarakat
agar putusan yang dijatuhkan dirasakan sebagai “sebuah keadilan yang membawa rahmat”.
Islam menjelaskan bahwa hakim sebagai pelaksana hukum-hukum Allah SWT. mempunyai
kedudukan yang sangat penting dan strategis, tetapi juga mempunyai resiko yang berat.
Dikatakan penting dan strategis, karena melalui produk hukum yang ditetapkannya
diharapkan dapat mencegah segala bentuk kezaliman yang terjadi di tengah masyarakat atau
setidaknya dapat meminimalisir, sehingga ketentraman dalam suatu komunitas dapat
direalisasikan. Disamping itu, resiko yang dihadapi cukup berat, baik di dunia maupun di
akhirat. Di dunia akan berhadapan dengan mereka yang tidak puas dengan keputusannya,
sedangkan di akhirat diancam dengan hukuman sebagai ahli neraka jika tidak menetapkan
keputusan sesuai dengan yang seharusnya.
Sahabat Buraidah berkata, bahwa Rasulullah SAW. telah bersabda,”Hakim ada tiga macam.
Dua masuk neraka dan yang satu masuk surga. Hakim yang masuk surga adalah hakim yang
mengetahui hukum (peraturan) yang haq (benar) kemudian memberi keputusan dengan
hukum tersebut. Sedangkan hakim yang masuk neraka adalah: Pertama, Hakim
yang mengetahui hukum yang benar tetapi curang dalam membuat keputusan. Kedua,
Hakim yang tidak mengetahui hukum yang benar, kemudian membuat keputusandengan
kebodohannya.” ( Hadis Riwayat Abu Dawud dan Tirmidzi)
Ibn Taymiyah, menyebutkan bahwa seorang hakim haruslah dipenuhi empat hal, yaitu : al-
qowiyu fil’ilmi (memiliki wawasan keilmuan dan intelektual yang memadai), al-qowiyu
fil’amali (memiliki kesalehan sosial), al-qowiyu fil irodah (memiliki motivasi dan semangat
yang tinggi), dan al-qowiyu fil jasadi (memliki fisik yang prima).
Seringkali diungkapkan oleh banyak akademisi hukum,“ Hukum adalah sebuah
pernyataan yang benar dan mendasar dari seorang hakim yang mengerti substansi, seorang
hakim yang tidak sekadar sebagai corong undang-undang tetapi Speaker of Justice (corong
keadilan).

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana fungsi hakim perspektif hukum positif dan hukum Islam?
2. Bagaimana sikap hakim ketika terjadi perbedaan antara norma hukum dan nilai keadilan?

C. Batasan Masalah
Berdasarkan rumusan masalah di atas, peneliti menyusun batasan masalah sebagai
berikut :
1. Dalam penelitian ini kami membatasi ruang lingkup hukum positif dan hukum Islam dalam
pembahasan fungsi hakim di Indonesia.
2. Ruang lingkup penelitian ini akan membahas sikap seorang hakim ketika ada pertentangan
(antinomi) antara norma hukum dan nilai keadilan. Dalam hal mana yang harus didahulukan
hakim, apakah norma hukum atau nilai keadilan.

D. Tujuan Penelitian
Dari penelitian ini agar kita mengetahui secara kongkrit fungsi hakim di Indonesia
perspektif hukum positif dan hukum Islam. Selain itu penelitian ini akan memberikan
pemahaman dan solusi bagi kalangan akademisi tentang dilema hal mana yang harus
didahulukan antara norma hukum dan nilai keadilan.

E. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih pemikiran bagi disiplin
keilmuan secara umum dan sekurang-kurangnya bermanfaat dalam dua aspek, yaitu aspek
teoritis dan praktis. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan mampu menambah khazanah
keilmuan dalam bidang hukum, khususnya dalam kejelasan status hakim, serta penelitian ini
diharapkan menjadi referensi awal munculnya penelitian yang melahirkan teori-teori status
hakim. Secara praktis, penelitian ini diharapkan mampu memberikan pemahaman kepada
para akademsi hukum dan khususnya masyarakat agar mengetahui status hakim di dalam
pengadilan. Agar tidak adanya kesalah pahaman dalam menafsiri putusan hakim.

F. Tinjauan Pustaka
1. Peneltian Terdahulu
Sebagai upaya merekontruksi dan mengetahui orisinalitas penelitian, di bawah ini peneliti
sajikan sejumlah penelitian terdahulu yang memiliki kemiripan tema, yaitu:
Mochamad Soef, 2010, Hakim hanya sebagai Speaker of Law bukan Speaker Of
Justice. Hasil dari penelitian ini menunjukkan ketidak percayaan masyarakat, khususnya
pencari keadilan kepada pengadilan sudah sangat tinggi. Karena itu, berakhirnya Orde Baru
pada Mei 1998, atau 9 tahun otoritarian yang berkuasa 32 tahun, tetapi juga awal dari
terbitnya harapan akan masa depan tegaknya nilai-nilai dan prinsip-prinsip negara hukum
sehingga terdapat kepastian dan keadilan hukum bagi semua (justice for all), sebagaimana
termaktub dalam UUD 1945 Pasal 1 ayat (3) Bab I adanya kesamaan di hadapan hukum dan
tidak melihat status sosial. Tetapi setelah hampir sepuluh tahun Orde Baru berakhir, harapan
pada pengadilan, khususnya pada integritas moral dan intlektual hakim yang tangguh dan
bermutu masih jauh. Isu mafia peradilan, khususnya perilaku buruk hakim masih terjadi.
Kepercayaan publik kepada hakim tidak membaik sama sekali. Bahkan ada kesan bahwa
kebebasan dan kemerdekaan hakim yang diberikan UU di era pemerintahan pasca Orde Baru,
apalagi setelah kewenangan KY dipersempit oleh Mahkamah Konstitusi (MK) telah membuat
hakim merdeka kembali dan bertindak tidak terkontrol.
Perbedaan penelitian M. Soef dengan karya ilmiah yang akan saya teliti ini mempunyai
perbedaan yang sangat yaitu tentang fungsi hakim dilihat dari kacamata hukum positif dan
hukum Islam. Selain itu kami akan membahas dan bagaimana memberi solusi tentang
antinomi antara norma hukum dan nilai keadilan secara implisit.
2. Kerangka Teori
a. Hakim
1) Pengertian Hakim
Hakim berasal dari kata ‫ حكم – يحكم – حاكم‬: sama artinya dengan qodhi yang berasal dari
kata ‫ قضى – يقضى – قاض‬artinya memutus. Sedangkan menurut bahasa adalah orang yang
bijaksana atau orang yang memutuskan perkara dan menetapkannya. Adapun pengertian
menurut syar'a yaitu orang yang diangkat oleh kepala negara untuk menjadi hakim dalam
menyelesaikan gugatan, perselisihan-perselisihan dalam bidang hukum perdata oleh karena
penguasa sendiri tidak dapat menyelesaikan tugas peradilan, sebagaimana Nabi Muhammad
SAW. telah mengangkat qodhi untuk bertugas menyelesaikan sengketa di antara manusia di
tempat-tempat yang jauh, sebagaimana ia telah melimpahkan wewenang ini pada
sahabatnya. Hal ini terjadi pada sahabat dan terus berlanjut pada Bani Umayah dan Bani
Abbasiah, diakibatkan dari semakin luasnya wilayah Islam dan kompleknya masalah yang
terjadi pada masyarakat, sehingga diperlukan hakim – hakim untuk menyelesaikan perkara
yang terjadi.
Hakim merupakan salah satu pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang-
undang untuk mengadili. Sedangkan dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman adalah
penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum
yang hidup di masyarakat. Dengan demikian hakim adalah sebagai pejabat Negara yang
diangkat oleh kepala Negara sebagai penegak hukum dan keadilan yang diharapkan dapat
menyelesaikan permasalahan yang telah diembannya menurut Undang-Undang yang berlaku.
2) Dasar Dan Syarat Pengangkatan Hakim
Lembaga peradilan sebagai lembaga Negara yang ditugasi menerapkan hukum (Izhar al-
Hukm) terhadap perkara-perkara yang berkaitan dengan hukum dan adanya hakim sebagai
pelaksana dari UU Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman,
ketetapan Majelis Permusyawarakatan Indonesia Nomor X/MPR/1998 yang menyatakan
perlunya reformasi di bidang hukum untuk penanggulangan dibidang hukum dan ketetapan
Majlis Permusyawatan Rakyat Nomor III/MPR/1978 Tentang Hubungan Tata Kerja Lembaga
Tinggi Negara.
3) Syarat menjadi hakim secara umum adalah :
a) Warga Negara Indonesia
b) Bertaqwa Kepada Tuhan Yang Maha Esa
c) Setia Pada Pancasila dan Undang-Undang
d) Bukan anggota organisasi terlarang
e) Pegawai Negeri
f) Sarjana Hukum
g) Berumur serendah-rendahnya 25 tahun
h) Berwibawa, jujur, adil dan berkelakuan baik.
4) Sumpah dan Janji Hakim
Sumpah
" Demi Allah saya bersumpah bahwa saya akan memenuhi kewajiban hakim dengan
sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, dan menjalankan segala peraturan perundang-undangan dengan
selurus-lurusnya menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, serta
berbakti kepada nusa dan bangsa."
Janji :
" Saya berjanji bahwa saya dengan sungguh-sungguh akan memenuhi kewajiban hakim
dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, dan menjalankan segala peraturan perundang-undangan
dengan selurus-lurusnya menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, serta berbakti kepada nusa dan bangsa."
Jika seorang hakim melanggar maka dapat diberhentikan secara tidak hormat oleh Presiden
dengan terlebih dahulu diberi kesempatan untuk membela diri.
Menurut Pasal 20 AB “Hakim harus mengadili berdasarkan Undang-Undang”, Pasal 22
AB dan Pasal 14 Undang-Undang No. 14 tahun 1970 mewajibkan “Hakim untuk tidak menolak
mengadili perkara yang diajukan kepadanya dengan alasan tidak lengkap atau tidak jelas
Undang-undang yang mengaturnya melainkan wajib mengadilinya”. Untuk mengatasinya
dalam pasal 27 UU No. 14 Tahun 1970 menyebutkan : “Hakim sebagai penegak hukum dan
keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup didalam
masyarakat”
b. Hukum
Banyak sekali para ahli hukum yang mendefinisikan hukum, antara lain adalah :
1) Plato, dilukiskan dalam bukunya Republik. Hukum adalah sistem peraturan-peraturan
yang teratur dan tersusun baik yang mengikat masyarakat.
2) Aristoteles, hukum hanya sebagai kumpulan peraturan yang tidak hanya mengikat
masyarakat tetapi juga hakim. Undang-undang adalah sesuatu yang berbeda dari bentuk dan isi
konstitusi; karena kedudukan itulah undang-undang mengawasi hakim dalam melaksanakan
jabatannya dalam menghukum orang-orang yang bersalah
3) Austin, hukum adalah sebagai peraturan yang diadakan untuk memberi bimbingan
kepada makhluk yang berakal oleh makhluk yang berakal yang berkuasa atasnya (Friedmann,
1993: 149).
4) E. Utrecht, menyebutkan: hukum adalah himpunan petunjuk hidup –perintah dan
larangan– yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat, dan seharusnya ditaati oleh
seluruh anggota masyarakat yang bersangkutan, oleh karena itu pelanggaran petunjuk hidup
tersebut dapat menimbulkan tindakan oleh pemerintah atau penguasa itu.
5) M.H. Tirtaamidjata, S.H., bahwa hukum adalah semua aturan (norma) yang harus dituruti
dalam tingkah laku tindakan-tindakan dalam pergaulan hidup dengan ancaman mesti
mengganti kerugian jika melanggar aturan-aturan itu akan membahayakan diri sendiri atau
harta, umpamanya orang akan kehilangan kemerdekaannya, didenda dan sebagainya.
6) Dr. Soejono Dirdjosisworo, S.H. menyebutkan aneka arti hukum yang meliputi: (1)
hukum dalam arti ketentuan penguasa (undang-udang, keputusan hakim dan sebagainya), (2)
hukum dalam arti petugas-petugas-nya (penegak hukum), (3) hukum dalam arti sikap tindak,
(4) hukum dalam arti sistem kaidah, (5) hukum dalam arti jalinan nilai (tujuan hukum), (6)
hukum dalam arti tata hukum, (7) hukum dalam arti ilmu hukum, (8) hukum dalam arti disiplin
hukum.
Dari paparan di atas, kami bisa memyimpulkan bahwa hukum merupakan sebuah regulasi yang
teratur dan terstruktur yang mempunyai tujuan untuk mengatur masyarakat agar terwujud
keamanan, kestabilitasan, dan kenyamanan dalam hidup bermasyarakat. Dimana hukum
bersifat memaksa bagi seseorang berisikan suatu perintah larangan atau izin untuk berbuat atau
tidak berbuat sesuatu.
c. Keadilan
Keadilan merupakan suatu hal yang abstrak, mewujudkan hal tersebut ita harus mengetahui
terlebih dahulu apa arti keadilan. Untuk itu perlu dirumuskan definisi yang paling tidak
mendekati dan dapat memberi gambaran apa arti keadilan. Definisi mengenai keadilan sangat
beragam, dapat ditunjukkan dari berbagai pendapat yang dikemukakan oleh para pakar di
bidang hukum yang memberikan definisi berbeda-beda mengenai keadilan.

Pada pokoknya pandangan keadilan ini sebagai suatu pemberian hak persamaan tapi bukan
persamarataan. Aristoteles membedakan hak persamaannya sesuai dengan hak proposional.
Kesamaan hak dipandangan manusia sebagai suatu unit atau wadah yang sama. Kesamaan
proposional memberi tiap orang apa yang menjadi haknya sesuai dengan kemampuan dan
prestasi yang telah dilakukannya.

Lebih lanjut, keadilan menurut pandangan Aristoteles dibagi kedalam dua macam keadilan,
keadian “Distributief” dan keadilan “Commutatief”. Keadilan distributief ialah keadilan yang
memberikan kepada tiap orang porsi menurut prestasinya. Keadilan commutatief memberikan
sama banyaknya kepada setiap orang tanpa membeda-bedakan prestasinya dalam hal ini
berkaitan dengan peranan tukar-menukar barang dan jasa.

Sedangkan Jhon Rawls memberikan sumbangsih pemikirannya mengenai keadilan yang


memiliki inti sari sebagai berikut :

1) Memaksimalkan kemerdekaan. Pembatasan terhadap kemerdekaan ini hanya untuk


kepentingan kemerdekaan itu sendiri
2) Kesetaraan bagi semua orag, baik kesetaraan dalam kehidupan social maupun kesetaraan
dalam bentuk pemanfaatan kekayaan alam (social goods). Pembatasan dalam hal ini hanya
dapat diizinkan bila ada kemungkinan keuntungan yang llebih besar.
3) Kesetaraan kesempatan untuk kejujuran, dan penghapusan terhadap ketidaksetaraan
berdasarkan dan kekayaan.
Untuk memberikan jawaban atas hal tersebut, Rawls melahirkan 3 (tiga) prinsip keadilan, yang
sering dijadikan rujukan oleh beberapa ahli yakni:
1) Prinsip kebebasan yang sama (equal liberty of principle)
2) Prinsip perbedaan (differences principle)
3) Prinsip persamaan kesempatan (equal opportunity principle)
Rawls berpendapat jika terjadi benturan (Konflik), makaEqual Liberty of Principle harus
diprioritaskan dari pada prinsp-prinsip yang lainnya. Dan Equal Opportunity Principle harus
diprioritaskan dari pada Differences Principle.
Keadilan menurut Ibnu Taymiyyah (661-728 H) adalah memberikan sesuatu kepada setiap
anggota masyarakat sesuai dengan haknya yang harus diperolehnya tanpa diminta; tidak berat
sebelah atau tidak memihak kepada salah satu pihak; mengetahui hak dan kewajiban, mengerti
mana yang benar dan mana yang salah, bertindak jujur dan tetap menurut peraturan yang telah
ditetapkan. Keadilan merupakan nilai-nilai kemanusiaan yang asasi dan menjadi pilar bagi
berbagai aspek kehidupan, baik individual, keluarga, dan masyarakat. Keadilan tidak hanya
menjadi idaman setiap insan bahkan kitab suci umat Islam menjadikan keadilan sebagai tujuan
risalah samawi.
G. Metode Penelitian
Metode penelitian merupakan sebuah entitas yang tak terpisahkan dalam sebuah penelitian.
Sebab, metode penelitian merupakan sebuah sistem kerja yang digunakan untuk mencapai
tujuan dalam penelitian. Berkaitan dengan hal ini, Dr. Saifullah, S.H., M.Hum. menyatakan
bahwa metodologi penelitian merupakan dasar bagi proses penemuan sesuai dengan disiplin
ilmu yang dibangun oleh peneliti. Sebagai jembatan yang menguhubungkan antara dunia
ontologi dengan aksiologi, juga antara dunia das sollen dandas sein sehingga kesenjangan
yang terjadi di lapangan atau yang berkecamuk dalam dunia pemikiran dapat terumuskan
jawabannya.
Penggunaan metode penelitian dalam pra, proses maupun hasil penelitian merupakan satu
kesatuan yang tidak terpisahkan. Hal ini sangat menentukan kualitas hasil
penelitian. Berdasarkan hal ini, seorang peneliti harus menentukan dan memilih metode yang
tepat agar tujuan penelitian tercapai secara maksimal. Metode penelitian ini terdiri dari :
1. Jenis Penelitian
Merujuk pada latar belakang dan rumusan masalah yang diambil, maka penelitian ini
dikategorikan sebagai penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian
hukum kepustakaan. Penelitian yang akan dibahas ini dapat dimasukkan ke dalam kategori
penelitian hukum normatif, karena penelitian ini membahas fungsi hakim di Indonesia beserta
mengupas antinomi antara norma hukum dan nilai keadilan.
2. Pendekatan Penelitian
Adapun jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif,
yaitu jenis peneltian yang menghasilkan penemuan-penemuan yang tidak dapat diperoleh
dengan menggunakan prosedur-prosedur statistik atau dengan cara-cara lain dari pengukuran.
Penelitian kualitatif ini dapat menunjukkan pada penelitian tentang kehidupan masyarakat,
sejarah, tigkah laku, juga tentang fungsionalisasi, organisasi, pergerakan-pergerakan sosial,
atau hubungan kekerabatan.
3. Sumber Data
Yang dimaksud dengan sumber data dalam penelitian ini adalah subjek dari mana data dapat
diperoleh. Penelitian hukum ini dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka, sehingga
penelitian ini dinamakan dengan penelitian hukum normatif. Pada penelitian hukum normatif,
bahan pustaka merupakan data dasar yang dalam ilmu penelitian digolongkan sebagai jenis
data sekunder. Selain itu pada penelitian hukum normatif ini, tidak diperlukan penyusunan
atau perumusan hipotesa. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan jenis sumber data
sekunder. Kemudian sumber data sekunder ini dibagi oleh peneliti menjadi:
a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat. Dalam hal ini meliputi al
Quran. Hadits sebagai mashadir hukum dalam ajaran Islam, dan sumber hukum positif yaitu
UUD 1945.
b. Bahan Hukum Sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer,
seperti:
1) Firdaus Muhammad Arwan, Hakim dan Keadilan Masyarakat,2009
2) Undang Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
3) L.J Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, (Cet.XXVI, Jakarta: Pradnya Paramita, 1996.
4) Yesaya Sandang, “Positivisme Hukum dan
Sociological Jurisprudence”,http://solitudesolitaire.wordpress.com/2009/08/24/positivisme-
hukum-dan-sociological-jurisprudence/,diakses taggal 12 November 2012.
c. Bahan Hukum Tersier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap
bahan hukum primer dan sekunder, seperti Ensiklopedia maupun kamus.
4. Metode Pengumpulan Data
Merupakan persoalan metodologis yang berkaitan dengan teknik-teknik pengumpulan
data. Keputusan alat pengumpul data mana yang akan dipergunakan tergantung pada
permasalahan yang akan diamati. Karena jenis penelitian ini adalah penelitian hukum
normatif maka peneliti memilih untuk menggunakan studi dokumen atau dokumentasi untuk
alat pengumpul datanya. Studi dokumen merupakan langkah awal dari setiap penelitian
hukum. Studi dokumen bagi penelitian hukum meliputi studi bahan-bahan hukum yang terdiri
dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Metode
dokumentasi adalah mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan,
transkrip, buku, surat kabar, majalah, dan sebagainya.
5. Pengolahan dan Analisa Bahan Hukum
Pengolahan dan analisis data pada dasarnya tergantung pada jenis datanya, bagi penelitian
hukum normatif yang hanya mengenal data sekunder saja, yang terdiri dari bahan: bahan
hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier, maka dalam mengolah dan
menganalisis bahan hukum tersebut tidak bisa melepaskan diri dari berbagai penafsiran yang
dikenal dalam ilmu hukum.
Data-data yang diperoleh selama penelitian rencananya akan diolah dengan tahap-tahap
sebagai berikut:
a. Editing
Cara ini harus pertama kali dilakukan dengan meneliti kembali catatan atau informasi yang
diperoleh dari data-data pustaka untuk mengetahui apakah catatan atau informasi yang
tersebut sudah cukup baik atau belum dan dapat segera dipersiapkan untuk keperluan proses
berikutnya
b. Classifiying
Seluruh data baik yang berasal dari informan, komentar peneliti sendiri, dan dokumen yang
berkaitan hendaknya dibaca dan ditelaah (diklasifikasikan) secara mendalam.

c. Verifying
Langkah dan kegiatan yang dilakukan pada penelitian ini untuk memperoleh data dan
informasi dari data-data pustaka harus di Cross-check kembali agar validitasnya dapat diakui
oleh pembaca.
Dari berbagai data yang diperoleh dari penelitian ini, maka tahap berikutnya adalah analisis
data untuk memperoleh kesimpulan akhir hasil penelitian ini. Analisis data adalah proses
penyusunan data agar data tersebut dapat ditafsirkan. Analisis data merupakan rangkaian
kegiatan penelaahan, pengelompokan, sistematisasi, penafsiran dan verifikasi data agar
sebuah fenomena memiliki nilai sosial, akademis dan ilmiah.
Menurut Lexy J. Maleong terdapat beberapa cara untuk menguji keabsahan data. salah
satunya adalah metode Triangulasi, yaitu teknik pengecekan atau pemeriksaan keabsahan
data yang memanfaatkan sesuatu yang lain. Atau dengan kata lain teknik ini membandingkan
keadaan dan perspektif seseorang dengan isi suatu dokumen yang berkaitan seperti buku dan
literatur lainnya.
Tahap berikutnya adalah tahapan concluding. Hal ini merupakan pengambilan kesimpulan
dari suatu proses penulisan yang menghasilkan suatu jawaban atas semua pertanyaan yang
menjadi generalisasi yang telah dipaparkan dibagian latar belakang.
DAFTAR PUSTAKA

1. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009


2. Kompilasi Hukum Islam nomor 1 tahun 1991
3. Maleong, Lexy J, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung:PT.Rosda Karya, 2005
4.
Firdaus Muhammad Arwan, Hakim dan Keadilan Masyarakat,(Maret, 2009),
5. Ibn Taymiyah, al-Amr bi al-Maruf wa an-Nahy an al-M unkar, (Beirut: Dar al-Kitab al-Jadid,
1976.
6. L.J Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Pradnya Paramita, 1996.
7. Suharismi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta:PT. Rineka
Cipta, 2002.
8. Soekanto, Soerjono, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2004.
9. Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1986.
10. Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2004.
11. Saifullah, “Refleksi Penelitian : Suatu Kontemplasi Atas Pekerjaan
Penelitian”,http://www.uinmalang.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=1
678:refleksi-penelitian&catid=36:kolom-pr2s, diakases tanggal 13 mei 2010)
12.
Yesaya Sandang, “Positivisme Hukum dan
Sociological Jurisprudence”,http://solitudesolitaire.wordpress.com/2009/08/24/positivisme-
hukum-dan-sociological-jurisprudence/,di akses taggal 12 November 2012.
13. http://hukum-on.blogspot.com/2012/06/pengertian-hukum-menurut-para-ahli.html, diakses
pada tanggal 12 November 2012.

Anda mungkin juga menyukai