Anda di halaman 1dari 17

ARTIKEL

SISITEM PERADILAN

Dosen pengampu:
Nahrowi, S.H., M.H.
Disusun Oleh:
Friska Saputra Redoansah (101220073)
Sofyan Nur Aziz (

HUKUM KELUARGA ISLAM


FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM PONOROGO
2022/2023

i
Mewujudkan Sistem Peradilan Di Indonesia Bagi Seluruh Masyarakat
Pencari Keadilan

Friska Saputra Redoansah, Sofyan Nur Aziz

Hukum Keluarga Islam, IAIN Ponorogo

Email: friska10092002@gmail.com,

Abstrak: Penegakan hukum di Indonesia tidak saling sinergi dalam mewujudkan


keadilan. Hal tersebut disebabkan karena posisi dan kedudukan lembaga hukum
dimana fungsi penyidikan dan penuntutan berada dibawah kekuasaan eksekutf,
sementara fungsi mengadili dan memutus berada di bawah kekuasaan Mahkamah
Agung, menyebabkan adanya kecenderungan untuk melindungi kepentngan
insttusinya masing-masing dibanding upaya penegakan hukum demi kepentngan
publik. Sehingga yang menjadi fokus dalam kajian ini adalah apakah peran hakim
dalam menjatuhkan putusan demi menegakkan hukum dan keadilan dapat
mewujudkan kedamaian bagi masyarakat pencari keadilan. Kajian ini hendak
dijawab dengan metode yuridis-flosofs melalui studi kepustakaan yaitu dengan
melakukan kajian secara teorits terhadap teori-teori keadilan dan dikaitkan dengan
implementasi penegakan hukum pada insttusi peradilan. Oleh karena itu perlu untuk
diperkuat insttusi pengadilan sebagai benteng terakhir pencari keadilan untuk
menghadirkan suasana dan perasaan damai bagi pencari keadilan.

Kata Kunci: peradilan, hukum, keadilan

Pendahuluan

Penegakan keadilan dalam kehidupan bermasyarakat memiliki arti pentng


dalam salah satu upaya membangun peradaban bangsa yang tinggi dan bermartabat.
Tidak akan maju peradaban dari suatu bangsa apabila tidak didasarkan atas peri
kehidupan berkeadilan. Keadilan adalah tujuan akhir dari sebuah sistem hukum,

1
yang terkait erat dengan fungsi sistem hukum sebagai sarana untuk
mendistribusikan dan memelihara suatu alokasi nilai-nilai dalam masyarakat, yang
ditanamkan dengan suatu pandangan kebenaran, yang secara umum merujuk
kepada keadilan.1

Terkadang hukum positf tidak sepenuhnya menjamin rasa keadilan, dan


sebaliknya rasa keadilan seringkali tidak memiliki kepastian hukum, sehingga
komprominya adalah bagaimana agar hukum positf yang ada selalu merupakan
cerminan dari rasa keadilan itu. Keadilan ini adalah hal yang paling mendasar bagi
bekerjanya suatu sistem hukum. Sistem hukum tersebut sesungguhnya merupakan
struktur atau kelengkapan saja untuk mencapai konsep keadilan yang telah
disepakat bersama.

Sistem hukum di mana pun di dunia ini, keadilan selalu menjadi objek
perburuan, khususnya melalui lembaga pengadilannya. Dari pengamatan terhadap
sistem hukum di dunia, hampir tdak ada negara yang benar-benar telah puas dengan
sistem hukum yang digunakannya. Oleh karena itu, perombakan, pembaruan atau
reform, dapat kita lihat terjadi dari waktu ke waktu di berbagai negara.

Sistem atau penyelenggaraan hukum di Indonesia dewasa ini dalam suasana


keambrukan. Antara satu subsistem dengan subsistem penegak hukum yang lain
tidak saling sinergi dalam menegakkan keadilan, faktor yang paling mendasar
adalah posisi dan kedudukan lembaga hukum dalam menegkan keadilan dalam
konteks menjalankan fungsi yudikatf berbeda antara satu subsistem dengan
susbsistem yang lain. Fungsi penyidikan dan penuntutan berada dibawah kekuasaan
eksekutif, sementara fungsi mengadili dan memutus berada di bawah kekuasaan
Mahkamah Agung. Sehingga berimplikasi pada penegakan hukum itu sendiri dalam
tataran praktis apabila penegakan hukum itu bersinggungan dengan kepentngan
masing-masing institusi, kepentngan untuk melindungi institusi lebih penting
ketimbang kepentingan untuk menegakkan hukum demi kepentingan publik.
Dalam contoh kasus yang pernah terjadi pada saat kontroversi antara polisi dan

1
Lawrence M.Friedman, The Legal System : A Social Science Perspective, Rusell Sage
Foundation, New York 1975, hlm 17-18.

2
KPK maupun kejaksaan dalam hal penegakan hukum korupsi yang dikenal dengan
kasus cicak versus buaya.

Hal yang paling sering disorot dan menjadi fokus dalam kajian ini adalah
kinerja pengadilan atau sistem peradilan kita yang jauh dari memuaskan yang
berunjung kepada rasa kenyamanan dan kebahagiaan para pencari keadilan. Tetapi
sebetulnya, fokus keambrukan itu lebih luas daripada hanya di pengadilan.
Berdasarkan pengalaman di negara lain, fokus perhatan ingin diarahkan pada
konsep kita tentang keadilan dan apa yang perlu diperbaiki. Sejak hukum modern
memberi peluang besar terhadap berperannya faktor prosedur, atau formalitas, atau
tata cara dalam proses hukum, perburuan terhadap keadilan menjadi sangat rumit.
Indonesia dewasa ini berada di tengah-tengah krisis dan keterpurukan hukum.
Kerusakan dan kemerosotan dalam perburuan keadilan melalui hukum modern
disebabkan permainan prosedur, yang menyebabkan tmbulnya pertanyaan ”apakah
pengadilan itu tempat mencari keadilan atau kemenangan?

Persepsi penegak hukum maupun masyarakat selama ini terhadap proses


penegakan hukum di Pengadilan adalah terkait atau berhubungan dengan menang-
kalah, sehingga pengadilan yang sesungguhnya memiliki peran mendamaikan.
2
Melalui penjatuhan putusan yang adil sulit untuk diwujudkan. Keadilan dan
kedamaian adalah dua hal yang saling berkaitan, bahkan boleh dikatakan ukuran
keadilan dalam penegakan hukum adalah bagaimana ekspresi dan respon
masyarakat terhadap penjatuhan vonis kedilan tersebut, sebab keadilan dalam
konteks penegakan hukum selama ini adalah atas dasar tafsiran dan persepsi
penegak hukum itu sendiri, baik dalam konteks penegakan hukum pubik (tuntutan
keadilan secara umum dalam konteks hubungan masyarakat dengan pemerintah)
maupun penegakan hukum secara perdata (antara orang perseorangan dengan orang
perseorangan yang lain dalam hubungan privat). Sehingga menjadi pertanyaan
apakah peran hakim dalam menjatuhkan putusan demi menegakkan hukum dan
keadilan dapat dapat mewujudkan kedamaian bagi masyarakat pencari keadilan?

2
Lihat Ketentuan Pasal 130 HIR dan Pasal 145 RBg

3
Pembahasan

A. Memaknai Keadilan dalam Penegakan Hukum

Makna keadilan telah menjadi pokok pembicaraan serta perdebatan secara


serius sejak awal munculnya flsafat Yunani, memiliki cakupan makna yang sangat
luas, mulai dari yang bersifat, religius, etk, flosofs, hukum, sampai pada makna
keadilan sosial. Dalam konteks hukum, pada prinsipnya keadilan merupakan hal
yang senantasa dijadikan topik utama dalam setap penyelesaian masalah yang
berhubungan dengan penegakan hukum. Banyaknya kasus hukum yang tdak
terselesaikan karena ditarik ke masalah politk. Kebenaran hukum dan keadilan
dimanipulasi dengan cara yang sistematk sehingga peradilan tdak menemukan
keadaan yang sebenarnya.3 Kebijaksanaan pemerintah tdak mampu membawa
hukum menjadi ”panglima” dalam menentukan keadilan, hukum justru diposisikan
sebagai alat kekuasaan. Atau bahkan hukum dan keadilan menjadi objek yang
mahal, hukum dan keadilan hanya dimiliki oleh orang-orang atau kelompok yang
memiliki modal dan mampu. Sebagai contoh dapat di telusuri beberapa kasus yang
menciderasi rasa keadilan masyarakat. Misalnya dalam kasus kasus nenek Minah
yang dituduh mencuri 3 (tga) buah kakao terpaksa diputus bersalah, dan dihukum
1,5 bulan penjara. Demikian juga dalam kasus-kasus yang lain sepert kasus,
Manisih dan Sri Suratmi yang divonis bersalah karena mengambil buah rando
senilai Rp 12.000,- dan kasus Surat sukarno dan kawan-kawan yang dituduh
menyalagunakan rumah dinas Perum Pegadaian.

Kasus-kasus tersebut di atas memperkuat argumen bahwa hukum dan


keadilan sesungguhnya tdak berpihak bagi kelompok yang lemah. Lain halnya
dengan beberapa kasus yang belakangan ini terjadi sepert kasus yang melibatkan
Gubernur DKI Basuki Cahaya Purnama, yang terindikasi terlibat dalam beberapa
kasus korupsi, sepert kasus Sumber Waras dan Transjakarta, namun hingga kini
tdak pernah ditndaklanjut oleh penegak hukum, demikian juga dalam kasus BLBI.
Kondisi ini menggambarkan bahwa kepastan hukum dan keadilan dalam kebijakan

3
Inge Dwisvimiar, Keadilan Dalam Perspektif Filsafat Ilmu Hukum, jurnal dinamika Hukum, vol;
1, No. 3 September 2011.

4
hukum yang diambil pemerintah telah menimbulkan ketdakadilan bagi sebagian
tersangka/terdakwa serta masyarakat luas, bahkan tampak diskriminatif.

Istlah keadilan senantasa dipertentangkan dengan istlah ketdakadilan. Di


mana ada konsep keadilan maka disitu pun ada konsep ketdakadilan. Biasanya
keduanya disandingkan dan dalam konteks kajian hukum ada banyak contoh
ketdakadilan yang merupakan anttesa dari keadilan dalam bidang hukum misalnya
di Indonesia, seperti: ketidakadilan terhadap rakyat kecil, ketidakadilan
pemberitaan, ketidakadilan dalam distribusi bantuan bagi masyarakat miskin,
ketidakadilan gender dalam masyarakat daerah, ketidakadilan dalam penegakan
hukum, dan sebagainya.4

B. Independensi Peradilan dalam Menegakkan keadilan

Independensi kekuasaan lembaga peradilan tdak dapat dipisahkan dari


perdebatan teoritk tentang pemisahan kekuasaan (separaion of powers),5 karena
pemisahan kekuasa dari cabang-cabang kekuaaan negara dimaksudkan untuk
menjamin adanya independensi keuasaan lemaga peradilan, sekaligus untuk
menjamin terlaksananya kebebasan politk (politcal liberty) anggota masyarakat
dalam negara. Adanya jaminan kekuasaan lembaga peradilan yang independen
merupakan suatu elemen pentng dari konsep negara hukum.6 Lembaga peradilan
memiliki peranan penting dalam implementasi konsep negara hukum saat proses
demokrasitsasi, terutama dalam kondisi transisi dari sistem politk yang otoriter ke
arah masyarakat yang demokrats, transparan, terlihat dari peran lembaga peradilan
dalam penyalahgunaan proses peradilan untuk kepentngan masyarakat, karena
peradilan merupakan institusi pelaksana konstitusi, perlindungan hak asasi dan
jaminan atas prosedur-prosedur yang adil dan demokrats untuk menjamin adanya
kepastian dan keadilan bagi setiap pencari keadilan. Dalam konteks yang ideal,
dalam menjalankan fungsinya peradilan, para hakim tidak hanya menengahi konfik

4
Inge Dwisvimiar, Ibid.
5
Ahmad Mujahidin, Peradilan Satu Atap di Indonesia, (Bandung: Refika Aditama, 2007), hlm. 45
6
Bagir Manan, ”Organisasi Peradilan di Indonesia”, dalam makalah Penataran Hukum
Administrasi Tahun 1997/1998, Pelaksanaan Program Kerjasama Hukum Indonesia-Belanda,
Penyelenggara Fak. Hukum Airlangga, Surabaya, 12 Februari, 1998, hlm. 2.

5
antara elit politk atau lebih berpihak kepada pemegang kekuasaan, tetapi lebih pada
bagaimana untuk mencegah dan menghindari setiap pelaksanaan kekuasaan
pemerintahan yang tidak adil dan demokrats.

Faktor kebebasan hakim sebagai syarat untuk terciptanya suatu putusan


pengadilan yang adil dan tidak memihak (impartal), selain memuat implikasi yang
berkaitan dengan undang-undang, juga memuat implikasi yang berkaitan dengan
dedikasi hakim itu sendiri. Dalam aspek jaminan undang-undang terhadap hakim
yang memeriksa dan memutus suatu perkara, adalah tergantung bagaimana
kemauan dan arah politk yang berlangsung di dalam suatu negara, sebagaimana
yang terjadi dengan pergeseran kekuasaan kehakiman di Indonesia. Tetapi aspek
dedikasi hakim dalam kebebasannya untuk memeriksa dan memutus suatu perkara,
akan sangat tergantung pada nilai atau kualitas moral dan etika sang hakim sendiri.
Artinya, jaminan kebebasan hakim yang diberikan oleh undang-undang tidak akan
menghasilkan citra keadilan dalam masyarakat apabila hakim menyalahgunakan
prinsip kebebasan tersebut di dalam memutuskan suatu perkara yang dihadapinya.
Dengan demikian, jelaslah bahwa konsep kebebasan hakim yang dianut di dalam
undang-undang tersebut adalah kebebasan hakim yang bertujuan untuk
menegakkan hukum dan keadilan, dan bukannya kebebasan hakim yang diarahkan
untuk menegakkan kekuasaan. Dengan kata lain, kebebasan hakim ialah untuk
menegakkan rule of law dan bukannya law of the ruler.

Menanggapi hakikat kebebasan hakim yang sudah diperdebatkan sejak awal


pembentukan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-
Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, Prof. Seno Adji memberikan jawaban
(respon) terhadap kritk-kritk yang disampaikan oleh beberapa ahli hukum, bahwa
Kebebasan Hakim baginya, bukan sekedar soal Trias Politca, bukanlah soal
”separaton des pouvoir”; ia bukanlah soal isolasi yang mutlak dan complete antara
suatu bagian dengan yang lain. Ia sekedar merupakan suatu ”distncton of powers”,
suatu division of powers antara kekuasaan-kekuasaan itu; ia menggambarkan dan
menentukan suatu area dengan lingkungan kewenangannya, yang tdak boleh
dilanggar atau dimasuki kekuasaan lain. Trias Politca dalam bentuk aslinya dan

6
dalam interprestasinya yang ekstrim, bahwa harus ada suatu isolasi yang total antara
ketga kekuasaan, telah lama ditnggalkan. Bagaimanapun juga dalam pengertan
luas, bahwa prinsip kekuasaan-kekuasaan itu harus ada dalam tangan yang berbeda-
beda dalam ”distnct hands”, tdak dalam satu tangan sehingga dapat diterima oleh
konsttusi-konsttusi modern. Dan salah satu maksud konsttusionalisme adalah,
bahwa pengadilan itu harus bebas dari pengawasan pengaruh dan campur-tangan
dari kekuasaan lain-lain.”7

Bila kita memperhatkan karakteristk dunia peradilan di Indonesia, ada dua


masalah pokok yang perlu mendapatkan perhatan, yaitu mengenai masalah
”kebebasan hakim” dan ”kekebalan hakim”, sebagai suatu masalah yang cukup
dilemats dalam penegakan hukum dan keadilan. Asumsi tentang kemungkinan
adanya korelasi antara kebebasan dan kekebalan hakim, bukan sesuatu yang
berlebihan apabila dikaitkan dengan citra dunia peradilan yang semakin buram dari
waktu ke waktu. Sebab, ketka hakim ternyata melakukan penyimpangan terhadap
perkara yang diputusnya, hakim dapat saja berkelit atau berlindung di balik makna
kebebasan hakim tersebut, sehingga hakim seakan-akan kebal terhadap tuntutan
hukum. Belum ada ketentuan atau undang-undang yang dapat menjerat perilaku
hakim yang sengaja ”bermain” hukum untuk memenangkan salah satu pihak
berperkara, dan disinilah akan teruji asas kebebasan dan kadar etka atau kualitas
moral seorang hakim. Bagaimana dampak kebebasan hakim menjadi sorotan dalam
kajian pertanggungjawaban hukum sang hakim terhadap kesalahan atau
penyimpangan yang dilakukannya, terlihat dari beberapa pendapat ahli hukum.
Dikalangan Ilmu Hukum kita mencatat pendapat beberapa Sarjana Hukum
sepertnya Meyers, L.A. Donker, B.M. Telders, J.R. Stelinga dan yang lainnya pada
umumnya berpendapat, bahwa apa yang tersebut dalam ketentuan pasal 1365 BW
tdaklah dapat diterapkan terhadap hakim yang salah dalam melaksanakan tugasnya
di dalam bidang peradilan. Sehingga dalam hal ini oleh Mahkamah Agung dapat
disimpulkan bahwa Negara tdak dapat dipertanggungjawabkan atas kesalahan

7
Nanda Dewantara, Masalah Kebebasan Hakim Dalam Menangani Suatu Perkara Pidana. Cetakan
Kedua. (Jakarta: Aksara Persada Indonesia, 1987), hlm. 29

7
hakim dalam melaksanakan tugasnya dalam bidang peradilan. Hal tersebut diakui
oleh Yurisprudensi (vide putusan H.R, 3 Desember 1977). Konsekuensi atas tdak
dapatnya masyarakat menuntut atau menggugat ”perbuatan melawan hukum” pasal
1365 BW) dari seorang hakim yang telah ”memanfaatkan” perkara yang
diputusnya, maka selayaknyalah hakim ditundukkan secara tegas terhadap
ketentuan hukum yang mengikat dirinya dalam memeriksa dan memutus perkara.
Sifat kebebasan hakim itu merupakan suatu kebebasan yang diberi batas-batas oleh
undang-undang yang berlaku, sebab hakim diberi kebebasan hanya seluas dan
sejauh hakim dengan keputusannya itu untuk dapat mencapai suatu keadilan dalam
menyelesaikan suatu perkara; dan pada akhirnya, tujuan hakim diberi kebebasan itu
ialah untuk mencapai Negara Hukum Republik Indonesia.

Dapatlah disimpulkan, bahwa independensi atau kebebasan Hakim bukan


kebebasan yang mutlak, melainkan ”kebebasan yang terikat/terbatas”. Di samping
keterikatan terhadap undang-undang (yang notabene masih debatable), keunikan
pertanggungjawaban hakim dalam sistem hukum di Indonesia adalah melalui apa
yang disebut dengan ”pertanggungjawaban religi”. Tugas hakim di Indonesia masih
dibebani syarat bathiniyah dalam menjalankan tugas keadilan oleh undang-undang,
yang karena sumpah jabatannya hakim tdak hanya bertanggungjawab kepada
hukum, kepada diri sendiri, dan kepada rakyat, akan tetapi juga bertanggungjawab
kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam undang-undang dirumuskan dengan
ketentuan bahwa peradilan dilakukan ”Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa”. Dapat diakui bahwa intervensi terhadap hakim tentu tdak berdiri
sendiri tanpa adanya faktor lain yang turut ambil bagian. Sebab, Mahkamah Agung
sebagai lembaga tnggi, juga bergerak di ruang yang tdak hampa politk dan ekonomi
tentu saja dapat dipengaruhi oleh kekuasaan lain, maupun dipengaruhi oleh
pengaruh-pengaruh politk dan uang. Tetapi bukan berart bahwa hal tersebut dapat
dijadikan alasan untuk adanya intervensi (eksternal dan internal) terhadap
kebebasan hakim. Hakim pada khususnya, dan lembaga peradilan pada umumnya,
diharapkan memiliki peran sentral dalam penegakan hukum ditengah terik ulur
kepentngan politk dan ekonomi. Karena itulah, reformasi hukum terutama
reformasi penegakan hukum, yang dilakukan tanpa reformasi badan peradilan akan

8
sia-sia belaka. Reformasi badan peradilan di sini dimaksud mencakup perubahan-
perubahan agar lebih transparan dan mudah diawasi, agar integritas hakim benar-
benar terpelihara, dibarengi profesionalisme nurani untuk menghayat nilainilai
keadilan dalam penegakan hukum.8

C. Faktor Penghambat Dan Pendorong Sistem Peradilan Yang Bersih Serta


Berkualitas

Jika berkaca dari berbagai pengalaman empiris maupun konsep teoretis


tentang pelaksanaan kekuasaan kehakiman yang bersih dan bermartabat, ada
beberapa faktor yang akan mempengaruhi penegakan hukum menurut Soerjono
Soekanto, yaitu :

1. Hukum atau peraturan itu sendiri.

2. Petugas yang menegakkan hukum.

3. Warga masyarakat yang terkena ruang lingkup peraturan hukum.

4. Kebudayaan atau legal cultur dan

5. Sarana atau fasilitas yang dapat diharapkan untuk mendukung pelaksanaan


hukum.

Karena itu dalam sebuah peradilan banyak faktor faktor yang menghambat
kelancaran urusan dalam peradilan hukum, hal hal tersebut dapat merusak sistem
peradilan dan juga merusak kualitas hukum di negeri kita. Beberapa contoh
penghambat dalam sistem peradilan yang cukup serius adalah bobroknya mental
aparat penegak hukum, mulai dari polisi, panitera, jaksa hingga hakim. Bahkan data
terakhir yang dilansir Komisi Yudisial menyebutkan bahwa 2.440 hakim atau
sekitar 40% dari total 6.100 hakim dikategorikan bermasalah, yang pada akhirnya
membuat praktek hukum diwarnai judicial corruption. Selain sistem pengawasan
berbasis sistem, permasalahan mendasarnya justru karena tidak ada pengawasan
yang melekat dan berdimensi ruhiyah (rohani). Konsekwensi dari sistem hukum

8
Antonius Sujata, Reformasi Dalam Penegakan Hukum, (Jakarta: Djambatan, 2000), hlm. 264.

9
dan peradilan sekular yang menafikan keberadaan Allah mengakibatkan mereka
melakukan sesuatu tanpa memperhatikan benar-salah, baikburuk apalagi halal-
haram. Faktor faktor penghambat dapat dikurangi dengan membenahi moral para
hakim dan moral orang orang yang berpotensi melakukan tindakan suap kepada
hakim maupun karupsi. Faktor pendukung sangat diperlukan untuk keberhasilkan
pembangunan sistem peradilan yang jujur dan berwibawa, itu semua dapat
berpengaruh dalam keadilan dalam hukum dan demi kesejahteraan pengguna
peradilan untuk mendapatkan kebenaran yang sesuai. Faktor pendukung juga dapat
meningkatkan kualitas hukum di Negeri kita. Secara internal lembaga peradilan
harus didukung oleh hal-hal sebagai berikut :

1. Pengadilan harus bersih dari segala bentuk KKN, untuk itu diupayakan hal-
hal seperti :
a) membangun pribadi hakim yang berintegritas,
b) sistem kontrol yang baik,
c) fasilitas yang cukup, dan
d) intelektualitas hakim yang handal.
Secara eksternal harus didukung juga hal-hal sebagai berikut :
a. budaya yang baik dari masyarakat, yakni masyarakat harus patuh dan
hormat pada hukum, tidak berbuat dengan segala cara untuk
memenangkan perkara, dan masyarakat harus terbebas dari budaya suap
menyuap,
b. keberadaan lembaga peradilan harus mendapat dukungan politik yang
memadai seperti ketersediaan anggaran yang cukup, dan
c. dukungan sosial yang cukup untuk turut serta memecahkan masalah
bukan sekedar membicarakan masalah atau sekedar memajukan
tuntutan.
2. Lembaga peradilan, utamanya majelis hakim harus bebas dari segala bentuk
campur tangan dari suatu kekuasaan atau kekuatan sosial atau kekutan
politik yang menggiring suatu majelis hakim pada arah tertentu.

10
3. Membangun sikap hormat dan patuh pada pengadilan dan putusan majelis
hakim sebagai suatu bentuk keikutsertaan membangun pengadilan yang
berwibawa.
4. Sistem manajemen yang menjamin efisiensi, efektifitas, produktivitas,
putusan-putusan yang bermutu atau memberi kepuasan kepada yang
berperkara atau publik pada umumnya. Hal ini dapat dicapai dengan
membangun sumber daya yang bermutu, sistem manajemen yang baik,
dukungan dana yang cukup, dan berbagai prasarana dan sarana yang
memadai.

Atas hal tersebut hakim merupakan bagian terpenting dalam penegakan hukum
dan mencerminkan wajah peradilan secara keseluruhan, walaupun ada rekayasa
di Kepolisian, Kejaksaan ataupun tempat lain hakim dapat memahami dan
mengetahui itu semuanya sehingga kemudian dapat mengeluarkan produk
berupa putusan yang bermartabat dan kemudian dapat merebut kembali
kepercayaan publik terhadap dunia peradilan. Karena itu sebagai puncak
peradilan yang mengemban fungsi ganda dalam mewarnai pelaksanaan sistem
peradilan yang bersih dan bermartabat, Mahkamah Agung Republik Indonesia
memiliki Visi dan Misi yang telah dirumuskan dalam Cetak Biru dan Rencana
Strategis MARI 2010-2035 adalah sebagai berikut :

1. Visi yaitu terwujudnya Badan Peradilan Indonesia yang Agung, dengan


rincian yang terkandung dalam visi tersebut adalah :
a. Bahwa peradilan menunjukkan lembaga Mahkamah Agung dan
badan peradilan dibawahnya.
b. Indonesia menunjukkan lokasi keberadaan Mahkamah Agung.
c. Agung menunjukkan keadaan/sifat kehormatan, kebenaran,
kemuliaan, keluhuran.

Jadi yang ingin dicapai melalui visi ini adalah menjadikan


Mahkamah Agung dan lembaga peradilan dibawahnya sebagai
lembaga peradilan yang dihormati, yang dikelola dan diawasi oleh
hakim dan pegawai yang memiliki kemuliaan, kebesaran dan

11
keluhuran sikap dan jiwa dalam melaksanakan tugas pokoknya
memutus perkara.9

2. Misi Mahkamah Agung untuk memperjelas upaya pencapaian


keberhasilan visi tersebut, telah dirumuskan 4 misi sebagai fokus
program kerjanya: a). Menjaga kemandirian lembaga peradilan. b).
Memberikan pelayanan hukum yang berkeadilan. c). Meningkatkan
kualitas kepemimpinan badan peradilan. d). meningkatkan kredibilitas
dan transparansi badan peradilan.

Untuk dapat mengevaluasi keberhasilan dari 4 misi tersebut digunakan n


Area of Court Excellence sebagai instrumen penyusunan keberhasilan yang
meliputi : a). Manajemen dan kepemimpinan badan peradilan. b). Kebijakan
peradilan. c). Sumber daya manusia, materiil dan kekayaan. d). Proses
peradilan/pengadilan. e). Pemenuhan kebutuhan dan kepuasan para pencari
keadilan. Melalui parameter ini, pengukuran keberhasilan ada pada :
a).Pemenuhan kebutuhan dan kepuasan para pencari keadilan. b).
Keterjangkauan pelayanan badan peradilan. c). Kepercayaan publik.
Artinya Mahkamah Agung dan badan peradilan mencapai tujuannya bila :
a). Pencari keadilan terpenuhi kebutuhan dan kepuasannya. b).Pencari
keadilan dapat menjangkau badan peradilan. Berdasarkan visi dan misi di
atas, dikembangkanlah nilai-nilai utama badan peradilan. Nilai-nilai inilah
yang akan menjadi dasar perilaku seluruh warga badan peradilan dalam
upaya mencapai visinya. Pelaksanaan dari nilai-nilai pada akhirnya akan
membentuk budaya badan peradilan. Nilai-nilai yang dimaksud, adalah :

1. Kemandirian kekuasaan kehakiman (Pasal 24 ayat (1) UUD 1945).


2. Kemandirian Institusional. Badan Peradilan adalah lembaga mandiri
dan harus bebas dari intervensi oleh pihak lain di luar kekuasaan
kehakiman (Pasal 3 ayat (2) UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman).

9
(Tim MARI. 2010. Cetak Biru Pembaharuan Peradilan 2010-2035). 31

12
3. Kemandirian Fungsional. Setiap hakim wajib menjaga kemandirian
dalam menjalankan tugas dan fungsinya (Pasal 3 ayat (2) UU No.48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman). Artinya, seorang hakim
dalam memutus perkara harus didasarkan pada fakta dan dasar hukum
yang diketahui, serta bebas dari pengaruh, tekanan, atau ancaman, baik
langsung ataupun tak langsung, dari manapun dan dengan alasan apapun
juga.
4. Integritas dan kejujuran (Pasal 24A ayat (2) UUD 1945, Pasal 5 ayat (2)
UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman). Perilaku hakim
harus dapat menjadi teladan bagi masyarakatnya. Perilaku hakim yang
jujur dan adil dalam menjalankan tugasnya, akan menumbuhkan
kepercayaan masyarakat akan kredibilitas putusan yang kemudian
dibuatnya. Integritas dan kejujuran harus menjiwai pelaksanaan tugas
aparatur peradilan
5. Akuntabilitas (Pasal 52 dan Pasal 53 UU No.48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman). Hakim harus mampu melaksanakan tugasnya,
menjalankan kekuasaan kehakiman dengan profesional dan penuh
tanggung jawab. Hal ini antara lain diwujudkan dengan memperlakukan
pihak-pihak yang berperkara secara profesional, membuat putusan yang
didasari dengan dasar alasan yang memadai, serta usaha untuk selalu
mengikuti perkembangan masalah-masalah hukum aktual. Begitu pula
halnya dengan aparatur peradilan, tugas-tugas yang diemban juga harus
dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab dan profesional.
6. Responsibilitas (Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 5 UU No.48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman). Badan peradilan harus tanggap atas
kebutuhan pencari keadilan, serta berusaha mengatasi segala hambatan
dan rintangan untuk dapat mencapai peradilan yang sederhana,cepat,
dan biaya ringan. Selain itu, hakim juga harus menggali, mengikuti, dan
memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat.

13
7. Keterbukaan (Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, Pasal 13 dan Pasal 52 UU
No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman). Salah satu upaya
badan peradilan untuk menjamin adanya perlakuan sama di hadapan
hukum, perlindungan hukum, serta kepastian hukum yang adil, adalah
dengan memberikan akses kepada masyarakat untuk memperoleh
informasi. Informasi yang berkaitan dengan penanganan suatu perkara
dan kejelasan mengenai hukum yang berlaku dan penerapannya di
Indonesia.
8. Ketidakberpihakan (Pasal 4 ayat (1) UU No.48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman). Ketidakberpihakan merupakan syarat utama
terselenggaranya proses peradilan yang jujur, adil, dan berwibawa, serta
dihasilkannya suatu putusan yang mempertimbangkan
pendapat/kepentingan para pihak terkait. Untuk itu, aparatur peradilan
harus tidak berpihak dalam memperlakukan pihak-pihak yang
berperkara.
9. Perlakuan yang sama di hadapan hukum (Pasal 28D ayat (1) UUD 1945,
Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 52 UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman). Setiap warga Negara, khususnya pencari keadilan, berhak
mendapat perlakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang
adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.10

D. Penutup

Kesimpulan

Makna keadilan telah menjadi pokok pembicaraan serta perdebatan secara


serius sejak awal munculnya flsafat Yunani, memiliki cakupan makna yang sangat
luas, mulai dari yang bersifat, religius, etk, flosofs, hukum, sampai pada makna
keadilan sosial. Dalam konteks hukum, pada prinsipnya keadilan merupakan hal

10
Saharuddin Daming, PELUANG DAN TANTANGAN PERWUJUDAN SISTEM PERADILAN
YANG BERSIH DAN BERKUALITAS (YUSTISI Vol. 3 No. 2 September 2016). 51

14
yang senantasa dijadikan topik utama dalam setap penyelesaian masalah yang
berhubungan dengan penegakan hukum.

Lembaga peradilan memiliki peranan penting dalam implementasi konsep


negara hukum saat proses demokrasitsasi, terutama dalam kondisi transisi dari
sistem politk yang otoriter ke arah masyarakat yang demokrats, transparan, terlihat
dari peran lembaga peradilan dalam penyalahgunaan proses peradilan untuk
kepentngan masyarakat, karena peradilan merupakan institusi pelaksana konstitusi,
perlindungan hak asasi dan jaminan atas prosedur-prosedur yang adil dan
demokrats untuk menjamin adanya kepastian dan keadilan bagi setiap pencari
keadilan. Kebebasan hakim yang dianut di dalam undang-undang tersebut adalah
kebebasan hakim yang bertujuan untuk menegakkan hukum dan keadilan, dan
bukannya kebebasan hakim yang diarahkan untuk menegakkan kekuasaan. Dengan
kata lain, kebebasan hakim ialah untuk menegakkan rule of law dan bukannya law
of the ruler.

DAFTAR PUSAKA

Inge Dwisvimiar, Keadilan Dalam Perspektif Filsafat Ilmu Hukum, jurnal dinamika
Hukum, vol; 1, No. 3 September 2011.

Inge Dwisvimiar, Ibid.

15
Montesquieu, The Spirit of The Law, transleted by Thomas Nugent, (Newyork:
Hafner Press, 1949), hlm. 151. sebagaimana dalam Ahmad Mujahidin, Peradilan
Satu Atap di Indonesia, (Bandung: Refika Aditama, 2007).

Bagir Manan, ”Organisasi Peradilan di Indonesia”, dalam makalah Penataran


Hukum Administrasi Tahun 1997/1998, Pelaksanaan Program Kerjasama Hukum
Indonesia-Belanda, Penyelenggara Fak. Hukum Airlangga, Surabaya, 12 Februari,
1998.

Nanda Dewantara, Masalah Kebebasan Hakim Dalam Menangani Suatu Perkara


Pidana. Cetakan Kedua. (Jakarta: Aksara Persada Indonesia, 1987.

Tim MARI. 2010. Cetak Biru Pembaharuan Peradilan 2010-2035.

16

Anda mungkin juga menyukai