Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

EFEKTIVITAS PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK


PIDANA KORUPSI

Dosen Pengampu:
SALMAN S.H.I.MH

Disusun Oleh :
LINA FARDA
2020150009

ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MERANGIN
JAMBI
2022
BAB I
PENEGAKAN HUKUM

1.1. Penegakan Hukum

Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya
norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan-
hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Ditinjau dari sudut subjeknya,
penegakan hukum itu dapat dilakukan oleh subjek yang luas dan dapat pula diartikan sebagai
upaya penegakan hukum oleh subjek dalam arti yang terbatas atau sempit. Dalam arti luas, proses
penegakan hukum itu melibatkan semua subjek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja
yang menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan
mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau
menegakkan aturan hukum. Dalam arti sempit, dari segi subjeknya itu, penegakan hukum itu hanya
diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan
bahwa suatu aturan hukum berjalan sebagaimana seharusnya. Dalam memastikan tegaknya hukum
itu, apabila diperlukan, aparatur penegak hukum itu diperkenankan untuk menggunakan daya
paksa.
Pengertian penegakan hukum itu dapat pula ditinjau dari sudut objeknya, yaitu dari segi
hukumnya. Dalam hal ini, pengertiannya juga mencakup makna yang luas dan sempit. Dalam arti
luas, penegakan hukum itu mencakup pula nilai-nilai keadilan yang terkandung di dalamnya bunyi
aturan formal maupun nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Tetapi, dalam arti sempit,
penegakan hukum itu hanya menyangkut penegakan peraturan yang formal dan tertulis saja.
Karena itu, penerjemahan perkataan ‘law enforcement’ ke dalam bahasa Indonesia dalam
menggunakan perkataan ‘penegakan hukum’ dalam arti luas dan dapat pula digunakan istilah
‘penegakan peraturan’ dalam arti sempit. Pembedaan antara formalitas aturan hukum yang tertulis
dengan cakupan nilai keadilan yang dikandungnya ini bahkan juga timbul dalam bahasa Inggeris
sendiri dengan dikembangkannya istilah ‘the rule of law’ versus ‘the rule of just law’ atau dalam
istilah ‘the rule of law and not of man’ versus istilah ‘the rule by law’ yang berarti ‘the rule
of man by law’. Dalam istilah ‘the rule of law’ terkandung makna pemerintahan oleh hukum, tetapi
bukan dalam artinya yang formal, melainkan mencakup pula nilai-nilai keadilan yang terkandung
di dalamnya. Karena itu, digunakan istilah ‘the rule of just law’. Dalam istilah ‘the rule of law and
not of man’ dimaksudkan untuk menegaskan bahwa pada hakikatnya pemerintahan suatu negara
hukum modern itu dilakukan oleh hukum, bukan oleh orang. Istilah sebaliknya adalah ‘the rule by
law’ yang dimaksudkan sebagai pemerintahan oleh orang yang menggunakan hukum sekedar
sebagai alat kekuasaan belaka.
Dengan uraian di atas jelaslah kiranya bahwa yang dimaksud dengan penegakan hukum
itu kurang lebih merupakan upaya yang dilakukan untuk menjadikan hukum, baik dalam arti formil
yang sempit maupun dalam arti materiel yang luas, sebagai pedoman perilaku dalam setiap
perbuatan hukum, baik oleh para subjek hukum yang bersangkutan maupun oleh aparatur
penegakan hukum yang resmi diberi tugas dan kewenangan oleh undang-undang untuk menjamin
berfungsinya norma-norma hukum yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Dari pengertian yang luas itu, pembahasan kita tentang penegakan hukum dapat kita tentukan
sendiri batas-batasnya. Apakah kita akan membahas keseluruhan aspek dan dimensi penegakan
hukum itu, baik dari segi subjeknya maupun objeknya atau kita batasi hanya membahas hal-hal
tertentu saja, misalnya, hanya menelaah aspek-aspek subjektifnya saja. Makalah ini memang
sengaja dibuat untuk memberikan gambaran saja mengenai keseluruhan aspek yang terkait dengan
tema penegakan hukum itu.

1.2. PENEGAKAN HUKUM OBJEKTIF


Seperti disebut di muka, secara objektif, norma hukum yang hendak ditegakkan mencakup
pengertian hukum formal dan hukum materiel. Hukum formal hanya bersangkutan dengan
peraturan perundang-undangan yang tertulis, sedangkan hukum materiel mencakup pula
pengertian nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dalam bahasa yang tersendiri,
kadang-kadang orang membedakan antara pengertian penegakan hukum dan penegakan keadilan.
Penegakan hukum dapat dikaitkan dengan pengertian ‘law enforcement’ dalam arti sempit,
sedangkan penegakan hukum dalam arti luas, dalam arti hukum materiel, diistilahkan dengan
penegakan keadilan. Dalam bahasa Inggeris juga terkadang dibedakan antara konsepsi ‘court of
law’ dalam arti pengadilan hukum dan ‘court of justice’ atau pengadilan keadilan. Bahkan, dengan
semangat yang sama pula, Mahkamah Agung di Amerika Serikat disebut dengan istilah ‘Supreme
Court of Justice’.
Istilah-istilah itu dimaksudkan untuk menegaskan bahwa hukum yang harus ditegakkan itu
pada intinya bukanlah norma aturan itu sendiri, melainkan nilai-nilai keadilan yang terkandung di
dalamnya. Memang ada doktrin yang membedakan antara tugas hakim dalam proses pembuktian
dalam perkara pidana dan perdata. Dalam perkara perdata dikatakan bahwa hakim cukup
menemukan kebenaran formil belaka, sedangkan dalam perkara pidana barulah hakim diwajibkan
mencari dan menemukan kebenaran materiel yang menyangkut nilai-nilai keadilan yang harus
diwujudkan dalam peradilan pidana. Namun demikian, hakikat tugas hakim itu sendiri memang
seharusnya mencari dan menemukan kebenaran materiel untuk mewujudkan keadilan materiel.
Kewajiban demikian berlaku, baik dalam bidang pidana maupun di lapangan hukum perdata.
Pengertian kita tentang penegakan hukum sudah seharusnya berisi penegakan keadilan itu sendiri,
sehingga istilah penegakan hukum dan penegakan keadilan merupakan dua sisi dari mata uang
yang sama.
Setiap norma hukum sudah dengan sendirinya mengandung ketentuan tentang hak-hak
dan kewajiban-kewajiban para subjek hukum dalam lalu lintas hukum. Norma-norma hukum yang
bersifat dasar, tentulah berisi rumusan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang juga dasar dan
mendasar. Karena itu, secara akademis, sebenarnya, persoalan hak dan kewajiban asasi manusia
memang menyangkut konsepsi yang niscaya ada dalam keseimbangan konsep hukum dan
keadilan. Dalam setiap hubungan hokum terkandung di dalamnya dimensi hak dan kewajiban
secara paralel dan bersilang. Karena itu, secara akademis, hak asasi manusia mestinya diimbangi
dengan kewajiban asasi manusia. Akan tetapi, dalam perkembangan sejarah, issue hak asasi
manusia itu sendiri terkait erat dengan persoalan ketidakadilan yang timbul dalam kaitannya
dengan persoalan kekuasaan. Dalam sejarah, kekuasaan yang diorganisasikan ke dalam dan
melalui organ-organ negara, seringkali terbukti melahirkan penindasan dan ketidakadilan. Karena
itu, sejarah umat manusia mewariskan gagasan perlindungan dan penghormatan terhadap hak-hak
asasi manusia. Gagasan perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia ini bahkan diadopsikan
ke dalam pemikiran mengenai pembatasan kekuasaan yang kemudian dikenal dengan aliran
konstitusionalisme. Aliran konstitusionalime inilah yang memberi warna modern terhadap ide-ide
demokrasi dan nomokrasi (negara hukum) dalam sejarah, sehingga perlindungan konstitusional
terhadap hak asasi manusia dianggap sebagai ciri utama yang perlu ada dalam setiap negara hukum
yang demokratis (democratische rechtsstaat) ataupun negara demokrasi yang berdasar atas hukum
(constitutional democracy).
Dengan perkataan lain, issue hak asasi manusia itu sebenarnya terkait erat dengan
persoalan penegakan hukum dan keadilan itu sendiri. Karena itu, sebenarnya, tidaklah terlalu tepat
untuk mengembangkan istilah penegakan hak asasi manusia secara tersendiri. Lagi pula, apakah
hak asasi manusia dapat ditegakkan? Bukankah yang ditegakkan itu adalah aturan hukum dan
konstitusi yang menjamin hak asasi manusia itu, dan bukannya hak asasinya itu sendiri? Namun,
dalam praktek sehari-hari, kita memang sudah salah kaprah. Kita sudah terbiasa menggunakan
istilah penegakan ‘hak asasi manusia’. Masalahnya, kesadaran umum mengenai hak-hak asasi
manusia dan kesadaran untuk menghormati hak-hak asasi orang lain di kalangan masyarakat
kitapun memang belum berkembang secara sehat.

1.3. APARATUR PENEGAK HUKUM


Aparatur penegak hukum mencakup pengertian mengenai institusi penegak hukum dan
aparat (orangnya) penegak hukum. Dalam arti sempit, aparatur penegak hukum yang terlibat dalam
proses tegaknya hukum itu, dimulai dari saksi, polisi, penasehat hukum, jaksa, hakim, dan petugas
sipir pemasyarakatan. Setiap aparat dan aparatur terkait mencakup pula pihak-pihak yang
bersangkutan dengan tugas atau perannya yaitu terkait dengan kegiatan pelaporan atau pengaduan,
penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pembuktian, penjatuhan vonis dan pemberian sanksi, serta
upaya pemasyarakatan kembali (resosialisasi) terpidana.
Dalam proses bekerjanya aparatur penegak hukum itu, terdapat tiga elemen penting yang
mempengaruhi, yaitu: (i) institusi penegak hukum beserta berbagai perangkat sarana dan prasarana
pendukung dan mekanisme kerja kelembagaannya; (ii) budaya kerja yang terkait dengan
aparatnya, termasuk mengenai kesejahteraan aparatnya, dan (iii) perangkat peraturan yang
mendukung baik kinerja kelembagaannya maupun yang mengatur materi hukum yang dijadikan
standar kerja, baik hukum materielnya maupun hukum acaranya. Upaya penegakan hukum secara
sistemik haruslah memperhatikan ketiga aspek itu secara simultan, sehingga proses penegakan
hukum dan keadilan itu sendiri secara internal dapat diwujudkan secara nyata.
Namun, selain ketiga faktor di atas, keluhan berkenaan dengan kinerja penegakan hukum
di negara kita selama ini, sebenarnya juga memerlukan analisis yang lebih menyeluruh lagi. Upaya
penegakan hukum hanya satu elemen saja dari keseluruhan persoalan kita sebagai Negara Hukum
yang mencita-citakan upaya menegakkan dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia. Hukum tidak mungkin akan tegak, jika hukum itu sendiri tidak atau belum
mencerminkan perasaan atau nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakatnya. Hukum tidak
mungkin menjamin keadilan jika materinya sebagian besar merupakan warisan masa lalu yang
tidak sesuai lagi dengan tuntutan zaman. Artinya, persoalan yang kita hadapi bukan saja berkenaan
dengan upaya penegakan hukum tetapi juga pembaruan hukum atau pembuatan hukum baru.
Karena itu, ada empat fungsi penting yang memerlukan perhatian yang seksama, yang yaitu (i)
pembuatan hukum (‘the legislation of law’ atau ‘law and rule making’), (ii) sosialisasi,
penyebarluasan dan bahkan pembudayaan hukum (socialization and promulgation of law, dan (iii)
penegakan hukum (the enforcement of law).
Ketiganya membutuhkan dukungan (iv) adminstrasi hukum (the administration of law)
yang efektif dan efisien yang dijalankan oleh pemerintahan (eksekutif) yang bertanggungjawab
(accountable). Karena itu, pengembangan administrasi hukum dan sistem hukum dapat disebut
sebagai agenda penting yang keempat sebagai tambahan terhadap ketiga agenda tersebut di atas.
Dalam arti luas, ‘the administration of law’ itu mencakup pengertian pelaksanaan hukum (rules
executing) dan tata administrasi hukum itu sendiri dalam pengertian yang sempit. Misalnya dapat
dipersoalkan sejauhmana sistem dokumentasi dan publikasi berbagai produk hukum yang ada
selama ini telah dikembangkan dalam rangka pendokumentasian peraturan-peraturan (regels),
keputusan-keputusan administrasi negara (beschikkings), ataupun penetapan dan putusan (vonis)
hakim di seluruh jajaran dan lapisan pemerintahan dari pusat sampai ke daerah-daerah. Jika
sistem administrasinya tidak jelas, bagaimana mungkin akses masyarakat luas terhadap aneka
bentuk produk hukum tersebut dapat terbuka? Jika akses tidak ada, bagaimana mungkin
mengharapkan masyarakat dapat taat pada aturan yang tidak diketahuinya? Meskipun ada teori
‘fiktie’ yang diakui sebagai doktrin hukum yang bersifat universal, hukum juga perlu difungsikan
sebagai sarana pendidikan dan pembaruan masyarakat (social reform), dan karena itu
ketidaktahuan masyarakat akan hukum tidak boleh dibiarkan tanpa usaha sosialisasi dan
pembudayaan hukum secara sistematis dan bersengaja.
BAB II
LANDASAN FILOSOFIS, YURIDIS, DAN SOSOLOGIS

2.1. Korelasi Sistem Hukum dalam Upaya Law Enforcement


Sistem hukum dinyatakan oleh Lawrence M. Friedman (sebagaimana dikutip oleh Ali,
2012), terdiri dari:
1. Struktur hukum;
2. Substansi hukum;
3. Kultur hukum.
Struktur hukum berhubungan erat dengan sistem yudisial yang berarti berkaita dengan
penegak hukum seperti hal nya hakim, jaksa, penasihat hukum sampai dengan kepolisian
(Friedman, 2012). Sehingga dapat dikatakan bahwa struktur hukum merupakan keseluruhan
institusi-institusi hukum yang ada beserta aparatnya, misalnya pengadilan dengan para hakim,
kejaksaan dengan para jaksa dan lain sebagainya (Ali, 2012). Bahkan dapat pula diperluas struktur
hukum di sini termasuk pihak-pihak yang membentuk hukum, baik berupa putusan maupun
membentuk hukum dalam bentuk norma peraturan perundang-undangan.
Substansi hukum kemudian diartikan sebagai apa yang dikerjakan dan dihasilkan oleh
struktur hukum tersebut (Ali, 2012). Dengan kata lain, setiap peraturan perundang-undangan yang
dihasilkan atau seluruh peraturan perundang-undangan/hukum baik tertulis maupun tidak tertulis
(termasuk putusan pengadilan) yang digunakan penegak hukum untuk menegakkan hukum
merupakan substansi hukum. (Poin 6 SEMA No. 4 Tahun 2011 Tentang Perlakuan Bagi Pelapor
Tindak Pidana (Whistleblower) dan saksi pelaku yang bekerjasama (Justice Collaborators) di
dalam Perkara Pidana Tertentu).
Kultur hukum atau acapkali disebut pula sebagai budaya hukum termasuk di dalamnya,
pandangan, opini-opini, kepercayaan/keyakinan, kebiasaan, cara berpikir dan cara bertindak baik
dari penegak hukum maupun dari warga masyarakat tentang hukum dan berbagai fenomena yang
berkaitan dengan hukum (Ali, 2012). Budaya hukum yang dimaksud di sini adalah budaya hukum
yang terbentuk karena keterkaitan struktur hukum dalam menegakkan atau membentuk substansi
hukum, dan sebaliknya budaya hukum justru juga dapat membentuk perilaku struktur hukum,
sekaligus membantu pelaksanaan atau penegakan substansi hukum.
Ketiga komponen tersebut di atas saling berkaitan dan memiliki ketergantungan dalam
rangka penegakan hukum di suatu negara. Struktur hukum yang baik akan melahirkan substansi
hukum yang ideal, dan menjalankan perintah norma substansi hukum dengan adil, bermanfaat dan
pasti. Struktur dan substansi hukum yang baik, dapat membentuk budaya hukum yang baik,
sebaliknya, budaya hukum juga memiliki peran besar dalam membentuk struktur hukum dalam
melahirkan dan menegakkan substasni hukum. Ketiga komponen tersebut nyatanya merupakan
rantai segitiga yang tidak terputus satu sama lain. Struktur hukum yang buruk tidak akan
melahirkan substansi hukum yang baik, sebaliknya substansi hukum yang baik tidak akan dapat
ditegakkan dalam realisasinya apabila struktur hukum buruk. Imbasnya adalah budaya hukum
yang terbentuk justru langsung maupun tidak langsung mengikuti lemahnya kedua komponen yang
lain dalam menegakkan hukum.

2.1.1. Struktur Hukum


Struktur hukum merupakan komponen struktural atau organ yang bergerak di dalam suatu
mekanisme, baik dalam membuat peraturan, maupun dalam menerapkan atau melaksanakan
peraturan Struktur hukum diibaratkan sebagai mesin yang menghasilkan sesuatu (Friedman
sebagaimana dikutip oleh Purba, 2017). Struktur hukum apabila yang dimaksud adalah pembuat
atau pembentuk peraturan perundang-undangan baik di pusat maupun daerah, memiliki peranan
penting dalam menyusun hukum yang ideal. Sebelum, peraturan perundang-undangan
diimplementasikan, peraturan perundang-undangan disusun atas dasar landasan filosofis, yuridis,
dan sosiologis. Produk hukum yakni khususnya peraturan perundang-undangan dibentuk dengan
tidak diperkenankan bertentangan dengan Pancasila sebagai landasan idiil bangsa. Secara yuridis,
tidak diperkenankan pula bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lainnya,
utamanya dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Yang tidak kalah penting,
bahwa suatu peraturan perundang-undangan harus dibentuk dengan menyesuaikan kebutuhan
masyarakat sosial atas dasar pemenuhan landasan sosiologis. Semua syarat landasan pembentukan
peraturan perundang-undangan tersebut harus dipenuhi oleh struktur pembentuk hukum.
Struktur hukum lain yakni pelaksana peraturan perundang-undangan dalam pelaksanaan
kewenangannya juga dibatasi oleh ketentuan hukum, khususnya sebagaimana yang diatur dalam
Pasal 9 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang
menyatakan inti pengaturannya adalah memberikan sanksi pidana kepada setiap pejabat yang
melakukan penangkapan, penahanan, penuntutan atau mengadili dengan tidak berdasarkan kepada
undang-undang atau keliru dalam menegakan hokum, selain itu kepada subyek yang merupakan
korban atas tindakan keliru pejabat tersebut dapat menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi. Atas
ketentuan pasal tersebut, maka terlihat batasan yang tegas bagi struktur hukum di Indonesia
khususnya dalam hal mendukung implementasi dan terbentuknya suatu norma atau substansi
hukum.
Struktur hukum baik sebagai pelaksana peraturan perundang-undangan maupun penegak
hukum yang melahirkan putusan (subtansi hukum yang lahir dari proses peradilan), tidak boleh
kemudian hanya berdasar pada peraturan perundang-undangan semata. Harapannya, dalam
menegakkan hukum, struktur hukum atau penegak hukum melihat keadilan pada masyarakat,
sebagaimana diatur dalam Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang No.4 Tahun 2004 tentang kekuasaan
Kehakiman dan memahami nilai hukum dalam arti ini adalah tidak diperkenankan hanya sebagai
corong undang-undangan. Begitu pula struktur hukum dalam artian pihak yang menegakkan
hukum di masyarakat, yakni lembaga kepolisian. Sebagai aparatur penegak hukum, lembaga
kepolisian, dalam hal ini polisi memiliki andil besar dalam hal tidak tebang pilih untuk melakukan
penyelidikan, penangkapan, penahanan dan sebagainya. Sampai dengan kejaksaan sebagai
pengacara negara pun, memiliki peran utama dalam hal menjamin bahwa yang didakwa benar-
benar pantas untuk didakwa, sedangkan warga negara yang posisinya sebagai terdakwa namun
tidak serta merta memiliki kesalahan pidana yang besar diarahkan untuk dituntut tidak lebih berat.
Advokat dalam hal ini penasehat hukum pada penegakan hukum di ranah peradilan, juga memiliki
peran besar. Meskipun berdiri sendiri, terlepas dari kelembagaan negara, penasehat hukum yang
baik dan tidak hanya mementingkan materiil yang dia dapatkan, akan sangat membantu penegakan
hukum yang bersih.
Struktur hukum atau penegak hukum di sini juga memiliki peran besar untuk membentuk
budaya hukum atau kesadaran hukum. Kesadaran hukum yang dimaksud sebagai budaya hukum
yang baik, dalam konteks ini berarti kesadaran tiap-tiap individu masyarakat maupun kelompik
masyarakat untuk bertindak sesuai dengan ketentuan hokum. Sehingga, sruktur hukum di sini
berfungsi sebagai benang merah penghubung antara substansi hukum dengan masyarakat yang taat
hukum. Perlu kemudian dalam rangka penegakan hukum yang optimal, diberikan sosialisasi
maupun pendidikan hukum yang mapan untuk semua lapisan masyarakat, maka peran penegak
hukum dalam rangka memberikan sosialisasi dan pendidikan hukum sangat dibutuhkan.
Keberadaan asas fiksi hukum, yang dimaknai sebagai masyarakat dianggap tahu hukumnya,
tentunya tidak boleh menghilangkan diperlukannya sosialisasi dan pendidikan hukum dari
penegak hukum kepada masyarakat. Hal yang kemudian mendasari adalah, asas fiksi hukum ini
tidak cocok diselenggarakan secara mutlak pada negara dengan taraf pendidikan juga masih
berkembang. Masyarakat masih perlu diperkuat pendidikan dan pemahaman kesadaran hukumnya,
yang hal ini dapat diberikan oleh penegak hukum.

2.1.2. Substansi Hukum


Seburuk-buruknya penegak hukum dalam arti pelaksana, namun apabila substansi hukum
yang dibentuk oleh struktur pembentuk hukum adalah ideal, maka “frame” penegakan hukum
melalui norma yang ideal dapat terlaksana. Sebagaimana disinggung pada subbab sebelumnya,
bahwa subansti hukum yang baik atau peraturan yang baik adalah peraturan hukum yang berlaku
berdasarkan landasan filosofis, yuridis, sosiologis.
Diulas kembali, bahwa suatu norma atau hukum akan memiliki keberlakuan secara
filosofis apabila peraturan hukum tersebut sesuai dengan cita-cita hukum (rechts idea) yang
tertuang dalam landasan filosofis suatu negara. Landasan filosofis yang dimaksud di Indonesia
adalah Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Dengan kata
lain, tidak akan diterima keberlakuannya suatu norma peraturan perundang-undangan yang
substansinya justru bertentangan dengan landasan filosofis Negara Indonesia tersebut.
Selanjutnya, landasan yuridis, menurut Hans Kelsen harus menjadi dasar landasan
pembentukan peraturan perundang-undangan, yang mana dalam hal ini adalah peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya. Ini berhubungan dengan teori stufenbau dari
Hans Kelsen. Selanjutnya menurut Zevenbergen (sebagaimana dikutip oleh Purbacaraka dan
Soekanto, 1978), suatu peraturan hukum mempunyai kekuatan berlaku yuridis jika peraturan
hukum tersebut terbentuk menurut cara yang telah ditetapkan. Cara yang telah ditetapkan
mengarah pada pembentuk peraturan perundang-undangan dan cara yang ditempuh sebagaimana
diatur dalam konstitusi.
Terkait pembentuk peraturan perundang-undangan Pasal 5, Pasal 20 dan Pasal 22C
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang pada intinya menyerahkan
kekuasaan membentuk undang-undang kepada Presiden, DPR, Perppu kepada Presiden, dan ajuan
undang-undang terkait dengan otonomi daerah kepada DPD. Untuk di daerah, Pasal 18 Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia juga menyerahkan kewenangan membentuk peraturan
daerah kepada Pemerintahan Daerah. Atas dasar pengaturan konstitusi tersebut, suatu peraturan
perundang-undangan memiliki keberlakuan yuridis apabila dibentuk berdasarkan ketentuan yang
dimaksud. Keberlakuan sosiologis mengarah pada persamaan keberlakuan anerkennungstheorie
atau the recognition theory (Edimarwan, 2012). Kedua teori tersebut mengarahkan kepada
pengakuan dan penerimaan masyarakat yang merupakan subyek pengaturan hukum tersebut.
emudian suatu peraturan hukum berlaku secara sosiologis bilamana peraturan tersebut diakui atau
diterima oleh masyarakat kepada siapa peraturan hukum tersebut ditujukan/diberlakukan,
demikian menurut anerkennungstheorie atau The recognition theory. Diakui dan diterimanya suatu
norma hukum dalam hal ini tidak terlepas dari landasan sosiologis kebutuhan masyarakat
yang harus menjadi dasar utama dari pembentukan suatu peraturan perundang-undangan. Hal
tersebut akan mempermudah suatu peraturan perundang-undangan tersebut diakui dan diterima
dalam masyarakat.

2.1.3. Budaya Hukum


Berbicara tentang budaya hukum maka melingkupi setiap nilai, pemikiran, serta harapan
atas kaidah atau norma dalam kehidupan sosial masyarakat. Penulis meletakkan komponen budaya
hukum sebagai subsistem utama dari subsistem lainnya, yakni struktur dan substansi. Hal mana
kemudian juga selaras disampaikan Iman Pasu Marganda Hadiarto Purba (2017), ´ ' alam praktik
kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat, secara mendasar (grounded dogmatic)
dimensi kultur seyogianya mendahului dimensi lainnya, karena dalam dimensi budaya itu
tersimpan seperangkat nilai (value system). Selanjutnya sistem nilai ini menjadi dasar perumusan
kebijakan (policy) dan kemudian disusul dengan pembuatan hukum (law making) sebagai rambu-
rambu yuridis dan code of conduct dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, yang
diharapkan akan mencerminkan nilai-nilai luhur yang dimiliki oleh bangsa yang bersangkutan.
Selanjutnya, Friedman juga menyampaikan bahwa kultur hukumlah (legal culture) yang
mendahului dua unsur lainnya (Lubis, 2000). Dibayangkan, apabila budaya hukum buruk yang
mana di dalamnya terdiri dari seluruh komponen masyarakat, maka substansi yang terbentuk tidak
akan baik, struktur hukum yang lahir dari masyarakat juga akan buruk, dan memperburuk budaya
hukum yang sudah buruk. Kemudian seperti perputaran roda, budaya hukum yang semakin buruk
ini makin melahirkan substansi dan struktur hukum yang makin buruk pula. Budaya hukum yang
bergerak sangat dinamis yang menentukan dinamika perubahan struktur dan substansi hukum.
Maka, memastikan budaya hukum yang terlaksana menjadi kebiasaan-kebiasaan taat hukum yang
baik, akan sangat menentukan keberadaan komponen atau subsistem lainnya.
BAB III
PENGGOLONGAN KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI

3.1. Menurut perspektif hokum


Definisi korupsi secara gamblang telah dijelaskan dalam 13 buah Pasal dalam UU No. 31
Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi. Berdasarkan pasal-pasal tersebut, korupsi dirumuskan kedalam 30 bentuk/jenis
tindak pidana korupsi. Pasal-pasal tersebut menerangkan secara terperinci mengenai perbuatan
yang bisa dikenakan sanksi pidana karena korupsi. Ketigapuluh bentuk/jenis tindak pidana korupsi
tersebut pada dasarnya dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1. Kerugian keuangan negara
2. Suap-menyuap
3. Penggelapan dalam jabatan
4. Pemerasan
5. Perbuatan curang
6. Benturan kepentingan dalam pengadaan
7. Gratifikasi
Selain bentuk/jenis tindak pidana korupsi yang sudah dijelaskan diatas, masih ada tindak
pidana lain yang yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi yang tertuang pada UU No.31
Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001. Jenis tindak pidana yang berkaitan dengan tindak pidana
korupsi itu adalah:
1. Merintangi proses pemeriksaan perkara korupsi
2. Tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar
3. Bank yang tidak memberikan keterangan rekening tersangka
4. Saksi atau ahli yang tidak memberi keterangan atau memberi keterangan palsu
5. Orang yang memegang rahasia jabatan tidak memberikan keterangan atau memberikan
keterangan palsu
6. Saksi yang membuka identitas pelapor
Pasal-pasal berikut dibawah ini dapat dikaitkan dengan tindak pidana korupsi dalam
pengadaan barang dan jasa pemerintah.

3.1.1. Melawan Hukum untuk Memperkaya Diri


Pasal 2 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001:
(1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri
atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara
paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling
sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00
(satu milyar rupiah).
(2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam
keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.

Rumusan korupsi pada Pasal 2 UU No. 31 Tahun 1999, pertama kali termuat dalam Pasal
1 ayat (1) huruf a UU No. 3 Tahun 1971. Perbedaan rumusan terletak pada masuknya kata ”dapat”
sebelum unsur ”merugikan keuangan/perekonomian negara” pada UU No. 31 Tahun 1999. Sampai
dengan saat ini, pasal ini termasuk paling banyak digunakan untuk memidana koruptor.
Untuk menyimpulkan apakah suatu perbuatan termasuk korupsi menurut Pasal ini, harus
memenuhi unsur-unsur:
1. Setiap orang atau korporasi;
2. Melawan hukum;
3. Memperkaya diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi;
4. Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

3.1.2. Menyalahgunakan Kewenangan


Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001: Setiap orang yang dengan
tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan
kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur
hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan
atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.
1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Rumusan korupsi pada Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999, pertama kali termuat dalam Pasal
1 ayat (1) huruf b UU No. 3 Tahun 1971. Perbedaan rumusan terletak pada masuknya kata ”dapat”
sebelum unsur ”merugikan keuangan/perekonomian negara” pada UU No. 31 Tahun 1999. Sampai
dengan saat ini, pasal ini termasuk paling banyak digunakan untuk memidana koruptor. Untuk
menyimpulkan apakah suatu perbuatan termasuk korupsi menurut Pasal ini, harus memenuhi
unsur-unsur:
1. Setiap orang;
2. Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi;
3. Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana;
4. Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

3.1.3. Menyuap Pegawai Negeri


Pasal 5 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001:
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun
dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang:
a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan
maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak
berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau
b. memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan
dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan
dalam jabatannya.

Rumusan korupsi pada Pasal 5 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2001 berasal dari Pasal 209 ayat
(1) angka 1 dan 2 KUHP, yang dirujuk dalam Pasal 1 ayat (1) huruf c UU No. 3 Tahun 1971, dan
Pasal 5 UU No. 31 Tahun 1999 sebagai tindak pidana korupsi, yang kemudian dirumuskan ulang
pada UU No. 20 Tahun 2001.
Untuk menyimpulkan apakah suatu perbuatan termasuk korupsi menurut Pasal 5 ayat (1)
huruf a UU No. 20 Tahun 2001, harus memenuhi unsur-unsur:
1. Setiap orang;
2. Memberi sesuatu atau menjanjikan sesuatu;
3. Kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara;
4. Dengan maksud supaya berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan
dengan kewajibannya.
Untuk menyimpulkan apakah suatu perbuatan termasuk korupsi menurut Pasal 5 ayat
(1) huruf b UU No. 20 Tahun 2001, harus memenuhi unsur-unsur:
5. Setiap orang;
6. Memberi sesuatu;
7. Kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara;
8. Karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan
kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.

3.1.4. Pemborong Berbuat Curang


Pasal 7 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001:
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun
dan atau pidana denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah):: a. pemborong, ahli
bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau penjual bahan bangunan yang pada
waktu menyerahkan bahan bangunan, melakukan perbuatan curang yang dapat
membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan
perang;
b. setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan bangunan, sengaja
membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf a;. c. ... d. ...

Rumusan korupsi pada Pasal 7 ayat (1) huruf a dan b UU No. 20 Tahun 2001 berasal dari
Pasal 387 ayat (1) dan ayat (2) KUHP, yang dirujuk dalam Pasal 1 ayat (1) huruf c UU No. 3
Tahun 1971, dan Pasal 7 UU No. 31 Tahun 1999 sebagai tindak pidana korupsi, yang kemudian
dirumuskan ulang pada UU No. 20 Tahun 2001.
Untuk menyimpulkan apakah suatu perbuatan termasuk korupsi menurut Pasal 7 ayat (1)
huruf a UU No. 20 Tahun 2001, harus memenuhi unsur-unsur:
1. Pemborong, ahli bangunan, atau penjual bahan bangunan;
2. Melakukan perbuatan curang;
3. Pada waktu membuat bangunan atau menyerahkan bahan bangunan;
4. Yang dapat membahayakan keamanan orang atau keamanan barang, atau keselamatan negara
dalam keadaan perang.

Untuk menyimpulkan apakah suatu perbuatan termasuk korupsi menurut Pasal 7 ayat (1)
huruf b UU No. 20 Tahun 2001, harus memenuhi unsur-unsur:
1. Pengawas bangunan atau pengawas penyerahan bahan bangunan;
2. Membiarkan dilakukannya perbuatan curang pada waktu membuat bangunan
atau menyerahkan bahan bangunan;
3. Dilakukan dengan sengaja;
4. Sebagaimana dimaksud pada Pasal 7 ayat (1) huruf a.

3.1.5. Pegawai Negeri Menerima Hadiah/Janji Berhubungan dengan Jabatannya


Pasal 11 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001:
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima)
tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau penyelenggara
negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau
janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya,
atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan
jabatannya.
Rumusan korupsi pada Pasal 11 UU No. 20 Tahun 2001 berasal dari Pasal 418 KUHP,
yang dirujuk dalam Pasal 1 ayat (1) huruf c UU No. 3 Tahun 1971, dan Pasal 11 UU No. 31 Tahun
1999 sebagai tindak pidana korupsi, yang kemudian dirumuskan ulang pada UU No. 20 Tahun
2001
3.1.6. Pegawai Negeri Memeras dan Turut Serta Dalam Pengadaan Diurusnya
Pasal 12 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001:
Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun
dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua
ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah):
a. ...
e. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri
atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya
memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan
potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri;
f. ...
i. pegawai negeri atau penyelenggara negara baik langsung maupun tidak langsung dengan sengaja
turut serta dalam pemborongan, pengadaan, atau persewaan, yang pada saat dilakukan
perbuatan, untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya.

Rumusan korupsi pada Pasal 12 huruf e dan i UU No. 20 Tahun 2001 berasal dari Pasal
423 dan 435 KUHP, yang dirujuk dalam Pasal 1 ayat (1) huruf c UU No. 3 Tahun 1971, dan Pasal
12 UU No. 31 Tahun 1999 sebagai tindak pidana korupsi, yang kemudian dirumuskan ulang pada
UU No. 20 Tahun 2001

3.1.7. Gratifikasi dan Tidak Lapor KPK


Pasal 12 B UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001:
(1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap,
apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau
tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut::
a. yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi
tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;;
b. yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi
tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.
(2) Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun
dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00
(dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pasal 12 C UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001:


(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B ayat (1) tidak berlaku, jika penerima
melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
(2) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilakukan oleh penerima
gratifikasi paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi
tersebut diterima.
(3) Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari
kerja sejak tanggal menerima laporan wajib menetapkan gratifikasi dapat menjadi milik
penerima atau milik negara.
(4) Ketentuan mengenai tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan
penentuan status gratifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat
(3) diatur dalam Undangundang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Rumusan korupsi pada Pasal 12 B UU No. 20 Tahun 2001 adalah rumusan tindak pidana
korupsi baru yang dibuat pada UU No. 20 Tahun 2001. Untuk menyimpulkan apakah suatu
perbuatan termasuk korupsi menurut Pasal 12 B dan 12 C UU No. 20 Tahun 2001, harus memenuhi
unsaur-unsur:
1. Pegawai negeri atau penyelenggara negara;
2. Menerima gratifikasi (pemberian dalam arti kata luas);
3. Yang berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya;
4. Penerimaan gratifikasi tersebut tidak dilaporkan kepada KPK dalam jangka waktu 30 hari sejak
diterimanya gratifikasi.
3.2. PERSEKONGKOLAN DAN KORUPSI DALAM TENDER

Temuan yang diperoleh KPPU bahwa persekongkolan dalam tender sudah terjadi semenjak
perencanaan pengadaan yaitu tahap awal dalam kegiatan pengadaan barang dan jasa pemerintah.
Perencanaan pengadaan mempersiapkan dan
mencantumkan secara rinci mengenai target, lingkup kerja, SDM, waktu, mutu, biaya dan
manfaat yang akan menjadi acuan utama dalam pelaksanaan pengadaan barang dan jasa
pemerintah dalam bentuk paket pekerjaan yang dibiayai dari dana APBN/APBD maupun Bantuan
Luar Negeri. Persekongkolan bisa terjadi antara pelaku usaha dengan sesama pelaku usaha
(penyedia barang dan jasa pesaing) yaitu dengan menciptakan persaingan semu diantara peserta
tender. Ini lebih dikenal dengan tender arisan dimana pemenangnya sudah ditentukan terlebih
dahulu. Persekongkolan juga dapat terjadi antara satu atau beberapa pelaku usaha dengan panitia
tender atau panitia lelang misalnya rencana pengadaan yang diarahkan untuk pelaku usaha tertentu
dengan menentukan persyaratan kualifikasi dan spesifikasi teknis yang mengarah pada sutu merk
sehingga menghambat pelaku usaha lain untuk ikut tender. Akibatnya kompetisi untuk
memperoleh penawaran harga yang paling menguntungkan tidak terjadi. Pemaketan pengadaan
yang seharusnya dilaksanakan dengan mempertimbangkan aspek efisiensi dan efektifitas, namun
pada prakteknya banyak yang direkayasa untuk kepentingan KKN.
Panitia pengadaan bekerja secara tertutup dan tidak memberikan perlakuan yang sama
diantara para peserta tender. Tender dilakukan hanya untuk memenuhi persyaratan formal sesuai
dengan ketentuan pengadaan barang dan jasa. Hal ini terjadi karena calon pemenang biasanya
sudah ditunjuk terlebih dahulu pada saat tender berlangsung yaitu karena adanya unsur suap
kepada panitia atau pejabat yang mempunyai pengaruh. Disamping itu penentuan Harga Perkiraan
Sendiri (HPS) atau owner's estimate (OE) biasanya sudah direkayasa untuk mempunyai margin
tertentu
yang bisa disisihkan untuk dibagi-bagi (rente ekonomi atau laba abnormal). Bermacam-
macam cara digunakan untuk membatasi informasi tender, diantaranya memasang iklan palsu di
Koran. Padahal hal inilah yang merangsang terjadinya mark-up dan korupsi. Pemerintah dalam
pengadaan barang dan jasa haruslah terbuka,
transparan dan tidak diskriminatif, karena menyembunyikan proyek melanggar Keppres
No 80/2003 yang mensyaratkan adanya pengumuman kepada masyarakat luas baik di awal
pengadaan maupun hasilnya. Prosesnya harus transparan dan transparansi disini mencakup
kecukupan informasi mengenai syarat-syarat pengadaan, aturan-aturan dan kriteria pemenang.
Keterbukaan mencakup pengumuman rencana pengadaan, pengumuman lelang, peserta lelang dan
pengumuman pemenang lelang pada papan pengumuman instansi atau melalui website pengadaan
nasional.

Kesimpulannya, tender yang berpotensi menciptakan persaingan usaha tidak sehat dan
korupsi adalah:
1. Tender yang bersifat tertutup dan tidak transparan, yang tidak diumumkan secara luas dan
bersifat diskriminatif sehingga mengakibatkan para pelaku usaha yang berminat dan
memenuhi kualifikasi tidak dapat mengikutinya;
2. Jangka waktu pengumuman tender dibuat singkat sehingga hanya pelaku usaha tertentu yang
sudah dipersiapkanlah yang punya peluang besar;
3. Tender dengan persyaratan dan spesifikasi teknis atau merek yang mengarah kepada pelaku
usaha tertentu sehingga menghambat pelaku usaha lain untuk ikut.
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

Ediwarman (2012). Paradoks Penegakan Hukum Pidana dalam Perspektif Kriminologi di


Indonesia, Jurnal Kriminologi Indonesia, Vol. 8 No.1 Mei 2012 : 038 051, 43.
Iman Pasu Marganda Hadiarto Purba (2017), Penguatan Budaya Hukum Masyarakat untuk
Menghasilkan Kewarganegaraan Transformative, Jurnal Civics, Volume 14 Nomor 2,
Oktober 2017, 148. (2015). . Jurnal Justitia Islamica, Vol. 12/No.1, (Januari-Juni, 2015),
40-41.
................................., Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana Perkembangan Penyusunan
Konsep KUHP Baru. Jakarta: Kencana Pranenda Media Group, 2008.
Ermansyah Djaya, Memberantas Korupsi Bersama KPK, Sinar Grafika, Jakarta, 2010.
Ruslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Peranggungjawaban Pidana dan Pengertian Dasar Dalam
Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1988

Anda mungkin juga menyukai