NPM : 2074101073
1. Latar Belakang
Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum dan tidak didasarkan atas
kekuasaan semata. Kepastian hukum bertujuan untuk kesejahteraan dan kedamaian hidup
manusia. Satjipto Rahardjo menegaskan bahwa:
“(...) baik faktor, peranan manusia, maupun masyarakat, ditampilkan ke depan, sehingga
hukum lebih tampil sebagai medan pergulatan dan perjuangan manusia. Hukum dan
bekerjanya hukum seyogianya dilihat dalam konteks hukum itu sendiri. Hukum tidak ada
untuk diri dan keperluannya sendiri, melainkan untuk manusia, khususnya kebahagiaan
manusia”1
Dalam suasana keterpurukan ini timbul pertanyaan mendasar seperti: “Kita bernegara
hukum untuk apa?” “Hukum itu mengatur masyarakat semata untuk mengatur atau untuk
suatu tujuan yang lebih besar?” . Keadilan bukan tugas rutin di gedung Pengadilan.
Melainkan adalah keberanian tafsir atas undang-undang untuk mengangkat harkat dan
martabat manusia Indonesia.
1
Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir (Catatan Kritis Tentang Pergulatan Manusia dan Hukum), (Jakarta: Penerbit Buku
Kompas,2007),hlm.ix.
2
Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Progresif, (Jakarta:Kompas, 2010), hlm.36.
Hukum termasuk dalam hal ini undang-undang tidak berdiri sendiri. Tidak
sepenuhnya otonom dan punya otoritas absolut. Perilaku dan praktik hukum suatu bangsa
terlalu besar untuk hanya dimasukkan dalam pasal undang-undang begitu saja.
Gambaran mengenai keadaan hukum yang senyatanya tampil melalui perilaku hukum,
bukan pasal undang-undang. Mochtar memberikan pemahaman akan kecenderungan
bahwa implementasi hukum sebagai rekayasa sosial pada masa ini lebih bersifat top
down yaitu semua pembuatan hukum dan kebijakan hukum lebih pada pemerintah
daripada bottom up.3
2. Rumusan masalah
1. Bagaimana sejarah lahirnya teori hukum progresif dan ciri hukum progresif?
2. Bagaimana penerapan hukum progresif dalam sistem hukum di Indonesia dan
contoh kasusnya?
3
Ibid.,
4
Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2009), hlm.Xiii
3. Pemikiran
a. Sejarah lahirnya hukum progresif.
Sebagaimana diuraikan oleh Philipe Nonet dan Philipp Selznich, bahwa di Amerika
pada tahun 70-an timbul persoalan-persoalan sosial, kejahatan, kemerosotan
lingkungan, protes massa, hak-hak sipil, kemiskinan, kerusuhan di kota-kota serta
abuse of power pada tahun 1960-an, masyarakat merasakan betapa hukum gagal
menangani berbagai problema sosial tersebut.5 Kondisi hukum di Amerika
memunculkan kritik pada pakar hukum di Amerika melalui “Critical Legal Studies
Movement”. Kemudian dengan tulisan dari Philipe Nonet dan Philipp Selznich yang
bertitik tolak dari teori sosial tentang hukum membedakan 3 tipe hukum, yaitu:
hukum represif, hukum otonom, dan hukum responsif. Hukum terus ditelaah dengan
melakukan review melalui upaya yang progresif hingga kebenaran yang hakiki dapat
dicapai dan mendatangkan keharmonisan, kedamaian, ketertiban, yang akhirnya
mewujudkan kesejahteraan yang adil dan beradab sesuai nilai-nilai Pancasila.
Di Indonesia, muncul yang dinamakan hukum progresif muncul pada tahun 2002,
dengan penggagasnya Satjipto Rahardjo. Hukum progresif lahir karena selama ini
ajaran ilmu hukum positif (analytical jurisprudence) yang dipraktikkan pada realitas
empirik di Indonesia tidak memuaskan. Gagasan hukum progresif muncul karena
prihatin terhadap kualitas penegakan hukum di Indonesia terutama sejak reformasi
pertengahan tahun 1997. Jika fungsi hukum dimaksudkan untuk turut serta
memecahkan persoalan kemasyarakatan secara ideal, maka yang dialami dan terjadi
di Indonesia sekarang sangat bertolak belakang dengan cita-cita ideal tersebut.6
Untuk mencari solusi dari kegagalan penerapan analytical jurisprudence, hukum
progresif memiliki asumsi dasar hubungan antara hukum dengan manusia.
Progresivisme bertolak dari pandangan kemanusiaan, bahwa manusia pada dasarnya
adalah baik, memiliki sifat kasih sayang serta kepedulian sesama. Dengan demikian,
asumsi dasar hukum progresif dimulai dari hakikat dasar hukum adalah untuk
manusia. Hukum tidak hadir untuk dirinya sendiri sebagaimana yang digagas oleh
ilmu hukum positif tetapi untuk manusia dalam mencapai kesejahteraan dan
kebahagiaan.
Dikutip dari Jurnal Hukum Progresif, Pencarian, Pembebasan, dan Pencerahan, Vol:1/Nomor1/April 2005
5
Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif: Hukum Yang Membebaskan. Jurnal Hukum Progresif Program Doktor Ilmu Hukum
6
Posisi demikian mengantarkan satu predisposisi bahwa hukum itu selalu berada
pada status “law in the making” (hukum yang selalu berproses untuk menjadi).7
Hukum progresif secara sadar menempatkan kehadirannya dalam hubungan erat
dengan manusia dan masyarakat. Dalam posisi demikian hukum progresif dapat
dikaitkan dengan developmental model hukum dari Nonet dan Selznick. Hukum
progresif juga berbagi paham dengan Legal Realism dan Freirechtslehre. Meminjam
istilah Nonet dan Selznick, hukum progresif memiliki tipe responsif.8
Berkaca dari sejarah, apakah kita masih berpendapat bahwa perubahan di masa
datang tidak akan terjadi lagi? Hukum progresif tidak berpendapat demikian, tetapi
melihat dunia dan hukum dengan pandangan yang mengalir saja, seperti Panta Rei
(semua mengalir) dari filsuf Heraklitos.
Pertama, paradigma dalam hukum progresif adalah “ hukum adalah untuk
manusia”. Keyakinan dasar ini tidak melihat hukum sebagai sentral dalam berhukum,
melainkan manusialah yang berada di titik pusat perputaran hukum. Hukum ada untuk
manusia, bukan manusia untuk hukum.
Kedua, hukum progresif menolak untuk mempertahankan keadaan status quo
dalam berhukum. Mempertahankan status quo memberi efek yang sama, seperti pada
waktu orang berpendapat, bahwa hukum adalah tolak ukur untuk semuanya dan
manusia adalah untuk hukum. Cara berhukum yang demikian itu sejalan dengan cara
positivistik, normatif dan legalistik. Sekali undang-undang merumuskan seperti itu,
kita tidak bisa berbuat banyak, kecuali hukumnya diubah lebih dulu.
b. Ciri hukum progresif
Untuk mendapatkan tujuan hukum yang maksimal menurut Satjipto Rahardjo
dibangun istilah hukum progresif yaitu yang digantungkan pada kemampuan manusia
dalam menalar serta memahami dan nurani manusia untuk membuat interprestasi
hukum yang mengutamakan nilai moral keadilan pada masyarakat. Hukum harus pro
rakyat, pro keadilan, bertujuan untuk kesejahteraan dan kebahagiaan, berdasarkan
kepada kehidupan yang baik, responsif, mendukung pembentukan negara hukum yang
berhati nurani, dijalankan dengan kecerdasan spiritual serta bersifat membebaskan.9
7
Ibid., hlm 16.
8
Mulyana W. Kusuma dan Paul S. Baut (editor), “Hukum, Politik, dan Perubahan Sosial”, (Jakarta: Yayasan Lembaga Bantuan
Hukum Indonesia, 1998), hlm.11.
9
Moh. Mahfud MD (e.t.al), Satjipto Rahardjo dan Hukum Progresif- Urgensi dan Kritik, (Jakarta: EpistemaInstitut, 2011),hlm.5.
Ada beberapa kata kunci yang layak untuk diperhatikan tatkala mengangkat
pengertian progresivisme, yaitu:10
a. Hukum mengikuti perkembangan aspirasi masyarakat (hukum digantungkan
pada situasi dan kondisi kebutuhan pengaturan masyarakat);
b. Hukum harus memihak kepada kepentingan rakyat dan demi kepentingan
keadilan;
c. Hukum bertujuan mengantarkan manusia pada kesejahteraan dan kebahagiaan;
d. Hukum selalu bergerak dalam proses perubahan (law as a process, law in the
making);
e. Hukum menekankan kehidupan yang lebih baik sebagai dasar hukum yang
baik;
f. Hukumnya memiliki tipe responsif;
g. Hukum mendorong peran publik;
h. Hukum membangun negara hukum yang berhati nurani.
Merumuskan konsep keadilan progresif ialah bagaimana bisa menciptakan
keadilan yang substantif dan bukan keadilan prosedur. Akibat dari hukum modern
yang memeberikan perhatian besar terhadap aspek prosedur, maka hukum di
Indonesia dihadapkan pada dua pilihan besar antara pengadilan yang menekankan
pada prosedur atau pada substansi. Keadilan progresif bukanlah keadilan yang
menekan pada prosedur melainkan keadilan substantif. Kerusakan dan kemerosotan
dalam perburuan keadilan melalui hukum modern disebabkan permainan prosedur
yang menyebabkan timbulnya pertanyaan “apakah pengadilan mencari keadilan atau
kemenangan?”. Proses pengadilan di negara yang sarat prosedur (heavly
proceduralizied) menjalankan prosedur di atas segalanya, bahkan di atas penanganan
substansi (accuracy of substance). Sistem seperti itu memancing sindiran terjadinya
trials without truth.11
10
Ahmad Muliadi, Makalah Politik Hukum, (Jakarta: SAP S-2 Universitas Jayabaya,2012), hlm. 16.
11
Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2006), hlm. 272.
Penerapan hukum progresif dalam sistem hukum Indonesia
Semangat dan jiwa dari hukum progresif, yaitu untuk memberikan keadilan dan
kebahagiaan pada masyarakat, adalah sejalan dengan tujuan terbentuknya pemerintah
Indonesia disebutkan dalam Pembukaan UUD tahun 1945 dengan Pancasila sebagai
falsafah bangsa dan batang tubuh UUD tahun 1945 sebagai cita hukum dan landasan
hukum dalam berbangsa dan bernegara:
12
Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Progresif, (Jakarta: Kompas, 2010), hlm. 213.
13
Mulyana W. Kusumah dan Paul S. Baut(editor), “Hukum, Politik dan Perubahan Sosial”, (Jakarta:Yayasan Lembaga Bantuan
Hukum Indonesia,1998), hlm. 21.
14
Ibid, hlm.21.
15
Satjipto Rahardjo, dalam Pertemuan Ilmiah LIPI, tanggal 17 dan 18 Oktober 1977, yang dimuat dalam Majalah Fakultas
Hukum Universitas Diponegoro, “Masalah-masalah Hukum”, hlm 20-26. Menyatakan bahwa modernisasi kebanyakan dikaitkan
dengan pembuatan banyak peraturan baru mengenai ekonomi, sosial, industri. Tetapi yang lebih utama adalah: apakah yang
selanjutnya akan terjadi? Disini mulai memasuki masalah efektifitas dari sistem hukum yang sementara itu telah dimodernisir.
Bahwa Indonesia sekarang ini mewarisi pemakaian sistem hukum yang boleh dikategorikan ke dalam hukum modern, menurut
klasifikasi Weber. Dalam istilah Friedman, maka modernitas ini meliputi unsur struktur dan substansinya. Tetapi sayangnya kita
belum juga dapat mengatakan, bahwa pemakaian sistem hukum yang demikian itu, diikuti oleh pertumbuhan struktur
masyarakatnya yang sesuai.
Dengan demikian dalam berolah ilmu, hukum progresif melampaui peraturan dan
dokumen hukum yang positivistik. 16
Hukum progresif juga dekat dengan teori-teori
hukum alam yakni pada kepeduliannya terhadap hal-hal yang oleh Hans Kelsen
disebut ‘meta-juridical’. Dengan demikian, hukum progresif mendahulukan
kepentingan manusia yang lebih besar daripada menafsirkan hukum dari sudut ‘logika
dan peraturan’. Meski hampir mirip dengan Critical Legal Studies Movement yang
muncul di Amerika Serikat tahun 1977, tapi hukum progresif tidak hanya berhenti
17
pada kritik atas sistem hukum liberal, hukum progresif juga mengetengahkan paham
bahwa hukum itu tidak mutlak digerakkan oleh hukum positif atau hukum perindang-
undangan, tetapi ia juga digerakkan pada asas non-formal.
Dikutip oleh Satjipto Rahardjo, o.p.cit. hlm.7-8, dari Wolgang Friedman (1953) Legal Theory. Stevens and Sons Ltd, London; dan
16
Roscoe Pound, Scope and Purpose of Sociological Jurisprudence , Havard Law Review. Vol.25, Desember 1912.
17
Ibid. hlm 9, sebagaimana dikutip dari Andrew Altman (1990) Critical Legal Studies –a Liberal Critique. Pricenton Univ. Press,
Pricenton, N.J.
5. Penutup
Kesimpulan
a. Hukum progresif lahir di Indonesia pada tahun 2002 dengan penggagasnya
Satjipto Rahardjo. Hukum progresif lahir karena selama ini ajaran ilmu hukum
positif (analytical jurisprudence) yangdipraktikkan pada realitas empirik di
Indonesia tidak memuaskan. Gagasan hukum progresif muncul sebagai bentuk
keprihatinan terhadap kualitas penegakan hukum di Indonesia terutama sejak
terjadinya peristiwa reformasi pada pertengahan tahun 1997.
b. Perbandingan hukum progresif dengan teori sosial lainnya dapat disimpulkan
mampu menjadi salah satu klasifikasi hukum yang mempunyai karakter kuat, dan
hukum progresif mempunyai korelasi dengan hukum responsif, dimana hukum
responsif melihat pada sudahkah proses pembuatan undang-undang melibatkan
pertisipasi masyarakat, dan hukum progresif melihat bagaimana sikap penegak
hukum melihat undang-undang.
c. Hukum progresif dapat diterapkan di Indonesia. Ibarat umur kehamilan, maka
hukum progresif lahir pada umur yang cukup, yaitu dilahirkan pada masa
konfigurasi politik reformasi. Hal ini terbukti diantaranya dengan adanya putusan
Mahkamah Konstitusi yang memberikan angin segar kepada pencari keadilan,
seperti pada pengakuan hak perdata atas anak dari perkawinan yang tidak
didaftarkan terhadap ayah biologisnya, yaitu pada kasus Machicha Mochtar.
Putusan yang melawan arus, melawan kemapanan, melawan status quo ini dalah
demi memberikan rasa keadilan, kebahagiaan, perlindungan anak dan sekaligus
menempatkan harkat dan martabat kaum perempuan pada tempat yang terhormat
dan bukan sekedar “obyek” kaum laki-laki.
Saran
a. Konsep dari Teori hukum progresif hari ini harus ditetapkan dalam peraturan
perundang-undangan di Indonesia sebagai salah satu pedoman pembentukan dan
penegakan hukum.
b. Bahwa hukum atau setiap perundang-undangan dibuat oleh manusia, bukan
manusia untuk hukum dimana kedudukan manusia di anggap sebagai subyek
hukum bukan obyek hukum.
c. Para penegak hukum dalam menegakkan hukum harus menggunakan pendekatan
keadilan progresif, artinya memandang hukum itu bukan hanya normatif
melainkan hukum itu dianggap sebagai kaidah atau nilai-nilai yang hidup di dalam
masyarakat agar tercermin nilai keadilan.
REFERENSI YANG DIGUNAKAN
Muliadi, Ahmad. Makalah Politik Hukum, SAP S2 Universitas Jayabaya, Jakarta, 2012
Mahmudin, Moh. Mahfud. E.t al. Satjipto Rahardjo dan Hukum Progtresif-Urgensi dan
Kritik, Epistema Institute dan HuMa, Jakarta, 2011