Anda di halaman 1dari 16

PERLINDUNGAN DAN PENEGAKAN

HUKUM DI INDONESIA
D
I
S
U
S
U
N

Oleh:
Nama : Michael Tuani Hutapea
Kelas : Xll MIPA V

Guru pembina : R. Simarangkir


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan yang maha esa karena saya masih
diberikan kemampuan untuk dapat menyajikan karya tulis yang berjudul “Perlindungan
dan Penegakan Hukum Di Indonesia”. Saya penulis masih menyadari bahwa makalah ini
masih jauh dari kata sempurna, baik dari segi isi, susunan kalimat, maupun
pembahasannya. Untuk itu saran, dan nasihat dari pembaca serta ibu guru saya harapkan
untuk membantu kelengkapan makalah ini.

Tarutung, 24 February 2021


Penulis

Michael Tuani Hutapea


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
1.2 Rumusan Masalah
BAB II PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Penegakan Hukum
2.2. Pengertian Aparatur Penegak Hukum
2.3. Faktor yang mempengaruhi Penegakan Hukum
2.4. Permasalahan Penegakan Hukum di Indonesia
2.5. Pemberdayaan Masyarakat dan Penegakan Hukum
BAB III PENUTUP
3.1. Kesimpulan
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Sejarah bangsa Indonesia hingga kini mencatat berbagai penderitaan,
kesengsaraan dan kesenjangan sosial, yang disebabkan oleh perilaku tidak adil dan
diskriminatif atas dasar etnik, ras, warna kulit, budaya, bahasa, agama, golongan,
jenis kelamin dan status sosial lainnya.
Hal tersebut tercermin dari kejadian berupa penangkapan yang tidak sah,
penculikan, penganiayaan, perkosaan, penghilangan paksa, pembunuhan,
pemusnahan kelompok etnis tertentu, pembakaran sarana pendidikan dan tempat
ibadah, dan teror bom yang semakin berkembang. Selain itu, terjadi pula
penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat publik dan aparat penegak hukum,
pemelihara keamanan, dan pelindung rakyat, tetapi justru mengintimidasi,
menganiaya, menghilangkan paksa dan/atau menghilangkan nyawa. Bahkan pada
beberapa kesempatan yang lalu, Pengadilan HAM Ad Hoc Kasus pelanggaran HAM
berat Timtim telah membebaskan sebagian terbesar para Jendaral Angkatan Darat
dari segala tuntutan hukum.
Padahal secara jelas dan tegas untuk melaksanakan amanat Undang-undang
Dasar 1945, Majelis Permusyarwaratan Rakyat melalui Ketetapan MPR Nomor
XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, telah menugaskan kepada Lembaga-
lembaga Tinggi Negara dan seluruh aparatur Pemerintah, untuk menghormati,
menegakkan dan menyebarluaskan pemahaman mengenai hak asasi manusia kepada
seluruh masyarakat. Telah terbentuk juga Undang-undang No. 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-undang No. 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan Hak Asasi Manusia, yang diikuti dengan pengukuhan melalui Undang-
undang No. 39 Tahun 1999 Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.

1.2 Rumusan Masalah


Dengan memperhatikan latar belakang tersebut, agar dalam penulisan ini
penulis mendapatkan hasil yang diinginkan, maka penulis mengemukakan beberapa
perumusan masalah. Rumusan masalah itu adalah :
Adapun rumusan masalah dalam pembuatan makalah ini adalah sebagai
berikut:
1. Apakah penegakan hukum itu?
2. Apakah itu aparatur penegak hukum?
3. Apakah Faktor yang mempengaruhi Penegakan Hukum?
4. Apakah Permasalahan Penegakan Hukum di Indonesia?
5. Bagaimana Pemberdayaan Masyarakat dan Penegakan Hukum?
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Penegakan Hukum


Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya
atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku
dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara.
Ditinjau dari sudut subjeknya, penegakan hukum itu dapat dilakukan oleh
subjek yang luas dan dapat pula diartikan sebagai upaya penegakan hukum
oleh subjek dalam arti yang terbatas atau sempit. Dalam arti luas, proses
penegakan hukum itu melibatkan semua subjek hukum dalam setiap hubungan
hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau
tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang
berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan hukum. Dalam arti sempit,
dari segi subjeknya itu, penegakan hukum itu hanya diartikan sebagai upaya
aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan bahwa
suatu aturan hukum berjalan sebagaimana seharusnya. Dalam memastikan
tegaknya hukum itu, apabila diperlukan, aparatur penegak hukum itu
diperkenankan untuk menggunakan daya paksa.
Pengertian penegakan hukum itu dapat pula ditinjau dari sudut
objeknya, yaitudari segi hukumnya. Dalam hal ini, pengertiannya juga mencakup
makna yang luas dan sempit. Dalam arti luas, penegakan hukum itu mencakup
pula nilai-nilai keadilan yang terkandung di dalamnya bunyi aturan formal
maupun nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Tetapi, dalam arti
sempit, penegakan hukum itu hanya menyangkut penegakan peraturan yang
formal dan tertulis saja. Karena itu, penerjemahan perkataan ‘law enforcement’
ke dalam bahasa Indonesia dalam menggunakan perkataan ‘penegakan hukum’
dalam arti luas dan dapat pula digunakan istilah ‘penegakan peraturan’ dalam
arti sempit. Pembedaan antara formalitas aturan hukum yang tertulis dengan
cakupan nilai keadilan yang dikandungnya ini bahkan juga timbul dalam bahasa
Inggeris sendiri dengan dikembangkannya istilah ‘the rule of law’ versus ‘the rule of
just law’ atau dalam istilah ‘the rule of law and not of man’ versus istilah ‘the rule by
law’ yang berarti ‘the rule of man by law’. Dalam istilah ‘the rule of law’
terkandung makna pemerintahan oleh hukum, tetapi bukan dalam artinya yang
formal, melainkan mencakup pula nilai-nilai keadilan yang terkandung di
dalamnya. Karena itu, digunakan istilah ‘the rule of just law’. Dalam istilah
‘the rule of law and not of man’ dimaksudkan untuk menegaskan bahwa pada
hakikatnya pemerintahan suatu negara hukum modern itu dilakukan oleh
hukum, bukan oleh orang. Istilah sebaliknya adalah ‘the rule by law’ yang
dimaksudkan sebagai pemerintahan oleh orang yang menggunakan hukum
sekedar sebagai alat kekuasaan belaka.
Dengan uraian di atas jelaslah kiranya bahwa yang dimaksud dengan
penegakan hukum itu kurang lebih merupakan upaya yang dilakukan untuk
menjadikan hukum, baik dalam arti formil yang sempit maupun dalam arti
materiel yang luas, sebagai pedoman perilaku dalam setiap perbuatan hukum, baik
oleh para subjek hukum yang bersangkutan maupun oleh aparatur penegakan
hukum yang resmi diberi tugas dan kewenangan oleh undang-undang untuk
menjamin berfungsinya norma-norma hukum yang berlaku dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara. Dari pengertian yang luas itu, pembahasan kita
tentang penegakan hukum dapat kita tentukan sendiri batas-batasnya. Apakah
kita akan membahas keseluruhan aspek dan dimensi penegakan hukum itu,
baik dari segi subjeknya maupun objeknya atau kita batasi hanya membahas
hal-hal tertentu saja, misalnya, hanya menelaah aspek-aspek subjektifnya saja.
Makalah ini memang sengaja dibuat untuk memberikan gambaran saja
mengenai keseluruhan aspek yang terkait dengan tema penegakan hukum itu.

PENEGAKAN HUKUM OBJEKTIF


Seperti disebut di muka, secara objektif, norma hukum yang hendak
ditegakkan mencakup pengertian hukum formal dan hukum materiel. Hukum formal
hanya bersangkutan dengan peraturan perundang-undangan yang tertulis, sedangkan
hukum materiel mencakup pula pengertian nilai-nilai keadilan yang hidup dalam
masyarakat. Dalam bahasa yang tersendiri, kadang-kadang orang membedakan antara
pengertian penegakan hukum dan penegakan keadilan. Penegakan hukum dapat
dikaitkan dengan pengertian ‘law enforcement’ dalam arti sempit, sedangkan penegakan
hukum dalam arti
luas, dalam arti hukum materiel, diistilahkan dengan penegakan keadilan. Dalam
bahasa Inggeris juga terkadang dibedakan antara konsepsi ‘court of law’ dalam arti
pengadilan hukum dan ‘court of justice’ atau pengadilan keadilan. Bahkan, dengan
semangat yang sama pula, Mahkamah Agung di Amerika Serikat disebut dengan istilah
‘Supreme Court of Justice’.
Istilah-istilah itu dimaksudkan untuk menegaskan bahwa hukum yang harus
ditegakkan itu pada intinya bukanlah norma aturan itu sendiri, melainkan nilai-nilai
keadilan yang terkandung di dalamnya. Memang ada doktrin yang membedakan
antara tugas hakim dalam proses pembuktian dalam perkara pidana dan perdata. Dalam
perkara perdata dikatakan bahwa hakim cukup menemukan kebenaran formil belaka,
sedangkan dalam perkara pidana barulah hakim diwajibkan mencari dan menemukan
kebenaran materiel yang menyangkut nilai-nilai keadilan yang harus diwujudkan
dalam peradilan pidana. Namun demikian, hakikat tugas hakim itu sendiri memang
seharusnya mencari dan menemukan kebenaran materiel untuk mewujudkan keadilan
materiel. Kewajiban demikian berlaku, baik dalam bidang pidana maupun di
lapangan hukum perdata.
Pengertian kita tentang penegakan hukum sudah seharusnya berisi penegakan
keadilan itu sendiri, sehingga istilah penegakan hukum dan penegakan keadilan
merupakan dua sisi dari mata uang yang sama.
Setiap norma hukum sudah dengan sendirinya mengandung ketentuan
tentang hak-hak dan kewajiban-kewajiban para subjek hukum dalam lalu lintas hukum.
Norma-norma hukum yang bersifat dasar, tentulah berisi rumusan hak-hak dan
kewajiban-kewajiban yang juga dasar dan mendasar. Karena itu, secara akademis,
sebenarnya, persoalan hak dan kewajiban asasi manusia memang menyangkut konsepsi
yang niscaya terkandung di dalamnya dimensi hak dan kewajiban secara paralel dan
bersilang. Karena itu, secara akademis, hak asasi manusia mestinya diimbangi dengan
kewajiban asasi manusia. Akan tetapi, dalam perkembangan sejarah, issue hak asasi
manusia itu sendiri terkait erat dengan persoalan ketidakadilan yang timbul dalam
kaitannya dengan persoalan kekuasaan. Dalam sejarah, kekuasaan yang
diorganisasikan ke dalam dan melalui organ-organ negara, seringkali terbukti
melahirkan penindasan dan ketidakadilan. Karena itu, sejarah umat manusia mewariskan
gagasan perlindungan dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia. Gagasan
perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia ini bahkan diadopsikan ke dalam
pemikiran mengenai pembatasan kekuasaan yang kemudian dikenal dengan aliran
konstitusionalisme. Aliran konstitusionalime inilah yang memberi warna modern terhadap
ide-ide demokrasi dan nomokrasi (negara hukum) dalam sejarah, sehingga perlindungan
konstitusional terhadap hak asasi manusia dianggap sebagai ciri utama yang perlu ada
dalam setiap negara hukum yang demokratis (democratische rechtsstaat) ataupun negara
demokrasi yang berdasar atas hukum (constitutional democracy).
Dengan perkataan lain, issue hak asasi manusia itu sebenarnya terkait erat dengan
persoalan penegakan hukum dan keadilan itu sendiri. Karena itu, sebenarnya,
tidaklah terlalu tepat untuk mengembangkan istilah penegakan hak asasi manusia
secara tersendiri. Lagi pula, apakah hak asasi manusia dapat ditegakkan? Bukankah
yang ditegakkan itu adalah aturan hukum dan konstitusi yang menjamin hak asasi manusia
itu, dan bukannya hak asasinya itu sendiri? Namun, dalam praktek sehari-hari, kita
memang sudah salah kaprah. Kita sudah terbiasa menggunakan istilah penegakan
‘hak asasi manusia’. Masalahnya, kesadaran umum mengenai hak-hak asasi manusia dan
kesadaran untuk menghormati hak-hak asasi orang lain di kalangan masyarakat
kitapun memang belum berkembang secara sehat.
2.2 Aparatur Penegak Hukum
Aparatur penegak hukum mencakup pengertian mengenai institusi penegak
hukum dan aparat (orangnya) penegak hukum. Dalam arti sempit, aparatur penegak
hukum yang terlibat dalam proses tegaknya hukum itu, dimulai dari saksi, polisi,
penasehat hukum, jaksa, hakim, dan petugas sipir pemasyarakatan. Setiap aparat dan
aparatur terkait mencakup pula pihak-pihak yang bersangkutan dengan tugas atau
perannya yaitu terkait dengan kegiatan pelaporan atau pengaduan, penyelidikan,
penyidikan, penuntutan, pembuktian, penjatuhan vonis dan pemberian sanksi, serta upaya
pemasyarakatan kembali (resosialisasi) terpidana.
Dalam proses bekerjanya aparatur penegak hukum itu, terdapat tiga elemen
penting yang mempengaruhi, yaitu: (i) institusi penegak hukum beserta berbagai
perangkat sarana dan prasarana pendukung dan mekanisme kerja kelembagaannya;
(ii) budaya kerja yang terkait dengan aparatnya, termasuk mengenai kesejahteraan
aparatnya, dan (iii) perangkat peraturan yang mendukung baik kinerja
kelembagaannya maupun yang mengatur materi hukum yang dijadikan standar kerja,
baik hukum materielnya maupun hukum acaranya. Upaya penegakan hukum secara
sistemik haruslah memperhatikan ketiga aspek itu secara simultan, sehingga proses
penegakan hukum dan keadilan itu sendiri secara internal dapat diwujudkan secara nyata.
Namun, selain ketiga faktor di atas, keluhan berkenaan dengan kinerja penegakan
hukum di negara kita selama ini, sebenarnya juga memerlukan analisis yang lebih
menyeluruh lagi. Upaya penegakan hukum hanya satu elemen saja dari keseluruhan
persoalan kita sebagai Negara Hukum yang mencita-citakan upaya menegakkan dan
mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Hukum tidak mungkin akan
tegak, jika hukum itu sendiri tidak atau belum mencerminkan perasaan atau nilai-
nilai keadilan yang hidup dalam masyarakatnya. Hukum tidak mungkin menjamin
keadilan jika materinya sebagian besar merupakan warisan masa lalu yang tidak sesuai
lagi dengan tuntutan zaman. Artinya, persoalan yang kita hadapi bukan saja berkenaan
dengan upaya penegakan hukum tetapi juga pembaruan hukum atau pembuatan
hukum baru. Karena itu, ada empat fungsi penting yang memerlukan perhatian yang
seksama, yang yaitu (i) pembuatan hukum (‘the legislation of law’ atau ‘law and
rule making’), (ii) sosialisasi, penyebarluasan dan bahkan pembudayaan hukum
(socialization and promulgation of law, dan (iii) penegakan hukum (the enforcement of
law).
Ketiganya membutuhkan dukungan (iv) adminstrasi hukum (the administration of
law) yang efektif dan efisien yang dijalankan oleh pemerintahan (eksekutif) yang
bertanggungjawab (accountable). Karena itu, pengembangan administrasi hukum dan
sistem hukum dapat disebut sebagai agenda penting yang keempat sebagai
tambahan terhadap ketiga agenda tersebut di atas. Dalam arti luas, ‘the administration
of law’ itu mencakup pengertian pelaksanaan hukum (rules executing) dan tata
administrasi hukum itu sendiri dalam pengertian yang sempit. Misalnya dapat
dipersoalkan sejauhmana sistem dokumentasi dan publikasi berbagai produk hukum
yang ada selama ini telah dikembangkan dalam rangka pendokumentasian peraturan-
peraturan (regels), keputusan-keputusan administrasi negara (beschikkings), ataupun
penetapan dan putusan (vonis) hakim di seluruh jajaran dan lapisan pemerintahan dari
pusat sampai ke daerah-daerah. Jika sistem administrasinya tidak jelas, bagaimana
mungkin akses masyarakat luas terhadap aneka bentuk produk hukum tersebut dapat
terbuka? Jika akses tidak ada, bagaimana mungkin mengharapkan masyarakat dapat
taat pada aturan yang tidak diketahuinya? Meskipun ada teori ‘fiktie’ yang diakui
sebagai doktrin hukum yang bersifat universal, hukum juga perlu difungsikan
sebagai sarana pendidikan dan pembaruan masyarakat (social reform), dan karena itu
ketidaktahuan masyarakat akan hukum tidak boleh dibiarkan tanpa usaha sosialisasi
dan pembudayaan hukum secara sistematis dan bersengaja.

2.3 Faktor yang mempengaruhi Penegakan Hukum


Menurut Soerjono Soekanto, dalam bukunya faktor-faktor yang mempengaruhi
penegakan hukum (2002:5) menyebutkan bahwa masalah pokok dari penegakan hukum
sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya, yaitu :
a. Faktor hukumnya sendiri yaitu berupa undang-undang
b. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun yang
menerapkan hukum.
c. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
d. Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau
diterapkan.
e. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada
karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
Kemudian Al. Wisnubroto dalam bukunya yang berjudul Hakim dan peradilan di
Indonesia (1997:88-90) memuat beberapa faktor internal yang mempengaruhi hakim
dalam mengambil keputusan. Adapun beberapa faktor yang mempengaruhi hakim dalam
mempertimbangkan suatu keputusan adalah :
1. Faktor Subjektif
a. Sikap prilaku apriori
Sering kali hakim dalam mengadili suatu perkara sejak awal dihinggapi
suatu prasangka atau dugaan bahwa terdakwa atau tergugat bersalah, sehingga
harus dihukum atau dinyatakan sebagai pihak yang kalah. Sikap ini jelas
bertentangan dengan asas yang dijunjung tinggi dalam peradilan modern, yakni
asas praduga tak bersalah (presumtion of innocence), terutama dalam perkara
pidana. Sikap yang bersifat memihak salah satu pihak (biasanya adalah penuntut
umum atau penggugat) dan tidak adil ini bisa saja terjadi karena hakim terjebak
oleh rutinitas penanganan perkara yang menumpuk dan target penyelesaian yang
tidak seimbang.
b. Sikap perilaku emosional
Perilaku hakim yang mudah tersinggung, pendendam dan pemarah akan
berbeda dengan prilaku hakim yang penuh pengertian, sabar dan teliti dalam
menangani suatu perkara. Hal ini jelas sangat berpengaruh pada hasil putusannya.
c. Sikap Arrogence power
Hakim yang memiliki sikap arogan, merasa dirinya berkuasa dan pintar
melebihi orang lain seperti jaksa, penasihat hukum apalagi terdakwa atau pihak-
pihak yang bersengketa lainnya, sering kali mempengaruhi Keputusannya.
d. Moral
Faktor ini merupakan landasan yang sangat vital bagi insan penegak
keadilan, terutama hakim. Faktor ini berfungsi membentengi tindakan hakim
terhadap cobaan-cobaan yang mengarah pada penyimpangan, penyelewengan dan
sikap tidak adil lainnya.
2. Faktor Objektif
a. Latar belakang sosial budaya
Latar belakang sosial hakim mempengaruhi sikap perilaku hakim. Dalam
beberapa kajian sosiologis menunjukkan bahwa, hakim yang berasal dari status
sosial tinggi berbeda cara memandang suatu permasalahan yang ada dalam
masyarakat dengan hakim yang berasal dari lingkungan status sosial menengah
atau rendah.
b. Profesionalisme
Profesionalisme yang meliputi knowledge (pengetahuan, wawasan)
danskills (keahlian, keterampilan) yang ditunjang dengan ketekunan dan ketelitian
merupakan faktor yang mempengaruhi cara hakim mengambil keputusan masalah
profesionalisme ini juga sering dikaitkan dengan kode etik di lingkungan peradilan.
Oleh sebab itu hakim yang menangani suatu perkara dengan berpegang teguh pada
etika profesi tentu akan menghasilkan putusan yang lebih dapat
dipertanggungjawabkan.

2.4 Permasalahan Penegakan Huukum di Indonesia


Indonesia tengah mengalami krisis kepatuhan hukum karena hukum telah
kehilangan substansinya. Permasalahan hukum di Indonesia yang saat ini sedang terjadi
disebabkan oleh beberapa hal yaitu sistem peradilannya, perangkat hukumny,
inkonsistensi penegakan hukum, intervensi kekuasaan maupun perlindungan hukum.
Diantara banyaknya permasalahan tersebut adalah adanya inkonsistensi penegakan hukum
yang dilaksanakan oleh aparat baik polisi, jaksa, hakim maupun pemerintah (eksekutif)
yang ada dalam wilayah peradilan yang bersangkutan. Inkonsistensi penegakan hukum
kadang melibatkan masyarakat itu sendiri dan dalam media elektronik maupun media
cetak. Inkonsistensi penegakan hukum ini secara tidak disadari telah berlangsung dari hari
ke hari. Contoh kecil dari Inkonsistensi penegakan hukum yang terjadi pada saat
berkendaraan dijalan raya dikota besar seperti di Jakarta yang memberlakukan aturan
"three-in-one". Aturan ini tidak akan berlaku bagi TNI dan Polri. Bahkan polisi yang
bertugas membiarkan begitu saja mobil dinas TNI atau Polri yang melintas meski mobil
tersebut berpenumpang kurang dari tiga orang atau bahkan terkadang polisi yang bertugas
memberikan penghormatan apabila penumpangnya berpangkat lebih tinggi. Secara tidak
disadari hal tersebut merupakan diskriminasi terhadap masyarakat awam tapi sayangnya
banyak masyarakat yang tidak menyadari hal tersebut.
Ketimpangan dan putusan hukum yang tidak menyentuh rasa keadilan masyarakat
tetap dirasakan dari hari ke hari. Berikut ini beberapa kasus inkonsistensi penegakan
hukum di Indonesia yang dikelompokan berdasarlan beberapa alasan yang banyak ditemui
oleh masyarakat awam baik melalui pengalaman pencari keadilan itu sendiri maupun
peristiwa lain yang bisa diikuti melalui media cetak dan media elektronik.
2.1. Tingkat kekayaan seseorang.
Tingkat kekayaan seseorang dapat memperingan masa tahan seseorang yang
melakukan pelanggaran. Pelaku pelanggaran bisa menyewa pengacara mahal yang bisa
mementahkan dakwaan kejaksaan untuk memperingan masa tahanannya atau jika
perlu pelaku dapat membayar hakim atau jaksa agar memperingan masa tahanannya.
Sebaliknya dengan pelaku pelanggaran yang tidak memiliki uang yang banyak maka
pelaku hanya bisa membayar pengacara semampunya atau tidak sedikit pula yang
mereka hanya pasrah menerima putusan hakim. Padahal jika dibandingkan kasus
pelanggarannya tidak merugikan pemerintah milyaran rupiah. Inilah yang terjadi di
Indonesia saat ini. Hukum bisa dibeli dengan uang.
2.2. Tingkat Jabatan Seseorang
Mari kita simak kasus berikut ini. Kasus Ancolgate berkaitan dengan studi
banding keluar negri yang diikuti oleh sekitar 40 orang anggota DPRD DKI Komisi D.
Dalam studi banding tersebut anggota DPRD yang berangkat memanfaatkan dua
sumber keuangan yaitu SPJ anggaran yang diperoleh dari anggaran DPRD DKI sekitar
5,2 M dan uang saku dari PT. Pembangunan Jaya Ancol sekitar 2,1 M. Dalam kasus
ini 9 orang staf Bapedal DKI Bambang Sungkono dan Kepala Dinas Tata Kota DKI
Ahmadin Ahmad tidak dikenai tindakan apapun. Penyelesaian masalah ini dilakukan
setelah media cetak dan media elektronik menemukan ketidaksesuaian dalam masalah
pendanaan studi banding tersebut. Penyelesaian secara administratif ini seakan
dilakukan agar dapat mencegah tindakan hukum yang mungkin bisa dilakukan. Rasa
ketidakadilan masyarakat terurik ketika sanksi ini hanya dikenalan pada pegawai
rendahan. Pihak kejaksaan pun terkesan mengulur-ulur janji untuk mengusut kasus ini
sampai ke pejabat tinggi DKI yaitu Gubernur Sutiyoso (saat itu) yang sebagai
komisaris PT. Pembangunan Jaya Ancol ikut bertanggungjawab.
Dari kasus diatas terlihat sekali bahwa seseorang yang memiliki jabatan tinggi
mendapat keringanan hukuman dibanding pegawai rendahannya. Entah apa
penyebabnya sampai hal ini terjadi. Secara tidak langsung hal ini bisa disebut sebagai
ketidakadilan hukum dimana karna jabatan seseorang yang tinggi hukuman yang
didapat ketika melakukan pelanggaran hukumannya pun lebih ringan dibandingkan
seseorang yang jabatannya rendah walaupun pada kasus yang sama.
2.3. Nepotisme
Terdakwa Letda (Inf) Agus Isrok anak mantan Kepala Staf Angkatan Darat
(KASAD), Jendral (TNI) Subagyo H.S. diperingan hukumannya oldh mahkamah
militer dari empat tahum penjara menjadi dua tahun penjara. Disamping itu, terdakwa
juga dikembalikan ke kesatuannya selama dua minggu sambil menunggu dan berpikir
terhadap vonis mahkamah militer tinggi. Putusan ini terasa tidk adil dibandingkan
dengan vonis-vonis kasus narkoba lainnya yang terjadi di Indonesia yang didasarkan
atas pelaksanaan UU Psikotropika. Disamping itu, proses pengadilan ini juga
memperlihatkan eksklusivitas hukum militer yang diterapkan pada kasus narkoba.
Jelas sekaki kasus ini mengesankan adanya diskriminasi hukum bagi keluarga bekas
pejabat.
2.4. Tekanan Internasional
Kasus Atambua, Nusa Tenggara Timur xang terjadi 6 September 2000 yang
menewaskan tiga orang staf NHCR mendapat perhatian Internasional dengan cepat.
Tekanan Internasional ini mengakibatjan pemerintah Indonesia bertindak dengan
melucuti pesenjataan milisi Timor Timor dan mengadiji beberapa bekas anggota milisi
Timor Leste yang dianggap bertanggungjawab. Apabila dibandingkan dengan kasus-
kasus kekerasan yamg terjadi di bagian lain di Indonesia seperti Ambon, Aceh,
Samlar, Sampit, kasus Atambua termasuk kasus yang memgalami penyelesaian secara
cepat dan tanggap dari aparat. Dalam enam bulan sejak kasus ini terjadi, kekerasan
berhasil diatasi, milisi berhasil dilucuti dan situasi kembali aman dan normal.
Meskipun kasus lainnya juga mendapat perhatian dari Internasional, namun tekanan
yang diberikn pada kasus ini lebih menekan pemerintah Indonesia untuk dapat
diselesaikan secepatnya. Jadi dapat disimpulkan bahwa derajat tekanan Internasional
menentukan kecepatan aparat melakukan penegakan hukum dalam mengatasi kasus
kekerasan.
Dari beberapa kasus tadi, dapat menimbulkan masalah yang paling dirasakan
oleh masyarakat dan membawa dampak yang sangat buruk bagi kehidupan
bermasyarakat. Persepsi masyarakat menjadi buruk terhadap penegakan hukum. Hal
ini membuat masyarakat tidak mempercayai huktm sebagai sarana penyelesaian
konflik dan cenderung menyelesaikan permasalahannya diluar jalur hukum.
Pemanfaatan inkonsistensi penegakan hukum oleh sekelompok orang demi
kepentingannya sendiri, selaku berakibat merugikan pihak yang tidak mempunyai
kemampuan yang setara. Akibatnya rasa ketidakadilan dan ketidakpuasan tumbuh
subur di masyarakat Indonesia. Penegakan hukum di Indonesia harus terus diupayakan
dengan mulai memperbaiki kinerja dan moral aparat baik polisi, jaksa, hakim maupun
pemerintah (eksekutif) yang ada dalam wilayah peradilan bersangkutan. Tanpa adanya
perbaikan tersebut segala bentuk KKN akan terus berpengaruh dalam proses
penegakan hukum di Indonesia. Selain itu materi hukum sendiri juga harus terus
menerus diperbaiki, peran DPR sebagai lembaga legislatif untuk lebih aktif dalam
memperbaiki dan menciptakan perundang-undangan yang lebih sesuai dengan
perkembangan zaman dan lebih tegas lagi. Peningkatan kesadaran hukum masyarakat
juga menjadi faktor kunci dalam penegakan hukum secara konsisten.
Jadi, keterpurukan penegakan hukum di Indonesia terletak pada faktor
integritas aparat penegak hukum, aturan hukum yang tidak responsif, serta tidak
diaplikasikannya nilai-nilai Pancasila khususnya nilai kemanusiaan, nilai
musyawarah untuk mufakat dan nilai keadilan dalam penegakan hukum oleh
aparat penegak hukum, sehingga menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat
terhadap penegakan hukum yang ada di Indonesia. Hasil penelitian, menunjukkan
tingkat kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum sangat dipengaruhi
oleh keadaan atau situasional suatu daerah, apabila disuatu daerah penegakan
hukumnya baik, maka tingkat kepercayaan masyarakat juga baik di daerah
tersebut, namun apabila penegakan hukumnya kurang baik, maka tingkat
kepercayaan mmasyarakat terhadap penegakan hukum di daerah tersebut menjadi
kurang baik. Dalam rangka pembentukan hukum nasional, perlu dibentuk
konsepsi system hukum Indonesia, yang penulis sebut dengan Indonesia
Juripridence maka nilai-nilai
Pancasila harus diserap dalam pembentukan hukum, sehingga dibutuhkan
standar hukum yang bersifat united legal frame work dan united legal opinion
(Kesatuan pandangan) di antara aparat penegak hukum sehingga perlu dibentuk
Undang-Undang sinergitas terpadu dalam pelaksanaan tugas penegakan hukum.
Untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat, maka dibutuhkan aparat penegak
hukum yang memiliki integritas baik, aturan hukum yang responsif yang sejalan
dengan nilai-nilai Pancasila dan selanjutnya diimplementasikan ke dalam
pelaksanaan tugas sehari-hari oleh aparat penegak hukum.
2.5 Pemberdayaan Masyarakat Dan Penegakan Hukum
Suatu hukum hanya dapat dilaksanakan dan diterapkan dengan baik apabila
dalam Masyarakat terdapat suatu struktur yang memungkinkan bagi setiap anggota
masyarakat untuk mewujudkan cita-cita hukum tersebut. Oleh karena itu jika kita
mengharapkan perilaku hukum masyarakat yang baik, maka kita harus menciptakan
struktur sosial masyarakat yang baik pula. Selama struktur sosial masyarakat tidak
terkandung kearah susunan masyarakat yang baik maka selama itu pula perilaku
hukum masyarakat sulit untuk mengarah kepada perilaku hukum yang baik.
Selanjutnya, harus pula dipahami bahwa kesadaran hukum yang menyangkut
perilaku manusia, tidak dapat dilepaskan dari sikap batin. Oleh karena itu kesadaran
hukum yang dimaksudkan haruslah memiliki keterkaitan pula dengan sikap batin
pelakunya. Dengan kata lain, harus terdapat kaitan yang erat antara sikap batin dan
tindakan yang dilakukan oleh seseorang.
Berdasarkan uraian-uraian yang telah kami kemukakan pada bahagian
terdahulu, maka pada bahagian ini dapat kami simpulkan hal-hal sebagai berikut: 1)
Bahwa pemberdayaan masyarakat dalam proses penegakan hukum meliputi
peningkatan, pengetahuan masyarakat terhadap kaedah hukum itu sendiri termasuk
pengetahuan dan pemahamannya terhadap isi kaedah hukum itu, ketaatan dan
kepatuhan masyarakat terhadap kaedah hukum itu dan pola perilaku hukum
masyarakat itu sendiri; 2) Bahwa pemahaman hukum masyarakat dipengaruhi
oleh struktur sosial tempat di mana hukum itu berlaku, karenanya untuk
mencapai terpeliharanya tertib hukum melalui kesadaran hukum masyarakat, maka
perlu pula dibenahi struktur masyarakat yang bersangkutan, seperti struktur
ekonomi, politik, pendidikan, pertahanan keamanan dan lain sebagainya yang
terdapat dalam sistem sosial; 3) Bahwa pemberdayaan masyarakat untuk memelihara
tertib hukum, tidak hanya dipengaruhi oleh faktor juridis semata, tetapi juga
dipengaruhi oleh faktor non juridis seperti sikap penegak hukum, sarana dan
prasarana, budaya hukum dan masyarakat sebagai pemegang peran; 4) Bahwa perlu
kiranya untuk menumbuhkan kesadaran hukum masyarakat agar tertib hukum
terpelihara dengan baik disusun suatu kaedah hukum yang sesuai dengan aspirasi
masyarakat Indonesia, sesuai dengan asas-asas hukum Indonesia dengan kata lain
perlu diperhatikan segi substansialnya, bukan segi formalnya seperti yang
berkembang selama ini
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya
atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku
dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara.

Aparatur penegak hukum mencakup pengertian mengenai institusi


penegak hukum dan aparat (orangnya) penegak hukum. Dalam arti sempit,
aparatur penegak hukum yang terlibat dalam proses tegaknya hukum itu,
dimulai dari saksi, polisi, penasehat hukum, jaksa, hakim, dan petugas sipir
pemasyarakatan.

Anda mungkin juga menyukai