INDONESIA
Dosen Pengampu:
Dr.Drs.H.Nur`l Yakin Mch,SH.,M.Hum
Oleh:
RONI AKROMA
NIM :
1
A. Judul
B. Pendahuluan
Indonesia adalah negara yang berdasarkankan atas hukum dan tidak
untuk manusia dan masyarakat dan bukan untuk kepentingan dirinya sendiri,
masalah krusial yang mengaburkan makna dari hukum tersebut. Hukum dijadikan
1
Sabian Usman, Dasar-Dasar Sosiologi Hukum, (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2009), 1.
2
konfigurasi politik untuk mempertahankan kemerdekaan dan mencari identitas
diri, konfigurasi politik yang otoriter dan konfigurasi politik yang demokratis.
hukum juga berubah. Pada saat konfigurasi politik tampil secara demokratis, maka
berkarakter ortodoks2.
baik dan efektif adalah kerusakan dan kehancuran diberbagai bidang (politik,
ekonomi, sosial, dan budaya). Selain itu buruknya penegakan hukum juga akan
menipis dari hari ke hari. Akibatnya, masyarakat akan mencari keadilan dengan
mudah, karena sistem hukum itu sangat kompleksitas, dan juga rumitnya
hubungan antara sistem hukum dengan sistem sosial, politik,ekonomi, dan budaya
2
Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), 373
3
a. Lemahnya political will dan political action para pemimpin negara ini, untuk
Dengan kata lain, supremasi hukum masih sebatas retorika dan jargon politik
hukum aparat penegak hukum (Hakim, Jaksa, Polisi dan Advokat) dalam
menegakkan hukum.
e. Tingkat kesadaran dan budaya hukum masyarakat yang masih rendah serta
g. Kebijakan (policy) yang diambil oleh para pihak terkait (stakeholders) dalam
Langkah dan strategi yang sangat mendesak (urgent) untuk dilakukan saat
ini sebagai solusi terhadap persoalan tersebut ialah melakukan pembenahan dan
penataan terhadap sistem hukum yang ada. Konsep hukum progresif, yang
4
memaknai hukum untuk manusia dan masyarakat dan bukan untuk kepentingan
demikian itu.
C. Rumusan Masalah
Dari paparan di atas, maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah:
1. Bagaimana penerapan hukum progresif di Indonesia?
2. Apa saja problematika hukum progresif di Indonesia?
D. Metode Penelitian
Dalam kajian ini penulis mengunakan metode socio-legal approach yang
approach, kajian ini menggunakan dua pendekatan, yaitu pendekatan sosial dan
buku, artikel jurnal hukum, hasil-hasil penelitian dan putusan pengadilan yang
5
E. Pembahasan
1. Penerapan Hukum Progresif di Indonesia
Beberapa sumber literatur menyebutkan bahawa tahun 2002 Prof. Dr.
dan ketidakpuasan publik yang makin meluas terhadap kinerja hukum dan
dikalangan akademik baik pada level studi formal (Program Doktor Ilmu Hukum),
majalah yang juga berjudul "Jurnal Hukum Progresif". Sebuah artikel panjang
Gagasan tersebut ternyata mendapat apresiasi yang luas dan istilah hukum
progresif sekarang sudah mulai banyak digunakan. Pada intinya gagasan Hukum
oleh pikiran positivistis dan legal analytical. Disarankan tidak hanya untuk rule
making, rule abiding, tetapi rule breaking. Terobosan tersebut bukan berarti
anarki, karena masih banyak jalan, metode hukum, teori hukum serta paradigma
Paradigma hukum progresif yang digagas sang begawan hukum Prof. Dr.
Satjipto Rahardjo adalah sebuah gagasan yang fenomenal yang ditujukan kepada
aparatur penegak hukum terutama kepada sang Hakim agar supaya jangan
6
ketidakadilan kepada yustisiaben (pencari keadilan) dalam menegakkan hukum
ide, cita yang cukup abstrak yang menjadi tujuan hukum. Tujuan hukum atau cita
tersebut harus mampu diwujudkan dalam realitas nyata. Eksistensi hukum diakui
untuk mencapai tujuan hukum, maka sudah semestinya seluruh energi dikerahkan
agar hukum mampu bekerja untuk mewujudkan nilai-nilai moral dalam hukum.
Dalam konsep hukum yang proresif, hukum tidak mengabdi pada dirinya
sendiri, melainkan untuk tujuan yang berada di luar dirinya 3. Ini berbeda dengan
3
Satjipto Rahardjo, “Konsep dan Karakter Hukum Progresif ”, Makalah Seminar Nasional I
Hukum Progresif, Kerjasama Fakultas Hukum Undip, Program Doktor Ilmu Hukum Undip dan
Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Semarang, Desember, 2007
7
seperti manusia, masyarakat dan kesejahteraannya 4. Dengan demkian, hukum
harus bersifat responsif. Regulasi hukum akan selalu dikaitkan dengan tujuan-
tujuan sosial yang melampaui narasi tekstual aturan. Hukum progresif, memiliki
logika yang mirip dengan Legal Realism, melihat dan menilai hukum dari tujuan-
tujuan sosial yang ingin dicapainya serta akibatakibat yang timbul dari bekerjanya
hukum itu, yang karenanya dari sudut pandang etis, dapat disebut etika teleologis.
Cara berpikir teleologis ini, bukan tidak memperhatikan hukum. Aturan penting,
tetapi itu bukan ukuran terakhir yang lebih diutamakan adalah tujuan dan akibat.
Sebab itu, pertanyaan sentral dalam etika teleologis, adalah apakah suatu tindakan
itu bertolak dari tujuan yang baik, dan apakah tindakan yang tujuannya baik itu,
Hukum progresif lebih mengutamakan tujuan dan konteks dari pada teks
memilih dengan bijaksana bagaimana ia harus bertindak. Otoritas yang ada pada
“decicion making has been termed the selection of the best, the most practical or
4
Satjipto Rahardjo, dalam Yanto Sufriadi. "Penerapan Hukum Progresif dalam Penegakan
Hukum di tengah Krisis Demokrasi". JURNAL HUKUM NO. 2 VOL. 17 APRIL 2010: 233 - 248
5
Paul M. Weston, Suvervision in the Administration of Justice Police Corrections Cours,
Springfield, Charles D.Thomas, 1965, 97
8
Penerapan hukum progresif, yang pada dasarnya terarah kepada para pelaku
hukum ini, diharapkan akan dapat mengarahkan hukum yang dihasilkan oleh
proses legislasi, yang cenderung elitis, untuk mengarah pada kepentingan keadilan
keadilan. Dalam rangka itu, hakim diwajibkan untuk menggali nilai-nilai hukum
dan keadilan yang hidup dalam masyarakat 6. Ini berarti bahwa hakim tidak sekedar
bertugas menerapkan peraturan apa adanya, tetapi bagaimana penerapan itu dapat
mengedepankan asas facta sunt servanda dari pada asas iktikad baik.
sesuai dengan apa yang secara formal sudah disepakati oleh para pihak secara sah,
dan itulah yang oleh pengadilan diberlakukan sebagai undang-undang bagi para
pihak. Ini merupakan gambaran dari cara berpikir yang legal-positivism, yang
hanya memaknai aturan (dalam hal ini perjanjian) secara formaltektual, yang
mengabaikan keadilan.
6
Pasal 28 UU No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
7
Ridwan Khairandy, “Makna, Tolok Ukur, Pemaknaan dan Sikap Pengadilan di Indonesia
Terhadap Iktikad
Baik dalam Pelaksanaan Kontrak”, Jurnal Hukum, Fakultas Hukum UII, No. Edisi Khusus, Vol.
16 Oktober 2009.
9
Dalam penelitian ini juga ditunjukkan bahwa belakangan, sikap pengadilan
mengikuti teks perjanjian, melainkan lebih melihat pada nilai-nilai kepatutan dan
keadilan yang hidup dalam masyarakat. Ini merupakan gambaran bahwa dalam
menjadi progresif.
dalam Tindak Pidana Korupsi8, masih banyak hakim yang terkungkung dengan
terbatas pada rumusan teks yang sudah ada dalam peraturan perundang-undangan,
terdakwa yang diputus bebas oleh Pengadilan, karena dianggap tidak berbukti
Dalam penelitian ini juga ditunjukkan adanya hakim yang berpikir progresif,
kepatutan. Nilai kepatutan tersebut tidak terdapat di dalam teks, tetapi digali dalam
masyarakat, sehingga dalam putusannya, terdakwa tidak bisa lepas dari hukuman
pidana. Meskipun sudah terdapat hakim yang berpikir progresif, tetapi beberapa
8
M. Syamsudin, “Kecenderungan Paradigma Berpikir Hakim Dalam Memutus Perkara
Korupsi”, Jurnal Media Hukum Fakultas Hukum UMY, Vol. 15 No.2 Desember 2008
10
literatur menunjukkan bahwa cara berpikir legal-positivism masih menjadi
Pengadilan, sudah mulai diwarnai oleh cara berpikir yang progresif. Tradisi
berpikir yang progresif ini perlu terus didorong, agar benar-benar menjadi budaya
hukum dikalangan hakim. Apabila para hakim, sudah tidak lagi terbelenggu
elitis.
manusia. Seyogyanya berorentasi pada manusia dan tidak sebatas tunduk pada
sekedar memencet tombol, tetapi yang harus terbangun dalam pikiran kita ialah
Ilmu hukum merupakan bagian dari ilmu yang non empirik yang
teori koherensi yang berarti adanya kesesuaian dan saling topang antara satu
idea dengan idea yang lain. Ketiga, kebenarannya ditentukan secara internal.
9
Satjipto Rahardjo, Sisi Lain dari Hukum di Indonesia, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas,
2003), 119-120
11
nalar deduksi (induksi) atas dasar aksioma, nilai/asas, atau kebenaran yang
abstrak untuk memberi penilaian kepada obyek tertentu yang kongkrit dan
aksioma.
Hasil kajian dari beberapa literatur, setidaknya terdapat dua problem utama
yang sacara hegemonik telah membangun struktur hierarkis secara teoritik dan
beberapa intelektual dan beberapa kaum muda, sama halnya dengan wacana-
wacana hukum empirical dan kritis lainnya. Tetapi, kekuatan wacana itu
masih sangat lemah dan gampang terpatahkan dalam debat hukum di ruang-
ruang struktural. Wacana hukum progresif perlu kekuatan yang lebih besar
12
harus dilakukan diantaranya ialah perlu diciptakan kondisi-kondisi sosial yang
hukum Eropa Kontinental abad 18. Positivisme hukum tidak peduli dengan
pertumbuhan hukum Indonesia yang berjalan tanpa visi dan tidak jelas
menindas baik politik, ekonomi, sosial budaya, maupun oleh hukum yang
10
Abdul Hakim G. Nusantara, Politik Hukum Indonesia, (Jakarta: Yayasan Lembaga
Bantuan Hukum Indonesia, 1988), h. 24-48
11
Artidjo Alkostar, Pembangunan Hukum dan Keadilan, dalam Moh. Mahfud MD, dkk
(Ed), Kritik Sosial dalam Wacana Pembangunan, UII Press, Yogyakarta, 1999, h. 335-336
13
aparatur penegak hukum harus memiliki kepekaan pada persoalan-persoalan
struktur yang menindas baik politik, ekonomi, sosial budaya, maupun oleh
atau komunitas (group related equality) dan bukan individu sebagai unit
hukum, para pemangku kebijakan baik legislatif, eksekutif dan yudikatif dan para
aktifis sosial dan HAM harus selalu dibangunkan hati nurani dan kesadarannya
untuk merombak struktur hukum yang statis dan telah menelan banyak korban.
14
F. Kesimpulan
Dalam situasi produk legislasi yang elitis, maka penerapan hukum yang
dan kemiskinan. Karena, itu, di tengah situasi produk legislasi yang elitis,
para pelaku hukum yang visioner, peka terhadap nilai-nilai moral dan keadilan,
jujur, serta amanah akan dapat menghasilkan putusan-putusan hukum yang lebih
hukum yang dihasilkan oleh proses demokrasi cenderung elitis. Ketiga, praktik
para hakim.
hegemonik telah membangun struktur hierarkis secara teoritik dan normatif dan
peduli dengan keadilan, karena keadilan bukan urusan hukum positif. Aliran
pada pertumbuhan hukum Indonesia yang berjalan tanpa visi dan tidak jelas
paradigmanya.
15
Daftar Pustaka
16
Syamsudin, M. “Kecenderungan Paradigma Berpikir Hakim Dalam Memutus
Perkara Korupsi”, Jurnal Media Hukum Fakultas Hukum UMY, Vol. 15 No.2
Desember 2008
Sufriadi, Yanto "Penerapan Hukum Progresif dalam Penegakan Hukum di
tengah Krisis Demokrasi". Jurnal Hukum No. 2 Vol. 17 April 2010: 233 - 248
Pasal 28 UU No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
Usman, Sabian. Dasar-Dasar Sosiologi Hukum. Yogyakarta: Pustaka Belajar,
2009.
17