Anda di halaman 1dari 14

PLURARILSME HUKUM DI INDONESIA DALAM RUANG LINGKUP

TERHADAP EKSISTENSI HUKUM NASIONAL, HUKUM ADAT, DAN


HUKUM ISLAM

Disusun untuk Memenuhi Ujian Akhir Semester Mata Kuliah Filsafat Hukum
yang Diampu oleh Prof. Dr.Muchamad Ali Safa’at, S.H., M.H..

Oleh :

Nama : Jacki Mahendra


NIM : 236010200111023
Mata Kuliah : Filsafat Hukum
Kelas :A

PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER KENOTARIATAN


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2023
Abstrak

Pluralisme hukum bukanlah konsep baru yang muncul dalam sistem hukum
modern, melainkan sebuah pendekatan menganalisa bekerjanya berbagai sistem
hukum secara berdampingan dalam sistem pemerintahan negara bangsa. Hukum
dalam arti syariah mengandung konsep normatif berlaku universal-sentralistik,
sedangkan hukum dalam arti fikih memiliki aspek kognitif bersifat lokal sebagai
manifestasi dari ajaran pluralistik. Hasil penelitian Kajian ini bersifat normatif
yang menunjukkan pluralisme hukum tidak melahirkan nalar konflik, tetapi
mengedepankan nalar dialogis sebagai upaya mengharmonisasikan keragaman
sistem hukum dalam satu kesatuan ilahi, yaitu prinsip syariah atau konstitusi.
Disamping itu, pluralisme hukum menjadi instrumen pembentukan kesadaran
hukum masyarakat dan penguasa untuk mewujudkan konsep civil society yang
selama ini masih didominasi oleh hukum negara berorientasi pada prinsip
keseragaman hukum melalui semangat integritas bangsa. sebuah kondisi yang
menjadi konsekuensi atas pilihan hukum masyarakat yang memiliki keragaman
budaya, suku, adat istiadat serta agama. Kondisi ini menciptakan adanya pilihan
norma hukum yang digunakan selain hukum nasional yang ditetapkan negara.
Filosofinya adalah menemukan dan memperoleh tatanan hukum yang paling
sesuai dan memberikan keadilan bagi masyarakat. Konsep ini sejalan dengan
hakikat hukum progresif yang mengarah pada sebuah sistem hukum yang dinamis
dan berproses mengikuti dinamika masyarakat sehingga responsif terhadap
kebutuhan dan cita keadilan dalam masyarakat. Dengan menempatkan hukum
masyarakat sebagai pelengkap hukum negara, maka peluang negara untuk
merespon setiap dinamika dalam masyarakat secara cepat dapat dilakukan
sehingga terwujud hukum progresif dan responsif.

Kata kunci : pluralisme hukum, eksistensi hukum nasional, hukum adat, hukum

Islam
A. Pendahuluan
Pluralisme adalah pandangan atau gagasan yang membenaran bahwa
adanya banyak sifat ataupun karakter yang berbeda-beda didalam masyarakat.
Adanya heterogenitas atau perbedaan-perbedaan pada moralitas yang manusia
miliki menjadi penghargaan atas semangat pluralisme. Semangat Pluralisme
sangat penting untuk ditanamkan di Indonesia karena banyak pulau, adat istiadat,
agama, dan kebudayaan yang dimilik oleh Indonesia. 1Pemahaman keberadaan
mengenai perbedaan mekanisme-mekanisme hukum di masyarakat Indonesia.
Hadirnya pluralisme hukum sebagai evaluasi untuk membantu memperbaiki
sentralisme dan positivisme dalam penerapan hukum. Hukum pidana,
keperdataan, internasional, tata negara, adat, islam, dan hukum lainya adalah
bentuk contoh dari plurailsme hukum. Terdapat beberapa pemahaman mengenai
pluralisme hukum, pertama, menjelaskan bekerjanya berbagai sistem atau relasi
hukum pada masyarakat. Kedua persaingan dan mpenyesuaian sistem hukum,
ketiga pemanfaatan hukum saat terjadinya konflik di masyarakat, sedikit ketiga
pemahaman tersebut menjadi pandangan bahwa bukti hadirnya pluraisme hukum
di kehidupan masyarakat.
Pluralisme hukum di Indonesia adalah pemahaman mengenai keberadaan
mekanisme-mekanisme hukum yang berbeda yang ada di masyarakat di
Indonesia. Pluralisme hukum di Indonesia ini berupa hukum Keperdataan, hukum
Pidana, hukum Adat, hukum Tata Negara, hukum Administrasi Negara, hukum
Internasional serta hukum-hukum lainnya. Secara sederhana, pluralisme hukum
hadir sebagai kritikan terhadap sentralisme dan positivisme dalam penerapan
hukum kepada rakyat. Terdapat beberapa jalan dalam memahami pluralisme
hukum. Pertama, pluralisme hukum menjelaskan relasi berbagai sistem hukum
yang bekerja dalam masyarakat. Kedua, pluralisme hukum memetakan berbagai
hukum yang ada dalam suatu bidang sosial. Ketiga, menjelaskan relasi, adaptasi,
dan kompetisi antar sistem hukum. Ketiga, pluralisme hukum memperlihatkan
pilihan warga memanfaatkan hukum tertentu ketika berkonflik. Dari tiga cara
pandang tersebut dan masih banyak cara pandang lainnya, secara ringkas kita bisa
katakan bahwa pluralisme hukum adalah kenyataan dalam kehidupan masyarakat.
Aliran pluralisme hukum atau “legal pluralism theory” dalam Bahasa Inggris dan
“theorie van het rechtspluralisme” dalam Bahasa Belanda ini pada dasarnya
menentang pemikiran sentralisme hukum, dimana sentralisme hukum memandang
bahwa hukum adalah tunggal, serta bersumber dari undang-undang yang bersifat
memaksa, eksklusif, hirarkis, sistematis dan berlaku seragam, tanpa dipengaruhi
oleh elemen-elemen lain dan tidak mengakui eksistensi hukum lain di luar hukum
nasional. Namun, pada kenyataannya, sentralisme hukum atau “legal centralism”
tidak dapat semata-mata selalu diaplikasikan pada suatu komunitas hukum,
terutama dalam suatu keadaan yang majemuk. Dalam mengkaji pluralisme
hukum, relasi serta konsekuensi dari berbagai hukum yang beragam tersebut
menjadi elemen utama, tidak semata-mata terfokus pada keanekaragaman yang
terjadi, namun pada kenyataan bahwa eksistensinya memiliki peluang untuk
saling tumpang tindih hingga menciptakan suatu ketidakpastian, maupun menjadi
peluang dengan keanekaragamannya untuk mencapai keadilan dan tujuan yang
beragam sesuai dengan realitas sosial di dalam masyarakat yang heterogen.19
Pada realitanya dalam suatu komunitas masyarakat, Griffiths mengklasifikasikan
pluralisme hukum menjadi pluralisme lemah atau ‘weak legal pluralism’ dan
pluralism kuat atau ‘strong legal pluralism’1. Keadaan pluralisme dalam hukum
dapat diidentifikasinkan sebagai lemah apabila suatu pemerintahan dalam suatu
negara mengakui adanya sistem-sistem atau entitas hukum lain di luar hukum
negara tetapi keberlakuannya tetap harus tunduk di bawah hukum negara.
Sebaliknya, pluralisme hukum dapat diidentifikasikan sebagai pluralisme hukum
yang kuat apabila keberlakuan hukum tersebut sama kuatnya dengan hukum
2
negara. Adapun pluralisme hukum yang lemah dapat dikatakan merupakan
wujud lain dari sentralisme hukum, dimana meskipun suatu negara mengakui
pluralisme, namun hukum negara tetap dianggap superior dan hukum-hukum yang
lain disatukan di bawah batasan undang-undang negara. Adapun dalam strong
legal pluralism, semua sistem hukum yang ada dianggap setara dalam masyarakat,

1
Marcus Colchester & Sophie Chao, 2012, Beragam Jalur Menuju Keadilan: Pluralisme hukum dan
hak-hak masyarakat adat di Asia Tenggara, Epistema Intitute, Jakarta, hal xi mengutip Brian Z.
Tamanaha, 2008, “Understanding Legal Pluralism : Past to Present, Local to Global”, Sydney Law
Review.
2
Zainal Arifin Mochtar & Eddy O.S. Hiariej, 2021, Dasar - Dasar Ilmu Hukum., Red & White
Publishing, Jakarta,
layaknya tidak ada hierarki yang menunujukan bahwa satu sistem hukum lebih
unggul dari yang lain.

B. PEMBAHASAN
Pluralisme Hukum di Indonesia dalam Hukum Nasional, Hukum Keluarga,
dan Hukum Adat

Pluralisme hukum di Indonesia mencerminkan keberadaan dan penggunaan


hukum dalam sejarah Indonesia, di mana hukum pertengahan abad ke-17 dikenal
sebagai hukum kolonial Belanda di Indonesia. Pada tahun 1942, setelah
kemerdekaan Republik Indonesia, stasiun pemerintahan pada masa pembelajaran
memutuskan bahwa Indonesia akan dikenal sebagai negara maju yang menganut
hukum romawi, tetapi demokrasi, atau republik. Dalam konteks ini, pluralisme
hukum di Indonesia menjadi perhatian karena mempengaruhi berbagai aspek
masyarakat dan politik. Perkembangan pluralisme hukum dalam gerakan
perubahan hukum muncul melalui advokasi-advokasi terhadap masyarakat adat.
Dalam konteks ini, pluralisme hukum dipakai untuk membela tanah-tanah
masyarakat yang diambil paksa oleh negara atau pelaku swasta (Simarmata,
2005). Hukum adat ditampilkan sebagai lawan dari hukum negara yang memberi
keabsahan perampasan-perampasan tanah adat. Lagi pula, dalam UUPA ada
peluang melalui aturan yang mengakui keberadaan tanah-tanah adat (ulayat).
Singkatnya, konsep pluralisme hukum dipakai untuk mengangkat kembali
keberadaan hukum adat, dalam upaya untuk melindungi sumber daya alam yang
dimiliki masyarakat adat dari perampasan-perampasan yang diabsahkan hukum
negara.
Pluralisme hukum juga dipakai untuk mendorong pengakuan keberadaan
masyarakat adat oleh negara. Salah satu keberhasilan gerakan ini adalah
menggolkan aturan mengenai pengakuan dan penghormatan kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat hak-hak tradisionalnya dalam Pasal 18B UUD 1945 pada
amandemen kedua tahun 2000. Selain itu, kemunculan TAP MPR Nomor IX/2001
tentang Pembaharuan Agraria, yang di dalamnya diatur juga tentang masyarakat
adat, juga tidak terlepas dari pengaruh pluralisme hukum. Sejak munculnya aturan
ini, hampir semua produk hukum negara yang berkaitan dengan sumber daya alam
memuat aturan mengenai masyarakat adat ini.
Di tataran praktis, gerakan untuk mendorong pengakuan masyarakat adat
semakin masih dilakukan aktivis-aktivis pro-masyarakat adat. Di antaranya
dengan melakukan pemetaan wilayah-wilayah adat di sejumlah tempat dan
pendokumentasian hukum-hukum adat. Karena, dua hal inilah yang menjadi
syarat utama untuk diakuinya keberadaan masyarakat adat. Selain itu, gerakan ini
juga mendorong pemerintah-pemerintah daerah mengakui masyarakat adat
melalui pembentukan sejumlah regulasi daerah. Di sisi lain, pemberlakuan
otonomi daerah juga semakin memberi angin segar untuk gerakan ini.
Lebih jauh lagi, gerakan penggiat pluralisme hukum juga mencoba merambah
ranah penyelesaian sengketa, yaitu dengan mendorong adanya pengakuan
terhadap lembaga-lembaga penyelesaian hukum adat (peradilan adat). Hal ini
dianggap sebagai salah satu jawaban terhadap situasi lembaga penyelesaian
sengketa negara (pengadilan) yang bobrok, yang dinilai tidak dapat memberikan
keadilan substantif. Gerakan ini intinya menawarkan untuk membiarkan
masyarakat menyelesaikan persoalannya sendiri melalui peradilan adat tanpa
melalui melibatkan pengadilan.

1. Hukum Nasional

Hukum nasional dalam konteks pluralisme hukum di Indonesia menegaskan


bahwa masyarakat memiliki cara berhukumnya sendiri yang sesuai dengan rasa
keadilan dan kebutuhan mereka. Dalam praktiknya, konsep pluralisme hukum
juga mencerminkan relasi, adaptasi, dan kompetisi antar sistem hukum, serta
menunjukkan bahwa masyarakat memilih hukum tertentu ketika berkonflik.
Pluralisme hukum juga dapat digunakan untuk mencapai penyelesaian sengketa
dan memenuhi rasa keadilan masyarakat. Pembangunan sistem hukum nasional di
Indonesia merupakan sebuah pekerjaan yang berat di tengah keragaman budaya
serta karakteristik masyarakat. Variabel hukum dan masyarakat memiliki
keterikatan yang tidak dapat dipisahkan. Hukum dibentuk berfungsi untuk
mengatur dan menciptakan ketertiban dalam masyarakat, demikian pula
sebaliknya bahwa masyarakat memilih dan melegitimasi hukum yang sesuai
dengan cita hukumnya untuk dapat digunakan mengatur pola kehidupannya. Pola
hubungan timbal balik dan ketergantungan ini pada satu sisi dapat selaras dengan
maksud pemerintahan yang berdaulat yang terwujud melalui hukum formal
negara. Namun pada kondisi yang lain, hukum nasional dianggap kurang sesuai
oleh masyarakat sehingga menggunakan pilihan hukum lain. Situasi dimana
terdapat suatu bidang kehidupan atau urusan yang sama dapat berlaku berbagai
norma dari hukum yang berbeda diartikan sebagai kondisi pluralisme hukum
(Myrna A, Safitri 2011, 1). Norma yang berlaku dapat berasal dari hukum adat,
hukum perdata (barat), hukum agama, dan sistem hukum lainnya.
Pluralisme hukum pada hukum nasional memberikan peluang dan
kemungkinan bagi masyarakat untuk memilih dan menggunakan hukum agraria
yang paling sesuai dengan memberikan keadilan. Contoh yang paling sering
muncul adalah pilihan masyarakat dalam menggunakan hukum waris dalam
keluarga. Para pihak dapat menggunakan hukum waris menurut hukum barat,
hukum adat, maupun menurut hukum agama yaitu Islam. Terhadap pilihan hukum
ini, negara mengakui dan memberikan perlindungan terhadapnya. Contoh lain,
adalah dalam model pengelolaaan tanah adat pada masyarakat , dikenalnya
lembaga desa pakraman dan desa dinas yang memiliki yurisdiksi kewenangan
masing-masing. Negara melegitimasi kewenangan yang ada dan mengakomodir
dalam pengaturan pada tataran hukum nasional melalui penetapan peraturan
daerahnya.3 Kedua contoh tersebut menjadi gambaran bahwa hukum adat sebagai
pelengkap/komplemen hukum nasional memungkinkan bagi negara untuk
melakukan penyesuaian dan perubahan hukum nasional mengikuti perkembangan
zaman dan masyarakat dengan mengakomodir hukum adat/hukum masyarakat
yang ada. Fleksibilitas dan keluwesan hukum ini dimungkinkan dengan kondisi
hukum yang plural. Patrick McAusland dalam Warman menyebutkan hubungan
hukum adat dan hukum nasional melalui beberapa tahapan di antaranya
acquisition, destruction, reconstruction, substitution, dan integration (Kurnia
Warman 2009, 90-92). Pengaturan konversi UUPA yang memberikan pengaturan
tentang hak-hak atas tanah masyarakat hukum adat menunjukkan fase
3
Dwisvimiar, I, “Keadilan Dalam Perspektif Filsafat Ilmu Hukum”, Jurnal Dinamika Hukum, Vol, 11
No, 3 September 2011
substitution.4 Perlahan namun pasti, karakteristik pluralisme hukum yang
mempromosikan hukum masyarakat ini semakin menguat, namun yang perlu
diperhatikan bahwa pluralisme hukum harus bersifat positif dan ditujukan untuk
pembangunan hukum nasional. Sehingga di masa mendatang, hukum adat/hukum
masyarakat benar-benar memiliki kedudukan dan peran dalam memberikan
kontribusi merespons tuntutan zaman dengan tetap berlandaskan pada nilai-nilai
kearifan lokal dan filosofis kepribadian bangsa yang komunalistik dan religius,
serta mengutamakan nilai-nilai pancasila.5
Beranjak dari kondisi tersebut, muncul pertanyaan apakah yang dapat
dilakukan untuk mendamaikan kedua hukum tersebut atau setidaknya
mempersempit kesenjangan diantara kedua hukum itu. Menjawab pertanyaan
tersebut, berbagai upaya telah dilakukan bahkan sejak masa kolonial, secara
substansi hukum negara mengakui keragaman hukum yang hidup dalam
keseharian masyarakat, dan secara strategi pembangunan hukum, negara harus
menitikberatkan pengenalan hukum pada masyarakat ketimbang memaksakan
keberlakuan hukum negara tersebut. Dalam konteks ini lah, pendekatan pluralisme
hukum dalam pembentukan hukum nasional dan pengenalan hukum menjadi amat
penting.

2. Eksistensi Harmonisasi Pluralisme Hukum adat dan Hukum Islam Di


Indonesia

Pluralisme hukum di Indonesia mulai disadari sejak masa pemerintahan


Hindia Belanda. Fakta masyarakat pribumi yang mempraktikkan beragam hukum,
menuntut pemerintahan Hindia Belanda untuk memberlakukan hukum yang sama
bagi semua masyarkat Pribumi. Isu mengenai kebijakan pemerintahan Hindia
Belanda untuk memberlakukan satu hukum yang tepat bagi masyarakat pribumi,
mendorong beberapa Ahli untuk mencari formulasi hukum yang tepat bagi
masyarakat Pribumi. Dari sinilah muncul berbagai diskusi mengenai hukum Adat
dan Islam, baik diskusi verbal maupun bentuk tulisan. Diskusi para ahli ini
4
Ali, Z 2006, Filsafat Hukum, Sinar Grafika, Jakarta
5
af itri, MA 2011, Bersikap Kritis Terhadap Pluralisme Hukum dalam “Untuk Apa Pluralisme Hukum?
Regulasi, Negosiasi, dan Perlawanan Dalam Konflik Agraria di Indonesia,” Myrna A, Savitri (ed), Ephistema
Institute, HuMA, Forest People Programme, Jakarta.
dipercaya berporos pada pertanyaan mengenai apakah Hukum Adat atau Hukum
Islam yang harus diberlakukan bagi masyarakat Pribumi. Dalam diskusi ini
muncul berbagai pendapat para ahli hukum, baik ahli hukum Belanda maupun
Indonesia, diantara mereka ada yang memotret dengan kaca mata konflik (hukum
Adat dan hukum Islam terus bertarung), dan tidak sedikit juga yang mandang
dengan lensa fungsional (hukum Adat dan hukum Islam saling bergantungan).6
Hangatnya posisi Hukum Adat dan Hukum Islam pada masyarakat Nusantara
menghasilkan perdebatan yang cukup menghibur dunia akademis di tanah air.
Tidak sekedar itu yang bisa dirasakan, namun yang paling penting adalah mampu
membuka diskusi-diskusi yang berkelanjutan bagi generasi-generasi bangsa ini.
Ratno mengatakan kajian mengenai hukum adat dimulai sejak pemerintahan VOC
(1602-1800) yang diawali oleh Marooned (1754-1836), Reffles (1781- 1826),
Crawford (1783-1868), dan Muntinghe (1773-1827).9 Seiring dengan semakain
derasnya isu-isu modernisasi hukum yang semakin kencang dihebuskan oleh
pemerintahan Hindia Belanda, mendorong munculnya berbagai diskusi dan
spekulasi para ahli hukum mengenai “hukum apa yang tepat untuk diberlakukan
bagi masyarakat pribumi”, Di Indonesia, ada beberapa pakar hukum Islam dan
hukum Adat mengkaji ulang mengenai desas-desus antara Hukum Adat dan Islam.
Namun, kajian belakangan ini lebih condong melihat kedua budaya hukum itu
dari sisi kompromitas atau harmonitas antara ketiga sistem hukum itu. Misalnya,
Taufik Abdullah melihat bahwa masyarakat Minangkabau mempraktikkan hukum
Adat dan hukum Islam secara bersamaan sehingga lebih membahasakannya
sebagai intraksionis antara hukum Adat dan hukum Islam atau dua menara hukum
(mimbar hukum).7 John R. Bowen melihat bahwa masyarakat Gayo yang ada di
Aceh mempraktikkan ketiga hukum itu secara bersamaan dengan basis pluralisme
hukum, namun yang menarik dari tulisannya adalah Negara hurus berangkat dari
wilayah regional Indonesia, kemudian diberlakukan dalam kancah Negara.
Sehingga, Bowen lebih membahasakan sebagai pilar-pilar hukum yang di
dalamnya terdapat hukum Adat, Islam, dan Negara.8

6
Ratno Lukito, Pergumulan Hukum Islam dan Adat di Indonesia (Yogyakarta: Manyar Media, 2003),
7
Taufik Abdullah, Adat and Islam Examination of Conflict in Minangkabau, dalam Southeast Asia Program
Publications at Cornell University, Vol: No2 Ocr., 2009
8
John Bowen, Islam, law and equality in Indonesia: An Anthropology of Public Reasoning (Inggris: Cambridje
University Press, 2006),
Pluralisme masyarakat Indonesia yang dibuktikan melalui jiwa kepedulian
terhadap kebudayaannya yang selalu menjaga keseragaman dalam bermasyarakat,
setiap kelompok sangat bertanggung jawab dalam menjaga kesetabilan
kelompoknya, dan bagi masyarakat laki-laki dan perempuan akan berkolaborasi
dalam satu kelompok apabila mereka sudah melakukan pernikahan. Semua
kalangan selalu mengindahkan budaya-budaya yang ada baik yang datang dari
kalangan Islam, Kristen, maupun individu-individu yang mengatas namakan
dirinya modernis. Mereka memiliki daya yang tajam untuk mempraktikkan dan
melestarikan kearifan budaya local yang ada. Sehingga dengan realita inilah
Bowen mengatakan bahwa Indonesia datang untuk memberikan saran kepada
semua kalangan untuk memahami kembali budaya-budaya masyarakat Islam
secara komprehensif, Islam tidak cukup hanya dibaca sebatas pada masyarakat
Arab, Persia, dan Turki, namun Islam harus dibaca juga melaui Indonesia yang
penduduknya mayoritas Islam dan masyarakatnya pemeluk terbesar Islam.
pertimbangan dalam pembuatan Hukum Islam Indonesia, kedua ide ini membuka
jalan baru bagi bersatu padunya antara nilai- nilai yang berasal dari adat istiadat
dengan hukum Islam untuk menciptakan atmosper harmonis dalam satu entitas
hukum.
Hukum Islam juga dalam konteks pluralisme hukum di Indonesia memiliki
peran penting. Hukum Islam mencakup isu hukum syariah dan hukum adat, yang
menjadi alasan hukum yang berbeda di antara umat Islam di Indonesia 3. Era
kolonialisme corak pluralisme hukum di Indonesia lebih didominasi oleh peran
hukum adat dan hukum agama, namun pada era kemerdekaan, pluralisme hukum
di Indonesia lebih dipicu oleh peran agama dan negara. Meskipun demikian,
dalam praktiknya, pluralisme hukum juga dapat menimbulkan ketidakpastian
hukum, kesulitan dalam menentukan hukum yang harus diterapkan, dan potensi
terjadinya ketidakadilan dalam penerapan hukum, terutama bagi kelompok
masyarakat yang kurang berdaya9. Hukum Islam juga sering disebut hukum
syara’, merupakan titah Allah tentang perbuatan manusia mukallaf atau dengan
arti apa-apa yang dikehendaki oleh Allah sebagai Pencipta manusia untuk

9
Wahyuni Sagala HT. Kajian Teori Pluralisme Hukum terhadap Sistem Hukum di Aceh. IDJ
[Internet]. 2022 [cited 2023 Dec 14];3:115. Available from:
https://jurnal.unej.ac.id/index.php/idj/article/view/35095
diperbuat atau tidak diperbuat oleh manusia yang telah dikenai hukum, karena
segala tingkah perbuatan manusia itu mengikuti apa yang dikehendaki oleh Allah.
Dengan demikian hukum syara itu adalah hukum Allah berkenaan dengan
perbuatan manusia
Hukum adat Pada pluralisme hukum di Indonesia memiliki peran penting. Era
kolonialisme corak pluralisme hukum di Indonesia lebih didominasi oleh peran
hukum adat dan hukum agama, namun pada era kemerdekaan, pluralisme hukum
di Indonesia lebih dipicu oleh peran agama dan negara. Hukum adat pada era
kemerdekaan tidak begitu mendapatkan legalitas positifistik dari negara, namun
tetap hidup atau dipraktikkan secara terus-menerus oleh masyarakat adat di
Indonesia. Hukum Adat adalah hukum non statutair yang sebagian besar adalah
hukum kebiasaan dan sebagian Hukum Islam. Hukum Adat itupun melingkupi
hukum yang berdasarkan keputusan- keputusan hakim yang berisi asas-asas
hukum dalam lingkungan, di mana ia memutuskan perkara. Hukum Adat berturut-
turut pada kebiasaan nasional. Hukum Adat adalah suatu hukum yang hidup,
karena ia menjelmakan perasaan hukum yang nyata dari rakyat. Sesuai dengan
fitrahnya sendiri, Hukum Adat terus menerus dalam keadaan tumbuh dan
berkembang seperti hidup itu sendiri.10
Meskipun demikian, dalam praktiknya, pluralisme hukum juga dapat
menimbulkan ketidakpastian hukum, kesulitan dalam menentukan hukum yang
harus diterapkan, dan potensi terjadinya ketidakadilan dalam penerapan hukum,
terutama bagi kelompok masyarakat yang kurang berdaya.11

C. Kesimpulan
Pluralisme hukum menjadi instrumen pembangun hukum masyarakat
majemuk yang memiliki keragaman budaya, identitas, sistem nilai tanpa mengenal
batas teritorial atau primordial. Pendekatan pluralisme memaksimalkan kreativitas
masyarakat secara individu dan kelompok sebagai subjek hukum sekaligus

10
Murdan. PLURALISME HUKUM (ADAT DAN ISLAM) DI INDONESIA. Jurnal Kajian Hukum. 2016;
11
Endri E. INDONESIAN LEGAL PLURALISM FOR STATE ADMINISTRATIVE JUDGES: BETWEEN
CHALLENGES AND OPPORTUNITIES. Peratun [Internet]. 2020 [cited 2023 Dec 13];3:19–34.
Available from: https://jurnalhukumperatun.mahkamahagung.go.id/index.php/peratun/article/
view/154
mengharmonisasikan hukum-hukum yang hidup dalam masyarakat berdampingan
sesuai dengan ideologi negara bangsa di era globalisasi. Pendekatan pluralisme
hukum memperkuat struktur sosial, identitas, dan kepercayaan masyarakat kepada
negara sebagai cerminan dari karakteristik masyarakat madani. Tentunya
penerimaan prinsip syariah sebagai pondasi utama dalam membangun masyarakat
madani menjadi pembeda dari konsep civil society dalam sistem negara bangsa.
Civil society adalah solusi alternatif dalam usaha mengakomodir prinsip
menghargai dalam perbedaan, serta didukung oleh kultur dan struktur sosial
politik demokratis yang membutuhkan kekuatan civil seperti ormas, NGO,
organisasi profesi memainkan peran maksimal untuk mencegah dominasi negara
supaya tidak menjauhkan jarak hubungan sosial masyarakat.
Dalam konteks pluralisme hukum di Indonesia, terdapat tiga mekanisme
hukum yang berbeda, yaitu hukum nasional, hukum Islam, dan hukum adat.
Konsep pluralisme hukum menegaskan bahwa masyarakat memiliki cara
berhukumnya sendiri yang sesuai dengan rasa keadilan dan kebutuhan mereka.
Hukum nasional memiliki peran penting dalam menegakkan kepastian hukum,
sementara hukum Islam dan hukum adat memiliki peran penting dalam memenuhi
kebutuhan masyarakat yang beragam. Meskipun demikian, pluralisme hukum juga
dapat menimbulkan ketidakpastian hukum, kesulitan dalam menentukan hukum
yang harus diterapkan, dan potensi terjadinya ketidakadilan dalam penerapan
hukum, terutama bagi kelompok masyarakat yang kurang berdaya. Oleh karena
itu, tantangan dalam menerapkan pluralisme hukum perlu diatasi untuk
memastikan keadilan yang merata bagi seluruh masyarakat. Pluralisme hukum
sebagai pendekatan atau kajian tidak lain adalah alat bantu bagi negara dalam
proses pembentukan hukum dan pembangunan hukum yang lebih dekat dengan
masyarakat ke depannya. Pluralisme hukum hadir untuk memberikan perspektif
keberagaman sistem normatif pada Pemerintah, Legislator baik di tingkat pusat
maupun daerah, dan aparat penegak hukum bahwa sudah saat nya membuang
jauh-jauh cara berhukum yang sentralistik dengan mengabaikan keragaman.
Namun di sisi lain, kepastian hukum tetap menjadi prinsip penting yang perlu
diperhatikan di tengah-tengah perspektif keberagaman sistem hukum tersebut.
Inilah tantangan kajian pluralisme hukum saat ini dan di masa mendatang.
DAFTAR PUSTAKA

Af itri, MA 2011, Bersikap Kritis Terhadap Pluralisme Hukum dalam “Untuk Apa
Pluralisme Hukum? Regulasi, Negosiasi, dan Perlawanan Dalam Konflik
Agraria di Indonesia,” Myrna A, Savitri (ed), Ephistema Institute, HuMA,
Forest People Programme, Jakarta.
Ali, Z 2006, Filsafat Hukum, Sinar Grafika, Jakarta
Dwisvimiar, I, “Keadilan Dalam Perspektif Filsafat Ilmu Hukum”, Jurnal
Dinamika Hukum, Vol, 11 No, 3 September 2011
Endri E. INDONESIAN LEGAL PLURALISM FOR STATE
ADMINISTRATIVE JUDGES: BETWEEN CHALLENGES AND
OPPORTUNITIES. Peratun [Internet]. 2020 [cited 2023 Dec 13];3:19–34.
Available from:
https://jurnalhukumperatun.mahkamahagung.go.id/index.php/peratun/artic
le/view/154
John Bowen, Islam, law and equality in Indonesia: An Anthropology of Public
Reasoning (Inggris: Cambridje University Press, 2006),
John Bowen, Islam, law and equality in Indonesia: An Anthropology of Public
Reasoning (Inggris: Cambridje University Press, 2006),
Marcus Colchester & Sophie Chao, 2012, Beragam Jalur Menuju Keadilan:
Pluralisme hukum dan hak-hak masyarakat adat di Asia Tenggara,
Epistema Intitute, Jakarta, hal xi mengutip Brian Z. Tamanaha, 2008,
“Understanding Legal Pluralism : Past to Present, Local to Global”,
Sydney Law Review.
Murdan. PLURALISME HUKUM (ADAT DAN ISLAM) DI INDONESIA.
Jurnal Kajian Hukum. 2016;
Ratno Lukito, Pergumulan Hukum Islam dan Adat di Indonesia (Yogyakarta:
Manyar Media, 2003),
Taufik Abdullah, Adat and Islam Examination of Conflict in Minangkabau, dalam
Southeast Asia Program Publications at Cornell University, Vol: No2 Ocr.,
2009
Wahyuni Sagala HT. Kajian Teori Pluralisme Hukum terhadap Sistem Hukum di
Aceh. IDJ [Internet]. 2022 [cited 2023 Dec 14];3:115. Available from:
https://jurnal.unej.ac.id/index.php/idj/article/view/35095
Zainal Arifin Mochtar & Eddy O.S. Hiariej, 2021, Dasar - Dasar Ilmu Hukum.,
Red & White Publishing, Jakarta,

Anda mungkin juga menyukai