SISITEM PERADILAN
Dosen pengampu:
Nahrowi, S.H., M.H.
Disusun Oleh:
Friska Saputra Redoansah (101220073)
Sofyan Nur Aziz (
i
Mewujudkan Sistem Peradilan Di Indonesia Bagi Seluruh Masyarakat
Pencari Keadilan
Email: friska10092002@gmail.com,
Pendahuluan
1
yang terkait erat dengan fungsi sistem hukum sebagai sarana untuk
mendistribusikan dan memelihara suatu alokasi nilai-nilai dalam masyarakat, yang
ditanamkan dengan suatu pandangan kebenaran, yang secara umum merujuk
kepada keadilan.1
Sistem hukum di mana pun di dunia ini, keadilan selalu menjadi objek
perburuan, khususnya melalui lembaga pengadilannya. Dari pengamatan terhadap
sistem hukum di dunia, hampir tdak ada negara yang benar-benar telah puas dengan
sistem hukum yang digunakannya. Oleh karena itu, perombakan, pembaruan atau
reform, dapat kita lihat terjadi dari waktu ke waktu di berbagai negara.
1
Lawrence M.Friedman, The Legal System : A Social Science Perspective, Rusell Sage
Foundation, New York 1975, hlm 17-18.
2
KPK maupun kejaksaan dalam hal penegakan hukum korupsi yang dikenal dengan
kasus cicak versus buaya.
Hal yang paling sering disorot dan menjadi fokus dalam kajian ini adalah
kinerja pengadilan atau sistem peradilan kita yang jauh dari memuaskan yang
berunjung kepada rasa kenyamanan dan kebahagiaan para pencari keadilan. Tetapi
sebetulnya, fokus keambrukan itu lebih luas daripada hanya di pengadilan.
Berdasarkan pengalaman di negara lain, fokus perhatan ingin diarahkan pada
konsep kita tentang keadilan dan apa yang perlu diperbaiki. Sejak hukum modern
memberi peluang besar terhadap berperannya faktor prosedur, atau formalitas, atau
tata cara dalam proses hukum, perburuan terhadap keadilan menjadi sangat rumit.
Indonesia dewasa ini berada di tengah-tengah krisis dan keterpurukan hukum.
Kerusakan dan kemerosotan dalam perburuan keadilan melalui hukum modern
disebabkan permainan prosedur, yang menyebabkan tmbulnya pertanyaan ”apakah
pengadilan itu tempat mencari keadilan atau kemenangan?
2
Lihat Ketentuan Pasal 130 HIR dan Pasal 145 RBg
3
Pembahasan
3
Inge Dwisvimiar, Keadilan Dalam Perspektif Filsafat Ilmu Hukum, jurnal dinamika Hukum, vol;
1, No. 3 September 2011.
4
hukum yang diambil pemerintah telah menimbulkan ketdakadilan bagi sebagian
tersangka/terdakwa serta masyarakat luas, bahkan tampak diskriminatif.
4
Inge Dwisvimiar, Ibid.
5
Ahmad Mujahidin, Peradilan Satu Atap di Indonesia, (Bandung: Refika Aditama, 2007), hlm. 45
6
Bagir Manan, ”Organisasi Peradilan di Indonesia”, dalam makalah Penataran Hukum
Administrasi Tahun 1997/1998, Pelaksanaan Program Kerjasama Hukum Indonesia-Belanda,
Penyelenggara Fak. Hukum Airlangga, Surabaya, 12 Februari, 1998, hlm. 2.
5
antara elit politk atau lebih berpihak kepada pemegang kekuasaan, tetapi lebih pada
bagaimana untuk mencegah dan menghindari setiap pelaksanaan kekuasaan
pemerintahan yang tidak adil dan demokrats.
6
dalam interprestasinya yang ekstrim, bahwa harus ada suatu isolasi yang total antara
ketga kekuasaan, telah lama ditnggalkan. Bagaimanapun juga dalam pengertan
luas, bahwa prinsip kekuasaan-kekuasaan itu harus ada dalam tangan yang berbeda-
beda dalam ”distnct hands”, tdak dalam satu tangan sehingga dapat diterima oleh
konsttusi-konsttusi modern. Dan salah satu maksud konsttusionalisme adalah,
bahwa pengadilan itu harus bebas dari pengawasan pengaruh dan campur-tangan
dari kekuasaan lain-lain.”7
7
Nanda Dewantara, Masalah Kebebasan Hakim Dalam Menangani Suatu Perkara Pidana. Cetakan
Kedua. (Jakarta: Aksara Persada Indonesia, 1987), hlm. 29
7
hakim dalam melaksanakan tugasnya dalam bidang peradilan. Hal tersebut diakui
oleh Yurisprudensi (vide putusan H.R, 3 Desember 1977). Konsekuensi atas tdak
dapatnya masyarakat menuntut atau menggugat ”perbuatan melawan hukum” pasal
1365 BW) dari seorang hakim yang telah ”memanfaatkan” perkara yang
diputusnya, maka selayaknyalah hakim ditundukkan secara tegas terhadap
ketentuan hukum yang mengikat dirinya dalam memeriksa dan memutus perkara.
Sifat kebebasan hakim itu merupakan suatu kebebasan yang diberi batas-batas oleh
undang-undang yang berlaku, sebab hakim diberi kebebasan hanya seluas dan
sejauh hakim dengan keputusannya itu untuk dapat mencapai suatu keadilan dalam
menyelesaikan suatu perkara; dan pada akhirnya, tujuan hakim diberi kebebasan itu
ialah untuk mencapai Negara Hukum Republik Indonesia.
8
sia-sia belaka. Reformasi badan peradilan di sini dimaksud mencakup perubahan-
perubahan agar lebih transparan dan mudah diawasi, agar integritas hakim benar-
benar terpelihara, dibarengi profesionalisme nurani untuk menghayat nilainilai
keadilan dalam penegakan hukum.8
Karena itu dalam sebuah peradilan banyak faktor faktor yang menghambat
kelancaran urusan dalam peradilan hukum, hal hal tersebut dapat merusak sistem
peradilan dan juga merusak kualitas hukum di negeri kita. Beberapa contoh
penghambat dalam sistem peradilan yang cukup serius adalah bobroknya mental
aparat penegak hukum, mulai dari polisi, panitera, jaksa hingga hakim. Bahkan data
terakhir yang dilansir Komisi Yudisial menyebutkan bahwa 2.440 hakim atau
sekitar 40% dari total 6.100 hakim dikategorikan bermasalah, yang pada akhirnya
membuat praktek hukum diwarnai judicial corruption. Selain sistem pengawasan
berbasis sistem, permasalahan mendasarnya justru karena tidak ada pengawasan
yang melekat dan berdimensi ruhiyah (rohani). Konsekwensi dari sistem hukum
8
Antonius Sujata, Reformasi Dalam Penegakan Hukum, (Jakarta: Djambatan, 2000), hlm. 264.
9
dan peradilan sekular yang menafikan keberadaan Allah mengakibatkan mereka
melakukan sesuatu tanpa memperhatikan benar-salah, baikburuk apalagi halal-
haram. Faktor faktor penghambat dapat dikurangi dengan membenahi moral para
hakim dan moral orang orang yang berpotensi melakukan tindakan suap kepada
hakim maupun karupsi. Faktor pendukung sangat diperlukan untuk keberhasilkan
pembangunan sistem peradilan yang jujur dan berwibawa, itu semua dapat
berpengaruh dalam keadilan dalam hukum dan demi kesejahteraan pengguna
peradilan untuk mendapatkan kebenaran yang sesuai. Faktor pendukung juga dapat
meningkatkan kualitas hukum di Negeri kita. Secara internal lembaga peradilan
harus didukung oleh hal-hal sebagai berikut :
1. Pengadilan harus bersih dari segala bentuk KKN, untuk itu diupayakan hal-
hal seperti :
a) membangun pribadi hakim yang berintegritas,
b) sistem kontrol yang baik,
c) fasilitas yang cukup, dan
d) intelektualitas hakim yang handal.
Secara eksternal harus didukung juga hal-hal sebagai berikut :
a. budaya yang baik dari masyarakat, yakni masyarakat harus patuh dan
hormat pada hukum, tidak berbuat dengan segala cara untuk
memenangkan perkara, dan masyarakat harus terbebas dari budaya suap
menyuap,
b. keberadaan lembaga peradilan harus mendapat dukungan politik yang
memadai seperti ketersediaan anggaran yang cukup, dan
c. dukungan sosial yang cukup untuk turut serta memecahkan masalah
bukan sekedar membicarakan masalah atau sekedar memajukan
tuntutan.
2. Lembaga peradilan, utamanya majelis hakim harus bebas dari segala bentuk
campur tangan dari suatu kekuasaan atau kekuatan sosial atau kekutan
politik yang menggiring suatu majelis hakim pada arah tertentu.
10
3. Membangun sikap hormat dan patuh pada pengadilan dan putusan majelis
hakim sebagai suatu bentuk keikutsertaan membangun pengadilan yang
berwibawa.
4. Sistem manajemen yang menjamin efisiensi, efektifitas, produktivitas,
putusan-putusan yang bermutu atau memberi kepuasan kepada yang
berperkara atau publik pada umumnya. Hal ini dapat dicapai dengan
membangun sumber daya yang bermutu, sistem manajemen yang baik,
dukungan dana yang cukup, dan berbagai prasarana dan sarana yang
memadai.
Atas hal tersebut hakim merupakan bagian terpenting dalam penegakan hukum
dan mencerminkan wajah peradilan secara keseluruhan, walaupun ada rekayasa
di Kepolisian, Kejaksaan ataupun tempat lain hakim dapat memahami dan
mengetahui itu semuanya sehingga kemudian dapat mengeluarkan produk
berupa putusan yang bermartabat dan kemudian dapat merebut kembali
kepercayaan publik terhadap dunia peradilan. Karena itu sebagai puncak
peradilan yang mengemban fungsi ganda dalam mewarnai pelaksanaan sistem
peradilan yang bersih dan bermartabat, Mahkamah Agung Republik Indonesia
memiliki Visi dan Misi yang telah dirumuskan dalam Cetak Biru dan Rencana
Strategis MARI 2010-2035 adalah sebagai berikut :
11
keluhuran sikap dan jiwa dalam melaksanakan tugas pokoknya
memutus perkara.9
9
(Tim MARI. 2010. Cetak Biru Pembaharuan Peradilan 2010-2035). 31
12
3. Kemandirian Fungsional. Setiap hakim wajib menjaga kemandirian
dalam menjalankan tugas dan fungsinya (Pasal 3 ayat (2) UU No.48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman). Artinya, seorang hakim
dalam memutus perkara harus didasarkan pada fakta dan dasar hukum
yang diketahui, serta bebas dari pengaruh, tekanan, atau ancaman, baik
langsung ataupun tak langsung, dari manapun dan dengan alasan apapun
juga.
4. Integritas dan kejujuran (Pasal 24A ayat (2) UUD 1945, Pasal 5 ayat (2)
UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman). Perilaku hakim
harus dapat menjadi teladan bagi masyarakatnya. Perilaku hakim yang
jujur dan adil dalam menjalankan tugasnya, akan menumbuhkan
kepercayaan masyarakat akan kredibilitas putusan yang kemudian
dibuatnya. Integritas dan kejujuran harus menjiwai pelaksanaan tugas
aparatur peradilan
5. Akuntabilitas (Pasal 52 dan Pasal 53 UU No.48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman). Hakim harus mampu melaksanakan tugasnya,
menjalankan kekuasaan kehakiman dengan profesional dan penuh
tanggung jawab. Hal ini antara lain diwujudkan dengan memperlakukan
pihak-pihak yang berperkara secara profesional, membuat putusan yang
didasari dengan dasar alasan yang memadai, serta usaha untuk selalu
mengikuti perkembangan masalah-masalah hukum aktual. Begitu pula
halnya dengan aparatur peradilan, tugas-tugas yang diemban juga harus
dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab dan profesional.
6. Responsibilitas (Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 5 UU No.48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman). Badan peradilan harus tanggap atas
kebutuhan pencari keadilan, serta berusaha mengatasi segala hambatan
dan rintangan untuk dapat mencapai peradilan yang sederhana,cepat,
dan biaya ringan. Selain itu, hakim juga harus menggali, mengikuti, dan
memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat.
13
7. Keterbukaan (Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, Pasal 13 dan Pasal 52 UU
No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman). Salah satu upaya
badan peradilan untuk menjamin adanya perlakuan sama di hadapan
hukum, perlindungan hukum, serta kepastian hukum yang adil, adalah
dengan memberikan akses kepada masyarakat untuk memperoleh
informasi. Informasi yang berkaitan dengan penanganan suatu perkara
dan kejelasan mengenai hukum yang berlaku dan penerapannya di
Indonesia.
8. Ketidakberpihakan (Pasal 4 ayat (1) UU No.48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman). Ketidakberpihakan merupakan syarat utama
terselenggaranya proses peradilan yang jujur, adil, dan berwibawa, serta
dihasilkannya suatu putusan yang mempertimbangkan
pendapat/kepentingan para pihak terkait. Untuk itu, aparatur peradilan
harus tidak berpihak dalam memperlakukan pihak-pihak yang
berperkara.
9. Perlakuan yang sama di hadapan hukum (Pasal 28D ayat (1) UUD 1945,
Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 52 UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman). Setiap warga Negara, khususnya pencari keadilan, berhak
mendapat perlakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang
adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.10
D. Penutup
Kesimpulan
10
Saharuddin Daming, PELUANG DAN TANTANGAN PERWUJUDAN SISTEM PERADILAN
YANG BERSIH DAN BERKUALITAS (YUSTISI Vol. 3 No. 2 September 2016). 51
14
yang senantasa dijadikan topik utama dalam setap penyelesaian masalah yang
berhubungan dengan penegakan hukum.
DAFTAR PUSAKA
Inge Dwisvimiar, Keadilan Dalam Perspektif Filsafat Ilmu Hukum, jurnal dinamika
Hukum, vol; 1, No. 3 September 2011.
15
Montesquieu, The Spirit of The Law, transleted by Thomas Nugent, (Newyork:
Hafner Press, 1949), hlm. 151. sebagaimana dalam Ahmad Mujahidin, Peradilan
Satu Atap di Indonesia, (Bandung: Refika Aditama, 2007).
16