Anda di halaman 1dari 14

EKSISTENSI FILSAFAT HUKUM DALAM MENYELESAIKAN KOMPLEKSITAS

PENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA

TUGAS MAKALAH SEBAGAI PENGGANTI UJIAN TENGAH SEMESTER

MATA KULIAH : FILSAFAT HUKUM


DOSEN PENGAJAR : DR. NAJMI, SH, MH

OLEH

FEBRI HARIANTO
NO. BP :1820112014
KELAS A

PROGRAM STUDI MAGISTER (S2) ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ANDALAS
2018
ABSTRAK

Adanya supremasi hukum menggambarkan bahwa hukum tidak pernah tunduk di bawah
kepentingan apa pun selain kepentingan hukum itu sendiri yaitu mencapai keadilan, kepastian
hukum dan kemanfaatan yang merupakan tujuan utama hukum. Tetapi hukum tidak pernah
bekerja secara otomatis. Hukum dalam sebuah negara hukum selalu berhubungan dan berkaitan
erat dengan aparat penegak hukum. Superior dan tegaknya keadilan hukum membutuhkan aparat
penegak hukum sebagai pihak yang berperan sangat penting untuk menegakkan keadilan agar
hukum memiliki kekuatan untuk mengatur ketertiban sosial, keteraturan, dan keadilan dalam
masyarakat. Namun dewasa ini penegakan hukum yang berjalan acapkali justru tidak sesuai
dengan apa yang dicita – citakan oleh masyarakat, dimana demi mengedepankan sebuah
kepastian hukum, nilai lainnya yang dikehendaki oleh masyarakat menjadi dikesampingkan,
khususnya mengarah kepada nilai – nilai keadilan yang hanya dapat dirasakan oleh masyarakat.
Ukuran mengenai keadilan seringkali di tafsirkan berbeda-beda. Dari satu sisi inilah terlihat
bahwa muncul suatu kompleksitas dalam penegakan hukum, ketika tujuan hukum untuk
menciptakan suatu keadilan ini tidak terwujud oleh karena dalam penegakannya tidak memahami
betul makna substansial didalamnya, maka untuk memahaminya diperlukan filsafat hukum.
Permasalhannya adalah sejauh mana filsafat hukum dapat menyelesaikan kompleksitas
penegakan hukum di Indonesia dan bagaimana implikasi penyelesaian kompleksitas penegakan
hukum di Indonesia yang menggunakan filsafat hukum sebagai titik tolak pemikirannya
filsafat hukum yang memiliki karakteristik pemikiran mendalam tentang tujuan hukum
sampai pada tingkat hakikatnya, ketika dipraktikkan dalam penegakan hukum, akan dapat
mengatasi problematika penegakan hukum di Indonesia saat ini, atau setidak – tidaknya membuat
masyarakat menjadi lega, karena hukum telah ditegakkan sesuai dengan hakikat dan tujuannya,
mengedepankan nilai – nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat dan mencerminkan sarana
yang dapat mengakomodir seluruh kepentingan masyarakat yang bersifat dinamis, acak dan tidak
tersistem. Pemikiran sebagaimana tersebut diatas yang bertumpu pada kepekaan sosial, ilmu –
ilmu sosial dan logika – logika lainnya hanya dapat berhasil dipahami, jika hakikat dari hukum
itu sendiri telah dipahami pula dan hanya dengan filsafat hukum, para aparat penegak hukum
mampu untuk memahami hal itu, sehingga berimplikasi pada penegakan hukum yang responsif
dan progresif, sesuai dengan nilai – nilai yang hidup dalam masyarakat.
Dengan menerapkan ilmu filsafat hukum dalam penegakan hukum di Indonesia akan
mampu mengungkap hakikat hukum itu sendiri, sehingga tujuannya secara substansial salah
satunya menciptakan keadilan di tengah masyarakat, akan terwujud. Implikasi dari penyelesaian
kompleksitas penegakan hukum di Indonesia yang menggunakan filsafat hukum sebagai titik
tolak pemikirannya adalah penegakan hukum akan menjadi responsif dan progresif, maka
disarankan kepada para aparat penegak hukum menerapkan ilmu filsafat hukum dalam
melaksanakan tugas penegakan hukum di Indonesia.
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Negara Indonesia adalah negara hukum, demikian afirmasi sebuah negara hukum
yang tertuang dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 1
ayat (3). Penegasan tersebut mengharuskan bahwa dalam sebuah negara hukum persoalan-
persoalan yang berkaitan dengan hukum harus diselesaikan melalui jalur hukum. Prosedur
penyelesaian terhadap semua persoalan hukum melalui jalur hukum tersebut merupakan
penegasan terhadap supremasi hukum. Adanya supremasi hukum menggambarkan bahwa
hukum tidak pernah tunduk di bawah kepentingan apa pun selain kepentingan hukum itu
sendiri yaitu mencapai keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan yang merupakan tujuan
utama hukum. Tetapi hukum tidak pernah bekerja secara otomatis. Hukum dalam sebuah
negara hukum selalu berhubungan dan berkaitan erat dengan aparat penegak hukum. Superior
dan tegaknya keadilan hukum membutuhkan aparat penegak hukum sebagai pihak yang
berperan sangat penting untuk menegakkan keadilan agar hukum memiliki kekuatan untuk
mengatur ketertiban sosial, keteraturan, dan keadilan dalam masyarakat. Dengan demikian,
hukum yang tegas dan berlaku adil membuat hukum tersebut menjadi superior; memiliki
keunggulan, kelebihan yang dapat diandalkan dan kredibel bagi semua pihak.
Namun dewasa ini penegakan hukum yang berjalan acapkali justru tidak sesuai
dengan apa yang dicita – citakan oleh masyarakat, dimana demi mengedepankan sebuah
kepastian hukum, nilai lainnya yang dikehendaki oleh masyarakat menjadi dikesampingkan,
khususnya mengarah kepada nilai – nilai keadilan yang hanya dapat dirasakan oleh
masyarakat. Ukuran mengenai keadilan seringkali di tafsirkan berbeda-beda. Keadilan itu
sendiri pun berdimensi banyak, dalam berbagai bidang, misalnya ekonomi, maupun
hukum. Dewasa ini, berbicara mengenai keadilan merupakan hal yang senantiasa dijadikan
topik utama dalam setiap penyelesaian masalah yang berhubungan dengan penegakan hukum.
Banyaknya kasus hukum yang tidak terselesaikan karena ditarik ke masalah politik.
Kebenaran hukum dan keadilan dimanipulasi dengan cara yang sistematik sehingga
peradilan tidak menemukan keadaan yang sebenarnya. Kebijaksanaan pemerintah tidak
mampu membawa hukum menjadi “panglima” dalam menentukan keadilan, sebab hukum
dikebiri oleh sekelompok orang yang mampu membelinya atau orang yang memiliki
kekuasaan yang lebih tinggi.1 Seperti diketahui istilah keadilan senan-tiasa dipertentangkan
dengan istilah ketidak-adilan. Dimana ada konsep keadilan maka disitu pun ada konsep
ketidakadilan. Biasanya keduanya disandingkan dan dalam konteks kajian hukum ada banyak
contoh ketidakadilan yang merupakan antithese dari keadilan dalam bidang hukum misalnya
di Indonesia, seperti : ketidakadilan dalam kasus Poso, terhadap rak-yat kecil, kasus Prita,

1
Muchsan, 1985, Hukum Tata Pemerintahan, Yogyakarta: Penerbit Liberty, hlm. 42. Bandingkan dengan M. Husni,
“Moral dan Keadilan Sebagai Landasan Penegakan Hukum Yang Responsif”, Jurnal Equality Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara, Vol. 11 (1) Februari 2006, hlm. 1-7
ketidakadilan pemberitaan, ketidakadilan pembagian BLT, ketidakadilan gender dalam
masyarakat daerah, ketidak-adilan dalam pemecahan masalah hukum, dan sebagainya.
Disisi lain, nilai – nilai keadilan yang harusnya menjadi tujuan utama hukum yang
dicita – citakan oleh masyarakat, menjadi tidak tercapai, justru karena hukum itu sendiri
diterapkan hanya secara tekstual, bukan secara kontekstual, sehingga pesan substansial dari
sebuah penegakan hukum menjadi tidak tersampaikan. Pesan substansial hukum mengenai
keadilan inilah yang hanya dapat dipahami dengan memahami keadilan itu secara mendalam
dan memahaminya dari perspektif filsafat ilmu.
Jelas bahwa keadilan masuk ke dalam kajian ilmu-ilmu filsafat. Banyak filsafat yang
mengharapkan inspirasi bagi pengetahuan keadilan. Kesemua itu termasuk filsafat-filsafat
yang sangat berbeda dalam ruang dan waktu. Keadilan merupakan salah satu contoh materi
atau forma yang menjadi objek filsafat. Dalam kajian filsafat, keadilan telah menjadi pokok
pembicaraan serius sejak awal munculnya filsafat Yunani. Pembicaraan keadilan memiliki
cakupan yang luas, mulai dari yang bersifat etik, filosofis, hukum, sampai pada keadilan
sosial. Banyak orang yang berpikir bahwa bertindak adil dan tidak adil tergantung pada
kekuatan yang dimiliki, untuk menjadi adil cukup terlihat mudah, namun tentu saja tidak
begitu seperti yang dibayangkan.
Dari satu sisi inilah terlihat bahwa muncul suatu kompleksitas dalam penegakan
hukum, ketika tujuan hukum untuk menciptakan suatu keadilan ini tidak terwujud oleh karena
dalam penegakannya tidak memahami betul makna substansial didalamnya, disinilah
perlunya filsafat hukum sebagai tolak ukurnya dan dengan latar belakang tersebut, penulis
membuat makalah ini yang berjudul Eksistensi Filsafat Hukum Dalam Menyelesaikan
Kompleksitas Penegakan Hukum Di Indonesia.

B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, Penulis merumuskan permasalahan yang akan
diteliti, antara lain :
1. Sejauh mana filsafat hukum dapat menyelesaikan kompleksitas penegakan hukum di
Indonesia?
2. Bagaimana implikasi penyelesaian kompleksitas penegakan hukum di Indonesia yang
menggunakan filsafat hukum sebagai titik tolak pemikirannya?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Kompleksitas Penegakan Hukum di Indonesia


Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau
berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas
atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.2
Penegakan Hukum (law enforcement) dalam arti luas mencakup kegiatan untuk
melaksanakan dan menerapkan hukum serta melakukan tindakan hukum terhadap setiap
pelanggaran atau penyimpangan hukum yang dilakukan oleh subjek hukum, baik melalui
prosedur peradilan ataupun melalui prosedur arbitrase dan mekanisme penyelesaian sengketa
lainnya (alternative desputes or conflicts resolution). Bahkan, dalam pengertian yang lebih
luas lagi, kegiatan penegakan hukum mencakup pula segala aktifitas yang dimaksudkan agar
hukum sebagai perangkat kaedah normatif yang mengatur dan mengikat para subjek hukum
dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara benar-benar ditaati dan sungguh-
sungguh dijalankan sebagaimana mestinya.
Dalam arti sempit, penegakan hukum itu menyangkut kegiatan penindakan
terhadap setiap pelanggaran atau penyimpangan terhadap peraturan perundang-undangan,
khususnya yang lebih sempit lagi melalui proses peradilan pidana yang melibatkan peran
aparat kepolisian, kejaksaan, advokat atau pengacara, dan badan-badan peradilan. Menurut
Jimly Asshiddiqie, penegakan hkum dapat ditinjau dari sudut subyeknya dan dari sudut
obyeknya. Ditinjau dari sudut subjeknya, penegakan hukum itu dapat dilakukan oleh subjek
yang luas dan dapat pula diartikan sebagai upaya penegakan hukum oleh subjek dalam arti
yang terbatas atau sempit. Dalam arti luas, proses penegakan hukum itu melibatkan semua
subjek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normatif
atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma
aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan hukum. Dalam
arti sempit, dari segi subjeknya itu, penegakan hukum itu hanya diartikan sebagai upaya
aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan bahwa suatu aturan
hukum berjalan sebagaimana seharusnya. Dalam memastikan tegaknya hukum itu, apabila
diperlukan, aparatur penegak hukum itu diperkenankan untuk menggunakan daya paksa.3
Sedangkan penegakan hukum itu dapat pula ditinjau dari sudut objeknya, yaitu dari segi
hukumnya. Dalam hal ini, pengertiannya juga mencakup makna yang luas dan sempit. Dalam
arti luas, penegakan hukum itu mencakup pula nilai – nilai keadilan yang terkandung di
dalamnya bunyi aturan formal maupun nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Tetapi, dalam arti sempit, penegakan hukum itu hanya menyangkut penegakan peraturan yang
formal dan tertulis saja. Karena itu, penerjemahan perkataan ‘law enforcement’ ke dalam

2
Satjipto Rahardjo, 2006, Sisi-Sisi lain dari Hukum di Indonesia, Cetakan Kedua, Penerbit Buku Kompas, Jakarta,
hlm. 169.
3
Asshiddiqie, Jimly, 2010, Penegakan Hukum. Universitas Indonesia, Jakarta, hlm. 89
bahasa Indonesia dalam menggunakan perkataan ‘penegakan hukum’ dalam arti luas dan
dapat pula digunakan istilah ‘penegakan peraturan’ dalam arti sempit.
Pembedaan antara formalitas aturan hukum yang tertulis dengan cakupan nilai
keadilan yang dikandungnya ini bahkan juga timbul dalam bahasa Inggris sendiri dengan
dikembangkannya istilah ‘the rule of law’ versus ‘the rule of just law’ atau dalam istilah ‘the
rule of law and not of man’ versus istilah ‘the rule by law’ yang berarti ‘the rule of man by
law’. Dalam istilah ‘the rule of law’ terkandung makna pemerintahan oleh hukum, tetapi
bukan dalam artinya yang formal, melainkan mencakup pula nilai-nilai keadilan yang
terkandung di dalamnya.Karena itu, digunakan istilah ‘the rule of just law’. Dalam istilah ‘the
rule of law and not of man’ dimaksudkan untuk menegaskan bahwa pada hakikatnya
pemerintahan suatu negara hukum modern itu dilakukan oleh hukum, bukan oleh orang.
Istilah sebaliknya adalah ‘the rule by law’ yang dimaksudkan sebagai pemerintahan oleh
orang yang menggunakan hukum sekedar sebagai alat kekuasaan belaka.4
Dari uraian tersebut, jelas bahwa yang dimaksud dengan penegakan hkum itu
merupakan upaya yang dilakukan untuk menjadikan, baik dalam arti formil yang sempit,
maupun dalam arti materiil yang luas, sebagai pedoman perilaku dalam setiap perbuatan
hukum, baik oleh para subyek hukum yang bersangkutan, maupun oleh aparatur penegakan
hukum yang diberi tugas dan kewenangan oleh undang - undang untuk menjamin
berfungsinya norma-norma hukum yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat dan
bernegara. Secara objektif, norma hukum yang hendak ditegakkan mencakup pengertian
hukum formal dan hukum materiel. Hukum formal hanya bersangkutan dengan peraturan
perundang-undangan yang tertulis, sedangkan hukum materiel mencakup pula pengertian
nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dalam bahasa yang tersendiri, kadang-
kadang orang membedakan antara pengertian penegakan hukum dan penegakan keadilan.
Penegakan hukum dapat dikaitkan dengan pengertian ‘law enforcement’ dalam arti sempit,
sedangkan penegakan hukum dalam arti luas, dalam arti hukum materiel, diistilahkan dengan
penegakan keadilan. Dalam bahasa Inggris juga terkadang dibedakan antara konsepsi ‘court
of law’ dalam arti pengadilan hukum dan ‘court of justice’ atau pengadilan keadilan. Bahkan,
dengan semangat yang sama pula, Mahkamah Agung di Amerika Serikat disebut dengan
istilah ‘Supreme Court of Justice’.5
Penegakan Hukum di Indonesia sendiri masih menggunakan pola yang demikian,
sehingga dalam praktiknya kerap terjadi problematika tersendiri, ketika suatu penegakan
hukum formil bertentangan dengan penegakan hukum materil. Sebenarnya tidak juga
mengherankan ketika keduanya saling berbenturan, karena penegakan hukum formil fokus
pada perundang – undangan tertulis yang sifatnya baku, statis dan sistematis, sementara
penegakan hukum materil fokus pada nilai – nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat,
dimana hal itu bersifat acak, dinamis dan tersistem, sehingga undang – undang tidak dapat
menjangkaunya, maka tidak mengherankan jika misalnya masyarakat memandang suatu

4
Ibid, hlm. 97
5
Ibid, hlm. 98
perkara yang diputus oleh pengadilan berdasarkan peraturan yang berlaku, ternyata dirasa
tidak adil di mata masyarakat itu sendiri. Kompleksitas penegakan hukum seperti itulah yang
sampai saat ini masih menjadi problematika di Indonesia.

B. Filsafat Hukum Sebagai Grand Theory Dalam Mengungkap Pesan Substansial


Penegakan Hukum
Untuk mengetahui kerangka keseluruhan filsafat perlu diketahui terlebih dahulu
apa yang dimaksud dengan filsafat itu. “Filsafat” berasal dari kata Yunani filosofie. Kata
filsafat ini terdiri dari kata filo yang artinya cinta atau ingin, sedangkan sofie berarti
kebijaksanaan. Filsafat artinya cinta akan kebijaksanaan, yakni kebijaksanaan hidup berarti,
bahwa apa yang difikirkan dalam filsafat adalah hidup sebagai keseluruhan pengalaman dan
pengertian. Dari beberapa cabang filsafat ilmu, pembicaraan mengenai keadilan merupakan
masalah-masalah yang dibahas oleh filsafat ilmu hukum, mengingat juga salah satu tujuan
hukum adalah keadilan dan ini merupakan salah satu tujuan hukum yang paling banyak
dibicarakan sepanjang perjalanan sejarah filsafat ilmu hukum.
Filsafat ilmu hukum, ada pula yang menyebutnya dengan istilah filsafat hukum,
sesungguhnya merupakan sub dari cabang filsafat manusia, yang disebut etika atau filsafat
manusia. Oleh karena filsafat ilmu hukum maupun filsafat hukum adalah ilmu yang
mempelajari hukum secara filosofis maka objeknya adalah hukum. Mengenai pembedaaan
ilmu hukum maupun hukum, Curzon menyebutnya bahwa ilmu hukum mencakup dan
membicarakan segala hal yang berhubungan dengan hukum. Demikian luasnya masalah yang
dicakup oleh ilmu ini, sehingga sempat memancing pendapat orang untuk mengatakan, bahwa
“batas-batas-nya tidak bisa ditentukan”.
Satjipto Rahardjo selanjutnya menambahkan, sebagaimana halnya dengan setiap
cabang ilmu, maka ilmu hukum ini juga mempunyai objeknya sendiri, yaitu hukum. Seperti
diuraikan sebelumnya, betapa ilmu hukum itu mencakup bidang yang luas sekali. Sifat ini
merupakan akibat dari beban yang dipikulnya, yaitu memaparkan di hadapan kita fenomena
hukum dalam hakikatnya, sifat-sifatnya, fungsinya dalam masyarakat sehingga oleh karena
itulah bisa dimengerti, mengapa ia mengandung pikiran dan penjelasan yang cukup beragam,
baik yang falsafati, teknik maupun sosiologis.6 Di dalam kepustakaan hukum, ilmu hukum ini
dikenal dengan nama, jurisprudence, yang berasal dari kata jus, juris, yang artinya adalah
hukum atau hak; prudensi berarti me-lihat ke depan atau mempunyai keahlian. Arti yang
umum dari jurisprudence ini adalah ilmu yang mempelajari hukum. Tetapi orang juga
mengenal tiga artinya yang lain. Para penulis Inggris memakainya dalam anatomi
perbandingan dari sistem-sistem hukum yang sudah maju. Para penulis Prancis
mengartikannya sebagai kecenderungan dari putusan yang diambil oleh pengadilan-
pengadilan. Di beberapa negara lain, terutama Amerika Serikat, kata itu dipakai sinonim dari
hukum itu sendiri.7 Dari penjelasan di atas, maka jelaslah pembedaan pemakaian filsafat ilmu

6
Satjipto Rahardjo, 2000, Ilmu Hukum, Bandung: Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, hlm.3
7
Loc.cit.
hukum maupun filsafat hukum terletak hanya pada tataran istilah saja, tanpa maksud memilah
dan membedakannya secara pokok krusial, yang sebenarnya keduanya mempelajari filsafat
yang mempunyai objek hukum.
Adapun dilihat dari pengertiannya, filsafat Ilmu Hukum yang telah berkembang
semenjak masa Yunani, didefinisikan oleh banyak pemikir dengan berbagai rumusan, yang
pada dasarnya menyatakan bahwa filsafat ilmu hukum mempersoalkan hakikat hukum itu
sendiri. Menurut Sudjito, filsafat ilmu hukum adalah institusi pencarian jawaban atas
persoalan-persoalan yang dihadapi manusia, mulai dari persoalan ketuhanan, alam semesta,
sampai kepada persoalan manusia itu sendiri.8
Satjipto Rahardjo mengemukakan pendapatnya bahwa filsafat hukum itu
mempersoalkan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat dasar dari hukum. Pertanyaan-
pertanyaan tentang hakikat hukum, tentang dasar-dasar bagi kekuatan mengikat dari hukum,
merupakan contoh-contoh pertanyaan yang mendasar itu. Gustav Radbruch merumuskannya
dengan sederhana yaitu bahwa filsafat hukum itu adalah cabang filsafat yang mempelajari
hukum yang benar, sedangkan Langemeyer mengatakannya pembahasan secara filosofis
tentang hukum. Rumusan lain dari Utrecht mengetengah-kan sebagai berikut:
Filsafat hukum memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan seperti apakah hukum itu
sebenarnya (persoalan adanya dan tujuan hukum) Apakah sebabnya maka kita menaati
hukum? (persoalan berlakunya hukum) Apakah keadilan yang menjadi ukuran untuk
baik buruknya hu-kum itu (persoalan keadilan hukum).9
Baik Stamler maupun Kelsen menitikberatkan keadilan sebagai tujuan hukum. Demikian pula
Radbruch yaitu keadilan sebagai tujuan umum dapat diberikan arah yang berbeda-beda untuk
mencapai keadilan sebagai tujuan dari hukum. Oleh karena fungsi hukum adalah memelihara
kepentingan umum dalam masyarakat, menjaga hak-hak manusia, dan mewujudkan keadilan
dalam hidup bersama. Ketiga tujuan tersebut tidak saling bertentangan, tetapi merupakan
pengisian suatu konsep dasar, yaitu manusia harus hidup dalam suatu masyarakat dan
masyarakat itu harus diatur oleh pemerintah dengan baik berdasarkan hukum.
Selanjutnya Sudikno Mertokusumo mengatakan bahwa ilmu hukum tidak sama
dengan teori hukum.10 Ilmu hukum itu adalah teorinya hukum positif atau teorinya praktik
hukum, sedangkan teori hukum adalah teorinya ilmu hukum atau ilmu hukum adalah obyek
dari teori hukum. Teori hukum dapat didefinisikan sebagai suatu keseluruhan pernyataan
yang saling berkaitan dengan sistem konseptual aturan-aturan hukum dan putusan-putusan
hukum, dan sistem tersebut untuk sebagian yang penting dipositifkan. 11 McLeod
menandaskan akan adanya perbedaan yang sangat mendasar antara teori hukum dan ilmu
hukum, yaitu bahwa teori hukum “is painted on a larger canvas”, yang bermakna pertanyaan-
pertanyaan dan obyek teori hukum lebih luas dan teoritis sifatnya daripada ilmu hukum.
Walaupun demikian, baik ilmu hukum maupun teori hukum keduanya masih merupakan
sebuah teori. Teori hukum dipelajari dengan tujuan sebagai suatu pendalaman metodologis
8
Ibid, hlm. 9
9
Loc.cit.
10
Sudikno Mertokusumo, 2012, Teori Hukum, Cahaya Atma Pustaka , hlm. 2-3.
11
J.J.H. Bruggink, 1999, Refleksi Tentang Hukum, PT Citra Aditya Bakti, hlm 60.
dalam mempelajari hukum, yang umumnya menganalisis permasalahan :“Bagaimana
(caranya) hakim, pembentuk undang-undang, dan ilmuwan bekerja? Metode apakah yang
digunakan oleh hakim, pembentuk undang-undang, dan ilmuwan ?” Tujuan mempelajari ilmu
hukum pada dasarnya adalah menguasai the power of solving legal problems.12 Meuwissen
dalam van Dijk menyatakan bahwa filsafat hukum tidak bertujuan menguraikan, menafsirkan,
atau menjelaskan hukum positif, tetapi untuk memahami dan menyelami hukum dengan sifat-
sifatnya yang umum (yang uberhauft).13 Jadi sangat jelas di sini bahwa obyek studi atau
kajian filsafat hukum tidak ditujukan kepada hukum positif, baik hukum tertulis maupun
hukum tidak tertulis. Filsafat hukum merupakan sebuah ilmu yang mempelajari hukum secara
filosofis. Dalam konteks ini, hukum sebagai obyek filsafat hukum itu dikaji secara mendalam
sampai kepada inti atau dasarnya, yang disebut hakikat. 14 Filsafat hukum memiliki tingkatan
abstraksi yang sangat tinggi dibandingkan ilmu hukum dan teori hukum, yang merupakan
suatu teori payung (grand theory), yang tidak dapat secara langsung digunakan sebagai suatu
landasan teoritikal untuk memecahkan masalah - masalah hukum aktual. Filsafat hukum
merupakan hasil pemikiran para filsuf, yang lazimnya dilatarbelakangi suatu aliran filsafat
tertentu, sedang teori hukum dan ilmu hukum merupakan hasil karya para ahli hukum tanpa
mengacu pada suatu filsafat tertentu. Pada awalnya masalah yang dikaji dalam filsafat hukum
terbatas pada masalah tujuan hukum (khususnya masalah keadilan). Namun, dalam
perkembangan saat ini filsafat hukum dibutuhkan untuk mengkaji setiap masalah yang
bersifat mendasar didalam masyarakat yang memerlukan suatu pemecahan. Filsafat hukum
sekarang mulai banyak dihasilkan oleh para ahli hukum, baik akademisi maupun praktisi,
yang sehari-harinya menghadapi masalah yang menyangkut keadilan sosial di masyarakat.15
Perkembangan tersebut menunjukkan bahwa filsafat hukum memainkan peranan penting
dalam membangun paradigma yang menjadi landasan berfikir ilmu hukum.
Dari pemaparan diatas, maka jelaslah filsafat hukum yang memiliki karakteristik
pemikiran mendalam tentang tujuan hukum sampai pada tingkat hakikatnya, ketika
dipraktikkan dalam penegakan hukum, akan dapat mengatasi problematika penegakan hukum
di Indonesia saat ini, atau setidak – tidaknya membuat masyarakat menjadi lega, karena
hukum telah ditegakkan sesuai dengan hakikat dan tujuannya, mengedepankan nilai – nilai
keadilan yang hidup dalam masyarakat dan mencerminkan sarana yang dapat mengakomodir
seluruh kepentingan masyarakat yang bersifat dinamis, acak dan tidak tersistem.

C. Implikasi Penegakan Hukum yang Bertumpu Pada Filsafat Hukum Dalam


Pelaksanaannya
Dengan menerapkan filsafat hukum dalam proses penegakan hukum akan
menciptakan iklim penegakan hukum yang bukan semata – mata menegakkan undang –
12
Sudikno Mertokusumo, Op.cit. hlm. 6-8.
13
Ibid, hlm 70
14
Darji Darmodiharjo dan Sidharta, 2004, Pokok-pokok Filsafat Hukum. Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum
Indonesia, PT Gramedia Pustaka Utama, hlm. 11.
15
Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, 2007, Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum, PT Citra Aditya Bakti, hlm.12
undang, namun jauh lebih substansial yakni mampu menjabarkan kepentingan masyarakat
yang mengatasnamakan nilai – nilai keadilan yang hidup di tengah masyarakat sebagai tujuan
dari hukum itu sendiri. Konsekuensi paling logis dari keadaan ini adalah akan adanya praktik
penegakan hukum yang keluar dari norma yang baku, demi mengejar aspek kepentingan
masyarakat yang tidak dapat terjangkau oleh karena sifat baku tersebut, karakteristik inilah
yang identik dengan klausul penegakan hukum yang responsif dan progresif.
Penegakan hukum yang responsif dapat dikatakan sebagai “conditio sine quanon”
saat ini, jika ingin hukum tetap dianggap sebagai panglima dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Istilah hukum sebagai panglima yang berarti hukum berada di garis
depan yang mampu merespon nilai - nilai keadilan dalam masyarakat untuk mewujudkan
masyarakat yang sejahtera. Philippe Nonet & Philip Selznick mengintroduksi tipelogi hukum
responsif (responsive law) sebagai hukum negara yang mampu merespons dan
mengakomodasi nilai, prinsip, tradisi dan kepentingan masyarakat, sehingga mencerminkan
sistem pemerintahan demokratis yang dianut oleh pemerintah yang sedang berkuasa,
khususnya dalam implementasi kebijakan pembangunan hukumnya.16
Berkaitan dengan konteks penegakan hukum di Indonesia, hukum responsif
mengisyaratkan bahwa penegakan hukum tidak dapat dilakukan setengah - setengah.
Menjalankan hukum tidak hanya menjalankan undang- undang, tetapi harus memiliki
kepekaan sosial. Hukum tidak hanya rules, tetapi juga ada logika- logika lain. Bahwa
memberlakukan jurisprudence saja tidak cukup, tetapi penegakan hukum harus diperkaya
dengan ilmu-ilmu sosial. Pengembaraan mencari hukum responsif telah menjadi kegiatan
teori hukum modern yang terus berkelanjutan. Sebagaimana yang dikatakan Jerome Frank
(1889-1957) tujuan utama kaum realis hukum adalah untuk membuat hukum menjadi lebih
responsif terhadap kebutuhan-kebutuhan sosial.17
Suatu hukum yang responsif masih harus diperjuangkan dalam tataran
implementasi, agar tidak bertentangan dengan keadilan dan dimensi HAM. Untuk itu
diperlukan suatu hukum progresif terutama dalam implementasinya. Jadi ada korelasi yang
sangat erat antara hukum responsif dengan hukum progresif. Hukum di satu sisi
mengakomodasi kepentingan dan keberpihakan kepada masyarakat dan di lain sisi lebih
berani dan maju dalam penegakannya terutama oleh aparatur penegak hukum. Agar
terwujudnya suatu penegakan hukum yang responsif, maka dibutuhkan hukum progresif. 18
Atas dasar itulah Satjipto Rahardjo menawarkan teori hukum progresif. Dimana Hukum
Progresif merupakan sebuah cara berhukum yang di dasarkan pada kepedulian yang tidak
kunjung henti untuk mendorong hukum yang lebih baik. Fundamen hukum progresif adalah
manusia, bukan bahan hukum. Menurut Profesor Satjipto, manusia yang menjadi fundamen

16
Jimly Assidiqie, Loc.cit
17
Nyoman Nurjaya, “Reorientasi Paradigma Pembangunan Hukum Negara dalam Masyarakat Multikultural:
Perspektif Hukum Progresif”, Makalah dalam Seminar Nasional Hukum Progresif I, diselenggarakan oleh Fakultas
Hukum Universitas Diponegoro bekerjasama dengan Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro dan
Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta. Semarang, 15 Desember 2007, hlm. 18-19
18
Philippe Nonet & Philip Selznick, 2007, Hukum Responsif, Nusamedia, Bandung, hlm. 83.
hukum itu haruslah baik dan bernurani sehingga layak menjadi modal dalam membangun
kehidupan berhukum yang progresif.19
Dalam merubah keadaan dan membebaskan diri dari krisis fungsi dan legitimasi
cara berhukum yang status quo (yang mengedepankan rules dan teksrual), hukum progresif
mendasarkan diri pada sejumlah postulat progresivisme, antara lain: (i) hukum untuk
manusia, bukan sebaliknya. Hukum adalah alat bagi manusia untuk memberi rahmat kepada
dunia dan kemanusiaan; (ii) Pro-rakyat dan pro-keadilan. Hukum itu harus berpihak pada
reakyat, dankeadilan harus didudukkan di atas peraturan; (iii) hukum progresif bertujuan
mengantarkan manusia kepada kesejahteraan dan kebahagiaan; (iv) Hukum progresif
menekankan hidup baik sebagai dasar berhukum; (v) Hukum progresif berwatak responsive,
yakni hukum selalu dikaitkan pada tujuan-tujuan di luar narasi tekstual hukum itu sendiri
(berupa mengabdi kepada manusia dan kesejahteraan); (vi) Hukum yang berhati nurani; (vii)
Hukum progresif dijalankan dengan kecerdsan spiritual, yakni usaha mencari kebenaran
makna atau nilai yang lebih dalam.20
Konsep hukum progresif Satjipto Rahardjo lahir dari kegelisahan menghadapi
kegelisahan hukum. Pendekatan hukum progresif pada prinsipnya menekankan pentingnya
kiprah pengemban hukum individual (hakim, jaksa, dan polisi). Pada saat yang sama interaksi
antara sistem politik dan sistem (hukum) di mana para pengemban hukum individual bekerja
perlu pula mendapat perhatian. Satjipto menyatakan bahwa “hukum itu bukan hanya
bangunan peraturan, melainkan juga bangunan ide, kultur, dan cita-cita”. 21 Kritikan ini tertuju
pada dominasi pemikiran hukum negara sebagai instrumen (bangunan hukum) yang ditujukan
pada pencapaian tujuan pembangunan (ekonomi) versi negara, yang bagi Satjipto tidak
mencerminkan bangunan ide, kultur dan cita-cita dari manusia yang menjadi obyek dari
pemikiran hukum dan pembangunan. Oleh karena itu, manuisa (individu) dianggap menjadi
penentu dan mejadi orientasi hukum.
Hukum bertugas melayani manusia, bukan sebaliknya. Mutu hukum ditentukan
oleh kemampuannya mengabdi pada kesejahteraan manusia. Itulah sebabnya hukum progresif
menganut ideologi: Hukum yang pro-rakyat dan hukum yang pro-keadilan”. Hukum harus
mewujudkan keadilan (substantif) bukan terutama kepastian prosedural. Itulah sebabnya,
dalam negara hukum Indonesia, yang diunggulkan adalah ‘olah hati nurani’ untuk mencapai
keadilan yang dimaknai sebagai rule of moral atau rule of justice.22
Pemikiran sebagaimana tersebut diatas yang bertumpu pada kepekaan sosial, ilmu
– ilmu sosial dan logika – logika lainnya hanya dapat berhasil dipahami, jika hakikat dari
hukum itu sendiri telah dipahami pula dan hanya dengan filsafat hukum, para aparat penegak

19
Bernard L Tanya, “Hukum Progresif: Perspektif Moral dan Kritis” dalam Moh. Mahfud MD, dkk, 2013,
Dekonstruksi dan Gerakan Pemikiran Hukum Progresif, Konsorsium Hukum Progreif Universitas Diponegoro dan
Thafa Media (Yogyakarta), hlm. 39.
20
Ibid, hlm. 40.
21
Satjipto Rahardjo, “Liberalisme, Kapitalisme, dan Hukum Indonesia” dalam Karolus Kopong Medan, Frans J
Rengkas (eds), 2003, Liberalisme, Kapitalisme dan Hukum Indonesia: Sisi-sisi Lain dari hukum Indonesia, Kompas,
Jakarta, hlm.22
22
Satjipto Rahardjo, “Mesian atau Kreativitas” dalam Karolus Kopong Medan, Frans J Rengkas (eds), 2003,
Liberalisme, Kapitalisme dan Hukum Indonesia: Sisi-sisi Lain dari hukum Indonesia, Kompas, Jakarta, hlm.16
hukum mampu untuk memahami hal itu, sehingga berimplikasi pada penegakan hukum yang
responsif dan progresif, sesuai dengan nilai – nilai yang hidup dalam masyarakat.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari pemaparan mengenai permasalahan tersebut diatas, maka dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut:
1. filsafat hukum yang memiliki karakteristik pemikiran mendalam tentang tujuan
hukum sampai pada tingkat hakikatnya, ketika dipraktikkan dalam penegakan hukum,
akan dapat mengatasi problematika penegakan hukum di Indonesia saat ini, atau
setidak – tidaknya mampu mengedepankan nilai – nilai keadilan yang hidup dalam
masyarakat dan mencerminkan sarana yang dapat mengakomodir seluruh kepentingan
masyarakat yang bersifat dinamis, acak dan tidak tersistem, dan secara substansial
akan mengubah paradigma penegakan hukum yang bukan hanya selalu
mengedepankan aspek kepastian prosedural saja, melainkan memproyeksikan rasa
keadilan yang hidup di tengah masyarakat.
2. Implikasi dari penyelesaian kompleksitas penegakan hukum di Indonesia yang
menggunakan filsafat hukum sebagai titik tolak pemikirannya adalah penegakan
hukum akan menjadi responsif dan progresif, bukan penegakan undang – undang
semata, melainkan mengedepankan kepekaan sosial, ilmu – ilmu sosial dan logika –
logika lainnya sesuai dengan hakikat dan tujuan hukum itu sendiri.

B. Saran
Melihat fenomena problematika kompleksitas penegakan hukum di Indonesia saat
ini, yang didominasi dengan pemikiran penegakan undang – undang yang terkadang
justru mengaburkan tujuan hukum itu sendiri yakni untuk menciptakan keadilan di tengah
masyarakat, dirasa perlu untuk melakukan perubahan kebijakan atau cara pandangnya,
menjadi lebih responsif dan progresif, oleh karena dalam mewujudkannya perlu
memahami terlebih dahulu hakikat dan tujuan hukum itu sendiri yang hanya dapat
diungkap oleh filsafat hukum, maka disarankan kepada para aparat penegak hukum
menerapkan ilmu filsafat hukum dalam menegakan hukum di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Asshiddiqie, Jimly, 2010, Penegakan Hukum. Universitas Indonesia, Jakarta.


Bernard L Tanya, “Hukum Progresif: Perspektif Moral dan Kritis” dalam Moh. Mahfud MD,
dkk, 2013, Dekonstruksi dan Gerakan Pemikiran Hukum Progresif, Konsorsium
Hukum Progreif Universitas Diponegoro dan Thafa Media (Yogyakarta).

Darji Darmodiharjo dan Sidharta, 2004, Pokok-pokok Filsafat Hukum. Apa dan Bagaimana
Filsafat Hukum Indonesia, PT Gramedia Pustaka Utama.

J.J.H. Bruggink, 1999, Refleksi Tentang Hukum, PT Citra Aditya Bakti.

Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, 2007, Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum, PT Citra Aditya
Bakti.

Muchsan, 1985, Hukum Tata Pemerintahan, Yogyakarta: Penerbit Liberty, hlm. 42. Bandingkan
dengan M. Husni, “Moral dan Keadilan Sebagai Landasan Penegakan Hukum Yang
Responsif”, Jurnal Equality Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Vol. 11 (1)
Februari 2006.

Nyoman Nurjaya, “Reorientasi Paradigma Pembangunan Hukum Negara dalam Masyarakat


Multikultural: Perspektif Hukum Progresif”, Makalah dalam Seminar Nasional
Hukum Progresif I, diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Diponegoro
bekerjasama dengan Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro dan
Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta. Semarang, 15 Desember 2007.

Philippe Nonet & Philip Selznick, 2007, Hukum Responsif, Nusamedia, Bandung,.

Responsif”, Jurnal Equality Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Vol. 11 (1) Februari
2006.

Satjipto Rahardjo, 2006, Sisi-Sisi lain dari Hukum di Indonesia, Cetakan Kedua, Penerbit Buku
Kompas, Jakarta.

-------------------, 2000, Ilmu Hukum, Bandung: Penerbit PT. Citra Aditya Bakti.

-------------------, “Liberalisme, Kapitalisme, dan Hukum Indonesia” dalam Karolus Kopong


Medan, Frans J Rengkas (eds), 2003, Liberalisme, Kapitalisme dan Hukum
Indonesia: Sisi-sisi Lain dari hukum Indonesia, Kompas, Jakarta.

-------------------, “Mesian atau Kreativitas” dalam Karolus Kopong Medan, Frans J Rengkas
(eds), 2003, Liberalisme, Kapitalisme dan Hukum Indonesia: Sisi-sisi Lain dari
hukum Indonesia, Kompas, Jakarta.

Sudikno Mertokusumo, 2012, Teori Hukum, Cahaya Atma Pustaka.

Anda mungkin juga menyukai