Apa sih sebenarnya tujuan dari terbentuknya hukum? Jika kita menilik dari
sisi sosiologis, tentunya fungsi hukum adalah sebagai alat kontrol dan social-
engineering yang pada intinya bertujuan untuk mewujudkan suatu masyarakat yang
aman, tertib, damai-sejahtera. Pada perkembangannya, Mazhab Positivisme
Hukum yang tersebar luas dan dianut oleh banyak sarjana dan hakim terlalu kaku
dalam penerapannya. Hal ini dikarenakan intisari dari Positivisme Hukum sendiri
adalah pemisahan secara tegas hukum yang ada dan hukum yang seharusnya ada,
memisahkan hukum dari unsur-unsur non hukum, dan mengedepankan hukum
tertulis atau undang- undang sebagai perintah dari otoritas yang sah. Prinsip dasar
aliran positivisme hukum yakni;
Kritik aliran positivisme hukum dilakukan oleh aliran hukum bebas, aliran
hukum kritis, studi kritis hukum modern, hukum progresif, yang kesemuanya
itu dapat disimpulkan bahwa hukum tidak hanya tertulis dalam undang-undang,
melainkan apa yang dipraktekkan oleh para pejabat penyelenggara hukum yang
melaksanakan fungsi pelaksanaan hukum. Selain itu hukum dapat dipahami dari
aturan dan pelaksanaannya yang disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat,
yang tidak lepas dari pengaruh ajaran moral, budaya, ekonomi, politik dan ilmu
sosial. Dengan penerapan Positivisme Hukum tanpa melihat nilai, norma,
maupun hati nurani, maka akan mengakibatkan lahirnya kasus-kasus yang
sebenarnya legal dan logis menurut hukum, namun mencoreng nama keadilan
yang ada di masyarakat.
Contoh kasus yang paling terkenal adalah kasus nenek Minah dan kakek
Samirin. Kedua kasus ini merupakan contoh paling konkrit dari kelemahan
sistem peradilan di Indonesia yang mengakibatkan public trust dari masyarakat
menurun dan rasa keadilan tercoreng. Masyarakat secara keseluruhan
beranggapan bahwa seharusnya kasus dengan nilai kerugian kecil, terutama
yang dilakukan oleh masyarakat kecil dan atau lansia seharusnya tidak perlu
melalui meja hijau, cukup secara kekeluargaan. Namun tidak sedikit sarjana
aliran positivisme yang beranggapan bahwa proses yang berlanjut sudah
sebagaimana mestinya, contohnya adalah mengutip dari pendapat Pakar hukum
pidana, Asep Iwan Iriawan yang menanggapi soal kasus Kakek Samirin yang
divonis 2 bulan penjara lantaran memungut secara tidak sah getah karet seberat
1,9 kilogram. Asep menyatakan, “Dalam hukum penegakan hukum tidak boleh
pilah-pilih. Ada catatan, penting hukum tidak boleh pilah-pilih, di depan hukum
sama” Pernyataan tersebut disampaikan dalam acara Mata Najwa Trans7 yang
diunggah di kanal YouTube Najwa Shihab, Kamis (23/1/2020).
Maka dari itu, melihat respons dan public trust yang kian menurun dari
masyarakat, maka Kejaksaan Agung RI mengeluarkan PERATURAN
KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2020
TENTANG PENGHENTIAN PENUNTUTAN BERDASARKAN
KEADILAN RESTORATIF. Penetapan Peraturan Kejaksaan Agung ini
merupakan sebuah terobosan dalam ranah penegakan hukum di Indonesia.
Mengapa demikian? Pertama-tama kita harus mengenal terlebih dahulu apa itu
Restorative Justice. Mengutip dari dosen saya, DR. Kuat Puji Prayitno, S.H.,
M.Hum. “Restorative justice merupakan alternatif dalam sistem peradilan
pidana dengan mengedepankan pendekatan integral antara pelaku dengan
korban dan masyarakat sebagai satu kesatuan untuk mencari solusi serta
kembali pada pola hubungan baik dalam masyarakat.” Nah, kalau begitu,
konsepsi Restorative Justice ini sebenarnya sudah ada sebelum dikeluarkannya
peraturan ini, namun kenapa penetapan Peraturan Kejaksaan Agung No.15
Tahun 2020 dapat dibilang sebagai sebuah terobosan hukum? Hal ini
dikarenakan sebelum ditetapkannya peraturan ini, tidak ada satu pun ketentuan
yang secara tersurat mengatur pendekatan restorative justice dalam
menyelesaikan tindak pidana di tingkat penyidikan. Dengan adanya peraturna
ini, maka chance dari munculnya kasus-kasus nenek Minah maupun kakek
Samirin yang baru dapat ditekan. Hal ini tentu saja mempengaruhi penegakan
hukum baik untuk saat ini maupun untuk kedepannya. Jaksa Agung RI, ST
Burhanuddin dalam Orasi Ilmiahnya dalam rangka Pengukuhan Beliau sebagai
Guru Besar UNSOED menyatakan bahwa “Hukum tanpa hati nurani maka tidak
akan tercapai neraca keseimbangan antara Keadilan, Kemanfaatan, dan
Kepastian Hukum.” Hal ini sejalan dengan tujuan hukum Menurut Gustav
Radbruch, yakni:
i. keadilan,
ii. kemanfaatan, dan
iii. kepastian hukum.