Anda di halaman 1dari 17

HUKUM PROGRESIF: PENERAPAN DAN PROBLEMATIKANYA DI

INDONESIA

Disusun untuk memenuhi tugas Matakuliah


Islam Disipiln Ilmu

Dosen Pengampu:
Dr.Drs.H.Nur`l Yakin Mch,SH.,M.Hum

Oleh:
RONI AKROMA
NIM :

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN AGUNG
SEMARANG 2022

1
A. Judul

Hukum Progresif: Penerapan Dan Problematikanya Di Indonesia

B. Pendahuluan
Indonesia adalah negara yang berdasarkankan atas hukum dan tidak

didasarkan atas kekuasaan semata. Hukum harus dijadikan dasar dalam

menjalankan roda kehidupan berbangsa dan bernegara. Di samping kepastian dan

keadilan hukum juga berfungsi untuk kesejahteraan hidup manusia. Sehingga

dapat dikatakan bahwa berhukum adalah sebagai medan pergulatan dan

perjuangan manusia dalam konteks mencari kebahagiaan hidup 1. Untuk itu,

penerapan hukum memerlukan adanya konsep hukum lain, yang lebih

memungkinkan pencapaian tujuan hukum untuk mewjudkan keadilan dan

kesejahteraan rakyat banyak. Konsep hukum progresif, yang memaknai hukum

untuk manusia dan masyarakat dan bukan untuk kepentingan dirinya sendiri,

merupakan alternatif yang dapat dipergunakan dalam penerapan hukum, yang

lebih memungkinkan untuk mewujudkan tujuan hukum yang demikian itu.

Namun di dalam realita kehidupan masyarakat, hukum mengalami sebuah

masalah krusial yang mengaburkan makna dari hukum tersebut. Hukum dijadikan

alat untuk melindungi kepentingan-kepentingan tertentu dan hukum dijadikan

sebuah alat untuk melegalkan tindakan-tindakan yang menistakan nilai-nilai

keadilan di tengah-tengah masyarakat. Hukum hanya dijadikan alat dan bukan

tujuan. Dalam sejarah Negara Republik Indonesia telah terjadi perubahan-

perubahan politik secara bergantian (berdasarkan periode sistem politik) antara

1
Sabian Usman, Dasar-Dasar Sosiologi Hukum, (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2009), 1.

2
konfigurasi politik untuk mempertahankan kemerdekaan dan mencari identitas

diri, konfigurasi politik yang otoriter dan konfigurasi politik yang demokratis.

Sejalan dengan perubahan-perubahan konfigurasi politik itu, karakter produk

hukum juga berubah. Pada saat konfigurasi politik tampil secara demokratis, maka

produk-produk hukum yang dilahirkannya berkarakter responsif, sebaliknya ketika

konfigurasi politik tampil secara otoriter, hukum-hukum yang dilahirkannya

berkarakter ortodoks2.

Implikasi yang ditimbulkan dari tidak berjalannya penegakan hukum dengan

baik dan efektif adalah kerusakan dan kehancuran diberbagai bidang (politik,

ekonomi, sosial, dan budaya). Selain itu buruknya penegakan hukum juga akan

menyebabkan rasa hormat dan kepercayaan masyarakat terhadap hukum semakin

menipis dari hari ke hari. Akibatnya, masyarakat akan mencari keadilan dengan

cara mereka sendiri. Suburnya berbagai tindakan main hakim sendiri

(eigenrichting) di masyarakat adalah salah satu wujud ketidakpercayaan

masyarakat terhadap hukum yang ada.

Masalah penegakan hukum merupakan suatu permasalahan yang tidak

mudah, karena sistem hukum itu sangat kompleksitas, dan juga rumitnya

hubungan antara sistem hukum dengan sistem sosial, politik,ekonomi, dan budaya

masyarakat.Sebagai suatu proses, penegakan hukum pada dasarnya merupakan

variabel yang mempunyai hubungan dengan faktor-faktor lain.

Berdasarkan telaah secara mendalam, setidaknya terdapat tujuh faktor

penghambat penegakan hukum di Indonesia, ketujuh faktor tersebut yaitu:

2
Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), 373

3
a. Lemahnya political will dan political action para pemimpin negara ini, untuk

menjadi hukum sebagai panglima dalam penyelenggaraan pemerintahan.

Dengan kata lain, supremasi hukum masih sebatas retorika dan jargon politik

yang didengung-dengungkan pada saat kampanye.

b. Peraturan perundang-undangan yang ada saat ini masih lebih merefleksikan

kepentingan politik penguasa ketimbang kepentingan rakyat.

c. Rendahnya integritas moral, kredibilitas, profesionalitas dan kesadaran

hukum aparat penegak hukum (Hakim, Jaksa, Polisi dan Advokat) dalam

menegakkan hukum.

d. Minimnya sarana dan prasana serta fasilitas yang mendukung kelancaran

proses penegakan hukum.

e. Tingkat kesadaran dan budaya hukum masyarakat yang masih rendah serta

kurang respek terhadap hukum.

f. Paradigma penegakan hukum masih positivis-legalistis yang lebih

mengutamakan tercapainya keadilan formal (formal justice) daripada

keadilan substansial (substantial justice).

g. Kebijakan (policy) yang diambil oleh para pihak terkait (stakeholders) dalam

mengatasi persoalan penegakan hukum masih bersifat parsial, tambal sulam,

tidak komprehensif dan tersistematis. Mencermati berbagai problem yang

menghambat proses penegakan hukum sebagaimana diuraikan di atas.

Langkah dan strategi yang sangat mendesak (urgent) untuk dilakukan saat

ini sebagai solusi terhadap persoalan tersebut ialah melakukan pembenahan dan

penataan terhadap sistem hukum yang ada. Konsep hukum progresif, yang

4
memaknai hukum untuk manusia dan masyarakat dan bukan untuk kepentingan

dirinya sendiri, merupakan alternatif yang dapat dipergunakan dalam penerapan

hukum, yang lebih memungkinkan untuk mewujudkan tujuan hukum yang

demikian itu.

C. Rumusan Masalah
Dari paparan di atas, maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah:
1. Bagaimana penerapan hukum progresif di Indonesia?
2. Apa saja problematika hukum progresif di Indonesia?

D. Metode Penelitian
Dalam kajian ini penulis mengunakan metode socio-legal approach yang

bersifat kualitatif, berdasarkan data kepustakaan. Dengan pendekatan socio-legal

approach, kajian ini menggunakan dua pendekatan, yaitu pendekatan sosial dan

pendekatan yuridis normatif. Pendekatan sosial dipergunakan untuk menganalisis

situasi sosialekonomi dan sosial politik, guna menjelaskan nilai-nilai keadilan,

kesejahteraan dan nilai demokrasi yang terwujud dalam masyarakat. Sedangkan

pendekatan yuridis normatif dipergunakan untuk menganalisis norma peraturan

perundang-undangan dan putusan hakim, dengan mengacu pada nilai-nilai

kesejahteraan dan keadilan dalam masyarakat. Kajian dilakukan menggunakan

data kepustakaan, dengan menelusuri dokumen peraturan perundang-undangan,

buku, artikel jurnal hukum, hasil-hasil penelitian dan putusan pengadilan yang

relevan untuk menjelaskan permasalahan dalam studi ini.

5
E. Pembahasan
1. Penerapan Hukum Progresif di Indonesia
Beberapa sumber literatur menyebutkan bahawa tahun 2002 Prof. Dr.

Satjipto Rahardjo telah memperkenalkan gagasan tentang Hukum Progresif kepada

publik. Gagasan tersebut muncul dari keprihatinan terhadap keterpurukan hukum

dan ketidakpuasan publik yang makin meluas terhadap kinerja hukum dan

pengadilan. Gagasan tersebut secara intensif dibicarakan dan didiskusikan

dikalangan akademik baik pada level studi formal (Program Doktor Ilmu Hukum),

bahkan mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum sudah berhasil menerbitkan

majalah yang juga berjudul "Jurnal Hukum Progresif". Sebuah artikel panjang

mengenai Hukum Progresif dimuat pada nomor pertama Jurnal tersebut.

Gagasan tersebut ternyata mendapat apresiasi yang luas dan istilah hukum

progresif sekarang sudah mulai banyak digunakan. Pada intinya gagasan Hukum

Progresif ingin mendorong komunitas pekerja hukum untuk berani membuat

terobosan dalam menjalankan hukum di Indonesia dan tidak hanya dibelenggu

oleh pikiran positivistis dan legal analytical. Disarankan tidak hanya untuk rule

making, rule abiding, tetapi rule breaking. Terobosan tersebut bukan berarti

anarki, karena masih banyak jalan, metode hukum, teori hukum serta paradigma

baru yang dapat diajukan untuk melakukan rule breaking tersebut;

Paradigma hukum progresif yang digagas sang begawan hukum Prof. Dr.

Satjipto Rahardjo adalah sebuah gagasan yang fenomenal yang ditujukan kepada

aparatur penegak hukum terutama kepada sang Hakim agar supaya jangan

terbelenggu dengan positivisme hukum yang selama ini banyak memberikan

6
ketidakadilan kepada yustisiaben (pencari keadilan) dalam menegakkan hukum

karena penegakan hukum merupakan rangkaian proses untuk menjabarkan nilai,

ide, cita yang cukup abstrak yang menjadi tujuan hukum. Tujuan hukum atau cita

hukum memulai nilai-nilai moral, seperti keadilan dan kebenaran. Nilai-nilai

tersebut harus mampu diwujudkan dalam realitas nyata. Eksistensi hukum diakui

apabila nilai-nilai moral yang terkandung dalam hukum tersebut mampu

diimplementasikan atau tidak.

Menurut Soerjono Soekanto, secara konsepsional inti dari arti penegakan

hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan

di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejewantah sikap tindak sebagai

rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara dan

mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. Penegakan hukum sebagai sarana

untuk mencapai tujuan hukum, maka sudah semestinya seluruh energi dikerahkan

agar hukum mampu bekerja untuk mewujudkan nilai-nilai moral dalam hukum.

Kegagalan hukum untuk mewujudakan nilai hukum tersebut merupakan ancaman

bahaya akan bangkrutnya hukum yang ada.

Dalam konsep hukum yang proresif, hukum tidak mengabdi pada dirinya

sendiri, melainkan untuk tujuan yang berada di luar dirinya 3. Ini berbeda dengan

tradisi analytical jurisprudence yang cenderung menepis dunia luar dirinya;

3
Satjipto Rahardjo, “Konsep dan Karakter Hukum Progresif ”, Makalah Seminar Nasional I
Hukum Progresif, Kerjasama Fakultas Hukum Undip, Program Doktor Ilmu Hukum Undip dan
Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Semarang, Desember, 2007

7
seperti manusia, masyarakat dan kesejahteraannya 4. Dengan demkian, hukum

harus bersifat responsif. Regulasi hukum akan selalu dikaitkan dengan tujuan-

tujuan sosial yang melampaui narasi tekstual aturan. Hukum progresif, memiliki

logika yang mirip dengan Legal Realism, melihat dan menilai hukum dari tujuan-

tujuan sosial yang ingin dicapainya serta akibatakibat yang timbul dari bekerjanya

hukum itu, yang karenanya dari sudut pandang etis, dapat disebut etika teleologis.

Cara berpikir teleologis ini, bukan tidak memperhatikan hukum. Aturan penting,

tetapi itu bukan ukuran terakhir yang lebih diutamakan adalah tujuan dan akibat.

Sebab itu, pertanyaan sentral dalam etika teleologis, adalah apakah suatu tindakan

itu bertolak dari tujuan yang baik, dan apakah tindakan yang tujuannya baik itu,

juga berakibat baik.

Hukum progresif lebih mengutamakan tujuan dan konteks dari pada teks

aturan, maka diskresi mempunyai tempat yang penting dalam penyelenggaraan

hukum. Dalam konteks diskresi, para penyelenggara hukum dituntut untuk

memilih dengan bijaksana bagaimana ia harus bertindak. Otoritas yang ada pada

mereka berdasarkan aturan-aturan resmi, dipakai sebagai dasar untuk menempuh

cara yang bijaksana dalam menghampiri kenyataan tugasnya berdasarkan

pendekatan moral dari pada ketentuan-ketentuan formal. Weston menyatakan

“decicion making has been termed the selection of the best, the most practical or

satisfactory course of action"5.

4
Satjipto Rahardjo, dalam Yanto Sufriadi. "Penerapan Hukum Progresif dalam Penegakan
Hukum di tengah Krisis Demokrasi". JURNAL HUKUM NO. 2 VOL. 17 APRIL 2010: 233 - 248
5
Paul M. Weston, Suvervision in the Administration of Justice Police Corrections Cours,
Springfield, Charles D.Thomas, 1965, 97

8
Penerapan hukum progresif, yang pada dasarnya terarah kepada para pelaku

hukum ini, diharapkan akan dapat mengarahkan hukum yang dihasilkan oleh

proses legislasi, yang cenderung elitis, untuk mengarah pada kepentingan keadilan

dan kesejahteraan rakyat banyak.

Pintu masuk bagi penerapan hukum progresif dalam praktik pengadilan di

Indoensia, secara formal telah diberikan oleh UU Kekuasaan Kehakiman yang

menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman bertugas untuk menegakkan hukum dan

keadilan. Dalam rangka itu, hakim diwajibkan untuk menggali nilai-nilai hukum

dan keadilan yang hidup dalam masyarakat 6. Ini berarti bahwa hakim tidak sekedar

bertugas menerapkan peraturan apa adanya, tetapi bagaimana penerapan itu dapat

mewujudkan keadilan. Di sini kreativitas hakim menjadi sangat menentukan.

Hasil dari suatu penelitian misalnya terhadap sengketa dalam pelaksanaan

kontrak7, menunjukkan bahwa pengadilan di Indonesia pada awalnya sangat

mengedepankan asas facta sunt servanda dari pada asas iktikad baik.

Mengedepankan asas facta sunt servanda, berarti mengedepankan isi perjanjian

sesuai dengan apa yang secara formal sudah disepakati oleh para pihak secara sah,

dan itulah yang oleh pengadilan diberlakukan sebagai undang-undang bagi para

pihak. Ini merupakan gambaran dari cara berpikir yang legal-positivism, yang

hanya memaknai aturan (dalam hal ini perjanjian) secara formaltektual, yang

mengabaikan keadilan.

6
Pasal 28 UU No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
7
Ridwan Khairandy, “Makna, Tolok Ukur, Pemaknaan dan Sikap Pengadilan di Indonesia
Terhadap Iktikad
Baik dalam Pelaksanaan Kontrak”, Jurnal Hukum, Fakultas Hukum UII, No. Edisi Khusus, Vol.
16 Oktober 2009.

9
Dalam penelitian ini juga ditunjukkan bahwa belakangan, sikap pengadilan

Indonesia ternyata bergeser ke arah yang lebih mengedepankan iktikad baik.

Mengedepankan iktikad baik, berarti pengadilan tidak lagi terbelenggu untuk

mengikuti teks perjanjian, melainkan lebih melihat pada nilai-nilai kepatutan dan

keadilan yang hidup dalam masyarakat. Ini merupakan gambaran bahwa dalam

memutus sengketa pelaksanaan kontrak, pengadilan Indonesia, telah bergeser

menjadi progresif.

Dalam penelitian lain, terkait dengan pemaknaan tindakan melawan hukum

dalam Tindak Pidana Korupsi8, masih banyak hakim yang terkungkung dengan

cara berpikir yang legal-positivism. Tindakan melawan hukum hanya dimaknai

terbatas pada rumusan teks yang sudah ada dalam peraturan perundang-undangan,

tanpa memperdulikan nilai-nilai kepatutan dan keadilan. Akibatnya, sekalipun

tindakan terdakwa bertentangan dengan nilai-nilai kepatutan, tidak sedikit

terdakwa yang diputus bebas oleh Pengadilan, karena dianggap tidak berbukti

telah melakukan perbuatan yang melawan perundang-undangan.

Dalam penelitian ini juga ditunjukkan adanya hakim yang berpikir progresif,

yang memaknai tindakan melawan hukum sebagai tindakan yang melanggar

kepatutan. Nilai kepatutan tersebut tidak terdapat di dalam teks, tetapi digali dalam

masyarakat, sehingga dalam putusannya, terdakwa tidak bisa lepas dari hukuman

pidana. Meskipun sudah terdapat hakim yang berpikir progresif, tetapi beberapa

8
M. Syamsudin, “Kecenderungan Paradigma Berpikir Hakim Dalam Memutus Perkara
Korupsi”, Jurnal Media Hukum Fakultas Hukum UMY, Vol. 15 No.2 Desember 2008

10
literatur menunjukkan bahwa cara berpikir legal-positivism masih menjadi

mainstream di kalangan hakim di Pengadilan.

Berdasarkan paparan hasil penelitian di atas, tradisi berpikir hakim di

Pengadilan, sudah mulai diwarnai oleh cara berpikir yang progresif. Tradisi

berpikir yang progresif ini perlu terus didorong, agar benar-benar menjadi budaya

hukum dikalangan hakim. Apabila para hakim, sudah tidak lagi terbelenggu

dengan tradisi berpikir legal-positivism, maka tujuan hukum untuk mewujudkan

keadilan dan kesejahteraan rakyat, akan menjadi lebih memungkinkan, sekalipun

hukum perundang-undangan yang dihasilkan dalam proses legislasi cenderung

elitis.

2. Problematika hukum progresif di Indonesia


Hukum merupakan bagian integral yang tidak mungkin dilepaskan dari

manusia. Seyogyanya berorentasi pada manusia dan tidak sebatas tunduk pada

norma-norma hukum. Supremasi sama dengan supremasi Undang-Undang yang

sekedar memencet tombol, tetapi yang harus terbangun dalam pikiran kita ialah

keunggulan dari keadilan dan kejujuran9.

Ilmu hukum merupakan bagian dari ilmu yang non empirik yang

mempunyai ciri-ciri, Pertama, order of logic. Kedua, landasan kebenarannya

teori koherensi yang berarti adanya kesesuaian dan saling topang antara satu

idea dengan idea yang lain. Ketiga, kebenarannya ditentukan secara internal.

Keempat, tujuannya memahami obyek sedalam-dalamnya. Kelima, memakai

9
Satjipto Rahardjo, Sisi Lain dari Hukum di Indonesia, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas,
2003), 119-120

11
nalar deduksi (induksi) atas dasar aksioma, nilai/asas, atau kebenaran yang

abstrak untuk memberi penilaian kepada obyek tertentu yang kongkrit dan

empirik. Keenam, memakai metode interpretasi, konstruksi dan sistematisasi.

Ketujuh, melakukan preskripsi. Kedelapan, demi kepentingan pengambilan

keputusan (problem solving). Kesembilan, tidak bebas nilai karena berdasarkan

aksioma.

Hasil kajian dari beberapa literatur, setidaknya terdapat dua problem utama

hukum progresif yang diterapkan di Indonesia, yakni;

Pertama, Kekuatan posisitifisme hukum. Ada tembok besar sudah

menghadang hukum progresif di Indonesia yaitu kekuatan positifisme hukum

yang sacara hegemonik telah membangun struktur hierarkis secara teoritik dan

normatif dan juga telah berhasil membangun jejaring intelektual di berbagai

universitas hukum di Indonesia. Hukum progresif telah menjadi wacana

beberapa intelektual dan beberapa kaum muda, sama halnya dengan wacana-

wacana hukum empirical dan kritis lainnya. Tetapi, kekuatan wacana itu

masih sangat lemah dan gampang terpatahkan dalam debat hukum di ruang-

ruang struktural. Wacana hukum progresif perlu kekuatan yang lebih besar

hingga sebanding dengan madzhab positivisme baik secara teoritik, norma-

norma, pelaku-pelaku hukum dan jejaring para intelektualnya.

Problem utama yang harus didorong untuk mewujudkan hal tersebut

adalah menciptakan basis paradigma pembangunan hukum di Indonesia. Abdul

Hakim G. Nusantara pada tahun 1983 telah menggagas tentang strategi

pembangunan hukum responsif dan progresif di Indonesia. Usaha-usaha yang

12
harus dilakukan diantaranya ialah perlu diciptakan kondisi-kondisi sosial yang

memungkinkan pertumbuhan sejati kelompok-kelompok kolektif masyarakat

lapisan bawah untuk mengorganisasikan dan memperjuangkan hak-haknya, akses

masyarakat terhadap pengadilan diperkuat, kelompok-kelompok sosial non negara

pemerintah harus bergerak menyadarkan hak-hak masyarakat bawah, dan

pemerintah baik eksekutif dan legislatif penting didorong untuk merespon

kepentingan masyarakat lapisan bawah10.

Menurut Artidjo, hukum Indonesia terbelenggu oleh kapsul positivisme

hukum Eropa Kontinental abad 18. Positivisme hukum tidak peduli dengan

keadilan, karena keadilan bukan urusan hukum positif. Aliran positivisme

hukum menekankan kepastian hukum yang kemudian berakibat pada

pertumbuhan hukum Indonesia yang berjalan tanpa visi dan tidak jelas

paradigmanya. Watak hukum Eropa Kontinental bertradisi tanpa paradigma

sosiologi, karena memakai metode berfikir deduktif seperti kebiasan hukum

Romawi. Karakter hukum Anglo Amerika lebih realistis karena memberi

perhatian kepada yang berkembang dalam dinamikas sosial11.

Kedua, Keterbelengguan warga hukum dalam struktur-struktur yang

menindas baik politik, ekonomi, sosial budaya, maupun oleh hukum yang

manipulatif. Menurut Suparman, penegakan hukum progresif menempatkan

kepentingan dan kebutuhan manusia/rakyat sebagai titik orientasinya, karena

10
Abdul Hakim G. Nusantara, Politik Hukum Indonesia, (Jakarta: Yayasan Lembaga
Bantuan Hukum Indonesia, 1988), h. 24-48
11
Artidjo Alkostar, Pembangunan Hukum dan Keadilan, dalam Moh. Mahfud MD, dkk
(Ed), Kritik Sosial dalam Wacana Pembangunan, UII Press, Yogyakarta, 1999, h. 335-336

13
aparatur penegak hukum harus memiliki kepekaan pada persoalan-persoalan

yang timbul dalam hubungan-hubungan manusia. Salah salah satu persoalan

krusial dalam konteks itu ialah keterbelengguan manusia dalam struktur-

struktur yang menindas baik politik, ekonomi, sosial budaya, maupun oleh

hukum yang manipulatif. Dalam kondisi-kondisi tersebut, keberadaan hukum

progresif harus menjadi institusi yang emansipatoris yang membawa

pemberdayaan. Konsep kesamaan (aquality) yang didasarkan pada kolektivitas

atau komunitas (group related equality) dan bukan individu sebagai unit

(individual equality). Aksi-aksi afirmatif penegakan hukum hukum HAM

progresif didukung oleh keinginan untuk mendayagunakan hukum HAM bagi

kepentingan rakyat yang lemah atau rentan.

Berangkat dari problematik yang ada, tantangan besar kekuatan kaum

progresif yaitu meyakinkan bahwa terdapat masalah sistemik dan terstruktur

dalam bangunan paradigma hukum kenegaraan di Indonesia. Para intelektual

hukum, para pemangku kebijakan baik legislatif, eksekutif dan yudikatif dan para

aktifis sosial dan HAM harus selalu dibangunkan hati nurani dan kesadarannya

untuk merombak struktur hukum yang statis dan telah menelan banyak korban.

Membangkitkan kepekaan nurani dan mendorong kesadaran atas multi krisis

sistem hukum merupakan modal kuat akan lahirnya generasi yang

berparadigma hukum progresif. Pada saatnya nanti, hukum progresif akan

tegak dan akan membebaskan masyarakat dari ketertindasannya.

14
F. Kesimpulan
Dalam situasi produk legislasi yang elitis, maka penerapan hukum yang

didasarkan pada tradisi legal-positivism, akan semakin memperluas ketidakadilan

dan kemiskinan. Karena, itu, di tengah situasi produk legislasi yang elitis,

penerapan hukum secara progresif, merupakan cara alternatif yang lebih

memungkinkan untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan rakyat. Kehadiran

para pelaku hukum yang visioner, peka terhadap nilai-nilai moral dan keadilan,

jujur, serta amanah akan dapat menghasilkan putusan-putusan hukum yang lebih

berpihak kepada keadilan dan kesejahteraan rakyat banyak, sekalipun produk

hukum yang dihasilkan oleh proses demokrasi cenderung elitis. Ketiga, praktik

pengadilan di Indonesia, menunjukkan mulai berkembangnya cara-cara penerapan

hukum yang progresif, namun tradisi legal-positivism masih menjadi mainstream

para hakim.

Dua problematika penerapan hukum progresif di Indonesia adalah Pertama,

Kekuatan posisitifisme hukum. kekuatan positifisme hukum yang sacara

hegemonik telah membangun struktur hierarkis secara teoritik dan normatif dan

juga telah berhasil membangun jejaring intelektual di berbagai universitas

hukum di Indonesia. Kedua, hukum Indonesia terbelenggu oleh kapsul

positivisme hukum Eropa Kontinental abad 18. Positivisme hukum tidak

peduli dengan keadilan, karena keadilan bukan urusan hukum positif. Aliran

positivisme hukum menekankan kepastian hukum yang kemudian berakibat

pada pertumbuhan hukum Indonesia yang berjalan tanpa visi dan tidak jelas

paradigmanya.

15
Daftar Pustaka

Hakim G. Nusantara, Abdul. Politik Hukum Indonesia. Yayasan Lembaga


Bantuan Hukum Indonesia, 1988.
Kusuma, Mahmud. Menyelami Semangat Hukum Progresif; Terapi
Paradigmatik Atas Lemahnya Penegakan Hukum Indonesia. Yogyakarta: Antony Lib
bekerjasama LSHP. 2009.
Khairandy, Ridwan. “Makna, Tolok Ukur, Pemaknaan dan Sikap Pengadilan di
Indonesia Terhadap Iktikad Baik dalam Pelaksanaan Kontrak”. Jurnal Hukum,
Fakultas Hukum UII, No. Edisi Khusus, Vol. 16 Oktober 2009.
Mahfud MD, Moh. dkk (Ed). Kritik Sosial dalam Wacana Pembangunan.
UII Press, Yogyakarta, 1999.
Mahfud MD, Moh. Politik Hukum di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers, 2009.
Mahmudin MD, Moh. Mahfud. E.t al. Satjipto Rahardjo dan Hukum Progresif-
Urgensi dan Kritik. Jakarta: Seri Tokoh Hukum Indonesia. Epistema Institute dan
HuMa. 2011.
M. Weston, Paul. Suvervision in the Administration of Justice Police
Corrections Cours, Springfield, Charles D.Thomas, 1965
Rahardjo, Satjipto. “Konsep dan Karakter Hukum Progresif ”, Makalah
Seminar Nasional I Hukum Progresif, Kerjasama Fakultas Hukum Undip, Program
Doktor Ilmu Hukum Undip dan Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Semarang,
Desember, 2007
Rahardjo, Satjipto. Sisi Lain dari Hukum di Indonesia. Jakarta: Penerbit Buku
Kompas, 2003
Rahardjo, Satjipto, Hukum dan Perubahan Sosial : suatu Tinjauan Teoritis
Serta Pengalaman-Pengalaman di Indonesia, Alumni, Bandung, 1983.
______, Makalah, Konsep dan Karakter Hukum Progresif, Fakultas Hukum
Undip bekerja sama dengan Program Doktor Ilmu Hukum Undip, Semarang,
Desember 2007.

16
Syamsudin, M. “Kecenderungan Paradigma Berpikir Hakim Dalam Memutus
Perkara Korupsi”, Jurnal Media Hukum Fakultas Hukum UMY, Vol. 15 No.2
Desember 2008
Sufriadi, Yanto "Penerapan Hukum Progresif dalam Penegakan Hukum di
tengah Krisis Demokrasi". Jurnal Hukum No. 2 Vol. 17 April 2010: 233 - 248
Pasal 28 UU No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
Usman, Sabian. Dasar-Dasar Sosiologi Hukum. Yogyakarta: Pustaka Belajar,
2009.

17

Anda mungkin juga menyukai